KEBENARAN HAKIKI
Download Versi Doc
KEBENARAN HAKIKI
Segala pujian terkhusus bagi Allah s.w.t, Pencipta sekalian alam. Selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w serta seluruh pejuang kebenaran sehingga akhir zaman.
Manusia merupakan makhluk istimewa dicipta oleh Allah s.w.t namun, keistimewaan tersebut bergantung kepada realiti dirinya, kesadaran serta ketaatan terhadap apa yang diperintahkan oleh Penciptanya. Kemuliaan manusia sehingga dilantik menjadi khalifah dan diangkat menjadi rasul-rasul dan nabi-nabi adalah membuktikan tentang hakikat kejadian tersebut serta tanggungjawab yang bakal dipikul olehnya.
Jabaran duniawi yang besar serta liputan kebenaran yang senantiasa tertutup oleh pandangan kebendaan, hawa nafsu dan dorongan jiwa yang rendah menyebabkan manusia senantiasa mencari jalan-jalan yang pelbagai. Ada yang mencoba mengarti hakikat kejadian alam dan keindahan; lalu ia tersungkur dengan keindahan alam yang tidak berpenghujung kepada Penciptanya. Ada yang mencari kedamaian dengan melalui pelbagai jalan yang difikir oleh akal, tanpa panduan Ilahi; lalu ia melalui jalan-jalan kesesatan dan berakhir dengan kefanaan dalam kesesatan. Benarlah wahyu Allah s.w.t dalam hadis Qudsi yang bermaksud:
Betapa banyak angin yang bartiup mematikan lampu-lampu,
Betapa banyak abid, musnah disebabkan rasa bangga dan ujub,
Betapa banyaknya orang kaya, musnah karena kekayaannya,
Betapa banyak orang fakir, musnah karena kefakirannya,
Betapa banyak orang yang sehat, musnah karena kesehatannya,
Betapa banyak orang alim, musnah karena ilmunya,
Betapa banyak orang jahil, musnah karena kejahilannya
Pencarian jalan yang benar mestilah lahir dari kesadaran yang benar kemudian melalui hanya lorong-lorong makrifah yang telah dirintis oleh Rasulullah s.a.w dan para sahabat. Pencarian ini bilamana telah melalui jalannya yang benar, bukan sekadar mampu mengutip mutiara keindahan makrifah, tetapi jauh di sebalik itu, ialah kemampuan untuk membawa dan membesarkan laluan tersebut, agar dengannya tidak akan membawa manusia ke jalan yang sesat, dan memandu manusia lain untuk melalui jalan tersebut.
Sebagian manusia takut untuk melalui jalan-jalan yang masih kabur, agar ia selamat dari kesesatan; walaupun di saat yang sama ia berada dalam kegelapan. Terdapat pula kumpulan yang berhati-hati untuk menempuhi jalan-jalan ini. Tindakan ini ada kebaikannya, karena bilamana datang pertunjuk dan panduan maka ia akan menerangi jalan-jalan yang gelap tersebut, dan ia seharusnya menjalani jalan-jalan tersebut setakat yang ia yakin dengan kebenarannya. Hakikat ini dijelaskan oleh Allah s.w.t dengan firman-Nya yang bermaksud:
“Kilat itu pula hampir-hampir menyambar penglihatan mereka; setiap kali kilat itu menerangi mereka (dengan pancarannya) mereka berjalan dengan cahayanya, dan apabila gelap menyelubungi mereka, berhentilah mereka menunggu dengan kebingungan. Dan sekiranya Allah menghendaki, nescaya dihilangkan pendengaran dan penglihatan mereka; sesungguhnya Allah Maha berkuasa di atas segala sesuatu”.
Namun apa yang lebih membimbangkan ialah ketakutannya untuk mencari dan meneliti jalan-jalan kebenaran menyebabkan ia terus berhenti di atas kesesatan yang berpanjangan. Firman Allah s.w.t yang bermaksud:
“Mereka (seolah-olah) orang yang pekak, bisu dan buta. Dengan keadaan itu mereka tidak akan dapat kembali kepada kebenaran”.
Hakikat kebenaran bukanlah jalan yang sukar, karena laluannya dipenuhi dengan lampu pertunjuk yang senantiasa menerangi manusia. Hanya keinginan untuk menempuhi jalan-jalan tersebut serta kejahilannya menyebabkan ia menyangka jalan-jalan kenabian dan kerasulan, dengan berpegang kepada Islam, akan menyebabkan mereka tidak lagi dapat menikmati keindahan duniawi, lalu kehidupannya akan malap dan tidak bersinar (ceria). Bisikan kebatilan ini terus menghantui jiwa manusia, lantaran itulah jalan-jalan kebenaran walaupun telah diterangi dengan panduan cahaya pertunjuk Ilahi, masih tidak mendapat tempat yang sewajarnya.
Kita tidak seharusnya menafikan juga kebimbangan ini disebabkan oleh sejarah lampau yang menakutkan manusia untuk melalui jalan-jalan tarekat dan tasauf, yang terlalu banyak didorongi oleh nilai-nilai mistik yang mengelirukan, bercampur dengan penyelewengan dan kekeliruan yang dibina di atas nama tarekat dan tasauf; tambahan pula perkembangan ideologi rasionalisma yang menguasai dunia kini yang disertakan dengan budaya lojik yang terpahat dalam minda manusia kini, menyebabkan jalan-jalan ini tidak mendapat kedudukan yang sepatutnya. Lantaran itu, keindahan syariat Islam hanyalah serpihan yang berkecai dalam setiap sudut. Ia umpama permata yang tiada sinar atau bunga yang telah hilang madunya, maka jadilah manusia kini sebagai manusia yang telah hilang kemanusiaannya.
Buku Kebenaran Hakiki tulisan saudara Mohamad Nasir diharapkan menjadi pembuka minat kepada umat Islam untuk mengetahui kebenaran dan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Dengan menggunakan pendekatan yang mudah serta persembahan yang menarik, maka diharapkan pembaca akan lebih dekat memahami beberapa persoalan yang berlaku dalam sejarah umat Islam; di samping panduan dalam kehidupannya. Pendekatan yang beliau gunakan dalam penulisan ini bukanlah sesuatu yang asing atau baru; hanya masing-masing penulis mengolah dengan gayanya tersendiri dan beliau adalah sebagian dari umat Islam yang memikirkan sesuatu sumbangan yang bisa diberikan kepada perjuangan dan kemurniaan aqidah Islam.
Meneliti nukilan saudara Nasir, maka saya mempunyai anggapan besar ia akan menjadi suatu hasil penulisan yang mencoba menjelaskan hakikat jalan-jalan yang indah, yang mencoba dikongsikan bersama pembaca yang lain. Walaupun hakikat keindahan sesuatu tidak akan sama antara yang melalui dan merasainya dengan segolongan yang hanya mengetahui melalui pembacaan atau mendengar dari seseorang yang menempuhi jalan-jalan tersebut, “Keenakan sebiji buah hanya dapat dihayati oleh yang memakannya”, namun diharapkan ianya menjadi pendorong yang kuat kepada semua pembaca untuk meneruskan penelitian dan pengamatan terhadap jalan-jalan kebenaran yang murni ini, agar seluruh keindahan Islam dapat dihayati dalam artikata sebenar, zahir dan batin.
Saya mengakui pengamatan yang singkat yang saya lakukan mungkin mempunyai banyak kelemahan, namun dengan rendah diri saya memohon tunjukajar dan pandangan baik semua pembaca. Penulisan ini diharapkan menjadi dorongan kepada penulis untuk terus berkecimpung memberikan sumbangan untuk kemajuan dan meningkatkan lagi khazanah ilmuan Islam.
Semoga diberkati Allah s.w.t.
Akhukum fil Islam
Dato’ Haji Tuan Ibrahim bin Tuan Man
Pensyarah Kanan
ITM Cawangan Pahang
20 April 1999.
Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang. Segala puji-pujian bagi Allah, Pemelihara sekalian alam. Selawat disertai salam ke atas yang paling mulia di antara Rasul-rasul, Muhammad Rasul yang Amin, dan atas sekalian keluarga dan sahabat-sahabat baginda s.a.w.
Segala puja dan puji sekaliannya hanya untuk Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Agung, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Perkasa, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Kami panjatkan syukur atas segala rahmat, nikmat, taufik, hidayat dan segala kurniaan-Mu yang tidak pernah putus sejak zaman azali hinggalah kepada zaman abadi. Walau bagaimanapun suci puji-pujian kami terhadap diri-Mu namun, Engkau meninggi dan melampaui apa yang kami ucapkan, rasakan dan apa yang terlintas dalam fikiran dan penghayatan kami. Sesungguhnya Engkau adalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Berdiri Dengan Sendiri, Pencipta sekalian makhluk. Walau bagaimana luas sekalipun kesyukuran kami namun, ia hanyalah sezarah di dalam ruang kurniaan-Mu. Kami sandarkan puji dan puja kami terhadap-Mu kepada puji dan puja-Mu terhadap diri-Mu sendiri agar apabila Engkau Memuji diri-Mu Engkau mengingati pujian kami terhadap diri-Mu. Kami sandarkan kesyukuran kami kepada rahmaniat-Mu agar apabila Engkau meratai segala kurniaan-Mu dengan rahmaniat-Mu, Engkau mengingati kami yang bersyukur terhadap segala kurniaan-Mu. Sebesar-besar kurniaan-Mu kepada kami adalah Engkau utuskan kepada kami kekasih-Mu, Nabi Muhammad s.a.w. Selawat dan salam buat Rasul junjungan, juga buat keluarga dan sahabat-sahabat baginda s.a.w yang telah menjualkan jiwa dan harta mereka kepada Allah s.w.t demi ketaatan dan kecintaan mereka kepada Allah s.w.t dan Rasul-Nya serta berjihad pada jalan-Nya.
Wahai Tuhan kami! Dengan taufik dan hidayat-Mu yang maha luas, dapatlah kami menyudahkan penulisan kitab “Kebenaran Hakiki” ini selepas lebih daripada tujuh tahun memulaikannya. Tempuh tujuh tahun lebih itu kami rasakan separti baru kelmarin karena setiap saat yang kami gunakan dalam urusan-Mu Engkau payungi kami dengan rahmat-Mu. Tidak ada pekerjaan yang sukar dan berat apabila ia dilakukan demi mematuhi perintah dan kehendak-Mu.
Ya Tuhan! Kami sujud ke Hadrat-Mu dan kami mengaku bahwa sesungguhnya Engkau adalah Tuhan dan kami adalah hamba-Mu. Apa juga yang kami perolehi daripada nikmat ilmu, nikmat zahiriah dan nikmat batiniah semuanya adalah kurniaan-Mu. Segala kebaikan yang Engkau kurniakan kepada kami, kami kembalikan kepada-Mu. Segala keburukan dan kecacatan yang keluar daripada kami adalah karena kegelapan hati kami. Kami memohon keampunan dan kemaafan-Mu. Ampunkanlah juga dosa ibu-bapa kami dan kasihanilah mereka sebagaimana mereka menjaga kami dengan penuh kasih sayang, wahai Tuhan Yang Ghafur.
Kami memulaikan perjalanan kami sebagai orang yang tidak mengetahui apa-apa tentang tarekat, hakikat, makrifat, Sir dan lain-lain yang biasa diperkatakan oleh orang-orang tasauf. Penggerak kami adalah pembukaan daripada Allah s.w.t Yang Maha Mengasihani. Ketika kami sedang hanyut di dalam kelalaian arus angan-angan, Dia dengan Kasihan Belas-Nya membawa kami menghadap kepada-Nya. Apa yang telah dibukakan kepada kami walaupun dalam tempoh yang singkat tetapi memerlukan masa lebih daripada tujuh tahun untuk memahami dan menguraikannya.
Dalam proses tersebut kami banyak bertanya dan membaca buku-buku tasauf. Dalam perjalanan kami, kami telah bertemu dengan orang-orang yang membuang kehambaan dan berpegang kepada pemahaman penyatuan dengan Tuhan. Kami temui kitab-kitab tulisan tangan yang kononnya ilmu para wali. Apabila mengambil perkataan orang yang demikian dan kitab yang demikian, kami menjadi lebih keliru. Dalam satu segi, diperkatakan tentang perjalanan nafsu dan latihan kerohanian yang sama dengan apa yang dikatakan oleh ulama tasauf yang muktabar. Mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran dan kisah-kisah Rasulullah s.a.w juga, tetapi di sana sini terdapat pemahaman tersendiri mengenai maksud ayat-ayat al-Quran dan ada pula cerita-cerita tentang Rasulullah s.a.w yang tidak bisa ditemui dalam kitab-kitab sejarah. Perkara yang paling mengelirukan adalah yang mengenai akidah. Berpegang kepada orang-orang yang demikian dan kitab-kitab yang demikian membuat seseorang tidak tahu di mana mau diletakkan al-Quran dan al-Hadis.
Kitab-kitab tasauf yang bisa didapati di kedai-kedai buku, sebagian daripadanya memperbesarkan jazbah, zauk, fana, bersatu dengan Tuhan dan baqa dengan Tuhan. Pada satu peringkat kami menyangkakan bersatu dengan Tuhan itulah tahap paling tinggi bisa dicapai oleh manusia. Orang yang bersatu dengan Tuhan itulah orang yang sudah benar-benar ‘sampai’. Walaupun anggapan yang demikian muncul di dalam hati tetapi di satu bagian hati yang tersembunyi menolak anggapan tersebut.
Kami bersyukur kepada Allah s.w.t yang telah mempertemukan kami dengan kitab-kitab karangan Imam Ibnu Athaillah, Syeikh Muhammad Abdul Haq Ansari mengenai sufisma yang dibawa oleh Syeikh Ahmad Sirhindi, Syeikh Abdul Qadir Jilani, Imam an-Nafari dan lain-lain yang telah membuka pandangan kami, dengan izin Allah s.w.t. Semoga Allah s.w.t mengurniakan rahmat yang berlimpah ruah kepada arwah mereka sekalian.
Kitab al-Hikam karangan Imam Ibnu Athaillah telah memainkan peranan yang penting kepada kami dalam perjalanan mencari jawaban. Apa yang kami temui melalui kata-kata hikmah Imam Ibnu Athaillah itu telah kami susunkan dalam bentuk buku yang kami beri jodol “Syarah al-Hikam”.
Pandangan kami menjadi lebih jelas lagi setelah membaca keterangan yang diberikan oleh Syeikh Ahmad Sirhindi dalam kitab yang disusun oleh Syeikh Muhammad Abdul Haq Ansari. Di atas tapak yang dibina oleh Syeikh Ahmad Sirhindi itu kami mempelajari sejarah kehidupan Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w. Ia telah memberi pemahaman yang tetap kepada kami. Barulah kami dengan yakin menolak kitab-kitab yang diedarkan secara bersembunyi yang kononnya atas alasan ilmu para wali tidak bisa diberikan kepada orang banyak.
Apa yang kami temui dan kami fahamkan itu kami tuliskan sebagai kitab “Kebenaran Hakiki” ini. Semoga keterangan di dalamnya bisa membantu saudara-saudara kami yang masih mencari-cari.
Dengan segala kerendahan hati kami nyatakan bahwa kami bukanlah dari golongan ulama tasauf. Apa yang kami tuliskan adalah berdasarkan pengalaman dan kajian kami. Adalah lebih baik jika saudara-saudara yang membaca kitab ini merujuk semula kepada orang yang alim dalam bidang ini.
Kami serahkan pekerjaan kami kepada Allah s.w.t. Segala kebaikan yang ada pada kitab ini adalah hak Allah s.w.t. Kekurangan dan kecacatannya adalah karena kejahilan kami. Segala puji dan puja hanya untuk-Nya.
Sesungguhnya Engkau yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Mu. Terimalah dan berkatilah pekerjaan kami. Amin!
Penghargaan yang tidak terkira kami tujukan kepada sahabat kami, Dol @ Zulkifli bin Abdullah, yang telah banyak membantu kami dengan menyediakan keperluan-keperluan kami bagi memudahkan pekerjaan kami menyiapkan kitab ini. Penghargaan kami juga kepada sahabat-sahabat yang lain yang telah memberi teguran dan pandangan yang baik berhubung penulisan kitab ini. Semoga Allah s.w.t memberkati mereka sekalian.
Kami teramat berhutang budi kepada Ybg. Dato’ Haji Tuan Ibrahim bin Tuan Man, yang di dalam kesibukan beliau masih juga memberi ruang untuk meneliti kitab “Kebenaran Hakiki” ini serta memberi pandangan dan teguran yang membina. Sentuhan ikhlas beliau telah menambahkan semangat serta keyakinan kami di dalam pekerjaan kami. Semoga Allah s.w.t senantiasa memelihara dan memberkati beliau.
Kami sangat bersyukur kepada Allah s.w.t yang telah meneguhkan kesabaran ahli-ahli kami yang terpaksa menanggung berbagai-bagai kesulitan selama kami berada dalam pekerjaan ini.
Semoga Allah s.w.t mengurniakan ganjaran yang melimpah ruah kepada mereka semua. Amin!
Wassalam.
MOHAMAD NASIR BIN MAJID
(TOK FAQIR AN-NASIRIN)
Seberang Takir.
1: NABI MUHAMMAD S.A.W DIUTUSKAN UNTUK MENYELAMATKAN UMAT MANUSIA
________________________________________
KEADAAN DUNIA SEBELUM KELAHIRAN NABI MUHAMMAD S.A.W:
Dunia pada abad ke enam Masehi adalah umpama seorang yang sedang sakit tenat, tersangat memerlukan kepada penyelamat dan perawat yang mahir untuk mengobati penyakitnya dan menyelamatkannya daripada berbagai-bagai huru-hara dan kemusnahan. Semua bangsa-bangsa di seluruh pelosok dunia dicengkam oleh kegelapan akidah dan kehancuran moral. Bangsa Aria di Sepanyol dan di selatan Perancis terlibat di dalam perebutan kuasa dengan kerajaan Clovis yang bermazhab Katholik. Bangsa Aria yang mendapat bantuan daripada kerajaan Roman Timur berjaya menewaskan kerajaan Clovis. Setelah berjaya menewaskan kerajaan Clovis, bangsa Aria berperang pula menentang kerajaan Roman Timur yang telah membantu mereka, karena berebut kuasa ke atas tanah jajahan. Di negeri Inggeris pula bangsa Anglo dan bangsa Saxon terlibat di dalam kes perebutan tanah juga. Di Itali, kekuasaan kerajaan Roman sudah sangat lemah, lalu ia berpindah kepada kekuasaan gereja (agama Masehi). Kerajaan Yunani pula sudah dijajah oleh kerajaan Roman Timur.
Bangsa-bangsa yang kuat di Eropah sering menceroboh kedaulatan bangsa-bangsa yang lemah di Eropah Selatan. Bangsa Got dan bangsa Han berlumba-lumba memperluaskan tanah jajahan. Di tengah-tengah Asia Kecil muncul bangsa Turki yang berjaya menyekat perkembangan kekuasaan Yunani. Mana-mana bagian dunia yang dikuasai oleh kerajaan Roman Timur mengalami kerosakan teruk akibat kekejaman perang dan kezaliman pemerintah. Bukan kerajaan Roman Timur saja yang melakukan kerosakan di atas muka bumi malah, siapapun saja yang berjaya memperolehi kemenangan telah melakukan keganasan dan kerosakan, bahkan ada yang lebih ganas dan kejam daripada Roman Timur.
Bukan di Eropah saja bergolak. Pergolakan berlaku juga di Asia. Di Tibet, India dan Cina muncul pemahaman-pemahaman yang ganjil-ganjil dan kepercayaan mistik yang sukar difahami, baik dalam bidang keagamaan dan falsafah dan juga dalam bidang siasah. Perbedaan pemahaman keagamaan, falsafah dan siasah sering menjadi isu yang menyebabkan persengketaan sesama sendiri. Keadaan diburukkan oleh lagi oleh peperangan yang berlaku dengan orang luar.
Kerajaan Masehi Roman Timur yang berpusat di Konstantinopal terlibat di dalam kancah peperangan dengan kerajaan Parsi. Kemenangan sering bertukar tangan di antara mereka. Selain kerajaan Parsi, kerajaan lain yang lebih kecil dapat dikalahkan oleh kerajaan Roman. Sayap penindasan kerajaan Roman sampai juga ke Mesir.
Dunia pada ketika itu penuh dengan kebuasan, kezaliman dan pertumpahan darah. Umat manusia lebih berminat melakukan kerosakan daripada berbuat kebaikan dan perdamaian. Pemimpin bukan lagi menjadi pelindung dan penyelamat rakyat malah, merekalah yang lebih dahulu menindas rakyat yang mereka pimpin. Nyawa manusia menjadi tidak berharga asalkan nafsu buas pemimpin yang berkuasa mendapat kepuasan. Sikap belas kasihan kepada rakyat yang lemah sangat jarang ditemui di kalangan golongan yang berkuasa.
Pada ketika itu masih ada golongan yang berpegang kepada nilai-nilai murni yang diajarkan oleh agama tetapi mereka tidak ada kekuatan untuk melakukan perubahan atau menyekat kerosakan yang melanda dunia dan umat manusia. Suara keagamaan tidak cukup lantang untuk sampai ke telinga orang-orang yang berkuasa. Di kebanyakan tempat pihak yang berkuasa mengadakan tekanan dan kongkongan terhadap ahli-ahli agama sehingga cahaya agama yang sebenar tertutup dan diperlihatkan cahaya agama yang telah diwarnai oleh pihak pemerintah. Seluruh pelosok bumi sudah dicalarkan oleh kuku kuasa-kuasa besar, hanya satu tempat saja pada ketika itu yang masih selamat daripada kuku kerosakan penjajah. Tempat tersebut adalah Tanah Arab. Semenanjung Arab bukan diselamatkan oleh kekuatan dan kepintaran penduduknya tetapi ia diselamatkan oleh kekuatan alam semula jadi bumi bertuah itu. Lautan padang pasir dan gunung-ganang menjadi benteng pertahanan yang kuat menghalang permencobaan kuasa besar untuk masuk ke dalamnya.
Umat manusia sangat berhajat kepada penyelamat yang mampu mengadakan perubahan, membela nasib golongan yang lemah dan memperbaiki segala macam kerosakan yang telah melanda dunia. Seluruh dunia sudah berada di dalam keadaan huru-hara, hanya bumi Arab yang masih bertahan. Bumi yang dipelihara itu menjadi tempat yang paling sesuai untuk dijadikan markas bagi penyelamat yang akan datang memulaikan tugas demi umat manusia seluruhnya.
SEMENANJUNG ARAB SEBELUM KELAHIRAN NABI MUHAMMAD S.A.W:
Walaupun sebagian besar daripada Semenanjung Tanah Arab tidak berjaya dijajah oleh kuasa-kuasa besar namun, sebagian daripadanya tidak terlepas daripada kuku penjajah. Bahrain dan Irak dijajah oleh kerajaan Parsi. Syria pula dijajah oleh kerajaan Masehi Roman Timur. Arab Hijaz dan Arab Tengah agak bernasib baik, walaupun mereka ada persepemahaman untuk tunduk kepada kerajaan Parsi tetapi ia tidak dikuatkuasakan.
Di antara semua penduduk Arab, kaum Badwi yang tinggal di pergunungan dan padang pasir menjadi satu-satunya golongan Arab yang benar-benar bebas daripada mana-mana kekuasaan penjajah. Mereka jugalah kemudian hari kelak menjadi tenaga pejuang yang paling kuat di dalam menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok bumi Arab dan juga lain-lain tempat di atas muka bumi.
Sebelum Islam muncul di Tanah Arab, agama-agama Masehi dan Yahudi dan juga agama menyembah berhala sudah pun bertapak di sana. Di antara mereka penganut agama Yahudilah yang paling fanatik dan agresif. Mereka bukan sekadar mau menjajah untuk mendapatkan kuasa dan harta malah mereka sangat benci dan memusuhi siapapun saja yang tidak seagama dengan mereka. Mereka menganggapkan kekuasaan ke atas bangsa-bangsa lain sebagai satu jihad yang mulia. Di dalam melakukan jihad tersebut mereka membisakan diri mereka melakukan apa saja asalkan tujuan mereka tercapai. Penindasan keagamaan yang berlaku di Tanah Arab biasanya ada kaitan dengan penganut agama Yahudi. Ketika berkuasa di Yaman orang-orang Yahudi telah membakar 20,000 penganut agama Masehi yang enggan menerima agama Yahudi. Pembunuhan bebanyak-banyak manusia yang tidak bersalah itu telah mencemarkan kemurnian agama Yahudi dan pencemaran tersebut diperturunkan kepada generasi Yahudi yang di belakang.
Agama Masehi pula kurang mendapat tempat di hati orang-orang Arab. Agama yang telah diresapi oleh pemahaman mistik yang pelik-pelik itu tidak menarik minat orang Arab yang umumnya bersifat kebendaan. Walaupun ada sebilangan kecil orang Arab yang memeluk agama Masehi namun, agama tersebut tidak berjaya disebarkan dengan meluas.
Agama yang paling popular kepada orang-orang Arab adalah agama menyembah berhala. Mereka yang masih percaya kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi tidak terlepas daripada perbuatan syirik yaitu mengadakan berhala-berhala sebagai perantaraan di antara mereka dengan Tuhan. Beberapa buah berhala besar dibina di beberapa tempat. Di samping mempertuhankan berhala-berhala besar, suku dan keluarga Arab mempunyai berhala-berhala kecil yang juga dipertuhankan.
Selain daripada penyembah berhala ada juga suku-suku Arab yang menyembah bulan dan bintang, separti suku-suku Kinanah, Lakham, Jurhum, Asad dan Tayyi. Kebanyakan daripada orang Arab tidak percaya kepada hari akhirat. Mereka beranggapan hidup ini berakhir dengan kematian. Oleh itu segala perkara mesti diselesaikan di dunia ini juga. Ada juga sebagian daripada mereka yang percaya kematian bukan kesudahan kehidupan, terutamanya bagi orang yang mati dibunuh. Golongan ini percaya mangsa pembunuhan tidak dapat hidup aman pada alam lain sebelum dilakukan pembalasan terhadap pembunuhnya.
Ada juga segelintir golongan Arab yang percaya kepada malaikat. Mereka percaya malaikat berhubung dengan orang-orang suci di kalangan mereka. Mereka yang dianggap suci itu dijadikan perantaraan untuk berhubung dengan malaikat dan juga dengan Tuhan. Selain daripada golongan tersebut ada pula golongan yang percaya kepada dua tuhan yaitu tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan. Tuhan kebaikan menjadikan yang baik-baik saja dan tuhan kejahatan menjadikan yang jahat-jahat saja.
Golongan yang paling mulia di Makkah yaitu golongan Quraisy menganut pemahaman zindik, yaitu kepercayaan kepada cahaya dan gelap. Pemahaman ini menolak kewujudan akhirat dan Tuhan. Pemahaman yang demikian pada masa ini dipanggil ateis. Walaupun golongan Quraisy ini tidak percaya kepada Tuhan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka dengan cara berpura-pura mempercayai Tuhan supaya mereka tidak terasing daripada golongan-golongan Arab yang lain yang percaya kepada kewujudan Tuhan. Pemahaman separti pemahaman zindik ini juga dipegang oleh golongan bangsawan di Yasrib, dan mereka kemudiannya membentuk kumpulan munafik yang menentang Rasulullah s.a.w secara sembunyi.
Agama Yahudi tidak dikembangkan kepada orang-orang Arab. Orang Yahudi beranggapan bangsa Arab lebih hina daripada mereka dan tidak layak diterima sebagai penganut agama mereka. Agama Yahudi dijadikan agama yang khusus untuk bangsa mereka saja. Selain daripada sikap orang Yahudi yang demikian, permusuhan dengan kerajaan Masehi Roman Timur juga menyebabkan pergerakan kaum Yahudi terhalang. Kerajaan Roman Timur berjaya mengalahkan kerajaan Yahudi di Yaman dan mereka memperhebatkan gerakan memburu orang Yahudi sebagai membalas dendam terhadap perbuatan Yahudi membakar kaum Masehi di Yaman. Di mana saja dijumpai, tentera Roman Timur akan membunuh orang Yahudi. Orang Yahudi terpaksa melarikan diri ke seluruh pelosok muka bumi. Sebagian besar daripada mereka membuat tempat tinggal di Khaibar dan Yasrib. Mereka membina benteng yang kukuh di sekeliling perkampungan mereka. Mereka tidak berani keluar jauh daripada benteng pertahanan mereka. Oleh yang demikian mereka terpaksa menggunakan khidmat orang-orang Arab di dalam menguruskan perniagaan dan perladangan mereka. Jadi, tekanan daripada pihak kerajaan Roman Timur dan keegoan mereka sendiri menyebabkan agama Yahudi tidak berkembang di Semenanjung Arab.
Ada sebilangan kecil golongan Arab yang masih mengesakan Tuhan. Mereka terdiri daripada pemimpin Banu Hasyim yang menguasai pengurusan Kaabah. Mereka tetap melakukan ibadat haji, umrah, bertawaf mengelilingi Kaabah dan menyembelihkan binatang korban. Pegangan mereka bersumberkan ajaran Nabi Ibrahim a.s.
Secara umumnya orang Arab percaya kepada Tuhan yang menciptakan alam tetapi mereka beranggapan Tuhan terlalu tinggi dan mereka tidak mampu berhubung secara langsung dengan Tuhan. Mereka percaya ada benda-benda alam yang dikasihi oleh Tuhan. Mereka berpendapat perhubungan dengan Tuhan perlu dibuat melalui benda-benda yang Tuhan kasihi. Bagi memudahkan upacara perhubungan dan penyembahan mereka membina patung-patung yang menyerupai sesuatu yang dianggap sebagai dikasihi oleh Tuhan. Mereka mengadakan penyembahan dan persembahan kepada patung-patung tersebut sebagai cara untuk menyampaikan hajat kepada Tuhan Yang Maha Tinggi.
Umat manusia di seluruh Semenanjung Arab dan juga di seluruh pelosok dunia dibungkus oleh kegelapan akidah dan dicengkam oleh keruntuhan moral. Ajaran nabi-nabi yang pernah diutuskan oleh Tuhan telah dipinda oleh orang-orang yang gila kuasa sehingga ketulenan ajaran tersebut tidak dapat dikenalpasti lagi. Apa juga ajaran agama yang tidak disenangi oleh pihak yang berkuasa akan diubahsuai. Bumi Parsi menyaksikan banyak agama-agama dihancurkan oleh pemerintah. Agama-agama Zoroaster, Manu dan Mazdak menemui kehancuran di Parsi.
Agama Masehi pula diputarbelitkan oleh orang-orang Masehi yang tunduk kepada pemerintahan kerajaan Roman Timur. Agama Yahudi dirosakkan oleh kaum Yahudi sendiri. Di tempat-tempat lain muncul agama falsafah yang direka oleh akal dan khayalan manusia sendiri. Kemusnahan akidah berlaku di merata tempat dan ia diikuti oleh kehancuran nilai-nilai akhlak yang murni. Banyak perkara yang diterima pakai sebagai adat dan kebudayaan telah merusakkan nilai-nilai murni kemanusiaan. Di dalam kebudayaan orang Arab Jahiliah dan juga bangsa-bangsa lain, arak merupakan minuman kegemaran orang banyak. Darah umat manusia yang bercampur dengan najis arak menjadi medan yang luas bagi syaitan melakukan kerosakan ke atas Banu Adam. Puisi dan syair yang memuji dan memuja arak sering diperdendangkan. Arak menjadi pintu kepada berbagai-bagai lagi perlakuan akhlak yang hina. Judi dan zina berleluasa di dalam masyarakat. Di dalam tradisi mereka juga kaum lelaki bisa berkahwin seberapa banyak yang mereka mau asalkan mereka mampu. Kaum lelaki juga berhak menceraikan isteri mereka sesuka hati mereka. Kaum wanita menerima nasib yang lebih malang apabila mereka yang kematian suami dikira sebagai sebagian daripada harta pusaka suami yang berhak dituntut oleh waris si suami. Tradisi yang demikian menyebabkan sistem kekeluargaan menjadi kucar kacir. Dan, yang paling buruk berlaku di dalam tradisi Arab Jahiliah adalah adat kejam menanam anak perempuan yang baru lahir.
Kerosakan akidah dan akhlak yang menyerang penduduk di Tanah Arab tidak mampu dibendung oleh orang Masehi dan orang Yahudi. Orang Yahudi lebih berminat mengembangkan perniagaan mereka yang berasaskan riba. Perpecahan yang berlaku di kalangan masyarakat Arab memudahkan kaum Yahudi mengembangkan ekonomi mereka tanpa persaingan besar daripada golongan Arab.
Jika kaum Yahudi sibuk mengumpulkan harta kaum Masehi pula tidak mempunyai kepimpinan yang berkaliber untuk mengadakan pembaikan ke atas umat manusia. Ajaran mistik yang kompleks menyebabkan agama tersebut menjadi satu agama yang sukar difahami oleh orang banyak. Oleh karena itu banyak daripada urusan agama dilakukan oleh pihak gereja saja. Orang banyak yang telah menyerahkan urusan agama mereka kepada pihak gereja sudah dianggap mendapat keselamatan.
Orang Arab secara umumnya mempunyai fikiran yang terbuka dalam banyak perkara tetapi mereka sangat fanatik dalam soal kepercayaan dan adat resam. Prinsip mereka dalam perkara tersebut adalah berpegang teguh dengan apa juga yang mereka pusakai daripada nenek moyang mereka. Pusaka nenek moyang yang menyentuh soal kepercayaan dan adat resam tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapunpun.
NABI MUHAMMAD S.A.W DAN KAUM MUSLIMIN BERTANGGUNGJAWAB MENYELAMATKAN UMAT MANUSIA DAN DUNIA SELURUHNYA:
Di tengah-tengah kerosakan akidah dan akhlak yang melanda umat manusia di Semenanjung Tanah Arab dan di seluruh dunia itulah Allah s.w.t mengutuskan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. Pada masa Nabi Muhammad s.a.w dilahirkan, di dalam dunia ini ada tidak lebih daripada tiga puluh orang yang mengenal Allah s.w.t sebagaimana yang patut dikenali. Kenyataan ini diterima oleh Salman al-Farisi daripada pendeta terakhir yang beliau temui di Ammuria, dalam perjalanannya mencari kebenaran, sehinggalah beliau berjumpa dengan Nabi Muhammad s.a.w di Madinah. Pertemuan dengan Nabi Muhammad s.a.w mengakhirkan pencarian Salman. Dia telah menemui kebenaran.
Nabi Muhammad s.a.w berkewajiban membaiki seluruh dunia. Hanya satu agama yang lengkap dan sesuai dengan fitrah asli sekalian manusia yang mengimbangi soal lahiriah dengan soal batiniah mampu menangani masalah berat yang sedang melanda dunia dan penghuninya. Agama tersebut adalah ISLAM! Baginda s.a.w diutuskan bagi menyampaikan risalat dari Allah s.w.t dan mentadbir urusan makhluk di dalam dunia ini agar peraturan Allah s.w.t dipatuhi oleh sekalian manusia. Kaum Muslimin yang menjadi umat baginda s.a.w juga memikul amanah tersebut, bertanggungjawab menyambung perjuangan baginda s.a.w. Tugas tersebut terletak di atas bahu umat Nabi Muhammad s.a.w hinggalah kepada hari kiamat. Jalan yang telah dipelopori oleh Nabi Muhammad s.a.w dan diikuti oleh sahabat-sahabat baginda s.a.w adalah sebaik-baik dan sebenar-benar jalan. Jalan yang paling baik dan paling benar ini juga dilalui oleh para pengikut baginda s.a.w yang datang kemudian.
Dasar agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w adalah mengabdikan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mencari kesejahteraan hidup di akhirat tanpa melupakan tanggungjawab terhadap kehidupan dunia dan makhluk Tuhan sekaliannya. Tugas utama mereka adalah menyucikan akidah mereka sendiri, kaum keluarga dan umat manusia sekaliannya. Tugas susulan yang tidak kurang penting adalah memurnikan akhlak diri sendiri, kaum keluarga dan umat manusia sekaliannya. Akidah dan akhlak merupakan dua agenda paling penting di dalam tarekat Nabi Muhammad s.a.w yang juga diikuti oleh para sahabat baginda s.a.w.
2: NABI MUHAMMAD S.A.W INSAN FITRAH
________________________________________
Nabi Muhammad s.a.w adalah seorang manusia fitrah yang sejak awal kejadian baginda s.a.w senantiasa bergerak di atas landasan fitrah insan yang suci murni. Fitrah yang suci bersih lagi murni akan mencetuskan perjuangan dalam jiwa apabila insan itu dibaluti oleh suasana yang penuh dengan kemunkaran, kezaliman, penyembahan berhala dan benda-benda alam, perebutan kuasa, kegilaan kepada harta dan berbagai-bagai adat serta kebudayaan yang menyimpang jauh daripada sifat fitrah yang asli. Perjuangan dalam jiwa Nabi Muhammad s.a.w sampai ke puncakknya apabila baginda s.a.w mencapai usia 36 tahun. Kejahilan, kesyirikan, kekafiran, kemunkaran dan kezaliman yang berleluasa di dalam masyarakat menjadi beban yang sangat berat menghimpit jiwa fitrah baginda s.a.w. Tekanan tersebut menjadi lebih kuat lantaran segala kerosakan itu terjadi kepada orang-orang yang hampir dengan baginda s.a.w, kaum keluarga dan masyarakat yang sama keturunan dengan baginda s.a.w, sedangkan jalan untuk menyelamatkan mereka tidak terbuka. Jiwa fitrah yang sangat mengasihi sesama manusia sangat menginginkan keselamatan dan kesejahteraan kepada sekalian manusia. Jiwa yang separti inilah yang selalu menderita apabila melihat kerosakan yang terjadi kepada orang lain.
Fitrah yang suci murni memiliki bakat yang istimewa yaitu kebisaan untuk mengenal dan mengarti tentang sesuatu yang benar dan juga memiliki keupayaan untuk bergerak kepada yang benar itu. Apabila mencapai usia 36 tahun Nabi Muhammad s.a.w diseret oleh fitrah suci baginda s.a.w ke Gua Hiraa, kira-kira 10 km ke utara Makkah. Gua tersebut terletak di atas Gunung Hiraa, kira-kira 20 meter dari puncakk gunung. Seorang lelaki yang kuat memerlukan masa kira-kira 40 minit untuk mendaki dari bawah hingga ke aras Gua Hiraa. Laluan masuk ke dalam gua tersebut sangat sempit, di celah dua buah ketulan batu besar yang hampir-hampir bertaut. Seseorang yang ingin melaluinya perlu menyusup dengan bersusah payah. Setelah berjaya melepasi laluan yang sempit itu seseorang itu akan masuk ke dalam satu ruang kosong yang sempit juga. Ruangnya tidak memadai untuk seorang manusia tidur dengan selesa di dalamnya.
Gua tersebut disembunyikan oleh batu-batu besar, hampir-hampir tidak ada cahaya matahari yang masuk ke dalamnya. Batu-batu di sekitar gua itu berwarna hitam kemerah-merahan yang bisa menimbulkan rasa gerun dalam hati siapapun yang menyaksikan pemandangan di sana. Bagian yang terdapat Gua Hiraa merupakan bagian yang paling menggerunkan di antara semua bagian Gunung Hiraa.
Tarikan Fitrah telah membawa Nabi Muhammad s.a.w ke tempat yang tidak ada manusia mau pergi, apa lagi tinggal beberapa hari di sana siang dan malam. Bulan Ramadan merupakan tempoh yang paling baginda s.a.w gemar berkhalwat di Gua Hiraa. Baginda s.a.w berulang-alik ke Gua Hiraa sehinggalah wahyu yang pertama turun ketika usia baginda s.a.w menjangkau 40 tahun.
Suasana Gua Hiraa menceritakan bahwa hanya insan yang berjiwa besar dan sangat berani serta bersemangat waja saja yang sanggup tinggal di sana seorang diri, siang dan malam dan berhari-hari lamanya. Hanya tawakal dan keyakinan yang teguh membuat seseorang mampu bertahan di dalam kegelapan Gua Hiraa, tidak dapat melihat binatang bisa separti ular dan jengking yang mungkin muncul pada bila-bila masa saja. Insan yang bisa tinggal di sana pastilah di dalam jiwanya tidak ada sebesar zarah pun rasa takut kepada makhluk, kecintaan kepada dunia, harta benda, pangkat dan kemuliaan. Hanya jiwa Islam (berserah diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t) yang sempurna dapat tinggal sendirian di dalam Gua Hiraa. Tujuan, harapan dan pergantungan hanyalah Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Semakin mendekati usia 40 tahun semakin kerap Nabi Muhammad s.a.w mengunjungi Gua Hiraa. Apabila berada di luar gua, terutamanya pada waktu malam, baginda s.a.w merenung bangunan alam maya, melihat kerapian susunannya dan keindahan gubahannya. Apabila berada di dalam gua baginda s.a.w merasakan ketenangan, kedamaian dan kelazatan. Gua Hiraa yang gelap gelita dan sunyi sepi memisahkan baginda s.a.w daripada seluruh alam dan sekalian makhluk. Kegelapan membungkus jasad hinggakan pengaruh jasad tidak lagi menghijab hati nurani. Apabila terpisah daripada segala yang maujud, fitrah suci akan merdeka dari segala sesuatu kecuali Allah s.w.t. Cahaya fitrah yang suci lagi murni memancar dengan terang benderang menyuluh ke seluruh pelosok alam maya menyaksikan dengan jelas apa yang tidak mampu dipandang dengan mata. Tiap sesuatu menjadi terang benderang di dalam sinaran fitrah suci Nabi Muhammad s.a.w. Tidak ada satu zarah pun yang terlindung daripada pandangan mata hati baginda s.a.w. Semuanya jelas dan nyata namun, masih ada satu yang tidak dapat disingkap oleh fitrah, walaupun seseorang itu manusia suci.
Fitrah mampu menyingkap rahsia kemanusiaan sehingga manusia bisa membentuk tatasusila kehidupan yang sesuai untuk dijalani oleh semua umat manusia. Fitrah bisa membentuk sistem moral yang baik. Fitrah dapat menguruskan pentadbiran negara dan perdagangan. Fitrah dapat meneroka alam maya dan benda-benda alam. Tetapi apabila berhadapan dengan Pencipta manusia dan alam sekaliannya dan juga Pencipta fitrah itu sendiri maka fitrah hanya mampu berkata, “Allah!” dan masuk kepada penyerahan tanpa takwil.
Apa yang dilalui oleh Nabi Muhammad s.a.w di Gua Hiraa pernah dialami juga oleh Nabi Ibrahim a.s, sebagaimana diceritakan oleh al-Quran:
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Nabi Ibrahim kebesaran dan kekuasaan (Kami) di langit dan di bumi, dan supaya menjadilah ia dari orang-orang yang percaya dengan sepenuh-penuh yakin. Maka ketika ia berada pada waktu malam yang gelap, ia melihat sebuah bintang (bersinar-sinar), lalu ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Kemudian apabila bintang itu terbenam, ia berkata pula: “Aku tidak suka kepada yang terbenam hilang.” Kemudian apabila dilihatnya bulan terbit (menyinarkan cahayanya), ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Maka setelah bulan itu terbenam berkatalah ia: “Demi sesungguhnya, jika aku tidak diberikan petunjuk oleh Tuhanku, nescaya menjadilah aku dari kaum yang sesat”. Kemudian apabila ia melihat matahari sedang terbit (menyinarkan cahayanya), berkatalah ia: “Inikah Tuhanku? Ini lebih besar!” Setelah matahari terbenam, ia berkata pula: “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri (bersih) dari apa yang kamu sekutukan (Allah dengannya). Sesungguhnya aku hadapkan muka dan diriku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi, sedang aku tetap di atas dasar tauhid dan bukanlah aku dari orang-orang yang menyengutukan Allah (dengan sesuatu yang lain)”. ( Ayat 75 – 79 : Surah al-An’aam )
Tafakur membawa Nabi Ibrahim a.s berhujah dengan pemahaman-pemahaman yang menjadikan benda-benda alam sebagai tuhan-tuhan. Tafakur dan hujah berakhir pada tahap: “Aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan semua langit dan bumi. Aku hadapkan dengan fitrah yang hanif. Aku tidak mempersekutukan-Nya dengan apa-apa pun”. Tahap terakhir ini Allah s.w.t bukakan kepada para hamba-Nya yang Dia kehendaki. Hadapkan fitrah suci kepada-Nya dengan penuh keikhlasan tanpa mengadakan sebarang takwil mengenai-Nya dan tidak mengadakan sekutu bagi-Nya. Dia sendiri menentukan bila dan bagaimana Dia berkehendak mengadakan pembukaan kepada hamba-Nya.
Pada 17 Ramadan, tahun 41 daripada umur Nabi Muhammad s.a.w, datanglah malaikat Jibrail a.s membawa wahyu yang pertama daripada Tuhan Azza wa Jalla, sebagai menyempurnakan lagi fitrah Nabi Muhammad s.a.w, menaikkan fitrah insan kepada derajat fitrah Muslim, menjawab segala yang terkilan, menguraikan segala yang kusut dan membukakan segala yang tertutup. Sempurnalah kesempurnaan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim dipersiapkan untuk menanggung mahkota seluruh alam, menjadi penutup sekalian nabi-nabi, menjadi penyelamat umat manusia dan dunia seluruhnya, menjadi rahmat kepada sekalian alam dan menjadi kekasih Allah!
3: FITRAH (FIKIRAN, ILHAM DAN KASYAF) DAN WAHYU
________________________________________
Semua manusia berasal daripada diri yang satu yaitu Nabi Adam a.s. Sekalian yang lahir daripada Adam a.s dinamakan bangsa manusia. Tidak ada keturunan Adam a.s yang berbangsa hewan, tumbuh-tumbuhan atau gali-galian. Adam a.s dan keturunan beliau a.s menjadi manusia karena mereka semua memiliki kemanusiaan. Tidak ada manusia yang tidak memiliki kemanusiaan. Benih kemanusiaan yang pertama disemaikan pada kejadian Adam a.s dan kemudian benih tersebut ‘berjalan’ kepada Siti Hawa, ibu yang mulia dan diberkati dengan keturunan yang amat banyak. Ketika Adam a.s dan Ibu Hawa berada di dalam syurga benih kemanusiaan itu hanya aktif pada mereka berdua saja., tidak ‘membiak’. Setelah mereka dikeluarkan daripada syurga dan ditempatkan di bumi, di dalam dunia, barulah benih kemanusiaan itu menampakkan keupayaannya melahirkan generasi manusia. Benih kemanusiaan akan terus bekerja melahirkan manusia hingga ke hari kiamat. Apabila berlaku kiamat barulah benih kemanusiaan itu berhenti melahirkan manusia.
Bermulai daripada Adam a.s sampailah kepada manusia terakhir pada hari kiamat, benih kemanusiaan ‘berjalan’ terus, melahirkan keturunan manusia yang berpecah-pecah kepada berbagai-bagai bangsa, suku dan keluarga. Perjalanan benih tersebut sangat sempurna sehingga tidak berlaku kesilapan pada pekerjaannya. Jika benih kemanusiaan melakukan kesilapan nescaya ada ibu-ibu manusia yang melahirkan ikan, beruang, rambutan dan lain-lain. Kesempurnaan benih kemanusiaan menyebabkan manusia akan terus melahirkan manusia saja tidak bangsa lain.
Keturunan Adam a.s membiak melalui proses percantuman benih lelaki dengan benih perempuan. Walaupun pada zahirnya percantuman benih menjadi proses pembiakan keturunan manusia tetapi bukanlah benih lelaki dan benih perempuan itu yang mengawal kewujudan dan kesinambungan bangsa manusia. Adam a.s diciptakan bukan daripada benih lelaki atau benih perempuan namun, Adam a.s tetap memiliki kemanusiaan. Nabi Isa a.s diciptakan tanpa melalui proses percantuman benih lelaki dengan benih perempuan namun, Isa a.s tetap memiliki kemanusiaan. Setiap manusia tidak terlepas daripada kemanusiaan yang tidak dimengarti hakikatnya. Jika semua manusia bermulai dari Adam a.s hinggalah kepada manusia terakhir yang ada pada hari kiamat, dibedah untuk dikaji perihal kemanusiaan itu tentu sekali perbuatan tersebut hanya sia-sia saja. Tidak mungkin dijumpai hakikat kemanusiaan pada mana-mana manusia tetapi peranan dan pengaruhnya pada setiap manusia tidak dapat dipartikaikan.
Jika mau memahami tentang hakikat ia harus dilihat dari sumbernya. Sumber segala kejadian ada pada sisi Allah s.w.t. Allah s.w.t menciptakan makhluk-Nya menurut Iradat-Nya, dengan Kudrat-Nya dan sesuai dengan Ilmu-Nya. Apa juga yang Allah s.w.t berkehendak menciptakan sudah termaktub di dalam Ilmu-Nya. Apa yang pada sisi Allah s.w.t atau pada Ilmu-Nya itu dinamakan hakikat. Sebelum Allah s.w.t menciptakan alam dan benda-benda alam, hakikat alam dan hakikat-hakikat benda alam sudah pun ada pada Ilmu-Nya. Hakikat adalah kewujudan yang memerintah atau mengawal. Segala yang diciptakan Allah s.w.t, yang mengisi ruang alam, dikawal oleh hakikat masing-masing. Hakikat yang berhubung dengan kejadian manusia dinamakan Hakikat Manusia atau Hakikat Insan. Hakikat Insan mengawal kejadian manusia sejak manusia pertama hinggalah kepada manusia yang penghabisan. Apa juga yang dikawal oleh Hakikat Insan akan lahir sebagai manusia. Hakikat Malaikat mengawal kewujudan malaikat. Hakikat Hewan mengawal kewujudan hewan dan demikian juga dengan hakikat-hakikat yang lain. Hewan tidak bisa menjadi manusia dan manusia tidak bisa menjadi malaikat apa lagi menjadi Tuhan. Hakikat masing-masing tidak mengizinkan perkara yang demikian terjadi.
Dan engkau tidak sekali-kali akan mendapati perubahan bagi “Sunnatullah” itu. (Ayat 62 : Surah al-Ahzaab)
Tidak ada (sebarang) perubahan pada kalimat (janji-janji) Allah. ( Ayat 64 : Surah Yunus )
Tiada suatupun dari makhluk yang bergerak di muka bumi melainkan Allah jualah yang menguasainya. Sesungguhnya Tuhanku tetap di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud)
Hakikat adalah suasana pentadbiran Tuhan. Suasana pentadbiran Tuhan bukan makhluk. Oleh itu ia tidak bisa ditemui pada makhluk tetapi kehadirannya menguasai dan mengawal kewujudan dan kesinambungan kewujudan makhluk bisa dirasai. Akal yang sehat juga bisa mengakui kebenaran ini. Tanpa kawalan daripada alam hakikat nescaya berlaku huru-hara pada kejadian makhluk. Tentu sekali semua hewan mau menjadi buraq. Manusia dan jin mau menjadi malaikat. Semua orang mau lahir sebagai putera raja. Tetapi semua itu tidak berlaku karena benteng hakikat sangat teguh, tidak dapat dirobohkan oleh makhluk. Pada Hakikat Insan sudah ada maklumat yang jelas dan muktamad tentang kejadian semua manusia termasuklah giliran masing-masing masuk ke alam dunia ini.
Di antara semua hakikat-hakikat, hakikat yang menguasai manusia merupakan hakikat yang paling utama karena ia mengadakan hubungan yang istimewa di antara insan dengan Tuhannya.
(Ingatlah peristiwa) tatkala Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia - Adam - dari tanah. Kemudian apabila Aku sempurnakan kejadiannya, serta Aku tiupkan padanya roh dari (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu sujud kepadanya. ( Ayat 71 & 72 : Surah Saad )
Adam a.s ditempa daripada tanah. Bagian Adam a.s yang ditempa daripada tanah ini dinamakan jasad, tubuh badan atau diri yang zahir. Jasad yang dari tanah itu walaupun sudah sempurna kejadiannya, cukup lengkap dengan sekalian anggota namun, ia tetap kaku, tidak dapat bergerak, tidak merasakan apa-apa dan tidak dapat berkata-kata. Ia sudah mempunyai otak tetapi otaknya tidak dapat berfikir. Ia sudah mempunyai mata tetapi matanya tidak dapat melihat. Ia sudah mempunyai telinga tetapi telinganya tidak dapat mendengar. Ia hanyalah satu lembaga yang kaku. Tetapi sebaik saja ia menerima tiupan dari Roh Allah s.w.t segala-galanya berubah dengan serta merta. Otaknya mulai berfungsi. Mata, telinga dan semua anggotanya juga mulai berfungsi. Ia juga bisa merasa. Ia bukan lagi satu lembaga yang kaku tetapi ia sudah menjadi insan yang hidup, bisa berfikir, bisa berkata-kata, bisa bergerak dan bisa merasa. Keajaiban itu berlaku semata-mata karena tiupan dari Roh Allah s.w.t. Bagian Adam a.s yang menerima tiupan daripada Roh Allah s.w.t itu dinamakan Diri Batin atau rohani.
Roh Allah s.w.t bukanlah Allah s.w.t dan juga bukan nyawa yang menghidupkan Allah s.w.t. Allah s.w.t hidup dengan Zat-Nya, bukan dengan nyawa atau roh dan bukan juga dengan sifat hidup. Sifat hidup bergantung kepada Allah s.w.t tetapi Allah s.w.t tidak bergantung kepada sifat hidup. Roh Allah s.w.t sama halnya separti Tangan Allah s.w.t, Kalam Allah s.w.t, Pendengaran Allah s.w.t dan lain-lain yang dinisbahkan kepada-Nya. Semuanya bukanlah Allah s.w.t tetapi adalah keadaan atau sifat atau misal atau ibarat yang memperkenalkan Diri-Nya sekadar layak Dia dikenali oleh makhluk-Nya. Hakikat Diri-Nya yang sebenar tidak mampu disifatkan, diibaratkan atau dimisalkan karena Dia adalah:
Tiada sesuatupun yang sebanding dengan (Zat-Nya, sifat-sifat-Nya dan pentadbiran)-Nya, ( Ayat 11 : Surah asy-Syura )
Sekalipun Dia tidak bisa disifatkan tetapi Dia adalah:
Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat ( Ayat 11 : Surah asy-Syura )
Allah s.w.t sendiri mengatakan Dia Mendengar dan Melihat. Dia mengadakan penyifatan setelah terlebih dahulu Dia menafikan segala bentuk penyifatan. Dia tidak serupa dengan apa saja yang terlintas di dalam fikiran, cita-cita dan khayalan manusia. Dia tidak serupa dengan apa juga yang nyata dan yang ghaib, yang zahir dan yang batin. Bila Dia mengatakan Dia Mendengar dan Melihat maka Mendengar dan Melihat-Nya tidak serupa dengan apa juga keadaan mendengar dan melihat yang diketahui atau tidak diketahui oleh manusia. Bila Dia mengatakan Dia Berkata-kata maka Kalam-Nya tidak serupa dengan apa juga bentuk percakapan baik yang bisa difikirkan oleh manusia mau pun yang tidak bisa difikirkan oleh manusia. Perkataan Allah s.w.t tidak serupa dengan apa juga bentuk perkataan. Kalam-Nya tidak berhuruf dan tidak bersuara. Apabila Dia tujukan firman-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w yang berbangsa Arab, digubah-Nya Kalam-Nya dalam bahasa Arab yang berhuruf dan bersuara dan Dia masih menisbahkan Kalam-Nya yang berhuruf dan bersuara dalam bahasa Arab itu sebagai Kalam-Nya. Oleh karena Dia sendiri memperakui yang demikian adalah Kalam-Nya siapapun menafikannya adalah kufur, tetapi siapapun mengatakan Allah s.w.t bercakap dalam bahasa Arab maka terlebih kufur lagi keadaannya. Konsep nafi dan isbat tidak bisa dipisahkan apabila memperkatakan tentang Allah s.w.t pada aspek yang disifatkan. Apabila Allah s.w.t memperkenalkan Diri-Nya kepada manusia maka Dia wujudkan penyifatan yang mampu diterima oleh manusia, sesuai dengan keupayaan mengenal yang ada dengan manusia, tetapi Yang Haq itu melampaui apa yang disifatkan. Aspek Allah s.w.t yang disifatkan merupakan pintu atau perantaraan yang menghubungkan hamba dengan Allah s.w.t yang tidak mampu disifatkan. Sekalipun Allah s.w.t memperkenalkan Diri-Nya melalui sifat-sifat yang diketahui oleh manusia tetapi mengadakan lembaga bagi Allah s.w.t adalah sesat yang nyata. Siapapun yang menjadi jelas kepadanya konsep nafi dan isbat sesungguhnya dia telah memperolehi nikmat yang tidak terhingga nilainya.
Tiada Tuhan melainkan Allah
Roh Allah s.w.t adalah perantaraan yang karenanya manusia memperolehi kehidupan. Roh Allah s.w.t adalah suasana pentadbiran Allah s.w.t yang mengawal bidang kehidupan. Adam a.s memperolehi sifat hidup karena tiupan Roh Allah s.w.t atau Hakikat Roh yang ada pada sisi Allah s.w.t. Apabila keturunan Adam a.s berkembang biak kesemua mereka tidak terlepas daripada kawalan Hakikat Roh yang menjadi sumber kepada penghidupan yang bermulai dengan penghidupan Adam a.s. Walau berapa banyak sekalipun manusia diciptakan mereka tetap menerima kehidupan daripada sumber yang sama yaitu suasana pentadbiran Allah s.w.t yang diistilahkan sebagai Roh-Nya atau Hakikat Roh. Suasana ketuhanan itu mempunyai bakat dan keupayaan untuk menghidupkan setiap jasad secara berasingan dan bebas daripada jasad-jasad yang lain. Setiap jasad memiliki keupayaan untuk hidup sendiri, walaupun ada jasad yang mengalami kematian namun jasad-jasad lain terus juga hidup. Jasad yang sudah diciptakan bisa juga hidup sekalipun masih banyak lagi jasad yang belum dizahirkan.
Adam a.s dan keturunan beliau a.s diciptakan dengan bermatlamat:
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”. ( Ayat 30 : Surah al-Baqarah )
Adam a.s dan keturunan beliau a.s yang dibangsakan sebagai manusia diciptakan Allah s.w.t untuk dijadikan khalifah di bumi. Khalifah bisa diartikan menurut beberapa pengartian. Pada pengartian pertama khalifah bermaksud pengganti kepada makhluk yang telah pupus. Satu ketika dahulu bumi ini pernah didiami oleh satu bangsa makhluk tetapi makhluk tersebut telah dibinasakan oleh Allah s.w.t karena mereka berbuat derhaka kepada Allah s.w.t. Sejak makhluk bangsa tersebut pupus tidak ada lagi makhluk berakal yang mendiami bumi. Adam a.s diciptakan untuk menggantikan bangsa yang telah pupus itu. Khalifah pada makna yang kedua bermaksud pengganti Rasulullah s.a.w, yang menjadi pemimpin umat Islam setelah baginda s.a.w wafat. Khalifah dalam segi ini ada dua kategori yaitu khalifah rasyidin (yang dipimpin) dan khalifah umum. Saidina-saidina Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali termasuk dalam golongan khalifah rasyidin yang mendapat pimpinan Allah s.w.t dan dijamin kebenaran mereka. Pimpinan mereka mendapat keredaan Allah s.w.t. Perbuatan dan perkataan khalifah rasyidin bisa dijadikan rujukan dalam pembentukan hukum-hukum agama, selepas al-Quran dan as-Sunah. Khalifah yang selain mereka tidak memiliki derajat yang demikian. Pada makna yang ke tiga pula khalifah bermaksud makhluk atau golongan yang memiliki ciri-ciri khusus mengatasi semua makhluk atau golongan lain. Ia bermaksud bangsa manusia yang memiliki bakat-bakat serta keupayaan melebihi makhluk lain dalam menguruskan hal-ihwal di bumi yang meliputi kehidupan manusia sendiri dan juga makhluk yang lain.
Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam; dan Kami telah beri mereka menggunakan berbagai-bagai kenderaan di darat dan di laut; dan Kami memberikan rezeki kepada mereka dari benda-benda yang baik-baik serta Kami telah lebihkan mereka dengan selebih-lebihnya atas banyak makhluk-makhluk yang telah Kami ciptakankan. ( Ayat 70 : Surah Bani Israil )
Bangsa manusia dibekalkan dengan bakat-bakat dan keupayaan semulajadi yang melebihkan mereka daripada makhluk yang lain sehingga mereka bisa memimpin makhluk lain di bumi atau menjadi khalifah di bumi. Bakat kekhalifahan sudah dibekalkan kepada manusia sejak manusia pertama diciptakan.
Dan Ia telah mengajarkan Nabi Adam, akan nama benda-benda dan gunanya, (Ayat 31 : Surah al-Baqarah)
Allah s.w.t membekalkan kepada Adam a.s bakat kekhalifahan sesuai dengan tujuan beliau a.s diciptakan. Bakat kekhalifahan yang dibekalkan kepada Adam a.s dan bangsa manusia itu dinamakan fitrah manusia. Makhluk lain juga dibekalkan dengan fitrah masing-masing tetapi fitrah yang dikurniakan kepada bangsa manusia adalah yang paling utama dan paling sempurna. Pada fitrah manusia terkumpul semua fitrah kejadian alam. Lantaran itu manusia berpengetahuan tentang tabeat makhluk yang lain separti malaikat, hewan, angin, tumbuh-tumbuhan, syaitan dan lain-lain. Fitrah manusia yang bersifat universal itu membuat manusia bisa memakai sifat-sifat anasir alam yang lain. Mereka bisa bersifat separti malaikat atau syaitan atau hewan atau pun membeku separti galian. Fitrah itu juga membuat manusia bisa mengambil manfaat daripada anasir alam. Mereka bisa menciptakan kenderaan udara dan terbang separti burung dan kenderaan air untuk berenang separti ikan apa lagi kenderaan darat untuk mereka bergerak separti kuda.
Alat penting yang ada dengan manusia dalam menjalankan tugas kekhalifahan adalah beberapa bakat fitrah insan yang ada dengan mereka. Bakat fitrah yang pertama adalah akal fikiran. Melalui bakat fitrah akal ini manusia mampu membentuk kehidupan yang teratur dan juga mampu mengambil manfaat daripada benda-benda alam yang ada di sekeliling mereka. Daya fikir yang menjadi bakat fitrah ini berkait rapat dengan satu lagi bakat fitrah yaitu ilham. Ilham sebagai bakat fitrah tahap ke dua adalah lebih seni daripada akal fikiran. Ilham menjadi pencetus atau penggerak kepada daya fikir untuk meneroka dan mengembangkan apa yang dicetuskan oleh ilham itu.
Bakat fitrah yang ke tiga diceritakan oleh al-Quran:
Dan Ia telah mengajarkan Nabi Adam, akan segala nama benda-benda dan gunanya, kemudian ditunjukkannyakan kepada malaikat lalu Ia berfirman: “Terangkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu semuanya, jika kamu golongan yang benar”. Malaikat menjawab: “Maha Suci Engkau (Ya Allah)! Kami tidak mempunyai pengetahuan selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau jualah Yang Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana”. Allah berfirman: “Wahai Adam! Terangkanlah nama benda-benda ini semua kepada mereka”. Maka setelah Nabi Adam menerangkan nama benda-benda itu kepada mereka, Allah berfirman: “Bukankah telah Aku katakan kepada kamu bahwasanya Aku mengetahui segala rahsia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan”. ( Ayat 31 – 33 : Surah al-Baqarah )
Allah s.w.t mengetahui rahsia semua langit dan bumi. Dia mengetahui yang nyata dan yang disembunyikan. Sebagian daripada pengetahuan tersebut Allah s.w.t simpankan pada fitrah Adam a.s sebagaimana firman-Nya yang bermaksud: “Dan Kami ajarkan kepada Adam nama-nama sekaliannya”. Maksud nama di sini adalah nama beserta segala maklumat yang terperinci yang berkait dengan yang dinamakan itu. Bakat fitrah yang mengetahui sebagian daripada yang nyata dan yang disembunyikan mengikut apa yang dibekalkan oleh Allah s.w.t itu dinamakan kasyaf. Pengetahuan Adam a.s melalui kekuatan kasyaf melebihi pengetahuan malaikat.
Keistimewaan yang ada pada fitrah insan adalah karena perkaitannya dengan tiupan Roh Allah s.w.t.
.. lalu Aku tiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu sujud kepadanya. (Ayat 72 : Surah Saad)
Dan (ingatlah) tatkala Kami berfirman kepada malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam!” ( Ayat 34 : Surah al-Baqarah )
Semua makhluk termasuk malaikat diperintahkan sujud kepada Adam a.s karena fitrah Adam a.s ada perkaitan dengan tiupan Roh Allah s.w.t. Kadang-kadang istilah ‘Rahsia’ atau ‘Rahsia Allah s.w.t’ digunakan oleh orang sufi bagi menceritakan maksud ‘tiupan Roh Allah s.w.t’ itu. Istilah Rahsia digunakan bagi menerangkan bahwa ‘tiupan Roh Allah s.w.t’ bukanlah sesuatu yang bisa diuraikan dengan jelas. Ia adalah sebenarnya rahsia karena jarang manusia yang diberi pengetahuan tentangnya dan kumpulan sedikit yang diberi pengetahuan itu tidak mampu menguraikannya dengan jelas kepada orang lain. Pemahaman itu ditanamkan sebagai keyakinan bukan uraian akal. Rahsia Allah s.w.t itulah yang membuka medan perhubungan di antara Allah s.w.t dengan hamba-Nya. Rahsia Allah s.w.t itulah yang menanamkan kepemahaman tentang Allah s.w.t yang “ ”; Allah Mendengar dan Melihat; Allah Maha Esa dan berbagai-bagai aspek ketuhanan.
Orang sufi banyak menggunakan istilah yang maksudnya kurang jelas bagi orang awam sedangkan istilah yang demikian tidak ditemui pada zaman Rasulullah s.a.w. Perlu diketahui bahwa huruf dan perkataan adalah alat untuk menyampaikan maksud. Kadang-kadang huruf dan perkataan gagal menyampaikan maksud yang tersirat. Apabila ia gagal menyampaikan maksud ia menjadi tabir yang menyembunyikan maksud. Ayat yang serupa apabila diucapkan oleh orang yang berlainan bisa membawa pengartian yang berbeda. Jika seorang jejaka asing berkata kepada seorang gadis, ‘Aku cinta padamu,’ ia tidak menyampaikan maksud yang jelas kepada gadis tersebut, tetapi jika kekasihnya yang mengucapkan demikian si gadis itu akan mendapat maksud yang jelas. Walaupun ayat yang serupa digunakan tetapi perbedaan orang yang mengatakannya membawa pengartian yang berbeda-beda.
Hanya sebilangan kecil saja yang dapat mengeluarkan ucapan yang maksud sebenarnya masuk terus kepada pemahaman si pendengar. Golongan yang paling arif dalam bidang tersebut adalah para nabi dan yang terutama di antara mereka adalah Nabi Muhammad s.a.w. Apabila Nabi Muhammad s.a.w menyampaikan sesuatu perkara maka maksud yang sebenar terus tertanam dan terpahat dalam hati si pendengar. Apabila baginda s.a.w mengatakan, “Allah Mendengar dan Melihat,” maka maksud Allah Mendengar dan Melihat itu menjadi jelas pada pemahaman orang yang menerima pengajaran daripada baginda s.a.w, hinggakan uraian lanjut tidak diperlukan karena orang berkenaan benar-benar mengarti apa yang baginda s.a.w maksudkan. Kaum Muslimin beriman kepada perkataan Rasulullah s.a.w yang melahirkan kepemahaman pada mereka dan mereka tidak perlu bertakwil lagi. Perkataan yang keluar secara langsung daripada mulut Rasulullah s.a.w berkekuatan menghancurkan hijab, membuka keghaiban dan menyampaikan maksud yang tersirat, melebihi apa juga bentuk amalan menghancurkan hijab atau menyingkap keghaiban yang dilakukan oleh siapapunpun, sama ada ahli ibadat atau ahli suluk. Sebab itu para sahabat baginda s.a.w tidak perlu menjalani latihan khusus separti berkhalwat atau bersuluk. Apabila Rasulullah s.a.w mengatakan, “Allah lebih hampir kepada kamu dari urat leher kamu sendiri”, maka para sahabat mendapat kepemahaman yang jitu tentang kehampiran Allah s.w.t yang baginda s.a.w maksudkan itu. Mereka tidak memerlukan ulasan karena perkataan yang keluar secara langsung dari mulut Rasulullah s.a.w memberi kepemahaman yang lebih jelas daripada apa juga bentuk dan cara penjelasan. Perkataan Rasulullah s.a.w sudah membukakan rahsia dan yang tersembunyi berhubung apa yang baginda s.a.w katakan, maka tidak ada keperluan kepada istilah tambahan, yang rahsia atau yang samar-samar.
Semakin jauh zaman meninggalkan Rasulullah s.a.w semakin berkurangan kekuatan perkataan yang diucapkan oleh manusia, walaupun mereka menggunakan bahasa dan perkataan yang pernah baginda s.a.w ucapkan. Ayat al-Quran yang dibaca pada hari ini sama dengan ayat al-Quran yang dibacakan oleh Rasulullah s.a.w dahulu tetapi tidak ada manusia pada hari ini dapat membacakan al-Quran dengan cara menyampaikan maksud sebenar dan setepat yang dibacakan itu kepada pendengar sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Guru-guru hari ini perlu mencari kekuatan tambahan kepada perkataan mereka dengan memperbanyakkan perkataan yang diperkatakan dalam bentuk terjemahan, uraian, tafsiran, ulasan, perumpamaan dan sebagainya. Apabila sampai kepada perkara-perkara ghaib dan tersembunyi guru perlu mengadakan pintu untuk menahan murid yang belum layak merempuh ke hadapan dan sebagai jalan masuk kepada murid yang sudah layak. Pintu tersebut adalah istilah-istilah yang baru digunakan, yang tidak digunakan sebelumnya. Ia menjadi sempadan memisahkan yang khusus daripada yang awam. Di antara istilah baru itu adalah Rahsia Allah s.w.t yang menceritakan tentang perkaitan insan dengan tiupan Roh Allah s.w.t. Istilah tersebut menyekat orang awam daripada mencari-cari maksud yang tersirat dan istilah itu juga menjadi stesen loncatan bagi mereka yang memperolehi kepemahaman tentang perkara tersebut. Kepemahaman yang diperolehi itu adalah kepemahaman yang tidak dapat diuraikan, tetapi dimengarti halnya dan melaluinya orang khusus maju terus dalam mengenal Allah s.w.t.
Allah s.w.t mengurniakan fitrah sejagat kepada manusia karena mereka memikul amanah serta beban tugas yang suci lagi mulia:
(Allah bertanya dengan firman-Nya): “Bukankah Aku Tuhan kamu?” Mereka semua menjawab: “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Ayat 172 : Surah al-A’raaf)
Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepada-Ku. ( Ayat 56 : Surah adz-Dzaariyaat )
Fitrah manusia bukan sekadar berperanan dalam mentadbir penghidupan menurut tabiat semulajadi kemanusiaan malah lebih penting lagi ia adalah persediaan buat manusia melakukan kehambaan (ubudiah) terhadap Allah s.w.t.
Manusia yang bergerak dalam sekop fitrahnya mampu memperolehi maklumat melalui akal fikiran, ilham dan kasyaf. Pancaindera dan fikiran bergabung di dalam mendapatkan maklumat mengenai perkara yang zahir. Maklumat yang diperolehi dengan cara ini bisa dikembangkan oleh akal fikiran dengan menggunakan hukum logik dan formulai-formulai yang dapat disusun oleh akal fikiran. Kebisaan berfikir yang dihasilkan oleh fitrah manusia mampu membawa manusia meneroka segala bidang lahiriah separti sains, teknologi maklumat, matematik, astronomi, kedoktoran, pentadbiran negara dan lain-lain. Sempadan bagi akal fikiran adalah logik. Ia tidak mampu mengolah sesuatu yang telah keluar daripada daerah logik.
Bakat-bakat fitrah merupakan kenyataan kepada firman Tuhan yang bermaksud: “Dan telah diajarkan kepada Adam nama-nama semuanya”. Segala maklumat yang perlu bagi manusia menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi sudah pun ada pada fitrahnya. Proses pembelajaran, pengalaman, penyelidikan dan sebagainya merupakan cara mencungkil maklumat yang tersimpan di dalam khazanah fitrah, bukan membawa masuk maklumat yang baru. Pada satu tahap, maklumat di dalam khazanah fitrah dicungkil melalui cara berfikir. Kebisaan berfikir ini dikuasai oleh semua manusia kecuali orang gila.
Apa yang Tuhan ajarkan kepada Adam a.s (dan manusia sekaliannya) bukan sekadar penggunaan akal fikiran. Apabila fitrah sampai kepada puncakk kekuatan berfikir yang dimilikinya yaitu apabila hukum logik gagal memberi uraian maka fitrah beralih kepada bakat keduanya yaitu ilham. Bidang ilham sesuai untuk diterokai oleh mereka yang fitrahnya bebas daripada hukum logik, yaitu tarikan anasir alam, pengaruh kebendaan dan hawa nafsu. Kebanyakan yang termasuk di dalam golongan ini adalah ahli falsafah yang telah membebaskan hati mereka daripada sempadan kebendaan. Bila hati sudah berjaya melepaskan diri daripada kongkongan kebendaan dapatlah ia masuk ke dalam bidang ilham yang berada di sebalik alam kebendaan. Ilham membuka kepemahaman tentang unsur ghaib yang mempengaruhi perjalanan kehidupan yang zahir.
Ilham bisa dibagikan kepada dua jenis yaitu ilham ahli falsafah dan ilham ahli sufi (ahli kerohanian). Ahli falsafah menggunakan kekuatan dirinya untuk berjuang menentang hawa nafsu dan membebaskannya daripada tarikan anasir-anasir alam. Bila telah berjaya berbuat demikian rohaninya mampu memandang kepada keghaiban yang menyelimuti alam zahir. Dia dapat menyaksikan tenaga ghaib yang membentuk sistem dan mempengaruhi perjalanan segala yang zahir. Di sebalik semua itu dia dapat melihat kesempurnaan: kesempurnaan peraturan dan perjalanan alam maya dan kesempurnaan Pencipta segala kesempurnaan itu. Renungan ahli falsafah berakhir dengan pengakuan tentang wujudnya kekuasaan Mutlak yang mencipta dan mengatur perjalanan alam ini. Kelarutan (kefanaan) di dalam kesempurnaan itu menjadikan ahli falsafah mencintai yang sempurna dan bergerak membentuk kesempurnaan di dalam kehidupan ini.
Ahli sufi pula di samping berjuang menentang hawa nafsu dan tuntutan badaniah dia juga membenamkan dirinya ke dalam zikir atau ingatan kepada Allah s.w.t secara terus menerus. Pergantungannya tidak terlepas daripada Tuhan. Apabila dia berjaya di dalam perjalanannya dia berjaya di dalam keadaan ingat dan bergantung kepada Allah s.w.t. Oleh itu ilham yang terbuka kepadanya lebih berkaitan dengan Tuhan daripada makhluk Tuhan. Perhatiannya terhadap makhluk, termasuklah dirinya sendiri, mengecil dan perhatiannya kepada Tuhan membesar. Jika ilham ahli falsafah lebih tertumpu kepada kesempurnaan dan kerapian penciptaan yaitu perbuatan Tuhan, ilham ahli sufi pula tertumpu kepada keelokan dan kesempurnaan sifat Tuhan yang menciptakan segala kesempurnaan dan keelokan itu. Ilham ahli falsafah melahirkan rasa kekaguman terhadap Pencipta sementara ilham ahli sufi pula melahirkan rasa kehampiran dan keasyikan terhadap Pencipta Yang Maha Indah lagi Maha Sempurna. Ilham sufi bukan sekadar melahirkan pengakuan dan keasyikan terhadap Yang Maha Mencipta dan Maha Mengatur, malah ahli sufi juga memperolehi keyakinan tentang kedudukannya pada taraf kehambaan yang perlu membuktikan kehambaan itu, tetapi ilham sufi tidak mampu membuka rahsia ketuhanan dan tidak berupaya membentuk cara pengabdian kepada Tuhan sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.
Fitrah tidak mengaku kalah pada tahap ilham. Ia maju lagi meneroka lebih tinggi dengan menggunakan bakatnya yang ke tiga yaitu kasyaf. Kasyaf adalah terbukanya perkara ghaib kepada alam perasaan dan penyaksian mata hati. Apa yang difikirkan dan ditemui melalui ilham dapat dirasakan atau disaksikan melalui kasyaf. Bidang kasyaf membuka perkara yang tersembunyi disebalik yang nyata dan juga membuka bidang alam ghaib yang tidak dapat dipandang dengan mata, tidak dapat difikirkan dan dikhayalkan dan terkeluar dari medan logik. Bidang kasyaf memungkinkan seseorang memperolehi pengetahuan tentang alam rohani separti Alam Jin, Alam Barzakh, syurga dan neraka. Kasyaf bisa meneroka lebih jauh kepada suasana yang dinisbahkan kepada ketuhanan. Suasana ketuhanan yang dibukakan kepada ahli kasyaf adalah sebagai perkenalan dari Tuhan kepada hamba. Oleh karena Tuhan adalah: “ ” maka suasana yang dinisbahkan kepada ketuhanan atau diibaratkan kepada Tuhan yang dibukakan kepada ahli kasyaf adalah dalam bentuk misal, ibarat atau penyifatan. Suasana misal yang disaksikan itu menanamkan kepemahaman tentang Tuhan yang tidak bisa dimisalkan.
Pengetahuan yang diperolehi secara fikiran dan ilham dipanggil makrifat (pengenalan) secara ilmu. Pengetahuan yang diperolehi secara kasyaf pula dinamakan makrifat secara zauk atau penyaksian mata hati. Apabila kasyaf sampai kepada puncakk penyaksiannya maka tiada apa lagi yang dapat disaksikan. Kasyaf pada tahap ini hanya merasakan dengan penuh yakin tanpa menyaksikan tentang Wujud Tuhan yang tanpa misal, tanpa sifat, tanpa ibarat dan tidak bisa dikatakan apa-apa karena Allah s.w.t adalah :
Medan kasyaf yang sangat luas itu diterokai oleh sufi yang telah membuang segala kepentingan diri sendiri lantaran kecintaan mereka kepada Allah s.w.t. Melalui kasyaf, yang paling tinggi dapat disaksikan adalah suasana atau keadaan yang dinisbahkan kepada Tuhan tetapi bukanlah Tuhan. Apabila melepasi tahap penyaksian kasyaf sampai kepada batasan terakhir yaitu merasai secara zauk Wujud Tuhan yang tidak dapat disifatkan dan Dia Maha Esa, tiada sesuatu beserta-Nya. Puncakk kasyaf adalah kejahilan di mana tidak ada lagi bahasa yang mampu bercerita tentang Tuhan. Ahli kasyaf yang masuk kepada tahap ini berada dalam suasana yang dipanggil keheran-heranan di mana dia merasakan telah mengenal Tuhan tetapi tidak mampu menyingkap pengenalan tersebut. Dia dikatakan faham tanpa sesuatu kepemahaman dan tahu tanpa sesuatu pengetahuan.
Kasyaf tidak tahu menyebut Allah s.w.t sebagaimana Dia mau disebut. Kasyaf tidak tahu menceritakan Allah s.w.t sebagaimana yang Dia mau diceritakan. Kasyaf tidak berupaya memperkenalkan Allah s.w.t sebagaimana Dia mau Diri-Nya dikenali. Kasyaf juga tidak tahu bentuk pengabdian yang Allah s.w.t maukan dari hamba-Nya. Kasyaf tidak dapat mengajar manusia cara menyembah Allah s.w.t. Jadi, fitrah manusia dengan segala bakat-bakatnya tidak dapat membuka Kebenaran Hakiki mengenai Allah s.w.t. Dalam soal ini fitrah sampai kepada keadaan mesti tunduk, patuh dan taat dengan seluruh penyerahan kepada Allah s.w.t dan menyatakan hajat kepada bimbingan yang langsung daripada-Nya serta bermohon agar Dia sendiri membuka Yang Haq itu.
Hanya Allah s.w.t bisa menyatakan apa yang Dia kehendaki. Hanya Dia yang berhak menentukan cara pengabdian dan penyembahan kepada-Nya. Hanya Dia yang mampu memperkenalkan Diri-Nya sebagaimana yang Dia mau. Dalam perkara ini manusia tidak ada pilihan melainkan berhajat kepada WAHYU yang datang dari Allah s.w.t sendiri bagi menghakimkan fikiran, ilham dan kasyaf. Kebenaran yang dikatakan oleh wahyu itulah yang kebenaran sejati, yang paling benar, tidak bisa dijabar oleh fikiran, ilham dan kasyaf. Tugas fikiran, ilham dan kasyaf adalah membuktikan kebenaran wahyu bukan mencari kebenaran yang lain daripada itu.
Tanpa bimbingan wahyu manusia membentuk berbagai-bagai kepercayaan dan cara menyembah Tuhan. Golongan yang hanya menggunakan akal hanya berminat dengan perkara kebendaan. Golongan ini kurang berminat tentang Tuhan. Dari kalangan mereka muncul golongan ateis yang tidak percaya kepada Tuhan dan perkara ghaib. Dari kalangan ahli falsafah pula muncul ideologi idealisma yang kemudiannya diterima oleh orang banyak sebagai agama. Agama yang muncul melalui cara ini berasaskan fitrah kemanusiaan semata-mata. Golongan ini melihat kesempurnaan yang diletakkan oleh Pencipta kepada kejadian alam tetapi keadaan Pencipta itu sendiri tertutup kepada mereka. Oleh yang demikian perhatian mereka kuat tertuju kepada kejadian alam. Apabila sikap menghormati dan mencintai anasir alam sudah berlebihan ia bertukar menjadi penyembahan. Kesudahannya muncullah agama yang mengadakan anasir alam sebagai sekutu Tuhan. Golongan sufi yang belum matang pula mendapat gambaran yang tidak tepat tentang Tuhan. Di dalam golongan ini bukan saja terdapat kaum Muslimin yang memasuki jalan sufi, ia termasuk juga penganut kepercayaan lain yang membuat latihan tarekat menurut kepercayaan mereka. Bila alam ghaib terbuka kepada mereka, biasanya di samping melihat kesempurnaan sifat Tuhan mereka juga melihat kesempurnaan diri sendiri yang ditempa oleh Tuhan. Sebagian daripada mereka terdorong ke dalam rasa takjub dan taasub terhadap kesempurnaan diri, lalu melihat sifat ketuhanan pada diri. Dari golongan mereka muncullah golongan yang mempertuhankan Isa al-Masih, Uzair, Buddha dan lain-lain. Ada pula yang mempertuhankan diri sendiri. Banyak lagi kekeliruan yang muncul dalam akidah manusia apabila mereka tidak bersandar kepada wahyu. Kebenaran yang sejati tentang Tuhan dan cara menyembah-Nya hanya bisa didapati daripada wahyu.
Bangsa manusia telah memilih seorang wakil yang paling sempurna dari kalangan mereka, seorang insan yang paling tinggi kecerdasan akalnya, paling luas medan ilhamnya dan paling terang suluhan kasyafnya. Wakil yang sempurna itu adalah Nabi Muhammad s.a.w. Sebelum wahyu datang wakil yang sempurna itu telah menjalani latihan khalwat di Gua Hiraa. Melalui proses tersebut kesempurnaan baginda s.a.w menjadi lebih sempurna tetapi kesempurnaan yang paling sempurna itu pun tetap tunduk kepada hukum Allah s.w.t yaitu berhajat kepada jawaban dan bimbingan yang langsung daripada-Nya, tidak mampu diteka oleh akal, tidak mampu diurai oleh ilham dan tidak mampu disuluh oleh kasyaf walaupun kesemua bakat-bakat tersebut berada di dalam kesempurnaan. Apabila Allah s.w.t mendatangkan jawaban dengan wahyu-Nya barulah hilang segala kesamaran dan kekusutan dan tersingkaplah hijab yang menutupi Yang Haq! Fikiran, ilham dan kasyaf wajib akur dengan apa yang wahyu kata karena wahyu itulah Kalam al-Hak. Pada tanggal 17 Ramadan, tahun 41 dari usia Nabi Muhammad s.a.w, wahyu yang pertama menyinari fitrah suci baginda s.a.w. Terbukalah era baru di dalam kehidupan manusia dan penduduk seluruh alam. Yang samar telah terang. Yang tertutup telah terbuka. Yang terhijab telah tersingkap. Yang tidak bisa diperkatakan sudah bisa diperkatakan. Yang Haq telah nyata tanpa ragu-ragu lagi.
4: RASULULLAH S.A.W DAN PARA SAHABAT FANA DALAM WAHYU BAQA DALAM UBUDIAH
________________________________________
Pada hari Isnin 17 Ramadan bersamaan 6 Ogos tahun 610 Masehi, ketika Nabi Muhammad s.a.w berusia 40 tahun, 6 bulan dan 8 hari, datanglah malaikat Jibrail a.s kepada baginda s.a.w yang sedang berkhalwat di Gua Hiraa. Jibrail a.s yang muncul secara tiba-tiba itu terus berkata: “Baca!” Nabi Muhammad s.a.w menjawab: “Saya tidak tahu membaca”. Jibrail a.s terus menangkap Nabi Muhammad s.a.w. Diserkupnya baginda s.a.w dengan kain rida’ dan dipeluknya sehingga baginda s.a.w mengalami kesukaran untuk bernafas. Kemudian dilepaskannya dan disuruhnya baginda s.a.w membaca separti mulainya. Baginda s.a.w masih mengatakan tidak tahu membaca. Sekali lagi Jibrail a.s menangkap Nabi Muhammad s.a.w dan dilakukannya separti mulai-mulai tadi. Pelukan Jibrail a.s kali ini lebih erat daripada yang pertama tadi, menyebabkan baginda s.a.w hampir-hampir tidak dapat bernafas. Kemudian baginda s.a.w dilepaskan oleh Jibrail a.s dan disuruhnya lagi baginda s.a.w membaca. Baginda s.a.w masih mengatakan tidak tahu membaca. Buat kali ke tiga Jibrail a.s menangkap Nabi Muhammad s.a.w, menutup baginda s.a.w dengan kain rida’ dan memeluk baginda s.a.w dengan erat. Perbuatan yang demikian sangat memayahkan baginda s.a.w bernafas. Setelah melepaskan baginda s.a.w buat kali ke tiganya, Jibrail a.s membacakan firman Allah:
Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian makhluk). Ia menciptakan manusia dari segumpal darah beku. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, - Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, - Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. ( Ayat 1 – 5 : Surah al-‘Alaq )
Termetrailah wahyu pertama di dalam dada Nabi Muhammad s.a.w. Sekali Jibrail a.s membacakan wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w, wahyu tersebut akan melekat, terpahat pada hati baginda s.a.w, tidak akan hilang atau pudar buat selama-lamanya. Baginda s.a.w mengikuti bacaan Jibrail a.s dengan fasih. Setiap huruf dan ayat yang baginda s.a.w bacakan membuka segala tutupan dan menguraikan segala simpulan yang tidak mampu diuraikan oleh fitrah baginda s.a.w selama baginda s.a.w berkhalwat di Gua Hiraa. Apa yang tidak mampu disingkap oleh akal dan renungan batin sudah terjawab dengan kedatangan wahyu. Kebenaran yang disampaikan oleh wahyu adalah kebenaran yang muktamad.
Nabi Muhammad s.a.w menerima perkhabaran wahyu dengan sepenuh jiwa raga tanpa sebarang keraguan walaupun sebesar zarah. Baginda s.a.w yakin penuh dengan kebenaran berita dan janji yang wahyu sampaikan. Wahyu senantiasa turun membimbing baginda s.a.w serta memberi ketetapan hati, meneguhkan kepercayaan dan pendirian baginda s.a.w di dalam melaksanakan amanah yang Allah s.w.t serahkan kepada baginda s.a.w. Tempoh wahyu turun kepada baginda s.a.w adalah 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.
Wahyu turun kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui tujuh cara. Cara yang pertama adalah mimpi yang benar. Apabila baginda s.a.w melihat sesuatu di dalam mimpi, pandangan yang kelihatan adalah terang separti cuaca subuh. Apa yang baginda s.a.w saksikan di dalam mimpi benar-benar berlaku. Wahyu cara ke dua dihantarkan oleh malaikat kepada hati baginda s.a.w. Baginda s.a.w mengetahui sesuatu secara spontan, tanpa berfikir atau merenung. Wahyu cara ke tiga dibawa oleh malaikat Jibrail a.s yang menggunakan bentuk misal. Contohnya Jibrail a.s pernah memakai rupa salah seorang daripada sahabat Rasulullah s.a.w yang elok wajahnya yaitu Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Sahabat inilah yang kemudian hari menjadi wakil Rasulullah s.a.w menyampaikan surat baginda s.a.w kepada Heraklius, penguasa kerajaan Roman Timur. Wahyu cara ke empat pula datang kepada Rasulullah s.a.w separti suara loceng. Wahyu cara inilah yang paling berat dan memenatkan baginda s.a.w. Baginda s.a.w pernah berpeluh pada musim dingin tatkala menerima kedatangan wahyu cara ke empat ini. Pernah satu ketika paha Rasulullah s.a.w sedang menindih paha Zaid bin Sabit ketika wahyu yang separti suara loceng ini turun kepada baginda s.a.w. Zaid merasakan seolah-olah pahanya akan pecah menanggung paha Rasulullah s.a.w yang sedang menerima wahyu tersebut. Wahyu cara ke lima datang kepada Rasulullah s.a.w dengan menderu separti suara lebah. Pada cara ke enam pula Jibrail a.s datang kepada Rasulullah s.a.w dalam rupanya yang asli. Wahyu cara ke tujuh adalah penyampaian secara langsung daripada Allah s.w.t kepada Rasulullah s.a.w, tanpa sebarang perantaraan, separti yang pernah dialami oleh Nabi Musa a.s.
Ketegasan dan keteguhan Rasulullah s.a.w menyampaikan dakwah melalui bimbingan wahyu ternyata pada kata-kata baginda s.a.w kepada bapa saudara baginda s.a.w, Abu Talib, yang menyampaikan kepada baginda s.a.w permintaan kaumnya agar baginda s.a.w menghentikan pekerjaan dakwah. Baginda s.a.w memberikan jawaban yang tegas: “Wahai bapaku. Walaupun mereka meletakkan matahari pada bahuku yang kanan dan bulan pada bahuku yang kiri dengan maksud daku meninggalkan tugasku, tidak akan daku tinggalkannya sehinggalah agama ini menang atau daku binasa sebelumnya!”
Nabi Muhammad s.a.w tidak pernah melepaskan pergantungan kepada Allah s.w.t. Baginda s.a.w memperolehi berbagai-bagai kemuliaan dan ketinggian tetapi segala puji-pujian diperuntukkan kepada Allah s.w.t semata-mata. Apabila baginda s.a.w dipuji oleh orang banyak baginda s.a.w mengembalikan pujian itu kepada Allah s.w.t. Baginda s.a.w sangat cermat dan tegas di dalam menanggung wahyu. Apa yang diperintahkan oleh Allah s.w.t baginda s.a.w melaksanakannya sendiri terlebih dahulu sebelum menyuruh orang lain melakukannya. Baginda s.a.w telah menunjukkan contoh teladan melalui diri baginda s.a.w sendiri. Tidak ada istilah hukum yang wajib untuk orang banyak tetapi tidak wajib untuk Rasulullah s.a.w. Hukum Allah s.w.t berjalan sama rata sama rasa, kepada Rasulullah s.a.w dan juga kepada umat baginda s.a.w. Jika umat baginda s.a.w wajib mengerjakan sholat lima waktu sehari semalam baginda s.a.w juga wajib berbuat demikian, malah baginda s.a.w lakukan melebihi daripada apa yang dikerjakan oleh orang lain. Baginda s.a.w memperbanyakkan sholat malam hingga bengkak tumit baginda s.a.w, tetapi umat baginda s.a.w tidak diwajibkan berbuat demikian, walaupun digalakkan.
Nabi Muhammad s.a.w sangat mengasihi umat manusia. Baginda s.a.w pernah disakiti oleh kaum baginda s.a.w tetapi baginda s.a.w mengelakkan daripada mendoakan keburukan untuk mereka. Baginda s.a.w lebih suka mendoakan: “Wahai Tuhanku! Tunjukilah kaumku karena mereka tidak mengarti.” Kadang-kadang baginda s.a.w mendoakan: “Wahai Tuhanku! Ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu”. Begitulah halusnya nilai budi dan akhlak Rasulullah s.a.w yang diasuh oleh wahyu.
Rasulullah s.a.w menerima wahyu sebagai kebenaran yang Mutlak. Apa juga bakat yang ada dengan baginda s.a.w separti fikiran, ilham dan kasyaf, baginda s.a.w gunakan sebaik mungkin bagi menterjemahkan wahyu dan menyatakan kebenaran wahyu itu. Tidak pernah terjadi baginda s.a.w mengeluarkan buah fikiran, ilham atau kasyaf yang berbeda dengan wahyu. Baginda s.a.w menggunakan segala bakat baginda s.a.w untuk menyokong wahyu. Cara yang baginda amalkan menyebabkan Hadis menjadi sumber hukum selepas al-Quran. Hadis yang benar daripada Rasulullah s.a.w tidak sezarah pun bercanggah dengan al-Quran.
Rasulullah s.a.w dengan perintah, petunjuk dan bimbingan wahyu menjalani kehidupan di dalam dunia ini sebagai manusia biasa bukan sebagai malaikat atau manusia luar biasa. Baginda s.a.w menjalani kehidupan yang ada urusan beristeri dan berkeluarga, bermasyarakat, merasai kenyang dan lapar, sehat dan sakit dan segala aspek kehidupan manusia biasa, hinggakan baginda s.a.w menjalani juga proses kematian walaupun ada Nabi yang tidak menjalani proses tersebut. Kehidupan yang baginda s.a.w jalani itu berdasarkan bimbingan wahyu yang maha benar. Baginda s.a.w adalah orang yang paling arif mengenai maksud wahyu. Terjemahan wahyu yang baginda s.a.w tunjukkan dengan prinsip dan amalan kehidupan baginda s.a.w sendiri merupakan suasana kehidupan yang paling utama, paling baik, paling mulia dan paling tinggi. Suasana demikian juga yang dijalani oleh para sahabat baginda s.a.w. Mereka adalah golongan yang bergerak di atas muka bumi, di dalam dunia, menyebarkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.
Setelah diangkat menjadi Rasul Allah, Nabi Muhammad s.a.w menerima perintah mengenai enam perkara yang menjadi dasar pembentukan umat yang ingin kembali kepada kemurnian fitrah mereka dan melaksanakan kewajiban kehambaan kepada Allah s.w.t. Enam dasar yang konkrit itu adalah:
1: menyampaikan, mengajak serta membimbing umat manusia supaya mematuhi sekalian perintah Allah s.w.t dan menjauhi sekalian larangan-Nya dengan sepenuh kekuatan dan kebijaksanaan.
2: bersyukur kepada Allah s.w.t yang menciptakan dan mengurniakan nikmat kesinambungan hidup sehingga umat manusia tidak menemui kesukaran di dalam menjalani kehidupan dan mendapatkan keperluan mereka.
3: membersihkan pakaian dan perbuatan zahir serta amalan hati bagi mencapai kesempurnaan takwa.
4: meninggalkan segala yang keji dan munkar separti syirik, berhala, arak, judi, zina, riba dan lain-lain yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t.
5: mengikhlaskan niat dan amalan supaya kepentingan diri tidak merobohkan benteng keadilan dan supaya fitnah kebendaan tidak memesongkan haluan ubudiah (kehambaan) terhadap Allah s.w.t.
6: semua perkara yang dinyatakan di atas hendaklah dilengkapkan dengan sabar karena dugaan di dalam melakukan kebaikan jauh lebih kuat daripada dugaan meninggalkan kejahatan. Sabar menjadi prinsip yang kukuh mempertahankan diri dalam menghadapi halangan dan penentangan di sepanjang jalan menyebarkan dan melakukan kebaikan.
Wahyu telah memberi jawaban yang konkrit terhadap permasalahan yang tidak mampu diurai oleh fikiran, ilham dan kasyaf. Apabila wahyu datang selesailah perjuangan batin Nabi Muhammad s.a.w di dalam mencari hakikat yang sebenar. Kebenaran Hakiki yang baginda s.a.w terima melalui wahyu itu dipertanggungjawabkan kepada baginda s.a.w untuk disampaikan pula kepada sekalian manusia. Baginda s.a.w tidak bisa lagi memencilkan diri di dalam Gua Hiraa. Apabila cahaya kebenaran memancar di dalam lubuk hati dan bidang tugas dibukakan, baginda s.a.w mesti keluar kepada orang banyak, kepada dunia, bagi menyampaikan amanah yang baginda s.a.w tanggung dengan bersuluhkan cahaya kebenaran.
Wahyu menceritakan tentang Allah s.w.t, Tuhan yang bersifat dengan sifat-sifat Kesempurnaan, Yang Maha Mulia dan memiliki nama-nama yang baik-baik. Diterangkan juga tentang kejadian manusia. Wahyu mengajar manusia berbuat kebaktian kepada Allah s.w.t. Diajarkan cara perhubungan dengan sesama manusia. Wahyu sangat menekankan soal takwa yaitu mematuhi titah perintah Allah s.w.t, tidak keluar daripada sempadan jalan yang lurus yang telah digariskan oleh Allah s.w.t sendiri. Wahyu mendidik manusia supaya hidup sebagai hamba Tuhan dengan sebenar-benar kehambaan. Wahyu telah dengan tegas dan jelas meletakkan manusia pada taraf hamba Tuhan, bukan taraf yang lain daripada itu.
Rasulullah s.a.w sangat bersungguh-sungguh mengajarkan al-Quran kepada kaum Muslimin. Pendidikan al-Quran berkembang dengan sangat pesat setelah baginda s.a.w dan kaum Muslimin berhijrah ke Madinah. Jika Rasulullah s.a.w sangat bersungguh-sungguh mengajarkan al-Quran, kaum Muslimin pula sangat bersungguh-sungguh mempelajarinya. Sebagian daripada kaum Muhajirin yang berhijrah ke Madinah terpaksa tinggal di luar kota Madinah, di satu kawasan yang bernama Sunuh, kira-kira 20 km dari masjid Rasulullah s.a.w. Di sana mereka mendirikan rumah-rumah dan menguruskan kebun-kebun. Saidina Abu Bakar dan Saidina Umar adalah di antara mereka yang tinggal di Sunuh. Jarak 20km itu tidak menghalang mereka mempelajari al-Quran daripada Rasulullah s.a.w. Mereka telah menyusun jadual pembelajaran al-Quran dengan rapi. Tiap-tiap hari mereka menghantarkan dua atau tiga orang wakil dari Sunuh pergi ke Madinah. Sepanjang hari wakil dari Sunuh akan mendapatkan apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w, terutamanya ayat-ayat al-Quran yang baru turun. Mereka mempelajari al-Quran secara menghafal dan memahami dengan lengkap. Jika ada larangan atau perintah atau amalan yang disampaikan oleh al-Quran mereka akan mendapatkan penjelasan yang sejelas-jelasnya daripada Rasulullah s.a.w. Apa juga ayat yang turun pada hari itu mesti dihafalkan pada hari itu juga karena pada hari esoknya mungkin ada pula ayat-ayat yang baru turun. Setelah hari petang mereka kembali semula ke Sunuh dan pada malam itu juga atau paling lewat keesokan harinya semua pelajaran yang diterima daripada Rasulullah s.a.w sudah disampaikan kepada semua kaum Muslimin di Sunuh. Mereka mempelajari al-Quran tanpa bertangguh-tangguh. Al-Quran dipelajari secara menyeluruh yaitu membaca, menghafal, memahami dan mengamalkan. Program pembelajaran al-Quran yang diatur oleh Saidina Abu Bakar dan sahabat-sahabat beliau di Sunuh sungguh berkesan sehingga mereka bisa menjalankan kegiatan harian untuk menampung perbelanjaan mereka dan pada masa yang sama mereka bisa mempelajari al-Quran dengan sempurna. Kegiatan pertanian, perniagaan, penternakan, pertukangan dan lain-lain bisa berjalan dengan lancar jika pembelajaran al-Quran dilakukan dengan bersistematik. Kesungguhan mempelajari al-Quran tidak menjejaskan urusan kehidupan harian.
Rasulullah s.a.w sangat teliti di dalam menyampaikan ayat-ayat suci al-Quran kepada kaum Muslimin. Setiap kali turun ayat baginda s.a.w akan mengumpulkan sahabat-sahabat baginda s.a.w dan ayat yang baru turun itu disampaikan dengan pembacaan yang betul, sebutan setiap huruf mengikut kadar panjang dan pendek yang harus dibunyikan. Bacaan yang tepat sebutannya dihafal berulang-ulang sehingga ayat-ayat tersebut benar-benar melekat di dalam ingatan dan hati mereka. Mereka tidak berganjak daripada majlis Rasulullah s.a.w sebelum mereka dapat menyebut ayat-ayat al-Quran dengan betul dan menghafalnya dengan baik. Bukan sekadar membaca dan menghafal, malah mereka juga dilengkapkan dengan pengetahuan dan pengartian yang jelas tentang maksud ayat, kedudukan susunannya di dalam al-Quran dan hubung-kaitnya dengan ayat-ayat yang lain. Jika ayat tersebut melibatkan peraturan dan amalan maka kaedah peraturan dan amalan itu difahami benar-benar. Semua itu mereka pelajari secara langsung daripada Rasulullah s.a.w. Kemudian apa yang sudah mereka pelajari itu mereka sampaikan pula kepada kawan-kawan mereka yang tidak sempat menghadiri majlis Rasulullah s.a.w.
Selain dihafal, ayat-ayat al-Quran juga ditulis di atas kulit binatang, tulang-tulang yang lebar, pelepah-pelepah tamar yang sudah dikeringkan dan batu-batu yang lebar. Jadi, ayat al-Quran bukan saja dipelihara di dalam dada kaum Muslimin malah ia juga dipelihara secara bertulis. Lembaran al-Quran yang bertulis itu disimpan di rumah Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w telah mewariskan al-Quran kepada umat baginda s.a.w dengan cara yang paling berkesan dan selamat. Atas kebijaksanaan baginda s.a.w umat Islam yang datang kemudian dapat menerima al-Quran dalam keasliannya. Selain daripada jurutulis wahyu yang khusus terdapat kira-kira 40 orang yang mengambil bagian di dalam bidang penulisan wahyu. Cara yang demikian lebih memudahkan kaum Muslimin menyebarkan al-Quran.
Rasulullah s.a.w sangat menekankan soal menghafal al-Quran. Baginda s.a.w memberi petunjuk mengenai penghafalan ayat-ayat al-Quran dengan sabda baginda s.a.w yang bermaksud: “Perumpamaan orang yang menghafal al-Quran adalah separti orang yang memiliki unta yang diikat. Jika unta itu dijaga ia terpelihara. Jika dilepaskan ia akan hilang”. Baginda s.a.w mengajarkan supaya mengikat hafalan al-Quran dengan cara terus mengulangi bacaannya seberapa kerap yang terdaya. Selain daripada menghafal, pemahaman dan amalan juga dititik-beratkan. Ibnu Mas’ud menceritakan: “Apabila seseorang kami mempelajari sepuluh ayat dari al-Quran kami tidak akan berpindah kepada ayat lain sebelum kami mengetahui benar-benar maksudnya dan tahu cara beramal dengannya”. Banyak para sahabat menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w mengajarkan ayat-ayat al-Quran kepada mereka secara sepuluh ayat sekali belajar, tetapi lengkap dengan menghafal, memahami maksud, tahu mengamalkannya dan tahu kedudukannya berhubung dengan ayat-ayat lain yang turun terdahulu. Mereka mempelajari al-Quran, menyimpan serta mengamalkannya.
Rasulullah s.a.w selama-lamanya membaca al-Quran secara tartil, membaca dengan terang dan perlahan-lahan, mengeluarkan bunyi setiap huruf dengan jelas. Cara bacaan yang demikian baginda s.a.w sebarkan kepada para sahabat. Cara tersebut selain memberi faedah kepada para pembaca juga memudahkan pendengar mengikuti serta menghafalnya.
Rasulullah s.a.w berjaya membentuk satu umat yang tidak pernah wujud di atas muka bumi separti mereka sebelumnya dan tidak akan ada lagi yang menyamai mereka sesudahnya. Itulah umat yang setiap ahlinya terdiri daripada orang yang arif tentang al-Quran. Jika dilihat al-Quran dari sudut perlembagaan negara maka setiap ahli masyarakatnya adalah ahli politik yang arif tentang peraturan negara. Jika dilihat al-Quran sebagai kod etika sosial maka setiap ahli masyarakatnya adalah pemimpin yang bertanggung-jawab kepada apa yang dipimpin, baik keluarga, perniagaan, pertanian, penternakan dan sebagainya. Jika dilihat al-Quran sebagai kitab ilmu perang maka setiap ahli masyarakatnya adalah perajurit yang senantiasa bersedia menyahut panggilan jihad. Jika al-Quran dilihat sebagai peraturan kehidupan maka setiap ahlinya adalah ahli syariat yang taat. Jika dilihat al-Quran sebagai penyampai khabar tentang Allah s.w.t maka setiap ahli masyarakatnya adalah ahli makrifat yang benar-benar mengenal Allah s.w.t. Jika dilihat al-Quran sebagai ajaran penyucian hati maka setiap ahli masyarakatnya adalah yang sangat mendalam pengartian mereka mengenai hati. Mereka beragama secara menyeluruh. Darah, daging, tulang, sumsun dan urat saraf adalah Muslim. Pendengaran, penglihatan, penciuman, pergerakan dan akal fikiran mereka adalah Muslim. Hati mereka adalah Muslim. Roh mereka adalah Muslim. Mereka memakai satu makam saja yaitu makam HAMBA ALLAH! Mereka tidak tahu perbedaan istilah-istilah syariat, tarekat, hakikat, makrifat, ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tasauf dan yang seumpamanya. Mereka adalah ahli al-Quran dan ilmu mereka adalah ilmu al-Quran.
Rasulullah s.a.w menyiramkan roh dan jiwa raga sahabat baginda s.a.w dengan air al-Quran. Lahirlah individu yang cergas dalam segala bidang. Mereka yang menjadi petani bekerja bersungguh-sungguh dengan segala kemahiran yang mereka miliki bagi menghasilkan makanan dan keperluan kaum Muslimin. Peniaga pula mengumpulkan harta sebanyak mungkin secara halal untuk disumbangkan kepada pembangunan umat dan juga jihad fi-sabilillah. Apa juga nikmat yang diperolehi diperakui sebagai kurniaan Allah s.w.t yang dipertaruhkan sebagai amanah, bukan sebagai milik individu sepenuhnya. Individu yang menerima kurniaan tersebut mentadbirkannya secara yang diredai oleh Allah s.w.t. Apabila pemilikan harta longgar pada hati mudahlah melepaskannya demi kepentingan agama Allah s.w.t karena Allah s.w.t adalah Pemilik sebenar. Saidina Abu Bakar as-Siddik melepaskan kesemua hartanya demi jihad fi-sabilillah. Para sahabat yang lain menyumbangkan menurut kadar masing-masing. Tidak ada yang menuntut harta sebagai pemilikan mereka sepenuhnya. Kaum Ansar telah membuktikannya dengan kesanggupan mereka melepaskan harta dan tanah pemilikan mereka demi membantu saudara-saudara mereka kaum Muhajirin. Apa yang dilepaskan itu diserahkan sepenuhnya kepada Rasulullah s.a.w. Terpulang kepada baginda s.a.w bagaimana mau membagikan harta Ansar tersebut.
Al-Quran telah membimbing Nabi Muhammad s.a.w dan kaum Muslimin agar bergerak cergas dalam segala bidang bagi membentuk kehidupan yang sehat sejahtera sesuai dengan kehendak dan peraturan Allah s.w.t. Kehidupan dunia yang demikian menjadi asas kepada kehidupan akhirat. Kesungguhan Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w membina kesejahteraan di bumi dapat dilihat melalui program dan strategi pertahanan dan ketenteraan yang rapi disusun oleh baginda s.a.w bersama-sama para sahabat baginda s.a.w. Ketika berlaku Perang Badar dalam tahun ke dua hijrah tentera Islam terdiri daripada 313 orang dengan alat kelengkapan perang yang sangat sederhana. Ketika berlaku Perang Uhud dalam tahun ke tiga hijrah tentera Islam berjumlah 700 orang dengan kelengkapan perang yang lebih baik daripada ketika Perang Badar dahulu. Dalam tahun ke lima hijrah berlaku pula Perang Khandak. Dalam peperangan tersebut tentera Islam sudah berjumlah 3,000 orang dengan kelengkapan perang yang mencukupi. Dalam tahun ke enam hijrah Rasulullah s.a.w memimpin 1,700 orang kaum Muslimin menuju Makkah dengan bilangan kuda sebanyak 200 ekor. Dalam tahun ke sepuluh hijrah baginda s.a.w memimpin 10,000 orang tentera Muslimin menakluki kota Makkah. Bilangan kuda pada masa itu sudah berjumlah 1,000 ekor. Pada tahun ke sembilan hijrah baginda s.a.w memimpin hampir 40,000 orang tentera Muslimin ke Tabbuk dalam daerah Syam. Mereka menggunakan 10,000 ekor kuda dan 20,000 ekor unta. Mereka mampu meredah jarak 2,000 batu yang sebagian besarnya adalah padang pasir. Bukan pekerjaan yang mudah membentuk 40,000 orang tentera yang tinggal di merata tempat dalam Semenanjung Arab. Mereka terdiri daripada berbagai-bagai suku dan kaum. Kerja penyelarasan pasukan tentera yang begitu besar bukanlah mudah. 40,000 orang tentera, 10,000 ekor kuda dan 20,000 ekor unta berkumpul di Madinah pada satu masa sebelum berangkat ke Tabbuk. Tempat tinggal, makan dan minum mereka semua diperlukan. Pekerjaan yang berat itu dapat diselenggarakan oleh kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah s.a.w. Apa yang tidak dapat dibuat oleh umat lain mampu dilakukan oleh umat Nabi Muhammad s.a.w karena mereka mendapat pimpinan yang langsung dari Allah s.w.t melalui wahyu-Nya, melalui Rasul-Nya. Al-Quran telah berjaya membentuk umat yang menjadi penolong dan pembela agama Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w mengatakan di Arafah bahwa orang yang bisa menolong agama Islam adalah mereka yang memberikan sepenuh hatinya kepada Islam dan bekerja dalam segala jurusan untuk Islam. Orang yang menolong Islam dalam satu jurusan saja tidak dapat menyumbangkan kepada perkembangan Islam secara berkesan. Hanya mereka yang menyerah secara menyeluruh dirinya, tenaganya, hartanya dan masanya untuk Islam benar-benar mampu menaikkan Islam. Orang yang menolong Islam dalam satu jurusan saja, misalnya dalam jurusan ibadat saja atau dalam jurusan ekonomi saja atau politik saja, tidak banyak membantu kepada pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Hanya golongan Ansar (orang yang menolong dan membela Islam dalam segala bidang) dapat menyokong perkembangan Islam. Orang Ansar mengenepikan segala kepentingan diri demi agama Allah s.w.t, karena Allah s.w.t!
Rasulullah s.a.w juga memberikan perhatian kepada bidang ekonomi. Di dalam pelan pembangunan Madinah baginda s.a.w tidak lupa menyediakan kawasan untuk dijadikan pusat perniagaan kaum Muslimin. Sebelumnya kaum Muslimin Madinah berkumpul di pasar Yahudi Banu Kainuka. Sistem pasar tersebut berjalan menurut peraturan Yahudi. Rasulullah s.a.w sangat tidak menyukai apa saja yang bercanggah dengan peraturan Allah s.w.t. Baginda s.a.w mau kaum Muslimin berniaga menurut prinsip perekonomian Islam. Oleh itu baginda s.a.w membuka pusat perniagaan yang baru. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Inilah tapak tempat perniagaan kamu, semoga ia tidak sempit dan tidak dipungut hasil padanya”. Muncullah sebuah pekan kecil yang berperanan sebagai pasar bebas cukai milik kaum Muslimin Madinah. Pusat perniagaan yang dibuka oleh Rasulullah s.a.w itu diberkati Allah s.w.t. Pengunjungnya senantiasa bertambah dan pada masa yang sama pasar Yahudi menjadi semakin lengang.
Tugas Rasulullah s.a.w dalam bidang ekonomi bukan sekadar menyediakan kawasan perniagaan saja. Baginda s.a.w juga melindunginya agar keadilan dalam perniagaan ditegakkan di sana. Satu ketika baginda s.a.w melihat ada didirikan khemah di kawasan perniagaan tersebut. Baginda s.a.w memerintahkan agar khemah itu dibakar. Sebelum terjadi perlumbaan mengawal kepentingan diri sendiri dengan mencabut hak orang lain, awal-awal lagi Rasulullah s.a.w mencabut pokok yang berbisa itu, sebelum ia sempat tumbuh segar dan merusakkan sistem perekonomian kaum Muslimin. Baginda s.a.w tidak mau ruang perniagaan menjadi sempit lantaran didirikan bangunan di atasnya. Tidak ada pemilikan dan penguasaan individu di dalam kawasan perniagaan yang di bina oleh Rasulullah s.a.w.
Pada masa yang lain pula Rasulullah s.a.w melihat ada peniaga yang menumpuk gandum. Baginda s.a.w memasukkan tangan baginda s.a.w ke dalam tumpukan gandum itu dan mendapati bagian bawahnya basah. Baginda s.a.w memerintahkan agar bagian yang basah diletakkan di atas supaya pembeli tidak tartipu. Baginda s.a.w juga menegur sikap peniaga yang sengaja menaikkan harga barang. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Orang yang membawa barang ke pasar ini separti orang yang berjihad fi-sabilillah. Orang yang menaikkan harga barang separti orang yang kufur dengan Allah s.w.t”.
Di dalam pelan pembangunan Madinah masjid menjadi pusat atau jantung yang segala aktiviti bergerak mengelilinginya. ‘Roh’ kepada jantung itu adalah Nabi Muhammad s.a.w. Daripada masjid baginda s.a.w memancarkan kehidupan yang baik yang berbentuk kerohanian dan juga kebendaan. Jika masjid diibaratkan jantung, maka darah yang dihantarkan oleh jantung kepada semua bagian adalah al-Quran. Darah al-Quran memberikan kekuatan kepada kaum Muslimin. Kaum Muslimin bekerja di atas dasar mentaati Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Pembangunan kebendaan berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran.
Wahyu meninggalkan kesan yang sangat mendalam kepada Rasulullah s.a.w dan pengikut baginda s.a.w. Setiap kali wahyu turun terjadilah perubahan pada diri mereka dan suasana di sekeliling mereka. Wahyu yang dibacakan sendiri oleh Rasulullah s.a.w mempunyai kekuatan untuk mendatangkan perubahan. Apabila Rasulullah s.a.w membaca wahyu yang menegur sesuatu perkara yang ada pada mereka, maka dengan segera mereka mengambil tindakan menyesuaikan diri dengan teguran tersebut. Amalan, kepercayaan, tradisi dan apa saja mereka bisa lepaskan dengan mudah apabila datang perintah wahyu. Pekerjaan berat dan belum pernah mereka lakukan akan menjadi ringan jika wahyu memerintahkan mereka melakukan pekerjaan tersebut. Apabila datang wahyu mengharamkan arak, orang yang sedang memegang botol arak terus mencampakkannya, sekalipun mereka merupakan orang yang ketagihkan arak. Begitulah kekuatan wahyu yang dibacakan secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Kaum Muslimin senantiasa mengharapkan kedatangan wahyu untuk memberi petunjuk, bimbingan dan teguran kepada mereka. Kedatangan wahyu adalah umpama kedatangan kekasih yang mereka rindui. Mereka fana di dalam wahyu hinggakan tidak ada perkataan yang menguasai mereka melebihi perkataan Allah s.w.t. Mereka baqa di dalam perintah wahyu yaitu kehambaan kepada Allah s.w.t hinggakan tidak ada yang menguasai mereka melainkan peraturan Allah s.w.t. Itulah umat Nabi Muhammad s.a.w yang fana dalam wahyu dan baqa dalam ubudiah (kehambaan).
5: JALAN PARA SAHABAT R.A
________________________________________
Kaum Muslimin yang dibimbing secara langsung oleh Rasulullah s.a.w telah menunjukkan kecemerlangan dalam apa juga bidang yang mereka ceburi dan apa juga suasana yang mereka berada di dalamnya. Mereka mampu bertahan ketika menghadapi ujian bala bencana, menanggung penghinaan, ejekan, penentangan dan penyiksaan sehingga mereka terpaksa mengharungi lautan ke Habsyah dan meredah padang pasir ke Yasrib demi menyelamatkan agama mereka. Di hadapan Raja Habsyah, Jaafar bin Abu Talib selaku ketua Muhajirin di Habsyah, telah memberi penerangan lengkap dan jelas mengenai Nabi Muhammad s.a.w dan agama Islam, mematahkan hujah wakil pihak Quraisy yang menuntut agar kaum Muslimin dihantar pulang ke Makkah. Jelas sekali para sahabat Rasulullah s.a.w bukan saja memiliki ketahanan jiwa menanggung kesusahan malah mereka juga memiliki kecerdasan akal fikiran. Mereka adalah duta-duta Rasulullah s.a.w, menterjemahkan sifat-sifat baginda s.a.w yaitu benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana. Mereka bisa berdiri di hadapan siapapun saja bagi menyampaikan kebenaran secara bijaksana. Apa yang terbit dari mereka adalah bakat-bakat dan sifat-sifat Roh Islam yang tulen yang memenuhi seluruh rongga tubuh mereka dan setiap ruang hati mereka. Ketulenan Roh Islam yang mengendalikan kehidupan mereka menyebabkan mereka Islam pada perkataan, Islam pada perbuatan dan Islam pada amalan hati.
Ketulenan Roh Islam lahir apabila ia digilap dengan cara mengesakan Allah s.w.t, mengabdikan diri kepada-Nya dengan beramal salih dan bertakwa serta mengasihi saudara Muslimnya apa yang dikasihi untuk dirinya sendiri. Apabila jalan atau tarekat tersebut diikuti akan muncullah Roh Islam yang sejati dan tulen. Ketulenan itu diuji pula dengan dihadapkan kepada ujian bala bencana, penekanan pada zahir dan batin. Jika ujian bala tidak mencederakan iman maka sahlah ketulenan Roh Islam seseorang Muslim itu. Begitulah tarekat yang didukung oleh kaum Muslimin yang diasuh secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Mereka tundukkan jasad kepada pemerintahan roh dan roh ditundukkan kepada perintah Allah s.w.t yang disampaikan melalui Rasulullah s.a.w. Roh Islam tidak dikuasai oleh sesuatu melainkan kekuasaan Allah s.w.t. Roh Islam merdeka dari segala sesuatu kecuali Allah s.w.t, Rasul-Nya dan agama-Nya. Apa juga kekacauan yang melanda dunia tidak akan sampai kepada Roh Islam selagi orang Islam tidak menjualkan akhiratnya untuk kebendaan dan duniawi.
Kaum Muslimin dibimbing oleh Nabi Muhammad s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w dibimbing oleh Jibrail a.s. Jibrail a.s dibimbing oleh Allah s.w.t. Nabi Muhammad s.a.w telah memasuki satu jalan khusus untuk baginda s.a.w sendiri. Baginda s.a.w memasuki alam khalwat sewaktu berusia 36 tahun. Baginda s.a.w pergi ke Gua Hiraa melalui bimbingan Allah s.w.t, sebagaimana firman-Nya:
Dan didapati-Nya engkau mencari-cari (jalan yang benar), lalu Ia memberikan hidayah petunjuk (dengan wahyu – al-Quran)? ( Ayat 7 : Surah adh-Dhuha )
Tuhan yang memimpin Nabi Muhammad s.a.w ke Gua Hiraa. Pimpinan yang demikian dinamakan Tarikan Rahmani atau tarikan yang langsung dari Allah s.w.t. Ketika mencari kebenaran Nabi Muhammad s.a.w tidak pergi kepada pendeta Yahudi dan Nasrani yang terkenal alim mengenai kitab-kitab dari langit dan juga ilmu falsafah. Baginda s.a.w pergi ke Gua Hiraa yang gelap gelita, meletakkan sepenuh harapan dan pergantungan kepada Allah s.w.t. Apa yang dicari oleh Nabi Muhammad s.a.w tidak dapat diurai dan dibukakan oleh siapapun saja kecuali Allah s.w.t. Apa yang Allah s.w.t berkehendak mengurniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w melebihi apa yang mampu diberikan oleh manusia.
Setelah fitrah suci baginda s.a.w menerima pembukaan dengan kedatangan wahyu yang pertama, selesailah urusan berkhalwat. Khalwat di Gua Hiraa telah memberikan makna yang besar kepada penghidupan Nabi Muhammad s.a.w. Latihan tersebut menjadi asas yang kukuh di dalam pembentukan keperibadian dan kekuatan jiwa Nabi Muhammad s.a.w. Hasilnya rohani dan jasmani baginda s.a.w mampu bertahan menerima kunjungan wahyu yang maha berat dan ia juga membuatkan baginda s.a.w mampu melakukan Israk dan Mikraj di kemudian hari nanti. Tanpa kekuatan yang diperolehi di Gua Hiraa mungkin jasad dan roh baginda s.a.w akan hancur bila ‘dihempap’ oleh wahyu dan bila baginda s.a.w memasuki alam tinggi ketika Mikraj. Hanya golongan nabi-nabi yang dipersiapkan untuk menjadi cukup kuat bagi menerima kedatangan wahyu dan juga memasuki alam tinggi. Golongan yang selain nabi-nabi, walaupun siddiqin dan salihin, mereka hanya menerima percikan wahyu dan memasuki alam tinggi secara pengalaman kerohanian separti zauk dan kasyaf, tidak secara langsung separti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Oleh yang demikian siddiqin dan salihin juga wajib merujuk kepada wahyu di dalam menentukan kebenaran sesuatu perkara. Siddiqin yang paling utama, Abu Bakar as-Siddik, juga tertakluk kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Tidak ada fikiran, ilham dan kasyaf orang siddik dan salih yang bebas daripada wahyu. Kenyataan ini dibuktikan oleh Nabi Muhammad s.a.w dan sahabat-sahabat baginda s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w tidak meninggalkan khalwat sebelum wahyu datang. Para sahabat tidak meninggalkan Rasulullah s.a.w, senantiasa mentaati baginda s.a.w dalam apa perkara sekali pun.
Setelah wahyu datang tamatlah peringkat khalwat yang dilalui oleh Nabi Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w sebagai penterjemah wahyu yang paling arif menyampaikan ajaran wahyu kepada pengikut-pengikut baginda s.a.w tanpa membawa mereka memasuki proses khalwat baik di Gua Hiraa atau di mana-mana gua. Tarekat atau jalan sebelum kedatangan wahyu dengan selepas kedatangan wahyu adalah berbeda. Wahyu membawa Nabi Muhammad s.a.w dan pengikut baginda s.a.w memasuki tarekat kehidupan harian di atas muka bumi, di dalam dunia, secara bertauhid dan beramal salih serta bertakwa. Semua itu dilakukan dengan memperakui dan memelihara kewujudan kekeluargaan, kemasyarakatan dan kenegaraan. Golongan hamba yang telah memeluk agama Islam memperakui kedudukan mereka sebagai hamba. Tidak ada hamba yang memeluk Islam lari dari tuan mereka. Mereka tetap menghormati institusi kemasyarakatan sekalipun telah memilih Islam yang mempunyai institusinya sendiri. Golongan pedagang terus juga berdagang. Golongan pertukangan dan pertanian terus juga bertukang dan bertani. Tidak ada di antara mereka yang meninggalkan urusan kehidupan harian lantaran mau berkhalwat secara khusus separti yang telah dilalui oleh Rasulullah s.a.w. Islam tidak mengubah kehidupan harian. Apa yang Islam buat adalah menyusun semula kehidupan itu agar ia menjadi jalan yang lurus menuju kebaikan di dunia dan di akhirat dan seterusnya menemui Tuhan Rabbul Jalil.
Muslim generasi pertama telah membina asas jalan yang lurus dengan keringat dan darah mereka, dengan harta dan jiwa mereka. Generasi yang datang kemudian dapat berjalan di atas jalan lurus yang sudah siap di bina, tidak perlu lagi membina jalan yang lain. Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w yang berjuang menegakkan jalan yang lurus itu tidak melepaskan sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana dalam segala urusan termasuklah ketika bertawakal, berserah diri dan beriman kepada Qada dan Qadar. Mereka beriman kepada takdir dan berserah diri secara bijaksana dan benar. Mereka melihat tanda mereka berserah diri kepada Tuhan adalah mereka menggunakan segala bakat dan keupayaan yang Tuhan kurniakan kepada mereka untuk bergerak di atas jalan yang lurus, melakukan amal salih dan bertakwa. Mereka melihat bahwa tanda mereka beriman kepada takdir adalah mereka menggunakan segala kekuatan untuk mempertahankan kebenaran dan yang benar karena yang demikian itulah takdir yang paling benar, sementara yang lain itu hanyalah bayangan takdir yang samar-samar dan tidak layak diimani.
Nabi Muhammad s.a.w telah menunjukkan contoh teladan yang benar mengenai konsep beriman kepada takdir dan bertawakal. Baginda s.a.w cenderung bergerak dan bartindak di dalam sempadan kemanusiaan biasa dengan menggunakan bakat kemanusiaan separti orang banyak. Pada malam pemuda-pemuda Quraisy mengepung rumah baginda s.a.w untuk membunuh baginda s.a.w, baginda s.a.w telah menyuruh Saidina Ali bin Abu Talib tidur di tempat baginda s.a.w biasa tidur dan Saidina Ali diselimutkan dengan kain selimut baginda s.a.w sendiri. Baginda s.a.w menggunakan strategi, kebijaksanaan dan helah kemanusiaan untuk mengalahkan kumpulan yang mau membunuh baginda s.a.w itu. Setelah keluar dari rumah, baginda s.a.w bersama-sama sahabat paling akrab, Saidina Abu Bakar, bersembunyi di dalam Gua Saur. Rancangan persembunyian di sana telah di atur dengan sangat rapi sehingga rahsia tersebut tidak bocor. Semasa di dalam persembunyian itu maklumat senantiasa di hantar kepada baginda s.a.w oleh anak lelaki Saidina Abu Bakar. Makanan disediakan oleh bekas hamba Saidina Abu Bakar yang mengembalakan kambing Saidina Abu Bakar di kaki Bukit Saur. Semua jejak yang dibuat oleh Rasulullah s.a.w dan Saidina Abu Bakar dihapuskan sehingga tidak ada tanda-tanda yang mereka bersembunyi di Gua Saur. Sekali lagi kaum musyrikin ditewaskan oleh kebijaksanaan Rasulullah s.a.w.
Sebaik saja keadaan di dalam negeri Makkah reda dan tenang sedikit dan telah ada ruang untuk Rasulullah s.a.w bergerak, maklumat tersebut dengan pantas dihantarkan oleh anak Saidina Abu Bakar dan dengan segera pula Rasulullah s.a.w bartindak di atas kesempatan yang terbuka itu. Unta-unta Saidina Abu Bakar yang kuat, yang dijaga khusus untuk tujuan hijrah itu, dan bekalan makanan dengan segera dihantarkan ke Gua Saur. Rasulullah s.a.w bersama-sama Saidina Abu Bakar, dengan dipandu oleh jurupandu yang mahir, bersegera meninggalkan Gua Saur. Pergerakan yang begitu pantas hanya bisa terjadi dengan perancangan yang rapi dan bijaksana. Setelah meninggalkan Gua Saur baginda s.a.w mengambil jalan yang bertentangan dengan arah Yasrib. Jalan yang paling sukar dan paling tidak di sangka telah dipilih oleh Rasulullah s.a.w. Selepas melepasi kawasan bahaya barulah Rasulullah s.a.w membelok ke arah Yasrib.
Tidak ada pengkaji sejarah yang tidak berasa kagum dengan kebijaksanaan Rasulullah s.a.w. Kebijaksanaan baginda s.a.w sudah menyerlah ketika baginda s.a.w masih muda belia lagi. Kekuatan akal baginda s.a.w dapat mengalahkan kekuatan akal semua manusia. Semua akal tunduk kepada akal yang mendapat pembukaan daripada Allah s.w.t. Kebijaksanaan merupakan mukjizat Rasulullah s.a.w yang sangat ketara. Ketika suku-suku Quraisy sudah sampai kepada peringkat mau berperang sesama sendiri akibat kebuntuan akal mereka menentukan siapakah yang layak meletakkan semula Hajaral Aswad ke tempat asalnya setelah Kaabah dibina semula, Nabi Muhammad s.a.w yang pada masa itu masih seorang pemuda, dengan mudah saja menyelesaikan partikaian tersebut, tanpa memerlukan masa untuk berfikir, tanpa meminta pendapat siapapun dan tanpa ragu-ragu baginda s.a.w mengeluarkan formulai yang diterima oleh semua orang. Kebijaksanaan baginda s.a.w menjadi lebih sempurna lagi setelah mendapat penerangan daripada wahyu. Tidak ada sepatah pun perkataan baginda s.a.w yang sia-sia. Tidak ada satu pun perbuatan baginda s.a.w yang tidak bermanfaat. Hanya Nabi Muhammad s.a.w seorang saja di dunia ini yang setiap patah perkataan dan setiap perbuatannya direkodkan. Hingga kini belum ditemui sebarang kesilapan pada perbuatan dan perkataan baginda s.a.w.
Rasulullah s.a.w melaksanakan segala tugas dengan cemerlang, dengan menggunakan bakat dan keupayaan kemanusiaan. Memang benar baginda s.a.w dikurniakan mukjizat tetapi mukjizat hanya datang setelah baginda s.a.w menggunakan bakat kemanusiaan dalam melaksanakan tugas. Baginda s.a.w tidak melemparkan sifat-sifat kemanusiaan lantaran kunci mukjizat berada dalam tangan. Bahkan keupayaan baginda s.a.w menyelesaikan masalah kemanusiaan dengan menggunakan bakat kemanusiaan merupakan mukjizat yang sangat luar biasa. Baginda s.a.w telah membuktikan bahwa seseorang insan yang dapat mempertahankan sifat-sifat kemanusiaan dan kehambaan dalam segala keadaan dan makam itulah perkara yang sangat luar biasa. Di bumi, Nabi Muhammad s.a.w bergerak sebagai hamba Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Di langit, Nabi Muhammad s.a.w bergerak sebagai hamba Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Bahkan di hadapan Allah s.w.t, Nabi Muhammad s.a.w sujud sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya. Tidak terbalik pandangan baginda s.a.w lantaran berlaku perubahan stesen dan makam.
Peristiwa hijrah memberi pengajaran yang sangat berguna kepada umat manusia agar mereka menghargai bakat dan keupayaan kemanusiaan yang Allah s.w.t kurniakan kepada mereka. Nabi Muhammad s.a.w telah mengajarkan bahwa menggunakan akal fikiran, mengadakan strategi dan perancangan serta melakukan ikhtiar dan usaha adalah sebagian daripada pakej beriman kepada takdir, bertawakal dan berserah diri. Jika ada orang yang mentafsirkannya secara lain tentu sekali tafsirannya berbeda dengan tafsiran yang dikeluarkan secara nyata melalui perbuatan oleh Rasulullah s.a.w.
Sebelum kedatangan wahyu Nabi Muhammad s.a.w memasuki amalan berkhalwat. Setelah wahyu datang baginda s.a.w dibimbing oleh wahyu untuk membimbing umat manusia. Baginda s.a.w membawa pengikut-pengikut baginda s.a.w meredah lautan bala bencana, menanggung penyiksaan dan menghadapi penentangan karena semua itu adalah batu ujian yang menggilap iman. Tarekat khalwat sudah berubah menjadi tarekat kehidupan harian yang penuh dengan ujian bala bencana.
Rasulullah s.a.w dan Muslim generasi pertama berjalan di atas ranjau kehidupan, menghadapi kezaliman dan menanggung penderitaan. Keluarga Yasir yang menjadi hamba kepada suku Banu Makhzum telah diseksa dengan sangat teruk sekali. Mereka dijemur di lembah Makkah diwaktu panas terik dengan diletakkan batu di atas dada mereka. Rasulullah s.a.w menziarahi keluarga Yasir dan memberikan kekuatan rohani kepada mereka. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Bergembiralah wahai keluarga Yasir. Kamu akan mendapat tempat di dalam syurga”. Ucapan Rasulullah s.a.w itu menjadi penawar yang sangat mujarab, memberi kekuatan kepada keluarga Yasir untuk menanggung penderitaan yang sedang menimpa mereka. Mereka mampu mempertahankan iman mereka dengan penuh kesabaran. Mereka telah terhibur dengan janji yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. Mereka sedikit pun tidak berasa ragu dengan jaminan Rasulullah s.a.w itu. Mereka telah mencium bau syurga dan ia menjadikan mereka tenang, reda dengan takdir Tuhan. Kebagiaan syurga yang menunggu di hadapan menyapu segala kesakitan yang sedang dialami.
Walaupun diseksa dengan hebatnya oleh Banu Makhzum namun keluarga Yasir tidak berganjak daripada kepercayaan mereka. Usaha untuk membawa mereka kepada kekufuran hanya sia-sia. Orang Banu Makhzum yang gagal mengubah akidah keluarga Yasir, menjadi kerasukan syaitan. Apabila syaitan sudah menguasai mereka sepenuhnya hilanglah keperimanusiaan mereka. Dada Yasir direjam dengan tombak. Samyah, isteri Yasir, menjadi lebih bersemangat dan berani menentang tuannya. Banu Makhzum tidak tahu hendak buat apa lagi dengannya. Samyah diserahkan kepada Abu Jahal yang ikut serta menyeksa keluarga Yasir itu. Abu Jahal yang bersekutu dengan iblis, mengambil sebilah tombak dan dengan sekuat-kuat tenaganya merejamkan tombak itu ke bagian kemaluan Samyah hingga tembus ke belakang. Keluarlah dua roh suci, naik kepada Tuhan mereka, membawa kemenangan di dalam mempertahankan tauhid. Yasir dan isterinya Samyah menjadi syuhada yang pertama dalam Islam. Nama mereka yang diukir dengan tinta emas tidak mungkin padam dari lembaran sejarah perjuangan Rasulullah s.a.w. Yasir dan Samyah mendahului para syuhada yang lain, menunggu mereka di pintu syurga.
Selain Yasir dan keluarganya, Bilal bin Rabah dan ibunya juga menerima seksaan yang berat daripada tuan mereka. Mereka menjadi hamba kepada Umayyah bin Khalaf. Bilal menghadapi segala penyeksaan ke atasnya dengan semangat yang kental. Bilal berkata kepada tuannya: “Walaupun tuan cincang lumat badan saya, tuan pisahkan roh dari tubuh saya, namun agama ini tetap saya anuti dan saya pertahankan sedaya upaya saya. Tubuh saya tidak memerlukan makanan yang enak atau pakaian yang cantik atau kehidupan yang selesa. Roh saya yang memerlukan makanan dan pakaian dan perlu dipersucikan. Kini saya sudah temui yang dapat memenuhi keperluan roh saya sebanyak mungkin. Saya tidak memerlukan apa-apa lagi dari tuan. Sia-sia saja tuan menghalangi saya dari mendapatkan yang demikian”.
Ketegasan Bilal menambahkan kemarahan Umayyah. Tangan Bilal diikat dan lehernya dibelit dengan rantai yang berduri. Bilal tidak diberi makan dan minum. Usaha yang kejam itu gagal meruntuhkan iman Bilal. Kemudian Bilal diseret mengelilingi kota Makkah. Orang banyak mengejeknya sambil membalingnya dengan batu. Tindakan begini juga tidak menggugat iman Bilal. Apabila sampai berhampiran dengan Kaabah Bilal menjerit sekuat-kuat hatinya: “AHAD! AHAD! AHAD!” Perkataan inilah yang sangat dibenci oleh kaum musyrikin Quraisy. Bilal tidak putus-putus menyebut Ahad, Ahad, Ahad. Bilal dibawa pula ke padang pasir yang sangat panas. Beliau dipakaikan baju perang (baju besi). Bilal yang dipakaikan baju besi itu dijemur di tengah panas yang sangat terik. Iman Bilal terus memancar. Perkataan Ahad terus keluar dari celah bibirnya. Orang musyrikin sudah tidak dapat menahan geram lagi. Mereka bebanyak-banyak mengangkat seketul batu besar dan diletakkan di atas dada Bilal. Nun di atas sana matahari ‘menyala’. Di bawah pula pasir ‘membara’. Di antara keduanya adalah Bilal yang berpakaian baju besi dan ditindih pula oleh batu besar. Bilal tidak nampak matahari, pasir atau batu besar. Bilal tidak merasakan kepanasan atau keberatan. Bilal hanya melihat satu saja yaitu Yang Maha Satu, Maha Esa, Ahad! Bilal menikmati kelazatan menyaksikan Yang Maha Esa. Dari celah bibirnya, dengan nada yang perlahan dan tersekat-sekat, masih lagi keluar ucapan: “Ahad! Ahad! Ahad!” Dengarlah Bilal bermunajat: “Jika mereka mau membunuh aku agar aku menyengutukan Tuhan ar-Rahman, biarlah aku mati daripada aku berbuat demikian. Aku lebih takut menyengutukan Allah. Allahumma! Tuhan Ibrahim, Tuhan Yunus, Tuhan Musa dan Tuhan Isa. Selamatkan iman daku!”
Bilal telah lulus ujian makam keesaan. Bilal sudah memperolehi pancaran Ahadiyyah. Allah s.w.t menghantarkan wakil-Nya untuk menyelamatkan hamba-Nya yang telah membuang segala sesuatu dari hatinya selain Allah s.w.t. Abu Bakar, lelaki benar lagi jujur, datang ke tempat Bilal yang sedang teruk diseksa. Abu Bakar mau membeli Bilal yang imannya sudah dibeli oleh Allah s.w.t. Apakah Umayyah mau melihat Bilal mati dan dia kerugian? Umayyah mengambil peluang yang ditawarkan oleh Abu Bakar. Bilal dijualkan kepada Abu Bakar dengan harga lima kali lebih mahal daripada harga biasa seorang hamba. Abu Bakar membayarnya tanpa tawar menawar. Abu Bakar mencoba mengangkat batu yang di atas dada Bilal tetapi tidak berdaya. Beliau naik berang. Disergahnya orang-orang yang berada di tempat itu. Barulah mereka datang mengangkat batu tersebut. Baju besi juga ditanggalkan dari tubuh Bilal. Bilal sudah bebas dari matahari yang menyala dan pasir yang membara. Bilal sudah bebas dari batu yang menindih dadanya. Bilal sudah bebas dari baju besi yang membungkusnya. Bilal bertanya kepada Abu Bakar: “Adakah tuan membeli saya untuk menjadi hamba tuan?” Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, wahai Bilal engkau aku bebaskan”. Bebaslah Bilal sepenuhnya dari segala bentuk perhambaan kecuali kehambaan terhadap Allah s.w.t. Ibu Bilal, Hamamah, juga dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakan. Lain-lain hamba yang dibeli dan dibebaskan oleh Abu Bakar adalah Amir bin Furahah (lelaki yang mengembala kambing di kaki Gunung Saur sewaktu Rasulullah bersembunyi di sana sebelum berangkat ke Madinah), Abu Fukaihah, Zinnirah, Ummu Ubais, an-Nahyah dan anak perempuannya, Khabbab bin al-Aratti (lelaki yang berada bersama-sama adik perempuan Umar al-Khattab dan suaminya ketika Umar menerpa masuk dan merampas lembaran yang tertulis ayat al-Quran yang sedang dibaca oleh adiknya) dan seorang hamba perempuan kepada Banu Zuhrah.
Rasulullah s.a.w dan Muslim telah menjalani tarekat ujian bala. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman, rumah tangga, kaum keluarga, harta benda dan pekerjaan demi menyelamatkan akidah mereka. Walau bagaimana keras ujian yang mereka terima namun, mereka tetap berpijak di atas bumi yang nyata. Tarekat mereka adalah kekhalifahan di bumi. Mereka beriman kepada akhirat dan perkara ghaib dan mereka juga beriman kepada perkara kehidupan harian di dalam dunia ini yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Mereka menuju akhirat dengan menunggang dunia. Tidak ada di antara mereka yang lari daripada dunia lantaran cintakan Allah s.w.t dan akhirat. Mereka adalah kumpulan yang diperakui oleh Rasulullah s.a.w sebagai golongan yang paling baik pernah wujud di atas muka bumi. Itulah golongan yang menggabungkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, golongan yang menjadikan dunia sebagai kebun akhirat. Mereka menyintai Allah s.w.t dan Rasul-Nya tanpa membuang dunia dan akhirat. Mereka mendukung tarekat Islam yaitu mentaati Allah s.w.t dan Rasul-Nya dengan melakukan kehambaan kepada Allah s.w.t dengan sebenar-benar kehambaan serta melakukan amal salih dan bertakwa.
Mungkin tidak seorang pun yang datang kemudian telah mengalami zauk atau kefanaan yang dialami oleh Bilal sewaktu dijemur di panas terik dengan berpakaian baju besi dan ditindih batu besar di atas dadanya. Dalam puncakk kefanaan dan zauk Bilal mengucapkan: “Ahad! Ahad! Ahad!” Suasana ketuhanan yang menguasai Bilal dan yang sedang disaksikan oleh mata hati Bilal menyebabkan terucap perkataan AHAD bukan “ana al-Haq!” Masih adakah umat kemudian yang semulia Bilal, juru azan Rasulullah s.a.w? Bukankah pada malam Israk dan Mikraj Rasulullah s.a.w mendengar bunyi terompah Bilal di dalam syurga. Kemuliaan dan ketinggian derajat Bilal masih tidak mengatasi derajat Abu Bakar as-Siddik, sedangkan Abu Bakar tidak melalui makam fana dan zauk. Beliau r.a senantiasa di dalam keadaan jaga. Zauknya adalah mencintai Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Kefanaan beliau r.a adalah wahyu. Kebaqaan beliau r.a adalah ubudiah. Begitu juga halnya dengan Umar, Usman dan Ali. Jalan yang ditempuh oleh para sahabat itu adalah jalan yang dibimbing secara langsung oleh Rasulullah s.a.w dan jalan demikian diistilahkan sebagai jalan kenabian.
6: JALAN KENABIAN
________________________________________
Para sahabat Rasulullah s.a.w adalah kumpulan kaum Muslimin yang paling bertuah karena Rasulullah s.a.w berada di tengah-tengah mereka. Mereka menerima pengajaran wahyu secara langsung daripada baginda s.a.w. Mereka adalah golongan yang paling diberkati Allah s.w.t karena Dia kurniakan kepada mereka cahaya (Nur) Nabi Muhammad s.a.w secara terus, tanpa dihijab oleh ruang, zaman atau masa. Apa yang mereka perolehi daripada Nur Nabi Muhammad s.a.w adalah yang paling benar dan asli pada tahap maksimum. Jika Nabi Muhammad s.a.w diibaratkan sebagai matahari, maka para sahabat menerima pancaran matahari ketika ia berdiri tegak tanpa segumpal awan pun melindunginya. Umat yang di belakang pula adalah umpama orang yang menerima pancaran cahaya matahari ketika ia telah condong ke barat dan ketika awan mendung sudah berarak dipermukaan langit.
Kaum Muslimin yang menerima tarekat secara langsung daripada Rasulullah s.a.w menetap di atas jalan kehambaan dan kesadaran. Wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w secara langsung membakar sifat-sifat keji para sahabat tanpa membakar identiti mereka. Mereka mengikuti tingkah-laku Rasulullah s.a.w dengan bersungguh-sungguh untuk memakai sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan Rasulullah s.a.w karena baginda s.a.w adalah model yang Allah s.w.t hantarkan untuk diteladani. Apabila jalan yang demikian diikuti maka para sahabat menjadi duta-duta kepada Rasulullah s.a.w, cermin yang membalikkan cahaya Nabi Muhammad s.a.w dan penyambung lidah Nabi Muhammad s.a.w. Cara yang demikian meneguhkan iman di atas landasan kehambaan. Tidak ada permencobaan untuk membuang kehambaan dan menjadi Tuhan. Tidak ada pengalaman kerohanian yang memabukkan. Banyak daripada pengalaman yang ganjil-ganjil yang dialami oleh para sufi yang datang kemudian, tidak dialami oleh para sahabat Rasulullah s.a.w. Golongan yang menjalani tarekat yang diterima secara langsung daripada Rasulullah s.a.w tidak mengalami atau jarang terjadi pengalaman dan penyaksian terhadap tajalli-tajalli, warna dan cahaya. Pengalaman yang demikian tidak terjadi di peringkat awal sahabat menerima Islam dan tidak juga di peringkat akhir. Pengalaman yang demikian tidak berlaku karena ‘matahari’ kenabian tidak ditutup oleh awan mendung keraguan dan syak wasangka yang biasa dikeluarkan oleh akal fikiran. Pengembara pada jalan kenabian yaitu tarekat para sahabat tidak terpukau dengan tajalli dan tidak tertarik dengan bayangan. Tajalli dan bayangan adalah fenomena yang timbul selama awan mendung menutupi cahaya matahari yang asli. Setelah awan mendung berlalu muncullah cahaya yang terang benderang, tanpa rupa, tanpa warna dan bayangan juga hilang.
Para sahabat yang mengikuti jalan kenabian sangat menyintai akhirat. Keluarga Yasir yang sedang hebat menderita diseksa oleh orang Banu Makhzum, menjadi tenang apabila menerima jaminan syurga daripada Rasulullah s.a.w. Syurga yang dijanjikan itu memberi semangat dan kekuatan kepada keluarga Yasir. Kecintaan mereka kepada akhirat lahir daripada kecintaan mereka kepada Allah s.w.t yang berjanji untuk memperlihatkan Diri-Nya di akhirat kelak. Mereka tidak meninggalkan akhirat atau pun dunia lantaran kecintaan mereka kepada Allah s.w.t. Kecintaan kepada Allah s.w.t yang disertai oleh kecintaan kepada akhirat dan dunia tidak menggoncangkan iman dan pegangan tauhid mereka.
Apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin bukanlah memaksa kaum Muslimin menafikan ketuhanan Allah s.w.t, tetapi mereka mau diadakan sekutu bagi Allah s.w.t. Kaum Muslimin yang hati mereka sudah dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah s.w.t tidak mau mempersekutukan Allah s.w.t dengan sesuatu. Inilah prinsip menyintai Allah s.w.t yang berdasarkan iman, yang dibentuk melalui jalan kenabian. Cinta yang demikian diperkuatkan dengan kecintaan kepada akhirat dan syurga. Syurga diingini karena syurga adalah tempat pertemuan sebenar hamba dengan Tuhan. Allah s.w.t menggalakkan hamba-Nya menyintai akhirat dan syurga di samping benar dalam menyintai-Nya dan Rasul-Nya. Cinta yang berdasarkan kepada iman itu juga tidak memisahkan seseorang daripada dunia.
Tujuan manusia diciptakan adalah supaya mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dengan cara menjadi khalifah di bumi, di dalam dunia. Manusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan berkewajiban memakmurkan kehidupan di dalam dunia ini, melaksanakan peraturan dan kehendak Allah s.w.t. Dunia adalah daerah kekhalifahan manusia. Dunia adalah kebun buat manusia bercucuk tanam. Dunia adalah tempat buat manusia bekerja sebagai hamba Tuhan. Dunia adalah amanah yang Tuhan pertanggungjawabkan kepada makhluk berbangsa manusia. Cinta kepada Allah s.w.t yang berdasarkan iman mendorong seseorang manusia menyempurnakan tugas dan kewajibannya di dalam dunia. Tugas yang sangat penting di dalam dunia adalah menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar dan semuanya itu hendaklah dibuat berlandaskan kepada tauhid.
Pada jalan kenabian yang diikuti oleh para sahabat, kesungguhan digembelingkan ke arah mematuhi peraturan syariat. Mereka meyakini syariat dengan sepenuh jiwa raga dan bersedia untuk mempertahankan syariat dengan segala kemampuan yang mereka ada. Rasulullah s.a.w menolak permintaan golongan Taqif yang datang dari Taif, agar berhala mereka tidak dirobohkan dalam tempuh satu tahun dari masa mereka mulai menerima Islam dan mereka juga meminta dikecualikan daripada melakukan sholat lima waktu. Agama Tauhid tidak bisa bertolak-ukur dengan berhala. Mengenai sholat pula baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Tidak ada Islam tanpa sholat.” Tentera Islam meredah padang pasir, memikul senjata, berperang, membunuh dan dibunuh, semuanya dilakukan dengan membawa peraturan syariat, termasuklah sholat lima waktu. Selepas kewafatan Rasulullah s.a.w, Khalifah Abu Bakar as-Siddik memerangi golongan Islam yang enggan mengeluarkan zakat. Syariat dipegang sewaktu Rasulullah s.a.w masih hidup dan juga selepas kewafatan baginda s.a.w. Kaum Muslimin berkewajiban menanggung syariat sehingga ke akhir hayat mereka. Tidak ada had atau makam di mana seseorang bebas daripada tuntutan syariat. Rasulullah s.a.w sendiri pun terikat dengan tuntutan syariat, malah kesungguhan baginda s.a.w bersyariat melebihi orang lain.
Orang yang memasuki jalan kenabian adalah hamba yang Allah s.w.t pimpin kepada-Nya. Jalan tersebut sudah dilalui oleh para anbia, siddiqin dan salihin. Pada jalan tersebut sesuatu adalah terang dan jelas, tiada kesamaran. Tuntutan pada jalan ini adalah syariat, tidak perlu melakukan latihan yang berat, merbahaya dan samar-samar. Pada jalan kenabian latihan bersuluk dan berkhalwat tidaklah sepenting menjaga tuntutan fardu di samping melaksanakan tanggungjawab dalam kehidupan harian. Amalan pada jalan kenabian tidak mengganggu pekerjaan harian, tidak perlu mengasingkan diri ke tempat yang tidak ada orang. Cara yang diajarkan oleh Sunah Rasulullah s.a.w bisa mengelakkan seseorang terbawa-bawa ke dalam zauk, berkelakuan ganjil, meratap dan menangis atau mengeluarkan perkataan yang menyalahi syariat. Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengambil tahu tentang tajalli Tuhan, Rahsia Tuhan, fana dalam Tuhan, baqa dengan Tuhan atau yang seumpamanya. Kasyaf, zauk, jazbah dan keramat jarang sekali ditemui pada orang yang melalui jalan kenabian. Jika ada pun perkara yang demikian berlaku, ia berlaku bukan disengajakan, tidak dibuat amalan khusus untuk memperolehi yang demikian. Mereka yang beramal menurut Sunah Rasulullah s.a.w mendapat kelazatan di dalam sholat dan membaca al-Quran bukan di dalam zauk. Mereka bartindak menguruskan kehidupan harian secara manusia biasa tanpa perlu bersandar kepada kekeramatan. Mereka menetap di dalam kesadaran, tidak dibawa ke alam fana. Mereka terus berada di atas landasan kehambaan, tidak memasuki suasana bersatu dengan Tuhan atau baqa dengan-Nya. Mereka menghabiskan masa dengan melakukan tuntutan syariat, bukan berbahas tentang af’al, asma’, sifat dan zat Tuhan. Mereka berpegang kuat kepada wahyu dan perkataan Rasulullah s.a.w, tidak mencari-cari apa yang dipanggil ilmu rahsia, ilmu isi atau yang seumpamanya.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak digesa berperang dengan jasad dengan melakukan latihan yang menyakitkan jasad. Pada jalan kenabian penekanan diberikan kepada soal kesederhanaan dan menjaga agar tidak melampaui batas. Dibenarkan mengadakan pembalasan tetapi sekadar kejahatan yang dilakukan orang, jangan melampau dalam pembalasan dan jika sanggup memaafkan adalah lebih baik. Dibenarkan tidur tetapi jika bangun bersholat tahajjud adalah lebih baik. Dibenarkan makan dan minum tetapi jika berpuasa adalah lebih baik. Cara yang demikian lebih memudahkan orang banyak mengikutinya. Orang khusus juga bisa mencapai matlamat melalui jalan ini.
Pengembara pada jalan kenabian membina kecintaan kepada Allah s.w.t berdasarkan bimbingan syariat. Cinta yang lahir melalui cara yang demikian berada di dalam batasan rasional, tidak terjadi kecintaan yang asyik mahsyuk sehingga lupa diri dan makhluk di sekeliling. Kasih yang rasional melahirkan rasa syukur tatkala menerima nikmat dari Allah s.w.t dan sabar di dalam menerima ujian. Cara yang demikian membuat kehambaan senantiasa menemani pengembara pada jalan kenabian. Rasa bergantung, berhajat dan berharap kepada Allah s.w.t tidak pernah lepas dari hati hamba itu. Kasih yang berdasar kepada iman menjadi lebih kuat dengan cara mendukung syariat, mematuhi Sunah Rasulullah s.a.w, dengan tulus ikhlas beramal sesuai dengan perintah al-Quran dan Sunah Rasulullah s.a.w dalam perkara zahir dan batin, juga tidak melakukan perkara yang munkar. Jika yang demikian dilakukan seseorang itu selamat daripada kekufuran dan seterusnya seseorang itu dibawa kepada suasana berserah diri kepada Allah s.w.t. Cara yang demikian menundukkan keinginan diri sendiri kepada ketentuan dan kehendak Allah s.w.t. Tunduk kepada ketentuan dan kehendak Allah s.w.t menambahkan kecintaan kepada-Nya yang didasarkan kepada iman. Kasih yang demikian menjadi lebih kuat apabila dilakukan kebaktian kepada agama-Nya, peraturan-Nya, Sunah Rasul-Nya, menolong makhluk-Nya, menghapuskan kezaliman dan kemunkaran serta menegakkan keadilan di atas muka bumi. Kasih kepada Allah s.w.t secara demikian melahirkan juga kasihkan makhluk Allah s.w.t dan orang yang berkenaan bekerja untuk membasmikan perkara-perkara yang tidak baik dari umat manusia separti kemiskinan, penyakit, kesusahan dan lain-lain. Pada jalan kenabian kecintaan kepada Allah s.w.t berkait rapat dengan kecintaan kepada peraturan Allah s.w.t dan makhluk-Nya. Matlamatnya adalah melaksanakan kehendak Allah s.w.t sebaik mungkin.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengalami suasana fana, bersatu dengan Tuhan, baqa, tajalli atau menyaksikan satu wujud (wahdatul wujud) yang biasa ditemui oleh pengembara pada jalan kesufian. Pada jalan kenabian Allah s.w.t kurniakan yang lebih baik dan lebih benar daripada semua itu. Dikurniakan kepada pengembara pada jalan kenabian makna agama yang sebenarnya yang tidak bercampur dengan kesamaran dan kekeliruan. Allah s.w.t jadikan mereka saksi bagi agama-Nya, menjadi golongan yang menyatakan kebenaran agama-Nya dan kebenaran Rasul-Nya menyampaikan perintah-Nya. Allah s.w.t kurniakan kepada mereka makam yang mulia yaitu menjadi penyebar agama-Nya secara benar dan bersih daripada bidaah dan kesesatan. Orang yang berjalan pada jalan kenabian dikurniakan rasa ghirah (kecemburuan) beragama. Perasaan yang demikian membuat mereka bersedia berjuang melindungi agama dan mempertahankannya daripada gangguan musuh-musuh agama. Merekalah yang sebenar-benar dipilih dan dilantik sebagai khalifah Allah s.w.t pada bumi dan diberikan izin menggunakan cop mohor-Nya di dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Allah s.w.t akan membantu, menolong dan membela mereka menjalankan tugas mereka menyebarkan syariat, memakmurkan bumi, mengalahkan musuh-musuh Islam dan menyelamatkan umat Islam daripada penindasan bangsa-bangsa lain.
Pada jalan kenabian tidak ada fana dalam perbuatan Allah s.w.t, fana dalam nama Allah s.w.t, fana dalam sifat Allah s.w.t dan fana dalam zat Allah s.w.t. Bila tidak ada fana tidak ada juga baqa. Bila yang demikian tidak ada maka tidak ada pula mabuk. Kecintaan kepada Allah s.w.t berjalan di dalam kesadaran. Tidak terjadi keasyikan yang melahirkan ucapan yang pelik-pelik. Tidak ada tangisan dan rayuan untuk bersatu dengan Tuhan atau dukacita lantaran berpisah dengan Tuhan. Para sahabat yang diasuh sendiri oleh Rasulullah s.a.w senantiasa berada di dalam kesadaran sepenuhnya, bukan kefanaan. Mereka mengejar kecintaan kepada Allah s.w.t dan kehampiran dengan-Nya dengan cara mentaati Rasulullah s.a.w di dalam mentaati Allah s.w.t. Mereka bekerja memahami wahyu Tuhan dan mengamalkannya dalam kehidupan harian. Mereka tidak memasuki jalan suluk secara khusus karena bagi mereka kehidupan inilah tempat bersuluk. Suluk mereka adalah takwa, yaitu berjalan di celah-celah duri kejahilan, kemusyrikan, kemunafikan, kemunkaran dan kefasikan. Mereka bersuluk secara menjaga diri agar tidak melakukan dosa dan maksiat terutamanya syirik kepada Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa.
Rasulullah s.a.w diutuskan ketika umat manusia mengalami kegelapan akidah dan keruntuhan akhlak. Baginda s.a.w berkewajiban menyelamatkan umat manusia. Baginda s.a.w bekerja keras bagi mengobati penyakit-penyakit yang dihidapi oleh bangsa manusia dalam segala segi termasuklah akidah, akhlak, sistem perekonomian, sistem pentadbiran masyarakat dan lain-lain. Agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w mencakupi segala aspek kehidupan umat manusia, bersesuaian dengan akal budi manusia, mengimbangi soal lahiriah dengan soal batiniah. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w memperbetulkan aspek lahiriah yang telah diputar-belitkan oleh kaum Yahudi dan aspek batiniah yang telah dikelirukan oleh kaum Nasrani. Tugas suci yang ditanggung oleh Rasulullah s.a.w itu ditanggung juga oleh kaum Muslimin yang menjadi pengikut baginda s.a.w. Tugas yang sama dipikul oleh kaum Muslimin yang datang kemudian dengan mendukung jalan kenabian.
Jalan yang dibentuk oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat adalah jalan singkat dalam mencapai matlamat yaitu keredaan Allah s.w.t. Jalan yang ada suluk adalah jalan jauh yang perlu dilalui oleh orang-orang tertentu karena sesuatu sebab yang perlu, terutamanya pada zaman yang telah jauh daripada zaman Nabi Muhammad s.a.w. Ketika baginda s.a.w masih hidup bimbingan wahyu dan pengajaran secara langsung daripada baginda s.a.w lebih kuat dan lebih berkesan daripada cara berkhalwat sendirian jauh daripada Rasulullah s.a.w. Beriman dan beramal salih lebih dituntut daripada mengasingkan diri. Berjuang menyelamatkan manusia daripada neraka adalah juga termasuk dalam perkara amal salih. Di dalam melaksanakan tugas suci itu Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin perlu berperang menghapuskan faktor-faktor yang membentengi umat manusia daripada sampai kepada kebenaran. Banyak golongan yang pada mulainya enggan menerima atau mendengar ajaran Islam, telah dengan rela memeluk Islam setelah mereka dikalahkan. Muslim zaman Rasulullah s.a.w sanggup mati demi menyelamatkan umat manusia daripada api neraka.
Nabi Muhammad s.a.w sebagai juru pandu yang mahir telah mengemudikan perjalanan kaum Muslimin di celah-celah kehidupan jahiliah. Kehidupan jahiliah dipenuhi oleh duri-duri keruntuhan akidah dan akhlak. Orang jahiliah menyembah berhala, mendewa-dewakan sesama manusia, meminum arak, berjudi, berzina, membunuh anak-anak perempuan, menyelesaikan permasalahan dengan cara berlaku kejam dan membunuh, menjadikan wanita sebagai alat memuaskan nafsu dan bermacam-macam perlakuan yang menyalahi moral dan etika kemanusiaan. Di dalam menangani masalah jahiliah itu Rasulullah s.a.w menekankan dua perkara pokok yaitu mengembalikan akidah manusia kepada tauhid dan mengembalikan akhlak manusia kepada nilai-nilai murni kemanusiaan (fitrah). Selama baginda s.a.w berdakwah di Makkah tumpuan baginda s.a.w adalah akidah dan akhlak. Penekanan kepada aspek akhlak semata-mata, yaitu nilai murni kemanusiaan semata-mata, tanpa tauhid, tidak akan memberi kesan yang mendalam kepada pembentukan keperibadian manusia. Revolusi akhlak semata-mata tanpa revolusi akidah mungkin mampu mengwujudkan manusia yang baik tetapi manusia yang demikian hanya bergerak pada soal-soal kebendaan dan keduniaan saja. Kejayaan dan kecemerlangan diukur melalui pencapaian pada perkara kehidupan keduniaan dan kebendaan semata-mata. Tanpa akidah manusia akan mengalami kekosongan jiwa dan kekosongan tersebut akan diisi oleh sesuatu separti ketaasuban kepada keluarga, keturunan, kaum dan bangsa. Pengisian dengan anasir keduniaan itu akan menarik manusia kembali kepada kerosakan akhlak. Banyak manusia yang memulaikan perjalanan mereka dengan baik sehingga memperolehi akhlak yang mulia. Setelah mencapai kejayaan dan kecemerlangan di dalam kehidupan lahiriah jiwanya yang kosong diresapi oleh berbagai-bagai anasir keduniaan dan kebendaan. Kesudahannya mereka jatuh ke dalam perlakuan yang mencemarkan nilai murni kemanusiaan. Banyak pemimpin yang telah berjuang dengan ikhlas bagi membebaskan negara mereka daripada penjajah. Setelah mencapai kemerdekaan dan menjadi pemimpin, mereka yang tiada pengisian akidah itu bertukar menjadi tamak kuasa dan menindas rakyat. Banyak juga golongan peniaga yang memulaikan perniagaan mereka secara jujur sehingga orang banyak memberi sokongan padu kepada mereka. Saham mereka melambung naik. Setelah mencapai kejayaan dan kekayaan, jiwa mereka yang kosong diisikan dengan harta benda. Akibatnya lahirlah sifat menambun harta tanpa batasan sehingga harta orang banyak yang diamanahkan kepada mereka juga diselewengkan. Banyak manusia yang memulaikan sesuatu kerjaya dengan menghormati nilai-nilai murni kemanusiaan, tetapi setelah kejayaan dicapai, nilai murni tersebut dibuang begitu saja. Orang yang separti inilah yang selalu mendatangkan kesusahan kepada mana-mana badan atau persatuan yang mereka anggotai. Revolusi akhlak akan hancur jika ia tidak mengiringi revolusi akidah. Rasulullah s.a.w telah membina jalan yang menyelaraskan akidah dengan akhlak. Semakin kuat dan benar akidah kaum Muslimin semakin murni akhlak mereka. Kemurnian akhlak kaum Muslimin menjadi daya penarik kepada kaum lain. Orang yang belum Islam lebih mempelajari tentang Islam melalui akhlak kaum Muslimin. Pembentukan akhlak kaum Muslimin merupakan dakwah secara tidak langsung kepada kaum lain. Pada jalan kenabian kaum Muslimin berkecimpung di dalam masyarakat dan mereka melakukan dakwah sepanjang masa dengan mempraktikkan nilai-nilai murni kemanusiaan.
Orang yang meminati bidang kerohanian, tasauf dan tarekat biasanya tertarik kepada soal kewalian. Kewalian biasanya dihubungkan dengan jalan kesufian. Apabila memperkatakan tentang wali-wali Allah maka nama-nama mereka yang memasuki jalan kesufian sering ditonjolkan. Orang-orang separti Syeikh Abdul Qadir Jilani, Ibrahim bin Adham, Hasan Basri, Junaid, Rabiatul Adawiah dan lain-lain orang sufi biasanya disenaraikan sebagai wali-wali Allah. Mengaitkan kewalian secara khusus dengan kesufian semata-mata telah menimbulkan banyak kekeliruan dan merugikan umat Islam sendiri. Apabila nama-nama sufi sering ditonjolkan sebagai wali Allah, timbullah anggapan bahwa hanya dengan memasuki jalan kesufian seseorang itu bisa mencapai makam kewalian. Kewalian pada jalan kenabian tidak ditonjolkan. Kepemahaman tentang kewalian haruslah diperbetulkan. Haruslah diketahui bahwa orang yang menerima Islam secara langsung daripada Rasulullah s.a.w adalah wali Allah. Wali-wali Allah yang sezaman dengan Rasulullah s.a.w, mendengar pengajaran daripada baginda s.a.w sendiri, melihat wajah baginda s.a.w, mendengar tutur-kata baginda s.a.w, makan bersama-sama baginda s.a.w, berperang di samping baginda s.a.w, adalah wali-wali Allah peringkat paling tinggi. Tidak ada kewalian yang lebih tinggi daripada kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w. Kewalian yang muncul selepas sahabat, termasuklah kewalian para sufi tidak melebihi kewalian para sahabat. Di dalam senarai nama-nama wali Allah peringkat tartinggi yang sezaman dengan Rasulullah s.a.w, mendahuluinya adalah orang-orang separti Abu Bakar as-Siddik, Umar al-Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Talib, Zahid bin Harisah, Zubair bin Awam, Abdul Rahman bin Auf, Saad bin Abu Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, Al-Arqam bin Arqam, Yasir dan anak-anaknya Amar dan Abdullah, Samyah isteri Yasir, Bilal bin Rabah, Jaafar bin Abu Talib, Muaz bin Jabar, Abdullah bin Rawahah, Said bin Muaz, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi yang Jibrail a.s pernah muncul dalam rupanya, Saad bin Ubada dan banyak lagi yang tergolong di dalam senarai wali-wali Allah peringkat tartinggi yang tidak ada wali pada zaman kemudian mengatasi kedudukan mereka. Setelah selesai senarai nama para sahabat itu barulah datang nama-nama wali-wali yang datang kemudian separti Abdul Qadir Jilani dan lain-lain.
Memasukkan nama para sufi saja di dalam senarai wali-wali yang datang kemudian merupakan kekeliruan yang nyata dan ia adalah sikap yang tidak adil kepada kewalian itu sendiri. Orang banyak jangan lupa untuk melihat kewalian orang-orang yang menetap pada jalan kenabian separti Imam Syafi’e, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nawawi, Imam Ghazali dan lain-lain. Harus juga diperhatikan ahli-ahli ilmu yang telah banyak menyumbang kepada umat manusia dalam bidang perobatan, kimia, falsafah, astronomi dan lain-lain. Apakah tidak layak orang yang separti Ibnu Rusyd dan Jamaluddin al-Afghani dipanggil wali Allah?
Wali-wali di peringkat paling atas adalah sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w, termasuklah syuhada di Badar. Mereka telah mendapat pengiktirafan dan sanjungan daripada al-Quran dan disokong oleh Rasulullah s.a.w sendiri. Perkataan al-Quran dan Rasulullah s.a.w adalah muktamad. Wali-wali yang datang kemudian kedudukan mereka diperbesarkan oleh manusia sendiri, bukan perakuan secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Para sahabat adalah wali-wali yang lebih utama daripada wali yang datang kemudian sama ada dari jalan kesufian atau pun dari jalan kenabian. Kenyataan ini mesti dihunjam ke dalam fikiran umat Islam yang keliru dengan kedudukan kewalian. Banyak kaum Muslimin meninggalkan perkataan wali-wali peringkat tartinggi dan berpegang kepada perkataan wali yang lebih rendah atau orang yang tidak sahih kewaliannya.
Walaupun istilah wali tidak popular digunakan pada zaman Rasulullah s.a.w tetapi kewalian para sahabat tidak bisa dinafikan. Sebagian daripada mereka telah disebut nama mereka dengan sahih oleh Rasulullah s.a.w sebagai ahli syurga. Baginda s.a.w juga memberi jaminan bahwa siapapun yang mengikuti mana-mana sahabat baginda s.a.w sesungguhnya orang itu telah mengikuti yang benar. Wali-wali separti Imam Syafi’e dan Imam Malik merupakan yang paling hampir jalan mereka dengan jalan para sahabat Rasulullah s.a.w. Oleh itu perkataan mereka lebih kuat dan lebih kukuh daripada perkataan wali-wali yang bukan berada pada jalan kenabian. Sangat tidak wajar kaum Muslimin membuang perkataan Imam Syafi’e karena terpengaruh dengan perkataan zauk Abu Mukur al-Hallaj. Jalan yang ditempuh oleh Abu Mukur yang ada zauk, fana dan jazbah itu dinamakan jalan kesufian.
7: JALAN KESUFIAN
________________________________________
Nabi Muhammad s.a.w adalah sebaik-baik penyampai, sebaik-baik pembimbing. Baginda s.a.w berkemampuan menyampaikan menurut tahap akal dan suasana kebatinan seseorang. Ahli falsafah mampu menerima pengajaran baginda s.a.w dan ahli kerohanian juga mampu menerimanya. Orang yang semata-mata bertaklid kepada baginda s.a.w juga mampu menerima pengajaran baginda s.a.w. Apa yang baginda s.a.w ajarkan akan terhunjam ke dalam akal fikiran dan hati nurani seseorang. Kalam yang keluar daripada mulut baginda s.a.w menanamkan pengartian pada akal dan penghayatan pada jiwa. Apabila baginda s.a.w mengajarkan ayat-ayat al-Quran, maksud yang sebenar dari ayat-ayat tersebut akan terpahat pada fikiran dan hati sahabat-sahabat baginda s.a.w. Walaupun baginda s.a.w menyampaikan melalui perkataan dan perbuatan tetapi baginda s.a.w juga mampu berkomunikasi secara langsung dengan akal dan hati nurani. Perbuatan dan perkataan baginda s.a.w bartindak sebagai kunci yang membuka tabir hijab yang menutupi akal dan hati. Mata akal dan mata hati menjadi celik apabila menerima sentuhan perkataan dan perbuatan baginda s.a.w. Para sahabat yang menerima pengajaran secara langsung daripada baginda s.a.w akan mengalami perubahan dengan mudah, sesuai dengan apa yang baginda s.a.w ajarkan. Sebaik saja baginda selesai membaca ayat yang mengharamkan arak maka pada ketika itu juga para sahabat baginda s.a.w membuang tabiat meminum arak. Sebaik saja baginda s.a.w selesai menyampaikan perintah sholat fardu lima waktu sehari semalam, maka pada ketika itu juga para sahabat baginda s.a.w masuk ke dalam arus sholat fardu lima waktu sehari semalam. Apabila baginda s.a.w menyampaikan kewajiban berpuasa pada bulan Ramdhan, maka pada bulan Ramdhan tahun itu juga para sahabat baginda s.a.w melakukan fardu puasa. Apabila baginda s.a.w melantik wakil-wakil untuk menyampaikan surat-surat kepada semua penguasa umat manusia di sekitar Semenanjung Arab, maka dengan rela mereka menjalankan tugas tersebut tanpa menghiraukan mereka akan dibunuh atau tidak dalam melaksanakan tugas tersebut. Apabila baginda s.a.w membacakan ayat tentang Allah s.w.t, maka pada ketika itu juga para sahabat mengenal Allah s.w.t. Sesungguhnya Nabi Muhammad s.a.w memancarkan nur yang menerangi akal dan hati manusia.
Kebisaan baginda s.a.w yang luar biasa menembusi akal dan hati manusia itu adalah karena baginda s.a.w dilengkapkan dengan sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah. Baginda s.a.w membawa dan menyampaikan yang benar, tidak menyembunyikan, tidak mengubah kebenaran dan disampaikan dengan penuh kebijaksanaan. Apabila datang yang benar maka yang batal akan menyingkir. Cahaya kebenaran yang dipancarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w menghalau kegelapan yang menyelubungi akal dan hati. Kekuatan cahaya kebenaran yang mampu dipancarkan oleh seseorang pembimbing adalah bergantung kepada setakat mana kesempurnaan sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah yang dimilikinya. Sifat-sifat tersebut dimiliki oleh Nabi Muhammad s.a.w pada tahap kesempurnaan paling tinggi, paling kuat dan paling sempurna. Oleh yang demikian baginda s.a.w meninggalkan kesan yang paling maksima di dalam penyampaian baginda s.a.w. Baginda s.a.w mampu menyampaikan sesuatu perkara dengan menggunakan perkataan paling mudah dan paling ringkas tetapi memberi pengartian yang sangat luas dan kesan yang sangat mendalam kepada pendengarnya. Selama baginda s.a.w berdakwah 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, baginda s.a.w menyampaikan 6,666 ayat al-Quran dan kata-kata baginda s.a.w yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal berjumlah 40,000, dengan kata-kata yang hanya sebanyak itu selama 23 tahun baginda s.a.w sudah menyampaikan dengan lengkap satu agama yang mencangkupi seluruh kehidupan dunia dan akhirat, yang mampu bertahan sehingga hari kiamat. Pekerjaan yang begitu besar dan bidang yang begitu luas baginda sempurnakan dengan tutur-kata yang sangat sedikit. Kemampuan Nabi Muhammad s.a.w itu tidak mungkin dapat dijabar oleh siapapun pun, walau pada zaman mana sekalipun.
Nabi Muhammad s.a.w, mahaguru yang paling arif, pembimbing yang paling bijaksana, telah mengasuh satu kumpulan kaum Muslimin untuk memikul tugas berat membimbing umat manusia. Para pembimbing yang diasuh oleh Rasulullah s.a.w merupakan kumpulan pembimbing yang paling baik di kalangan yang melakukan tugas tersebut. Setelah Rasulullah s.a.w wafat, matahari yang mengeluarkan cahaya petunjuk mulai condong, awan mendung mulai berarak, muncullah bayang menghijab perjalanan. Semakin lama Rasulullah s.a.w meninggalkan dunia ini semakin kurang kesan dan pengaruh yang mampu dihasilkan oleh seseorang pembimbing. Orang banyak telah mengalami kesulitan di dalam mendapatkan bimbingan menuju kepada Yang Haq. Sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah yang ada dengan orang-orang yang seharusnya menjadi pembimbing sudah sangat berkurangan. Ilmu yang mereka sampai tidak lagi berkemampuan membuka pintu akal dan pintu hati. Dalam keadaan yang demikian orang yang benar-benar mencari Yang Haq hilang keyakinan kepada mereka yang memikul tugas sebagai pembimbing di dalam masyarakat. Pencari kebenaran, setelah gagal memperolehi yang di cari melalui ahli ilmu, telah kembali kepada fitrahnya sendiri. Orang yang kembali kepada fitrahnya melihat satu-satunya jalan yang memberi harapan kepadanya adalah memulaikan perjalanan separti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w ketika dunia diselubungi oleh kegelapan akidah dan akhlak dahulu. Orang ini memilih jalan bersendirian, berkhalwat di tempat yang tidak dikunjungi oleh manusia. Walaupun lari dari manusia tetapi orang fitrah itu membawa bersama-samanya pusaka yang ditinggalkan oleh Rasulullah s.a.w yaitu al-Quran dan as-Sunah. Di dalam suasana bersendirian itulah dia melakukan amalan yang diajarkan oleh al-Quran dan as-Sunah berhubung dengan bidang perhubungan hamba dengan Tuhan. Dalam suasana yang demikian, tidak ada perhubungan sesama manusia. Aspek ini ditinggalkan.
Jalan fitrah yang diterokai oleh kumpulan manusia yang mengasingkan diri itu menjadi asas kepada jalan yang kemudian hari dikenali sebagai jalan kesufian. Pengasas aliran sufi adalah manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan, kekeliruan dan ketidak-pastian. Mereka lari daripada kegelapan, kekeliruan dan ketidak-pastian itu sebagaimana Rasulullah s.a.w lari dari suasana jahiliah dahulu. Manusia fitrah yang tinggal sendirian itu melakukan amalan yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w yaitu bersholat, berpuasa, berzikir dan lain-lain. Amalan mereka tidak bersalahan dengan syariat, cuma bidang syariat yang ada hubungan dengan orang banyak tidak diamalkan. Amalan cara yang demikian kemudian harinya dipanggil suluk.
Manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan jahiliah akan merasai tekanan dan kegelisahan pada jiwanya. Jalan keluar bagi orang yang separti ini adalah mengasingkan diri di tempat yang jauh daripada orang banyak dan menghabiskan masanya dengan beribadat kepada Allah s.w.t. Sebagian daripada golongan yang memilih jalan mengasingkan diri akan terus menerus berada di dalam keadaan demikian sementara sebagiannya pula kembali kepada masyarakat setelah rohani mereka mencapai kematangan. Orang yang memasuki jalan bersendirian terus menerus berada pada jalan kesufian dan yang kembali kepada masyarakat adalah orang sufi yang berpindah dari jalan kesufian kepada jalan kenabian. Orang yang kembali kepada jalan kenabian lebih sempurna perjalanannya dan dari golongan inilah muncul para pendakwah yang membimbing umat manusia kepada jalan Allah s.w.t. Kebanyakan sufi yang telah matang kembali kepada jalan kenabian. Abdul Qadir Jilani, Ibrahim Adham, Junaid, Hasan Basri dan banyak lagi merupakan sufi yang kembali kepada jalan kenabian setelah menyempurnakan jalan kesufian. Mereka adalah ahli sufi yang mengikuti jalan kenabian. Sufi yang kembali kepada jalan kenabian ini mempunyai keperibadian yang kuat dan percampuran dengan orang banyak tidak lagi memberi tekanan kepada jiwa mereka, malah mereka mampu membimbing orang lain untuk berjalan kepada Yang Haq. Bagi orang yang separti ini pengembaraan pada jalan kesufian merupakan sebagian daripada latihan memantapkan kerohaniannya bagi melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Golongan tersebut adalah orang yang menjadi pilihan Allah s.w.t dalam menegakkan syariat-Nya di atas muka bumi dan memimpin umat manusia kepada jalan lurus yang sebenarnya.
Peringkat kewalian pada jalan kesufian berbeda dengan peringkat kewalian pada jalan kenabian. Kewalian sufi masuk kepada suasana meninggalkan semua makhluk dan membenamkan ingatan secara terus menerus kepada Allah s.w.t. Kewalian sufi bergerak menghapuskan kehendak diri sendiri dan sifat-sifat kemanusiaan. Sebutan dan ingatan yang terus menerus kepada Allah s.w.t membawa sufi fana diri atau melupakan diri sendiri. Di dalam fana sufi memperolehi jazbah yaitu pengalaman yang berkaitan dengan suasana ketuhanan. Setelah melepasi peringkat fana sufi sampai kepada peringkat baqa atau kekal bersama-sama Allah s.w.t. Di dalam menuju baqa, pada peringkat fana yang paling tinggi sufi hilang kesadaran diri sepenuhnya. Wujudnya hilang dari pandangan dan perasaannya. Hanya Wujud Allah s.w.t saja yang menguasainya. Pada peringkat tersebut sufi mengalami apa yang diistilahkan sebagai wahdatul wujud, di mana wujud hamba dengan Wujud Tuhan tidak lagi berbeda pada alam perasaan sufi. Suasana demikian diperolehi akibat didorong oleh rasa kecintaan kepada Allah s.w.t secara asyik mahsyuk yang bersangatan dan pada masa yang sama kesadaran terhadap diri sendiri hilang. Pengalaman wahdatul wujud menimbulkan apa yang diistilahkan sebagai mabuk. Sufi hanya melihat kepada Wujud Tuhan, tidak lagi kepada wujud dirinya dan sekalian wujud yang selain Tuhan. Bila kewujudan diri sendiri hilang dari alam perasaan sufi sering mengucapkan perkataan yang diistilahkan sebagai latah separti pengakuan bahwa dirinya adalah Tuhan atau Tuhan yang menjadi bakat dirinya.
Kebanyakan sufi sangat mementingkan pengalaman bersatu dengan Tuhan. Mereka menjalani latihan yang berat-berat bagi menghilangkan kesadaran terhadap diri sendiri, yaitu mencapai fana dan dikuasai oleh kecintaan kepada Allah s.w.t yang mengasyikkan. Bagi memperolehi yang demikian sufi perlu menghapuskan semua keinginannya, sifatnya dan identiti dirinya secara menyeluruh. Pekerjaan yang demikian sangat berat, perlu dilakukan latihan menindas jasad. Latihan yang merbahaya dan luar biasa terkenal di kalangan para sufi di dalam proses meleburkan kedirian mereka. Latihan yang demikian membawa sufi melupakan dunia dan akhirat.
Orang sufi percaya rohnya adalah Roh yang dari Allah s.w.t, yang suci bersih. Roh yang suci itu dipenjarakan oleh jasad. Sufi berasa berkewajiban membebaskan rohnya daripada penjara jasad dan mencapai tujuan yaitu bersatu dengan Tuhan. Oleh yang demikian sufi mengistiharkan perang terhadap jasad dengan cara menindas keperluan jasad separti makan, minum, tidur, tutur-kata, pergaulan dan sebagainya. Selagi rohaninya tidak bebas dari pengaruh jasad sufi tidak akan berasa aman. Sikap penindasan terhadap jasad ini menimbulkan kegelisahan, kehangatan dan kemarahan di dalam roh hewaninya yang menghubungkan rohnya dengan jasad. Tindak-balas daripada roh hewani itu sering menimbulkan sikap kasar dan agressif pada orang sufi, terutamanya bagi mereka yang berada pada peringkat permulaian melatihkan diri. Setelah dapat menguasai peringkat roh hewani sufi akan berukur-ukur menjadi tenang dan kesadaran pancainderanya mengecil sehinggalah hilang terus. Dia mencapai kehampiran dengan Tuhan dan seterusnya memasuki suasana bersatu dengan-Nya. Barulah sufi merasakan kerihatan daripada jihadnya terhadap jasad.
Jalan yang ditempuh itu menyebabkan sufi gemar kepada yang indah-indah, mendengar suara yang merdu, lagu-lagu kasih, puisi dan cerita-cerita percintaan. Sebagian daripada para sufi terbawa-bawa kepada berzikir secara menyanyi dan menari sambil diiringi oleh muzik. Keadaan yang demikian menambahkan rasa kecintaan mereka kepada Allah s.w.t dan mengobati kerinduan mereka kepada-Nya. Kerinduan kepada Tuhan sangat menekan jiwa dan menimbulkan kegelisahan yang amat sangat. Aktiviti yang mengasyikkan dapat meredakan tekanan dan kegelisahan tersebut. Perjalanan yang demikian menyebabkan timbul sikap kasar dan tidak terkawal di kalangan sebagian sufi, selama kecintaan kepada Tuhan belum mereka kuasai dan kerinduan kepada-Nya belum terobat. Kerinduan dan keasyikan menyebabkan sufi lupa bukan saja kepada diri dan makhluk, malah sering juga terjadi peraturan syariat dan etika moral tidak diambil berat oleh sebagian mereka. Sebagian sufi masih melakukan peraturan syariat tetapi semata-mata karena menghormati syariat Tuhan bukan karena menghayati peraturan tersebut.
Para sufi yang bersungguh-sungguh dengan latihan kerohanian mereka, setelah memperolehi keasyikan, akan masuk ke dalam suasana kebatinan di mana mereka menyaksikan rupa, bentuk, cahaya dan warna. Pengalaman yang demikian banyak berlaku pada peringkat awal perjalanan sufi. Penyaksian yang demikian sangat menggembirakan mereka, menambahkan keyakinan dan semangat untuk maju terus. Oleh karena penyaksian tersebut terjadi di dalam suasana kebatinan yang ghaib, sufi mudah menghubungkan yang disaksikan itu dengan Allah s.w.t. Timbullah konsep ketuhanan yang tidak jelas dan mengelirukan.
Penghujung jalan para asyikin adalah bersatu dengan Tuhan. Sufi mengalami kefanaan, dirinya hilang dia berkamil dengan Tuhan. Dia dikuasai oleh suasana ketuhanan. Pada peringkat ini sering terjadi ucapan latah separti: “Ana al-Haq!” Ucapan latah yang meletakkan ketuhanan pada diri itu berlaku kepada sufi ketika kesadaran terhadap diri sendiri hilang lenyap. Suasana yang demikian diistilahkan sebagai mabuk. Dalam suasana yang demikian hubungan hati orang sufi dengan Tuhan sangat erat. Dia telah melepaskan segala-galanya demi Tuhannya. Dia telah membuang makhluk dan dirinya demi kecintaannya kepada Tuhan. Gelombang kefanaan yang melanda hati sufi itu mengubah suasana kebatinannya menyebabkan sering muncul keajaiban daripada dirinya, doanya cepat makbul, perkataannya menjadi kenyataan, dia bisa melakukan perkara yang luar biasa separti berjalan di atas air atau masuk ke dalam api. Hasilnya bertambah teguhlah keyakinannya terhadap apa yang dipegangnya.
Perkara luar biasa yang muncul daripada sufi yang di dalam zauk itu menyebabkan orang banyak menjadi percaya kepada apa yang sufi itu iktikadkan. Sufi yang di dalam kefanaan diri menyaksikan satu wujud lalu memperkatakan mengenainya. Muncullah pemahaman wahdatul wujud. Orang banyak yang melihat keajaiban pada sufi itu dengan mudah menerima pemahaman wahdatul wujud yang dipegang oleh sufi itu. Sufi membina pemahaman wahdatul wujud melalui pengalaman kerohaniannya, melalui penyaksian mata hatinya. Dia mengalami sendiri suasana semua wujud hilang dan hanya satu wujud saja yang menyata. Orang banyak pula berpegang kepada pemahaman wahdatul wujud secara ikut-ikutan, tanpa mengalaminya dan tanpa benar-benar mengarti mengenainya. Pegangan sufi dibentuk melalui pengalaman rasa sementara orang lain pula melalui khayalan dan andaian. Sufi yang berkata atau melakukan sesuatu yang menyalahi syariat, bertentangan dengan perkataan al-Quran dan perkataan Rasulullah s.a.w ketika dia dikuasai oleh hal atau mabuk, bisa dimaafkan karena dia berbuat demikian tanpa kesadaran. Orang lain yang di dalam kesadaran biasa yang mengikuti orang sufi secara meniru-niru perlu diberi penjelasan bahwa perbuatan mereka adalah sesat dan kufur.
Pengalaman wahdatul wujud adalah umpama bayangan yang muncul akibat awan mendung menutupi sinar matahari. Setelah awan berlalu bayangan pun hilang. Orang sufi yang berjalan terus akan melepasi peringkat bayangan tersebut. Pemahaman wahdatul wujud ditinggalkan di belakang dan dia masuk kepada jalan kenabian, berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunah. Kebenaran yang sejati terletak dalam al-Quran dan as-Sunah bukan pada zauk, jazbah dan mabuk. Oleh yang demikian orang sufi yang belum melepasi suasana mabuk dilarang keras bercampur gaul dengan orang banyak dan menyampaikan pemahaman yang terbentuk ketika mabuk.
8: KEWALIAN PADA JALAN KENABIAN DAN KEWALIAN PADA JALAN KESUFIAN
________________________________________
Terdapat banyak perbedaan dari segi pengalaman, penyaksian, pemahaman dan pegangan di antara pengembara pada jalan kesufian dengan pengembara pada jalan kenabian. Kewalian sufi diliputi oleh bayangan yang menyata sebagai tajalli-tajalli, sedangkan ia adalah hijab kepada Yang Haq. Kewalian sufi memasuki suasana menyaksikan rupa bentuk, cahaya dan warna. Cinta yang menguasai kewalian sufi adalah cinta yang mengasyikkan dan memabukkan, menghilangkan rasional. Kewalian pada jalan kenabian atau kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w tidak melalui suasana tajalli dan penyaksian kepada rupa bentuk, cahaya dan warna. Pada jalan kenabian, cinta para sahabat kepada Allah s.w.t menyata sebagai ketaatan yang sejati berlandaskan kehambaan yang sebenar-benarnya. Kewalian sufi berpisah daripada dunia dan akhirat. Pada kewalian para sahabat pula, dunia dan akhirat menjadi daerah kekhalifahan mereka. Mereka bertanggung-jawab kepada kehidupan dunia dan mereka bekerja untuk keselamatan di akhirat.
Kehampiran dengan Tuhan pada kewalian sufi bercampur dengan unsur bayangan dan terdapat hijab padanya. Penyaksian sufi sering tertumpu kepada bentuk-bentuk misal yang dinisbahkan kepada Tuhan. Orang sufi biasa mengatakan mereka melihat Tuhan sebagai cuaca subuh atau sebagai satu bentuk atau satu warna. Gambaran misal itu menjadi hijab yang menutupi penyaksian terhadap Allah s.w.t yang tidak berupa, tidak berbentuk, tidak berwarna, tidak bercahaya dan tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya: “ .Pada kewalian terdapat husul yaitu sampai kepada Tuhan. Pada husul terdapat hijab atau bayangan yaitu gambaran misal, dan orang yang memasuki peringkat husul menyatu dengan bayangan atau misal yang dinisbahkan kepada Tuhan, sama ada misal itu cahaya, warna, dirinya sendiri atau apa saja. Penyatuan dengan hijab atau misal ketuhanan itu dirasakan sebagai bersatu dengan Zat Tuhan. Oleh itu melalui husul perbedaan di antara hamba dengan Tuhan dihapuskan. Hamba dengan Tuhan dipertemukan pada satu wujud dan dinamakan wahdatul wujud. Wahdatul wujud hanyalah bayangan, bukan Yang Haq. Kemabukan ketika dilambung gelombang kefanaan yang menghasilkannya. Yang Hakiki hanya ditemui selepas meninggalkan peringkat fana dan mabuk.
Kewalian pada jalan kenabian, kewalian para sahabat, tidak bercampur dengan suasana mabuk, tidak ada fana, bebas daripada bayangan yang menghijab Yang Hakiki. Kewalian para sahabat memperolehi wusul atau berjumpa Tuhan tanpa dihijabkan oleh gambaran misal yang dinisbahkan kepada Tuhan. Pertemuan di antara hamba dengan Tuhan berlaku secara jaga, sedar, bukan dalam suasana mabuk. Bila tidak diganggu oleh mabuk dan gambaran misal, hamba menyaksikan kehambaan dirinya dan hamba menyaksikan ketuhanan Tuhannya. Hamba menyaksikan Tuhan yang : “ ” - tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya, bagaimana Dia dimisalkan oleh sesuatu. Wujud Tuhan dengan wujud hamba bisa dibedakan. Mata keyakinan wali pada jalan kenabian menyaksikan Tuhan Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi dari apa yang disifatkan, digambarkan dan dimisalkan. Penemuan wali pada jalan kenabian sama dengan kenyataan al-Quran dan pengajaran Rasulullah s.a.w. Kewalian pada jalan kenabian itulah yang benar-benar berjumpa dengan Yang Haq. Bila Yang Hakiki ditemui seseorang itu bebas daripada tarikan keasyikan kepada nyanyian dan tarian, bebas daripada mabuk dan pengaruh wahdatul wujud. Tidak terjadi tajalliyat, tidak ada gangguan bayangan dan misalan dan lain-lain yang biasa ditemui pada jalan kesufian. Sebab itu kelakuan ganjil yang biasa menyerang orang sufi tidak didapati berlaku kepada para sahabat Rasulullah s.a.w. Kewalian para sahabat melahirkan kecintaan kepada Allah s.w.t secara ketaatan dengan penuh kerelaan di atas landasan kehambaan yang sebenar-benarnya.
Tajalliyat, sama ada berlaku dalam rupa bentuk, atau di bawah hijab cahaya dan warna, berlaku pada kewalian sufi terutamanya pada peringkat awal perjalanan. Penjelmaan dan tajalliyat adalah bayangan kepada Yang Haq. Tajalli dan penyaksian tertuju kepada bayangan. Orang yang menolak bayangan bebas daripada tajalliyat. Orang yang memasuki jalan kenabian bebas daripada tajalliyat tetapi jika dia sampai kepada jalan kenabian melalui jalan kesufian, pengalaman tajalliyat ditemuinya.
Orang yang memasuki jalan kesufian bekerja untuk menghapuskan semua kehendak. Pada jalan kenabian penghapusan kehendak tidak dituntut. jalan kenabian memperakui bahwa kehendak yang asli adalah baik. Kehendak menjadi jahat apabila diarahkan kepada bahan-bahan dan perkara-perkara jahat. Jadi, bahan dan perkara jahat yang perlu dihapuskan daripada kehendak, bukan kehendak itu sendiri secara keseluruhannya. Kehendak perlu diarahkan kepada sesuatu yang baik menurut petunjuk syariat. Syariat telah menggariskan sempadan yang baik dan yang jahat. Pengembara pada jalan kenabian dikehendaki menjaga dan mengawal kehendak agar tidak keluar daripada daerah yang baik.
Selain daripada penghapusan kehendak, orang yang memasuki jalan kesufian juga menghapuskan sifat-sifat kemanusiaannya. Pada jalan kenabian pula syariat memisahkan sifat kemanusiaan yang baik daripada yang jahat. Orang yang memasuki jalan kenabian hanya perlu menghapuskan sifat yang jahat dan keji, tidak perlu menghapuskan sifat kemanusiaan keseluruhannya. Pada kewalian sufi didapati penafian perbuatan diri sendiri, sifat-sifat diri sendiri dan kewujudan diri sendiri. Semua perkara dan segala sesuatu diisbatkan kepada Allah s.w.t semata-mata. Hal atau suasana penafian diri merupakan ciri kefanaan. Orang yang terus kepada jalan kenabian tidak terlibat dengan penafian diri, sifat dan perbuatan, tetapi jika dia sampai kepada jalan kenabian melalui jalan kesufian dia mengalami juga hal yang demikian.
Kewalian pada jalan kesufian dinamakan wali kecil dan ia dibaluti oleh bayang-bayang yang bercampur dengan perkara-perkara yang tidak jelas dan samar-samar. Wali pada jalan kenabian, termasuklah wali yang telah melepasi jalan kesufian dan memasuki jalan kenabian, adalah lebih sempurna. Jalannya, pemahamannya, pegangannya dan tindak-tanduknya lebih jelas, pasti dan nyata. Wali pada jalan kesufian gemar menggunakan istilah yang ganjil-ganjil dan tidak jelas maksudnya. Mereka suka mengadakan uraian secara berteka-teki yang sukar dimengarti maksudnya. Hujah mereka banyak bersandar kepada pengalaman kerohanian separti zauk dan kasyaf tanpa merujuk kepada sumber yang lebih kuat yaitu al-Quran, as-Sunah ijmak ulama. Wali pada jalan kenabian pula senantiasa bersikap rasional, bersandar kepada sumber yang muktabar dan bisa diterima oleh akal yang sehat. Apabila wali sufi meningkat dan sampai kepada kewalian cara kenabian dia akan meninggalkan daerah yang kesamaran dan meragukan. Dia akan bergabung dengan wali-wali cara kenabian yang lain di dalam mengembangkan syiar agama Islam menurut ajaran al-Quran, as-Sunah dan muafakat ulama.
Bagi orang yang dipimpin, walaupun pada peringkat permulaiannya dia memasuki jalan kewalian sufi namun, akhirnya dia akan sampai kepada jalan kewalian cara kenabian. Pengalamannya dalam bidang kewalian sufi membantunya membentuk keyakinan setelah dia berpindah kepada kewalian cara kenabian. Walaupun kebanyakan sufi yang terkenal memulaikan perjalanan cara kewalian sufi dan kemudiannya berpindah kepada kewalian cara kenabian, tetapi kewalian cara sufi bukanlah syarat yang mesti bagi memperolehi kesempurnaan kewalian cara kenabian. Banyak orang yang terus pergi kepada kewalian cara kenabian tanpa melalui cara kesufian, terutamanya pada zaman Rasulullah s.a.w. Para sahabat yang terus memasuki cara kenabian dan menetap pada jalan tersebut tanpa memasuki cara sufi telah mencapai derajat kewalian yang paling tinggi dibandingkan dengan wali-wali pada semua zaman. Selepas Rasulullah s.a.w, para sahabat adalah contoh yang paling baik untuk diikuti. Rasulullah s.a.w telah mengasuh satu kumpulan manusia sempurna yang bisa diikuti oleh kaum Muslimin yang datang kemudian.
Umat Islam umumnya telah lama keliru di dalam memahami maksud kewalian. Kewalian dan kesufian telah diikat kemas di dalam pemikiran sehingga timbul anggapan hanya orang sufi yang bisa menjadi wali. Orang yang menetap pada Jalan syariat, beriman, beramal salih dan bertakwa, jika tidak memasuki jalan kesufian tidak akan sampai kepada makam kewalian. Orang-orang separti Imam Syafi’e, Imam Malik, Imam Hanafi dan Imam Hanbali tidak disebut sebagai wali Allah. Apakah orang-orang yang dibimbing oleh Allah s.w.t sehingga mereka mampu mengadakan mazhab yang diikuti oleh kebanyakan umat Islam, tidak termasuk ke dalam kelas wali Allah? Apakah orang yang dipimpin oleh Allah s.w.t membentuk kumpulan tarekat yang jauh lebih kecil daripada kumpulan mazhab lebih tinggi kewaliannya daripada orang yang mempelopori mazhab yang besar?
Perlu diketahui bahwa orang yang memasuki aliran kesufian melalui dua peringkat kewalian. Kewalian peringkat pertama dinamakan wali kecil, yaitu kewalian cara sufi yang padanya terdapat amalan suluk, zauk, jazbah, fana, bersatu dengan Tuhan, baqa dengan Tuhan dan lain-lain bentuk pengalaman kerohanian. Setelah menyempurnakan kewalian cara sufi mereka diangkat kepada kewalian cara kenabian, derajat kewalian yang lebih sempurna. Di dalam daerah kewalian cara kenabian orang-orang sufi separti Abdul Qadir Jilani, Hasan Basri, Ibrahim Adham dan banyak lagi bergabung dengan kumpulan wali yang menetap pada cara kenabian separti Imam Syafi’e, Imam Malik dan lain-lain. Semua wali-wali pada peringkat tersebut menjadi sesuai dengan perjalanan Nabi Muhammad s.a.w, para sahabat baginda s.a.w dan dengan syariat yang baginda s.a.w bawa. Malangnya peringkat kesesuaian orang sufi dengan syariat tidak menarik perhatian sebagian daripada kaum Muslimin yang berminat dengan aliran tarekat kesufian. Latihan kesufian lebih dikaitkan dengan kewalian. Kewalian Imam Syafi’e dan Imam Malik yang menetap pada cara kenabian dan berlaku dengan lebih teratur tidak menarik minat mereka. Oleh yang demikian ada kaum Muslimin yang sanggup melepaskan pendapat Imam Syafi’e yang bersandarkan al-Quran dan as-Sunah, demi memegang perkataan wali sufi yang di dalam mabuk. Mereka juga lebih berpegang kepada perkataan wali sufi yang sedang mabuk daripada perkataan wali sufi yang sudah melepasi peringkat mabuk. Konsep ketuhanan yang dinyatakan oleh al-Quran dan diajarkan oleh Rasulullah s.a.w, dipegang oleh para sahabat dan kaum Muslimin umumnya tetapi ditolak oleh sebagian kaum Muslimin yang terpengaruh dengan ucapan sufi yang latah. Mereka lebih terpengaruh dengan ucapan kumpulan sufi yang terperangkap dengan bayangan dan misal.
Kesempurnaan sufi dicapai setelah melalui dua peringkat kewalian, yaitu kewalian cara sufi dan kewalian cara kenabian. Seorang sufi perlu melalui proses menaik dan menurun. Di dalam proses menaik sufi memasuki perjalanan menuju Allah s.w.t yang kemudiannya membawanya kepada perjalanan ‘di dalam’ Allah s.w.t. Puncakk perjalanan ini adalah ‘bersatu’ dengan Allah s.w.t, yang menjadi intisari dan matlamat perjalanan kewalian sufi. Di dalam proses menaik sufi hanya berhubung dengan Allah s.w.t, tidak berhubung dengan sesama makhluk. Sufi terpisah daripada makhluk dan dirinya sendiri. Sufi mencapai fana dan bersatu dengan Tuhan. Pengalaman yang demikian membuat sufi mempunyai satu bentuk kepemahaman tentang ketuhanan.
Setelah menyempurnakan proses pertama sufi masuk kepada proses kedua, yaitu proses menurun, menuju kepada kesempurnaan kewalian dengan melalui jalan kenabian. Ketika menurun mental sufi mulai berpisah daripada Tuhan. Sufi mulai menyaksikan perbedaan di antara Tuhan dengan hamba. Kesadaran sufi terhadap dirinya dan makhluk kembali semula dan akhirnya dia kembali kepada kesadaran sepenuhnya. Proses kedua membentuk kepemahaman dan pegangan yang berbeda dengan proses pertama. Pada proses pertama sufi dikuasai oleh pengaruh wahdatul wujud. Proses kedua pula memisahkan sufi daripada kesan wahdatul wujud itu. Sufi yang telah berpisah dengan pemahaman wahdatul wujud mengakui perbedaan di antara Tuhan dengan hamba dan menerima kenyataan al-Quran bahwa tidak ada sesuatu yang serupa dengan Tuhan. Dua proses yang menghasilkan dua pemahaman dan pegangan yang berlainan berlaku dalam perjalanan sufi.
Orang yang terus kepada cara kenabian tidak mengalami dua peringkat berbeda yang dilalui oleh pada cara kesufian. Pada jalan kenabian tidak berlaku pemutusan hubungan sesama manusia dan penyatuan dengan Tuhan. Tidak ada kefanaan dan kelenyapan diri. Tidak ada zauk, jazbah, mabuk dan tidak berlaku ucapan latah. Pada jalan kenabian akal fikiran senantiasa dalam keadaan sedar. Bila tidak ada peringkat berpisah dengan makhluk tidak ada juga peringkat kembali kepada diri dan makhluk. Bila tidak ada proses bersatu dengan Tuhan tidak ada pula proses berpisah dengan Tuhan. Pengembara pada jalan kenabian tidak dikuasai oleh keasyikan kepada Tuhan yang menyebabkan hilang pandangan terhadap diri sendiri dan makhluk. Mereka juga tidak dikuasai oleh kegairah terhadap makhluk sehingga melupakan Tuhan. Wali cara kenabian senantiasa berhubung dengan Tuhan walaupun mereka sibuk melayani makhluk Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan dan hubungannya dengan makhluk berjalan serentak tanpa gangguan. Tidak berlaku pertentangan di antara perhatian kepada Tuhan dengan perhatian kepada makhluk. Bagi wali yang berada pada jalan kenabian, berkhidmat kepada makhluk Tuhan sebenarnya adalah berkhidmat kepada Tuhan, berdasarkan ingatan dan perhatian kepada Tuhan karena Tuhan yang memerintahkan berbuat demikian. Dalam menguruskan soal makhluk wali Allah sebenarnya melaksanakan kehendak Allah s.w.t, bartindak sebagai khalifah atau wakil-Nya. Walaupun sibuk melayani orang banyak perhatiannya tetap tertuju kepada Allah s.w.t dan mereka mengajak orang banyak kepada Allah s.w.t, taat kepada-Nya dan menghampiri-Nya. Wali pada jalan kenabian melakukan pekerjaan yang mulia ditengah-tengah masyarakat. Allah s.w.t reda dengan amalan mereka dan mereka senang berbuat demikian. Wali yang di dalam daerah kenabian inilah yang menyambung pekerjaan Nabi Muhammad s.a.w di dalam membimbing dan membawa umat manusia kepada Allah s.w.t.
Nabi Muhammad s.a.w bertugas menyampaikan syariat kepada umat manusia. Wali-wali pada jalan kenabian dan wali sufi yang kembali kepada jalan kenabian meneruskan pekerjaan tersebut. Wali yang tidak keluar dari daerah kesufiannya tidak memperdulikan urusan disekelilingnya, tidak memperdulikan sekalipun berlaku kiamat. Wali-wali yang menetap pada daerah kesufian adalah mereka yang tidak diberi tugas. Wali-wali sufi yang dipilih dan diberi tugas akan dibawa kepada daerah kewalian cara kenabian dan mereka melaksanakan tugas yang diamanahkan Allah s.w.t kepada mereka. Tugas utama adalah menyampaikan syariat. Orang banyak dituntut mentaati Nabi Muhammad s.a.w di dalam menjalankan peraturan syariat, bukan mengikuti cara atau amalan wali sufi. Di akhirat kelak yang dihisab adalah yang berkaitan dengan syariat. Latihan kerohanian dan tasauf juga dihisab berdasarkan peraturan syariat. Ketaatan kepada syariat membawa seseorang kepada syurga dan perlanggaran kepada syariat membawa ke neraka. Nabi Muhammad s.a.w dan wali-wali yang mengikuti baginda s.a.w menyampaikan dan mengamalkan syariat dan mereka bersedia untuk berkorban demi mengembang dan mempertahankan syariat.
Kumpulan manusia yang paling mulia adalah Nabi-nabi. Tujuan diutus Nabi-nabi adalah untuk menyebarkan syariat. Pekerjaan menyebarkan syariat adalah pekerjaan yang paling mulia bisa dilakukan oleh seseorang manusia di atas muka bumi. Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia daripadanya. Wali-wali yang menjadi pewaris Nabi meneruskan pekerjaan tersebut. Hanya wali-wali yang telah kembali kepada jalan kenabian yang bisa melakukan pekerjaan tersebut dengan baik dan tepat. Memimpin umat manusia ke jalan yang diredai Allah s.w.t adalah lebih baik daripada melakukan ibadat sendirian tanpa bercampur gaul dengan orang banyak. Ketika masyarakat dilanda oleh kerosakan akidah dan kerosakan akhlak, tuntutan menghidupkan syariat lebih besar lagi. Usaha menghidupkan satu peraturan syariat lebih bermakna daripada latihan kerohanian yang hanya memberi faedah kepada diri sendiri saja. Oleh karena tujuan Allah s.w.t memberi bimbingan kepada wali-wali untuk membimbing umat manusia, maka wali cara sufi yang menerima petunjuk akan kembali kepada cara kenabian serta melaksanakan tugas membimbing umat manusia kepada jalan yang lurus. Ketaatan kepada syariat memelihara seseorang agar teguh di atas jalan yang lurus.
Puncakk kesempurnaan iman, ilmu, amal, takwa, pengalaman dan pencapaian, terdapat pada Nabi Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w menjadi contoh tauladan yang paling baik dan paling tinggi untuk diikuti dan baginda s.a.w juga mestilah dijadikan model di dalam menentukan kedudukan seseorang wali. s.a.w Ketinggian derajat seseorang wali ditentukan dengan setakat mana wali itu menghampiri kualiti-kualiti yang ada pada Nabi Muhammad. Ada wali yang melibatkan diri semata-mata dalam urusan hubungan dengan Tuhan. Wali yang fana dalam Tuhan ini melakukan tuntutan agama yang paling minimal, separti bersholat, tetapi sangat kurang penglibatannya dalam kebaktian kepada sesama manusia. Ada pula wali yang di samping bersungguh-sungguh di dalam urusan perhubungan dengan Allah s.w.t, mereka juga bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan kewajiban sesama manusia. Wali jenis kedua menjalani kehidupan yang lebih sesuai dengan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan mereka merupakan wali yang lebih baik, lebih tinggi dan lebih sempurna. Wali yang bermukim di dalam daerah kewalian sufi, menjadi majzub atau fana dalam Allah s.w.t secara terus menerus, perjalanannya tidak lengkap. Wali yang demikian hanya berjalan separuh jalan saja. Mereka berhenti sebelum menemui Yang Hakiki. Wali tersebut melengkapkan perjalanan kepada Tuhan dan dalam Tuhan sehingga mencapai peringkat bersatu dengan Tuhan. Suasana bersatu dengan Tuhan menimbulkan mabuk yang melahirkan tingkah-laku dan tutur-kata yang ganjil-ganjil. Kemabukan menyebabkan wali tersebut terputus daripada peraturan dan sopan santun kemanusiaan. Dalam keadaan demikian juga peraturan syariat tidak dihormati. Wali jenis ini tidak dibisakan menjadi pembimbing manusia lain karena sifat-sifat kemanusiaannya sudah lenyap. Wali yang layak membimbing manusia lain adalah yang mara terus melepasi peringkat bersatu dengan Tuhan, bergerak jauh dari Tuhan dengan Tuhan, menyaksikan perbedaan di antara hamba dengan Tuhan, menyaksikan wujud hamba yang berpisah dengan Wujud Tuhan, keluar dari suasana mabuk dan kembali kepada keinsanan untuk menceburkan diri dalam kegiatan masyarakat. Wali jenis ini merupakan wali yang melepasi kewalian sufi dan masuk kepada kewalian cara kenabian. Merekalah yang menjadi khalifah Allah di bumi, memikul satu-satu bidang tugas khusus untuk kemanfaatan manusia umum. Inilah kumpulan wali yang menyambung perjuangan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w. Kumpulan ini memikul tugas berdakwah membimbing orang banyak kepada jalan Tuhan. Orang-orang yang kembali kepada jalan Tuhan dipersucikan zahir dan batin agar menjadi hamba Tuhan yang sebenar-benarnya. Hamba yang dipersucikan, berjalan pada jalan Tuhan, bekerja menegakkan syariat Allah s.w.t di atas muka bumi. Pekerjaan wali-wali yang sampai kepada cara kenabian merupakan pekerjaan yang paling mulia karena mereka melakukan pekerjaan Nabi-nabi. Mereka mendapat kedudukan yang paling mulia, sebagai sahabat Allah s.w.t dan Rasul-Nya yang akrab.
Perilaku Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w hendaklah dijadikan neraca dalam menentukan sesuatu perkara agar penilaiannya benar dan tepat. Dalam menilaikan kedudukan seseorang wali, neraca yang didirikan oleh Nabi Muhammad s.a.w hendaklah digunakan Sikap menjadikan kekeramatan sebagai pengukur kewalian adalah sikap yang tidak benar. Kekeramatan bukanlah petanda ketinggian derajat seseorang wali, malah kekeramatan bukanlah syarat kewalian. Biasa terjadi wali yang lebih rendah kedudukannya mengeluarkan kekeramatan yang lebih banyak daripada wali yang lebih tinggi kedudukannya. Wali yang paling tinggi yang muncul pada zaman di belakang ini tidak dapat menyamai kedudukan kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w yang paling rendah. Para sahabat yang berkedudukan sebagai wali peringkat tartinggi pada semua zaman jarang atau tidak ada yang mengeluarkan kekeramatan, tetapi wali yang datang kemudian banyak mengeluarkan kekeramatan. Perlu diambil perhatian bahwa orang kafir, ahli maksiat dan ahli silap mata juga biasa mengeluarkan perkara yang luar biasa separti yang terjadi di kalangan wali-wali. Perkara luar biasa yang dikeluarkan oleh orang kafir, ahli maksiat dan ahli silap mata, tidak ada kaitan dengan kedudukan iman.
Konsep kewalian telah lama mengelirukan umat Islam. Pengagungan kewalian cara sufi dan pengabaian kewalian cara kenabian telah lama menguasai pemikiran mereka. Pemahaman wahdatul wujud, isu bersatu dengan Tuhan, pengguguran taraf kehambaan dan tidak mengambil berat kepada peraturan syariat telah dikaitkan kewalian. Kekeliruan ini sudah sangat jauh mengseret umat Islam. Ia mesti diperbetulkan dengan cara menyebarkan konsep kewalian yang sebenar, yang bersesuaian dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah. Perlu difahamkan bahwa wahdatul wujud adalah kesan sampingan yang bersifat sementara yang dialami oleh wali sufi yang masih di dalam perjalanan. Jika dia menetap pada kewalian sufi kesan tersebut akan berpanjangan. Jika dia masuk kepada kewalian yang lebih sempurna, yaitu kewalian cara kenabian, kesan itu akan hilang. Dia akan kembali kepada syariat dengan penuh keyakinan. Wali yang sampai kepada cara kenabian adalah lebih benar dan lebih tinggi kedudukannya. Wali cara kenabian bersungguh-sungguh dalam kehambaan, mematuhi peraturan syariat dengan sepenuh jiwa raga mereka. Mereka kuat melakukan ibadat, bertakwa dan beramal salih.
Oleh karena Islam mencakupi segala bidang maka Allah s.w.t mendatangkan wali-Nya dalam segala bidang juga. Dalam Islam ada fardu ain dan fardu kifayah. Jika tidak ada seorang pun orang Islam yang menunaikan fardu kifayah dalam sesuatu perkara maka kesemua orang Islam menanggung kesalahannya. Begitu juga jika tidak ada seorang pun wali yang melibatkan diri dalam fardu kifayah maka kesemua wali menanggung kesalahannya. Tuhan tidak berkehendak yang demikian berlaku kepada wali-wali-Nya. Oleh itu Tuhan mendatangkan wali dalam segala bidang. Ada wali yang dikhususkan dalam bidang pentadbiran negara, sebagaimana Nabi Daud a.s dan Nabi Sulaiman a.s mewakili kenabian dalam bidang tersebut. Ada wali yang dikhususkan dalam bidang pengurusan pertanian sebagaimana Nabi Yusuf a.s mewakili kenabian dalam bidang tersebut. Begitu juga dalam bidang-bidang yang lain yang memberi manfaat kepada umat manusia dan makhluk Allah s.w.t. Nabi Isa a.s mengambil bagian dalam bidang perobatan, Nabi Nuh a.s dalam bidang pertukangan, Nabi Musa a.s dalam bidang penternakan dan Nabi-nabi yang lain juga ada bidang kegiatan masing-masing. Nabi Muhammad s.a.w merupakan Nabi yang paling aktif di dalam kegiatan kehidupan harian. Baginda s.a.w pernah memasuki bidang penternakan dan perniagaan. Baginda s.a.w adalah juga pemerintah angkatan perang dan pemimpin agung negara. Baginda s.a.w adalah seorang mufti dan hakim. Ilmu baginda meliputi segala bidang ilmu yang diketahui oleh manusia. Baginda s.a.w mengajarkan ilmu alam, astronomi, kaji hayat, kedoktoran, sains, sejarah, siasah dan lain-lain. Tidak akan ada lagi seorang manusia yang mampu menguasai semua bidang dan semua ilmu separti yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Manusia lain hanya dikhususkan dalam satu atau beberapa bidang saja. Golongan khusus itu adalah wali-wali yang dibekalkan dengan pengetahuan dalam bidang berkenaan. Baik Nabi mau pun wali yang menceburi sesuatu bidang pengkhususan tersebut, mereka melaksanakan tugas mereka selaras dengan peraturan Allah s.w.t. Kegiatan harian tidak menyebabkan urusan ibadat mereka tartinggal. Inilah perbedaan besar di antara wali yang menceburi bidang kehidupan harian dengan orang lain yang berada dalam bidang yang sama. Seorang wali yang menceburi bidang ekonomi mampu menegakkan sistem perekonomian Islam di tengah-tengah berbagai-bagai sistem ekonomi dunia.
Para ilmuan Islam haruslah menyedarkan umat Islam mengenai kewalian. Tokoh-tokoh ilmu yang menghiasai lembaran sejarah Islam haruslah dikaji dengan mendalam apakah tidak mungkin mereka adalah wali-wali yang dikhususkan dalam bidang berkenaan. Orang-orang yang lebih jelas kewalian dan kekhalifahan mereka separti Imam Syafi'’e, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan lain-lain, hendaklah ditonjolkan sebagai wali sebagaimana layaknya, supaya kewalian mereka bisa dicontohi dan tidaklah orang banyak beranggapan hanya orang sufi saja yang menjadi wali.
9: TUJUAN LATIHAN KEROHANIAN CARA SUFI
________________________________________
Manusia fitrah yang memasuki jalan kesufian dan melakukan berbagai-bagai latihan kerohanian didorong oleh tujuan yang suci yaitu untuk menjadi hamba Allah s.w.t sebaik mungkin.. Mereka telah terlebih dahulu mengikuti jalan yang dilalui oleh orang banyak. Mereka telah bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan beramal menurut peraturan syariat. Kehidupan harian dijadikan tarekat buat bermujahadah pada jalan Allah s.w.t, demi memperolehi keredaan-Nya. Dia kuat melakukan ibadat dalam aspek hubungan dengan Tuhan dan juga amalan dalam aspek hubungan sesama manusia. Walaupun mereka sudah menjaga peraturan syariat sekadar kemampuan mereka, namun hati mereka masih merasakan kekosongan. Mereka sudah berjumpa dengan berbagai-bagai guru namun, banyak persoalan yang timbul dalam fikiran mereka tidak dapat dijelaskan secara memuaskan hati mereka. Mereka sampai kepada peringkat mencari sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu apa yang dicari. Mereka diganggu oleh persoalan-persoalan yang mereka tidak tahu di mana mau mendapatkan jawaban. Mereka merasakan kekosongan jauh di dalam lubuk hati, seolah-olah menantikan sesuatu untuk memenuhinya. Kekuatan akal mereka sudah sampai ke perbatasan yang tidak mungkin ditembusi lagi. Jiwa mereka menjadi tidak tenteram dan fikiran mereka keliru. Mereka mencoba mencari kedamaian melalui amalan tetapi tidak berjaya. Mereka mencoba mendapatkan kedamaian melalui orang-orang alim yang mereka kenali, juga tidak berjaya. Orang alim merupakan modal terakhir mereka. Bila modal tersebut gagal memberikan hasil yang mereka harapkan, mereka sampai kepada titik peralihan. Jiwa mereka mudah terangsang apabila melihat kesyirikan, kemunafikan, kefasikan dan kemunkaran yang berlaku di sekeliling mereka. Mereka melihat kerosakan berlaku tetapi mereka tidak terdaya menahannya. Apabila mereka memandang kepada masyarakat mereka melihat kepada kemunkaran dan kerosakan dan apabila mereka memandang kepada diri sendiri mereka melihat ketidak-upayaan mereka mencegah kerosakan yang berlaku. Mereka melihat kerosakan yang berlaku kepada masyarakat separti melihat ombak besar yang menggulung diri mereka. Dalam keadaan yang demikian mereka melihat jalan keselamatan buat mereka adalah mengasingkan diri, lalu mereka masuk ke dalam lembah suluk.
Kumpulan tersebut memasuki suluk dengan niat: “Ilahi! Engkau jualah tujuan dan keredaan Engkau jua yang dicari”. Mereka tidak pernah mengetahui, apa lagi terlibat dengan pemahaman wahdatul wujud, tidak ada motif mau bersatu dengan Tuhan, tidak mengimpikan fana, zauk dan jazbah dan tidak bercadang meninggalkan syariat. Keyakinan mereka terhadap syariat tidak pernah bergoyang, cuma sesuatu tentang syariat itu yang mereka tidak jelas. Jawaban kepada yang tidak jelas itu mereka tidak perolehi melalui jalan yang telah mereka lalui. Kesungguhan melakukan ibadat dan menuntut ilmu tidak menghilangkan gangguan rangsangan syaitan. Setiap kebaikan yang dilakukan diiringi oleh bisikan yang mau merusakkan kebaikan tersebut. Dalam suasana demikian ikhlas adalah sesuatu yang dipaksakan dan mereka mesti bekerja keras mempertahankan keikhlasan itu. Bukan setakat mempertahankan keikhlasan malah kesungguhan melakukan ibadat juga mesti dibaja karena ada saja sesuatu yang mencoba menghalang mereka berbuat ibadat. Pergaulan dengan orang banyak menjadi jalan bagi musuh-musuh ibadat dan ikhlas menyerang mereka. Benteng yang paling baik bagi mereka mempertahankan diri adalah suluk. Latihan-latihan yang dilakukannya semasa bersuluk membawa mereka melepasi gangguan rangsangan syaitan. Amal ibadat dapat dilakukan dengan mudah dan ringan. Sabar, reda, tawakal dan ikhlas menjadi keperibadian mereka, berlaku secara spontan, bukan lagi sifat yang dipaksakan.
Semasa bersuluk itu mungkin mereka terbawa kepada pengalaman kerohanian dan terdorong kepada wahdatul wujud, tetapi akar kehambaan yang teguh akan membawa mereka melepasi yang demikian untuk kembali kepada jalan kenabian. Bila rohani mereka telah benar-benar matang, percampuran dengan orang banyak tidak lagi memudaratkan mereka. Pada masa itu mereka ‘diperintahkan’ supaya kembali kepada masyarakat karena ada tugas yang perlu mereka lakukan. Mereka masuk semula kepada kegiatan masyarakat, membimbing orang banyak agar selamat daripada kemusyrikan, kemunafikan, kefasikan dan kemunkaran, seterusnya kembali kepada Tuhan dengan akidah dan amalan yang bersih.
Kumpulan yang diceritakan di atas merupakan orang yang sampai kepada jalan kenabian melalui jalan kesufian walaupun mereka tidak mengetahui maksud sufi dan istilah-istilah tasauf. Mereka telah memperolehi faedah yang besar daripada latihan kerohanian secara bersuluk. Hati mereka umpama pelita yang mempunyai sumbu tetapi tidak mempunyai minyak. Latihan kesufian umpama memasukkan minyak ke dalam pelita. Gurunya umpama api yang menyalakan pelita tersebut. Setelah pelita hatinya menyala akalnya mampu mendapatkan jawaban kepada persoalan yang mengganggunya selama ini, yang tidak dapat di jelaskan oleh orang lain. Jiwanya menjadi tenang. Derajat kehambaannya meningkat sehingga sampai kepada kesempurnaan. Dia layak bergelar hamba Tuhan yang melaksanakan kehendak dan peraturan Tuhan sebagai yang Dia kehendaki. Tarekat kesufian telah membawanya kepada jalan kenabian yang sebenarnya. Kepercayaan dan keyakinannya kepada kebenaran syariat bertambah dan menjadi teguh serta memudahkannya melaksanakan dan mengamalkan tuntutannya. Mereka bergerak di dalam masyarakat sesuai dengan cara Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w berkecimpung di dalam masyarakat. Mereka telah sampai kepada tujuan mereka diciptakan. Sampai kepada tujuan penciptaan insan itu adalah peringkat paling tinggi. Allah s.w.t menciptakan insan untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Kehambaan adalah peringkat paling tinggi dan paling sempurna. Mereka berpegang kepada Kebenaran Hakiki sebagaimana dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunah. Tidak ada kebenaran yang mengatasi kebenaran syariat. Setelah menemui kebenaran syariat dan mencapai peringkat kehambaan yang sejati, berakhirlah latihan kerohanian. Peringkat seterusnya adalah bekerja menurut peringkat yang dicapai dan kebenaran yang ditemui, sebagaimana Rasulullah s.a.w bekerja setelah menghabiskan peringkat khalwat di Gua Hiraa.
Perkembangan kerohanian sufi dalam mencapai kesempurnaan melalui empat peringkat. Peringkat pertama dinamakan perjalanan menuju Allah s.w.t. Sufi bergerak daripada pengetahuan yang rendah kepada pengetahuan yang lebih tinggi sampai kepada pengetahuan mengenai Wajibul Wujud. Dalam proses ini pengetahuan mengenai mumkinul wujud (wujud yang mungkin) berkurangan sedikit demi sedikit sehingga akhirnya terhapus terus. Keadaan ini dinamakan fana. Fana membawa sufi memasuki peringkat ke dua, dinamakan perjalanan dalam Allah s.w.t. Ia merupakan proses perjalanan yang diistilahkan sebagai makrifat atau mengenal Allah s.w.t dalam suasana yang dinisbahkan kepada ketuhanan atau hakikat-hakikat separti nama-nama Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan hal-hal ketuhanan. Seterusnya sufi sampai kepada suasana yang tiada perkataan dan bahasa bisa bercerita, tiada sifat bisa mengibaratkan, tiada perhubungan bisa dihubungkan dan tiada sesuatu penjelasan. Pengetahuan tidak ada dan makrifat juga tidak ada dalam suasana yang demikian. Tidak ada pengetahuan dan tidak ada pengenalan yang mampu bercerita tentang zat Allah s.w.t. Pengalaman pada suasana kerohanian yang demikian dinamakan baqa atau hidup bersama-sama Tuhan. Ini adalah penghabisan peringkat ke dua. Perjalanan peringkat pertama dan ke dua melengkapkan kewalian cara sufi. Orang yang telah menempuh dua peringkat ini dipanggil sebagai wali sufi atau wali kecil.
Sufi seterusnya bergerak kepada peringkat ke tiga yang dinamakan perjalanan dari Tuhan. Dalam peringkat ini perjalanan bermulai dari pengetahuan yang tinggi kepada yang lebih rendah yaitu dari Wajibul Wujud kepada mumkinul wujud. Sufi yang sampai kepada peringkat ini dinamakan orang arif yang lupakan Tuhan melalui Tuhan, yang kembali dari Tuhan dengan Tuhan, yang kehilangan tetapi menjumpai, yang terpisah tetapi bersatu, yang jauh tetapi dekat, yang tidak bisa dikatakan tetapi tahu, yang tidak bisa disifatkan tetapi kenal. Peringkat ke tiga ini merupakan kebalikan kepada peringkat kedua. Ketika berada pada peringkat kedua sufi mengalami suasana yang diistilahkan sebagai fana dalam Tuhan. Pada peringkat ke tiga pula sufi meninggalkan makam ketuhanan dalam keadaan tidak berpisah dengan Tuhan. Pengaruh mabuk dan wahdatul wujud sudah berkurangan. Kesadaran kemanusiaan sudah mulai kembali sedikit demi sedikit. Bila kesadaran kemanusiaannya telah bertambah kuat sufi melengkapkan perjalanan pada peringkat ke empat yaitu perjalanan dalam alam kebendaan. Pada peringkat ini sufi kembali mengenali sesuatu yang dilupakannya pada peringkat pertama dahulu. Peringkat pertama membuat sufi lupa tetapi peringkat ke empat membuat sufi kembali mengingati. Alam kebendaan menjadi terang benderang kepadanya dan akhirnya dia kembali sepenuhnya kepada kesadaran dirinya dan alam maujud. Dia kembali kepada tempat dia bermulai. Perjalanannya menjadi lengkap.
Perjalanan peringkat ke tiga adalah perubahan dari jalan kesufian kepada jalan kenabian. Peringkat ke empat adalah penyempurnaan cara kenabian untuk memikul tugas yang mulia yaitu membimbing umat manusia kepada Tuhan, meneruskan perjuangan Nabi-nabi.
Ada pula orang yang memasuki jalan kesufian karena dipaksa bukan dengan disengajakan. Golongan ini bisa diibaratkan sebagai orang-orang yang mempunyai tugas tetapi mereka leka dengan kehidupan harian sehingga tercampak jauh daripada tujuan mereka diciptakan. Dengan rahmat dan belas kasihan Tuhan mereka disentak dari kelalaian tersebut dan diseret menghadap Tuhan. Mereka dipisahkan daripada apa saja yang menghalang mereka daripada kembali kepada Tuhan. Dalam golongan inilah terdapat raja yang diturunkan dari takhtanya, orang kaya yang jatuh miskin, orang cantik yang menjadi hodoh dan yang seumpama mereka. Perubahan yang mendadak menimpa mereka memisahkan mereka daripada beban berat yang menghalang mereka berjalan kepada Tuhan dan pada masa yang sama juga mereka terpisah daripada orang banyak. Mereka tidak ada pilihan kecuali mengasingkan diri. Dalam pengasingan itu mereka memperbanyakkan ibadat kepada Tuhan, membentuk penyerahan yang sejati, merelakan apa jua takdir yang sampai kepada mereka. Kesan daripada ujian yang menimpa mereka secara mengejut itu dihapuskan semasa pengasingan atau bersuluk. Dalam keasyikan beribadat itu terbuka kepada mereka peringkat-peringkat perjalanan separti yang dilalui oleh sufi kumpulan pertama. Kumpulan pertama berjalan kepada Tuhan berbekalkan pengharapan. Kumpulan ke dua ini pula tidak membawa sebarang bekal karena segala sesuatu telah diserahkan kepada Tuhan. Mereka telah rela dengan apa juga takdir yang sampai kepada mereka. Kumpulan pertama bekerja keras menghapuskan segala kehendak diri sendiri agar kehendak Tuhan menjadi kehendaknya juga. Pada kumpulan ke dua pula segala kehendak diri sendiri telah dihapuskan ketika ujian bala bencana menghempap mereka. Penghapusan kehendak diri berlaku dengan cepat diikuti oleh sifat penyerahan bulat kepada Tuhan, menghapuskan sifat-sifat keji dari hati mereka. Seterusnya kesadaran diri ikut lenyap bersama-sama dengan pengaruh akal fikiran dan perasaan. Mereka masuk kepada suasana yang dipanggil majzub. Orang majzub mengalami berbagai-bagai hal ketuhanan yang menghasilkan makrifat. Kumpulan yang berjalan melalui tarekat ujian bala ini berjalan lebih pantas daripada kumpulan pertama yang melakukan latihan bersuluk secara kesadaran dan kehendak sendiri, tetapi perkembangan kerohanian pada kumpulan pertama lebih teratur daripada kumpulan ke dua. Bimbingan dari guru yang arif dan bekalan ilmu yang mencukupi membantu kumpulan pertama meningkat dalam bidang kerohanian secara bersistematik dan mereka memperolehi penerangan mengenai apa yang mereka alami. Kumpulan ke dua pula biasanya menjadi majzub tanpa berguru dan mengalami hakikat tanpa mendapat penjelasan mengenainya. Kumpulan majzub ini akan berjalan terus melalui berbagai-bagai pengalaman tanpa mendapat pengetahuan yang jelas mengenai apa yang mereka alami. Setelah mereka melepasi peringkat majzub dan kembali kepada kesadaran keinsanan barulah mereka mempelajari hakikat yang telah mereka alami. Kumpulan yang bergerak secara perguruan selamat daripada fitnah masyarakat. Kumpulan yang tiba-tiba menjadi majzub tanpa berguru sering menimbulkan fitnah kepada orang banyak karena latar belakang mereka yang tidak kuat dan tidak alim dalam bidang agama, sedangkan mereka mulai bercakap tentang ketuhanan, membuat orang banyak curiga kepada mereka. Lebih buruk lagi jika di dalam keadaan hilang kesadaran itu mereka tidak mematuhi peraturan syariat dan adab kemanusiaan. Walau bagaimana pun setelah mereka kembali kepada kesadaran dan memperolehi pengetahuan tentang pengalaman kerohanian mereka, mereka akan bergerak sesuai dengan peraturan syariat dan dapat mengelakkan diri daripada menimbulkan kekeliruan kepada orang banyak.
Tidak semua orang yang menempuh jalan kerohanian akan kembali kepada kesadaran semula. Ada yang menjadi majzub terus menerus, fana dalam Tuhan secara berterusan dan tidak kembali lagi kepada kesadaran keinsanan. Orang yang separti ini telah naik ke tempat yang tinggi tetapi tidak menjumpai jalan turun. Suasana kebatinan mereka berbeda daripada orang banyak. Lantaran itu adab dan sopan santun orang banyak tidak memberi apa-apa makna kepada mereka, malah syariat juga bisa tertanggal ketika mereka dikuasai oleh jazbah. Orang yang hilang kesadaran ini tidak bisa dijadikan pembimbing karena mereka bercakap bahasa zauk sedangkan orang banyak yang dalam kesadaran menggunakan akal untuk mentafsirkan pengalaman zauk. Akal tidak mampu menerangkan pengalaman hakikat.
Orang yang dalam zauk banyak bercakap mengenai perkara ghaib dan hal ketuhanan. Daripada mulut mereka juga mudah keluar cerita mengenai penyaksian mata hati terhadap rupa, bentuk, warna dan cahaya yang dinisbahkan kepada ketuhanan. Orang yang dalam zauk juga melahirkan keasyikan yang mendalam kepada Tuhan. Daripada mereka juga selalu keluar perkara luar biasa yang diistilahkan sebagai keramat. Kekeramatan yang disaksikan menyebabkan orang lain menjadi yakin dengan apa yang mereka perkatakan. Ada orang yang di dalam kesadaran menggubah konsep ketuhanan hanya dengan mendengar ucapan orang majzub. Tuhan dimasukkan ke dalam sempadan rupa, bentuk, warna dan cahaya atau sesuatu menurut khayalan dan sangkaan mereka. Orang yang di dalam kesadaran biasa, tidak pernah mengalami zauk, menjual konsep ketuhanan yang diperolehi dari perkataan orang majzub, adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Golongan ini dan pengikut mereka adalah kufur, tetapi orang majzub, walaupun pada zahirnya menyalahi syariat, mereka patut dimaafkan karena mereka dikuasai oleh mabuk.
Ada juga orang yang memasuki aliran kesufian dengan tujuan mendapatkan kebisaan yang luar biasa karena mereka terpesona melihat kekeramatan yang keluar daripada wali sufi. Bidang kekeramatan yang paling digemari adalah keramat zahir yaitu kebisaan luar biasa dalam bidang keduniaan. Sufi beramal karena mau menyucikan hati bagi mengabdikan diri kepada Tuhan. Kumpulan sufi celup itu pula menggunakan amalan sufi untuk mendapatkan kebisaan yang luar biasa dan ilmu yang mampu menguasai sesuatu perkara bagi kepentingan duniawi. Amalan yang dilakukan orang karena Allah s.w.t diceduk untuk dijadikan amalan karena kepentingan diri sendiri. Pekerjaan ibadat menurut peraturan syariat digubah menjadi khurafat. Pengalaman kebatinan pada alam khadam dikatakan alam ketuhanan. Apabila memperolehi keramat khadam mereka mendakwa diri mereka sudah menjadi wali yang agung. Bila sudah menguasai sesuatu kebisaan yang luar biasa mulailah mereka mendakwa ketuhanan diri lalu menanggalkan kehambaan dan mencampakkan syariat. Mereka adalah golongan yang sesat dan kufur!
Tarekat sufi bukan bertujuan untuk memperolehi penyaksian terhadap rupa, bentuk, warna dan cahaya. Ia juga bukan untuk mendapatkan kekeramatan. Apa juga yang disaksikan dan apa juga yang diperolehi adalah gubahan Tuhan, bukan Tuhan. Tarekat sufi bukan untuk menukarkan manusia menjadi Tuhan. Tuhan tetap Tuhan dan hamba tetap hamba, tidak bisa diadakan bahasa yang kesamaran mengenai perbedaan dua perkara tersebut. Pada satu peringkat perjalanan sufi mungkin terjadi terbalik pandangan mereka sehingga mereka tidak menyaksikan perbedaan di antara hamba dengan Tuhan. Perkara demikian berlaku bukan disengajakan. Ia terjadi akibat pertembungan diri rohani dengan alam tinggi. Pertembungan tersebut menimbulkan mabuk. Orang yang sedang asyik dengan Tuhan, apabila dikuasai oleh mabuk, tidak melihat lagi kepada yang lain kecuali Tuhan. Bagi mereka semuanya adalah Tuhan. Apa yang ditemui pada peringkat ini bukanlah kebenaran yang muktamad. Ia baru suasana menuju kebenaran. Suasana demikian hanyalah bayangan atau misal yang muncul dalam alam kebatinan sufi yang sedang dilambung gelombang kefanaan dan keasyikan dengan Tuhan. Keasyikan seorang jejaka kepada seorang gadis sering juga menimbulkan bentuk misal. Lagu-lagu percintaan sering menggambarkan rupa kekasih sebagai bulan purnama dan suara sebagai buluh perindu. Misal yang digubah dalam kesadaran hanyalah khayalan, tetapi misal dalam alam ghaib adalah nyata dalam keghaiban (bisa disaksikan oleh mata hati tetapi tidak bisa dilihat dengan mata zahir). Yang menyata pada hati orang yang sedang dilamun cinta hanyalah gambaran, bayangan atau misalan yang tidak sedikit pun menyerupai yang sebenar. Kecintaan kepada Tuhan memberi kesan yang sangat kuat kepada hati. Orang yang asyik dengan keindahan Tuhan bisa berdiri di tepi pantai dari pagi hingga ke petang, tanpa jemu, tanpa menghiraukan panas matahari. Bila ditanya apa yang dia lihat, dia akan mengatakan dia melihat Tuhan. Keasyikan kepada Tuhan bercampur dengan rindu yang membara membuat seseorang mabuk ketuhanan sehingga tidak ada apa yang disaksikannya melainkan dinisbahkannya kepada Tuhan. Suasana hati yang demikian juga melahirkan rasa bersatu dengan Tuhan. Penyatuan hanya berlaku dalam alam perasaan, bukan penyatuan yang sebenarnya.
Menyaksikan perkara ghaib dan mendengar suara ghaib bukanlah kesudahan jalan sufi. Semua itu hanyalah bayangan. Allah s.w.t berbeda, tiada persamaan sedikit dengan yang demikian. Walau bagaimana tinggi pun anggapan diberikan kepada sesuatu pengalaman kerohanian itu ia tidak ada nilai sebelum diuji dengan al-Quran dan as-Sunah. Jika pengalaman tersebut bersesuaian dengan al-Quran dan as-Sunah barulah ia menjadi berharga dan bisa dipegang. Ketika seseorang itu masih diperingkat bayangan kerohaniannya masih belum matang dan dia belum mencapai kesempurnaan. Jika dia terus menerus di dalam bayangan, tinggalkan dia dengan alamnya sendiri. Tuhannya yang akan menjaganya. Ikutlah wali yang telah sampai kepada kesempurnaan jalan, beramal sesuai dengan cara Nabi Muhammad s.a.w.
Jangan sekali-kali melepaskan pandangan daripada Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w.
10: PENGALAMAN KEROHANIAN SUFI
________________________________________
Roh Insan adalah cahaya dan nafsunya adalah kegelapan yang membungkus cahaya itu. Kaum sufi mengadakan latihan untuk menghalau kegelapan nafsu dan memancarkan cahaya roh. Jika tumpuan kepada Allah s.w.t dilakukan dengan penuh kekhusyukan disertai oleh penyerahan kepada-Nya dan penyerapan dalam-Nya dengan cara yang betul, akan muncullah daya dan upaya yang menghalau kegelapan untuk memberi laluan kepada cahaya yang terang benderang. Bila penyerapan (kefanaan) ini bertambah kuat sehingga sufi sampai kepada peringkat melupakan dirinya dan segala yang maujud, sufi itu akan lenyap di dalam penyaksian cahaya-cahaya, seterusnya dia sampai kepada matlamat dengan membawa hijab bersama-samanya. Pada tahap ini dia sepenuhnya berada dalam kefanaan zahir dan batin. Jika selepas pengalaman fana itu penyaksian berterusan dengannya dia akan maju ke hadapan untuk melepasi peringkat fana dan mencapai baqa. Pada makam ini sufi tersebut bisa dianggap sebagai seorang wali. Sebagian sufi yang sampai kepada makam ini kekal dalam penyerapan terhadap apa yang disaksikannya, lupa terhadap dirinya dan berterusan dalam suasana demikian sehingga ke akhir hayatnya. Sebagian sufi yang lain melepasi peringkat tersebut, kembali kepada kesadaran keinsanan dan kehidupan dunia, lalu mengambil tugas dalam bidang dakwah, membimbing orang lain kepada jalan Allah s.w.t. Pada tahap ini batinnya tidak berpisah dengan Tuhan sementara zahirnya sibuk melayani makhluk Tuhan. Dia keluar dari bayangan dan hijab karena cahaya roh sudah menembusi kegelapan nafsu. Bila cahaya sudah menang kegelapan akan tunduk kepada cahaya untuk berbuat ibadat dan ketaatan kepada Allah s.w.t. Nafsu menjadi suci bersih, tidak lagi mengseret kepada kemaksiatan dan kemunkaran. Orang yang telah mencapai peringkat di mana cahaya rohnya keluar memancar dari kegelapan nafsu dan nafsu tunduk kepada kebenaran itu layak masuk ke dalam golongan ‘tangan kanan’ Tuhan. Golongan yang kembali sedar dan mengambil bagian dalam kegiatan kehidupan dunia ini akan dikurniakan kejayaan oleh Tuhan dalam tugasnya. Rahmat Tuhan mengalir melalui mereka kepada umat manusia.
Peringkat perjalanan sufi yang sering menimbulkan kekeliruan adalah peringkat yang ada suluk, jazbah, zauk, fana dan baqa. Di antara semua hal dalam peringkat tersebut, penyaksian kepada rupa, bentuk, warna dan cahaya merupakan perkara yang paling menimbulkan tanda-tanya.
Suluk adalah satu bentuk latihan kerohanian yang bertujuan mengosongkan hati daripada sifat-sifat yang keji dan memasukkan sifat-sifat yang terpuji ke dalamnya. Berbagai-bagai jenis ibadat dilakukan semasa bersuluk. Bentuk latihan dan ibadat yang terperinci bergantung kepada perguruan tarekat masing-masing. Semasa bersuluk itu seseorang mungkin mengalami atau merasai sesuatu yang dinisbahkan kepada ketuhanan, di mana hijab terangkat dan orang yang berkenaan menyaksikan atau merasakan suasana alam ghaib. Suasana yang menguasai hati itu dinamakan jazbah dan hati yang dikuasai oleh jazbah itu dikatakan berada dalam zauk. Perkara atau pengalaman yang dizaukkan itu dinamakan hal. Jazbah itu terjadi ketika seseorang itu hilang kesadaran terhadap dirinya dan alam maujud sekaliannya. Kelenyapan kesadaran itu dinamakan fana. Seseorang itu mengalami kefanaan tatkala terbuka hal-hal ketuhanan kepada hatinya. Selepas melalui kefanaan seseorang memperolehi semula kesadaran dirinya tetapi dalam keadaan merasakan dirinya berada bersama-sama Allah s.w.t. Suasana yang begini dinamakan baqa.
Jazbah, fana dan baqa merupakan pengalaman hati, berlaku dalam alam kebatinan orang yang sedang bersuluk. Dalam keadaan demikian hati menyaksikan atau mengalami perkara ghaib. Yang disaksikan itu bisa jadi rupa, bentuk, warna atau cahaya. Walaupun yang disaksikan itu bersifat ghaib, tidak bisa dipandang dengan mata zahir, tetapi ia bukanlah Tuhan. Penyaksian tersebut tertuju kepada bentuk misal yang digubah oleh Tuhan. Bentuk misal bukanlah Yang Hakiki. Yang Hakiki tidak dapat dimisal atau digambarkan. Bentuk misal yang muncul itu bergantung kepada diri orang yang berkenaan dan apa yang dia asyikkan. Orang Hindu yang asyikkan lembu akan menemui bentuk misal lembu dalam alam kebatinannya. Orang Keristian yang asyikkan Isa al-Masih akan temui bentuk misal Isa al-Masih. Orang Yahudi yang asyikkan Uzair akan temui bentuk misal Uzair. Orang yang asyikkan dirinya akan temui bentuk misal dirinya. Bentuk misal menjadi tumpuan orang yang sedang keasyikan dan kerinduan. Seorang kekasih yang sedang keasyikan dan sangat merindui kekasihnya merasakan gambar kekasihnya yang hanya sekeping kertas sebagai kekasihnya sendiri, hidup-hidup. Gambar itu dipeluk dan diciumnya, malah dia berkata-kata dengan kertas ditangannya itu. Bentuk misal pada alam ghaib berbeda daripada gambar pada kertas yang kaku. Misal alam ghaib bisa disaksikan oleh hati. Oleh yang demikian misal alam ghaib meninggalkan kesan yang lebih kuat dan lebih mendalam kepada hati yang menyaksikannya. Orang yang sedang asyikkan Allah s.w.t, tidak ada sesuatu dalam ingatannya selain Allah s.w.t, segala keasyikan dan kerinduannya akan menjurus kepada cahaya atau misal yang disaksikannya dalam alam ghaib. Pada perasaannya apa yang disaksikannya adalah Allah s.w.t, semata-mata Allah s.w.t, tidak yang lain. Orang yang dalam keadaan demikian bukan saja dikuasai oleh penyaksian terhadap Allah s.w.t pada alam ghaib, bahkan pada alam nyata juga. Apa yang menyata pada pandangan zahirnya dan pandangan hatinya, baginya adalah Allah s.w.t, tiada yang lain. Bentuk ghaib dan bentuk nyata semuanya menjadi misal untuknya melihat Allah s.w.t. Pengalaman yang demikian terjadi akibat mabuk. Mabuk ketuhanan dialami oleh hati. Ia terjadi karena insan sebagai bekas yang baru dan lemah digunakan untuk ‘memasukkan’ Allah s.w.t ke dalamnya. Tidak ada satu pun makhluk yang mampu menanggung Tuhan. Bukit Thursina yang dihadapkan dengan tajalli Allah s.w.t telah hancur berkecai. Bukit dan tubuh manusia sama-sama disusun daripada anasir tanah, air, api dan angin. Jika bukit hancur berhadapan dengan tajalli Allah s.w.t, tubuh manusia juga akan hancur dalam keadaan demikian. Oleh karena yang berlaku pada hati bukanlah tajalli Allah s.w.t tetapi hanyalah misalan yang lahir dari keasyikan dan kerinduan kepada Allah s.w.t, maka tubuh mampu bertahan dan tidak menjadi hancur. Walaupun begitu Cinta Allah s.w.t tetap memberi kesan kepada hati dan tubuh badan. Kesan kepada hati dinamakan mabuk ketuhanan. Tubuh yang menjadi bekas kepada hati yang menerima mabuk ketuhanan itu akan mempamerkan kesan tersebut separti menggeletar, berubah warna menjadi pucat, menari, menyanyi dan lain-lain mengikut hal mabuk orang berkenaan. Cinta Allah s.w.t dan mabuk ketuhanan itu juga yang melahirkan rasa bersatu dengan Allah s.w.t. Mabuk ketuhanan dan rasa bersatu dengan Allah s.w.t terjadi ketika seseorang itu melupakan dirinya. Apabila kesadaran terhadap kewujudan diri kembali sedikit demi sedikit, rasa bersatu berubah menjadi rasa kekal bersama-sama Allah s.w.t atau baqa.
Pengalaman bersatu dengan Tuhan, sebelum mencapai baqa, menimbulkan keasyikan, mabuk dan terbalik pandangan yang menyebabkan terhijab Yang Hakiki. Penyatuan yang mabuk itu biasanya menimbulkan latah, yaitu terucap kata-kata yang menyalahi syariat. Pengalaman wahdatul wujud atau merasai satu wujud bisa menyebabkan seseorang mengingkari Sunah Rasulullah s.a.w, sedangkan Allah s.w.t memerintahkan supaya mentaati Rasul-Nya. Hanya orang yang dipimpin dan dipelihara akan tetap berada dalam sempadan syariat sekalipun mereka mengalami wahdatul wujud. Mereka yang dipelihara mengekalkan sholat lima waktu dan menjauhkan perbuatan dosa. Mereka juga tidak terlibat dengan ucapan latah. Sekalipun sufi yang di dalam mabuk terlibat dengan ucapan latah tetapi mereka tidak bisa dikutuk dan juga orang yang mendengar ucapan demikian tidak menjadikannya pegangan. Sufi yang di dalam keadaan mabuk ketuhanan dikuasai oleh perasaan cinta kepada Allah s.w.t yang bersangatan sehingga hilang kesadarannya terhadap dirinya dan makhluk sekaliannya. Mereka berhak dimaafkan dari kesalahan mereka mengeluarkan ucapan latah dalam keadaan tidak sedar. Orang banyak yang bukan dalam jazbah, jika mengatakan demikian, beramal menyalahi syariat atau melepaskan syariat, maka mereka adalah sesat dan kufur.
Ketika dalam suasana penyatuan orang sufi tidak dapat membedakan di antara yang betul dengan yang salah, yang benar dengan yang batal, kesenangan dengan kesusahan, emas dengan pasir dan yang baik dengan yang buruk. Jika dia maju ke hadapan lagi dia akan masuk kepada peringkat di mana dia bisa membuat perbedaan di antara benar dengan salah dan baik dengan buruk. Orang sufi yang sudah masuk kepada peringkat ini, walaupun masih dikenali sebagai sufi, tetapi jalan mereka sudah berubah kepada tarekat Islam (jalan kenabian), bukan lagi tarekat sufi. Dalam tarekat Islam orang bisa membedakan Tuhan dengan makhluk, dosa dengan pahala dan sebagainya.
Perpindahan daripada tarekat sufi yang ada wahdatul wujud kepada tarekat Islam yang membedakan Wujud Tuhan dengan wujud makhluk, tidaklah membebaskan sufi daripada kesan wahdatul wujud dengan serta merta. Ketika di peringkat awal mengalami perbedaan, walaupun sufi sudah mulai mengenali perbedaan tersebut, tetapi keupayaannya masih lagi lemah dan mereka masih belum mampu mengadakan pemisahan dengan jelas. Mereka masih mempercayai, walaupun sudah melihat perbedaan, bahwa perbedaan tersebut bersumberkan kepada kesatuan. Suasana yang demikian menimbulkan ungkapan: “Pandang yang banyak kepada Yang Satu” ; “Pandang Yang Satu kepada yang banyak” dan “Pandang Yang Satu kepada Yang Satu”. Bila mereka maju lagi keupayaan mengadakan perbedaan menjadi semakin kuat dan jelas sehingga akhirnya mereka benar-benar mampu mengadakan perbedaan. Pada akhir perjalanan mereka akan melihat dengan jelas bahwa Tuhan dengan makhluk bukan satu. Tuhan bukan alam dan alam tidak sedikit pun menyamai Tuhan. Tuhan melampaui segala sesuatu. Tidak ada maklumat, ibarat dan misal yang mampu menceritakan tentang Tuhan. Bila sampai kepada peringkat ini sufi telah terlepas sepenuhnya daripada pengaruh pengalaman wahdatul wujud, bersatu dengan Tuhan dan mabuk. Sufi kembali sedar dan bisa mengawal tutur katanya. Tidak ada lagi ucapan latah. Perkataan dan perbuatannya tidak lagi menyalahi syariat. Mereka kembali kepada syariat dan menjadikan Rasulullah s.a.w dan para sahabat sebagai teladan. Peningkatan tersebut berlaku secara berperingkat-peringkat. Orang yang tidak berhenti di tengah jalan akan menemui kebenaran yang sejati di penghujung jalannya. Tarekat kesufian berubah kepada tarekat Islam atau jalan kenabian. Tidak ada lagi pemahaman yang mensyirikkan Tuhan dengan bayangan, gambaran, rupa, bentuk, warna, cahaya dan sebarang misal. Pemahaman dan pegangan mereka sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah.
Pengalaman kerohanian separti fana dan baqa, pengalaman rasa dan penyaksian kepada gambaran misal pada alam ghaib, semuanya berlaku dalam alam kebatinan atau alam perasaan sufi, bukan kewujudan yang nyata. Manusia tidak bertukar menjadi Tuhan, tidak bersatu dengan-Nya dan tidak juga kekal bersama-sama-Nya. Tuhan tetap Tuhan dan hamba tetap hamba. Baik cahaya mau pun suara yang didengar semuanya adalah gubahan Allah s.w.t tetapi bukanlah Dia. Apa juga yang disaksikan dan didengar hendaklah dinafikan dengan memperbanyakkan ucapan: Kalimah Tauhid ini mestilah membawa maksud : “Tiada Tuhan melainkan Allah” bukan “Tiada yang maujud melainkan Allah”. Makhluk tetap wujud pada kenyataan sekalipun hilang pada alam perasaan sufi. Tuhan tetap Berdiri Dengan Sendiri pada makam ketuhanan-Nya dan makhluk tetap wujud dalam sempadan wujud yang Tuhan tentukan untuk mereka. Tuhan menciptakan makhluk dengan peraturan dan ketetapan bahwa tidak mungkin wujud makhluk berlanggar atau bertembung dengan Wujud Tuhan, tidak mungkin berlaku penyatuan atau perpisahan dan tidak mungkin bersamaan. Wujud makhluk tidak bisa disamakan sedikit pun dengan Wujud Tuhan.
Rupa, bentuk, misal, cahaya dan warna yang disaksikan oleh sufi hanyalah gubahan Tuhan bukan Zat Tuhan dan bukan juga Sifat Tuhan. Tuhan menggubahkan yang demikian sebagai tarikan bagi sufi untuk mengenali-Nya. Sufi yang benar akan maju terus untuk melepasi gubahan Tuhan itu menuju kepada Yang Hakiki, yang melepasi segala bentuk gubahan, maklumat, sifat dan misal. Alam Misal yang dipertemukan dengan sufi itu berperanan sebagai batu loncatan untuk sufi bertawajjuh (melonjak) kepada Yang Haq. Peranan misal tersebut samalah separti peranan al-Quran. Al-Quran yang menjadi petunjuk kepada sebagian manusia dijadikan hujah oleh kumpulan manusia yang lain dalam mempertahankan pegangan mereka yang keliru. Manusia dari berlainan mazhab bertengkar sesama sendiri dengan masing-masing menggunakan al-Quran sebagai hujah. Bagi sebagian manusia al-Quran mendatangkan petunjuk tetapi bagi yang lain pula digunakan untuk menyebarkan fitnah. Begitu juga keadaan misal yang dipersaksikan kepada sufi dalam alam ghaib. Sebagian daripada mereka mendapat manfaat daripadanya dan mereka didorong oleh yang demikian untuk sampai kepada Yang Haq. Sebagian yang lain pula tertawan lalu berhenti di situ. Orang yang berjalan terus menemui Yang Maha Esa, yang menggubah bentuk, rupa, cahaya dan warna, yang mengeluarkan semua stesen dan membimbing siapapun saja yang Dia kehendaki. Sebelum sampai kepada Yang Hakiki apa juga yang disaksikan hanyalah bayangan, walaupun pengalaman menyaksikan ‘yang banyak pada Yang Satu’ atau sebaliknya. Nafikan segala yang datang. Ulangi kalimah: “ ” sebanyak mungkin sehingga habis segala penyaksian dan pengetahuan juga tidak ada lagi. Pada tahap ini sufi dikuasai oleh keheran-heranan, karena apa juga yang dibina oleh pengetahuan, penyaksian, khayalan, fikiran, cita-cita dan angan-angan semuanya runtuh dan lemah longlai apabila berhadapan dengan Zat Allah s.w.t. Tidak ada apa yang bisa mengatakan atau menggambarkan tentang Yang Hakiki. Apa yang tinggal adalah kejahilan. Inilah tahap fana yang sebenarnya. Sebelum mencapai keheran-heranan dan kejahilan hakiki, seseorang itu sebenarnya belum lagi memperolehi fana hakiki. Jangan cepat menyangka diri sudah mencapai matlamat dan berhubung dengan Tuhan. Perjalanan masih lagi jauh.
Bukanlah pengetahuan (ilmu) dan pengenalan (makrifat) yang menandakan seseorang itu sudah sampai ke penghujung jalan. Selagi ada ilmu dan makrifat selagi itulah jalan belum tamat. Tanda seseorang itu sampai ke peringkat akhir adalah apabila tidak ada lagi pengetahuan dan tidak ada juga makrifat, kedua-duanya mengaku kalah di hadapan Allah s.w.t. Apa yang ada hanyalah kejahilan hakiki. Tidak ada lagi pendapat tentang Tuhan juga tidak ada walau satu bentuk pun pengenalan mengenai-Nya. Pada ketika itu hamba dengan segala kerendahan hatinya mengakui bahwa tidak ada siapapun yang mampu memecahkan benteng keperkasaan-Nya yang melindungi keesaan-Nya. Pengetahuan sebenar tentang Tuhan adalah tidak tahu. Pengenalan sebenar tentang Tuhan adalah tidak kenal. Setinggi-tinggi ilmu dan makrifat yang bisa dicapai adalah pengakuan bahwa hanya Dia yang kenal Diri-Nya. Abu Bakar as-Siddik yang senantiasa benar telah mengatakan: “Maha Suci Tuhan yang tidak mengadakan jalan untuk Dia dikenali melainkan memberi kita kesadaran dan pengetahuan yang Dia tidak mungkin dikenali”.
Haruslah difahami tentang tujuan fana dan baqa. Ia bukanlah jalan untuk mendapatkan kekeramatan atau kebisaan yang luar biasa. Ia juga bukan bertujuan mendapatkan ilmu dan makrifat yang tidak ada dalam al-Quran dan tidak diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Ia juga tidak bertujuan mengadakan peraturan baru yang tidak ada dalam syariat. Fana yang sebenar adalah membuang apa saja yang tidak suci, bebas daripada mencintai dunia, dapat membendung fitnah nafsu. Semuanya adalah berdasarkan kehambaan kepada Allah s.w.t. Baqa sebenar adalah melakukan semua perintah Allah s.w.t, menjadikan kehendak-Nya sebagai kehendak diri sendiri tanpa perlu membuang kedirian sendiri. Fana dalam wahyu dan baqa dalam ubudiah adalah jalan yang paling benar dan paling lurus.
Bagi mencapai fana secara sufi, seseorang itu hanya perlu mengalami penyaksian yang satu, diistilahkan sebagai tauhid syuhudi. Dia tidak perlu mempercayai dan berpegang dengan pemahaman satu wujud, atau tauhid wujudi atau biasa dikenali sebagai wahdatul wujud. Bukanlah mustahil bagi seorang sufi maju dalam bidang kerohanian, meningkat dari satu makam kepada makam yang lebih tinggi, tanpa dia melibatkan diri dengan pemahaman wahdatul wujud atau ikut mengalaminya. Banyak sufi sampai kepada matlamat tanpa melalui pengalaman wahdatul wujud, malah tanpa pengalaman yang demikian perjalanan akan menjadi lebih teratur dan mudah. Orang yang terlibat dengan wahdatul wujud berkemungkinan besar ditawan oleh bayangan yang menyebabkan sukar bagi mereka melepasi suasana tersebut. Orang yang tidak melalui wahdatul wujud mudah sampai kepada matlamat. Golongan wahdatul wujud mengejar bersatu dengan bayangan sementara yang menolak wahdatul wujud menemui Yang Hakiki. Walaupun jalan kesufian sering dikaitkan dengan pemahaman dan pengalaman wahdatul wujud tetapi perlulah diketahui bahwa banyak dari kalangan mereka yang beramal menurut tarekat sufi tetapi tidak ditarik kepada hal yang demikian. Jadi, mengikat kesufian dengan wahdatul wujud sebenarnya tidak tepat. Ia hanyalah satu kemungkinan yang ada pada jalan kesufian tetapi bukanlah kemestian. Banyak daripada kalangan sufi yang terdorong kepada wahdatul wujud akhirnya meninggalkan pemahaman tersebut dan kembali kepada jalan kenabian. Sufi yang ditarik kepada jalan kenabian memasuki jalan yang dipanggil jalan mahabbah. Kasihan belas Tuhan yang membimbing mereka untuk keluar daripada bayangan awan wahdatul wujud untuk menyaksikan Yang Haq. Sufi yang memasuki jalan mahabbah menafikan wahdatul wujud dan apa saja yang disaksikannya. Setelah habis yang disaksikan sufi itu masuk kepada suasana kejahilan dan keheranan bukan ilmu dan makrifat. Tuhan tidak termasuk di dalam perbatasan ilmu dan makrifat. Setelah sampai kepada kejahilan sebenar, sekiranya seseorang itu dikurniakan pengetahuan maka itulah pengetahuan yang paling benar dan orang yang berkenaan adalah sangat bertuah. Dengan pengetahuan yang sebenar itu seseorang mengetahui bahwa Keesaan yang sebenar tidak muncul di dalam yang banyak. Pengetahuan yang sebenar mengajarkan bahwa hanya Dia yang mengenali Diri-Nya. Itulah pengetahuan yang paling benar selepas mencapai fana yang sebenar, yang diperolehi sesudah menemui kejahilan. Sebelum sampai kepada kejahilan dan keheranan apa yang dikatakan fana hanyalah kekosongan, bukan kefanaan. Kejahilan ditemui dahulu barulah kefanaan diperolehi.
Ada sufi yang mengatakan mereka berkata-kata dengan Tuhan dan melihat Tuhan di dalam dunia ini. Sufi tersebut adalah umpama orang yang mendengar bunyi alat muzik lalu menyangka bunyi tersebut adalah suara pemain alat muzik itu. Suara ghaib yang didengar bukanlah suara Tuhan. Itu hanyalah suara gubahan Tuhan, karena tajalli sifat Tuhan tidak mampu ditanggung oleh manusia, termasuklah tajalli Kalam Tuhan. Kalam Tuhan tidak bersuara dan tidak berhuruf. Perkataan yang didengar bukanlah tutur-kata yang keluar secara langsung dari Tuhan sebagaimana orang bercakap. Ia adalah suara gubahan Tuhan menurut kadar kemampuan manusia menerimanya. Perkataan yang didengar itu sama dengan sesuatu yang dikelaskan sebagai hubungan yang dicipta dengan Pencipta, bukan suara Pencipta sendiri. Kalam Tuhan yang didengar oleh Nabi Musa a.s adalah dalam keadaan perkataan dengan Pencipta perkataan. Begitu juga perkataan yang diterima oleh Jibrail a.s. Perkataan Tuhan Yang Hakiki hanya didengar oleh-Nya sendiri. Apabila berhubung dengan makhluk-Nya Tuhan menggubahkan Kalam yang mampu didengar dan diterima oleh mereka. Oleh karena perkataan demikian dinisbahkan kepada Tuhan semata-mata, bukan kepada malaikat atau lainnya, maka menafikannya adalah kufur. Kalam Tuhan merangkumi kedua-dua aspek yaitu Kalam Batin dan Kalam Yang Bersuara yang Tuhan ciptakan tanpa sesuatu perantaraan. Kalam yang begini adalah Kalam Tuhan yang sebenarnya, tetapi keadaannya haruslah difahami. Dalam perkara ketuhanan konsep nafi dan isbat tidak bisa dipisahkan. Mengenai suara ghaib yang didengar oleh orang sufi, walaupun ia dinisbahkan kepada Tuhan namun, ia tidak menyamai wahyu. Wahyu merupakan terjemahan secara langsung kepada Kalam Hakiki. Suara ghaib yang didengar oleh seseorang berhubung dengan hakikat yang menguasai seseorang itu. Perkataan demikian adalah terjemahan perutusan Tuhan yang diterima oleh Diri Batin seseorang. Suara ghaib mengeluarkan perkataan dan maklumat menurut kadar kekuatan batinnya menerima urusan Tuhan, bukan terjemahan Kalam Hakiki secara langsung. Oleh karena kekuatan batin manusia berbeda-beda maka kedudukan maklumat yang disampaikan oleh suara ghaib juga berbeda. Ada yang menerima maklumat secara jelas dan terperinci dan ada pula yang menerimanya secara samar-samar atau dalam bentuk ibarat yang perlu ditafsirkan. Gaya bahasa yang digunakan dalam penyampaian suara ghaib juga berdasarkan kedudukan seseorang itu. Sebab itu orang yang mendengar suara ghaib menyampaikannya dalam gaya bahasa biasa. Wahyu pula mempunyai gaya bahasa yang tersendiri, tidak bisa ditiru-tiru oleh manusia dan tidak ada bahasa manusia yang mengatasi bahasa wahyu.
Sufi yang berpemahaman bisa melihat Tuhan di dalam dunia ini menyamakan cahaya (nur) dengan Tuhan. Mereka percaya nur itu adalah Zat Tuhan sendiri. Anggapan demikian tidak benar. Nur Tuhan berkedudukan sebagai urusan Tuhan, sama separti kedudukan Kalam Tuhan yaitu wahyu. Kalam Tuhan Yang Hakiki tidak bisa didengar oleh telinga zahir dan juga telinga batin. Hanya Tuhan sendiri yang mendengar Kalam Hakiki-Nya.
Dan tidaklah layak bagi seseorang manusia bahwa Allah berkata-kata dengannya kecuali dengan jalan wahyu (dengan diberi ilham atau mimpi) atau dari sebalik hijab atau dikirim-Nya utusan, lalu (utusan itu) mengkhabarkan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi Maha Bijaksana. ( Ayat 51 : Surah asy-Syura )
Manusia hanya bisa berhubungan dengan Allah s.w.t hanya karena ada ‘pelapik’ atau hijab. Manusia tidak mampu menanggung tajalli Allah s.w.t, baik tajalli Zat mau pun tajalli Sifat. Walaupun sudah dihijabkan hanya manusia tertentu saja mampu menanggung apa yang datang dari Allah s.w.t. Wahyu tidak turun kepada semua orang. Wahyu hanya turun kepada golongan Nabi-nabi karena hanya Nabi-nabi yang mampu menanggung kedatangannya. Manusia yang bukan Nabi akan hancur jika wahyu turun kepada mereka. Apa yang didatangkan kepada manusia lain sudah dihijabkan dengan hijab yang lebih tebal, menurut kedudukan seseorang itu. Baik mendengar perkataan Allah s.w.t atau melihat Allah s.w.t atau melihat Nur Allah s.w.t, semuanya adalah disebalik hijab. Kalam Allah s.w.t Yang Hakiki tidak bisa didengar oleh siapapun pun dan Nur Allah s.w.t tidak bisa dilihat oleh siapapun pun, baik secara zahir mau pun secara batin. Apa yang didengar dan dilihat oleh orang sufi adalah ayat-ayat atau tanda-tanda tentang Allah s.w.t tetapi bukanlah Zat Diri-Nya. Benteng keperkasaan Allah s.w.t tidak dapat ditembusi oleh siapapun pun, baik secara zahir mau pun secara batin. Suasana kerohanian yang menyentuh hati insan atau berhubung dengan alam perasaan insan dinamakan Hadrat-Nya yaitu rasa kehadiran-Nya, bukanlah Tuhan sendiri. Tuhan menyampaikan Hadrat-Nya kepada hamba-Nya sebagai jalan bagi hamba berhubung dengan-Nya. Suasana Hadrat yang menguasai seseorang hamba berbeda dengan Hadrat yang menguasai hamba yang lain. Suasana tersebut bisa berubah dari masa ke masa tetapi Zat-Nya tidak berubah.
Dari berbagai-bagai pengalaman yang dilalui oleh orang sufi, tarekat sufi bisa dibagikan kepada dua jenis. Jenis pertama adalah tarekat yang terlibat dengan pengalaman bersatu dengan Tuhan dan tarekat yang kedua adalah yang membedakan Tuhan dengan hamba. Jenis pertama dipanggil tarekat sufi. Jenis kedua pula walaupun ia juga tarekat orang sufi tetapi ia dikenali sebagai tarekat Islam. Dalam tarekat jenis pertama sufi dikuasai oleh rasa kecintaan kepada Allah s.w.t yang bersangatan dan mengasyikkan sehingga apa saja yang selain-Nya dilupakan. Golongan yang telah membuang segala kepentingan diri sendiri dan melupakan sekalian makhluk ini layak mendapat simpati, kasih sayang dan ganjaran. Walaupun berlaku perlakuan kufur menurut syariat zahir tetapi ia terjadi bukan dalam kesadaran dan bukan disengajakan. Kufur tarekat ini berbeda dengan kufur syariat yang disengajakan dan dalam kesadaran. Kufur syariat berlaku karena kejahilan dan keingkaran dan orang yang berkenaan patut ditentang. Perbuatan sengaja menggunakan perkataan latah yang diucapkan oleh sufi yang mabuk, sedangkan orang berkenaan di dalam kesadaran biasa, merupakan kekufuran yang nyata dan perlu ditentang dengan keras. Golongan sufi tiruan tidak bisa dibiarkan merusakkan akidah orang banyak.
Latah biasa terjadi kepada sufi yang mengalami kufur tarekat, mengalami mabuk dan tidak berupaya membedakan yang benar dengan yang batal. Bagi mereka semua perkara berada di atas jalan yang benar. Mereka tidak membedakan Tuhan dengan makhluk. Mereka mempercayai satu wujud saja yaitu Wujud Tuhan. Apa saja yang zahir mereka anggapkan penzahiran Tuhan yang tidak lain daripada Tuhan. Bila mereka benar-benar mencapai tahap bersatu dengan Tuhan dan bermukim pada kufur tarekat mereka melepaskan apa saja kecuali Tuhan. Mereka membuang ikhtiar memilih dan melupakan sekalian makhluk. Ucapan latah mereka merupakan luahan perasaan yang gilakan Tuhan atau mabuk ketuhanan. Ucapan yang demikian tidak bisa dipakai oleh orang lain yang di dalam kesadaran, sementara sufi berkenaan perlu dimaafkan. Tetapi jika sufi itu tidak mencapai peringkat tersebut secara sempurna, sedangkan dia masih juga mengucapkan ucapan latah yang menyalahi syariat, percaya bahwa tidak ada perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk, baik dengan jahat, benar dengan salah, maka orang ini benar-benar kufur karena mendustai apa yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w secara sedar dan sengaja. Latah bisa keluar dari mulut sufi yang benar lagi lurus, yang dikuasai oleh hal ketuhanan yang mereka tidak berupaya mengawalnya. ‘Latah’ juga bisa keluar dari mulut orang jahat lagi pendusta yang menjadi racun, menimbulkan kekeliruan kepada orang banyak. Banyak orang yang dalam kesadaran biasa terikut-ikut dengan doktrin yang digubah berdasarkan ucapan latah orang sufi. Akibatnya mereka merusakkan agama sendiri dan masuk kepada kesesatan. Sufi yang benar walaupun terlibat dengan ucapan latah yang menyalahi syariat namun, mereka teguh melaksanakan peraturan syariat separti sholat lima waktu, sekalipun mereka dikuasai oleh mabuk. Seorang sufi besar yang terkenal dengan mabuk, Abu Mukur al-Hallaj, walaupun dikuasai oleh mabuk dan terlibat dengan ucapan latah, beliau kuat mengerjakan sholat. Beliau biasa mengerjakan sholat sunat 500 rakaat sehari semalam.
Sufi yang dikurniakan tarekat Islam selamat daripada suasana mabuk dan latah. Mereka menuruti jejak Rasulullah s.a.w dalam kehidupan batin dan mengamalkannya dalam kehidupan zahir. Dalam tarekat Islam ada pengalaman perpisahan dan perbedaan di antara Tuhan dengan hamba, selepas peringkat penyatuan. Sufi kembali menyaksikan perbedaan di antara yang benar dengan yang salah, baik dengan jahat. Sebenarnya tarekat Islam itu sendiri merupakan sebagian daripada syariat Islam yang sempurna. Tarekat adalah sebagian daripada syariat bukan sesuatu yang berasingan. Berlainan istilah digunakan bagi membedakan syariat pada zahir dengan syariat pada batin atau antara Hakikat Syariat dengan keadaannya yang zahir. Lebih tidak mengelirukan jika digunakan saja istilah syariat zahir dengan syariat batin yang berkumpul sebagai syariat yang sempurna. Memanggil syariat zahir sebagai syariat dan syariat batin sebagai tarekat mudah menimbulkan kekeliruan dan membuka jalan kepada sufi tiruan menabur fitnah dan syak wasangka dalam hati orang yang jahil.
Sufi yang dalam keasyikan dan mabuk adalah umpama seorang bayi yang dijaga sepenuhnya oleh ibunya. Ibunya menyayangi dan melindunginya. Si bayi bisa membuang air besar dan kecil di merata tempat, ibunya tidak akan marah. Tidak ada beban yang diletakkan oleh si ibu kepada bayinya. Apa juga yang si bayi lakukan si ibu menerima dengan penuh kasih sayang. Si ibu memperakui bahwa si bayi tidak berupaya menjaga dirinya sendiri. Bila si anak itu sudah baligh, kasih sayang dan perlindungan ibu tidak bisa dijadikan alasan untuk dia terus berkelakuan sebagai bayi. Dia sudah bertanggung-jawab memikul beban dirinya dan tertakluk kepada peraturan dan adab sopan.
Orang majzub dijaga sepenuhnya oleh Tuhan. Tuhan murka kepada siapapun yang menyakiti orang majzub. Biasanya orang yang menyakiti orang majzub menerima balasan dengan segera. Perkataan orang majzub biasanya menjadi kenyataan. Keadaan yang demikianlah menyebabkan orang banyak yang berminat dengan aliran tarekat tasauf menganggap orang majzub sebagai orang keramat. Sebenarnya kekeramatan bukanlah milik seseorang. Ia adalah hak Tuhan yang dizahirkan dalam melindungi para pencinta-Nya yang tidak berupaya melindungi diri sendiri. Setelah ahli majzub kembali sedar, maka bakat dan keupayaan dirinya kembali berfungsi dan fenomena kekeramatan jarang atau pun tidak lagi berlaku pada dirinya. Dia menyelesaikan sesuatu perkara dengan menggunakan bakat kemanusiaan biasa tanpa melalui kekeramatan.
11: SYARIAT ZAHIR DAN BATIN ADALAH PUNCAKK PENCAPAIAN
________________________________________
Ketika di dalam daerah kewalian sufi, mengalami fana dan jazbah, orang sufi melupakan dan membuang segala-galanya kecuali Allah s.w.t. Mereka tidak inginkan syurga dan tidak takutkan neraka. Dosa dan pahala sama saja bagi mereka. Mereka menafikan perbuatan diri mereka dan mengisbatkannya kepada perbuatan Tuhan. Mereka tidak beristighfar di atas kesalahan yang terjadi pada mereka. Bagi mereka istighfar menunjukkan mereka mendakwa diri mereka memiliki kekuasaan untuk melakukan sesuatu, sekalipun perbuatan itu adalah perbuatan dosa. Mengaku diri berkuasa lebih berat daripada dosa itu sendiri. Bagi mereka segala daya dan upaya adalah milik Allah s.w.t. Segala sesuatu adalah ciptaan dan perbuatan Allah s.w.t. Allah s.w.t menciptakan mereka, daya dan upaya mereka, kehendak mereka, perbuatan mereka dan segala-galanya. Oleh itu mereka menerima apa saja yang datang kepada mereka dengan reda. Mereka membuang ikhtiar memilih. Bagi mereka cukuplah Allah s.w.t saja yang mengadakan pilihan dan mereka menerima pilihan Tuhan itu. Mereka menukarkan kehendak diri mereka kepada kehendak Tuhan. Apa saja yang mendatangi mereka adalah kehendak Tuhan. Oleh itu mereka tidak menghindarkan kemudaratan yang sampai kepada mereka. Mereka tidak bergembira dengan nikmat dan tidak berdukacita dengan bala. Nikmat dan bala berjalan menurut kehendak Allah s.w.t, dengan Kudrat dan Iradat-Nya. Jika sesuatu itu ada pada Iradat-Nya, maka Kudrat-Nya melaksanakannya. Tidak ada siapapun yang ikut campur dalam urusan-Nya.
Sesungguhnya maha hebat Cinta Allah s.w.t yang menguasai hati orang sufi. Sufi sanggup membelakangi syurga demi Wajah Kekasihnya. Sufi sanggup meredah neraka jika itulah jalan untuk sampai kepada Kekasihnya. Sufi sanggup menjabar maut jika maut menghalanginya menemui Kekasihnya. Sekiranya benar ada orang yang sanggup mengharungi lautan api karena kekasih, maka sufilah orangnya. Layaklah sufi itu mendapat perlindungan dan kasih sayang dari Tuhan. Suasana perlindungan dan penjagaan secara langsung dari Tuhan itulah yang dimaksudkan sebagai kewalian. Al-Waliyyu, Yang Maha Melindungi, memayungkan wali-wali-Nya dengan penjagaan dan perlindungan. Jazbah, fana dan baqa bukanlah kewalian yang sebenarnya. Itu semua hanyalah fenomena yang sering muncul pada orang yang dipayungi oleh al-Waliyyu, atau orang yang berada dalam daerah kewalian, terutamanya kewalian sufi. Tanpa fenomena demikian kewalian tetap wujud.
Sebagian sufi kekal dengan Cinta Allah s.w.t dan menjadi majzub terus menerus sehingga ke akhir hayatnya. Golongan ini merupakan golongan wali yang tidak mempunyai tugas kekhalifahan. Kewalian mereka hanya untuk diri mereka sendiri, berguna bagi perhubungan mereka dengan Allah s.w.t, tetapi tidak berguna bagi perhubungan sesama manusia. Lagi pun kehadiran wali yang majzub itu berguna kepada masyarakat bagi mengingati orang banyak agar mencintai Allah s.w.t. Cinta Allah s.w.t yang terpancar dari mereka bisa menyedarkan orang-orang yang mempunyai hati tetapi terhijab oleh kelalaian. Cinta Allah s.w.t yang terzahir pada kewalian sufi menjadi besi berani menarik hati orang lain untuk melihat kepada Tuhan dan meninggalkan perkara yang melalaikan.
Sufi yang dipilih untuk menanggung sesuatu tugas di dalam masyarakat akan ditarik kepada jalan mahabbah. Ketika di dalam daerah kewalian sufi, jazbah menghancurkan secara mudah sifat-sifat yang tercela pada diri mereka dan dimasukkan keupayaan sifat-sifat yang terpuji supaya sifat demikian menjadi keperibadian mereka. Mereka menjadi orang yang bersifat baik, bukan orang yang berusaha menjadi baik. Mereka menjadi ikhlas secara spontan bukan yang berperang dengan ria untuk mempertahankan ikhlas. Apabila mereka keluar dari daerah kewalian sufi dan dimasukkan ke dalam daerah kewalian cara kenabian, mereka masuk dengan ada persediaan segala keupayaan yang baik untuk menanggung bebas tugas yang akan diberikan kepada mereka kelak. Pada jalan mahabbah segala bakat dan keupayaan mereka digilapkan bagi melengkapkan kewalian kepada derajat khalifah yang layak memikul beban tugas khusus. Jalan mahabbah bermulai selepas kefanaan, yaitu daripada baqa menuju kepada kesadaran sepenuhnya karena sebelum memperolehi semula kesadaran keinsanan mereka tidak layak menjadi Khalifah Allah yang menguruskan hal-ihwal orang banyak. Apabila meninggalkan kefanaan dan masuk kepada kebaqaan dan kesadaran keinsanan sudah mulai kembali, wali yang lebih matang itu dapat melihat perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk, baik dengan jahat dan benar dengan salah. Pada peringkat permulaian menyaksikan perbedaan wali itu masih mempunyai sikap bertolak-ukur dengan sesuatu yang salah dan tidak benar. Walaupun kesalahan diakui wujud namun, mereka tidak bartindak memperbetulkan kesalahan tersebut. Pada peringkat ini mereka lebih banyak menyendiri dan enggan mencampuri urusan orang lain. Walaupun mereka sudah bisa melihat perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk namun, mereka masih merasakan makhluk itu satu wajah atau aspek ketuhanan atau hak Tuhan, bukan ciptaan yang terpisah sepenuhnya daripada Tuhan.
Jalan mahabbah adalah sempadan di antara jalan kesufian dengan jalan kenabian. Fana dan baqa ada dalam daerah kewalian sufi. Peralihan daripada baqa kepada kesadaran keinsanan ada pada jalan mahabbah. Bila kesadaran keinsanan kembali sepenuhnya sufi tadi masuk kepada jalan kenabian. Perjalanannya menjadi lengkap. Dia sudah kembali kepada tempat bermulainya dan bulatan perjalanan kerohaniannya bercantum dan dia sudah bisa menanggung tugas kekhalifahan. Orang yang sampai kepada daerah khalifah ini menjadi sesuai dengan al-Quran dan as-Sunah. Mereka menjadi salinan kepada sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. Pada peringkat akhir ini mereka sudah berupaya membuat perbedaan sepenuhnya. Pegangan mereka juga berubah. Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Baik adalah baik dan jahat adalah jahat. Benar adalah benar dan salah adalah salah. Tidak ada tolak-ukur lagi. Sempadannya sangat jelas. Sufi itu pun bertaubat daripada pegangannya yang dahulu. Kini mereka rindukan akhirat, kasihkan syurga dan takutkan neraka.
Wali yang menyempurnakan perjalanannya dan sampai kepada daerah kekhalifahannya bertanggungjawab membersihkan jalan menuju Allah s.w.t daripada pencemaran dan kesamaran. Yang benar adalah jelas dan jalan kepada kebenaran juga jelas. Yang salah adalah jelas dan jelas kepada kesalahan juga jelas. Wali yang bertaraf khalifah mampu menguraikan ucapan-ucapan ganjil yang muncul dalam daerah kewalian sufi. Nabi adalah umpama titik awal yang tanpanya tidak mungkin dilukiskan huruf. Wali-wali sufi adalah titik-titik yang membentuk garis lengkung. Titik Nabi dan titik-titik wali sufi membentuk huruf nun. Walaupun garis lengkung itu panjang tetapi ia tidak bercantum dengan titik awal. Oleh itu terdapat perbedaan di antara garis lengkung dengan titik awal. Wali pada jalan kenabian yaitu khalifah kerohanian adalah pencantum garis lengkung kewalian sufi dengan titik awal kenabian. Khalifah memahami suasana kewalian sufi dan mampu membawa mereka kepada jalan kenabian. Khalifah menjadi penterjemah perkataan wali dan penegak perkataan Nabi. Kekusutan pada Jalan Kewalian Sufi diuraikan oleh khalifah. Kebenaran pada jalan kenabian diperjuangkan oleh khalifah. Dari masa ke masa Tuhan menzahirkan khalifah-Nya untuk memperjuangkan jalan kenabian dan melindungi wali-wali yang tenggelam dalam jazbah, fana dan baqa.
Kebenaran sejati separti yang ditemui oleh para khalifah berada dalam syariat yang lengkap yang menggabungkan syariat zahir dengan syariat batin. Orang yang memasuki Jalan Sufi sangat mementingkan syariat batin hinggakan biasa terjadi ada di kalangan mereka yang tidak mengamalkan sebagian besar syariat zahir terutamanya yang melibatkan hubungan sesama manusia. Mereka yang tidak memasuki Jalan Sufi pula mementingkan syariat zahir hinggakan kebanyakan penilaian dibuat berdasarkan perbuatan zahir dan mengabaikan amalan hati. Khalifah Allah mengetahui bahwa kebenaran terletak pada cantuman kedua-dua syariat tersebut. syariat zahir adalah peraturan agama separti yang dibicarakan oleh ilmu fikih. Syariat batin adalah amalan hati separti yang dibicarakan oleh ilmu tasauf. Keislaman seseorang dikenali melalui syariat zahir. Syariat zahir yang membedakan orang Islam dengan orang kafir. Rasulullah s.a.w menolak permintaan kaum Taqif yang mau dikecualikan daripada sholat lima waktu. Khalifah Abu Bakar as- Siddik memerangi golongan yang enggan mengeluarkan zakat. Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w bartindak tegas terhadap orang yang menolak syariat zahir dan mereka sangat berwaspada terhadap orang diketahui meninggalkan syariat batin. Orang yang menolak syariat zahir karena engkar adalah kufur. Orang yang membuang syariat batin adalah munafik. Syariat zahir berhubung dengan amalan Islam. syariat batin berhubung dengan amalan hati yaitu iman. Al-Quran menggabungkan iman dengan Islam (amal salih).
Dan berikan khabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih.. ( Ayat 25 : Surah al-Baqarah )
Al-Quran juga menggesa supaya berlaku keras menghadapi kekufuran dan kemunafikan.
Wahai Nabi! Berjihadlah (menentang) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, serta bartindak keras terhadap mereka. Dan (sebenarnya) tempat mereka ialah neraka jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. ( Ayat 9 : Surah at-Tahrim )
Ketaatan kepada syariat zahir dan syariat batin diperlukan bagi mengelakkan daripada terjatuh ke dalam kekufuran dan kemunafikan. Tidak seharusnya dipisahkan kedua-dua aspek syariat itu. Latihan kesufian haruslah ditujukan ke arah memudahkan seseorang melakukan separti yang diajarkan oleh syariat. Tujuan utama latihan kesufian adalah untuk melahirkan keikhlasan secara spontan. Tiga bagian penting di dalam syariat adalah iman, amal dan niat yang ikhlas. Tarekat kesufian sangat berkesan di dalam memupuk keikhlasan. Ketika melalui peringkat fana, sifat-sifat buruk tertanggal dan sifat ikhlas menjadi sebati. Setelah keluar dari kefanaan sifat ikhlas itu menjadi keperibadian. Orang sufi tidak perlu lagi membentuk keikhlasan dalam beramal karena ikhlas sudah menjadi spontan pada setiap amalannya. Apabila ikhlas sudah menjadi keperibadian seseorang barulah dia mencapai reda. Ikhlas dan reda tidak berpisah. Orang yang ikhlas dalam amalnya dan reda dengan hukum serta peraturan Tuhan itulah yang memperolehi keredaan Allah s.w.t yang merupakan kurniaan Allah s.w.t yang paling baik di dunia dan di akhirat.
Orang yang tidak menjalani tarekat sufi mendapati sukar untuk mempertahankan keikhlasan. Rangsangan yang mau merusakkan keikhlasan itu selalu saja mendatanginya. Rasa ujub dan ria selalu masuk ke dalam hatinya untuk menghalau ikhlas keluar. Dia mesti memelihara hatinya agar musuh-musuh ikhlas itu tidak dapat masuk. Perjuangan dalam jiwa itu sering menimbulkan kegelisahan dan suasana jiwa yang tenang sukar diperolehi. Ikhlas yang muncul dari paksaan tidak kekal.
Jika iman dan amal bisa diperolehi melalui ketaatan kepada peraturan syariat, ikhlas yang menjadi intisari iman dan amal itu pula mudah diperolehi melalui suluk para sufi. Tanpa melalui perjalanan kepada Allah s.w.t dan perjalanan dalam Allah s.w.t, adalah sukar untuk mencapai keikhlasan yang sebenarnya, ikhlas dalam perkataan dan perbuatan, dalam gerak dan diam, yang lahir secara spontan bukan secara paksaan. Ikhlas yang demikian lahir setelah dibuat penafian terhadap semua jenis tuhan-tuhan yang di dalam dan di luar diri, kemudian masuk kepada fana dan baqa. Dengan cara yang demikian seseorang itu masuk kepada makam kewalian yang khusus. Wali peringkat khusus melakukan apa saja karena Allah s.w.t bukan karena muslihat diri sendiri, sebab dirinya sudah dikorbankan untuk Allah s.w.t. Wali tersebut tidak perlu menyucikan niat bagi memperolehi ikhlas karena niatnya telah dipersucikan tatkala dia mengorbankan segala kepentingan dirinya untuk Allah s.w.t semata-mata dan dia masuk kepada kefanaan dan kebaqaan. Orang yang ada kesadaran terhadap dirinya, secara umumnya melakukan sesuatu dengan mengambil kira kepentingan diri, secara disedari atau tidak. Bila kasihkan diri sendiri lenyap diganti dengan kasihkan Allah s.w.t, apa saja yang dibuat adalah karena Allah s.w.t, sama ada dia sengaja memperhatikan niatnya atau pun tidak. Orang yang sudah ada keputusan sejak awal-awal lagi bahwa segala-galanya adalah untuk Allah s.w.t semata-mata, tidak perlu lagi memperjelaskan niatnya, tetapi orang yang masih ada pilihan untuk Allah s.w.t atau untuk diri sendiri, atau untuk sebab yang lain, perlulah memperjelaskan niatnya.
Orang yang tidak mengikuti jalan kesufian biasanya memperolehi kebenaran secara ilmiah semata-mata dan mereka juga memerlukan mujahadah dalam mengerjakan peraturan syariat. Kebenaran yang diketahui secara ilmiah itu dapat disaksikan oleh orang yang mengikuti tarekat sufi. Apa yang diketahui secara ilmiah dialami sendiri oleh orang sufi secara kerohanian. Pekerjaan syariat yang sukar dilakukan oleh orang biasa menjadi mudah bagi orang yang dilatih secara kesufian. Oleh sebab itu apabila orang sufi sampai kepada makam penetapan, keyakinannya sudah sangat teguh. Tanda orang sufi sampai kepada haqqul yaqin adalah apabila kebenaran yang dibukakan kepadanya keseluruhannya sesuai dengan kebenaran al-Quran dan as-Sunah. Jika ada perbedaan walaupun sedikit itu tandanya sufi itu belum sampai kepada Kebenaran Hakiki. Sufi tersebut belum terlepas sepenuhnya daripada kesan mabuk. Setelah dia melepasi kesan mabuk sepenuhnya dia akan menjadi khalifah kepada dirinya sendiri. Dia mampu menguruskan hal-ihwal dirinya dan menguasai penuh stesennya. Bercanggah dengan syariat adalah tanda nyata yang seseorang sufi masih dalam pencarian dan belum menemui Kebenaran Hakiki.
Ada segolongan sufi beranggapan bahwa syariat hanyalah kulit dan isinya adalah hakikat. Anggapan yang demikian menunjukkan bahwa sufi berkenaan tidak memperolehi pengalaman kerohanian yang benar. Sufi yang masuk kepada pengalaman kerohanian yang benar tidak pernah mengeluarkan kenyataan yang demikian. Sufi yang benar tidak membedakan syariat dengan hakikat. Sebenarnya syariat terdiri daripada kulit dan isi. Kulitnya syariat zahir dan isinya syariat batin. Penggunaan istilah ‘hakikat’ adalah untuk merujukkan kepada satu bagian syariat batin yang mendalam. Walaupun digunakan istilah hakikat ia tetap juga bagian syariat. Kebenaran yang dinyatakan dengan jelas dan juga secara simbolik juga termasuk dalam bidang syariat. Ulama zahir memberikan tumpuan kepada syariat zahir. Ulama yang lebih matang memberikan tumpuan kepada syariat zahir dan syariat batin sekaligus, tidak dipisahkan.
Peraturan syariat hukumnya sama bagi semua orang Islam. Orang awam dan ahli makrifat yang sempurna tertakluk kepada hukum dan peraturan yang sama, tidak ada kelonggaran bagi satu pihak dan penekanan pada pihak yang lain. Sufi yang masih baru atau yang keliru dan orang jahil yang bertaklid melulu mencoba membuang dasar syariat dengan mengatakan peraturan syariat terpakai kepada orang yang belum sampai ke makam makrifat. Mereka beranggapan sufi hanya perlu mendapatkan makrifat. Mereka beranggapan tujuan mematuhi syariat adalah untuk memperolehi makrifat. Bila makrifat sudah diperolehi peraturan syariat dengan sendirinya gugur. Golongan ini berpendapat ahli makrifat yang melakukan ibadat hanyalah untuk memberi contoh kepada orang banyak dan galakan kepada mereka untuk menuju kepada makrifat. Mereka mengatakan syariat hanya perlu dilakukan oleh orang yang masih baru dalam perjalanan kerohanian sedangkan bagi mereka sendiri yang sudah mencapai makrifat tidak memerlukan syariat lagi. Inilah pemahaman yang kufur dan sesat.
Ada pula golongan sufi yang hanya mementingkan hakikat, tetapi hakikat yang mereka maksudkan bukanlah syariat batin atau hakikat kepada syariat. Mereka mempunyai definasi sendiri mengenai hakikat dan syariat. Bagi mereka syariat hanyalah kulit semata-mata tanpa isi, tubuh tanpa nyawa. Isi atau nyawa tidak bergantung kepada kulit atau tubuh. Mereka maksudkan hakikat tidak bergantung kepada syariat. Sufi jenis ini membina pemahaman berdasarkan pengalaman mereka semata-mata. Walaupun berpemahaman demikian mereka menghormati syariat karena ia datangnya dari Allah s.w.t dan patut dimuliakan. Mereka tidak bersetuju dengan perbuatan mencampakkan syariat karena tindakan yang demikian menunjukkan tidak bersetuju dengan apa yang Tuhan lakukan. Sufi jenis ini adalah orang yang telah mengorbankan segala-galanya karena cinta mereka kepada Allah s.w.t. Keasyikan dan mabuk yang menguasai mereka menyebabkan mereka memasuki suasana pengalaman kerohanian yang diistilahkan sebagai peringkat bayang, sehingga timbul pemahaman yang berbeda daripada syariat. Namun sebagai orang yang mencintai Allah s.w.t mereka muliakan syariat yang diturunkan oleh-Nya. Golongan inilah yang berhak dimaafkan bukan dikutuk tetapi pemahaman mereka tidak bisa diikuti dan dipegang. Perkataan mereka yang menyalahi syariat hendaklah dianggap sebagai ucapan latah orang yang di dalam mabuk.
Sufi golongan ke tiga memahamkan syariat sebagai gabungan kulit dan isi, tubuh dan nyawa. Mereka berpendapat memegang syariat zahir tanpa mencapai syariat batin adalah kurang bermakna, sementara mengambil syariat batin dengan membuang zahirnya adalah tidak sempurna. Mereka berpemahaman bahwa seseorang bisa mengambil syariat zahir walaupun batinnya tidak menyerlah. Bagi mereka orang yang memberi tumpuan kepada syariat zahir dan beramal dengannya sudah bisa menyelamatkannya di akhirat kelak. Golongan yang mengambil syariat zahir saja adalah mereka yang berkedudukan sebagai ulama zahir dan orang Islam awam. Mengambil syariat zahir saja tanpa batinnya dibisakan tetapi mengambil syariat batin tanpa zahirnya adalah tanda mungkin. Kesimpulan golongan ini adalah kecemerlangan zahir dan batin ditentukan oleh hubungan mereka dengan syarak dan semua kebenaran yang terdapat dalam pemahaman agama yang dikenali sebagai Ahli Sunah wal Jamaah. Seribu pembukaan dan penyaksian dalam alam kebatinan tidak dapat menandingi pemahaman agama yaitu Tuhan tidak menyamai sesuatu apa pun. Golongan tersebut tidak cenderung dengan pengalaman kerohanian yang bercanggah dengan kebenaran syariat walaupun sedikit. Bagi mereka pembukaan demikian hanyalah ujian yang mengseret mereka ke tempat azab secara perlahan-lahan. Mereka adalah golongan yang mendapat petunjuk dari Tuhan dan paling layak diikuti. Mereka sebenarnya adalah ulama yang berjaya, diberi bimbingan dan petunjuk yang benar oleh Tuhan. Tuhan membantu mereka menyatakan kebenaran syariat dan Tuhan memberi mereka ganjaran karena mendukung peraturan syariat.
Sufi golongan ke tiga berbeda dengan golongan yang hanya mementingkan batin dan tidak sedikit pun mematuhi peraturan syariat. Golongan yang memisahkan diri dengan syariat menyangka kebenaran yang dicari tidak ada dalam syariat. Mereka menyangka syariat hanyalah tubuh yang tanpa nyawa. Mereka berpegang kepada kebenaran yang muncul dari bayangan dan mereka terpesong daripada arah yang menuju kepada kebenaran yang sejati. Akibatnya kewalian mereka hanyalah dalam perbatasan kewalian bayangan dan kehampiran mereka dengan Tuhan tidak melebihi tahap Sifat. Kewalian golongan ke tiga yang menggabungkan zahir dan batin syariat menemui kebenaran sejati dan asli. Mereka mendapat petunjuk dan menemui jalan kepada Zat Yang Hakiki, yang tiada sesuatu menyerupai-Nya. Mereka berjaya melepasi kebenaran peringkat rendah. Mereka maju sehingga ke penghujung jalan dan kesudahannya mereka memperolehi kewalian cara kenabian. Tahap tersebut dicapai dengan cara tidak sedikit pun meragui syariat dan tidak meninggalkan tuntutan syariat.
Golongan sufi yang berpemahaman syariat hanyalah kerangka kosong dan hakikat yaitu kebenaran sejati berada diluar syariat, mendapat pemahaman demikian melalui beberapa sebab. Sebagian daripada mereka menjalani tarekat sufi hanya sampai kepada tahap bersatu dengan Tuhan. Mereka tidak meneruskan perjalanan mereka melepasi tahap tersebut. Ada pula yang mempelajari doktrin wahdatul wujud terlebih dahulu dan memulaikan perjalanan dengan membawa kepercayaan doktrin tersebut. Segala usaha ditujukan untuk menzahirkan pemahaman dan kepercayaan wahdatul wujud. Apabila mereka memulaikan perjalanan di atas landasan wahdatul wujud maka yang mereka temui dan alami adalah wahdatul wujud. Golongan ini juga berhenti pada tahap bersatu dengan Tuhan dan meyakini bahwa yang ada hanya satu wujud yaitu Wujud Tuhan. Mereka membentuk keyakinan bahwa wahdatul wujud adalah kebenaran yang paling tinggi sehingga timbul anggapan bahwa wahdatul wujud adalah pegangan wali-wali. Mengaitkan wahdatul wujud dengan kewalian menambahkan keteguhan kepercayaan kepada doktrin tersebut. Mereka memandang hakikat agama melalui suluhan yang berdasarkan kepercayaan kepada satu wujud. Mereka memperkenalkan tauhid secara doktrin wahdatul wujud dan dengan lantang mengatakan syariat tidak memperkenalkan tauhid yang sebenar. Dari kalangan mereka ada yang mengatakan segala perkara dalam syariat adalah syirik, hanya pegangan wahdatul wujud yang bebas daripada syirik. Begitulah hebatnya pengaruh pengalaman kerohanian dalam membentuk keyakinan tentang kebenaran agama dan tauhid.
Selain sebab-sebab di atas sikap dan pandangan peribadi seseorang sufi itu sendiri memisahkan syariat daripada hakikat. Sufi jenis ini berpendirian hidup dalam pengasingan lebih baik daripada bercampur dengan orang banyak. Mereka berpendapat hanya sedikit saja hakikat yang bisa ditemui dalam syariat. Mereka berpendapat bidang hakikat terbuka dalam fana, zauk dan mabuk ketuhanan. Oleh karena itu mereka lebih gemar menghabiskan masa dengan berkhalwat dan beribadat sendirian tanpa mengambil bagian dalam bidang dakwah, berjihad dan berkhidmat kepada masyarakat.
Golongan yang dipimpin kepada penghabisan jalan menemui bahwa syariatlah yang menunjukkan apakah kehidupan agama yang sebenarnya. Syariat bukan saja mengajarkan peraturan zahir yang diistilahkan sebagai syariat zahir, malah syariat juga membawa perkara-perkara kerohanian yang meliputi iman, tauhid, mahabbah, syukur, sabar, ikhlas, takwa, ihsan dan lain-lain. Bidang kerohanian separti pemikiran, perasaan, daya rasa, niat, keinginan dan lain-lain juga berada dalam syariat. Syariat yang mencakupi perkara zahir dan batin adalah Agama Islam yang lengkap dan sempurna. Ia mengajarkan kehidupan beriman, bertakwa dan ihsan yang sempurna. Apa juga aliran tarekat hendaklah menjurus kepada memperteguhkan keyakinan dan pegangan kepada apa yang diperkatakan oleh syariat bukan mencari kebenaran yang lain daripada kebenaran syariat.
12: WAHDATUL SYUHUD, WAHDATUL WUJUD DAN WAHDATUL MA’ABUD
________________________________________
Wahdatul wujud atau tauhid wujudi adalah pemahaman yang membentuk kepercayaan bahwa yang ada hanya satu wujud yaitu Wujud Tuhan dan yang selain Tuhan tidak wujud. Segala kewujudan yang selain Tuhan merupakan penzahiran dan aspek-aspek ketuhanan atau wajah-wajah wujud Yang Esa itu. Dalam doktrin wahdatul wujud, Wujud Tuhan dikatakan bersamaan dengan wujud alam. Apa yang disaksikan dan dipandang adalah alam pada satu aspek dan juga Tuhan pada aspek yang lain. Alam dikatakan Tuhan dalam bentuk penzahiran. Alam dikatakan satu dengan Tuhan dalam keadaan ada perbedaan pada kenyataan tetapi sama pada hakikatnya. Alam adalah Tuhan yang menyata dalam bentuk yang Dia kehendaki.
Wahdatul ma’abud adalah kepercayaan terhadap keesaan Allah s.w.t separti yang dinyatakan oleh Surah al-Ikhlas.
Katakanlah (wahai Muhammad): “(Tuhanku) ialah Allah Yang Maha Esa. Allah yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat. Ia tidak beranak dan Ia tidak diperanakkan. Dan tidak ada siapapunpun yang setara dengan-Nya”. ( Ayat 1 – 4 : Surah al-Ikhlas )
Dalam pemahaman wahdatul ma’abud kepercayaan kepada keesaan Tuhan tidak memerlukan kepada penafian terhadap kewujudan makhluk dan juga wujud makhluk tidak disamakan sedikit pun dengan Wujud Tuhan. Iman kepada Tuhan didasarkan kepada:
Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya.
Tuhan adalah berlainan dan berbeda dengan makhluk. Alam bukan satu dengan Tuhan. Wujud Tuhan adalah hakiki atau benar. Wujud alam pula jika dibandingkan dengan Wujud Tuhan, adalah khayalan, tidak sebenar. Wujud alam dikatakan tidak berhakikat. Oleh karena wujud alam tidak berhakikat sementara Wujud Tuhan adalah hakiki, mengatakan alam sebagai penzahiran Tuhan adalah tidak benar sama sekali. Wujud yang tidak berhakikat adalah berbeda, berlainan dan tidak bisa disamakan dengan Wujud Hakiki.
Dalam soal Wujud Tuhan dan wujud makhluk, kekeliruan timbul karena istilah “WUJUD” itu sendiri. Bila dikatakan Tuhan wujud dan makhluk juga wujud maka terdapat sesuatu persamaan pada kedua-dua jenis wujud tersebut. Istilah tersebut bisa menimbulkan anggapan atau khayalan bahwa kedua-duanya ada persamaan atau perkaitan. Sebenarnya jika istilah wujud digunakan untuk menceritakan tentang keadaan makhluk yang ADA, lebih baik jika istilah lain digunakan untuk menceritakan keadaan Tuhan yang ADA. Tetapi dalam kamus manusia tidak ada istilah yang bisa menceritakan keadaan yang ada tetapi tidak bersamaan dengan adanya segala yang ada dan adanya Dia tidak disertai oleh segala yang ada. Oleh yang demikian perkataan wujud juga digunakan untuk menceritakan tentang Adanya Tuhan. Begitu juga halnya dalam menceritakan sifat-sifat Tuhan. Istilah-istilah separti Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Hidup, Berkehendak, Mengetahui dan Berkuasa digunakan bagi menceritakan keadaan Tuhan. Walaupun istilah yang serupa digunakan dalam menceritakan tentang Tuhan dan makhluk tetapi jika menganggapkan sifat Tuhan sama dengan makhluk maka anggapan yang demikian membawa kepada kekufuran.
Tuhan menciptakan makhluk daripada tidak ada, walaupun makhluk menjadi ada setelah diciptakan namun, hakikatnya tetap tidak ada. Zat makhluk adalah ‘adam (tidak ada). Walaupun sifat berubah namun zat tidak berubah. Kayu yang dijadikan almari, kerusi, pintu dan sebagainya adalah tetap kayu pada zatnya sekalipun sifat sudah berbagai-bagai. ‘Adam (yang tidak ada) tetap ‘adam walaupun sudah menjadi ada. Kewujudan berjuta-juta ‘adam, yang tidak ada, tidak akan mengubah status Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan tetap Esa walaupun Dia membuatkan makhluk menjadi ada, karena pada sisi Tuhan makhluk tidak mempunyai hakikat wujud. Bagaimana ini mungkin terjadi? Ia menjadi mungkin karena Tuhan membuatnya menjadi mungkin dan kewujudan demikian dinamakan wujud yang mungkin (mumkinul wujud). Hanya Tuhan yang berkuasa mengadakan yang mungkin itu. Sebab itulah dakwaan bahwa Diri-Nya adalah Tuhan memang benar. Yang bisa berbuat demikian hanyalah Tuhan. Yang selain Tuhan tidak ada kuasa untuk melakukannya. Semua pencipta-pencipta selain Tuhan, apabila membuat sesuatu ciptaan mereka akan berkongsi ruang dengan ciptaan mereka dan bilangan juga menjadi bertambah. Hanya Allah s.w.t yang berkuasa menciptakan makhluk tanpa mengubah status wujud-Nya Yang Esa. Hanya akal orang yang bingung atau orang yang dalam mabuk mencoba menguraikan teka-teki Wujud Tuhan dan wujud makhluk. Orang yang berakal sehat akan menyerah tanpa takwil, tanpa hujah bahwa sesungguhnya: “Tidak ada sesuatu yang berkongsi apa-apa dengan-Nya, baik dari segi wujud, sifat, perbuatan dan apa segi sekalipun. Dia tidak disekutukan oleh siapapun dan dalam apa perkara sekalipun”. Oleh karena pada hakikatnya Dia tidak bersekutu dengan sesuatu, maka mempersekutukan-Nya dengan sesuatu menjadi kesalahan yang paling besar, yang tidak Dia maafkan.
Tidak semua orang sufi berpegang dengan pemahaman wahdatul wujud. Banyak sufi yang tidak bersetuju dan menolak pemahaman satu wujud. Pengalaman mereka menceritakan bahwa satu wujud hanya muncul dalam penyaksian atau pengalaman kerohanian yang berlaku pada satu tahap perkembangan kerohanian. Pengalaman menyaksikan atau mengalami satu wujud itu dinamakan wahdatul syuhud atau tauhid syuhudi. Wahdatul syuhud atau tauhid syuhudi merupakan pengalaman kerohanian yang paling tinggi mengenai keesaan. Bisa juga dikatakan ia adalah puncakk fana, di mana kesadaran seseorang sufi terhadap dirinya dan sekalian makhluk hilang lenyap sama sekali, tidak ada sedikit pun yang tinggal. Pada tahap tersebut sufi masuk sepenuhnya ke dalam suasana “Tuhan Maha Esa”. Pada ketika itu kewujudan nyata sufi tidak hilang. Dia masih lagi berjasad dan bergerak di atas muka bumi. Hanya ingatan dan kesadarannya terhadap yang selain Allah s.w.t terhapus sama sekali. Sufi tidak bertukar menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Sufi yang di dalam keadaan menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan itu tidak ada kuasa untuk membelah bulan atau membuat matahari naik dari sebelah barat separti kekuasaan Tuhan. Apa yang berlaku kepada sufi hanyalah pengalaman rasa. Dia mengalami rasa “Akulah Tuhan. Aku Esa. Tiada sesuatu beserta Aku”. Peringkat pengalaman keesaan yang paling tinggi ini berlaku dalam sholat. Apa yang dirasakan pada ketika itu adalah: “Sholat adalah puji-pujian Allah terhadap Diri-Nya sendiri. Dia yang Memuji Diri-Nya. Dia yang Berkata-kata. Dia Yang Mendengar”. Pengalaman yang demikian merupakan saat yang paling lazat dirasakan oleh seseorang sufi. Setiap patah ucapan dalam sholat itu sangat mengasyikkan, sangat indah dan sangat merdu.
Ketika mengalami suasana keesaan Tuhan itu bukanlah bermakna sufi sudah menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Ia adalah satu suasana yang Tuhan gubah bagi memperkenalkan keesaan-Nya. Orang yang memasuki suasana tersebut akan kenal, faham dan mengarti maksud Tuhan Maha Esa. Pengalaman yang demikian terjadi tatkala sufi hilang ingatan dan kesadaran kepada segala perkara kecuali Allah s.w.t. Apabila ingatan dan kesadarannya kembali semula pengalaman tentang keesaan Allah s.w.t itu tidak hilang, tidak separti orang gila yang melupai segala pengalaman gilanya tatkala dia sedar kembali. Pengalaman hati membawa sufi bermakrifat dengan keesaan Tuhan. Apa yang diketahui oleh orang lain secara ilmiah, dalil dan bukti, dialami sendiri oleh sufi. Pengalaman keesaan yang dialami oleh hati itulah yang dinamakan wahdatul syuhud. Sufi yang mengalami wahdatul syuhud berpecah kepada dua golongan. Golongan yang pertama memahamkan apa yang dialami itulah kebenaran yang sejati, kebenaran yang paling tinggi. Hati telah mengalami satu wujud maka tentu sekali satu wujudlah yang benar. Berdasarkan penyaksian atau pengalaman hati mengenai satu wujud itulah terbentuk pemahaman wahdatul wujud. Yang wujud hanyalah Tuhan, penzahiran Tuhan atau wajah-wajah Tuhan. Alam dan makhluk adalah bentuk zahir yang dengannya Tuhan menyatakan Wujud-Nya. Alam dan makhluk jika dipandang dari satu segi adalah Tuhan dan jika dipandang dari segi yang lain adalah makhluk. Begitulah pemahaman wahdatul wujud yang dibuat sebagai terjemahan kepada pengalaman wahdatul syuhud. Sufi golongan kedua tidak menggubah terjemahan kepada apa yang mereka alami. Bagi golongan ini satu wujud adalah penyaksian atau pengalaman hati, tidak ada sebab mau mengatakan wahdatul syuhud itu sebagai wahdatul wujud. Golongan ini memahamkan bahwa menyaksikan keesaan Tuhan bukan bermakna menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Memasuki suasana Keesaan Tuhan yang Tuhan gubah bukan bermakna masuk kepada Tuhan. Tuhan tidak dikandung oleh masa, zaman atau ruang. Tidak ada satu perbatasan di mana bertempat Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada sesuatu apa pun yang bisa sampai kepada Zat Tuhan. Walaupun Keesaan Tuhan dikenali dan dialami ia tidak mengubah bangunan alam maya dan tidak mengubah ketuhanan Allah s.w.t. Orang lelaki yang bermimpi menjadi perempuan tidaklah benar-benar bertukar menjadi perempuan. Tetapi pengalaman menjadi perempuan di dalam mimpi itu membuatnya mengenali perempuan dengan mendalam, tahu daya rasa dan citarasa perempuan dan sebagainya. Pengetahuan yang didapati secara pengalaman mengsahkan dan meyakinkan pengetahuan yang diketahui secara pembelajaran dan dalil. Pengalaman menjadi perempuan dalam mimpi dikatakan pengalaman hakikat yaitu lelaki berkenaan mengalami hakikat keperempuanan melalui cara bermimpi. Lelaki tersebut mengenali perempuan secara sempurna.
Sufi mengalami hakikat ketuhanan termasuklah hakikat keesaan Tuhan. Sufi berkenaan masuk ke dalam suasana hakikat dan makrifat bukan masuk ke dalam Tuhan. Hakikat dan makrifat adalah suasana yang Tuhan gubah bagi memperkenalkan Diri-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki berbuat demikian. Seseorang hamba yang menetap dalam makam kehambaan apabila diperkenalkan sifat al-Aziz akan kecutlah hatinya, mengggigil tubuhnya, pucat mukanya hinggakan dia jatuh pingsan. Setelah sedar dari pingsannya dia kenal maksud al-Aziz. Pengenalan secara mengalami itu lebih berkesan dan meyakinkan daripada perkenalan secara ilmiah. makrifat melalui pengalaman hakikat itu melahirkan ungkapan separti: “Aku kenal Tuhanku melalui Tuhanku; Aku melihat Tuhanku tanpa rupa, tanpa bentuk, tanpa warna, tanpa cahaya; Aku kenal Tuhanku tanpa sesuatu pengenalan”. Banyak lagi ungkapan yang seumpamanya.
Sufi yang mengalami wahdatul syuhud tetapi menolak pemahaman wahdatul wujud, berpegang kepada pemahaman wahdatul ma’abud yaitu kepercayaan kepada keesaan Tuhan tanpa menafikan kewujudan makhluk ciptaan Tuhan. Sufi golongan ini mengakui bahwa wujud makhluk memang tidak berhakikat tetapi oleh karena makhluk diciptakan Tuhan maka makhluk mempunyai kewujudan yang teguh, stabil, tetap, kekal mempunyai tindakbalas dan sebagainya, bukan separti wujud khayali yang dibuat oleh ahli silap mata. Jadi, wahdatul syuhud yang membawa sebagian sufi kepada wahdatul wujud itu juga yang menetapkan sufi pada wahdatul ma’abud. Sufi yang tidak terbalik pandangan karena pengalaman wahdatul syuhud adalah yang ditetapkan pada makam kehambaan, sekalipun menempuh gelombang Alam Misal, alam bayangan, cahaya dan warna. Apa saja yang muncul dinafikannya dengan kalimah : dengan membawa maksud : “Tiada Tuhan melainkan Allah.”
Kalimah Tauhid yang menetapkan sebagian sufi pada makam kehambaan itu bisa juga digunakan untuk mencabut kehambaan apabila maksud kalimah tersebut diubah kepada: “Tiada yang maujud melainkan Allah”. ( ). Renungan yang mendalam dan disertakan dengan ucapan yang berulang-ulang bartindak sebagai memukau diri sendiri sehingga terpahat keyakinan dalam jiwa bahwa hanya Wujud Tuhan yang ada. Orang yang memperolehi pemahaman wahdatul wujud secara renungan demikian tidak mengalami wahdatul syuhud, tidak ada pengalaman hakikat, tidak mengalami hal-hal ketuhanan karena mereka belum lagi sampai kepada tahap kesadaran hati (kalbu). Hal ketuhanan hanya dialami oleh orang yang sampai kepada tahap kesadaran hati. wahdatul wujud yang diperolehi secara tafakur itu menjadi pegangan orang yang berada pada tahap ilmu, tetapi ilmu bayang bukan ilmu yang sebenar.
Ada juga sufi yang memulaikan perjalanan tanpa membawa atau mengetahui pemahaman wahdatul wujud. Sufi ini sangat kuat dikuasai oleh kecintaan kepada Allah s.w.t dan tarikan kepada Tuhan yang kuat itulah menemukannya dengan kepercayaan wahdatul wujud. Kecintaan kepada Tuhan menjadi sangat berpengaruh dan menimbulkan keasyikan apabila sampai kepada tahap kesadaran hati, sama ada dia sampai kepada tahap melalui cara suluk atau b pun dengan rahmat Tuhan dia menjadi majzub. Kecintaan yang membara, mengasyikkan, dicampur dengan kerinduan yang mendalam menyebabkan sufi itu hanya menyaksikan satu wujud saja yaitu Wujud Tuhan sementara yang lain terhapus dari pandangannya. Oleh karena dia tidak menyaksikan yang lain maka dia tidak memperakui kewujudan yang lain. Pemahaman yang terbentuk itu adalah hasil daripada zauk atau pengalaman rasa yang bebas dari khayalan. Jika sufi itu menetap pada makam kalbu dan dia kembali kepada dunia dalam keadaan demikian, maka dia kan melihat wajah Kekasihnya pada apa jua yang dia pandang. Segala sesuatu menjadi cermin yang membalikkan wajah Kekasihnya.
Sebagian sufi, dengan rahmat Tuhan, dapat melepasi makam kalbu dan diberi suasana yang lebih baik yaitu menghadap kepada Tuhan yang menguasai kalbu. Sufi yang sudah keluar dari tahap kesadaran kalbu tidak lagi dikuasai oleh kecintaan yang mengasyikkan, yang mabuk. Kecintaannya sudah kembali rasional. Kecintaan rasional mengecilkan pemahaman dan kepercayaan kepada wahdatul wujud. Lama kelamaan pemahaman dan kepercayaan yang demikian hilang terus dari hati sufi. Dari golongan sufi yang telah membuang pemahaman dan kepercayaan wahdatul wujud ada yang mengecam doktrin tersebut. Sufi yang lain tidak membuat kecaman atau ulasan. Mereka bersimpati dengan sahabat-sahabat mereka yang masih terikat pada makam kalbu dan berpegang kepada pemahaman wahdatul wujud bukan dengan kehendak mereka sendiri tetapi pengalaman kerohanian yang menguasai mereka menyebabkan mereka menjadi demikian. Mereka dikuasai oleh hal atau zauk yang menyebabkan mereka tidak berdaya untuk memandang ke arah lain.
Bermukim pada makam kalbu, mengalami berbagai-bagai hal ketuhanan, memasuki suasana bersatu dengan Tuhan, adalah pengalaman yang menyeronokkan dan mengasyikkan. Hati merasai kenikmatan dan kelazatan. Lantaran itu ada sufi yang enggan keluar dari makam tersebut. Apabila kesadaran diri datang kepada mereka, mereka akan kembali membuat latihan untuk menghapuskan kesadaran tersebut. Mereka lebih suka berada dalam zauk terus menerus karena dalam zauk yang ada hanya Allah s.w.t, kehampiran dengan-Nya dan kesatuan dengan-Nya. Mereka percaya Kebenaran Hakiki adalah kefanaan dan penafian diri. Dari kalangan mereka muncul ungkapan separti: “Aku mau sampai kepada ‘adam hakiki (ketiadaan yang sebenar-benarnya) dan tidak kembali lagi kepada wujud”. Golongan ini senantiasa bekerja keras melatih diri dengan cara yang payah, beramal dengan cara yang sukar dan membebankan supaya mereka bisa berada dalam suasana penghapusan diri yang terus menerus. Mereka tidak mempunyai masa untuk berehat. Beban pengalaman yang berat itu mendorong mereka kepada satu-satu kegiatan menurut kecenderungan dan bakat masing-masing sebagai mengalihkan mereka daripada beban pengalaman mereka yang berat itu. Ada di antara mereka mencurahkan perasaan kepada alam semulajadi. Ada yang mendapat kerehatan dan keringanan melalui tarian dan nyanyian. Ada yang berpegang kepada pemahaman satu wujud dan menyaksikan satu wujud dalam yang banyak. Semua itu merupakan rahmat dari Tuhan agar mereka mampu bertahan dalam beban pengalaman mereka dan dengan demikian mereka memperolehi sedikit kerehatan.
Kumpulan sufi yang maju ke hadapan, meninggalkan makam kalbu, memperolehi hubungan dengan Tuhan yang membawa mereka beriktikad bahwa Tuhan Berdiri Dengan Sendiri dan tidak menyerupai sesuatu. Mereka tidak terlibat lagi dengan pemahaman melihat Tuhan dalam alam atau menyamakan alam dengan Tuhan. Iktikad sufi golongan ini sesuai dengan ajaran Rasulullah s.a.w. Baginda s.a.w tidak mengajarkan wahdatul wujud tetapi baginda s.a.w mengajarkan wahdatul ma’abud yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada sokongan al-Quran kepada pemahaman wahdatul wujud. Al-Quran mengajarkan konsep ketuhanan : “ ” - tiada sesuatu serupa dengan-Nya. Rasulullah s.a.w mengajarkan supaya menafikan tuhan-tuhan palsu yang terdiri daripada anasir-anasir alam dan manusia, termasuklah diri sendiri Sama ada yang zahir atau yang batin. Rasulullah s.a.w menentang perbuatan mempertuhankan batu, Isa al-Masih, Uzair, bulan, dan lain-lain. Rasulullah mengatakan konsep ketuhanan yang demikian adalah syirik dan dosanya tidak diampun oleh Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w juga mengajarkan perbedaan di antara hamba dengan Tuhan. Kebenaran sejati yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w adalah manusia adalah hamba ciptaan Tuhan bukan penzahiran Tuhan. Kesatuan wujud tidak diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Pada zaman para sahabat Rasulullah s.a.w, pemahaman wahdatul wujud tidak wujud, malah bayangannya pun tidak ada. Pemahaman yang demikian hanya muncul pada zaman yang akhir-akhir ini.
Sufi yang telah menyelesaikan semua peringkat perjalanan kerohanian dan mencapai peringkat tartinggi kewalian akan memperolehi keyakinan yang sama dengan pegangan ulama yang memperolehinya melalui kitab dan akal. Apa yang ulama putuskan secara mentalaah kitab dan menggunakan akal diperolehi oleh sufi melalui kasyaf.
13: KASYAF DAN ILHAM SUFI
________________________________________
Setiap makhluk yang diciptakan Tuhan dilengkapkan-Nya dengan fitrah. Fitrah menerbitkan bakat dan keupayaan semulajadi yang membisakan setiap kejadian itu berfungsi menurut kejadiannya. Fitrah matahari mengseret matahari untuk bergerak pada satu landasan sambil mengeluarkan cahaya yang mengandungi tenaga yang diperlukan oleh kejadian di bumi. Hewan, tumbuh-tumbuhan, galian dan lain-lain semuanya mempunyai fitrah masing-masing dan setiap satunya bergerak menurut peraturan fitrahnya. Di antara semua kejadian, manusia dikurniakan fitrah yang paling sempurna karena manusia berkewajiban memerintah dan mentadbir sekalian makhluk. Malaikat sendiri tunduk kepada manusia. Malaikat yang menguruskan bidang penglihatan tidak menghalang manusia menggunakan penglihatan matanya sekalipun yang dilihat olehnya itu diharamkan oleh Allah s.w.t. Malaikat yang menjaga nyawa tidak mencabut nyawa itu sekalipun manusia melakukan kejahatan dan kedurhakaan kepada Allah s.w.t.
Fitrah manusia merupakan sebaik-baik persediaan dalam melaksanakan tugas-tugas kehambaan kepada Allah s.w.t. Melakukan ketaatan kepada Allah s.w.t dan menguruskan kehidupan di bumi merupakan kewajiban manusia. Dalam melaksanakan hal yang demikian itu fitrah manusia dikurniakan sesuatu yang sangat luar biasa yaitu keupayaan untuk membuat pilihan. Hanya manusia dan jin yang memiliki keupayaan memilih. Makhluk lain tidak diberikan bakat tersebut. Dalam membuat pilihan fitrah manusia bisa menggunakan bakat-bakatnya yaitu fikiran, ilham dan kasyaf.
Melalui bakat berfikir manusia bisa membuat pilihan dalam menguruskan kehidupan lahiriah mereka. Kekuatan fikiran yang ada dengan manusia mengangkat manusia kepada derajat yang tinggi. Mereka mampu menguasai daratan, lautan dan udara. Mereka mampu mengambil manfaat daripada anasir alam yang ada di sekeliling mereka. Sempadan bagi kekuatan fikiran adalah jangkauan pancaindera dan logik. Apa yang tidak mampu dijangkau oleh pancaindera akan menimbulkan kesulitan kepada fikiran dan apa yang tidak termasuk dalam bidang logik akan mengelirukan fikiran.
Bidang yang tidak dapat diterokai oleh fikiran mampu diterokai oleh ilham. Fikiran sangat mahir dalam menyusun sesuatu yang bersangkutan dengan kebendaan. Kebendaan yang menjadi bidang fikiran ini bartindak sebagai hijab kepada bidang ilham. Pengaruh dan tarikan kebendaan menjadi tembok yang menghalang manusia daripada memperolehi ilham.
Pengaruh dan tarikan kebendaan tertuju kepada hati. Jika hati dapat keluar daripada kekuasaan dan ikatan kebendaan hati akan mampu mengeluarkan sinar cahayanya untuk memperluaskan bidang yang dapat diterokai oleh akal fikiran melalui cetusan ilham. Akal fikiran yang dibantu oleh ilham dapat keluar dari bidang logik dan sempadan kebendaan. Manusia dapat menerima kewujudan kuasa ghaib yang menguasai anasir alam yang nyata.
Terdapat dua golongan manusia yang menguasai bidang ilham. Mereka adalah ahli falsafah dan ahli sufi. Ahli falsafah yang menggunakan kekuatan diri sendiri hanya mampu mengambil ilham pada bagian permukaan sementara ahli sufi berkeupayaan untuk menyelam ke dasar lautan ilham. Walaupun berbeda derajat ilham tetapi oleh karena ia masih di dalam satu daerah, maka terdapat tolak-ukur di antara sufi yang di dalam daerah ilham dan ahli falsafah yang juga di dalam daerah ilham. Sufi yang begini beranggapan ahli falsafah adalah juga ahli sufi. Begitu juga anggapan ahli falsafah terhadap ahli sufi. Pemahaman ahli falsafah dan pemahaman ahli sufi tahap ilham banyak persamaan. Sufi pada tahap ini bisa bekerjasama dengan ahli falsafah dalam mengwujudkan kepercayaan atau agama sejagat. Agama sejagat ini mengambil nilai-nilai murni kemanusiaan sebagai peraturan hidup dan keikhlasan sebagai kehambaan kepada Tuhan. Setiap individu diperlukan mempratikkan nilai-nilai murni kemanusiaan dan bebas melakukan keikhlasan menurut kemampuan dan bakat yang ada dengannya dalam menyatakan khidmatnya kepada Tuhan. Golongan ini sangat mengasihi manusia dan sangat bertolak ukur dengan sesama manusia. Mereka menganggap semua agama adalah baik dan benar. Mereka berpemahaman semua agama menyembah Tuhan yang sama walaupun caranya berbeda. Mereka tidak mengutuk perbuatan memyembah Tuhan dengan menggunakan perantaraan separti patung-patung. Kebanyakan agama dalam dunia hari ini telah diolah semula oleh golongan sufi-falsafah. Maksud sufi di sini termasuklah ahli agama yang selain Islam yang mengamalkan bidang kerohanian dan melatih diri dalam bidang tersebut. Dari kalangan merekalah muncul orang-orang yang membina tempat patung-patung dalam tempat-tempat ibadat agama Nasrani dan Yahudi. Orang yang beragama menyembah berhala tidak berasa janggal apabila mereka memasuki rumah ibadat orang Nasrani dan Yahudi. Pengaruh yang demikian juga menjalar ke dalam masyarakat Islam. Orang-orang Islam yang berjiwa falsafah gemar membina sesuatu yang menonjol dan tersergam di dalam masjid-masjid. Jika penyembah berhala melihat kaum Muslimin sedang sujud mungkin mereka menyangka kaum Muslimin sujud kepada benda yang menonjol dan tersergam itu.
Sufi seterusnya masuk ke dalam bidang kasyaf. Penyaksian mata hati dan pengalaman rasa merupakan bidang kasyaf. Hati menyaksikan dan merasakan suasana ghaib dan hal-hal yang berhubung dengan ketuhanan. Walaupun sufi menyaksikan dan merasakan hal ketuhanan tetapi ia bukanlah Tuhan. Apa yang dibukakan kepada sufi itu adalah ibarat kunci yang membuka pintu makrifat untuk sufi mengenali Tuhan. Kasyaf tahap tartinggi hanyalah pengalaman rasa tanpa penyaksian tentang hal ketuhanan itu. Pengalaman rasa atau zauk tanpa penyaksian membawa sufi bermakrifat tentang Allah s.w.t yang Maha Esa, tiada sesuatu yang menyerupai-Nya. Makrifat cara begini menanamkan kepemahaman yang tidak mampu diuraikan.
Penguraian yang lengkap tentang Allah s.w.t hanya terdapat dalam wahyu. Apa yang diterangkan oleh wahyu tentang Allah s.w.t dapat difahami oleh seseorang manusia menurut tahap pemikiran, ilham dan kasyafnya. Orang yang mempunyai ke tiga-tiga bakat-bakat fitrah itu secara sempurna akan mengenal Allah s.w.t dengan sempurna. Wahyu menerangi kasyaf, kasyaf menerangi ilham dan ilham menerangi fikiran. Nur wahyu yang menerangi kasyaf, ilham dan fikiran itu membuka simpulan pada lidah sehingga lidah bisa berucap dengan fasih tentang Allah s.w.t, menurut kadar yang Dia izinkan.
Apabila sekalian bakat-bakat fitrah itu sudah disinari oleh nur wahyu barulah fitrah kemanusiaan itu melonjak kepada fitrah Muslim. Manusia yang fitrahnya belum mencapai tahap fitrah Muslim, walaupun pintar menggunakan akal namun, dia masih belum bersesuaian dengan kehendak Allah s.w.t. Daya nilai fitrah manusia banyak bersesuaian dengan daya nilai fitrah Muslim dalam bidang akhlak tetapi tidak dalam bidang ketuhanan. Kebenaran yang sejati berada pada fitrah Muslim. Apa yang dinilaikan baik oleh fitrah manusia jika bercanggah dengan penilaian fitrah Muslim, maka fitrah manusia mesti akur dengan kebenaran fitrah Muslim. Orang Islam yang bijak sekalipun tidak akan dapat melihat hikmah di sebalik suruhan dan tegahan agama, sekiranya fitrahnya tidak naik kepada tahap fitrah Muslim atau pun jika akalnya enggan tunduk kepada kebenaran yang dinyatakan oleh wahyu. Apabila fitrah manusia mencapai tahap fitrah Muslim, akan ujudlah penyerahan yang sejati kepada Allah s.w.t, tanpa hujah dan tanpa takwil. Dia akan tunduk kepada peraturan Allah s.w.t yang dibawa oleh Rasul-Nya. Dalam jiwanya akan lahir kegairah beragama. Dia akan cemburu jika Allah s.w.t, Rasulullah s.a.w, al-Quran dan agamanya dipersendakan apa lagi kalau dikhianati.
Semua bakat-bakat fitrah mestilah menjadi Muslim. Akal fikiran menjadi Muslim, ilham menjadi Muslim dan kasyaf menjadi Muslim. Bila semua bakat itu sudah menjadi Muslim, akan bercahayalah Roh Islam seseorang itu. Roh Islam akan hanya mengeluarkan yang Muslim, tidak ada pertentangan dengan Islam. Roh Islam yang paling sempurna adalah Roh Nabi Muhammad s.a.w. Jibrail a.s membacakan wahyu dan Roh Islam Nabi Muhammad s.a.w mentafsirkannya. Apa yang baginda s.a.w tafsirkan menepati apa yang wahyu maksudkan, tanpa sedikitpun pertentangan. Jika mau melihat al-Quran dalam rupa manusia, maka Nabi Muhammad s.a.w adalah ‘al-Quran’ yang hidup, berkata-kata dan bergerak dalam daerah kehidupan manusia. Selain Nabi Muhammad s.a.w derajat persamaan dengan wahyu itu bartingkat-tingkat menurut derajat akal, ilham dan kasyaf masing-masing.
Fikiran, ilham dan kasyaf sufi bukanlah satu sumber ilmu yang menyamai wahyu atau pun bebas daripada wahyu. Bakat-bakat tersebut hanyalah alat untuk mentafsirkan wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w mengenai sesuatu perkara yang diimani. Bakat-bakat tersebut walaupun bisa digunakan sebagai alat bagi menterjemah wahyu tetapi ia bukanlah secara sempurna. Ia berkedudukan separti ijtihad para mujtahid yang mungkin benar dan mungkin silap. Dalam pembinaan hukum dan fatwa yang mengenai orang banyak, kedudukan ijtihad ahli mujtahid lebih kuat daripada ilham dan kasyaf sufi.
Ilham dan kasyaf sufi lebih bersifat peribadi, berguna untuk sufi itu sendiri dalam menentukan arah tindakannya. Kesan mabuk yang berlaku pada jalan kewalian sufi sukar terpisah daripada seseorang sufi itu dan kesan tersebut bisa mempengaruhi ilham dan kasyafnya. Apa yang diperolehi oleh sufi yang dipengaruhi oleh mabuk mungkin tidak menepati kebenaran yang asli. Sufi tersebut mungkin mengeluarkan pendapat yang kurang benar dan meninggalkan yang lebih benar. Oleh yang demikian kebenaran ilham dan kasyaf sufi itu mesti diuji dengan kebenaran al-Quran dan as-Sunah. Kedudukan seseorang sufi itu diukur dengan melihat sejauh mana ilham dan kasyafnya bersesuaian dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah. Sufi yang telah mencapai tahap kewalian peringkat tartinggi, yang telah terlepas daripada kesan mabuk, fana dan bersatu dengan Tuhan, tidak bercanggah dengan al-Quran dan as-Sunah.
Al-Quran dan Hadis telah memberi penjelasan yang lengkap mengenai perkara-perkara yang bersangkutan dengan akidah. Perkara yang sudah cukup terang dan jelas ini tidak bisa digugat oleh apa saja, termasuklah pemahaman, ilham dan kasyaf sufi. Jika terjadi pertentangan di antara ucapan ahli sufi dengan kenyataan al-Quran dan as-Sunah mengenai perkara akidah, ia mestilah ditolak dan perkataan al-Quran dan as-Sunah itu yang wajib diimani. Ucapan sufi yang demikian hendaklah dianggapkan sebagai ucapan yang lahir daripada suasana hati yang dipengaruhi oleh mabuk dan fana dan sufi berkenaan belum lagi menghabiskan perjalanannya. Jika perkataan sufi menyokong kenyataan al-Quran dan as-Sunah, maka perkataan tersebut hendaklah dibenarkan. Dalam memahami maksud al-Quran dan as-Sunah, aliran Ahli Sunah wal Jamaah hendaklah diikuti.
Ada perkara-perkara yang al-Quran dan al-Hadis hanya memberi maklumat secara sepintas lalu atau pun tidak memberi maklumat sedikitpun. Perkara-perkara berkenaan termasuklah soal-soal syurga, neraka, bumi, alam maya, malaikat, jin, makhluk rohani dan lain-lain. Ahli sufi banyak memperkatakan soal-soal yang demikian berdasarkan ilham dan kasyaf mereka, tanpa sokongan nas yang sahih. Dalam soal ini orang banyak tidak dituntut untuk mengimani perkataan sufi. Ilham dan kasyaf sufi bisa jadi benar dan bisa jadi juga tidak benar. Nabi-nabi diperakui oleh Allah s.w.t sebagai maksum, dijamin terpelihara daripada gangguan syaitan dan tidak terjadi kesalahan pada ilham dan kasyaf mereka. Apa juga kekeliruan yang timbul akibat gangguan syaitan diperbetulkan dengan segera dan kebenaran perkataan Nabi-nabi ditetapkan. Jaminan yang demikian tidak diberi kepada golongan yang bukan Nabi. Namun begitu, perkataan sufi mengenai soal-soal yang tidak bersangkutan dengan akidah itu bisa dijadikan iktibar dan mempercayainya tidak menjadi kesalahan. Melalui perkataan mereka orang-orang yang ingin memahami perkara-perkara tersebut mendapat sedikit pemahaman yang bisa dikembangkan melalui kekuatan akal fikiran.
Sufi memperolehi maklumat melalui kasyaf. Kadang-kadang kasyaf berlaku kepada sufi dalam bentuk ibarat atau pembukaan secara umum tanpa perincian. Kasyaf yang demikian perlu ditafsirkan. Biasa terjadi tafsiran yang dibuat oleh sufi itu tidak menepati gambaran atau ibarat yang dibukakan kepadanya Bila sufi menerima berita secara umum maka tafsiran secara umum juga yang diberikannya. Maklumat yang diperolehi secara umum, tanpa perincian, tidak dapat menceritakan sesuatu perkara dengan tepat. Sufi juga mungkin mendapat maklumat mengenai sesuatu kejadian dan maklumat tersebut datangnya daripada sumber takdir yang akan berubah, sedangkan perubahan yang akan berlaku tidak dibukakan kepadanya. Allah s.w.t berfirman:
Apa sajat ayat keterangan yang Kami mansukhkan (batalkan) atau yang Kami tinggalkan (atau tangguhkan), Kami datangkan ganti yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah engkau mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu? ( Ayat 106 : Surah al-Baqarah )
Ayat di atas memberitahukan tentang takdir yang di dalam perbatasan yang bisa berubah dengan kehendak dan perintah Allah s.w.t.
Untuk mereka sajalah kebagiaan yang menggembirakan di dunia dan di akhirat; tidak ada (sebarang) perubahan pada kalimat (janji-janji) Allah; yang demikian itulah kejayaan yang besar. ( Ayat 64 : Surah Yunus )
Ayat di atas ini pula memberitahukan tentang daerah takdir yang tidak akan berubah karena Allah s.w.t telah menetapkannya. Kasyaf seorang sufi mungkin hanya sampai kepada daerah takdir yang mungkin berubah, tidak sampai kepada daerah takdir yang tetap. Oleh yang demikian apa yang disaksikannya mungkin berlaku dan mungkin juga tidak berlaku.
Perlu juga diketahui bahwa seseorang sufi melalui peningkatan kerohanian secara sedikit demi sedikit, bukan sekaligus. Suasana kerohanian atau makam mempengaruhi pemahaman dan pegangan sufi. Seorang sufi bisa mengeluarkan beberapa pendapat yang berbeda mengenai perkara yang sama. Pendapatnya di awal perjalanan, pertengahan dan di akhir perjalanan mungkin bertentangan di antara satu sama lain. Pendapatnya yang paling benar adalah pendapat yang diberikannya setelah dia kembali kepada kesadaran sepenuhnya dan berkamil dengan syariat sepenuhnya.
Sufi yang masih di dalam perjalanan menemui beberapa pemahaman yang bercanggah dengan prinsip syariat. Di antara yang demikian adalah konsep tauhid af’al, tauhid sifat dan tauhid wujud. Konsep tauhid yang demikian membawa Tuhan ke dalam perbatasan alam dan mengadakan persamaan di antara Tuhan dengan makhluk. Sufi yang sedang dikuasai oleh suasana kerohanian yang demikian menafikan perbuatan dirinya, sifatnya dan wujudnya. Semuanya diisbatkan kepada Allah s.w.t. Muncullah ungkapan separti: “Tiada yang berbuat melainkan Allah. Tiada yang hidup melainkan Allah. Tiada yang maujud melainkan Allah” dan lain-lain ungkapan yang seumpamanya. Ungkapan yang paling popular dikaitkan dengan kesufian adalah: “Ana al-Haq!” Ada golongan yang beranggapan kononnya sufi yang belum mengucapkan “Ana al-Haq” belum lagi mencapai makam yang paling tinggi. Golongan sufi ikutan menggunakan ungkapan yang demikian bagi memukau kesadaran diri sendiri dengan cara mengulangi ucapannya sebanyak mungkin dan menghayati maknanya sehingga terpahat kepercayaan yang demikian dalam jiwa mereka. Golongan yang mengikut secara membuta tuli inilah yang menyebarkan kesesatan, berselindung di sebalik perkataan sufi yang sedang mabuk.
Manusia yang masih ada keupayaan untuk membuat pilihan, berfikir dan merasa, mestilah faham keadaan sufi yang fitrah mereka menerima kejutan alam ghaib sehingga keupayaannya untuk membuat pilihan, berfikir dan merasa hilang. Sufi yang demikian dikatakan berada di dalam jazbah. Orang yang berada dalam jazbah adalah umpama orang yang keluar ke laut menaiki perahu kecil. Bila dipukul gelombang dia menjadi mabuk dan meracau. Setelah dia sampai ke tengah laut, ombak sudah tenang, mabuknya berkurangan dan akhirnya dia kembali normal. Bila dia sudah sedar dia tidak meracau lagi. Pengalaman jazbah berguna kepada sufi berkenaan karena pengalaman yang demikian menanggalkan sifat-sifat yang keji dari hatinya dan sifat ikhlas menjadi sebati dengannya. Pengalaman jazbah itu juga berguna kepada guru yang menjadi pembimbing karena dengannya guru dapat mengetahui suasana dan stesen kerohanian muridnya. Ia juga menjadi tanda bahwa murid berkenaan mempunyai harapan untuk menjadi cemerlang kesudahannya. Guru yang arif akan membimbing muridnya supaya melepasi peringkat-peringkat zauk sehingga sampai kepada penghujung jalan yang tenang dan damai. Murid yang sudah melepasi peringkat jazbah dan kembali kepada kesadaran kemanusiaan biasa akan menyedari akan kekeliruan yang muncul dalam pemahamannya sepanjang perjalanannya. Dia bertaubat daripada pegangan yang lalu. Kini dia menyaksikan satu kebenaran saja yaitu kebenaran kehambaan kepada Allah s.w.t. Manusia dan jin diciptakan untuk mengabdikan diri kepada-Nya, bukan untuk bersatu dengan perbuatan, sifat atau wujud-Nya.
Pemahaman yang keluar dari ilham dan kasyaf sufi sekiranya menyalahi syariat wajiblah ditolak. Jika orang yang mengetahui tentangnya ada kebisaan, ucapan latah sufi haruslah diterjemahkan menurut stesen kerohanian sufi berkenaan dan penjelasan harus diberi kepada orang banyak agar latah sufi tidak disalahartikan. Sufi yang mengeluarkan ucapan latah ketika dalam jazbah haruslah dimaafkan, walaupun ucapannya menyalahi syariat. Harus diingat bahwa sufi tidak terlepas sepenuhnya daripada suasana mabuk sebelum dia sampai kepada makam siddiqiyat. Semua makam di bawah daripada makam siddiqiyat tidak terlepas daripada pengaruh mabuk sedikit atau banyak. Kesimpulannya pendapat sufi yang bertentangan dengan syariat wajib ditolak tetapi peribadi sufi itu sendiri tidak bisa dikutuk karena dia dikuasai oleh mabuk.
14: PEMAHAMAN DAN PEGANGAN YANG BENAR
________________________________________
Manusia yang berada di atas jalan yang benar ada dua golongan. Golongan pertama adalah ahli fikih yang berjiwa tasauf dan keduanya adalah ahli tasauf yang berjalan di atas landasan fikih. Berpegang kepada salah satu di antara fikih dan tasauf bermakna berpegang kepada separuh daripada kebenaran. Berpegang kepada fikih semata-mata dengan menolak tasauf bermakna mengambil bagia zahir syariat saja. Berpegang kepada tasauf dengan membuang fikih bermakna mengambil batin syariat saja. Berpegang kepada zahir syariat tanpa batinnya dibisakan dan sudah memadai untuk diiktiraf sebagai orang Islam tetapi pegangan yang demikian tidak sempurna. Berpegang kepada batin syariat saja tanpa zahirnya adalah tidak mungkin, kecuali mereka yang sedang dikuasai oleh jazbah. Mereka yang demikian dimaafkan. Kesempurnaan syariat adalah gabungan zahir dan batinnya.
Istilah syariat hendaklah diberi definasi yang lengkap dan benar. Syariat mengandungi tarekat, hakikat dan makrifat. tarekat, hakikat dan makrifat bukanlah sesuatu yang di luar syariat atau lain daripada syariat. Tindakan mengasingkan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat menjadi jalan menjalarnya kekeliruan dalam masyarakat. Kaum Muslimin haruslah sedar bahwa tarekat adalah satu bagian daripada syariat. Demikian juga hakikat dan makrifat. Syariat adalah umpama air yang mengalir dan menghidupkan tarekat, hakikat dan makrifat. Tarekat, hakikat dan makrifat yang tidak dibasahi oleh air syariat adalah umpama pokok yang ditanam di atas batu, tidak ada air menghidupkannya. Syariat adalah umpama nyawa yang memberi kehidupan kepada tarekat, hakikat dan makrifat.
Syariat mengajarkan akidah dan peraturan yang benar. Rasulullah s.a.w menolak ketuhanan Isa al-Masih, Uzair dan patung-patung karena ia bertentangan dengan akidah yang diajarkan oleh syariat. Rasulullah s.a.w menolak keislaman golongan Taqif yang meminta dikecualikan daripada mengerjakan sholat karena ia menyalahi peraturan syariat. Abu Bakar as-Siddik memerangi Musailamah bin Hatib yang mendakwa menjadi nabi karena dakwaan demikian menyalahi akidah yang diajarkan oleh syariat. Abu Bakar as-Siddik juga memerangi kaum Muslimin yang enggan mengeluarkan zakat selepas Rasulullah s.a.w wafat, karena perbuatan demikian menyalahi peraturan syariat. Tentera Islam berperang, membunuh dan dibunuh karena menyebarkan syariat. Sekali lagi diperingatkan maksud syariat adalah syariat zahir dan syariat batin, meliputi perkara-perkara separti Islam, iman, perbuatan tubuh badan dan amalan hati. Al-Quran mengajarkan supaya beriman dan beramal salih, jangan dipisahkan keduanya. Tidak ada amal salih tanpa iman. Tidak berdiri iman tanpa amal salih.
Rasulullah s.a.w memiliki dua jenis ilmu. Pertama adalah ilmu yang mengenai hukum hakam dan peraturan, dinamakan ilmu ahkam. Kedua adalah ilmu mengenai perkara ghaib, rahsia dan misteri, dinamakan ilmu asrar. Ilmu ahkam biasanya dipanggil ilmu fikih dan ilmu asrar dipanggil ilmu tasauf. Istilah ilmu fikih dan ilmu tasauf digunakan selepas zaman Rasulullah s.a.w. Pada zaman baginda s.a.w yang dikenali hanya satu ilmu saja yaitu ilmu al-Quran. Dalam ilmu al-Quran ada bagian fikih yaitu peraturan dan hukum dan ada bagian tasauf yaitu perkara ghaib dan kerohanian. Rasulullah s.a.w menyampaikan kedua-dua jenis ilmu tersebut kepada sahabat baginda s.a.w secara bersama, bukan terpisah. Para sahabat pula memperturunkannya kepada generasi yang datang kemudian. Ulama yang menerima kedua-dua jenis ilmu tersebut dinamakan pewaris nabi. Memiliki satu aspek saja tidak dinamakan pewaris. Ulama yang mengambil bagian hukum dan peraturan saja dinamakan ulama zahir, masih jauh lagi untuk bergelar ulama syariat. Ulama yang mengambil bagian zahir dan batin itulah yang benar-benar menjadi ulama syariat, pewaris nabi.
Sebagian orang menyangka ilmu tentang Kebenaran Hakiki yaitu ilmu asrar bermaksud ilmu mengenai wahdatul wujud, kesempurnaan Yang Satu dalam yang banyak dan yang banyak dalam Yang Satu, fana, bersatu dengan Tuhan dan baqa bersama Tuhan. Pemahaman yang demikian adalah tidak benar. Doktrin wahdatul wujud dan yang seumpama dengannya masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. wahdatul wujud adalah hasil daripada kefanaan dan mabuk. Rasulullah s.a.w tidak memasuki suasana fana dan mabuk. Ilmu yang baginda s.a.w bawa adalah ilmu yang muncul dalam kesadaran bukan kelupaan. Ilmu kenabian adalah umpama lautan yang luas. Ilmu kewalian sufi yang kefanaan adalah umpama satu titik air, tetapi bagi orang yang tercampak di padang pasir satu titik air sangat memberi arti kepadanya.
Ada orang menyangka kefanaan lebih tinggi daripada kesadaran. Mungkin mereka memandang kepada kesadaran orang awam. Jika mereka melihat kepada kewalian yang telah sempurna di atas jalan kenabian tentu mereka dapat melihat bahwa Kebenaran Hakiki muncul dalam kesadaran, bukan dalam kefanaan. Kewalian yang sempurna bukanlah yang fana terus menerus tetapi adalah yang kembali kepada kesadaran biasa dan meneruskan perjuangan Rasulullah s.a.w. Ketika di dunia ini berbakti kepada Tuhan lebih utama daripada fana dalam-Nya. Ahli makrifat yang sempurna adalah yang makrifatnya dihidupkan oleh air syariat dan mereka melibatkan diri di dalam kegiatan masyarakat sehingga ke akhir hayat mereka. Golongan ini tidak mendakwa melihat Tuhan dalam dunia. Mereka mengakui bahwa melihat Tuhan hanya mungkin di akhirat. Mereka melihat maut sebagai jambatan buat mereka sampai kepada Kekasih mereka.
Rasulullah s.a.w dan para sahabat beriman kepada perkara ghaib separti beriman kepada Allah s.w.t dan sifat-sifat-Nya berdasarkan kenyataan yang dibawa oleh al-Quran. Wali-wali Allah yang sempurna juga beriman menurut iman Rasulullah s.a.w dan para sahabat. Bilangan wali-wali yang sampai kepada peringkat ini setelah melepasi kewalian sufi adalah sedikit. Selain mereka, ulama dan orang-orang Islam yang awam juga beriman cara demikian. Iman pada kewalian sufi pula bersumberkan kepada penyaksian, dinamakan iman syuhudi. Sufi yang beriman secara syuhudi mungkin bercampur dengan orang banyak dan mungkin juga tinggal sendirian. Walaupun sufi jenis ini bercampur dengan orang banyak tetapi tidak secara keseluruhan dirinya. batinnya atau hatinya masih memandang ke atas, mencari-cari atau menanti-nanti. Lahirnya sibuk dengan manusia tetapi batinnya karam dengan Tuhan. Keadaan sufi yang demikian berbeda dengan keadaan Rasulullah s.a.w. Baginda s.a.w berhadap kepada makhluk secara keseluruhan, terlibat jiwa dan raga dalam berdakwah mengajak manusia kepada jalan Allah s.w.t. Sufi yang masih memandang atau mencari-cari ke atas menunjukkan dia belum bebas sepenuhnya daripada pengaruh kefanaan dan mabuk dan dia belum mencapai matlamat, sekalipun dia sudah bisa bergaul dengan orang banyak. Sufi yang sudah sampai ke penghujung perjalanannya menetap dalam kehidupan harian secara menyeluruh, berhadap kepada kehidupan dunia secara keseluruhan jiwa raga, tanpa mencari-cari ‘yang di atas’ atau mencungkil semula pengalaman yang telah dilalui dalam kewalian sufi dahulu.
Ketika sufi dalam proses menaik yang banyak hilang lenyap, hinggakan asma’ dan sifat juga hilang daripada alam kesadarannya, tidak ada yang disaksikan melainkan Wujud Mutlak. Tuhan kurniakan kepada sufi itu apa yang Dia kehendaki, sesuai dengan amanah dan tugas yang akan ditanggungnya kelak. Dalam proses menurun pula sufi kembali sepenuhnya kepada kesadaran biasa yang padanya ada perhatian kepada yang banyak. Dalam keadaan kesadaran semula itu tidak ada yang menarik minatnya kecuali hidup sebagai Muslim biasa. Mereka hanya menjalankan perintah Tuhan dan mengajak manusia kepada jalan Tuhan. Setelah mereka menyelesaikan tugas dakwah dan hampir kembali ke Hadrat Ilahi, mereka beralih daripada iman tanpa penyaksian kepada iman secara penyaksian (iman syuhudi).
Jangan menganggap kembali kepada kehidupan dunia sebagai kecacatan atau ditolak daripada majlis Tuhan. Jangan menyangka fana dalam Tuhan lebih baik daripada berkhidmat kepada makhluk Tuhan. Sufi yang kembali kepada dunia bukan dengan kehendaknya sendiri. Mereka turun dari kesadaran ‘alam tinggi’, keluar daripada suasana penyatuan kepada suasana perpisahan adalah dengan perintah Allah s.w.t. Sufi yang kembali kepada dunia tunduk kepada kehendak Allah s.w.t dengan melepaskan kehendak diri sendiri. Golongan sufi yang kembali kepada kehidupan dunia itu bergabung dengan golongan ulama, sama-sama bekerja menyebarkan agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w yaitu yang menggabungkan zahir dan batin syariat. Dakwah adalah pekerjaan yang paling mulia. Dakwat ulama ditimbang dengan darah syuhada dan lebih berat.
Dalam apa juga keadaan para sahabat Rasulullah s.a.w adalah contoh teladan terbaik untuk semua zaman. Kelebihan para sahabat sabagai generasi Muslim yang pertama tidak bisa ditandingi oleh generasi yang datang kemudian. Generasi pertama melebihi yang lain karena mereka memiliki iman yang dilahirkan oleh hubungan secara langsung dengan Rasulullah s.a.w. Iman yang lahir daripada penyampaian secara langsung oleh baginda s.a.w lebih berkesan dan utama daripada iman yang lahir daripada cara-cara lain. Para sahabat tidak melalui fana dan jazbah, tidak ada bersatu dengan Tuhan dan baqa bersama-Nya. Mereka tidak menerima tajalli atau penzahiran Tuhan. Kelebihan mereka terletak pada takwa bukan pada kasyaf, tajalli, zauk dan mabuk. Kelebihan mereka adalah karena mereka mempraktikkan Sunah Rasulullah s.a.w, berperang bersama-sama baginda s.a.w dan menanggung berbagai-bagai kesusahan demi agama Allah s.w.t. Mereka mendapat Kebenaran Hakiki dalam kesadaran, melalui bimbingan wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w.
Tarekat sufi hendaklah dijadikan jalan untuk mencapai tahap yang diperolehi oleh para sahabat Rasulullah s.a.w, bukan untuk menyingkap misteri alam dan kehidupan atau untuk memperolehi tajalli. Matlamat sufi mestilah mencari kepemahaman yang jelas dan keyakinan yang teguh kepada risalat yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. Kebenaran yang dibawa oleh Rasul Allah adalah jelas dan muktamad, tidak bisa dijabar oleh ahli falsafah atau pun ahli sufi. Fikiran, ilham dan kasyaf bukanlah alat untuk mengadakan kebenaran yang kain daripada kebenaran yang telah dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunah.
Risalat yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w memperakui kewujudan benda-benda alam yang memiliki sifat-sifat dan keupayaan, bisa bergerak dan bartindak. Tuhan menciptakan makhluk dan dalam penciptaan makhluk itu Tuhan telah meletakkan keupayaan melakukan perbuatan. Perbuatan makhluk adalah ciptaan Tuhan bukan perbuatan Tuhan. Makhluk menggunakan bakat dan keupayaan yang Tuhan bekalkan kepada mereka bukan makhluk menggunakan perbuatan Tuhan untuk melakukan perbuatan. Perbuatan Tuhan tidak bersamaan dengan perbuatan makhluk. Tuhan menciptakan makhluk dan sifat-sifat mereka tetapi Tuhan bukanlah alat kepada sifat-sifat tersebut. Tuhan yang menciptakan perbuatan tetapi bukanlah Tuhan yang bergerak dalam pancaindera makhluk untuk melahirkan perbuatan.
Tauhid af’al, tauhid asma’, tauhid sifat dan tauhid zat bukanlah ajaran yang terdapat dalam risalat yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w tetapi ia adalah pengalaman kerohanian yang berlaku dalam kewalian sufi. Pengalaman yang demikian hanya untuk sufi yang mengalaminya sementara orang banyak wajib berpegang kepada risalat Rasulullah s.a.w. Orang banyak yang sengaja berpegang kepada pemahaman sufi yang dalam mabuk, yang menyalahi syariat, hukumnya adalah kufur. Orang sengaja menyengutukan perbuatannya dan dirinya dengan perbuatan Tuhan dan Zat Tuhan sama keadaannya dengan orang Nasrani yang menyengutukan al-Masih dengan Tuhan. Al-Quran mengecam perbuatan kaum Nasrani itu dan perbuatan demikian dikira sebagai perbuatan kaum musyrikin.
Risalat Rasulullah s.a.w memperakui kewujudan fitrah manusia. Dalam fitrah itu ada nilai-nilai baik dan buruk, cantik dan hodoh, sempurna dan cacat dan lain-lain. Tuhan kurniakan kepada seseorang manusia itu kediriannya sendiri untuk wujud sebagai satu individu, tidak perlu berebut pada satu kewujudan separti Adam atau Muhammad. Tuhan ciptakan untuk manusia keupayaan memilih, fikiran, tindakan dan perasaan. Tuhan adalah Pencipta bukan yang dikuasai oleh ciptaan-Nya. Kepercayaan manusia bukan kepercayaan Tuhan. Perasaan manusia bukan perasaan Tuhan. Tindakan manusia bukan tindakan Tuhan. Tuhan tidak dikongkong oleh kepercayaan, perasaan dan tindakan manusia. Manusia yang merasai bagia dan manusia juga yang merasai kecelakaan. Tidak ada jalan buat manusia untuk mempersekutukan apa yang ada dengannya dengan Tuhan.
Risalat Rasulullah s.a.w memperakui ada kepercayaan yang benar dan ada kepercayaan yang salah. Risalat membedakan yang baik dengan yang jahat, yang benar dengan yang batal. Risalat dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab ke atas perbuatannya, kepercayaanya dan sikapnya. Tuhan akan mengadili manusia dan akan memberi balasan kepada yang baik dan menghukum yang jahat. Risalat menolak pemahaman sebagian manusia yang meletakkan kesalahan kepada Tuhan.
Rasulullah s.a.w mengajarkan bahwa manusia adalah hamba Tuhan. Tuhan ciptakan manusia supaya mereka berbakti kepada-Nya. Kehambaan atau ubudiah merupakan puncakk perjalanan suluk orang sufi. Kehambaan yang sempurna adalah yang berbakti kepada Allah s.w.t dengan sepenuh jiwa raga, beriman kepada firman-Nya dengan disertai oleh kepatuhan dan ketaatan, menerima peraturan syarak, berdakwah ke jalan-Nya dan menegakkan kerajaan-Nya di bumi. Setiap Muslim, termasuklah wali Allah, mesti menjadikan Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w sebagai contoh tauladan. Semakin hampir dengan Sunah baginda s.a.w semakin benar dan baiklah seseorang Muslim itu. Tidak ada wali yang bebas daripada Sunah Rasulullah s.a.w atau yang bisa menyamai baginda s.a.w. Apa juga kelebihan dan kemuliaan yang diperolehi oleh seseorang wali adalah karena syafaat baginda s.a.w dan karena mengikuti Sunah baginda s.a.w.
Jalan sufi pada satu seginya menyamai jalan kenabian. Sufi melakukan amalan sholat, puasa, membaca al-Quran, berdoa dan berzikir. Amalan yang demikian diambil dari al-Quran dan as-Sunah. Ia kemudian disusun bagi memudahkan pengikut satu-satu tarekat itu mengamalkannya bagi mendapatkan kesan yang maksima daripada amalan tersebut. Selain daripada amalan yang bersesuaian dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah, terdapat juga bagian yang benar-benar baru, tidak kedapatan pada jalan kenabian. Bagian tersebut adalah yang mengandungi fana, baqa, bersatu dengan Tuhan dan latihan kerohanian yang melahirkan pengalaman tersebut. Bagian utama jalan kesufian adalah zikir dan tafakur. Bagian yang paling menonjol adalah pengalaman fana dan baqa. Bagian yang ada urusan dakwah, jihad dan berbakti kepada orang banyak diberi perhatian yang sedikit saja.
Perbedaan yang paling ketara di antara jalan kesufian dengan jalan kenabian adalah pada jalan kesufian terdapat dua keadaan yang terpisah. Pada peringkat pertama sufi membenamkan diri mereka ke dalam Tuhan, mengalami fana dan bersatu. Kemudian sufi mengalami perpisahan dan baqa. Seterusnya sufi kembali kepada kesadaran normal dan kepada dunia untuk berkhidmat kepada orang banyak. Peringkat naik kepada Tuhan dan turun kepada dunia merupakan dua peringkat yang berbeda dalam perjalanan sufi. Pada jalan kenabian pula tidak ada fana dan baqa, tidak ada naik dan turun. Hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia bukanlah dua peringkat yang terpisah pada jalan kenabian. Kedua-dua peringkat tersebut tidak datang secara berasingan. Wali pada jalan kenabian tidak hilang perhatian kepada makhluk ketika sangat hampir dengan Tuhan dan tidak membelakangi Tuhan ketika melayani makhluk. Pada jalan kenabian berkhidmat kepada sesama makhluk merupakan ketaatan kepada Allah s.w.t, didorong oleh rasa kasih dan ingat kepada-Nya. Pada jalan kenabian makhluk tidak menghijab Tuhan dan kehadiran Tuhan dalam ingatan tidak melenyapkan makhluk.
Seseorang yang mau memasuki aliran tarekat perlulah mengetahui persamaan dan perbedaan di antara jalan kenabian dan jalan kesufian. Pengetahuan tersebut bisa membantunya untuk memilih amalan yang bersumberkan al-Quran dan as-Sunah dan menolak ajaran yang bercanggah dengan ajaran Rasulullah s.a.w. Memelihara Sunah Rasulullah s.a.w bisa mengelakkan ahli suluk daripada terperangkap di dalam pusaran wahdatul wujud. Wahdatul wujud bukanlah syarat bagi menyempurnakan perjalanan kesufian separti memperolehi fana dan baqa. wahdatul syuhud (menyaksikan satu wujud) sudah memadai untuk melalui peringkat tersebut. wahdatul syuhud yang dialami dengan disertai oleh keyakinan kepada ajaran Rasulullah s.a.w akan membawa seseorang melepasi penyaksian, suara, gambaran, cahaya, warna dan rupa-bentuk misal yang ditemui dalam perjalanan. Keyakinan kepada ajaran Rasulullah s.a.w bahwa Allah s.w.t tidak menyamai sesuatu menjadi tenaga yang kuat menarik ahli suluk keluar daripada medan wahdatul wujud.
Tidak semua sufi terlibat dengan mabuk dan hilang kesadaran. Ada sufi yang melalui jalan yang mengeluarkan pengalaman yang bersesuaian dengan al-Quran dan as-Sunah, tidak ada padanya mabuk, hilang kesadaran dan bercakap menyalahi syariat. Di antara sufi yang termasuk di dalam golongan ini adalah Ibrahim Adham, Abdul Kadir Jailani dan Junaid al-Baghdadi. Ada juga golongan sufi yang memasuki pengalaman mabuk, fana, hilang kesadaran dan mengeluarkan ucapan latah, tetapi apabila mereka kembali sedar mereka mengakui kesilapan pada kelakuan mereka. Bila tidak dikuasai oleh jazbah mereka berpegang teguh kepada Sunah Rasulullah s.a.w. Di antara sufi yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Abu Yazid, an-Nuri dan Syibli. Sufi golongan ke tiga pula berpegang kepada pemahaman yang terang-terang bercanggah dengan prinsip Islam. Di antara mereka adalah Abu Mukur al-Hallaj dan Ibnu Arabi. Sufi kumpulan pertama dipelihara sehingga air syariat yang mereka bawa tidak berubah warna, malah pada setiap peningkatan kerohanian air tersebut menjadi semakin jernih. Apabila mereka meninggalkan kewalian cara sufi dan masuk kepada kewalian cara kenabian, air syariat mereka sudah menjadi sangat jernih dan murni. Sufi kumpulan ke dua pula air syariat mereka berubah warna pada satu peringkat, seumpama tuak menjadi masam dan mereka mengalami mabuk, tetapi dengan rahmat Allah s.w.t mereka dibawa melepasi peringkat mabuk itu dan kembali kepada kesadaran semula. Sufi kumpulan ke tiga hidup terus menerus di dalam mabuk. Walaupun air syariat mereka sudah berubah warna namun, zat air yang asli masih ada dengan mereka. Oleh itu mereka tetap mengerjakan sholat dan beristighfar.
Orang jahil yang mencoba-mencoba menjadi sufi ikutan mudah keliru dengan suasana sufi kumpulan ke tiga. Al-Hallaj yang selalu mengucapkan: “Ana al-Haq” kuat mengerjakan sholat dan beristighfar. Apa perlunya sholat dan istighfar kepada orang yang mengaku menjadi Tuhan? Bermacam-macam tafsiran diberikan mengenainya. Orang jahat menjadikannya hujah untuk menyebarkan kekufuran. Ada yang mengatakan bahwa ahli makrifat mengerjakan syariat bukan untuk dirinya sendiri tetapi hanyalah untuk memberi pengajaran kepada orang lain yang belum bermakrifat.
Ulama syariat (zahir dan batin) mengarti apa yang menguasai hati al-Hallaj, Ibnu Arabi dan sufi lain yang separti mereka. Mereka adalah umpama pemuda yang sedang dilamun cinta. Darah muda yang diresapi oleh arak cinta membuat mereka mabuk dan hilang partimbangan. Yang kelihatan kepada mereka hanyalah yang dicintai, yang lain tidak kelihatan lagi. Tetapi setiap kali mendatangi Kekasih, mereka diperingatkan oleh Kekasih mereka : “Cintailah apa yang Aku cinta demi cintamu kepada-Ku!” Si pencinta memperhambakan diri kepada Kekasihnya dan berkhidmat kepada yang dikasihi oleh Kekasihnya. Si pencinta sering memohon kemaafan kepada Kekasihnya karena dia melihat kekurangan pada apa yang dipersembahkan untuk Kekasihnya. Sufi-asyikin bermunajat: “Wahai Kekasih. Aku larut dalam CintaMu. Air CintaMu memenuhi setiap zarah wujudku. Zarah-zarah yang hidup dengan air CintaMu hanya mendapat kepuasan dalam salat demi mengingatiMu namun, apabila hendak dipersembahkan kepadaMu tidak ada satu pun layak dipersembahkan, sekalipun mengalir darah dari mataku dalam mengerjakannya. Maaf, wahai Kekasih. Maaf sebanyak keampunanMu mendinding kemurkaanMu”. Sufi golongan ini perlu disimpati. Seberat-berat ujian bala bencana berat lagi kerinduan kepada Tuhan yang menguasai hati para pencinta-Nya. Sebagai rahmat dari-Nya sebagian beban tersebut terangkat melalui salat.
Sebagian sufi meletakkan segala perkara kepada takdir semata-mata. Tuhan yang memiliki kekuasaan Mutlak. Dia menguasai dan mengadakan peraturan untuk semua makhluk-Nya. Tuhan telah mengadakan ketentuan awal yang mengikat segala sesuatu. Oleh yang demikian sufi tersebut enggan memanggil sesuatu itu baik atau buruk separti yang dinyatakan oleh syariat. Mereka tenggelam di dalam Qadar Tuhan sehingga tidak ada ruang untuk amr-Nya (peraturan-Nya). Mereka asyik menyaksikan Rububiah sehingga tidak berusaha melakukan tanggungjawab terhadap Uluhiyah-Nya. Kebanyakan mereka tidak melihat ruang untuk berdoa, berdakwah dan berjihad. Mereka percaya segala perkara perlu diserahkan bulat-bulat kepada Tuhan dan mereka perlu menerima apa saja yang sampai kepada mereka. Mereka tidak perlu mencari kebaikan dan menghindarkan keburukan. Mereka enggan memperbaiki kerosakan dan menentang kejahatan dan kezaliman.
Syeikh Abdul Qadir Jailani merupakan salah seorang sufi yang tidak jatuh ke dalam pemahaman yang disebutkan di atas. Syeikh Abdul Qadir memperakui bahwa manusia bisa masuk ke dalam salah satu daripada dua golongan yaitu golongan yang berada di dalam kedamaian, keamanan dan kebagiaan dalam melakukan ketaatan kepada Tuhan dan golongan ke dua adalah yang berada dalam keadaan tidak selamat, keraguan, keresahan dan kekacauan dalam keengkaran mereka kepada Tuhan dan peraturan-Nya. Kedua-dua nilai yaitu ketaatan dan keengkaran ada dalam diri manusia, dalam takdir yang Tuhan pertaruhkan pada manusia. Tuhan meletakkan di dalam takdir manusia itu sesuatu yang unik, yaitu keupayaan atau bakat untuk membuat pilihan. Memilih untuk berbuat taat atau berbuat maksiat merupakan bakat asasi manusia yang dkurniakan oleh Tuhan. Ia merupakan takdir yang Tuhan tentukan sejak azali dan ia juga termasuk dalam perkara Qada dan Qadar. Bakat memilih itulah yang melahirkan usaha, perasaan, fikiran, partimbangan dan tindakan. Semua itu adalah sifat atau bakat fitrah manusia. Kebisaan manusia membuat pilihan tidak sedikit pun menjabar kehendak Tuhan karena memang kehendak Tuhan menjadikan manusia berkeupayaan membuat pilihan, tetapi Tuhan yang memegang kemutlakan. Dia berkuasa menggunakan Kuasa Mutlak-Nya menurut kehendak-Nya tanpa terikat dengan bakat manusia.
Jika manusia memilih jalan yang menjadikan kesucian, kebaikan dan keikhlasan lebih menguasai maka sifat-sifat mementingkan diri akan bertukar menjadi suasana kerohanian dan bagian diri yang engkar akan dikalahkan oleh bagian diri yang baik. Jika manusia memilih untuk mengikut hawa nafsunya yang rendah dan kesenangan ego dirinya, sifat-sifat engkar akan menguasai bagian diri yang satu lagi untuk menjadikannya engkar dan jahat. Orang yang berjaya mengubah sifat mementingkan diri dan hawa nafsu yang rendah kepada cita-cita kerohanian, baginya tidak ada hisab. Dia akan memasuki syurga tanpa melalui huru-hara hari kiamat. Orang yang menyedari kesalahannya dan bertaubat akan mengubah haluannya akan mendapati suasana engkar akan bertukar menjadi taat dan beribadat. Semoga mereka mendapat keampunan Allah s.w.t dan diselamatkan ketika menghadapi maut dan hisab.
Haruslah difahami bahwa Qada dan Qadar adalah urusan Tuhan yang berkedudukan sama separti urusan-urusan Tuhan yang lain, yang manusia tidak diberi ilmu mengenainya melainkan sangat sedikit. Qada dan Qadar Tuhan, Kalam Tuhan, rahmat Tuhan, sifat Tuhan, nama Tuhan, murka Tuhan dan apa saja yang mengenai Tuhan adalah ketuhanan yang sedikit sangat ilmu manusia mengenainya. Qada dan Qadar bukanlah perkara yang mampu diolah oleh akal manusia. Jika perkara tersebut diperbahaskan berlarutan ia akan membawa kepada kekufuran dan bidaah. Tidak ada siapapun yang bisa menjadikan takdir untuk berbuat jahat. Iblis telah meletakkan kesalahan kepada takdir lalu dia menjadi durhaka, kafir dan dilaknati oleh Tuhan, dibuang jauh daripada keampunan-Nya dan ditutup jalan untuk kembali kepada-Nya. Adam a.s mengakui kesalahan dirinya, tidak menyalahkan takdir, dan memohon keampunan dari Tuhan. Tuhan mengampunkan Adam as. Dan menyelamatkannya. Percaya kepada takdir secara yang ditunjukkan oleh Adam a.s adalah benar beriman kepada Qada dan Qadar. Percaya kepada takdir separti yang telah ditunjukkan oleh iblis bukanlah beriman kepada Qada dan Qadar yang disuruh oleh Tuhan. Kaum Muslimin berkewajiban menjaga batas akal agar tidak berpanjangan mencari kunci teka-teki Qada dan Qadar, separtimana mereka tidak bisa menghujah kenyataan : “ Allah tidak serupa dengan sesuatu”. Memang benar Tuhan telah mengadakan ketentuan sejak azali, tetapi ia bukan separti yang kita fikirkan, sangkakan, khayalkan dan angankan. Apa saja yang pada sisi Tuhan tetap tidak serupa dengan apa yang terlintas pada fikiran, khayalan, angan-angan dan perasaan manusia. Sebab itulah iman yang paling tinggi adalah iman siddiqin, iman tanpa hujah tanpa takwil.
15: KONSEP KETUHANAN
________________________________________
Allah s.w.t berfirman:
Dialah yang menciptakan langit dan bumi; Ia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan menjadikan dari jenis binatang-binatang ternak pasangan-pasangan (bagi binatang-binatang itu); dengan jalan yang demikian dikembangkan-Nya (zuriat keturunan) kamu semua. Tiada sesuatupun yang sebanding dengan (Zat-Nya, sifat-sifat-Nya dan pentadbiran)-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (Ayat 11 : Surah asy-Syura)
Akuilah kesucian Tuhanmu, - Tuhan yang mempunyai keagungan dan kekuasaan, - dari apa yang mereka katakan! ( Ayat 180 : Surah as-Saaffaat )
Sesungguhnya orang-orang yang menegaskan keyakinannya dengan berkata: “Tuhan kami adalah Allah!” kemudian mereka tetap teguh di atas jalan yang betul akan turunlah malaikat kepada mereka dari semasa ke semasa (dengan memberi ilham): “Janganlah kamu bimbang (dari berlakunya kejadian yang tidak baik terhadap kamu) dan janganlah kamu berdukacita, dan terimalah berita gembira bahwa kamu akan beroleh syurga yang telah dijanjikan kepada kamu. ( Ayat 30 : Surah Fussilat )
Allah s.w.t tidak menyerupai sesuatu, baik yang nyata maupun yang ghaib ataupun yang tersembunyi, sama ada yang muncul dalam fikiran atau khayalan atau perasaan. Dia melampaui apa juga sifat yang disifatkan kepada-Nya. Dia melampaui bahasa apa juga yang digunakan untuk menceritakan mengenai-Nya. Manusia dituntut agar beriman kepada-Nya. Cukuplah dengan beriman bahwa Allah s.w.t adalah Tuhan dan teguhkan iman tersebut tanpa membongkar Rahsia Diri-Nya, karena tidak ada jalan untuk meruntuhkan benteng keperkasaan-Nya yang menghalang apa saja daripada berdampingan dan bersekutu dengan-Nya. Dia adalah Esa. Ilmu, khayalan, perasaan, cita-cita dan apa saja tidak mungkin masuk ke dalam majlis-Nya untuk mengubah keesaan-Nya. Paling tinggi pengenalan tentang Diri-Nya adalah:
Katakanlah: “Dia adalah Allah, Maha Esa. Allah adalah pergantungan. Tidak Dia beranak dan tidak Dia diperanakkan. Dan tidak ada bagi-Nya setara sesuatu jua pun”. ( Ayat 1 – 4 : Surah al-Ikhlas )
Allah s.w.t tidak termasuk di dalam proses beranak dan diperanakkan. Proses beranak dan diperanakkan bukan sekadar kelahiran bayi dari ibunya, malah ia juga termasuk pertumbuhan pokok dari benihnya, perubahan sifat separti daripada air kepada wap, pemecahan daripada satu kepada lebih daripada satu, pengeluaran cahaya dan bunyi daripada diri, pengeluaran bau, warna, peluh atau sebagainya dan apa saja proses yang ada sumber dan ada hasilnya. Allah s.w.t tidak dikurung oleh semua proses tersebut.
Dia adalah Allah, Maha Esa. Dia adalah Maha Suci, Maha Tinggi dan Maha Besar daripada apa yang difikirkan, digambarkan, dikhayalkan, diibaratkan, ditekakan, dirasakan dan disifatkan. Bila Dia mengatakan yang Dia Melihat dan Mendengar maka Melihat dan Mendengar-Nya tidak serupa dengan melihat dan mendengar yang tergambar dalam fikiran dan perasaan manusia. Walaupun dibentangkan 20 Sifat-sifat yang dikatakan sebagai Sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, tetapi sifat-sifat tersebut bukanlah sifat-Nya Yang Hakiki. Dia tidak tertakluk kepada sempadan wajib, mungkin dan mustahil. Wajib, mungkin dan mustahil adalah sempadan dalam ilmu. Sifat-sifat yang 20 itu muncul apabila ilmu mencoba untuk memperkenalkan-Nya. Perkenalan melalui ilmu itu hanyalah sekadar untuk menafikan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya bukan untuk menyatakan sifat-Nya Yang Hakiki. Dia lebih suci, lebih mulia dan lebih agung daripada apa yang dikatakan oleh ilmu dan daripada apa yang diperkenalkan oleh makrifat. Tidak ada ilmu dan tidak ada makrifat yang berkongsi kedudukan dengan keesaan-Nya. Maha Esa bermaksud tidak ada ilmu dan tidak ada makrifat yang mengetahui dan mengenali-Nya. Akal bukanlah alat untuk mengetahuinya dan hati juga bukanlah alat untuk mengenali-Nya Yang Hakiki. Akal dan hati adalah alat untuk beriman kepada-Nya dan mentaati-Nya. Bila akal dan hati sudah tunduk dengan segala kelemahan dan kerendahan, lalu menyerah kepada-Nya barulah akal dan hati itu dikatakan Islam.
Allah s.w.t Berdiri Dengan Sendiri. Dia tidak memerlukan sifat Wujud untuk kewujudan-Nya. Dia tidak memerlukan sifat Hidup untuk membuat-Nya Hidup. Dia tidak memerlukan sifat Mendengar untuk menjadikan-Nya mempunyai Pendengaran. Dia tidak memerlukan sifat Melihat untuk Penglihatan-Nya. Dia tidak memerlukan sifat Berkata-kata untuk mengadakan Kalam-Nya. Dia tidak memerlukan sifat Iradat untuk Dia berkehendak. Dia tidak memerlukan sifat Ilmu untuk pengetahuan-Nya. Dia serba cukup. Dia Wujud sendiri-Nya, Melihat sendiri-Nya, Mendengar sendiri-Nya, Hidup sendiri-Nya, Berkehendak sendiri-Nya, Mengetahui sendiri-Nya, Berkata-kata sendiri-Nya dan apa jua pun adalah sendiri-Nya tanpa bersandar kepada sebarang sifat. Dia tidak memerlukan sifat atau nilai-nilai tambahan untuk Kesempurnaan-Nya. Dia Berkuasa tanpa bersandar kepada sifat Berkuasa. Dia Mencipta tanpa memerlukan sifat Berkuasa Mencipta. Allah s.w.t serba cukup dengan Diri-Nya sendiri, dengan keesaan-Nya tanpa memerlukan sokongan sifat dan alat.
Perlu diingatkan bahwa fikiran, perasaan, bahasa, perkataan, istilah, ungkapan, ibarat dan misal semuanya adalah makhluk, yaitu sesuatu yang termasuk di dalam ciptaan Tuhan, baik secara nyata atau abstrak. Apa yang Tuhan ciptakan tidak ada kekuatan untuk memperihalkan tentang Tuhan. Apa saja yang terlintas dalam fikiran dan perasaan, yang terucap oleh perkataan dan bahasa, yang digambarkan sebagai ibarat, misal dan sifat, semuanya bukanlah Allah s.w.t. Apa juga istilah yang digunakan semuanya juga bukan Allah s.w.t. Ahadiyyah, Wahdat dan Wahadiyyah bukanlah Allah s.w.t. Tiada kenyataan, kenyataan pertama, kenyataan ke dua dan kenyataan ke tiga semuanya bukanlah Allah s.w.t. Zat, sifat, asma’ dan af’al semuanya bukanlah Allah s.w.t. Roh Kudus, Roh Idhafi dan Roh Rabbani bukanlah Allah s.w.t. Alam Lahut, Balhut dan Jamhut bukanlah Allah s.w.t. Alam Ghaibul Ghuyub, Alam Ghaib, Alam Kabir dan Alam Saghir bukanlah Allah s.w.t. Alam Arwah dan Alam Misal bukanlah Allah s.w.t. Alam Malakut dan Alam Jabarut bukanlah Allah s.w.t. Semuanya, sekaliannya, yang beribu-ribu lagi istilah dan perkataan yang digunakan adalah sesungguhnya dan sebenarnya bukanlah Allah s.w.t. Semua itu hanyalah perihal tentang keadaan Allah s.w.t, kesucian Allah s.w.t, kebesaran Allah s.w.t, kebijaksanaan Allah s.w.t, keindahan Allah s.w.t, kekayaan Allah s.w.t, cahaya Allah s.w.t, kenyataan Allah s.w.t dan sesuatu tentang Allah s.w.t tetapi bukanlah Dia.
Dan bagi Allah jualah misal (sifat) yang tartinggi, dan Dialah jua Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. ( Ayat 60 : Surah an-Nahl )
Dan supaya orang-orang (munafik) yang ada penyakit (ragu-ragu) dalam hatinya dan orang-orang kafir berkata: “Apakah yang dimaksudkan oleh Allah dengan perumpamaan ini?” Demikianlah disesatkan Allah barangsiapa yang Dia kehendaki dan diberi-Nya petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan tidaklah ada yang mengetahui tentera Tuhan engkau itu melainkan Dia jua. Dan tidaklah ada yang demikian itu melainkan peringatan bagi manusia. (Ayat 31 : Surah al-Muddaththir )
Apa juga yang dikatakan tentang Allah s.w.t adalah misal dan sifat yang layak disebut oleh manusia. Allah s.w.t yang mengajarkan manusia apa yang layak diperkatakan tentang Diri-Nya. Al-Quran mengatakan: “Katakanlah…” Tuhan yang mengizinkan manusia berkata sesuatu tentang-Nya. Dia yang ajarkan dan izinkan manusia berkata:
Katakanlah: “Dia adalah Allah, Maha Esa. Allah adalah as-Samad”.
Dia yang mengajarkan dan mengizinkan manusia memanggil-Nya Allah dan berbagai-bagai nama yang baik-baik. Dia juga mengizinkan manusia mengatakan bahwa Dia Mendengar, Melihat, Berkuasa, Hidup, Berkehendak, Berkata-kata dan Mengetahui. Manusia hanya perlu beriman kepada-Nya dan katakan apa yang Dia izinkan untuk dikata. Keizinan memperkatakan tentang Diri-Nya yang diberikan-Nya melalui al-Quran adalah kebenaran yang sejati. Kebenaran yang datang daripada Allah s.w.t kepada Rasulullah s.a.w itulah yang paling benar. Kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w kepada umat manusia itulah kebenaran yang tetap benar. Sebab itu tidak ada kebenaran yang melebihi kebenaran syariat. Kebenaran Hakiki hanya perlu diimani, dipercayai. Sebelum sampai kepada Kebenaran Hakiki ditemui kebenaran melalui fikiran, ilham dan kasyaf. Kebenaran yang diperolehi secara logik, dalil dan penyaksian hati adalah bayangan kepada Kebenaran Hakiki yang “Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya”. Jadi, walaupun diberikan-Nya keizinan untuk menyebut-Nya dengan berbagai-bagai nama dan menyifatkan-Nya dengan berbagai-bagai sifat namun, manusia berkewajiban mengawasi iktikad akal dan hati agar benteng “Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya” tidak dirobohkan oleh akal dan hati. Logik, dalil dan penyaksian hanyalah kenderaan untuk sampai kepada beriman dengan Yang Hakiki.
Tuhan tidak memerlukan sifat-sifat dan nilai-nilai tambahan untuk kesempurnaan-Nya tetapi makhluk memerlukan, berhajat dan bergantung kepada medan wujud, medan ketuhanan dan sifat-sifat ketuhanan bagi menumpang kewujudan mereka. Medan di sini bukan bermaksud ruang. Tidak bisa dikatakan di samping ruang yang diisi oleh kewujudan makhluk ada ruang yang menempatkan kewujudan sifat-sifat ketuhanan. Sifat ketuhanan atau pun urusan Tuhan tidak memerlukan ruang. Misalnya, sifat Ilmu dan kewujudan dalam Ilmu tidak memerlukan ruang untuk wujud. Makhluk memerlukan pemangkin, penyokong, hijab atau medan wujud yang bersifat ketuhanan bagi memelihara kewujudan makhluk itu agar menjadi benar, nyata, ada kesinambungan dan stabil. Sifat ketuhanan juga diperlukan oleh makhluk bagi melindungi mereka daripada tajalli Allah s.w.t. Jika makhluk menerima tajalli Allah s.w.t makhluk akan hancur dan hilang lenyap. Sifat-sifat ketuhanan menjadi hijab yang kukuh melindungi kewujudan makhluk dan menyelamatkan mereka. Kewujudan yang tidak ada hijab melindunginya adalah kewujudan ciptaan ahli silap mata. Ciptaan ahli silap mata tidak stabil, tidak benar dan tidak bertahan kewujudannya. Ciptaan Tuhan yang dihijabkan oleh sifat-sifat ketuhanan bersifat stabil, benar dan kekal kewujudannya sampai kepada akhirat. Hijab ketuhanan yang memegang kewujudan makhluk, yang ada hubungan dengan makhluk, itulah sifat-sifat Tuhan yang Dia izinkan dinisbahkan kepada-Nya. Sifat-sifat-Nya yang tidak bisa diperkatakan adalah sifat-Nya Yang Hakiki. Aspek Tuhan yang bisa disifatkan dan diperkatakan dinamakan tasybih dan yang tidak bisa dikatakan dinamakan tanzih. “Tiada sesuatu menyamai-Nya” adalah aspek tanzih. “Dan Dia Mendengar dan Melihat” adalah aspek tasybih. Makrifat yang sempurna adalah yang mengenal Tuhan dalam aspek tasybih dan tanzih sekaligus.
Penciptaan makhluk berhubung dengan sifat Tuhan. Sekiranya tidak ada sifat-sifat Tuhan yang menghijab atau menjadi perantaraan nescaya tidak akan ada penciptaan makhluk. Sifat menghubungkan Pencipta dengan penciptaan. Hanya orang yang tidak mengarti menolak peranan sifat lalu menghubungkan ciptaan terus kepada Dia Yang Maha Tinggi. Jika Tuhan bukakan tajalli cahaya Zat-Nya Yang Hakiki tentu makhluk akan binasa, kewujudan akan hilang. Kenyataan yang pertama juga akan lenyap jika berhadapan dengan keagungan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa. Hubungan makhluk dengan Tuhan hanyalah sekadar layak dan mampu makhluk bertahan, yaitu hubungan yang dimisalkan atau hubungan melalui sifat-sifat-Nya yang tasybih, bukanlah hubungan dalam artikata yang sebenarnya.
Alam memiliki kewujudan yang benar. Alam benar-benar wujud, bukan khayalan. Tetapi wujud alam berbeda dengan Wujud Tuhan, berbeda dengan sifat-sifat Tuhan yang diistilahkan sebagai tasybih apalagi yang tanzih. Wujud alam diistilah sebagai wujud yang mungkin (mumkinul wujud) dan wujud sifat Tuhan diistilahkan sebagai Wujud yang wajib (Wajibul Wujud). Maksud Wajibul Wujud yang bisa dicapai oleh pemikiran dan kasyaf adalah Wajibul Wujud sifat. Zat Allah Yang Maha Tinggi tidak termasuk di dalam sempadan pemikiran dan penyaksian hati, tidak terlibat dengan wujud yang wajib, wujud yang mungkin dan wujud yang mustahil. Sifat-sifat yang diistilahkan sebagai Wajibul Wujud adalah sifat tasybih. Dalam pandangan kasyaf sufi menyaksikan sifat tasybih sebagai berada satu tingkat di bawah daripada Zat. Sifat tanzih pula tidak terpisah dengan Zat karena sifat tanzih adalah sifat-Nya Yang Hakiki yang tida ada beda dengan Zat-Nya. Zat dan Sifat Hakiki adalah yang sama. Zat Hidup, Wujud, Melihat, Mendengar, Berkata-kata, Berkehendak dan Berkuasa dengan Zat-Nya sendiri bukan dengan sifat-sifat Hidup, Wujud, Melihat, Mendengar, Berkata-kata, Berkehendak dan Berkuasa. Apa saja yang dengan Zat tidak berpisah dan tidak lain daripada Zat. Perpisahan dan perbedaan terjadi dalam ilmu dan penyaksian. Zat Yang Maha Suci menyatakan kesempurnaan-Nya melalui Sifat-sifat dan Nama-nama yang dinisbahkan kepada-Nya. Sebab itulah Zat, Sifat dan asma’ dipandang sebagai berkedudukan berbeda-beda. Apa yang dipandang sebagai berbeda dengan Zat itu adalah bayangan kepada Yang Hakiki, diistilahkan sebagai penzahiran, pembukaan atau tajalli. Kewujudan makhluk berhubung dengan bayangan dan diselimuti oleh hijab-hijab. Walaupun yang digunakan adalah istilah bayangan, tetapi bayangan itu adalah bayangan martabat ketuhanan, tidak sama dengan bayangan benda-benda alam. Bayangan atau hijab ketuhanan berperanan di dalam kewujudan dan kesinambungan kewujudan makhluk. Hijab ketuhanan berhubung dengan alam maya dan karena perhubungan tersebutlah manusia bisa mengenal Tuhan menurut kadar kehendak-Nya untuk dikenali. Orang yang kasyafnya sampai kepada hijab atau bayangan menyaksikan sifat sebagai berpisah dengan Zat. Selepas melepasi peringkat bayangan atau hijab dia akan menyaksikan sifat tidak berpisah dengan Zat, malah sifat bukan lain daripada Zat. Sedikit sangat orang yang sampai kepada tahap ini, yaitu kepada Yang Hakiki. Pada Yang Hakiki Pendengaran-Nya adalah Penglihatan-Nya dan juga Percakapan-Nya.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, dan Yang Zahir serta Yang Batin, dan Dialah Yang Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu. ( Ayat 3 : Surah al-Hadiid )
Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin adalah Yang Sama, Yang Esa. Tidak ada perbedaan dan perpisahan di antara Kudrat (kuasa)-Nya dengan Iradat (kehendak)-Nya. Yang Menghidupkan adalah Esa dengan Yang Mematikan. Apabila dua sifat yang pada logiknya dipandang bertentangan sudah berada dalam suasana harmoni, yaitu suasana as-Salam (Yang Mensejahterakan), sesungguhnya seseorang itu telah menyaksikan Yang Hakiki, yang tidak bertentangan Awal-Nya dengan Akhir-Nya dan Zahir-Nya dengan Batin-Nya. Pandangan yang demikian dikatakan melihat Allah s.w.t pada setiap waktu, ruang dan keadaan. Inilah sifat orang yang benar-benar mengenal Tuhan.
Sifat Tuhan separti juga Zat-Nya, adalah unik, tidak bisa diurai atau dipecahkan. Sifat Tuhan adalah sifat keesaan di mana kesemua sifat-Nya berkamil dalam keesaan, tidak berpisah dan tidak berbeda di antara satu dengan yang lain. Perbedaan pada sifat dibuat secara ilmiah bukan keadaan yang sebenar. Secara ilmiah disebutkan sifat Wujud, Hidup, Melihat dan sebagainya. Walaupun dipandang satu-satu namun keunikan sifat tersebut tetap ada. Keunikan tersebut dipanggil juga kemutlakan. Ilmu Tuhan dikatakan Ilmu yang Mutlak. Ilmu Mutlak tidak mampu diuraikan. Dalamnya berkumpul pengetahuan dari awal hingga ke akhirnya. Ini bermakna Tuhan mengetahui tentang alam ini daripada sebelum adanya hinggalah kepada tanpa kesudahan. Tuhan mengetahui daripada azali hinggalah kepada abadi dan pengetahuan tersebut adalah pengetahuan secara keesaan, yaitu tatkala mengetahui yang azali itu jugalah Dia mengetahui yang abadi. Tidak ada ruang atau jarak masa pada pengetahuan-Nya sekalipun pengetahuan itu mengenai perkara yang melalui ruang, masa dan zaman. Pada sisi Tuhan, kelmarin, hari ini dan esok adalah yang sama. Tidak ada masa, ruang dan jarak pada sisi-Nya.
Sifat Tuhan Berkata-kata juga Mutlak. Tuhan berkata-kata sejak keazalian sampai kepada keabadian tanpa satu patah perkataan dan tanpa suara. Manusia bercakap dalam satu tempuh menggunakan berpatah-patah perkataan dan ada mengeluarkan suara. Tetapi Tuhan Berkata-kata dalam keadaan Kalam-Nya yang pertama dengan Kalam-Nya yang terakhir adalah Kalam yang sama, tidak berpisah, tidak berbeda dan tidak bersuara. Begitu juga dengan sifat Tuhan yang lain. Sifat kemutlakan menyebabkan Tuhan berkuasa berhubung dengan makhluk-Nya tanpa berlaku pertembungan Wujud Tuhan dan sifat Tuhan dengan wujud makhluk dan sifat makhluk. Kemutlakan sifat Tuhan menyebabkan tidak mungkin makhluk termasuklah manusia bersekutu dengan perbuatan atau sifat Tuhan, apalagi Zat Tuhan. Manusia yang membalingkan tombaknya perlu mengadakan beberapa pergerakan, tetapi perbuatan Tuhan tidak memerlukan pergerakan. Tidak mungkin manusia menggunakan perbuatan Tuhan dalam melakukan perbuatannya. Kebenaran ini tidak terjangkau oleh logik. Hukum logik mengatakan tidak mungkin Tuhan Mengetahui benda-benda alam jika Ilmu-Nya tidak ada hubungan dengan benda-benda tersebut. Hukum logik juga mengatakan tidak mungkin Tuhan menciptakan alam jika Kuasa-Nya tidak ada hubungan dengan alam. Hukum logik tidak mengarti bahwa pada tahap “Tuhan melampaui segala sesuatu” keabadian yang lalu (azali) dan keabadian yang akan datang (abadi) adalah satu masa yang sama, malah masa tidak wujud pada tahap ini. Itulah kemutlakan. Pada tahap kemutlakan jika sifat Wujud dipakaikan kepada Tuhan maka ia adalah Wujud Mutlak yang tidak ada permulaian, tiada kesudahan, tidak menempati ruang dan tidak ada persaingan daripada yang tidak Mutlak.
Kebenaran Hakiki menyatakan bahwa Allah s.w.t Yang Maha Suci, Maha Tinggi, Maha Besar, melampaui apa juga sifat yang disifatkan bagi-Nya. Dia melampaui tahap Wujud. Wujud merupakan kenyataan pertama tentang Zat Allah s.w.t Yang Maha Tinggi. Kebanyakan sufi menyamakan Wujud dengan Zat Yang Maha Suci. Perbedaan tahap Wujud dengan Zat Allah s.w.t Yang Melampaui Segala Sesuatu sangat halus hinggakan kebanyakan manusia gagal menyedarinya atau enggan menerima perbedaan tersebut. Banyak manusia menyembah Wujud sebagai Tuhan dan gagal melampauinya untuk mencapai matlamat sebenar penyembahan, ketaatan dan penyayangan yang melepasi tahap tersebut. Mereka menganggap Wujud sebagai sumber kepada segala yang maujud dan penyebab kepada segala kejadian. Mereka juga lupa bahwa Wujud bergantung dan berhajat kepada Zat-Nya yang melampaui Wujud atau yang tidak wujud. Sebab itulah kefanaan yang menyeluruh atau ketidakwujudan yang sejati tidak menemukan seseorang dengan Kebenaran Hakiki. Kesatuan Wujud (wahdatul wujud) juga gagal menemui Kebenaran Hakiki. Kebaqaan (kekekalan bersama Tuhan) juga gagal berbuat demikian. Kebenaran Hakiki hanya ditemui dalam kesadaran yang sepenuhnya, menyedari bahwa: “Katakanlah: ‘Tuhan kami adalah Allah!’ Kemudian teguhkan pendirian”. Kebenaran Hakiki ditemui melalui iman yang teguh.
Fikiran, ilham dan kasyaf manusia bartingkat-tingkat. Oleh itu pemahaman, kepercayaan dan pegangan mereka juga berbeda-beda mengenai keunikan dan kemutlakan Tuhan dan sifat Tuhan yang tidak mampu diurai oleh akal fikiran. Orang yang mencari Tuhan dengan menggunakan akal fikiran akan jatuh ke dalam salah satu golongan. Golongan pertama menjadi gila. Golongan ke dua menjadi ateis (tidak percaya kepada kewujudan Tuhan). Golongan ke tiga mengaku kalah dan menyerah. Orang yang mencari Tuhan melalui ilham adalah golongan ahli falsafah dan sebagian daripada golongan sufi. Ahli falsafah tertarik dengan sifat kesempurnaan Tuhan dan ahli sufi asyik dengan sifat keelokan Tuhan. Sufi yang lebih maju mencari Tuhan dengan kasyaf mereka dan mereka temui bayangan Tuhan. Sufi yang menyaksikan bayangan Tuhan banyak mengeluarkan pendapat yang ganjil-ganjil tentang Tuhan. Sufi yang dapat melepasi peringkat bayangan akan menjadi separti ahli fikir golongan ke tiga yang tunduk, menyerah dan beriman. Pengakuan terhadap kedaifan dan kejahilan diri merupakan pintu kepada penyerahan (keislaman) yang sejati yang membawa kepada mengenal Yang Hakiki sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Oleh sebab itulah sufi yang arif bersepakat dengan orang alim yang benar. Titik pertemuan mereka adalah syariat yang menggabungkan yang zahir dengan yang batin.
16: KEJADIAN ALAM DAN MANUSIA
________________________________________
Apabila menyedari bahwa wujud alam dengan Wujud Tuhan tidak sedikit pun bersamaan, tidaklah mengelirukan jika dikatakan yang wujud alam adalah benar, nyata, stabil, ada kesinambungan kewujudannya dan dapat bertahan hingga ke akhirat. Wujud alam atau makhluk yang Tuhan ciptakan ini menjadi asas kepada kehidupan dunia yang sementara dan kehidupan akhirat yang abadi. Makhluk yang menerima nikmat wujud dan nikmat kesinambungan wujud dibekalkan dengan juga keupayaan untuk menerima bentuk zahir dan menjadi nyata serta memiliki bakat-bakat yang bisa memberi kesan. Jika ada orang mengatakan wujud makhluk hanyalah khayalan lantaran ia tidak berhakikat, maka perkataannya itu juga benar. Wujud makhluk menjadi khayalan jika dibandingkan dengan Wujud Tuhan, tetapi tidak wajar membandingkan wujud makhluk dengan Wujud Tuhan karena Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu. Tuhan melampaui tahap wujud. Istilah Wujud digunakan untuk menceritakan tentang Tuhan karena tidak ada istilah lain yang lebih sesuai. Kebenaran pada tahap penciptaan tidak sama dengan kebenaran pada tahap Pencipta. Bila dikatakan alam merupakan kewujudan yang benar ia tidak bermakna menyamakan derajat kebenaran wujud alam dengan derajat kebenaran Wujud Tuhan. Alam sangat berbeda dengan Tuhan. Walaupun alam lain daripada Tuhan namun kewujudan alam tidak membatasi Tuhan. Tidak mungkin terjadi pergeseran di antara Wujud Tuhan dengan wujud makhluk. Kewujudan makhluk tidak mungkin mengubah kedudukan Tuhan Yang Maha Esa.
Jika mau dibuat sedikit gambaran sekadar menggerakkan kepemahaman (keadaan yang sebenar tidak serupa dengan gambaran ini), bisalah diibaratkan perbandingan Wujud Tuhan dengan wujud makhluk seumpama wujud manusia dengan kewujudan ilmu manusia itu. Walaupun manusia mencipta berjuta-juta benda di dalam ilmunya namun, kewujudan jutaan benda di dalam ilmu itu tidak mengubah dan mengganggu kedudukan manusia itu sendiri. Tidak mungkin benda di dalam ilmu berlaga dengan manusia yang mempunyai ilmu itu. Kewujudan manusia dengan kewujudan di dalam ilmu merupakan kewujudan yang berbeda yang tidak mungkin bergandingan, bersaing atau bersekutu.
Sekiranya manusia mengeluarkan kewujudan di dalam ilmunya kepada kenyataan di luar maka benda-benda yang diciptakan oleh manusia akan berada di dalam ruang yang sama dengan manusia. Tuhan menciptakan makhluk tidak dalam keadaan yang demikian. Apa juga yang Tuhan berkehendak menciptakan sudah ada dalam Ilmu-Nya. Penciptaan makhluk dipagari oleh Ilmu Tuhan. Setelah Tuhan menciptakan makhluk menurut suasana Ilmu-Nya, makhluk akan mengambil ruang yang tidak bergandingan, bersaing atau bersekutu dengan Tuhan, tidak separti keadaan manusia mencipta benda-benda. Kewujudan dan kehadiran makhluk tidak mengganggu keesaan Tuhan. Hanya Tuhan yang berkuasa berbuat yang demikian. Itulah keunikan dan kemutlakan Kuasa Tuhan. Bila diceritakan tentang hubungan Tuhan dengan alam yang bisa dikatakan adalah Tuhan tidak ada di dalam alam, tidak ada diluar alam, tidak bersatu dengan alam dan tidak berpisah dengan alam. Begitulah konsep ketuhanan yang menggabungkan penafian dan pengisbatan.
Pandangan kaum sufi tentang alam berbeda-beda. Ada tiga pendapat yang popular mengenainya. Kumpulan pertama percaya bahwa alam ini wujud dan alam diciptakan oleh Tuhan. Apa juga keupayaan dan bakat yang ada pada alam dan sekalian makhluk adalah juga diciptakan oleh Tuhan. Mereka menganggap diri mereka seumpama kerangka kosong yang tidak memiliki apa-apa, tiada daya dan upaya, semuanya adalah milik Tuhan semata-mata. Kumpulan ini sangat dikuasai oleh suasana ‘ketiadaan’ sehingga mereka lupa kepada diri mereka dan alam sekaliannya. Keadaan mereka adalah seumpama orang halimunan yang menanggalkan pakaiannya lalu tidak ada apa-apa lagi yang kelihatan (pada alam perasaan mereka). Mereka serahkan semua pakaian kepada Pemilik pakaian dan tinggallah mereka dalam suasana ‘ketiadaan’ atau kefanaan. Kefanaan yang menguasai mereka menyebabkan hubungan mereka dengan ‘pakaian’ tidak ada lagi. Sekiranya mereka keluar daripada kefanaan, masuk kepada suasana kesadaran dan baqa dalam Tuhan, mereka akan menyedari bahwa pakaian ada dengan mereka. Mereka akan dapat menerima kehadiran pakaian beserta pengakuan bahwa Tuhan yang memiliki pakaian tersebut. Sufi kumpulan ini yang telah melepasi peringkat fana dan kembali kepada kesadaran semula, akan memiliki pengetahuan yang sebenar. Pada peringkat ini mereka akan bersetuju dengan pendapat Ahli Sunah wal Jamaah tentang alam. Ahli Sunah wal Jamaah memperolehi petunjuk dari al-Quran, as-Sunah dan ijmak ulama. Ahli sufi yang sampai kepada peringkat ini bersamaan dengan pemahaman dan pegangan ulama. Jika ulama mencapai kepemahaman dan pegangan melalui akal, sufi pula memperolehinya melalui kasyaf dan zauk yang benar. Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak menyamai sesuatu. Oleh yang demikian mereka tidak mengadakan perbandingan atau penyatuan dengan Tuhan.
Sufi kumpulan ke dua berpendapat alam adalah bayangan Tuhan, semata-mata bayangan bukan yang sebenar. Alam bergantung wujud kepada Tuhan sebagaimana bayang bergantung kepada diri yang empunya bayang. Sufi kumpulan ke tiga berpegang kepada pemahaman yang terkenal sebagai wahdatul wujud. Kumpulan ini percaya yang ada hanya satu wujud. Alam ini dikatakan hanyalah wujud yang tergambar dalam fikiran dan tanggapan, sedangkan sebenarnya alam tidak ada. Hakikat-hakikat tidak pernah menyata kepada kenyataan wujud. Hakikat adalah wujud yang satu pada martabat-martabat penurunan. Tuhan yang memiliki sifat-sifat yang wajib dan harus, serta ada pula peringkat-peringkat penurunan, maka walaupun dipandang sebagai banyak namun, sebenarnya hanyalah satu wujud saja. Wujud yang satu itulah yang merasai senang, susah, sakit dan sebagainya. Kewujudan yang lain dan nilai-nilai yang ada pada yang lain hanyalah wujud dan nilai khayali yang dibentuk oleh khayalan dan tanggapan semata-mata. Alam, syurga dan neraka hanyalah muncul dalam sangkaan. Pemahaman kumpulan inilah yang paling digemari oleh orang yang menjadi sufi tiruan. Ketika sufi yang sebenar dikuasai oleh jazbah, zauk dan pengalaman kerohanian, hingga mereka tidak dapat membedakan yang benar dengan yang salah, sufi tiruan pula terjerumus ke dalam kekufuran dan kesesatan.
Sufi kumpulan pertamalah yang hampir dengan kenyataan al-Quran dan as-Sunah. Semakin jauh mereka meninggalkan kefanaan dan fenomena bayangan, maka semakin hampirlah mereka dengan kebenaran yang sejati. Apabila mereka kembali kepada kesadaran sepenuhnya, kebenaran dan kesesuaian mereka dengan al-Quran dan as-Sunah adalah jelas. Mereka mencapai kesempurnaan kebatinan karena mereka mencapai kebenaran al-khafi (kesadaran batin) dan kebenaran al-akhfa (kesadaran batin yang paling dalam) yang bersamaan dengan Kebenaran Hakiki. Mereka mencapai Kebenaran Hakiki melalui pengalaman kerohanian. Sufi golongan ini sudah melepasi peringkat kesadaran yang tersembunyi (as-Sir). Sufi yang berpemahaman wahdatul wujud pula, apabila mereka mencapai kefanaan pada peringkat Sir, mereka tidak dapat keluar dari peringkat tersebut dan mereka tidak memisahkan as-Sir daripada Yang Haq, tidak menafikannya. Sebaliknya mereka percaya bahwa as-Sir satu dengan Yang Haq, lalu mereka menyamakan diri mereka dengan Tuhan, mempercayai hanya Tuhan yang wujud, selain Tuhan tidak ada.
Alam yang diistilahkan sebagai mumkinul wujud (wujud yang mungkin) merupakan medan yang menyatakan ayat-ayat, dalil-dalil atau kenyataan nama-nama dan sifat-sifat Wajibul Wujud (Wujud yang wajib). Tetapi Zat Tuhan Yang Maha Esa, Maha Tinggi dan Maha Mulia tidak ada ayat, dalil, kenyataan atau pembalikan. Tidak ada satu pun dalam alam ini yang membalikkan atau yang ada penglibatan dengan Zat Tuhan. Tuhan Yang Maha Perkasa melampau apa juga penyifatan dan dalil. Tuhan melampau alam secara Mutlak, tidak terjangkau oleh akal fikiran ahli fikir, ilham ahli falsafah dan kasyaf ahli sufi. Nama-nama dan sifat-sifat yang dinisbahkan kepada Tuhan adalah berbeda. Alam memang ada perkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat tersebut, walaupun sebagai ayat-ayat dan dalil-dalil atau hanya pada nama dan bentuk saja. Alam tidak mempunyai zat atau hakikat, tidak berkedudukan sebagai ‘berdiri dengan sendiri’ atau Mutlak. Alam diciptakan tanpa sesuatu kecuali sebagai bentuk atau bekas yang menerima kesan dan pengaruh sifat-sifat dan nama-nama Tuhan. Zat atau hakikat mumkinul wujud (alam atau makhluk) adalah pembalikan atau kenyataan bagi sifat-sifat dan nama-nama Tuhan tetapi tidak sekali-kali serupa atau bersatu dengan Zat Tuhan Yang Mutlak dan Hakiki. Walaupun alam membalikkan Sifat dan Nama Wajibul Wujud namun alam itu bukanlah Wajibul Wujud dan bukan pula nama atau sifat Wajibul Wujud dalam artikata yang sebenar. Pembalikan dan yang menyatakan tidak sama dengan yang sebenarnya. Perkaitan Wajibul Wujud dengan alam secara yang demikian dan kemutlakan Zat Wajibul Wujud menyebabkan timbul fenomena bayangan dalam pengalaman sufi dan bayangan tersebut berkekuatan memberi kesan kepada alam perasaan sufi menyebabkan timbul berbagai-bagai pemahaman.
Peringkat pengalaman kerohanian, sebelum sampai kepada peringkat ‘bukan Tuhan’, hilang daripada pandangan, sufi akan mengalami hal yang memperlihatkan kepadanya alam tidak wujud. Pada masa yang lain pula dia melihat alam wujud. Pada masa yang lain lagi dia melihat alam tidak wujud pula. Ada pula masa lain yang dia mengalami suasana alam wujud. Keadaan yang bergilir-gilir ini berterusan sehingga sufi itu memperolehi fana sepenuhnya. Pada tahap ini sufi akan mengalami sepenuhnya suasana yang selain Tuhan tidak wujud. Pada pandangan sufi alam adalah seumpama satu ruang yang tiada kesudahan atau kekosongan yang berterusan.
Setelah melepasi peringkat fana dan memasuki peringkat baqa (kekal bersama Tuhan) dan kembali kepada dunia, kadang-kadang alam kelihatan dalam pandangannya dan kadang-kadang hilang. Pengalaman yang demikian membuatnya menyangka alam mengalami pembaruan bentuk secara berterusan. Apabila dia mencapai kesempurnaan baqa dan kembali kepada dunia sepenuhnya, kewujudan alam menetap dalam pandangan dan kesadarannya. Dia dapat menyaksikan bahwa alam adalah wujud yang nyata dan stabil. Sufi yang sampai kepada tahap ini sudah layak membimbing orang lain. Mereka berkedudukan sebagai khalifah kerohanian yang berperanan membantu sufi lain yang masih di dalam perjalanan dan memberi petunjuk kepada orang banyak serta mengarahkan mereka kepada jalan Tuhan yang benar lagi lurus.
Khalifah kerohanian berbeda daripada pemerintah orang banyak. Adalah silap jika seorang yang menganggapnya dirinya sebagai khalifah kerohanian mencoba untuk merampas kuasa daripada pemerintah yang ada. khalifah kerohanian, walaupun arif dalam ilmu ketuhanan, itu tidak bermakna dia juga pakar dalam urusan pentadbiran negara, bidang politik, ekonomi dan lain-lain. Memang ada orang yang berkedudukan sebagai khalifah kerohanian dimasukkan oleh Tuhan kepada bidang pengkhususan yang melibatkan urusan orang banyak. Khalifah kerohanian yang berkenaan akan bergerak dalam bidang pengkhususan masing-masing sebagai wakil Tuhan menguruskan bidang tersebut. Ada yang mengambil bagian sebagai khalifah dakwah, khalifah politik, khalifah ekonomi, khalifah pendidikan, khalifah sains dan teknologi, khalifah perang dan lain-lain. Khalifah-khalifah tersebut akan membawa kemenangan dan kegemilangan kepada umat Islam dalam bidang yang mereka uruskan. Khalifah perang akan membawa kemenangan kepada umat Islam dalam menentang musuh-musuh Islam. Sebelum tentera Muslim dipimpin oleh khalifah perang yang dilantik sebagai wakil Tuhan, kemenangan lebih berpihak kepada musuh. Sebelum ekonomi umat Islam dipimpin oleh khalifah ekonomi yang dilantik oleh Tuhan, sistem perekonomian akan tetap berkisar di sekitar sistem perekonomian tajaan Yahudi dan lain-lain dan umat Islam tidak mampu mengatasi kaum lain dalam bidang ekonomi. Begitu juga dengan bidang- bidang yang lain. Biasanya, khalifah Muslim yang khusus dalam sesuatu bidang itu dihantar oleh Tuhan tatkala umat Islam hampir-hampir mengalami kehancuran dalam bidang berkenaan. Khalifah yang paling sempurna muncul pada akhir zaman tatkala umat Islam mengalami kehancuran dalam semua bidang. Khalifah yang paling sempurna itu bergelar Imam Mahadi (Ketua Agung kepada khalifah-khalifah Muslim yang bertugas menyelamatkan umat manusia). Beliau akan muncul ketika hari kiamat benar-benar sudah hampir tiba. Oleh karena khalifah-khalifah tersebut dilantik oleh Tuhan maka tidak ada kuasa makhluk yang mampu menjatuhkan atau mengalahkan mereka. Mereka akan memimpin umat Islam mencapai kemenangan, kejayaan dan kecemerlangan dalam bidang-bidang yang mereka pimpin.
Sifat-sifat yang dinisbahkan kepada Tuhan, yaitu sifat-sifat Wajibul Wujud atau dipanggil juga sifat-sifat ketuhanan memegang kewujudan alam. Wujud alam pula menjadi bekas bagi menanggung kewujudan manusia. Manusia ada di dalam alam dan menjadi sebagian daripada alam. Alam menjadi dalil, ayat, pembalikan dan kenyataan bagi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang memegang kewujudan alam itu.
Bangunan alam maya berlapis-lapis, bartingkat-tingkat dan berperingkat-peringkat. Setiap tahap alam itu dikenali dengan istilah yang berbeda-beda menurut kepemahaman yang muncul melalui fikiran, ilham dan kasyaf. Ada yang membagikan alam kepada Alam Kabir dan Alam Saghir. Alam Kabir adalah alam maya keseluruhannya dan Alam Saghir dimaksudkan kepada kewujudan manusia. Ada pula yang membagikan alam kepada Alam Malakut Atas, Alam Malakut Bawah, Alam Syahadah dan Alam Insan. Alam Malakut Atas adalah Alam Arwah (roh-roh) dan alam para malaikat. Alam Malakut Bawah adalah Alam Barzakh yang menjadi tempat persinggahan roh-roh yang telah berpisah daripada jasad. Alam Syahadah adalah alam bagi benda-benda, yaitu makhluk yang mempunyai badan, termasuklah makhluk ghaib berbangsa jin. Alam Insan pula adalah manusia. Ada juga orang yang menggunakan istilah Alam Arwah, Alam Misal, Alam Ajsam dan Alam Insan bagi menceritakan bangunan alam maya. Alam Arwah adalah perbendaharaan yang menyimpan segala bakat-bakat yang diperlukan bagi semua penciptaan makhluk dan kesinambungan kewujudan makhluk. Alam Misal adalah suasana kewujudan dalam bentuk rohani, tanpa tubuh atau benda. Alam Ajsam pula adalah suasana kewujudan rohani yang sudah memperolehi badan kebendaan atau tubuh. Alam Insan adalah manusia yang bergabung roh dengan jasad.
Satu peringkat alam menjadi ayat, dalil, pembalikan atau kenyataan bagi satu aspek nama dan sifat Tuhan. Satu-satu benda atau satu-satu perkara pada anasir alam mencerminkan sesuatu tentang nama dan sifat Tuhan. Alam secara keseluruhannya mencerminkan dengan lengkap tentang nama dan sifat Tuhan. Walaupun alam menjadi ayat atau dalil bagi nama dan sifat Tuhan namun itu bukan bermakna nama dan sifat Tuhan ada sempadan sebagaimana alam ada sempadan. Aspek Tuhan yang mengarah kepada alam yaitu nama dan sifat Wajibul Wujud menyata dengan lengkap pada kewujudan alam tetapi aspek Tuhan yang tidak ada hubungan dengan alam tidak ada kenyataan-Nya pada alam. Sebab itulah apabila sufi mencapai zauk Tuhan Yang Maha Tinggi, Maha Esa, sufi mengalami suasana alam tidak wujud, nama tidak wujud dan sifat juga tidak wujud. Dia memasuki suasana yang tidak ada atas atau bawah, tiada hadapan atau belakang, tiada kanan atau kiri, tiada ruang atau zaman, tidak ada nisbah kepada wujud atau tidak wujud. Pengalaman yang demikian membuat sufi memperolehi makrifat tentang Tuhan yang melampaui segala penyifatan, tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan tiada sesuatu yang menyertai-Nya. Dia Maha Tinggi lagi Maha Suci daripada apa yang disifatkan dan dinisbahkan kepada-Nya. Dalam keadaan demikian jika keluar ucapan dari mulut sufi berkenaan akan muncullah ungkapan: “Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tiada siapapun yang menyertai Aku. Tidak ada yang ada melainkan Aku!”
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena pada kejadian manusia terkumpul secara lengkap segala ayat-ayat, dalil-dalil, pembalikan dan kenyataan nama dan sifat Tuhan. Makhluk lain hanya menjadi ayat kepada satu nama atau sifat Tuhan saja. Malaikat Izrail membawa kenyataan yang sempurna tentang nama al-Mumit dan sifat Tuhan Yang Berkuasa Mematikan. Izrail tidak membawa kenyataan tentang nama dan sifat Tuhan yang lain. Begitu juga dengan malaikat dan makhluk yang lain. Manusia pula bisa mempamerkan bakat-bakat atau kenyataan kepada nama dan sifat Tuhan Yang Menghidupkan, Mematikan, Memberi, Menolak, Mencipta, Membimbing, Menyesatkan dan sebagainya.
Pada diri manusia ada nilai-nilai kebaikan dan kejahatan dan ada pula keupayaan berkehendak dan membuat pilihan. Sifat berkehendak dan berkuasa membuat pilihan yang ada pada manusia menceritakan bahwa Wajibul Wujud memiliki Sifat-sifat Iradat dan Kudrat. Sifat-sifat mendengar, melihat, berkata-kata dan mengetahui menceritakan bahwa Wajibul Wujud mempunyai sifat-sifat Mendengar, Melihat, Berkata-kata dan Mengetahui. Pada diri manusia sudah ada nilai-nilai yang berguna buat mereka mengenali sifat-sifat Wajibul Wujud secara misal atau penyifatan. Pengenalan manusia tentang Wajibul Wujud lebih sempurna daripada makhluk yang lain. Al-Quran mengajarkan kepada manusia mengenai sifat-sifat Tuhan melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia sendiri, cuma manusia diperingatkan bahwa Tuhan melampaui segala bentuk penyifatan. Pengajaran cara demikian membuat manusia mengetahui Tuhan tanpa sesuatu pengetahuan yang konkrit dan mengenali Tuhan tanpa sesuatu pengenalan yang jelas. Pemahaman, pengetahuan dan pengetahuan tentang Tuhan tertanam dalam hati yang paling dalam. Pada kesadaran tahap yang paling dalam itulah manusia memperolehi kepemahaman yang hakiki, pengetahuan yang hakiki dan pengenalan yang hakiki. Dalam kepemahaman yang hakiki pemahaman bersatu dengan tidak faham. Dalam pengetahuan yang hakiki tahu bersatu dengan tidak tahu. Dalam pengenalan yang hakiki kenal bersatu dengan tidak kenal. Apabila dua perkara yang bertentangan telah bersatu akan lahirlah kesejahteraan (keislaman). Pada tahap itu orang arif hanya ada satu pilihan saja yaitu tunduk menyerah kepada Tuhan, tanpa takwil, tanpa hujah dan tanpa terka.
Nabi Muhammad s.a.w mampu menyampaikan pengajaran kepada para sahabat baginda s.a.w hingga kepada tahap kesadaran yang paling dalam. Sebab itulah pengajaran baginda s.a.w diterima dengan kemas, bulat, jelas dan sempurna. Para sahabat tidak memerlukan cara tambahan separti bersuluk atau berkhalwat. Bagi umat yang datang kemudian pula, secara umumnya, guru mempunyai kekurangan dan kelemahan dalam menyampaikan dan murid pula lebih lagi lemah dan kurang dalam menerima pengajaran. Hijab yang menutupi kesadaran yang paling dalam itu sangat tebal. Guru tidak berupaya memecahkannya. Oleh yang demikian murid perlu menjalani latihan bagi memudahkan tugas guru menembusi hijab tersebut. Guru berkewajiban membimbing muridnya bagi membuka tutupan ke atas kesadaran dalamnya. Kemudian barulah pengetahuan tentang kebenaran sejati bisa disampaikan kepada murid tersebut. Tanpa kesadaran dalaman murid akan membentuk khayalan dan sangkaan mengenai apa yang diajarkan oleh guru.
Banyak perguruan tarekat telah dibuka bagi membimbing orang-orang yang berminat dalam bidang kerohanian melatihkan diri, membuka hijab kesadaran dalaman dan seterusnya sampai kepada matlamat dengan selamat. Guru tarekat yang benar tidak memisahkan muridnya dengan syariat dan tidak mengadakan bidaah. Guru yang arif tidak mengajarkan kepada muridnya apa yang tidak layak diterima oleh murid itu. Guru yang demikian tidak menjadikan aliran tarekat sebagai jalan untuk meyakini doktrin wahdatul wujud dan juga bukan ditujukan untuk mendapat fana dan baqa. Jika murid ditarik kepada zauk, jazbah dan fana, guru berkewajiban memandu muridnya agar dapat melepasi peringkat tersebut dan senantiasa mengawasi muridnya agar tidak membuang syariat. Seseorang tidak perlu meyakini pemahaman wahdatul wujud untuk mencapai tahap kesadaran dalaman. Kesadaran dalaman bisa muncul pada orang yang menetap pada jalan kehambaan, yang tidak ada fana dan bersatu dengan Tuhan. Kehambaan yang tidak terlepas daripada kesadaran seseorang membawanya kepada kebenaran yang lebih tinggi daripada yang diperolehi oleh orang yang terbalik pandangan. Tarekat juga tidak bisa dijadikan alat untuk mencari kekeramatan dan kelebihan keduniaan. Latihan kerohanian hendaklah dijuruskan kepada melahirkan ikhlas karena ikhlas adalah pintu keluar bagi kesadaran dalaman.
Manusia haruslah sedar tentang bakat-bakat dan nilai-nilai yang Tuhan ciptakan sebagai sebagian daripada kejadian manusia itu sendiri. Pada kejadian manusia sudah ada bakat berkehendak dan membuat pilihan. Usaha dan ikhtiar tidak menyalahi takdir karena Tuhan telah menentukan sejak azali bahwa manusia memiliki bakat untuk berusaha, berikhtiar dan berkehendak. Tuhan juga mentakdirkan tindakan manusia mempunyai kesan. Pada kejadian manusia itu sudah ada bakat untuk melahirkan perbuatan. Perbuatan manusia termasuk di dalam ciptaan Tuhan tetapi bukanlah Tuhan yang menjadi Pelaku pada perbuatan manusia. Manusia, kehendaknya dan kuasanya melahirkan perbuatan adalah satu pakej yang diciptakan Tuhan yang dinamakan manusia. Pemahaman yang mengatakan Tuhan sendiri yang menjadi Pelaku pada segala perbuatan manusia, dikenali sebagai tauhid af’al, hanyalah kenyataan bayangan yang muncul dalam pengalaman kerohanian sufi. Kebenaran bukanlah yang demikian. Ini tidak juga bermakna manusia berkuasa penuh terhadap takdirnya. Keadaan manusia adalah tidak diberi kuasa bulat-bulat dan tidak juga dipaksa sepenuhnya. Manusia bukan diikat dan bukan diberi kebebasan penuh. Kehendak dan kuasa manusia tidak bersifat Mutlak. Oleh itu terdapat halangan dan kekurangan pada kesan yang dihasilkan oleh kehendak dan kuasa manusia. Manusia hidup di dalam medan yang dipenuhi oleh kehendak dan kuasa yang muncul daripada berbagai-bagai makhluk dan kumpulan manusia sendiri. Berlaku pertembungan kesan kehendak dan kuasa seseorang manusia dengan yang muncul daripada manusia dan makhluk lain. Pertembungan tersebut menyebabkan berlaku perlawanan dan yang lebih kuat kesannya akan menang. Jadi, usaha manusia tidak bisa dilihat dalam sekop dirinya saja. Usahanya memberi kesan kepada usaha orang lain dan begitu juga sebaliknya. Begitulah yang muncul daripada makhluk yang bersifat tidak Mutlak. Agar tidak berlaku kacau-bilau kepada perjalanan alam akibat perlumbaan kehendak dan kuasa makhluk, pengurusan daripada Kuasa Mutlak adalah sesuatu yang wajib. Tuhan yang memiliki Kuasa Mutlak mentadbir perjalanan alam ini.
Dalam kehidupan manusia juga ada dasar pentadbiran. Manusia umum mengadakan usaha dan manusia tertentu membuat pentadbiran. Akibatnya ada usaha yang berhasil dan ada juga yang gagal. Walaupun konsep pentadbiran wujud dalam kehidupan manusia namun manusia tidak bisa menolak tindakan untuk berusaha. Begitu juga dengan konsep pentadbiran Tuhan. Walaupun Tuhan memiliki Kuasa Mutlak namun dasar usaha makhluk tidak bisa dinafikan. Tuhan mengajarkan manusia supaya beramal, berbuat yang baik, menjauhi yang jahat, tidak sengaja menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan lain-lain yang menunjukkan kepada perakuan dasar berusaha dan bartindak. Walaupun begitu manusia diperingatkan bahwa kemutlakan hanyalah hak Tuhan. Oleh yang demikian usaha tidak bisa dipisahkan daripada iman yaitu sabar, syukur, tawakal dan reda.
17: HADRAT ILAHI
________________________________________
Tuhan melampaui segala sesuatu. Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang memberi kesan kepada Tuhan. Tidak ada kebaktian manusia yang sampai kepada Tuhan. Tidak ada doa dan rayuan manusia yang bisa masuk ke dalam majlis keesaan Tuhan. Jadi, dalam menyembah Allah s.w.t adakah manusia hanyalah sebuah robot yang berdiri, rukuk dan sujud? Adakah dalam melakukan kebaktian kepada Allah s.w.t manusia hanyalah sebuah jentera yang bergerak? Apakah karena Allah s.w.t melampaui segala sesuatu maka tidak ada sebarang cara perhubungan hamba dengan-Nya?
Seorang lelaki bekerja mencari batu-batu permata di dalam gua. Satu hari, ketika dia sedang asyik mengumpulkan batu-batu permata, tiba-tiba muncul seekor ular besar di hadapannya. Dia ketakutan dan lari sekuat-kuat tenaganya. Sejak kejadian itu setiap kali dia melihat kepada gua dia akan ‘ternampak’ ular besar. Kehadiran ular besar menguasai hatinya.
Dua orang lelaki bersahabat baik dan saling berkasih sayang. Suatu hari, salah seorang daripada mereka meninggal dunia. Sahabat yang masih hidup itu sering mengunjungi anak sahabatnya yang telah meninggal itu. Lelaki itu ‘melihat’ kehadiran sahabatnya pada si anak itu.
Dalam sebuah negeri ada seorang perempuan pelacur yang sangat cantik, menawan, memberahikan dan mempesonakan sebarang lelaki yang memandang kepadanya. Tidak ada lelaki yang dapat menahan keinginannya apabila melihat perempuan tersebut. Setiap hari perempuan itu akan menunggu pelanggannya dengan mempamerkan wajahnya di jendela rumahnya. Lelaki yang melintasi rumahnya pasti akan berhenti apabila melihat kepadanya. Perempuan itu tidak pernah kecewa menarik lelaki kepadanya. Pada suatu hari lalu seorang lelaki salih dihadapan rumahnya. Lelaki salih itu adalah seorang ahli ibadat yang tidak pernah berbuat maksiat. Secara tidak sengaja lelaki salih itu terpandang kepada perempuan tadi. Separti besi di tarik oleh besi berani kaki lelaki salih itu berjalan ke arah rumah perempuan tersebut dan masuk ke dalamnya. Perempuan itu bersedia melayaninya. Lelaki salih itu pun sudah ada keinginan terhadap perempuan cantik itu. Tetapi sebaik saja lelaki salih itu menyentuh perempuan itu, tangan lelaki salih itu tiba-tiba menggeletar. Tubuhnya menggigil dan mukanya pucat. Perempuan itu berasa heran lalu menanyakan keadaan tersebut. Salih itu memberitahu perempuan itu bahwa Tuhan Melihat perbuatannya dan Mendengar perkataannya. Dia sangat takutkan Tuhan. Penyaksiannya terhadap Tuhan itulah yang menjadikan sekalian tubuhnya menggigil dan mukanya pucat. Kehadiran Tuhan menguasai hatinya.
Al-Quran menceritakan tentang peristiwa yang di alami oleh Nabi Yusuf a.s.
Dan sebenarnya perempuan itu telah berleinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu; kalaulah tidak ia menyedari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah (takdir Kami) untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan keji, karena sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang ikhlas (dibersihkan dari segala dosa). ( Ayat 24 : Surah Yusuf )
Pada saat yang genting itu Nabi Yusuf a.s menyaksikan kehadiran Tuhannya. Kehadiran Tuhan yang dialami oleh hati itu diistilahkan sebagai Hadrat Ilahi. Hamba-hamba yang ikhlas dengan Allah s.w.t, yang telah dipersucikan, dikurniakan makam ihsan, yaitu menyaksikan Hadrat Tuhan atau merasai kehadiran-Nya. Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Sembahlah Tuhanmu seolah-olah kamu melihat-Nya. Sekalipun kamu tidak melihat-Nya, ketahuilah Dia melihat kamu”. Hamba-hamba yang ikhlas dan dipersucikan menyembah Allah s.w.t dalam keadaan hati mereka merasai kehadiran Allah s.w.t. Suasana hati yang demikian dikatakan hati menyaksikan Hadrat Ilahi. Itulah ihsan.
Banyak ayat-ayat al-Quran yang menceritakan tentang Hadrat Tuhan. Tuhan berfirman:
Allah jualah nur bagi semua langit dan bumi ( Ayat 35 : Surah an-Nur )
Ke mana saja kamu menghadap muka kamu di sana ada Wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Luas, Maha Mengetahui. ( Ayat 115 : Surah al-Baqarah )
Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy. ( Ayat 4 : Surah al-Hadiid )
Dan Dia beserta kamu walau di mana kamu berada. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. ( Ayat 4 : Surah al-Hadiid )
Bukan kamu yang membunuh mereka tetapi Allah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melempar tatkala kamu melempar, tetapi Allah yang melempar. (Ayat 17 : Surah al-Anfaal)
Kalimah yang sering diucapkan: – tiada daya dan upaya melainkan beserta Allah” adalah peringatan kepada Hadrat Ilahi: Hadrat-Nya Mendengar; Hadrat-Nya Melihat; Hadrat-Nya beserta makhluk-Nya; Hadrat-Nya menerangi langit dan bumi; Hadrat-Nya menghadap kepada hamba yang menyembah-Nya; Hadrat-Nya bersemayam di atas Arasy dan lain-lain. Tidak ada satu keadaan, ruang atau zaman yang makhluk bisa terlepas daripada Hadrat-Nya yang menguasai sekalian makhluk: walau siapa sekalipun makhluk itu. Carilah satu tempat yang paling tersembunyi yang tidak dapat dilihat oleh-Nya, jika kamu bisa melepasi Hadrat-Nya. Lakukan satu perbuatan yang tidak memerlukan daya dan upaya yang dari-Nya, jika kamu bisa bebas daripada Hadrat-Nya. Tidak mungkin, sekali-kali tidak mungkin, karena Hadrat Allah s.w.t meliputi sekalian alam, meliputi segala sesuatu, membatasi segala kejadian.
Dia yang telah menciptakan semua langit dan bumi dalam enam masa; kemudian itu Dia bersemayam di Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya; dan apa yang diturunkan dari langit serta apa yang naik padanya. Dan Dia tetap bersama-sama kamu di mana saja kamu berada, dan Allah Maha Melihat apa saja yang kamu kerjakan. Kepunyaan-Nya segala kekuasaan di semua langit dan bumi; dan kepada Allah akan kembali segala urusan. ( Ayat 4 & 5 : Surah al-Hadiid )
Tidak ada satu suasana pun yang terlepas daripada kehadiran atau Hadrat Tuhan, tetapi jarang sekali penghayatan terhadap yang demikian menguasai hati nurani manusia, walaupun mereka mempunyai pengetahuan mengenainya. Manusia mengetahui bahwa Tuhan Melihat dan Mendengar tetapi mereka tidak malu melakukan maksiat di hadapan Hadrat Tuhan Yang Melihat dan Mendengar. Manusia tahu Hadrat Tuhan senantiasa bersama-nya, tetapi masih lagi takut apabila mereka berada di tempat sunyi sendirian. Akal fikiran yang melahirkan pengetahuan tidak mampu berhubung dengan suasana Hadrat Ilahi. Hatilah yang berhubung dengan Hadrat Allah s.w.t karena hati yang bisa diisi dengan iman. Semakin kuat iman semakin kuat suasana Hadrat Ilahi menguasai hati. Apabila sampai kepada satu peringkat, hati menjadi sebati dengan suasana Hadrat Ilahi. Lahirlah rasa malu dan gerun kepada Tuhan karena dia merasai kehadiran Tuhan Melihat perbuatannya dan Mendengar perkataannya dan bisikan hatinya.
Suasana Hadrat Ilahi yang dirasakan atau dialami berbeda dari seorang manusia dengan manusia yang lain dan juga pada satu tempat dengan tempat yang lain. Tuhan sendiri menentukan tempat-tempat yang kehadiran-Nya bisa dirasakan lebih kuat daripada tempat-tempat yang lain. Di atas muka bumi ini tempat yang ditentukan oleh Tuhan sebagai tempat yang paling kuat menerima Hadrat-Nya adalah di Baitullah, Tanah Haram Makkah. Orang yang sudah menziarahi semua tempat di atas muka bumi akan mendapati tidak ada tempat untuk merasai kehadiran Allah s.w.t melebihi apa yang dirasakan pada sisi Kaabatullah. Selain Makkah tempat-tempat yang bisa dirasakan kehadiran Tuhan yang kuat adalah Madinah, Baitul Maqdis, Madyan, Bukit Thursina dan Baitulehem. Rasa kehadiran Tuhan pada tempat-tempat yang lain berlebih kurang menurut kadar yang ditentukan oleh Allah s.w.t dan bergantung kepada hati seseorang insan.
Oleh karena pada sisi Kaabah insan dapat merasakan kehadiran Tuhan secara maksima, maka Kaabah menjadi Kiblat manusia menyembah Allah s.w.t. Walaupun kehadiran Tuhan di sana begitu kuat namun Tuhan bukan berada dalam Kaabah dan bukanlah Kaabah itu Tuhan. Apabila berdiri pada sholat menghadap kepada Kaabah bukan bermakna Kaabah yang disembah atau Kaabah dijadikan misal Tuhan. Dada menghadap Kaabah tetapi hati menghadap Allah s.w.t, Tuhan kepada manusia, hati manusia dan Kaabah. Walau di mana pun berdiri menghadap Kaabah hati menghayati suasana Hadrat Ilahi yang sekuat di Kaabah.
Mengapa Tuhan memilih Kaabah untuk menyatakan Hadrat-Nya yang paling kuat di atas muka bumi? Tuhan berbuat menurut kehendak-Nya, tidak tertakluk kepada hujah manusia. Muslim tunduk menyerah kepada kehendak Tuhan. Tuhan memerintahkan supaya menjadikan Kaabah sebagai Kiblat. Muslim menerima perintah Tuhan itu dengan patuh dan ikhlas melaksanakannya. Menolak sholat atau menolak Kaabah sebagai Kiblat membuatkan seseorang itu menjadi kufur.
Pada Alam Langit-langit pula tempat yang paling kuat menerima Hadrat Tuhan adalah Baitul Makmur. Kedudukan Baitullah kepada manusia sama dengan kedudukan Baitul Makmur kepada malaikat. Sebanyak tujuh puluh ribu malaikat memasuki Baitul Makmur setiap hari. Sekali memasuki mereka tidak keluar lagi sampai ke hari kiamat.
Pada sekalian alam atau semua kejadian Tuhan, tempat yang paling kuat menerima Hadrat Tuhan berada di Arasy, yaitu tempat Nabi Muhammad s.a.w menerima perintah sholat lima waktu sehari semalam. Hanya Nabi Muhammad s.a.w seorang saja yang pernah sampai di sana. Jibrail a.s tidak sampai ke tempat tersebut.
Terdapat perbedaan kekuatan suasana Hadrat pada tempat-tempat yang diberkati Allah s.w.t. Kaabah diistilahkan sebagai Rumah Allah, Baitul Makmur pula Rumah Yang Aman Sentosa dan Arasy adalah Takhta Kerajaan. Bisalah diibaratkan Kaabatullah sebagai Negeri Hadrat, Baitul Makmur sebagai Istana Hadrat dan Arasy sebagai Takhta Hadrat (ibarat ini hanyalah perbandingan sekadar untuk kepemahaman). Nabi Muhammad s.a.w memulaikan perjalanan baginda s.a.w daripada Baitullah. Baginda s.a.w Mikraj ke Baitul Makmur dan kemudian diangkat ke Arasy, tempat perjalanan yang paling tinggi. Pada Baitullah Rasulullah s.a.w menerima kedatangan Jibrail a.s. Dalam suasana Baitullah manusia menerima suasana Hadrat dalam keadaan manusia dihijab oleh cahaya malaikat. Keadaan ini perlu karena manusia umum tidak dapat bertahan menerima suasana Hadrat tanpa hijab malaikat. Pada Baitul Makmur pula makhluk dihijab dari suasana Hadrat oleh cahaya Arasy. Pada Arasy pula Hadrat tidak terhijab, sebaliknya Hadrat itu sendiri yang menjadi hijab, melindungi makhluk daripada kehebatan Keagungan Allah s.w.t. Di Arasy, dalam suasana tidak terhijab daripada Hadrat Tuhan, Nabi Muhammad s.a.w menerima firman Tuhan tanpa perantaraan. Walaupun tanpa perantaraan Nabi Muhammad s.a.w mendengar Kalam Tuhan di sebalik hijab, yaitu Hijab Hadrat atau hijab ketuhanan, bukan hijab cahaya malaikat atau yang lain.
Dan tidaklah terdapat seorang manusia pun yang Allah berkata-kata dengannya, kecuali dengan wahyu atau dari belakang hijab atau dikirim-Nya utusan, lalu dia mewahyukan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia adalah Maha Tinggi, Maha Bijaksana. (Ayat 51 : Surah asy- Syura )
Nabi Musa a.s telah mendengar perkataan Tuhan dari sebalik hijab tanpa Allah s.w.t memperlihatkan Diri-Nya. Oleh karena terlalu asyik mendengar Kalam Tuhan, Nabi Musa a.s teringin untuk melihat-Nya.
Dan tatkala Musa datang di waktu (yang) Kami (tentukan itu) dan Tuhannya Berkata-kata dengannya, berkatalah dia: “Hai Tuhanku! Tunjukkanlah Diri-Mu kepadaku supaya aku lihat Engkau. ( Ayat 143 : Surah al-A’raaf )
Permintaan Nabi Musa a.s itu dijawab oleh Tuhan:
Dia berfirman: “Sekali-kali engkau tidak akan dapat melihat Aku, tetapi lihatlah kepada gunung itu, jika ia tetap pada tempatnya maka engkau akan melihat Daku!” Tatkala Tuhannya mentajallikan kepada gunung maka hancurlah ia dan tersungkurlah Musa pingsan. Setelah dia sedar berkatalah dia: “Maha Suci Engkau, dan aku adalah yang pertama sekali beriman”. (Ayat 143 : Surah al-A’raaf )
Jika Kalam Tuhan didengar disebalik hijab, melihat Tuhan juga di sebalik hijab, yaitu melihat Hadrat-Nya, merasakan kehadiran-Nya dengan iman, dengan penuh keyakinan. Nabi Musa a.s mendengar perkataan Tuhan di Gunung Thursina dan meminta untuk melihat-Nya. Nabi Muhammad s.a.w mendengar perkataan Tuhan di Arasy, tetapi Nabi Muhammad s.a.w tidak meminta untuk melihat-Nya. Setelah kembali ke Makkah baginda s.a.w ditanya oleh Abu Zarr adakah baginda s.a.w telah melihat Allah s.w.t? Baginda s.a.w menjawab: “Semuanya cahaya, bagaimana aku dapat melihat-Nya”. Hijab ketuhanan yang meliputi makhluk menyebabkan tidak mungkin makhluk melihat-Nya secara terang-terangan sebelum berlaku kiamat.
Manusia dapat mengalami Hadrat Ilahi karena Dia memperkenalkan Diri-Nya melalui sifat-sifat-Nya, melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia sendiri.
Dan pada diri kamu apakah tidak kamu perhatikan? ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat)
Nilai-nilai yang ada dengan manusia mengajar kepada manusia mengenai aspek tasybih Tuhan. Bakat yang ada dengan manusia membisakan manusia berhubung dengan Tuhan. Manusia mempunyai bakat yang istimewa ini karena manusia ada perkaitan dengan roh.
(Ingatlah) tatkala Tuhan engkau berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia daripada tanah. Maka apabila Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya daripada Roh-Ku hendaklah kamu meniarap kepadanya dalam keadaan sujud”. ( Ayat 71 & 72 : Surah Saad )
Maha Luhur derajat-Nya, Yang Empunya Arasy. Dia turunkan roh dari urusan-Nya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )
Seterusnya Allah s.w.t berfirman:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu roh dari urusan Kami. Padahal tidaklah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman. Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di semua langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Dan mereka bertanya kepada engkau tentang Roh. Katakanlah: “Roh itu adalah urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu melainkan sedikit”. ( Ayat 85 : Surah Bani Israil )
Hati nurani atau rohani manusia ada perkaitan dengan roh yang termasuk dalam kategori urusan Allah s.w.t. Roh urusan Allah s.w.t menjadi nur yang memberi petunjuk kepada manusia. Hati nurani yang diterangi oleh nur ini akan terpimpin kepada jalan Allah s.w.t. Roh urusan Allah s.w.t itulah memungkinkan segala urusan sampai ke Hadrat-Nya. Amalan, doa, rayuan dan apa saja yang manusia lakukan sampai kepada Allah s.w.t karena roh urusan Allah s.w.t. Bagaimana semua itu terjadi tidak dapat diterangkan karena manusia diberi sedikit saja ilmu mengenai roh urusan Allah s.w.t itu. Dengan ilmu yang sedikit itulah manusia mencoba menggerakkan kepemahaman mengenainya.
Tuhan mengajar manusia melalui nilai-nilai yang ada pada diri manusia sendiri. Manusia wujud, hidup, mendengar, melihat, berkata-kata, berkehendak dan berpengetahuan. Melalui nilai-nilai tersebut Tuhan mengatakan Dia Wujud, Hidup, Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Berkehendak dan Berilmu. Oleh karena manusia memiliki unsur seni yang diistilahkan sebagai roh, maka Allah s.w.t menggunakan istilah roh juga agar mudah manusia memahami tentang roh urusan Tuhan. Tetapi manusia jangan lupa apa yang dinisbahkan kepada Tuhan melampaui segala sesuatu, melampaui bahasa dan pengetahuan, melampaui penyifatan dan ibarat dan tidak ada sesuatu yang serupa dengan apa yang dinisbahkan kepada-Nya. Tuhan bukakan ilmu mengenai ini sedikit saja, hanya sekadar mencukupi untuk membuat manusia beriman mengenainya.
Roh manusia yang ada perkaitan dengan tiupan Roh Allah s.w.t adalah sesuatu yang sangat unik dan istimewa. Adam a.s yang diciptakan daripada tanah berkeadaan separti mayat sehinggalah beliau a.s menerima tiupan Roh Allah s.w.t. Kesan daripada tiupan Roh Allah s.w.t dinamakan Roh Insan yang padanya terkumpul segala bakat-bakat yang diperlukan oleh manusia, separti bakat-bakat mendengar, melihat dan lain-lain. Tiupan Roh Allah s.w.t menjadikan manusia hidup dan mempunyai daya dan upaya. Tiupan Roh Allah s.w.t juga melahirkan nafsu dan akal yang berguna bagi mengarahkan perjalanan kehidupan dan penggunaan bakat-bakat yang ada dengan manusia. Apabila keupayaan untuk hidup, bakat-bakat, nafsu dan akal berkumpul dan bersatu dengan jasad jadilah ia seorang manusia yang cukup sifat dan sempurna kejadiannya. Ia menjadi makhluk yang berjasad dan berhati nurani atau dikatakan juga manusia yang memiliki aspek zahir dan aspek batin. Aspek zahir manusia umpama mayat dan aspek batinnya umpama malaikat. Ketika Adam a.s berada di dalam syurga aspek zahirnya tidak menyerlah, kurang pengaruhnya. Pada tahap itu kedudukan Adam a.s sama dengan malaikat. Setelah Adam a.s dihantar ke dunia aspek zahirnya berada di dalam suasana yang sesuai dengannya. Aspek zahir menjadi kuat dan mencoba mempengaruhi aspek batin agar tunduk kepada keinginannya. Manusia pada aspek mayat tidak lagi menumpang aspek malaikat, malah ia mencoba menggunakan aspek malaikat untuk memenuhi kepentingan dan keperluannya. Mungkin juga karena ia menyedari yang ia akan kembali menjadi mayat, sedangkan aspek malaikat akan terus hidup, maka apa saja yang dia ingini mesti diperolehi sekarang, jangan bertangguh-tangguh lagi.
Bakat-bakat manusia separti mendengar dan melihat dimiliki oleh kedua-dua aspek manusia yaitu zahir dan batin. Oleh karena pengaruh zahir lebih kuat maka bakat aspek batin tidak mampu digunakan oleh manusia. Hijab zahiriah terlalu kuat sehingga manusia tidak mampu menyaksikan perkara-perkara ghaib, apa lagi hal-hal ketuhanan. Manusia separti ini tidak dapat merasakan kehadiran Tuhan. Apabila terhijab daripada kehadiran Tuhan, amal ibadat yang dilakukan tidak memberi kesan dan tidak mampu melindungi manusia daripada terjerumus ke dalam kejahatan.
Manusia dapat mengalami suasana Hadrat Tuhan (kehadiran Tuhan) apabila bakat-bakat rohnya berfungsi. Roh manusia sangat istimewa. Roh yang Tuhan kurniakan kepada manusia menyebabkan manusia bisa mengenal Tuhan apabila Tuhan mengajar mereka mengenali-Nya melalui bakat-bakat dan nilai-nilai yang ada dengan mereka sendiri.
Keajaiban yang dimiliki oleh roh menyebabkan ada manusia yang salah mengarti tentang roh mereka. Mereka beranggapan roh itulah Tuhan, penjelmaan Tuhan atau Tuhan adalah batin (nyawa) kepada roh. Diri, roh dan Tuhan dikatakan yang sama. Pemahaman ini adalah sesat dan kufur. Tuhan mengajar manusia mengenali-Nya melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia bukan untuk menyesatkan manusia dengan akal dan khayalan mereka. Manusia mempunyai sifat melihat. Tuhan mengatakan Dia Melihat. Penglihatan manusia dan juga penglihatan roh bukanlah Penglihatan Tuhan. Ke dua-duanya tidak sama dan tidak serupa. Penglihatan manusia dan juga penglihatan roh adalah ciptaan Tuhan. Tuhan bisa menciptakan penglihatan untuk manusia dan roh karena Dia memiliki Penglihatan. Oleh karena Dia yang memiliki Penglihatan maka Dia tahu bagaimana mau menciptakan penglihatan. Tuhan berpengetahuan dalam menciptakan penglihatan untuk makhluk-Nya. Jika Tuhan tidak memiliki Penglihatan maka Tuhan menciptakan penglihatan makhluk dalam kejahilan. Keadaan ini adalah mustahil bagi Tuhan. Tuhan Maha Tahu tentang apa yang diciptakan-Nya karena setiap nilai dan bakat yang diciptakan-Nya dimiliki-Nya sendiri secara Mutlak. Nilai Mutlak yang dimiliki oleh Tuhan menyebabkan Dia bisa mengadakan nilai-nilai tersebut yang tidak Mutlak. Oleh karena itu tiada hujah bagi manusia mengatakan Tuhan tidak melihat perbuatan mereka karena Tuhan memiliki Penglihatan Mutlak. Penglihatan Mutlak menyaksikan apa saja yang dipandang oleh penglihatan yang tidak Mutlak. Tidak mungkin penglihatan yang tidak Mutlak memandang tanpa penyaksian Penglihatan Mutlak.
Tuhan juga memiliki Roh Mutlak, lantaran itu Dia bisa mengadakan roh yang tidak Mutlak untuk manusia. Pendengaran, Penglihatan dan lain-lain adalah bakat Roh Mutlak. Roh tidak Mutlak juga memiliki bakat-bakat mendengar, melihat dan lain-lain. Keadaan yang demikian menyebabkan orang sufi sering mengatakan insan diciptakan dengan bayangan ar-Rahman. Ungkapan yang demikian melahirkan kepemahaman yang insan adalah bayangan Tuhan. Sebenarnya bakat manusia tidak bisa dihubungkan dengan bakat Tuhan separti menghubungkan bayang dengan yang empunya bayang. Wujud manusia dan sifat manusia tidak bertembung dengan Wujud Tuhan dan sifat Tuhan. Roh manusia bukanlah Roh Tuhan. Roh menggambarkan bakat-bakat yang banyak berkumpul dalam kesatuan. Bakat-bakat mendengar, melihat, berkata-kata, berkehendak, berkuasa, berpengetahuan dan hidup adalah bakat yang satu yaitu roh. Apabila disebut roh ia meliputi semua bakat dan nilai. Apabila Bakat-bakat yang demikian dilihat pada suasana ketuhanan, maka suasana tersebut dinamakan Kudrat. Istilah Roh Tuhan adalah satu bentuk pengajaran Tuhan kepada manusia melalui nilai yang ada dengan manusia sendiri, supaya mudah manusia memperolehi kepemahaman. Orang yang menyamakan rohnya dengan Roh Tuhan dan menyamakan dirinya dengan Tuhan wajiblah bertaubat sebelum nyawa sampai di halkum. Yakinlah hamba tetap hamba dan Tuhan tetap Tuhan, tidak ada kamil berkamil, satu bersatu, sama menyama. Bertaubatlah daripada iktikad yang salah!
Suasana Hadrat yang di alami oleh hati nurani dikenali sebagai hakikat atau hal ketuhanan. Hakikat dialami dalam dua keadaan. Dalam keadaan yang pertama orang yang mengalaminya tidak sedarkan kewujudan dirinya dan dalam keadaan yang ke dua pula pengalaman hakikat tidak mencabut kesadaran dan kehambaannya. Misalnya, dalam satu pengalaman hakikat, orang yang hilang kesadaran mengucapkan: “Ana al-haq! (Akulah Tuhan)”, tetapi orang yang menetap dalam kesadaran dan kehambaan yang mengalami hakikat yang sama mengucapkan: “Hua al-Haq! (Dia jualah Tuhan)”. Jenis pertama merasakan dia menjadi Tuhan. Jenis ke dua mengenali apa yang dimaksudkan sebagai Tuhan. Yang pertama hilang kesadaran diri lalu mengaku menjadi Tuhan. Yang ke dua pula mengenali Tuhan sebagai Tuhan dan hamba sebagai hamba. Jenis pertama dikurung oleh bayang dan mendapati sukar untuk melepasi peringkat itu. Jenis ke dua menetap di atas kenyataan yang benar dan lebih mudah untuk sampai kepada Kebenaran Hakiki.
Allah s.w.t mempunyai satu Hadrat bernama ar-Rahman. Orang yang hilang kesadaran masuk kepada bayangan ar-Rahman lalu merasakan dirinya adalah ar-Rahman. Dia merasakan dirinya sangat pemurah, mau mengabulkan apa saja yang orang minta. Tetapi ‘ar-Rahman’-nya hanyalah bayangan. Oleh itu apa yang bisa diberinya juga adalah bayangan yaitu pengharapan dan angan-angan. Orang yang menemui Hadrat ar-Rahman dalam kesadaran mengalami hal yang berbeda. Dia tidak diganggu oleh bayangan. Dia mengalami suasana kesucian yang Maha Suci, kebesaran yang Maha Besar, keagungan yang Maha Agung. Pada ketika itu dia merasakan setiap zarah kewujudannya sama separti debu tepung. Apabila berhadapan dengan Tuhan ar-Rahman dia merasakan setiap zarah kewujudannya relai seumpama debu tepung ditiup angin kencang. Bila dia keluar daripada pengalaman tersebut dia mendapat pengartian tentang keagungan Tuhan ar-Rahman. Dia mengarti keadaan hancurnya Gunung Thursina tatkala Tuhan hadapkan keagungan-Nya ke sana. Dia mengarti maksud perkataan Jibrail a.s: “Jika aku melangkah satu langkah lagi cahaya keagungan Allah s.w.t akan membakar daku”. Dia mengarti maksud perkataan Rasulullah s.a.w: “Cahaya di mana-mana, bagaimana aku bisa melihat-Nya”.
Orang yang menetap dalam kehambaan mengalami hakikat dan memperolehi makrifat melalui pengalaman, bukan sekadar melalui ilmu. Ketika merasakan zarah kewujudannya tertanggal satu-satu dia mengenal Tuhan yang bisa dikenal. Setelah zarah-zarah kewujudannya ‘diterbangkan angin kencang’ dan ‘hilang’, dia mengenali Tuhan yang melampaui segala pengenalan. Lalu dia mendapat pengartian bahwa yang benar-benar kenal Tuhan adalah Tuhan sendiri. Hanya Dia yang mengenali Diri-Nya. Kami mengenali-Nya melalui-Nya, sekadar yang Dia izinkan kami mengenali-Nya. Pengalaman hakikat cara demikian menggabungkan tahu dengan tidak tahu, faham dengan tidak faham dan kenal dengan tidak kenal.
Perkara yang sering menimbulkan kekeliruan orang banyak adalah persoalan Qada dan Qadar. Qada dan Qadar berhubung dengan Ilmu Tuhan atau suasana Pentadbiran Tuhan. Ada orang yang Tuhan izinkan ‘masuk’ ke dalam suasana Ilmu-Nya. Apa yang ditemui pada Hadrat Ilmu Tuhan adalah hakikat-hakikat yang menguasai perjalanan alam. Hakikat atau urusan Tuhan yang berhubung dengan manusia dinamakan Hakikat Insan. Urusan Tuhan yang berhubung dengan alam dinamakan Hakikat Alam. Urusan yang mencakupi segala perkara dinamakan hakikat kepada hakikat-hakikat atau hakikat yang menyeluruh. Pengalaman hakikat-hakikat pada Hadrat Ilmu Tuhan membawa seseorang kepada jalan yang menggabungkan dua jalan yaitu jalan nabi dan jalan asma’. Jalan nabi adalah syariat yaitu mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan mengabdikan diri kepada-Nya.
Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdikan diri kepadaKu. ( Ayat 56 : Surah adz-Dzaariyaat )
Jalan asma’ adalah menyaksikan Rububiah (ketuhanan) pada setiap masa dan dalam semua suasana.
Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kamu. Tidak ada satu pun yang melata melainkan Dia jualah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku adalah di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud )
Bukan kamu yang membunuh mereka tetapi Allah jualah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar tetapi Allah jualah yang melempar. ( Ayat 17 : Surah al-Anfaal )
Jalan syariat memperbaiki amal dan jalan asma’ atau jalan hakikat adalah menyaksikan Hadrat Ilahi dalam segala perkara dan pada semua suasana. Bila dua jalan berpadu lahirlah amal zahir dan amal batin yang sesuai dengan peraturan dan kehendak Allah s.w.t, mengambil Qada dan Qadar melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia, berusaha dan beramal, dan pada masa yang sama beriman dan bertawakal kepada Tuhan yang memegang perjalanan segala urusan. Tidak ada sesuatu yang bebas daripada hakikat ketuhanan yang menguasainya.
18: KAMI DATANG DARI ALLAH, KEPADA ALLAH KAMI KEMBALI
________________________________________
Apabila Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya daripada Roh-Ku ……
( Ayat 72 : Surah Saad )
Roh diumpamakan sebagai tubuh. Keupayaan yang menghidupkan roh dipanggil nyawa. Apabila ia hidup ia mempunyai keupayaan untuk melahirkan berbagai-bagai bakat. Keupayaan yang melahirkan kehendak dinamakan nafsu. Keupayaan untuk melahirkan pengetahuan dinamakan akal. Roh yang satu bisa dilihat melalui empat aspek. Aspek roh yang melahirkan bakat-bakat separti mendengar, melihat dan lain-lain dinamakan roh juga. Aspek roh yang melahirkan kehendak dinamakan nafsu. Aspek roh yang melahirkan pengetahuan dinamakan akal. Aspek roh yang melahirkan kehidupan dinamakan nyawa.
Tuhan mengajar manusia mengenali-Nya melalui sifat atau nilai yang ada dengan manusia sendiri walaupun sifat manusia bukan sifat Tuhan. Dalam persoalan roh, aspek roh yang menghasilkan bakat-bakat dikaitkan dengan sifat Kudrat. Nafsu pula dikaitkan dengan sifat Iradat. Akal dikaitkan dengan sifat Ilmu. Nyawa dikaitkan dengan sifat Hayat.
Kudrat Allah s.w.t yang memberikan keupayaan kepada roh. Roh berperanan membekalkan bakat-bakat, keupayaan serta tenaga. Kebisaan mendengar, melihat, berkata-kata, bergerak dan lain-lain adalah merupakan pekerjaan roh. Roh mempastikan setiap bakat itu pergi kepada alat atau pancaindera yang sesuai dengannya. Roh menghantarkan bakat melihat kepada mata, mendengar kepada telinga, berkata-kata kepada lidah dan bakat-bakat lain dihantar kepada pancaindera yang sesuai untuk masing-masingnya. Roh dikaitkan dengan urusan Allah s.w.t. Sebab itu pekerjaan roh adalah tepat dan sempurna. Roh tidak membuat silap, separti meletakkan bakat melihat kepada kaki atau bakat mendengar kepada lutut. Dalam syariat roh diistilahkan sebagai malaikat. Malaikat yang menjaga matahari, bulan, bintang dan planet-planet lainnya akan mengseret masing-masing itu pada falak yang telah ditentukan oleh Tuhan dan maklumatnya telah dibekalkan kepada malaikat atau roh masing-masing. Malaikat menjalankan perintah Tuhan dengan tepat, tanpa kegoncangan yang datang daripada nafsu dan akal. Roh atau malaikat secara semulajadinya mempunyai sifat hanya mentaati perintah Allah s.w.t tanpa berfikir atau memilih. Malaikat angin yang diperintahkan Allah s.w.t supaya membinasakan sesebuah negeri akan berbuat demikian tanpa kasihan belas walaupun anak dipisahkan daripada ibu bapa, isteri dipisahkan daripada suami dan banyak nyawa terkorban serta harta benda yang rosak. Malaikat atau roh yang menghantar bakat melihat kepada mata akan terus berbuat demikian walaupun mata itu digunakan untuk melihat sesuatu yang dimurkai Allah s.w.t, melainkan jika Allah s.w.t memerintahkannya memberhentikan penghantaran bakat tersebut. Jadi, roh pada aspek bakat-bakat adalah serupa dengan malaikat yang menjalankan tugas tanpa rangsangan nafsu dan partimbangan akal.
Pada roh yang ditentukan untuk manusia ada aspek yang dipanggil nafsu. Nafsu menjadi faktor yang membedakan manusia dengan malaikat. Nafsu melahirkan kemauan, perasaan, timbang rasa dan seumpamanya. Nilai-nilai yang ada pada nafsu mempengaruhi haluan roh menggunakan bakat-bakatnya. Jika tidak ada pengaruh nafsu, roh akan hanya menggunakan bakat-bakatnya untuk perkara-perkara kebaikan yang diredai Allah s.w.t. Peranan nafsu menyebabkan bakat roh bisa digunakan untuk kebaikan atau kejahatan berdasarkan nilai-nilai yang menguasai nafsu. Tabiat nafsu yang berbagai-bagai menyebabkan ia dikenali dengan berbagai-bagai nama, berdasarkan kadar kebaikan atau kejahatan yang menjadi tabiat nafsu itu. Pada tahap nafsu bertabiat paling buruk ia dikenali sebagai nafsu ammarah. Pada tahap ia berkemampuan membedakan yang baik daripada yang buruk ia dinamakan nafsu lawwamah. Pada peringkat nafsu lawwamah, mengenali dan mengakui keburukan tidak menghilangkan sepenuhnya tabiat buruk itu daripada nafsu. Apabila tabiat buruk itu sudah hilang sepenuhnya daripada nafsu ia dinamakan nafsu mulhamah. Nafsu mulhamah, walaupun sudah tidak memiliki tabiat buruk tetapi ia masih belum menetap dan bisa kembali dipengaruhi oleh tabiat buruk. Jika ia sudah menetap, teguh dan tabiat buruk tidak sampai kepadanya lagi, ia dinamakan nafsu muthmainnah. Nafsu yang berada dalam suasana muthmainnah merupakan nafsu yang diredai Allah s.w.t dan dijamin syurga untuknya. Nafsu yang bertaraf ahli syurga ini akan mengarahkan bakat-bakat roh kepada perkara-perkara kebaikan saja.
Aspek roh yang berkait rapat dengan keupayaan membuat pilihan, selain nafsu, adalah akal. Jika nafsu menjadi pembeda di antara manusia dengan malaikat, akal pula menjadi pembeda di antara manusia dengan hewan. Akal memiliki keupayaan untuk berfikir, mengingat, menimbang, berangan-angan dan seumpamanya. Bakat akal yang demikian berpusat pada otak. Ia berguna bagi menguruskan perkara-perkara lahiriah separti bidang sains dan teknologi, sosial dan lain-lain bidang kehidupan. Akal jenis ini mampu bergerak dalam sekop fitrah kemanusiaan tetapi tidak berupaya melonjak kepada fitrah Muslim karena ia lemah dalam perkara yang berkaitan dengan ketuhanan. Akal yang berpusat pada otak disempadani oleh logik sedangkan Tuhan tidak ada sempadan.
Bakat-bakat roh, nafsu dan akal bisa dibagikan kepada dua kategori. Kategori pertama adalah kemanusiaan dan yang keduanya kehambaan kepada Tuhan. Bakat-bakat roh, nafsu dan akal yang berfungsi memenuhi keperluan hidup manusia secara lahiriah dinamakan kemanusiaan. Bakat yang digunakan untuk beribadat kepada Allah s.w.t dan berbuat bakti kepada makhluk Allah s.w.t karena-Nya dinamakan kehambaan (ubudiah). Akal yang berpusat pada otak adalah akal kemanusiaan. Ia tidak mampu menghayati kebesaran, keagungan dan kebijaksanaan Allah s.w.t. Akal yang berguna bagi pengajian tentang ketuhanan adalah akal yang berhubung dengan hati nurani, yang bersuluhkan cahaya petunjuk Tuhan.
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu roh dari urusan Kami. Padahal (jika tidak demikian) tidaklah engkau tahu apa itu kitab dan apa itu iman. Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk kepada barangsiapa yang Kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami.
( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Aspek bakat-bakat roh, nafsu dan akal yang ada perkaitan dengan roh urusan Tuhan itulah yang mampu menyatakan kehambaan kepada Tuhan. Nur atau cahaya roh urusan Tuhan menjadikan alam ghaib terang benderang sehingga bakat-bakat roh bisa melakukan ibadat kepada Allah s.w.t, nafsu bisa mengasihi Allah s.w.t dan akal pula dapat merenungi bidang ghaib sehingga mendapat pengetahuan tentang Tuhan.
Roh dengan bakat-bakatnya, nafsunya dan akalnya tidak bisa berfungsi jika tidak ada penghidupan atau nyawa. Allah Yang Maha Hidup mengurniakan penghidupan kepada roh urusan-Nya dan roh urusan Tuhan menggerakkan Roh Insan untuk hidup. Penghidupan atau nyawa roh itu, yang juga diistilah sebagai roh, bukanlah Hayat Allah s.w.t. Allah s.w.t memiliki Hayat yang Mutlak sebab itu Dia berkuasa menciptakan penghidupan atau nyawa yang tidak Mutlak untuk makhluk-Nya. Nyawa Insan (roh) hanyalah makhluk ciptaan Allah s.w.t bukan sifat Hayat Allah s.w.t. Walaupun begitu kejadian roh (nyawa) ini mengatasi segala kejadian yang lain karena apa juga bentuk kewujudan hanya bisa berfungsi setelah digerakkan oleh nyawa. Nyawa (roh) yang istimewa ini adalah nyawa bagi roh, bukan nyawa bagi jasad. Ciptaan roh bernyawa (hidup) dikaitkan dengan tiupan Roh Allah s.w.t. Sebelum ada roh, tidak ada bakat-bakat, tidak ada malaikat. Sebelum ada nyawa tidak ada penghidupan. Dalam suasana tidak ada malaikat sebagai pemangkin atau penghijab dan tidak ada penghidupan sebagai penggerak, Tuhan menciptakan roh yang bernyawa. Roh itu menjadi bernyawa karena tiupan Roh Allah s.w.t. Ciptaan roh bernyawa ini merupakan ciptaan secara langsung tanpa perantaraan malaikat. Pada ciptaan yang paling istimewa ini perantaraan hanyalah hijab ketuhanan atau sifat Tuhan. Roh bernyawa yang berhijabkan sifat Tuhan inilah yang diistilahkan sebagai tiupan Roh Allah s.w.t.
Roh yang berhijabkan hijab ketuhanan itu merupakan ciptaan Tuhan yang paling murni, paling istimewa dan paling mulia. Setelah roh yang paling murni itu diciptakan ia berfungsi pula sebagai pemangkin atau penghijab kepada ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain. Jadi, roh yang paling murni itu adalah ciptaan kelas pertama dan kejadian yang lain adalah ciptaan kelas kedua. Roh yang paling murni atau latif itu lebih murni daripada cahaya malaikat. Malaikat tidak berupaya menyaksikannya. Kedudukan roh yang paling latif itu satu tingkat lebih tinggi daripada tingkat terakhir yang dipijak oleh Jibrail pada malam Israk dan Mikraj. Walaupun Jibrail merupakan salah satu makhluk bangsa nur yang latif tetapi kelatifan nur Jibrail lebih rendah daripada kelatifan roh yang paling latif itu. Sebab itu Jibrail tidak dapat memasuki medan nur roh yang paling latif itu. Roh yang paling latif itu adalah roh Nabi Muhammad s.a.w atau biasanya di kalangan ahli tasauf dipanggil Roh Muhammad. Kelatifan roh baginda s.a.w itulah yang menjadi hijab melindungi baginda s.a.w melalui pergeseran alam ghaib, sehingga baginda s.a.w sampai kepada Arasy yaitu medan nur roh yang paling latif itu. Nabi Muhammad s.a.w kembali ke tempat asal roh baginda s.a.w, tempat yang tidak ada makhluk lain kecuali nur yang latif itu.
Tuhan berkehendak mengadakan kenyataan kepada roh yang paling latif itu dan untuk itu Dia ciptakan jasad Adam a.s. Setelah jasad Adam a.s sempurna diciptakan, Tuhan ‘hubungkan’ roh yang paling latif itu dengan jasad tersebut. Hubungan itu menyebabkan Adam a.s menjadi hidup dengan mempunyai rohnya sendiri, yang ‘menumpang’ bakat kehidupan kepada roh yang latif. Walaupun jasad Adam a.s dijadikan daripada tanah tetapi rohnya berkait dengan roh yang paling latif, malah roh Adam a.s atau Roh Insan adalah bakat roh yang paling latif itu. Tidak putus hubungan roh individu dengan roh yang menjadi sumber kepada kewujudan roh-roh.
Roh yang paling latif, roh Nabi Muhammad s.a.w, sumber kepada Roh-roh Insan, berkedudukan sebagai khalifah Allah s.w.t, utusan-Nya atau urusan-Nya yang melaksanakan perintah Allah s.w.t. Ia menyimpan segala maklumat mengenai segala yang Tuhan mau ciptakan. Roh urusan Tuhan itulah yang bertugas dengan tepat memastikan apa yang Tuhan kehendaki itu terlaksana dengan tepat.
Dan tidak Kami utuskan engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi sekalian alam.
( Ayat 107 : Surah al-Anbiyaa’ )
Bakat kekhalifahan roh yang paling latif itu hanya menjadi kenyataan setelah Adam a.s diciptakan. Adam a.s dan keturunan beliau a.s menjadi bekas menterjemahkan bakat-bakat khalifah Allah s.w.t yang menjadi urusan Allah s.w.t. Roh Insan yang diterangi oleh roh yang paling latif, yang hanya dihijabkan oleh hijab ketuhanan, dibekalkan dengan kebisaan untuk mengalami suasana Hadrat Ilahi, merasai kehadiran Tuhan serta mengenali Tuhan dalam aspek yang ada hubungan dengan makhluk dan Tuhan dalam aspek yang melampaui segala bentuk perhubungan dengan makhluk. Roh Insan yang diterangi oleh roh yang paling latif mengenali Allah s.w.t secara tasybih dan tanzih. Hadrat Ilahi atau hakikat yang dialami oleh Roh Insan diistilahkan sebagai Rahsia-rahsia Allah s.w.t. Rahsia-rahsia Allah s.w.t yang dikurniakan kepada Roh Insan tidak diketahui oleh makhluk yang lain. Oleh yang demikian makhluk yang lain mesti akur dengan kedudukan insan sebagai khalifah Allah s.w.t. Oleh karena Adam a.s yang menyatakan kekhalifahan itu maka sekalian makhluk mesti akur dengan kedudukan Adam a.s sebagai ciptaan Tuhan yang menanggung Rahsia Allah s.w.t yang paling mulia. Sekalian makhluk mesti tunjukkan bukti penerimaan tersebut dengan cara sujud menghormati Adam a.s.
Intipati kepada roh adalah aspeknya yang melahirkan penghidupan, yang diistilahkan sebagai nyawa, seumpama air yang mengalir kepada seluruh tubuh, menggerakkan semua bakat-bakat. Atas dasar perkaitan roh dengan jasad, aspek nyawa itu dinamakan Nyawa Insan. Ada juga yang menamakannya Insan Batin. Ada juga yang memanggilnya Insan Rahsia Allah s.w.t, bagi menggambarkan hubungannya dengan Hadrat Ilahi (Rahsia Allah s.w.t). Selain itu ada pula yang memanggilnya diri yang sebenarnya. Oleh karena kedudukan hubungannya dengan Hadrat Tuhan maka dialah yang benar-benar bertaraf hamba Tuhan, yang tahu melakukan kehambaan kepada Tuhan sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Jika dia berhenti bekerja maka semua bakat-bakat akan berhenti berfungsi. Jika dia menyembah Allah s.w.t maka semua bakat-bakat menyembah Allah s.w.t.
Roh mempunyai keupayaan untuk menghidupkan jasad dan menggerakkan bakat-bakat yang ada pada jasad. Kesan daripada tindakan roh, jasad menjadi hidup dan keupayaan yang menghidupkan jasad itu dinamakan nyawa bagi jasad. Nyawa yang menghidupkan jasad ini biasanya dipanggil Roh Hewani. Roh yang menggerakkan Roh Hewani itu dinamakan Roh Insani. Roh Hewani menghidupkan jasad. Roh Insani pula memperolehi kehidupan daripada Insan Sirullah (Insan Rahsia Allah s.w.t). Apabila Roh Insani berhenti ‘membekalkan’ Roh Hewani, jasad akan mengalami kematian, tetapi Roh Insan tidak mati walaupun jasad sudah mati. Oleh sebab itu kematian jasad tidak menyelamatkan manusia daripada soal-jawab di dalam alam kubur. Alam kubur merupakan salah satu daripada pintu syurga atau pun pintu neraka. Insan yang hidup di dalam kubur akan memandang kepada salah satu tempat kesudahannya, sama ada syurga atau neraka. Wap bagia atau celaka sudah dapat dirasakan oleh ahli syurga sekalipun kiamat belum berlaku.
Roh Hewani atau nyawa kepada jasad bekerja melalui pernafasan, yaitu udara yang keluar masuk melalui hidung dan mulut dan juga aktiviti turun naik di dalam jantung yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Roh Hewani dan aktiviti jasad berkait rapat. Jika pengaliran udara ke dalam jasad ditahan atau aktiviti jantung diberhentikan, Roh Hewani tidak berupaya lagi menghidupkan jasad. Jadi, nyawa jasad dan jasad saling bergantungan, saling perlu memerlukan. Tubuh yang sehat dengan jangka hayat nyawa jasad ada kaitan.
Kesatuan bakat-bakat roh, nafsu, akal dan nyawa dinamakan rohani atau hati nurani yang bertaraf hamba Tuhan yang sebenarnya. Dalam keadaan yang asli, tanpa pengaruh alam jasad dan alam benda, rohani berkedudukan sebagai insan yang sempurna. Rohani dikuasai oleh sifat Wahdaniah, yaitu rohani menyaksikan keesaan Allah s.w.t, tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Kecenderungan rohani hanya satu yaitu melakukan ubudiah atau kehambaan kepada Allah s.w.t.
Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau mengambil dari anak-cucu Adam dari tulang-tulang punggung mereka, dan Dia jadikan mereka saksi atas diri mereka sendiri: “Bukankah Aku Tuhan engkau?” Semua menjawab: “Memang, kami menyaksikan”. Supaya jangan kamu berkata di hari kiamat: “Sesungguhnya kami lalai dari ini”. Atau supaya tidak kamu katakan: “Yang musyrik itu hanyalah bapa-bapa kami yang dahulu sedangkan kami ini hanyalah keturunan sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami lantaran apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang berbuat salah?” Dan demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu supaya mereka kembali. ( Ayat 172 – 174 : Surah al-A’raaf )
Sebelum bercantum dengan jasad semua keturunan Adam yang masih dalam keadaan rohani yang suci murni, yang menyaksikan keesaan Tuhan, telah dihadapkan oleh Tuhan dengan ikrar ubudiah (kehambaan). Sekalian mereka menyaksikan dan memperakui ketuhanan Allah s.w.t. Rohani menyaksikan yang demikian karena mereka bermakrifat tentang keesaan Allah s.w.t dan ketuhanan-Nya. Rohani yang telah bermakrifat tentang Allah s.w.t itulah diri manusia yang sebenarnya, sementara jasad adalah alat baginya membuktikan kehambaannya kepada Tuhan. Oleh yang demikian mereka tidak ada alasan kelak untuk mengatakan bahwa mereka tidak diberi pengetahuan tentang Tuhan. Mereka juga tidak bisa memberi alasan menurut hukum lahiriah yang berhubung dengan pertalian jasad dengan mengatakan mereka menjadi musyrik karena ibu bapa mereka musyrik. Sebelum ada kaitan dengan jasad menurut nasab keturunan, manusia yang sebenar (rohani) sudah mendapat keterangan yang jelas tentang Tuhan. Tuhan kurniakan jasad kepada manusia rohani supaya mereka membuktikan kebenaran ikrar kehambaan yang mereka telah buat dengan Tuhan.
Manusia rohani berkewajiban mencari jalan kembali ketika mereka masih mengenderai jasad karena jasad itu nanti yang akan menjadi saksi ke atas mereka. Manusia rohani ‘masuk’ ke alam jasad untuk melakukan pekerjaan yang diamanahkan oleh Tuhan. Pekerjaan itu adalah menjadi khalifah, mentadbir kehidupan berjasad menurut perintah dan peraturan Tuhan. Apabila dikeluarkan daripada alam jasad habislah tempuh yang dibenarkan untuk bekerja. Datanglah tempuh perkiraan dan pemberian ganjaran atau hukuman.
Percantuman rohani dengan jasad menyebabkan manusia mempunyai dua jenis diri. Jasad dinamakan diri zahir dan rohani dinamakan Diri Batin. Diri zahir menjadi sarang atau bekas kepada Diri Batin. Jasad yang pada mulainya berkedudukan sebagai mayat bertukar menjadi hidup dan mempunyai nilai-nilai kehidupan setelah ia bercantum dengan diri rohani. Diri rohani pula yang pada mulainya tidak dapat mempamerkan bakat-bakat dan nilai-nilai yang ada padanya, telah bisa menjadi nyata dan mempamerkan apa yang ada dengannya. Percantuman dengan Diri Batin melahirkan pada diri zahir nyawanya, bakat-bakatnya, nafsunya dan akalnya. Alam diri zahir adalah jasadnya dan alam kebendaan yang nyata. Diri zahir berkehendakkan apa yang menggembirakan jasadnya daripada benda-benda dan perkara-perkara yang nyata. Diri zahir juga menggunakan akalnya pada perkara yang nyata. Nafsu dan akal diri zahir akan mengarahkan segala bakat dan kekuatannya kepada benda dan perkara yang zahir. Tidak ada keinginannya untuk melakukan ibadat kepada Allah s.w.t dan melakukan kebaktian kepada-Nya. Tidak lahir pengetahuannya tentang Tuhan. Tidak ada kasih sayangnya kepada Tuhan. Tidak ada renungannya kepada kebesaran dan kebijaksanaan Tuhan. Segala-gala yang pada diri zahir adalah yang zahir juga. Tidak ada urusan kehambaan kepada Tuhan pada diri zahir. Keadaan diri zahir adalah matanya tertutup daripada melihat kepada sesuatu tentang Tuhan, telinganya tuli daripada mendengar peringatan kepada Tuhan, mulutnya terkunci daripada bercakap tentang Tuhan dan bakat-bakat anggotanya terikat daripada melakukan kehambaan kepada Allah s.w.t.
Diri Batin atau manusia rohani berkewajiban membuka tutupan daripada mata diri zahir agar ia bisa melihat sesuatu tentang Tuhan, membuka penyumbat telinganya agar ia bisa mendengar sesuatu tentang Tuhan, membuka kunci mulutnya agar ia bisa bercakap sesuatu tentang Tuhan dan membuka ikatan anggotanya agar ia bisa melakukan sesuatu karena Tuhan. Pekerjaan manusia rohani sangat berat. Manusia zahir menjadi ujian bagi manusia rohani. Kebanyakan manusia rohani tertarik kepada keelokan manusia zahir dan ghairah dengan kepuasan yang dinikmati oleh manusia zahir. Manusia rohani yang sepatutnya menjadi khalifah kepada manusia zahir telah berubah menjadi alatnya.
Adam a.s merupakan manusia zahir yang pertama ‘bersanding’ dengan manusia rohani. Tugas Adam a.s adalah mebanyakkan manusia-manusia zahir karena banyak manusia-manusia rohani mau menyatakan diri mereka. Adam a.s diciptakan daripada anasir tanah yang asli.
Sesungguhnya Aku hendak jadikan manusia daripada tanah. ( Ayat 71 : Surah Saad )
Ciptaan pertama yang daripada tanah itu diberikan keupayaan untuk melahirkan keturunan. Keturunan Adam a.s membiak melalui percantuman unsur bapa dengan unsur ibu. Kedua-dua unsur tersebut bercantum di dalam perut ibu dalam suasana yang diuruskan oleh Tuhan yang dinamakan ‘rahim’. Rahim ini dinisbahkan kepada nama Tuhan ar-Rahim, Yang Pengasih dan Penyayang. Cantuman unsur ibu dengan unsur bapa, setelah melalui beberapa proses, akhirnya membentuk satu bentuk kewujudan yang bernama manusia zahir. Apabila manusia zahir sudah berumur di antara 120 hingga 145 hari, manusia zahir yang di dalam perut ibu itu ‘dikahwinkan’ dengan manusia rohani oleh urusan Tuhan yang bernama ar-Rahim itu. Apabila menjangkau usia sembilan bulan sepuluh hari, manusia yang sudah bercantum unsur zahir dengan unsur rohani dan telah dicelup di dalam kilang pencelupan ar-Rahim, melunsur keluar dari alam kandungan ibu kepada alam dunia. Manusia masuk ke dunia, setelah menerima pencelupan daripada ar-Rahim, membawa bekal sesuatu yang sangat murni, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah s.a.w yang bermaksud: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah”.
Percantuman dengan manusia zahir, terikat dengan darah, daging dan tubuh seluruhnya, diselimuti pula oleh hijab yang tebal, yaitu dunia, menyebabkan manusia rohani lupa kepada asal usulnya dan lupa kepada ikrar yang telah dibuatnya dengan Tuhan. Pengetahuannya tentang Tuhan juga tertutup. Mereka lupa kepada jalan kembali ke tempat asal mereka. Walaupun lupa tetapi benih fitrah masih tersembunyi di dalam ‘bumi’nya. Tuhan Yang Maha Penyayang, Maha Pengampun menghantarkan Kitab-kitab Suci dan Rasul-rasul untuk ‘menyiramkan’ fitrah suci itu agar ia tumbuh dan keluar dari bumi yang gelap gelita untuk menyaksikan kebenaran yang sudah ada dengannya.
Dan sesungguhnya telah Kami utuskan Musa dengan ayat-ayat Kami: “Bahwa engkau keluarkan kaum engkau dari gelap gelita kepada terang benderang, dan peringatkanlah mereka dengan hari-hari Allah”. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah tanda-tanda bagi tiap-tiap orang yang sabar dan bersyukur. ( Ayat 5 : Surah Ibrahim )
Rasul-rasul memberi peringatan kepada manusia rohani tentang hari-hari Allah s.w.t, yaitu suasana asal mereka yang mengenal Tuhan dan mengabdikan diri kepada Tuhan, disaksikan oleh ikrar mereka sendiri.
Katakanlah: “Inilah jalanku, yang aku dan orang-orang yang mengikuti daku seru (manusia) kepada Allah dengan basirah (pandangan yang jelas). Dan Maha Suci Allah! Dan bukanlah aku ini dari golongan orang musyrikin”. ( Ayat 108 : Surah Yusuf )
Rasul-rasul, Nabi-nabi dan orang yang mewarisi mereka melihat kebenaran dengan basirah, yaitu mata rohani mereka. Basirah menyaksikan yang benar sebagaimana yang telah disaksikan oleh rohani sebelum berkahwin dengan jasad. Basirah dapat menembusi benteng jasad dan dunia untuk melihat kepada jalan yang terbentang luas menuju Tuhan. Semua ilmu dalam dunia ini tidak berupaya mendatangkan basirah. Ilmu membuat kapal angkasa, ilmu membuat komputer, ilmu membina bangunan yang tinggi-tinggi, ilmu kedoktoran dan lain-lain ilmu dalam dunia tidak berupaya menghasilkan basirah, tidak mampu melihat kepada hakikat ketuhanan. Seseorang memerlukan ilmu yang datangnya dari alam ghaib yang tersembunyi, ilmu yang lahir daripada kesadaran terhadap Tuhan.
Dia turunkan Roh dari urusan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu Roh dari urusan Kami. Padahal (jika tidak demikian) tidaklah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu Iman. Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk kepada barangsiapa yang Kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami.
( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Maka mereka dapati seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya yang langsung dari Kami.
( Ayat 65 : Surah al-Kahfi )
Orang yang mau mencari jalan pulang perlu kepada bimbingan orang yang sudah ada basirah, yaitu orang yang hampir dengan Allah s.w.t dan berupaya menyaksikan kemutlakan atau mengalami suasana Hadrat Ilahi. Orang yang demikian berkedudukan sebagai khalifah kerohanian. Bergabung dan mendapat bimbingan khalifah kerohanian perlu bagi mencari jalan pulang. Pengembara pada jalan ini semakin berkurangan dan pembimbing pada jalan tersebut lebih berkurangan lagi. Pada satu masa nanti pemandu yang mahir sangat sukar didapati. Ketika itu orang yang terperangkap dalam dunia dan alam jasad mereka sendiri tidak dapat menemui jalan lagi.
Manusia yang terperangkap dengan dunia putus hubungan kemanusiaanya dengan kemurnian rohaninya. Pengetahuannya tidak menghala kepada Ilmu Tuhan. Dia hanya bisa berfikir tentang kehidupan duniawi saja. Dia bisa menjadi saintis yang bijak atau pemimpin yang handal, tetapi akalnya tidak berupaya menyingkap Rahsia ketuhanan yang tersembunyi di sebalik yang nyata. Nafsunya tidak menghala kepada Iradat Tuhan. Dia tidak ada selera untuk mengingati Tuhan, tidak ada rasa kasih sayang kepada Tuhan dan tidak takut atau malu kepada Tuhan. Keinginannya semata-mata tertumpu kepada kesenangan dan keseronokan duniawi. Nafsu yang bertaraf begini menjadi istana iblis. Nyawanya pula hanyalah sedutan dan hembusan nafas serta peredaran darah yang hampa. Tidak ada kelazatan bermunajat kepada Allah s.w.t. Anggota tubuhnya tidak digunakan untuk berbakti kepada Allah s.w.t. Segala daya dan upayanya ditujukan untuk memperolehi kemewahan dan menikmati kesenangan hidup di dunia semata-mata. Setiap anasir alam mengenakan tarikan kepada orang yang separti ini. Unsur zahirnya menjadi bertambah kuat sehingga keupayaan unsur rohaninya terkunci dan terpenjara. Orang yang separti ini berkedudukan separti hewan yang pandai berfikir dan pandai berkata-kata. Tidak ada bedanya taraf hewan cerdik ini dengan hewan lain yang tidak berakal.
Manusia rohani yang dapat membebaskan dirinya daripada fitnah yang datang daripada manusia zahir akan dapat menghadap kepada Tuhan, berbakti kepada-Nya dan menjalankan perintah-Nya dengan menggunakan manusia zahir dan lain-lain anasir zahir. Nafsunya menghadap kepada Iradat Tuhan. Lahirlah rasa kasih sayang kepada Tuhan. Keinginan untuk menghampiri Tuhan sangat kuat dalam jiwanya. Semangat untuk berbakti kepada Tuhan senantiasa berada pada tahap yang tinggi. Akalnya menghadap kepada Ilmu Tuhan. Kelihatanlah kepadanya kebesaran, keagungan dan kebijaksanaan Tuhan. Digunakannya akalnya untuk menguruskan kehidupan harian agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Apabila nafsu dan akal sudah menjurus ke jalan Tuhan, maka semua bakat-bakat yang ada pada dirinya tidak lagi digunakan untuk berbuat sesuatu yang dimurkai Tuhan. Kebaktiannya kepada makhluk Tuhan merupakan kebaktiannya kepada Tuhan karena dia berbuat demikian demi menjunjung perintah Tuhan.
Manusia rohani yang nafsu, akal dan anggotanya berjalan pada jalan Tuhan, nyawanya atau Diri Batinnya yang paling seni akan merasakan kelazatan bermunajat kepada Tuhan dan dapat mengalami suasana Hadrat Tuhan. Mengalami suasana Hadrat Tuhan dikatakan mengenali Tuhan melalui jalan rahsia karena pengalaman yang demikian tidak bisa disamakan dengan apa juga bentuk pengalaman yang lain. Diri Batin yang sampai kepada suasana tersebut digelarkan Insan Sirullah (Insan Rahsia Allah s.w.t).
Rahsia Allah s.w.t bukanlah Allah s.w.t. Tidak benar jika dikatakan Allah s.w.t yang menjadi batin kepada Insan Batin atau Allah s.w.t adalah nyawa kepada manusia rohani. Perkaitan Allah s.w.t dengan manusia bukanlah hubungan secara langsung dalam nyata atau ghaib. Ia bukan hubungan separti kulit dengan daging atau roh dengan jasad. Ia juga tidak separti hubungan roh dengan roh. Tuhan mengatakan roh adalah amr (urusan) Tuhan. Kedudukan Insan Batin, roh atau rohani hanyalah separti kedudukan amr Tuhan, bukan tubuh kepada Tuhan, bukan bekas yang mengalir di dalamnya sifat atau bakat Tuhan. Apa saja yang selain Tuhan adalah ciptaan Tuhan bukan Tuhan.
Kelatifan Diri Batin, roh atau rohani menyebabkan mudah timbul sangkaan yang menyamakannya dengan Tuhan atau memperhubungkannya secara langsung dengan Tuhan. Bunyi seruling bukanlah bunyi suara orang yang meniup seruling. Seruling menjadi hijab yang menceritakan bahwa ada orang yang meniup seruling. Suara seruling membawa perutusan daripada peniupnya. Suara seruling membawa ‘kehadiran’ peniupnya. Kehadiran tersebut adalah rahsia peniup seruling dan rahsia seruling itu sendiri. Orang arif mengenali peniup seruling dengan mendengar suara seruling. Orang arif juga mengenali jenis seruling melalui bunyinya. Perkenalan itu menjadi mungkin karena di antara peniup seruling dan seruling ada rahsia atau ‘kehadiran’ yang bercerita. Rahsia atau ‘kehadiran’ itulah hubungan di antara peniup seruling dengan seruling dan bunyi seruling. Hubungan Tuhan dengan Insan Batin, roh atau rohani lebih unik daripada hubungan peniup seruling, seruling dan bunyi seruling. Hadrat (kehadiran) Tuhan atau Rahsia Tuhan lebih unik daripada kehadiran peniup seruling. Hadrat Tuhan dirasai oleh batin manusia dalam suasana tiada berhuruf, tiada bersuara, tiada berupa dan tiada upaya untuk menceritakannya. Sebab itulah suasana tersebut menjadi rahsia di antara Tuhan dan Insan Batin. Insan batin itu dinamakan Insan Sirullah (Insan Rahsia Allah s.w.t). Ia bermaksud insan diberi keupayaan oleh Allah s.w.t untuk menanggung Hadrat-Nya, Rahsia-Nya, amanah-Nya dan nur-Nya. Apa juga istilah yang digunakan ia membawa maksud yang sama yaitu keadaan Tuhan dan yang berkaitan dengannya dinamakan urusan Tuhan. Roh sebagai ciptaan Tuhan yang paling unik, istimewa dan luar biasa, dalam keadaan keasliannya yang murni berfungsi sebagai perutusan yang membawa urusan Tuhan. Matlamat perjalanan manusia rohani adalah kembali kepada kedudukannya yang asal, yang bertaraf amr Tuhan. Manusia rohani yang kembali kepada taraf amr Tuhan itulah yang benar-benar mengenali Tuhan.
Dalam mencari jalan pulang manusia rohani mesti membawa bersama-samanya ‘rakan-kongsinya’ yaitu manusia zahir. Setelah manusia rohani dan manusia zahir bercantum bersama, maka segala urusan adalah bersama. Ketika manusia rohani belum bercantum dengan manusia zahir, ia adalah suci, murni dan tulin, tidak memikul sebarang beban. Setelah memikul beban ia berkewajiban membawa beban itu kepada jalan yang benar bersama-samanya. Jika manusia rohani berjaya memimpin manusia zahir kepada jalan yang lurus itu tandanya ia berada pada jalan yang benar, benar menanggung amanah Tuhan. Apabila sampai kepada satu peringkat manusia rohani dan manusia zahir akan menjadi bersesuaian di antara satu sama lain. Apa yang lahir kepada zahir itulah yang ada pada rohani. Lidah tidak mengeluarkan perkataan melainkan apa yang ada dalam hati yang suci bersih. Segala perbuatan dan kelakuan zahir adalah baik-baik belaka karena aspek zahir telah tunduk kepada aspek rohani. Keadaan demikian dikatakan diri zahir dengan Diri Batin berkamil, zahirnya adalah batinnya dan batinnya adalah zahirnya. Tidak ada perbedaan lagi di antara zahir dengan batin.
Aspek zahir manusia mestilah tunduk kepada syariat zahir dan aspek batin tunduk kepada syariat batin. Rangsangan dan tarikan tubuh badan serta anasir alam mestilah diharmonikan di bawah payung syariat. Syariat memperakukan keperluan zahir separti makan, minum, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesejahteraan hidup dan lain-lain. Berjalan pada jalan kerohanian tidak mewajibkan meninggalkan pekerjaan, isteri-isteri, anak-anak, masyarakat, makanan, minuman, pakaian dan lain-lain yang diharuskan oleh syarak. Syariat meletakkan peraturan dalam segala aspek kehidupan. Peraturannya adalah jelas dan mudah diikuti.
Jika aspek zahir manusia tunduk kepada peraturan syariat zahir sehingga menjadi bersesuaian dengannya, aspek rohani akan memperolehi kecemerlangan dalam syariat batin. Barulah benar seorang itu masuk ke jalan kerohanian. Orang yang bisa terbang ke dalam daerah kerohanian adalah orang yang memiliki dua sayap. Sayap pertama adalah syariat zahir dan sayap kedua adalah syariat batin. Kedua-dua sayap tersebut dinamakan syariat, tidak lagi digunakan istilah syariat zahir dan syariat batin. Bila zahir dan batin sudah berkamil, tidak ada lagi perbedaan di antara zahir dengan batin. Tiada lagi perpisahan di antara syariat zahir dengan syariat batin. Setiap amalan senantiasa ditemani oleh ‘karena Allah Ta’ala’.
Bagi membawa syariat zahir berkamil dengan syariat batin, seseorang bukan sekadar melakukan kebaikan, malah kebaikan itu perlu dilakukan dengan cara yang betul. Perbuatan sholat mestilah menurut syarat dan rukunnya, bukan sekadar bersholat saja. Melakukan pekerjaan yang halal mestilah dengan cara yang betul agar kemanfaatannya maksima dan kemudaratan bisa dielakkan daripada pekerjaan tersebut. Begitu juga dalam urusan mendidik anak-anak dan lain-lain. Setiap ahli syariat (Muslim) berkewajiban mempelajari cara yang betul dalam melakukan apa juga pekerjaan dan amalan yang baik yang perlu dilakukannya.
Orang yang mau kembali kepada jalan Tuhan perlulah faham bahwa dia tidak ada hak untuk mengubah apa yang telah dihukumkan oleh Tuhan. Apa yang Tuhan katakan benar mesti diterima sebagai benar. Apa yang Tuhan katakan salah mesti diterima sebagai salah. Tidak ada siapapun yang berhak meminda apa yang Tuhan telah tentukan. Tidak ada siapapun yang bisa mengubah waktu sholat lima waktu atau bulan yang difardukan berpuasa. Tidak ada siapapun yang bisa menghalalkan zina, arak, judi dan riba, atas apa alasan sekalipun. Perbuatan yang Tuhan haramkan tetap haram walaupun dibuat sebagai permainan atau main-main. Segala perbuatan manusia akan digantung di lehernya sendiri.
Dan tiap-tiap manusia Kami gantungkan (catatan) amalannya pada tengkuknya, dan Kami akan keluarkan baginya pada hari kiamat satu kitab yang dia akan menemuinya dengan terbuka. ( Ayat 13 : Surah Bani Israil )
Bila kehidupan dalam dunia ini diharmonikan menurut peraturan syariat, dunia ini tidak lagi menjadi dunia yang dibenci, malah ia menjadi taman untuk menanam tanaman akhirat. Ia menjadi medan untuk mempertajamkan kerohanian. Orang yang benar-benar mencari jalan kerohanian dalam dunia ini akan menemuinya. Tuhan sediakan dalam setiap kaum dan golongan orang-orang pilihan yang berkemampuan membimbing orang banyak kepada-Nya. Manusia pilihan itu adalah para arifbillah, insan sejati yang menjadi khalifah-Nya.
Orang arif, walaupun rohani mereka sangat elok, tetapi ia ditutupi oleh keadaan luar yang sangat sederhana dalam segala segi dan mereka terdiri daripada orang-orang yang tidak terkenal. Namun, orang yang demikian adalah umpama air wangi Tuhan di dalam dunia, bisa dicium keharumannya oleh orang-orang yang beriman, benar dan jujur saja. Orang yang mencium keharuman itu akan mengikuti baunya. Keharuman yang muncul dari orang arif melahirkan rasa rindu kepada Tuhan dalam hati orang yang beriman. Rasa rindu menarik kaki orang yang beriman untuk berjalan pada jalan Tuhan, kembali kepada kedudukannya yang asli. Orang yang bisa berjalan dengan mudah kepada Tuhan adalah orang yang lebih sempurna kedudukan syariatnya. Hakikat atau kebenaran sejati tidak muncul dengan baik sebelum syariat betul kedudukannya. Hakikat yang tidak sesuai dengan syariat adalah kebenaran bayangan semata-mata, bukan kebenaran sejati.
19:KEHIDUPAN DUNIA
________________________________________
Roh Insan yang sangat suci hanya menyata apabila ia dibaluti oleh jasad dan bakatnya hanya menonjol apabila ia ditempatkan di dalam dunia. Ketika Adam a.s mendiami syurga bakat kekhalifahannya tidak menyata. Setelah dimasukkan ke dalam dunia barulah nyata Adam a.s sebagai khalifah Tuhan. Keturunan Adam a.s juga menanggung kewajiban kekhalifahan itu di dalam dunia ini juga. Di dalam dunia yang sangat luas ini Adam a.s dan keturunannya ditempatkan pada satu tempat yang bernama bumi. Kehidupan di dunia dengan kehidupan di bumi adalah perkara yang sama bagi Adam a.s dan keturunannya. Kehidupan dunia ini adalah satu-satunya peluang untuk manusia. Manusia tidak diberi peluang yang kedua kali.
Dan barangsiapa yang buta di sini, maka di akhirat pun dia buta dan lebih sesatlah jalannya.
( Ayat 72 : Surah al-Isra’ )
Bukan buta mata di kepala tetapi buta mata pada hati. Jika ketika hidup di dalam dunia tidak menemui jalan kembali kepada Tuhan, sesudah matinya pun tidak menemui jalan. Kesesatan jalan di akhirat lebih menggerunkan daripada buta mata di dunia. Apa juga yang manusia mau usahakan maka dunia inilah kebunnya. Kehidupan dalam dunia inilah yang menentukan nasib manusia ketika sakratul maut, dalam alam kubur, di Padang Mahsyar, di Hisab, di atas jambatan menyeberangi neraka dan pada kehidupan yang abadi. Perbedaan di antara dunia dan akhirat hanya satu saja, yaitu di akhirat ada peluang untuk melihat Tuhan secara terang-terangan, sementara di dunia melihat Tuhan melalui hijab-hijab. Urusan Islam, iman, tauhid dan makrifat selesai di dalam dunia ini juga. Apa yang diperolehi di dunia ini itulah yang akan dibawa ke akhirat.
Tugas menjadikan dunia sebagai kebun akhirat bukanlah mudah. Suasana semulajadi dunia menjadi jabaran kepada petani-petani akhirat.
Dan tatkala Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Aku hendak menciptakan khalifah pada bumi”, mereka berkata: “Adakah Engkau mau jadikan padanya makhluk yang akan berbuat bencana padanya dan akan menumpahkan darah? Padahal kami berbakti dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau”. Dia berfirman: “Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”. ( Ayat 30 : Surah al-Baqarah )
Para malaikat sudah dapat membayangkan kehidupan dunia yang akan dijalani oleh makhluk berbangsa manusia sebelum lagi manusia pertama diciptakan. Sifat kehidupan dunia yang ada dalam pengetahuan malaikat adalah huruhara dan pertumpahan darah. Dunia adalah ibu, sementara huruhara dan pertumpahan darah adalah anak-anaknya. Kelahiran huruhara dan pertumpahan darah adalah sesuatu yang sesuai dengan suasana dunia itu sendiri secara semulajadi. Manusia sebagai khalifah bertugas membersihkan dunia daripada huruhara dan pertumpahan darah itu. Khalifah tidak seharusnya membiarkan dunia terus melahirkan anak-anak jahat dan nakal.
Tuhan memperjelaskan lagi keadaan huruhara penghidupan dunia:
Tuhan berfirman: “Pergilah kamu (Adam dan Hawa). Sebagian daripada kamu (manusia) jadi musuh kepada sebagiannya. Dan adalah bagi kamu di bumi itu tempat ketetapan dan bekalan hingga satu masa (mati dan kiamat)”. ( Ayat 24 : Surah al-A’raaf )
Kehidupan dalam dunia membawa manusia bermusuhan sesama sendiri. Dalam dunia yang huruhara, penuh dengan permusuhan dan pertumpahan darah itulah manusia menetap sehingga sampai ajal mereka dan sehingga berlaku kiamat. Tuhan mengajar manusia supaya mengambil bekalan semasa hidup di dunia. Tuhan mengajar manusia supaya menghargai tempuh singkat yang Tuhan berikan kepada mereka di dunia ini.
Dia berfirman: “Padanya (bumi) kamu hidup dan di situlah kamu akan mati dan daripadanya kamu akan dikeluarkan. ( Ayat 25 : Surah al-A’raaf )
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasai mati. Dan tidak akan disempurnakan balasan kamu melainkan pada hari kiamat. Lantaran itu barangsiapa yang dijauhkan daripada neraka dan dimasukkan ke dalam syurga maka selamatlah dia, karena penghidupan dunia ini tidak lain melainkan menipu-daya. ( Ayat 185 : Surah a-Li ‘Imran )
Alam dihukumkan dengan kiamat dan setiap yang hidup dihukumkan dengan mati. Manusia hidup dalam dunia, mati dalam dunia dan dibangkitkan daripada dunia. Dunia yang dikenali sebagai medan asbab akan melahirkan berbagai-bagai usaha dan tindakan. Sifat dunia tidak mengizinkan usaha dan tindakan melahirkan hasil yang sempurna. Banyak daripada pokok yang ditanam tidak sempat berbuah atau buahnya tidak semanis yang dijangkakan. Tuhan memperingatkan bahwa apa juga yang manusia tanam di dunia buah yang sempurna muncul di akhirat. Buah yang manis, masam atau beracun akan dirasai dengan sempurna setelah berlaku kiamat. Apa yang diperolehi di dalam dunia lebih banyak bersifat bayangan yang menipu-daya.
Manusia terdiri daripada dua jenis anasir yaitu tubuh zahir dan hati seni. Gabungan anasir zahir yang kasar dengan anasir rohani yang seni membuat manusia bisa berfungsi sebagai cermin yang membalikkan wajah yang memandang kepadanya. Tubuh kasar umpama muka cermin yang gelap di sebelah belakang dan rohani pula umpama muka cermin yang terang di hadapan. Susunan manusia yang demikian menyebabkan manusia bisa menerima suluhan cahaya Ilahi. Kebisaan ini dinamakan mengenal Tuhan melalui mata hati. Makhluk yang mempunyai satu jenis badan saja tidak memiliki kebisaan yang demikian. Malaikat yang hanya memiliki badan yang terang dan hewan yang hanya memiliki badan yang kasar tidak bisa berfungsi sebagaimana manusia. Malaikat hanya mengenal Tuhan dalam satu aspek saja yaitu aspek tanzih. Hewan pula tidak mengenal Tuhan. Hanya manusia yang bisa mengenal Tuhan dalam aspek tanzih dan tasybih, yaitu Tuhan yang tidak serupa dengan sesuatu dan Dia yang memperkenalkan Diri-Nya melalui sifat-sifat-Nya.
Sifat semulajadi manusia yang mampu menerima suluhan cahaya Ilahi itu tertutup karena manusia hidup di dalam dunia. Dunia menjadi anasir yang merusakkan gabungan badan yang gelap dengan rohani yang cerah. Dalam dunia ini wujud satu jenis makhluk yang diciptakan daripada cahaya api, dinamakan syaitan berbangsa jin. Cahaya api syaitan ini bisa menyelinap masuk ke dalam badan manusia yang gelap dan menjadikannya lutsinar, menyebabkan suluhan yang datang dari alam ghaib tidak melekat pada cermin hati. Peringatan yang di sampaikan oleh nabi-nabi tidak berbekas pada hati. Sekalipun nabi-nabi memperlihatkan mukjizat namun hati tetap tidak dapat melihat kebenarannya. Beginilah yang terjadi kepada manusia yang hidup di dalam dunia dan diganggu oleh cahaya api syaitan. Badan cahaya api syaitan menjadi tembok menghalang cahaya kebenaran daripada masuk ke dalam hati. Apabila cahaya kebenaran tidak melekat pada hati maka hati tidak mengenal apakah yang benar. Hati yang sudah jahil itu menjadi kain putih yang menerima apa saja yang ditayangkan oleh syaitan. Syaitan mengadakan berbagai-bagai gambaran dan dihantarkannya kepada hati. Hati menyangkakan bentuk yang dihantar oleh syaitan itulah kebenaran. Hasilnya muncullah penjelmaan mengambil alih tempat kebenaran. Penjelmaan gubahan syaitan itulah yang diterima oleh manusia sebagai yang benar. Manusia yang di dalam keadaan sedemikian beramal menurut gubahan syaitan tetapi menyangkakan mereka berada di atas jalan yang lurus. Lahirlah keyakinan yang dibina di atas asas yang sesat. Ada manusia menyembah batu dengan menyangkakan itulah jalan yang benar. Ada manusia membunuh diri dengan keyakinan mereka mati syahid. Amalan sesat telah menjadi kepercayaan yang suci lantaran mereka diperdayakan oleh syaitan.
Dunia yang dihuni oleh syaitan melahirkan berbagai-bagai tipu daya. Semua bidang kehidupan manusia diresapi oleh tipu daya syaitan. Syaitan membina jalan yang selari dan hampir dengan jalan yang lurus dan diperhiaskan jalan itu sehingga apa saja yang ada padanya kelihatan bersesuaian dengan jalan yang lurus. Akibat perhiasan yang dipamerkan oleh syaitan, fitrah manusia hilang kekuatan untuk melonjak kepada fitrah Muslim. Mereka berpuas hati dengan berpegang kepada fitrah kemanusiaan saja dan dalam keadaan yang demikian fitrah kemanusiaan tidak berkekuatan menyekat tarikan syaitan. Akibatnya nilai-nilai murni kemanusiaan dicampur adukkan dengan nilai-nilai palsu yang datang dari syaitan. Banyak daripada penganut agama Islam sendiri mencampur adukkan nilai Islam dengan nilai syaitan. Di sana sini banyak terjadi orang yang bersholat tetapi masih melakukan perbuatan zina dan meminum arak. Orang yang menunaikan fardu haji masih melakukan rasuah. Orang yang berpuasa tetapi masih mencuri dan menipu. Orang yang mengucapkan dua Kalimah Syahadah masih juga pergi ke kubur-kubur karena meminta nombor toto. Perilaku orang yang mengaku beragama Islam tidak berbeda dengan orang yang ternyata kafir. Semua itu terjadi karena warna syaitan melindungi warna kebenaran. Orang yang telah menerima dan mengguna-pakai warna syaitan itu dinamakan ahli dunia.
Dalang yang mengarahkan perjalanan ahli dunia adalah raja syaitan yaitu iblis. Iblis adalah sumber kejahatan dan syaitan adalah penyebar kejahatan iblis itu. Iblis senantiasa mengseret manusia supaya menyalahi ubudiah kepada Tuhan. Iblis memasukkan sifat-sifatnya kepada manusia bagi menyekat atau melengah-lengahkan mereka menunaikan perintah Tuhan. Sifat iblis adalah kufur atau engkar kepada kebenaran. Apabila sifat iblis membaluti hati manusia ia akan bartindak sebagai tenaga yang menghalang apa juga kebenaran yang mau masuk ke dalam hati. Walaupun akal bisa menerima sesuatu kebenaran itu namun tenaga yang muncul daripada sifat iblis menghalang hujah akal daripada diterima oleh hati. Sebab itu orang yang mengenal dan mengakui kebenaran masih juga menolak kebenaran itu dan berbuat yang tidak benar. Orang yang mengakui berzina adalah berdosa tetapi masih juga melakukannya. Orang yang mengakui rasuah itu berdosa masih juga berbuat rasuah. Bahkan orang-orang yang menggubal undang-undang berdasarkan kebenaran yang diperolehi melalui akalnya masih juga melanggar undang-undang tersebut. Akal mengakui kewajiban bersholat dan anggota melakukan perbuatan sholat tetapi hati yang dikuasai oleh sifat iblis tidak mampu lari daripada kemaksiatan.
Syaitan menjadi ejen yang menghantar sifat-sifat iblis kepada manusia. Syaitan masuk ke dalam tubuh manusia melalui perjalanan darah. Darah yang dimasuki oleh syaitan akan menerbitkan rangsangan atau dorongan yang mengajak manusia melakukan kejahatan. Syaitan hanya mampu memberi rangsangan tetapi tidak mampu menggerakkan anggota manusia untuk melakukan sesuatu. Nafsu manusia sendiri yang bartindak menggerakkan anggotanya supaya melakukan kejahatan sebagaimana yang dirangsang oleh syaitan. Nafsu adalah umpama tuan rumah dan syaitan umpama pendatang haram. Tuan rumah sendiri yang mengizinkan pendatang haram memasuki rumahnya dan membiarkannya memerintah di dalam rumah itu. Syaitan bartindak sebagai pengajar dan nafsu yang menerima pengajaran syaitan bartindak sebagai pelaku.
Nafsu yang jahat, separti tuan rumah yang jahat, melakukan kejahatan di dalam rumahnya walaupun kejahatan daripada luar tidak masuk. Nafsu yang rendah memang cenderung kepada kejahatan walaupun tidak menerima rangsangan syaitan. Rangsangan syaitan ditujukan kepada perkara yang menyalahi ubudiah, kederhakaan kepada Tuhan, berbuat syirik dan kufur terhadap kebenaran. Apabila manusia menolak satu rangsangan jahat, syaitan dengan cepat merencanakan kejahatan yang lain. Asal saja kejahatan dilakukan syaitan sudah berasa senang dan puas. Jika syaitan gagal merangsang manusia supaya meninggalkan sholat, syaitan akan berpindah kepada merangsang agar manusia bersholat dengan lalai. Jika manusia berjaya meneruskan sholatnya sehingga selesai, syaitan beralih kepada merangsang agar manusia berasa ria dengan sholatnya. Sikap nafsu berbeda dengan sikap syaitan. Nafsu gemar kepada perkara-perkara yang menyeronokkan, suka kepada kebesaran dan kemuliaan dan cenderung kepada yang melalaikan. Tabiat nafsu, jika ia inginkan sesuatu, ia akan mengejar atau menanti sesuatu itu. Ia tidak mau menyerah kalah sebelum ia mendapatkannya. Ia bisa mendiamkan diri walaupun bagi tempuh yang lama. Bila ada kesempatan ia akan muncul semula, selagi keinginannya belum tercapai. Cita-cita merupakan bakat nafsu. Mencitai kesejahteraan hidup adalah bakat nafsu yang baik. Banyak pula bakat nafsu yang tidak baik. Nafsu yang menginginkan seorang perempuan cantik tidak berhenti mengingininya walaupun perempuan itu sudah menjadi isteri orang lain. Sebab itulah nafsu yang tidak dikawal oleh iman sanggup merusakkan rumah tangga orang lain demi mencapai keinginannya. Begitu juga keinginan nafsu kepada kereta mewah. Ketika tidak mampu ia mendiamkan diri. Sebaik saja ada kemampuan, kereta mewah yang diingininya itulah yang pertama sekali dibelinya. Keinginan dan cita-cita nafsu tidak mudah berubah, tetapi rangsangan syaitan mudah berubah daripada satu kejahatan kepada kejahatan yang lain. Nafsu yang rendah merusakkan nilai-nilai murni kemanusiaan dan syaitan pula merusakkan kehambaan kepada Tuhan. Gabungan keduanya menjadikan manusia golongan yang engkar dan berbuat maksiat.
Banyak sekali kerosakan yang berlaku karena nafsu. Al-Quran menceritakan sebagian daripadanya.
Sesungguhnya nafsu ammarah sangat mengseret kepada kejahatan. (Ayat 53 : Surah Yusuf )
Nafsu pada peringkat yang paling rendah dan paling buruk dinamakan nafsu ammarah. Ammarah adalah sifat nafsu yang berkongsi dengan sifat syaitan, yaitu nafsu yang warnanya diresapi oleh warna syaitan. Nafsu pada peringkat ammarah berkedudukan sama dengan syaitan. Inilah nafsu yang sesat.
Tidakkah engkau perhatikan orang yang mengambil nafsunya sebagai tuhan dan dia disesatkan oleh Allah karena Allah mengetahui (kejahatan hatinya), lalu ditutup Allah akan pendengarannya dan penglihatannya tertutup. ( Ayat 23 : Surah al-Jaathiyah )
Bahkan mereka mempertuhankan jin. ( Ayat 41 : Surah Saba’ )
Kesesatan nafsu bisa sampai kepada peringkat mempertuhankan jin. Syaitan adalah bangsa jin. Jin yang berbangsa syaitan inilah yang dipertuhankan oleh nafsu manusia. Bila nafsu lari dari sumbernya, yaitu roh yang suci murni dan ia bersyarikat pula dengan syaitan dari bangsa jin, berlakulah kerosakan pada akidah dan akhlak manusia. Dari segi akidah manusia bisa mempertuhankan nafsunya atau mempertuhankan jin atau mempertuhankan kedua-duanya sekali. Nafsu manusia dengan diri manusia (ego) adalah perkara yang sama. Mempertuhankan nafsu dan mempertuhankan ego diri adalah yang sama. Firaun dan Namrud mengaku menjadi tuhan. Mereka mempertuhankan nafsu. Qarun mengaku menjadi tuhan harta. Qarun juga mempertuhankan nafsu. Sebagian manusia mempertuhankan roh. Mereka juga mempertuhankan nafsu. Banyak manusia menolak peraturan Allah s.w.t karena mau memuaskan nafsu mereka. Mereka juga termasuk di dalam golongan yang mempertuhankan nafsu. Pertuhanan nafsu yang paling halus adalah sifat ria, melakukan kebaikan untuk mendapat pujian orang banyak demi menaikkan ego nafsunya. Nafsu yang mempersekutukan dirinya dengan Tuhan itulah yang mengundangkan pertuhanan jin. Nafsu yang bisa masuk ke dalam alam khayal ciptaan syaitan mengambil bentuk-bentuk tuhan yang digubah oleh syaitan. Jin suka menjelma dalam bentuk hewan separti ular, gajah putih, kera dan lain-lain. Penjelmaan jin dalam bentuk hewan itu dalam keadaan luar biasa, separti ular berkepala tujuh, gajah bergading emas, kera sakti dan lain-lain yang menguatkan sangkaan manusia jahil bahwa itulah tuhan. Mereka yang menerima tuhan-tuhan yang demikian memanggilnya sebagai dewa-dewi, ratu, puteri dan lain-lain. Itu semua adalah jin yang mengenakan tipu daya kepada manusia yang jahil tentang Tuhan.
Kerosakan akidah yang berlaku kepada umat manusia berpuncak daripada iblis yang memusuhi bangsa manusia sejak manusia yang pertama diciptakan oleh Allah s.w.t. Iblis telah bersumpah untuk menyesatkan keturunan Adam a.s. Al-Quran menceritakan:
(Iblis) berkata: “Beri tempuh akan daku wahai Tuhanku, karena aku akan menyesatkan mereka hingga hari kiamat.” Tuhan berfirman: “Kamu diberi tempuh.” Iblis berkata: “Oleh karena aku telah sesat, maka aku akan halang mereka daripada jalanMu yang lurus. Aku datang kepada mereka dari hadapan, belakang, kanan dan kiri dan Engkau dapati kebanyakan mereka tidak mensyukuri Engkau. ( Ayat 14 – 17 : Surah al-A’raaf )
Hasil daripada gerakan iblis dan kuncu-kuncunya, yaitu syaitan, dan tewasnya nafsu manusia kepada mereka, maka terjadilah apa yang diceritakan oleh al-Quran:
Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakit mereka dan bagi mereka azab yang pedih akibat dusta mereka. ( Ayat 10 : Surah al-Baqarah )
Dan sesungguhnya Kami telah sediakan untuk neraka jahanam beberapa banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak mengarti, mempunyai mata tetapi tidak melihat, mempunyai telinga tetapi tidak mendengar. Mereka adalah separti hewan bahkan lebih hina daripada itu dan mereka adalah orang-orang yang lalai. ( Ayat 179 : Surah al-A’raaf )
Kami jadikan manusia dalam bentuk yang paling baik kemudian kembalikan dia ke tempat yang paling rendah. ( Ayat 4 & 5 : Surah at-Tiin )
Dikunci Allah akan hati mereka dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka tertutup.
( Ayat 7 : Surah al-Baqarah )
Manusia yang sudah parah dijangkiti oleh penyakit iblis akan mengikuti iblis kepada kedudukan yang paling buruk.
Itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah, maka ditulikan pendengaran mereka, dibutakan penglihatan mereka. Tidakkah mereka merenung al-Quran? Bahkan dalam hati mereka terdapat kunci-kunci. ( Ayat 23 & 24 : Surah Muhammad )
Azazil yang telah berbuat ibadat kepada Tuhan selama beribu tahun, apabila mendapat laknat dari Tuhan, bertukarlah keadaannya, terhapus semua ibadatnya yang telah lalu dan dia berubah menjadi iblis. Jika Tuhan melaknati seseorang manusia dia akan bertukar menjadi syaitan berbangsa manusia. Iblis, syaitan berbangsa jin dan syaitan berbangsa manusia akan menjadi penghuni neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya.
Fitnah dan tipu daya yang menanti manusia di dalam dunia sangat besar dan bahaya. Setiap kelahiran keturunan Adam a.s akan disambut oleh syaitan yang menjadi bakat iblis. Cahaya syaitan akan mewarnai cermin hati manusia. Apa yang singgah pada hati akan berubah keasliannya. Hati manusia akan terlindung daripada menyaksikan yang benar. Hanya satu saja yang sangat berkesan memelihara dan membersihkan cermin hati daripada warna syaitan. Itulah syariat!
20: SYARIAT MENYELAMATKAN MANUSIA
________________________________________
Sesudah itu Adam terima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia ampunkannya karena sesungguhnya Allah itu Pengampun dan Penyayang. Kami berkata: “Pergilah kamu sekalian dari (syurga) itu, kemudian jika datang petunjuk (agama) daripada-Ku dan siapapun yang ikut petunjuk itu tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka berdukacita”. ( Ayat 37 & 38 : Surah al-Baqarah )
Hai Bani Adam! Sesungguhnya Kami telah turunkan atas kamu pakaian untuk menutup kemaluan kamu dan pakaian perhiasan dan juga pakaian takwa, ini lebih baik. Yang demikian itu adalah tanda-tanda (kurnia) Allah supaya kamu ingat. ( Ayat 26 : Surah al-A’raaf )
Nabi Adam a.s hanya dipakaikan dengan syariat apabila beliau a.s masuk ke dalam dunia. Beliau a.s tidak dibebankan dengan syariat sewaktu beliau a.s berada di dalam syurga. Syariat menjadi pakaian kebal yang dengannya keturunan Adam a.s bisa selamat daripada fitnah dan tipu daya dunia. Dunia adalah umpama racun dan syariat adalah penawarnya. Siapapun yang masuk ke dalam dunia tanpa memakai syariat akan ditelan oleh dunia dan diseret kepada alam syaitan.
Syariat adalah peraturan atau sistem yang dibuat oleh Allah s.w.t untuk dipatuhi oleh manusia dalam mengadakan perhubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan makhluk lain dalam alam maya ini. Syariat sampai kepada umat manusia melalui manusia pilihan Tuhan yang berkedudukan sebagai nabi-nabi. Nabi-nabi bertanggungjawab menerima, memahami, mengamalkan dan menyebarkan syariat yang diturunkan oleh Allah s.w.t. Dasar syariat adalah taat kepada Allah s.w.t dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Peraturan yang terdapat dalam syariat yang dibawa oleh seorang Nabi harus ada perbedaan dengan peraturan yang terdapat dalam syariat yang dibawa oleh Nabi yang lain. Walaupun ada perubahan pada peraturan syariat tetapi tuntutan mentaati syariat tidak berubah.
Syariat Nabi Daud a.s mengizinkan lelaki berkahwin seberapa banyak yang mereka mampu tetapi syariat Nabi Muhammad s.a.w menghadkan setakat 4 orang isteri saja dalam satu masa. Haram bagi umat Nabi Muhammad s.a.w berkahwin lebih daripada empat orang dalam satu masa, walaupun umat Nabi Daud a.s bisa berbuat demikian. Umat Nabi Muhammad s.a.w tidak bisa bersandar kepada syariat Nabi Daud a.s bagi berkahwin lebih daripada empat orang.
Jika diperhatikan kepada tuntutan mentaati syariat yang dibawa oleh Nabi bagi satu-satu umat, dapatlah difahamkan bahwa dosa dan pahala yang dikatakan oleh syariat bukanlah karena tidak melakukan atau melakukan peraturan semata-mata. Hukum dosa dan pahala bergantung kepada tidak mentaati atau mentaati Allah s.w.t berhubung dengan peraturan yang Dia tetapkan. Orang munafik bisa melakukan perbuatan sholat dengan sempurna, tetapi ia tidak disertakan dengan ketaatan kepada Allah s.w.t, maka perbuatannya itu tidak mendatangkan pahala. Derajat pahala bergantung kepada kekuatan taat dan dalam melakukan peraturan syariat itu dituntut supaya melakukannya dengan cara yang betul, tidak bisa membuat cara sendiri yang menyalahi peraturan syariat.
Bagi setiap umat telah Kami tetapkan upacara ibadat (syariat) yang mereka akan lalui. Maka janganlah sekali-kali mereka membantah engkau dalam perkara ini; dan serulah kepada Tuhan engkau. Sesungguhnya engkau adalah di atas petunjuk yang lurus. ( Ayat 67 : Surah al-Hajj )
Umat satu nabi wajib berpegang kepada syariat yang dibawa oleh nabi tersebut, tidak bisa lari kepada syariat nabi yang lain, melainkan telah datang nabi lain yang membawa syariat yang lebih lengkap dan sempurna. Apabila datang Nabi Muhammad s.a.w sekalian umat manusia wajib berpegang kepada syariat yang dibawa oleh baginda s.a.w. Umat Nabi Muhammad tidak bisa meninggalkan syariat baginda s.a.w karena mau mengikuti Nabi-nabi yang terdahulu. Umat Nabi Muhammad s.a.w wajib berpegang kepada firman Allah s.w.t:
Hari ini Aku sempurnakan agama kamu bagi kamu dan Aku cukupkan atas kamu nikmat-Ku. Dan Aku reda Islam menjadi agama (syariat) kamu. ( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah )
Umat Nabi Muhammad s.a.w sangat bertuah karena Allah s.w.t telah kurniakan kepada mereka nikmat yang lengkap yaitu agama Islam, sehingga mereka tidak perlu lagi merujuk kepada apa yang telah diturunkan terdahulu. Allah s.w.t menjamin bahwa Dia reda menerima Islam sebagai agama bagi umat Nabi Muhammad s.a.w. Jaminan Allah s.w.t itu sudah cukup bagi orang yang benar-benar mencari keredaan Allah s.w.t untuk tetap berjalan di atas landasan yang telah dibina oleh Islam. Islam adalah perlembagaan yang cukup lengkap, mencakupi perkara zahir dan juga perkara batin. Islam telah menjelaskan apa yang mesti dibuat dan apa yang mesti tidak dibuat dan bagaimana mau bartindak menghadapi sesuatu perkara. Umat Islam tidak perlu bertengkar tentang penyelesaian sesuatu masalah. Segala penyelesaian sudah dibentangkan, hanya tegakkan iman dan rujukkan kepada Islam itu sendiri, nescaya segala kemusykilan akan terjawab.
Setiap umat Islam dituntut supaya beriman kepada peraturan yang Tuhan telah tetapkan, mempelajarinya, mengamalkannya dan menyebarkannya sekadar kemampuan masing-masing. Hubungan kaum Muslimin dengan syariat Islam adalah percaya, mempelajari dan melaksanakan. Oleh karena derajat zahir dan rohani manusia tidak serupa maka terdapatlah perbedaan tahap kepercayaan, pengetahuan dan kekuatan melaksanakannya. Perbedaan tersebut menyebabkan umat Islam mudah bersepakat dalam perkara pokok, bertolak ukur pada perkara cabang dan tidak bersepemahaman pada perkara ranting. Kegoncangan pada ranting tidak seharusnya menggoncangkan pokok perpaduan umat Islam. Perbedaan pada tumpuan pelaksanaan tidak seharusnya menyekat kerjasama sesama Muslim. Masalah khilafiah tidak seharusnya menjarakkan kumpulan yang berlainan mazhab.
Al-Quran yang sampai kepada kita sekarang ini mengandungi 6,666 ayat. Tidak mungkin ada orang Islam masa ini yang mampu menyesuaikan dirinya dengan 6,666 ayat tersebut sekaligus, dengan serta merta atau dalam jangka masa yang singkat. Rasulullah s.a.w membawa pengikut-pengikut baginda s.a.w ‘ke dalam’ al-Quran secara berperingkat-peringkat dan baginda s.a.w mengambil masa lebih daripada dua puluh tahun untuk membawa mereka ‘berjalan di dalam’ 6,666 ayat tersebut. Allah s.w.t dan Rasul-Nya sangat berhikmah di dalam mendidik umat manusia. Pada masa berlaku peperangan Badar arak masih belum diharamkan. Sebagian daripada syuhada Badar terdiri daripada mereka yang kuat meminum arak tetapi Allah s.w.t, dengan kasihan belas dan rahmat-Nya, menerima sekalian ahli Badar sebagai ahli syurga.
Rasulullah s.a.w memberi tumpuan kepada akidah, diikuti oleh akhlak. Al-Quran mengajarkan beriman, kemudian beramal salih. Allah s.w.t memperingatkan bahwa Dia mengampunkan segala dosa, termasuk dosa zina, meminum arak dan sebagainya tetapi Dia tidak mengampunkan dosa syirik. Umat manusia harus diselamatkan daripada dosa yang tidak diampunkan Tuhan terlebih dahulu sebelum dosa yang Tuhan ampunkan. Golongan Muslim yang berilmu berkewajiban menyelamatkan golongan Muslim yang jahil daripada lembah syirik. Dalam berbuat demikian perbedaan pemahaman tidak bisa dijadikan penghalang. Golongan yang berkuasa dan golongan yang berilmu sama-sama akan disoal oleh Tuhan nanti apakah yang mereka buat bagi membersihkan akidah umat manusia. Golongan berilmu tidak bisa memberi alasan yang golongan berkuasa tidak menerima nasehat. Tanggungjawab ahli ilmu tidak terlepas dengan alasan yang demikian. Dengan sedikit ‘suntikan’ daripada golongan yang berilmu akan menjadikan golongan yang berkuasa bisa melakukan berbagai-bagai perkara demi kebaikan syariat Tuhan. Dengan sedikit tolak-ukur daripada golongan yang berkuasa akan membisakan golongan yang berilmu menyampaikan banyak perkara demi syariat Tuhan.
Muslim yang mempunyai kesadaran dan kemampuan haruslah mengkaji dengan mendalam apakah yang terlebih terdesak diperlukan oleh umat Islam masa kini. Setelah mengetahui penyakit semasa yang melanda umat Islam itu golongan berilmu dan golongan berkuasa sama-sama berkewajiban mencari penawar di antara 6,666 ayat al-Quran. Penawar yang diperlukan dengan segera itulah yang mesti dihulurkan kepada orang banyak terlebih dahulu. Mengobati penyakit secara bersistematik lebih berkesan daripada mengobati semua jenis penyakit sekaligus. Syariat telah menyediakan segala jenis obat untuk semua jenis penyakit. Ahli ilmu dan pemerintah haruslah faham menyusun jadual pengobatan umat.
Kita perlu menjiwai Islam untuk merasai nikmat Islam yang Tuhan kurniakan. Orang Islam bukan saja mendukung Islam untuk dirinya saja malah dia juga mendukung Islam untuk ahlinya, saudara-saudara Muslim yang lain dan juga umat manusia seluruhnya. Kewajiban manusia adalah melakukan apa yang Tuhan aturkan dengan penuh ketaatan kepada-Nya, sementara hak mengatur diserahkan kepada Allah s.w.t. Sekiranya Allah s.w.t mengaturkan seseorang itu menjadi alim dan mendapat kuasa ketika masyarakat Islam sedang menghadapi ancaman perang, orang alim dan berkuasa itu berkewajiban membuka syariat bagian jihad, keperluan memperkuatkan ketenteraan, strategi peperangan dan lain-lain yang bersangkutan dengan perang, terlebih dahulu daripada bagian syariat yang lain. Mengajar cara pembagian harta pusaka kepada orang yang sedang bersiap ke medan perang adalah kurang sesuai. Dalam tabligh (menyampaikan), bukan saja perlu ada siddik dan amanah, malah perlu juga ada fatanah (kebijaksanaan).
Rasulullah s.a.w bertabligh secara siddik, amanah dan fatanah. Setelah berjaya menawan Makkah baginda s.a.w memaafkan secara bebanyak-banyak orang Makkah yang pernah berperang menentang baginda s.a.w. Baginda s.a.w tidak ghairah melakukan hukum qisas. Beberapa orang yang baginda s.a.w telah umumkan untuk dibunuh pun kemudiannya baginda s.a.w maafkan. Kemaafan daripada baginda s.a.w telah menarik orang-orang yang bersalah itu kepada Islam. Sekiranya baginda s.a.w telah melakukan hukuman bunuh tentu banyak daripada orang Makkah yang mati sebagai orang kafir musyrik. Kebijaksanaan baginda s.a.w telah menyelamatkan banyak manusia daripada azab neraka.
Allah s.w.t menghargai orang alim yang menggunakan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Pelaksanaan peraturan Tuhan kepada umat manusia yang tidak mengarti haruslah dengan kasih sayang, belas kasihan dan simpati. Bukankah Rasulullah s.a.w telah mendoakan bagi penduduk Taif yang mengkasari baginda s.a.w dengan doa yang baik: “Wahai Tuhan. Maafkan mereka karena mereka tidak mengarti”.
Rasulullah s.a.w mengarti setakat mana pengikut baginda s.a.w mampu memikul beban. Baginda s.a.w tidak meletakkan beban melebihi keupayaan mereka. Sebab itulah dakwah baginda s.a.w berjaya. Baginda s.a.w telah memberi contoh, ketika berdakwah di Makkah, bilangan kaum Muslimin masih sangat sedikit. Baginda s.a.w tidak menggerakkan kaum Muslimin supaya berperang dengan kaum musyrikin. Jika baginda s.a.w berbuat demikian tentu saja kaum Muslimin akan terhapus sebelum agama Islam sempat berkembang di atas muka bumi. Umat Islam dituntut melaksanakan syariat Tuhan secara bijaksana. Serahkan urusan mentadbir kepada Tuhan. Kaum Muslimin perlu bartindak sesuai dengan pentadbiran Tuhan. Umat Islam yang tinggal di negeri yang sering dilanda banjir dituntut menyediakan kelengkapan banjir, tidak dituntut menyediakan kelengkapan gempa bumi. Dalam menguruskan hal-ihwal kaum Muslimin secara bijaksana, Muslim yang ditakdirkan berkuasa dengan Muslim yang ditakdirkan berilmu wajib bekerjasama demi mencari keredaan Allah s.w.t.
Syariat mengajarkan prinsip satu untuk banyak karena Allah s.w.t. Lelaki bertanggungjawab menyelamatkan dirinya dan ahlinya daripada api neraka. Orang yang berharta berkewajiban mengeluarkan zakat bagi membantu orang miskin. Orang yang memiliki makanan yang cukup perlu mempastikan tetangganya tidak tidur dalam kelaparan. Orang yang berilmu berkewajiban mengajar orang yang jahil. Orang yang berkuasa berkewajiban melindungi orang yang lemah. Setiap anggota masyarakat perlu menyumbangkan sesuatu untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Syariat Islam mengajarkan supaya menyebarkan yang makruf dan mencegah yang munkar. Muslim diajar supaya mengasihani orang yang dizalimi dan juga orang yang berbuat kezaliman. Mengasihani orang yang dizalimi adalah dengan cara menyelamatkannya daripada kezaliman dan mengasihani orang yang berbuat zalim adalah dengan cara menyekatnya daripada berbuat kezaliman atau setidak-tidaknya menasehatinya. Dalam menyebarkan yang makruf dan mencegah yang munkar tidak ada istilah ‘menjaga tepi kain orang lain’.
Satu perkara yang sangat diberati oleh syariat adalah perbuatan menzalimi diri sendiri. Tuhan memberi ancaman yang keras terhadap mereka yang melakukan kezaliman terhadap diri mereka. Syariat Islam melarang kaum Muslimin sengaja mencampakkan diri mereka kepada kebinasaan walaupun atas alasan berserah kepada takdir. Rasulullah s.a.w menyuruh kaum Muslimin mengikat unta mereka terlebih dahulu barulah bertawakal. Umar al-Khattab melarang orang banyak memasuki kampung yang sedang dilanda wabah penyakit dan pergi ke kampung yang tidak ada penyakit. Lari daripada takdir yang memudaratkan dan pergi kepada takdir yang mensejahterakan masih lagi dalam medan takdir.
Maksud menzalimi diri sendiri sangat luas. Zalim adalah lawan kepada adil. Maksud adil adalah meletakkan sesuatu pada kedudukan yang benar dan layak baginya. Jika meletakkan sesuatu pada kedudukan yang tidak benar dan tidak layak, ia dinamakan zalim. Menggunakan pancaindera yang dikurniakan Tuhan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Tuhan adalah melakukan kezaliman kepada pancaindera atau diri sendiri.
Kezaliman yang paling besar dilakukan oleh hamba Tuhan adalah meletakkan Tuhan pada taraf yang tidak benar dan tidak layak bagi-Nya. Ketuhanan Allah s.w.t meliputi bidang penyembahan, pematuhan, pemujaan, penyayangan dan kebaktian. Ada batas yang mesti dipelihara agar tidak terjadi perbuatan yang menurunkan taraf ketuhanan Allah s.w.t daripada yang sepatutnya. Batas tersebut juga dipelihara agar apa saja yang selain Tuhan tidak sampai kepada taraf tersebut. Jangan sekali-kali terjadi penyembahan, perhambaan, ketaatan, pemujian dan penyayangan hak ketuhanan Allah s.w.t turun daripada taraf ketuhanan-Nya dan jangan pula yang selain Tuhan naik kepada taraf ketuhanan. Jika percerobohan dilakukan maka perbuatan yang demikian dikatakan menzalimi hak ketuhanan Allah s.w.t dan ia diistilahkan sebagai syirik. Syirik adalah menyengutukan hak ketuhanan Allah s.w.t dengan sesuatu yang lain. Meletakkan taraf Isa al-Masih sebagai anak Tuhan adalah syirik. Menganggap Uzair sebagai anak Tuhan adalah syirik. Mengiktikadkan Nur Muhammad sebagai penjelmaan Tuhan atau Tuhan sendiri adalah syirik. Nur Muhammad bukanlah Allah s.w.t sebagaimana Isa al-Masih (zahirnya atau rohaninya yaitu nurnya) bukan anak Allah s.w.t. Mematuhi guru dengan sepenuh jiwa raga sehingga perkara haram dihalalkan dan perkara halal diharamkan masih juga dipatuhi, pun termasuk di dalam perbuatan syirik. Mencari rezeki yang baik tetapi dengan meninggalkan hak ketuhanan Allah s.w.t yang wajib dilaksanakan juga berunsur syirik. Kasih sayang sesama makhluk yang menyebabkan tenggelam hukum dan peraturan Tuhan juga berunsur syirik. Besar atau kecilnya syirik itu bergantung kepada sejauh mana hak ketuhanan Allah s.w.t dicerobohi. Al-Quran menceritakan beberapa keadaan syirik.
Dan berkata orang-orang Yahudi: “Uzair anak Allah”. Dan berkata orang-orang Nasrani: “Al-Masih anak Allah”. Demikian itulah kata-kata mereka dengan mulut mereka; menyerupai perkataan orang-orang kafir yang dahulu. Diperangi Allah akan mereka. Bagaimana mereka dapat dipalingkan? Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi Tuhan selain Allah dan (juga) al-Masih anak Maryam; padahal tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka sekutukan. ( Ayat 30 & 31 : Surah at-Taubah )
Bahkan mereka mempertuhankan jin. ( Ayat 41 : Surah Saba’ )
Tidakkah engkau perhatikan mereka yang mempertuhankan nafsu mereka? Maka apakah engkau bisa jadi pemelihara atas mereka? ( Ayat 43 : Surah al-Furqaan )
Selain yang dinyatakan di atas al-Quran juga menceritakan beberapa perkara yang bisa menggelincirkan manusia kepada syirik.
Katakanlah: “Jika bapa-bapa kamu, anak-anak kamu, isteri-isteri kamu, kaum keluarga kamu, harta yang kamu dapati, perniagaan yang kamu takut akan mundur dan tempat kediaman yang kamu sukai, lebih tercinta kepada kamu daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad pada jalan-Nya, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan ketentuan-Nya. Dan Allah itu tidak akan memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”. ( Ayat 24 : Surah at-Taubah )
Syirik adalah kezaliman yang paling besar bisa dilakukan oleh seseorang kepada dirinya sendiri, bukan kepada Tuhan. Tuhan tidak cedera lantaran manusia berbuat syirik dan tidak beruntung Tuhan jika manusia berbakti kepada-Nya. Apa yang manusia lakukan memberi keuntungan atau kerugian kepada dirinya sendiri, bukan kepada Tuhan. Syirik adalah kerugian manusia yang paling besar karena Allah s.w.t sangat tegas menghadapi orang yang berbuat syirik. Oleh itu tugas seseorang Muslim adalah menghapuskan syirik pada dirinya dan juga pada saudara-saudara Muslimnya yang lain. Tugas utama penguasa Muslim dan ulama Muslim juga demikian. Syirik adalah musuh utama umat manusia. Di dalam berjihad menentang kemusyrikan kaum Muslimin mestilah bersatu sekalipun mereka tidak bisa bersatu dalam bidang yang lain.
Selain syirik, syariat juga menekankan soal perbuatan munkar. Kerosakan akidah dinamakan syirik dan kerosakan akhlak dinamakan perbuatan munkar. Dalam soal kemunkaran, rujukannya secara umum adalah fitrah kemanusiaan, nilai-nilai murni kemanusiaan yang dipersetujui oleh syarak. Fitrah kemanusiaan yang sejati sangat hampir dengan fitrah Muslim, tetapi jarang yang sampai kepada tahap kesadaran fitrah yang sejati karena bakat fitrah mereka dihijab oleh kemampuan berfikir yang terhad, pengaruh pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Sekalipun manusia bisa sampai kepada tahap kesadaran fitrah yang sejati namun, ia belum bisa dikatakan fitrah Muslim karena ia tidak berkeupayaan menyingkap tentang Tuhan. Ia mesti tunduk kepada perkhabaran yang datang daripada Tuhan barulah fitrah kemanusiaan yang sejati itu beroleh kedudukan sebagai fitrah Muslim. Fitrah kemanusiaan yang sejati hanya memerlukan iman untuk menjadikannya fitrah Muslim.
Nilai-nilai murni kemanusiaan yang disertai iman menjadi rujukan dalam menentukan sesuatu perkara itu munkar atau tidak. Perbuatan munkar adalah perbuatan yang menyalahi akhlak Muslim. Perbuatan yang sesuai dengan akhlak Muslim dan dilakukan dengan disertai iman, dinamakan perbuatan makruf. Perbuatan makruf termasuk dalam kategori amal salih. Amal yang tidak salih itulah yang munkar.
Amal yang tidak salih secara automatiknya adalah amal yang munkar, tetapi amal yang pada zahirnya kelihatan salih belum tentu ianya salih. Ia hanya menjadi salih jika ia disertai oleh iman. Tidak ada amal salih tanpa iman. Sebab itulah sistem yang dibuat oleh cerdik pandai bukan Islam, walaupun sesuai dengan nilai-nilai murni kemanusiaan, jika diambil bulat-bulat ia tidak mampu melahirkan amal salih karena tidak ada dasar iman padanya. Itulah puncak kegagalan badan dunia menyebarkan perkara makruf dan mencegah yang munkar. Umat Islam sendiri jika menggubal sistem yang tidak berlandaskan iman akan menemui kegagalan yang serupa. Kemunkaran hanya bisa dihancurkan oleh kekuatan iman.
Fitrah kemanusiaan yang tidak disertakan iman tidak dapat melihat rasional di sebalik kebanyakan peraturan syariat, terutamanya dalam bidang penghakiman dan penghukuman terhadap orang yang melakukan jenayah. Penghukuman menurut syarak biasanya dipandang sebagai keterlaluan, di luar peri kemanusiaan. Fitrah kemanusiaan hanya memandang kepada sekop kehidupan dunia saja, sedangkan syarak mengenakan hukuman yang berat di dalam dunia bagi menyelamatkan pesalah daripada hukuman berat di akhirat. Syarak melihat dunia sebagai kehidupan yang sangat singkat sementara akhirat adalah kehidupan yang abadi. Menderita dalam tempuh yang singkat lebih baik daripada menderita berkekalan. Tuhan tidak suka menghukum hamba-Nya dua kali. Hamba-Nya yang telah menjalani hukuman menurut syarak tidak perlu lagi dihukum di akhirat. Atas dasar inilah hukuman menurut syarak dipandang berat menurut nilai kemanusiaan sejagat.
Syariat memberi penumpuan kepada penyucian akidah dan akhlak. Akidah yang bersih daripada syirik menjadi dasar syariat. Akhlak yang mulia menjadi pengapit kepada akidah yang benar. Apabila dua perkara ini sudah teguh barulah perkara-perkara lain bisa berdiri dengan tegap. Selama tiga belas tahun berdakwah di Makkah Nabi Muhammad s.a.w menumpukan soal akidah dan akhlak. Bidang syariat yang lain banyak dipraktikkan setelah baginda s.a.w berhijrah ke Madinah.
Bidang syariat yang paling penting adalah pengajaran tentang Tuhan dan pengabdian kepada-Nya. Syariat mengajarkan bahwa Allah s.w.t adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia adalah pergantungan sekalian makhluk, tidak ada makhluk yang merdeka daripada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada siapapun bisa mendakwakan bahwa dirinya adalah sebagian daripada Tuhan. Dia tidak serupa dengan sesuatu dan Dia Mendengar serta Melihat. Dia menguasai seluruh alam maya. Syariat memperkenalkan Tuhan dalam dua aspek penting. Dalam aspek pertama syariat menceritakan bahwa Tuhan adalah Maha Kaya dari seluruh alam. Tuhan tidak memerlukan apa-apa daripada siapapun pun. Tuhan tidak bergantung kepada sesuatu. Tuhan tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan tetapi makhluk ditanya tentang apa yang mereka perbuat. Syariat juga mengajarkan bahwa jika manusia bersyukur maka kebaikan syukur itu pergi kepadanya, bukan kepada Tuhan. Jika manusia kufur ia memudaratkan diri manusia sendiri, tidak menjejaskan ketuhanan Allah s.w.t. Dalam aspek kedua syariat memperkenalkan Tuhan sebagai pergantungan sekalian makhluk, Dia melakukan apa yang Dia kehendaki kepada makhluk-Nya. Dia meletakkan ketentuan kepada setiap yang Dia ciptakan. Semua makhluk tidak berupaya mengubah ketentuan yang telah Tuhan tetapkan pada azali. Semua makhluk tunduk patuh kepada ketentuan-Nya. Gabungan dua aspek tersebut menceritakan bahwa Allah s.w.t adalah Tuhan Yang Maha Kaya dari segala sesuatu, tidak berkehendakkan apa-apa pun daripada siapapun pun, tetapi sekalian makhluk bergantung, berhajat dan berkehendak kepada-Nya. Begitulah dasar akidah seorang Muslim yang disimpulkan dengan kalimah:
Bagi menguraikan dasar akidah tersebut diadakan pengajian sifat dua puluh. Sifat dua puluh dan apa jua sifat yang dinisbahkan kepada Allah s.w.t, termasuklah nama-nama-Nya, tertakluk kepada dasar:
Makrifat melalui syariat diperolehi dengan iman bukan dengan hujah dan dalil. Hujah dan dalil berguna bagi orang cenderung menggunakan akal fikiran. Akal fikiran mempunyai had kemampuannya. Apabila sampai kepada had kemampuannya akal terpaksa tunduk, menyerah sepenuhnya kepada perkhabaran yang dibawa oleh syariat. Barulah akal itu menjadi Muslim. Makrifat secara syariat juga menjadi permulaian setelah berakhirnya makrifat secara kasyaf dan pengalaman kerohanian. Kasyaf membawa seseorang kepada suasana keheranan menemui kenyataan bahwa Tuhan melampaui segala perkenalan. Ahli kasyaf pun tunduk, menyerah kepada perkhabaran yang terdapat dalam syariat. Barulah hati yang mengalami kasyaf benar-benar menjadi Muslim.
Apa juga jalan yang diikuti, permulaian jalan adalah syariat dan penghujung jalan juga syariat, barulah perjalanan itu menjadi bulatan yang lengkap. Syariat yang ditemui pada permulaian jalan adalah syariat secara umum, dipegang oleh orang awam. Syariat pada akhir perjalanan adalah syariat khusus dan lengkap, dipegang oleh orang arif. Apa juga tarekat yang dijalani sekiranya tidak ditemui syariat pada akhir perjalanannya, maka tarekat tersebut tidak mencapai Kebenaran Hakiki. Sekiranya sesuatu tarekat itu membawa seseorang kepada penafian terhadap syariat, sekiranya ahli tarekat itu mempunyai kesadaran, wajiblah dia berundur daripada jalan yang dilaluinya itu.
Selain menyampaikan pengetahuan tentang Tuhan, syariat juga mengajarkan cara-cara melakukan ibadat dan pengabdian kepada Tuhan. Hanya ibadat yang dilakukan menurut peraturan syariat saja diterima oleh Tuhan sebagai ibadat. Misalnya, syariat menentukan syarat dan rukun sholat. Tidak menepati syarat dan tidak menyempurnakan rukun tidak dinamakan sholat. Akal dan kasyaf tidak akan menemui cara yang betul bagi menyembah Tuhan. Hanya syariat, semata-mata syariat mengajarkan cara pengabdian yang sebenarnya terhadap Allah s.w.t.
Syariat juga menyampaikan perkhabaran tentang malaikat dan Nabi-nabi. Malaikat dikenali dengan mengetahui asal kejadiannya daripada nur yang murni yang berbeda daripada cahaya matahari atau sebarang cahaya yang diketahui oleh manusia. Perlu juga diketahui beberapa malaikat yang menjadi pemimpin kepada malaikat-malaikat sekaliannya. Mengenali Nabi pula adalah dengan mempelajari sejarah perjalanan mereka, tahu keturunan mereka dan tahu pula siapakah di antara mereka yang menerima kitab dan suhuf serta tahu kitab-kitab tersebut. Pengetahuan tentang perjalanan Nabi-nabi bagi meningkatkan kedudukan kerohanian dalam melaksanakan tuntutan syariat. Seterusnya syariat mengajarkan manusia tentang akhirat. Matlamat utama manusia adalah akhirat dan dunia menjadi jalan kepada akhirat. Di samping mencari kesejahteraan hidup di dunia manusia lebih dituntut mencari keselamatan di akhirat. Kehidupan dunia hanyalah sementara dan kehidupan akhirat berkekalan, tanpa kesudahan. syariat juga mengajar manusia supaya mengakui kelemahan mereka. Oleh yang demikian mereka dikehendaki beriman kepada Qada dan Qadar. Keyakinan kepada akhirat menggerakkan manusia supaya rajin beramal. Keyakinan kepada Qada dan Qadar memimpin manusia menjadi hamba yang tunduk kepada ketuhanan Allah s.w.t. Apa yang diajar oleh syariat membentuk sifat aslim yaitu berserah diri kepada Tuhan. Orang Islam yang bersifat aslim itulah yang benar-benar tunduk, patuh dan melaksanakan hukum Tuhan sebagaimana layaknya dibuat oleh seorang hamba yang merdeka.
Orang yang melalui jalan syariat akan berjaya apabila sampai kepada makam mukmin. Allah s.w.t berfirman:
Sesungguhnya Allah akan membeli orang-orang mukmin, dirinya dan hartanya dengan syurga, yaitu mereka yang berjihad pada jalan Allah, lalu mereka membunuh dan terbunuh, sebagai satu perjanjian yang benar tentang itu (yang tersebut) dalam Taurat dan Injil dan Quran; karena bukankah tidak ada yang sempurnakan janjinya lebih daripada Allah? Lantaran itu bergembiralah dengan perjanjian kamu yang kamu janjikan kepada-Nya, karena yang demikian adalah kebagiaan yang besar. ( Ayat 111 : Surah at-Taubah )
Orang yang mencapai derajat mukmin ada harga pada sisi Allah s.w.t hinggakan Dia sanggup membeli mereka dengan harga syurga, harta yang paling tinggi nilainya dalam seluruh alam makhluk. Tidak ada keraguan lagi kedudukan mereka sebagai ahli syurga. Makam yang di bawah daripada makam mukmin ada dua. Pertama adalah mereka yang dijamin sebagai ahli neraka. Kedua adalah mereka yang mungkin ke syurga atau mungkin ke neraka, hanya belas kasihan Tuhan yang bisa menyelamatkan mereka. Ketika hayat masih ada ujian diri sendiri apakah sudah mencapai taraf mukmin atau belum. Alat pengujinya adalah firman Allah s.w.t:
Orang-orang mukmin apabila diperingatkan dengan Allah nescaya gementarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya menambahkan bagi mereka keimanan; dan kepada Tuhan mereka berserah diri. (Yaitu) orang yang mendirikan sholat dan membelanjakan sebagian daripada apa yang Kami kurniakan kepada mereka. ( Ayat 2 & 3 : Surah al-Anfaal )
Jika tanda yang tersebut di atas tidak ada waspadalah! Mungkin neraka menunggu di akhir perjalanan hidup di dunia ini. Mulailah bekerja untuk menyelamatkan diri dengan berniaga dengan Allah s.w.t, menjualkan diri kepadanya dengan cara berjihad pada jalan-Nya. Mudah-mudahan Tuhan sudi membeli.
Kejayaan bagi mereka yang berjihad pada jalan Allah s.w.t adalah mereka dikurniakan petunjuk dengan nur tawajjuh yang berperanan memalingkan hati kepada Allah s.w.t dan membentenginya daripada apa yang mencoba memesungkannya. Orang yang dikurniakan nur tawajjuh dinamakan orang salih yang berpegang teguh dengan syariat Allah s.w.t. nur tawajjuh membuat mereka berasa damai dan tenang serta bertambah kehampiran dengan Allah s.w.t. Mereka tidak berasa berat untuk melakukan ibadat walau berapa banyak sekalipun karena semakin banyak mereka beribadat semakin mereka memperolehi taqarrub (mendekat dan menghadap Allah s.w.t) dan semakin mereka berasa lazat beribadat. Orang salih adalah ahli syariat yang memakai pakaian warak dan berjalan dengan nur tawajjuh.
21: TAUBAT: PINTU KESELAMATAN
________________________________________
Sesudah itu Adam terima beberapa kalimat dari Tuhannya lalu Dia ampunkannya karena Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang. ( Ayat 37 : Surah al-Baqarah )
Dia jualah Penerima taubat hamba-hamba-Nya dan mengampunkan dosa dan Dia Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Ayat 25 : Surah asy-Syura )
Kecuali orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan amal salih, maka mereka itu Allah tukarkan kejahatan mereka dengan kebaikan karena Allah Maha Pengampun Maha Penyayang. ( Ayat 70 : Surah al-Furqaan )
Adam a.s, manusia pertama, telah melakukan kesalahan. Ketika itu beliau a.s mendiami syurga. Manusia secara tabiatnya tidak dapat mengelakkan diri daripada melakukan kesalahan, sekalipun mereka tinggal di dalam syurga yang serba menyenangkan, apa lagi mereka tinggal di dalam dunia yang serba memayahkan. Adam a.s mengakui kesalahannya dan merujuk kembali kepada Tuhan, memohon agar Tuhan mengajarkannya apa yang perlu dibuatnya bagi menutup kesalahannya dan menggantikannya dengan kebaikan. Tuhan Yang Maha Pengampun Maha Penyayang mengajarkan kepada Adam a.s beberapa kalimat, yaitu cara bertaubat. Adam a.s bertaubat dengan penuh keinsafan dan keikhlasan. Tuhan yang mengajarkan Adam a.s bertaubat itu menerima taubatnya dan mengampunkan kesalahannya. Taubat mengembalikan Adam a.s kepada Tuhan as-Salam, Yang Mensejahterakan. Taubat yang dilakukan oleh Adam a.s adalah taubat yang disertai oleh iman dan diikuti oleh amal salih. Taubat yang demikian menghapuskan kejahatan dan menggantikannya dengan kebaikan.
Iblis, jin yang pertama diciptakan Tuhan, telah melakukan kesalahan. Kesalahan Adam a.s adalah lupa kepada pesanan Tuhan. Kesalahan iblis pula adalah engkar kepada perintah Tuhan. Adam a.s mengakui kesalahan dan bertaubat. Iblis tidak mau mengakui kesalahannya dan enggan bertaubat. Adam a.s yang bertaubat menerima nikmat ampunan dari Tuhan. Iblis yang enggan bertaubat menerima kemurkaan dan laknat dari Tuhan. Adam a.s kembali kepada Tuhan dan keselamatan-Nya. Iblis tercampak jauh dari Tuhan dan hilang peluang untuk kembali. Di akhirat kelak taubat membawa Adam a.s kembali kepada syurga dan iblis pula akan dicampakkan ke dalam neraka jahanam, tempat yang paling buruk dan paling azab.
Taubat adalah jalan kembali kepada Tuhan. Apabila manusia melakukan dosa dia tercampak jauh dari Tuhan. Jika dia tidak bertaubat dia tetap tinggal jauh dari Tuhan. Jika kemudiannya dia berbuat kebaikan maka dia berbuat baik dalam keadaan jauh dari Tuhan. Dia bisa melakukan suruhan syariat tetapi tanpa taubat dia menjadi ahli syariat yang jauh dari Tuhan.
Hamba yang melakukan kesalahan sangat perlu bertaubat. Taubat merupakan cetusan iman. Iman yang menguatkan amal salih. Tanpa iman tidak ada amal salih. Amal tanpa taubat sebenarnya tidak berpangkal kepada iman. Amal yang demikian sangat sedikit nilai salihnya. Salih itulah yang menentukan derajat kemuliaan sesuatu amal itu di sisi Tuhan. Amal yang tidak disertai oleh taubat tidak banyak memberi pahala. Pahala bukan saja berguna di akhirat. Keberkatan pada rezeki dan kesejahteraan hidup di dunia merupakan terjemahan kepada pahala yang diperolehi daripada amal yang salih. Di akhirat kelak terjemahan pahala itu akan lebih menyata lagi. Banyak daripada masalah kehidupan harian tidak mampu diselesaikan lantaran tidak bertaubat daripada dosa-dosa yang lalu.
Bani Adam memiliki tabeat keadaman. Mereka tidak sunyi daripada melakukan kesalahan. Tidak wajar jika ada orang yang mengatakan dia tidak pernah berbuat kesalahan dan tidak perlu bertaubat. Nabi Muhammad s.a.w yang suci bersih pun sering bertaubat. Paling tidak memohon keampunan di atas kelemahan sebagai manusia yang tidak berupaya melakukan perintah Tuhan dengan sempurna.
Banyak manusia terhalang daripada memperolehi apa yang layak diperolehinya sebelum mereka memasuki pintu taubat. Adam a.s yang diciptakan khusus untuk menjadi khalifah di bumi hanya memperolehi mahkota khalifah itu setelah beliau a.s melalui pintu taubat dan menerima keampunan dari Tuhan. Roh syariat, roh agama, nur iman, nur Ilahi dan yang seumpamanya hanya masuk ke dalam hati yang telah dibasuh dengan air taubat. Orang yang bertaubat dan Tuhan mengampunkan dosanya, kesuciannya kembali kepada kesucian roh yang latif, yang suci dan hampir dengan Tuhan. Manusia yang rohnya kembali kepada taraf amr Tuhan akan memperolehi keselamatan di dunia dan di akhirat. Manusia yang memiliki roh yang demikian mampu mengkamilkan batin syariat dengan zahir syariat atau antara iman dengan amal. Bani Adam sewajarnya mengikuti langkah bapa mereka dengan bertaubat agar mereka juga bisa kembali kepada Tuhan dan layak dipakaikan mahkota khalifah di bumi.
Taubat yang hanya merupakan kata-kata, tanpa mengetahui sejauh mana dosa yang dilakukan, tidak berikrar untuk tidak mengulangi dosa tersebut, tidak mengambil langkah mencegah daripada berulangnya perbuatan dosa dan tidak melakukan kebaikan yang bisa menghapuskan dosa, adalah taubat pada luaran saja, tidak terhunjam ke dalam lubuk hati yang dalam. Taubat yang demikian adalah umpama memotong rumput bagian di atas tanah saja sedangkan akar yang di dalam tanah dibiarkan. Rumput akan kembali tumbuh selagi akarnya tidak dicabut. Orang yang benar-benar bertaubat mengetahui kesalahannya dan puncak kesalahan tersebut, bertekad tidak akan mengulanginya dan membebaskan dirinya daripada puncak kesalahan. Taubat yang begini umpama mencabut rumput beserta akarnya yang di dalam tanah dan membuangnya jauh-jauh.
Taubat luaran adalah penyesalan secara umum dan samar-samar. Tauabat dalaman adalah penyesalan yang jelas tentang apa yang dikesalkan dan menjauhkan diri daripadanya. Orang yang bertaubat daripada zina tidak lagi menghampiri zina, bukan sekadar tidak melakukan zina. Jika masih lagi menghampiri zina, sekalipun tidak melakukannya, itu bukanlah taubat yang sebenarnya. Adam a.s yang telah melakukan kesalahan dengan memakan buah larangan di dalam syurga, setelah bertaubat beliau a.s tinggal di bumi yang sangat jauh daripada pokok larangan yang menjadi isu kesalahannya. Tanda taubat diterima adalah orang yang berdosa tidak jatuh lagi ke dalam jurang dosa tersebut.
Orang yang benar dengan taubatnya mempelajari keadaan dirinya, mencari puncak dan faktor yang menyebabkan dia jatuh kepada perbuatan dosa. Dia mengawasi perjalanan nafsunya, membebaskannya daripada ego yang mengseret kepada kejahatan dan kedurhakaan kepada Tuhan. Jihad membuang nilai-nilai buruk daripada daerah nafsu akan memberi kekuatan kepada rohani. Rohani yang sedar dan celik akan dapat melihat kepada kejahatan dan dapat mengeluarkan teguran daripada dalam. Teguran dari dalam itu dinamakan suara hati. Pada peringkat awalnya suara hati hanya sekadar memberi teguran tetapi tidak mampu menghalang berlakunya kesalahan tetapi apabila semakin banyak nilai-nilai buruk dikeluarkan daripada daerah nafsu suara hati akan menjadi lebih kuat. Hati akan sempat memberi peringatan sebelum terjadinya perbuatan dosa. Kemunculan penasehat dari dalam diri sendiri menambahkan kesadaran seseorang tentang yang benar dan yang salah. Kemudian dibukakan kepadanya hakikat yang benar dan yang salah. Apabila hakikat tersebut telah terbuka kepadanya dia akan lebih mudah melakukan yang benar dan meninggalkan yang salah.
Dalam perjalanan menuju tahap yang suci bersih seseorang perlu menentang nafsu kehewanan yang menumpang pada nafsunya yang asli, yang suci bersih. Nafsu kehewanan hanya inginkan makanan, minuman, pakaian, tidur, melakukan yang sia-sia dan berseronok. Dalam daerah nafsu yang rendah itu juga ada sifat ego yang jahat separti takabur, sombong, dengki, dendam, tamak dan lain-lain penyakit hati. Semua itu mesti dibuang daripada daerah nafsu supaya kemurnian nafsu yang asli kembali menyerlah. Orang yang benar-benar bertaubat mampu berbuat demikian dan dia kembali menjadi suci, bersih dan murni. Hijab yang muncul dari alam zahiriah menjadi hancur dan rohaninya akan bercahaya, memperlihatkan keserian wajah yang menggambarkan kedamaian jiwa.
Syariat mengajarkan jihad menyelamatkan diri daripada dosa. Dosa masuk ke dalam manusia melalui setiap bagian tubuhnya dan juga melalui dirinya yang tidak kelihatan. Mata, telinga, mulut, hidung, tangan, kaki, syahwat dan segenap tubuh bisa menjadi pintu buat dosa memasuki manusia. Fikiran dan perasaan juga menjadi pintu dosa.
Dosa adalah umpama besi dan neraka umpama besi berani yang besar lagi kuat, menarik besi dosa kepadanya. Makanan, minuman dan bauan yang harum memasukkan dosa ke dalam tubuh manusia. Dosa bercampur dengan darah, daging, tulang, sumsum dan seluruh tubuh. Tangan yang melakukan kejahatan akan dibaluti oleh dosa separti balutan lumpur. Tangan yang berbalut dosa menyentuh isteri, anak-anak, makanan, pekerjaan dan lain-lain. Ia mencemarkan apa saja yang disentuhnya.
Syahwat yang berzina akan dibaluti dosa dan dengan syahwat yang berbalut kekotoran dosa itu juga lelaki meniduri isterinya. Tangannya yang menyuap makanan dibaluti dosa. Makanannya haram. Darahnya bercampur air dosa. Air mani yang terbentuk dalam tubuhnya juga terpalit dosa. Melalui syahwat yang berdosa dia menghantar air mani yang terpalit dosa ke dalam kandungan isterinya. Dalam kandungan ibu lagi bayi sudah dihadapkan dengan kesan dosa. Anak keluar ke dunia membawa kekuatan dosa, bersedia untuk menghadapi dosa-dosa. Banyak bayi yang dibungkus oleh dosa sejak dalam kandungan ibu mereka keluar membawa penyakit yang ganjil-ganjil. Sudah ada bayi yang keluar saja ke dunia sudah pun menghidapi penyakit aids.
Kecelakaan menimpa manusia yang berdosa karena syaitan bisa bersekutu dalam apa saja yang mereka lakukan. Apa saja yang dipegangnya dan apa yang keluar daripadanya beserta dengan syaitan yang senantiasa mencari jalan untuk menjahanamkan Bani Adam. Dosa yang menemani seseorang itu membawa bahang api neraka kepadanya ketika dia masih hidup dalam dunia ini, apa lagi setelah dia memasuki lubang kubur. Bahang api neraka membuatnya menjadi resah gelisah dan kepanasan. Isteri yang cantik tidak menyejukkan pandangannya. Harta yang banyak tidak menemukannya dengan kepuasan. Kemuliaan yang diberikan oleh manusia tidak mendamaikan jiwanya. Beban dosa menghimpit jiwanya, takut orang banyak mengetahui kejahatan yang disembunyikannya.
Fikiran dan perasaan yang dibaluti dosa, walaupun memikirkan sebaik mungkin, merancang dengan penuh kerapian, membuat kajian dengan teliti namun, hasilnya adalah kemusanahan. Morfin yang ditemui oleh pakar-pakar perobatan untuk membantu orang sakit itulah yang menjadi dadah membunuh jutaan manusia. Satelit yang diciptakan untuk kesejahteraan umat manusia itulah yang memandu peluru berpandu dan bom nukliar untuk membunuh umat manusia sendiri. Sentuhan fikiran, perasaan dan anggota yang berdosa lebih mengwujudkan neraka dalam dunia daripada memberi kesejahteraan kepada umat manusia. Dosa-dosa yang bertaburan dalam dunia inilah yang mengseret dunia kepada kiamat.
Ulama zaman dahulu suka memperingatkan umat manusia supaya menghindarkan diri daripada melakukan dosa demi kesejahteraan manusia sendiri. Banyak daripada ulama hari ini segan mau bercakap tentang dosa, takut dianggap kolot. Orang banyak hari ini tidak tahu tentang dosa tetapi sangat mengarti tentang kemudaratan pada tubuh badan. Perkara dosa mesti diurai secara saintifik terlebih dahulu untuk mengetahui kemudaratannya. Apakah kemudaratan meminum arak? Apakah kemudaratan memakan daging babi? Apakah kemudaratan tidak bersholat? Apakah kemudaratan tidak berpuasa? Semuanya mesti dimasukkan ke dalam ‘tabung uji’ terlebih dahulu sebelum disahkan sebagai dosa. Manusia mengambil alih tugas menentukan sesuatu perkara itu berdosa atau tidak.
Kaum Muslimin memainkan peranan yang penting di dalam dunia. Mereka berfungsi sebagai pengimbang kepada ketidak-stabilan yang terjadi kepada dunia. Kaum Muslimin berperanan menyekat mala petaka yang mengancam dunia akibat dosa-dosa manusia. Kaum Muslimin mempunyai keupayaan yang tinggi karena mereka berpegang kepada syariat yang benar yang mengajar mereka ibadat taubat dan memperkenalkan mereka kepada Tuhan Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. Air taubat yang mengalir daripada kaum Muslimin menyejukkan api neraka dunia yang keluar daripada dosa-dosa manusia. Taubat merupakan kurniaan Tuhan yang besar kepada orang-orang yang beriman demi faedah mereka sendiri dan umat manusia seluruhnya. Ibadat taubat mesti disebarkan seluas-luasnya demi kesejahteraan hidup di dunia dan juga di akhirat. Kaum Muslimin seharusnya memandang serius kepada ibadat taubat sebagaimana kesungguhan mereka dalam ibadat sholat dan lain-lain. Mereka mestilah benar di dalam taubat sebagaimana benarnya hati mereka menghadap Tuhan di dalam sholat.
Taubat, sebagaimana juga ibadat yang lain, ada aspek zahir dan ada aspek batin. Aspek zahir melibatkan cara dan peraturan yang bersangkutan dengan perbuatan zahir. Aspek batin melibatkan urusan hati. Setiap amalan zahir digantungkan kepada niat yang berada dalam batin.
Amalan zahir dinamakan syariat zahir dan amalan batin dinamakan syariat batin. Ilmu yang membicarakan tentang syariat zahir dinamakan ilmu fikih. Ilmu yang membicarakan tentang syariat batin dinamakan ilmu tasauf. Istilah fikih dan tasauf digunakan pada zaman yang di belakang ini. Pada zaman Rasulullah s.a.w semua ilmu dikenali sebagai ilmu agama atau ilmu al-Quran atau ilmu Islam. Kesempurnaan ilmu syariat adalah gabungan ilmu fikih dan tasauf. Ilmu fikih mengajar manusia cara beramal yang betul. Ilmu tasauf mengajar manusia menghadap Tuhan dengan benar dalam melakukan suruhan-Nya. Bagi mereka yang cenderung dengan aliran tarekat tasauf janganlah menganggap tasauf sebagai persaingan kepada fikih atau kepada syariat itu sendiri. Pemahaman yang membedakan tasauf daripada syariat, yang mengatakan fikih itulah syariat dan tasauf adalah bidang yang tersendiri, mestilah dihapuskan. Tasauf berperanan memudahkan seseorang melakukan peraturan syariat sebagaimana yang dikehendaki oleh fikih. Fikih pula membentuk jalan yang lurus agar seseorang bisa menghadap kepada Tuhan dan menghampiri-Nya sebagaimana yang diajarkan oleh tasauf. Gabungan fikih dan tasauf membentuk syariat yang sempurna. Berfikih tanpa tasauf dibisakan bagi mendapatkan kedudukan sebagai seorang Islam tetapi bertasauf tanpa fikih tidak mungkin. Tidak mungkin mengerjakan sholat dengan niat yang betul tetapi tidak ada perbuatan sholat.
Taubat yang benar menggabungkan cara fikih dengan cara tasauf. Orang yang bertaubat melakukan sholat sunat taubat dan memperbanyakkan ucapan istighfar. Kesalahan yang berhubung dengan orang lain diselesaikan secara meminta maaf atau membayar hutang jika ada. Dia tidak mengulangi kesalahan selepas dia bertaubat. Dia tidak mendekati ruang yang bisa membawanya kepada kesalahan semula. Bagi kesalahan kepada orang lain dia perlu mendoakan kesejahteraan untuk orang itu.
Taubat yang lebih mendalam perlu kepada bimbingan orang arif yang telah melakukan taubat secara khusus. Orang arif melakukan taubat dengan penuh rasa takut kepada Tuhan. Dilihatnya dosa seumpama gunung yang akan jatuh ke atas kepalanya. Dia berasa takut dan lari kepada Tuhan memohonkan keampunan-Nya. Dia takut dicampakkan jauh daripada Tuhan. Dia takut ‘kehilangan’ Tuhan yang sangat dikasihinya. Dia takut kehilangan perhatian-Nya, cinta-Nya dan keampunan-Nya. Dia takut dan malu karena Tuhan Melihat dan Mendengar segala perbuatan dan tutur kata lidah serta hatinya. Dia takutkan azab Tuhan yang sangat keras. Ucapan yang keluar dari mulut orang yang takutkan Tuhan memberi kesan yang mendalam kepada jiwa orang yang mau bertaubat. Keadaan takutkan Tuhan itu turut menguasai jiwa orang berkenaan yang mau bertaubat itu. Perkataan yang keluar daripada hati yang bersih dan dibaluti oleh cahaya suci menyinar pada cermin hati orang yang mendengar. Hati yang menerima pancaran cahaya suci daripada orang suci akan menjadi jaga dan hidup. Hati yang hidup itu melakukan taubat dengan sebenar-benarnya.
Orang arif yang mampu membimbing orang lain memasuki pintu taubat adalah orang yang telah sampai kepada makam kehampiran dengan Tuhan. Kemudian mereka dihantar balik kepada alam rendah bagi membimbing orang lain yang berpotensi tetapi masih ada kecacatan dan kelemahan. Dalam melaksanakan tugas tersebut orang arif berjalan menurut Sunah Rasulullah s.a.w. Tugas pembimbing kerohanian berbeda daripada tugas seorang Rasul. Rasul ditugaskan menyampaikan kepada semua orang. Pembimbing kerohanian tidak mengajarkan semua orang. Mereka hanya mengambil orang-orang tertentu saja, yang dipilih untuk mengikuti latihan intensif bagi menambahkan bilangan orang arif yang akan berkhidmat kepada orang banyak. Rasul diberi kebebasan dalam melakukan tugas berdakwah tetapi pembimbing jalan kerohanian mesti mengikuti jalan rasul, tidak bisa membuat jalan sendiri. Guru kerohanian yang mengaku dirinya bebas daripada Sunah Rasulullah s.a.w, mendakwa dirinya sama dengan nabi, sebenarnya telah jatuh ke dalam kesesatan dan kekufuran. Guru kerohanian yang benar berpegang teguh kepada prinsip agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w, tidak membawa peraturan baru. Cara penyampaian mereka bisa jadi berbeda dengan cara Rasulullah s.a.w karena kebijaksanaan manusia tidak sama, tetapi perbedaan cara tidak sampai mengubah hukum dan peraturan. Orang arif yang benar mempunyai ‘kehampiran’ dengan Rasulullah s.a.w melebihi kehampirannya dengan isteri, anak dan kaum keluarga mereka. Kehampirannya adalah kehampiran kerohanian yang lebih erat daripada hubungan darah daging.
Dalam masyarakat Islam sudah banyak orang alim yang memperkatakan tentang zahir syariat yaitu ilmu fikih. Sebab itu orang arif lebih menumpukan soal batin yaitu ilmu tasauf yang menumpukan soal hati. Bidang fikih lebih bersifat umum. Satu fatwa yang dikeluarkan oleh seorang alim fikih sesuai untuk orang banyak dan kebanyakan keadaan. Bidang kerohanian bersifat persendirian. Bagi satu orang hanya ada satu saja jalan kerohanian yang sesuai untuknya. Oleh sebab itu guru kerohanian perlu ada kasyaf yang membisakannya mengarti kedudukan muridnya. Kearifan guru lebih diperlukan bagi memandu murid yang didatangi oleh jazbah atau mendapat gangguan khadam. Hanya guru yang arif mengarti jalan khusus yang sedang dilalui oleh muridnya dan dia mampu membimbing muridnya menuju matlamat dengan selamat.
22: Tarekat Tasauf
________________________________________
Motif tarekat tasauf adalah: “ Ilahi! Engkau jualah tujuanku. Keredaan Engkau jua yang daku cari ”. Tarekat tasauf menjurus sepenuhnya kepada usaha mendekatkan diri kepada Allah s.w.t, mengabdikan diri kepada-Nya sebaik mungkin dan mengenali-Nya sebagaimana layaknya. Pokok dari ajaran tarekat tasauf adalah penyucian hati. Syarat penyucian hati yang pertama adalah taubat secara zahir dan batin. Taubat zahir berkaitan dengan perkataan, perbuatan, perasaan, menghindarkan diri daripada melakukan dosa dan memperbanyakkan kebaikan. Taubat batin berkaitan dengan rohani, mengembalikan rohani kepada tahap kesuciannya yang asli.
Perkaitan rohani dengan jasad dan dunia melahirkan tenaga yang mengseret rohani lari daripada kedudukannya yang asli. Tenaga negatif itu muncul daripada nafsu. Nafsu yang asalnya bersifat baik sudah dikuasai oleh sifat-sifat buruk. Nafsu yang pada asalnya menghadap Tuhan telah berpaling menghadap kepada yang selain Tuhan. Penumpuan taubat batin adalah membawa nafsu kepada haluannya yang asal, yang menghala kepada Tuhan. Rantai yang mengseret nafsu ke arah yang salah mesti diputuskan.
Daerah-daerah nafsu perlu difahami bagi memudahkan tugas membawanya kepada arah dan matlamat yang benar. Sebelum nafsu sampai kepada arah yang benar ada tiga daerah nafsu perlu ditempuhi. Tiga daerah tersebut adalah ammarah, lawwamah dan mulhamah.
Rantai yang mengikat nafsu dalam daerah nafsu ammarah adalah yang paling kasar dan paling kuat. Pengikat nafsu dalam daerah ini adalah sifat-sifat keji separti sombong, ujub, ria dan sama'ah. Sifat-sifat tersebut membuat manusia merasakan dirinya lebih baik, lebih mulia dan lebih cerdik daripada orang lain. Dia suka menunjuk-nunjuk, suka dipuji dan suka namanya menjadi terkenal. Dalam daerah ini tidak ada nilai-nilai murni kemanusiaan dan tidak ada peraturan. Orang yang berada dalam daerah ini sangat tamakkan harta dan tidak peduli dari sumber mana harta itu diperolehinya. Apabila memperolehi harta dia menjadi bakhil. Nafsu yang berada dalam daerah ammarah ini juga kuat berdengki, berdendam dan sanggup berbuat khianat. Selain itu nafsu ammarah bertabiat suka berangan-angan. Dia merasakan apa yang dia angankan akan diperolehinya walaupun dia tidak ada kemampuan untuk berbuat demikian. Orang yang dibungkus oleh nafsu ammarah suka menggunakan dua cara penilaian. Bagi dirinya digunakan cara positif dan untuk orang lain digunakan cara negatif. Dia mengatakan orang lain mengumpat tetapi bagi dirinya, berbuat perkara yang serupa dikatakan mengatakan yang benar. Orang lain dikatakan berdengki tetapi buat dirinya dikatakan mempertahankan yang hak. Orang lain dikatakan bakhil tetapi buat dirinya dikatakan berjimat cermat. Sikap yang demikianlah membuatkan tertutup pandangannya daripada melihat kepada keburukan, kejahatan dan kecacatan yang ada dengan dirinya. Dia dikuasai oleh perasaan bahwa dialah manusia yang paling tahu dan paling sempurna. Dia merasakan syurga adalah haknya sekali pun dia tidak melakukan kebaikan. Perasaan yang demikian muncul karena sifat ammarah tidak menghalang seseorang menggunakan ilmu yang bersangkutan dengan kehidupan dunia. Ia hanya menutup ilmu tentang Tuhan dan akhirat. Kemampuan menggunakan ilmu dunia membuatkan ahli nafsu ammarah bisa berjaya dalam kehidupan, bisa menjadi cendikiawan dan pemimpin masyarakat. Dia juga bisa mempelajari ilmu agama dan menjadi alim dalam bidang tersebut. Tetapi ilmu tidak berdaya menyelamatkannya karena dia taksub dengan ilmunya. Dia menjadi marah jika mengetahui orang banyak berguru dengan orang alim yang lain. Dia suka mengeluarkan kenyataan yang merendah-rendahkan ilmu orang lain. Dia merasakan dirinya adalah ahli agama yang sempurna, ahli syurga yang tidak akan dihisab, sudah mencapai makam makrifat sementara orang lain tidak sempurna, ahli neraka dan tidak bermakrifat.
Tarekat tasauf mengajarkan manusia supaya membina kekuatan dalam berjihad menentang sifat nafsu ammarah dan membebaskan diri daripada ikatan rantainya. Kekuatan dalaman diperolehi dengan cara mengingati Allah s.w.t sebanyak mungkin. Pada peringkat permulaian ingatan kepada Allah s.w.t dilakukan dengan paksaan dan hanya berlaku secara luar saja tetapi dengan mengulangi nama-nama Tuhan, menyebutkannya kuat-kuat akan menambahkan kesadaran terhadap-Nya. Ingatan kepada Tuhan yang dilakukan secara berterusan akhirnya akan masuk ke dalam hati. Ketika itu ingatan kepada Tuhan dilakukan dalam hati, tidak perlu lagi menyebutnya kuat-kuat.
Ucapan dan ingatan kepada nama-nama Tuhan membuat hati menjadi jaga dari tidur dan sedar dari kelalaian. Hati mendapat kekuatan untuk berperang dengan tentera ammarah. Berlakulah peperangan di antara yang baik dengan yang jahat. Perjuangan ini berlaku di dalam daerah nafsu lawwamah. Senjata tentera lawwamah adalah taat kepada peraturan syariat, rajin beribadat dan menyibukkan lidah dan hati berzikir kepada Allah s.w.t. Hati yang sudah jaga daripada tidur mampu berfungsi sebagai juru nasehat kepada diri sendiri. Bila terjadi kesalahan dosa akan berdetiklah peringatan di dalam hati dan orang yang berkenaan menjadi menyesal dan bertaubat. Bila hati bertambah kuat juru nasehat dalam diri juga menjadi kuat. Ia akan menarik dirinya lari daripada dosa sebelum dosa dilakukan. Walaupun begitu, ketika berada dalam daerah lawwamah, seseorang itu masih lagi terlanjur melakukan dosa sekalipun dia berusaha mencegahnya. Ini karena sebagian daripada rantai-rantai ammarah belum lagi putus daripada daerah lawwamah. Rantai tersebut adalah ujub, ria dan samaah. Sifat kebaikan yang muncul dalam daerah lawwamah adalah mengakui kesalahan diri sendiri, menyesal dan bertaubat. Orang yang berada dalam daerah lawwamah gemar bertafakur, merenung sesuatu dan mengaitkannya dengan Kudrat dan Iradat Tuhan. Ingatannya kepada Allah s.w.t sekali sekala masuk ke dalam hati dan menerbitkan rasa kemanisan berzikir. Zikir yang telah masuk ke dalam hati menguatkan dan melembutkan hati itu. Kuat dalam melawan yang salah dan lembut dalam penyesalan terhadap kesalahan diri. Ahli nafsu lawwamah banyak menangis apabila teringatkan dosa-dosanya yang lalu. Dia juga mudah menangis ketika beribadat. Suasana hati yang menguasai ahli lawwamah ini adalah ‘takutkan Allah.’ Perhatiannya lebih tertuju kepada akhirat dan syurga daripada nikmat keduniaan. Satu sikap yang agak ketara muncul pada ahli lawwamah adalah dia bukan saja mengkeritik kesalahan dirinya malah dia juga mengkeritik kesalahan orang lain. Ini berlaku karena dia selalu memerhatikan kesalahan dirinya dan kesalahan orang lain. Dalam memerhatikan kesalahan diri dia melihat kesungguhannya bekerja menghapuskan kesalahan. Dia melihat dirinya yang bertaubat dan memohon keampunan dari Allah s.w.t. Dalam memerhatikan kesalahan orang lain dia tidak melihat mereka berbuat demikian. Perhatian yang demikian membuatnya merasakan dirinya lebih baik daripada orang lain.
Semakin jauh seseorang itu memasuki daerah lawwamah semakin kurang pengaruh ammarah pada dirinya. Apabila sampai kepada satu peringkat rantai ammarah putus daripadanya dan dia masuk ke dalam daerah nafsu mulhamah. Nafsu mulhamah adalah nafsu yang sudah bersih daripada kekotoran. Bila kekotoran tidak ada pada hati, fikiran kotor tidak datang lagi dan mengambil alih tempatnya adalah ilham bersih yang datang dari alam tinggi. Cermin hatinya yang kerap menghadap kepada alam tinggi membuatnya sering lupa kepada alam rendah. Dia menjadi tidak berminat dengan harta, berasa cukup dengan apa yang ada dan tidak berasa sayang untuk menolong orang lain dengan harta yang ada padanya. Dia juga melakukan taubat yang sungguh-sungguh dan tidak kembali lagi kepada kejahatan yang pernah dilakukannya. Dia memiliki kesabaran yang kuat dalam menghadapi bala bencana. Dia kuat berserah diri kepada Tuhan. Dia menghadap kepada Tuhan dengan rasa merendah diri dan berhajat kepada-Nya. Sifat merendah diri yang sudah lahir dalam hatinya membuatnya tidak lagi mengkeritik orang banyak sembarangan, separti yang dilakukannya ketika dalam daerah lawwamah dahulu. Dia lebih memandang orang banyak dengan pandangan simpati, bukan mengutuk. Zikirnya sudah bisa masuk ke dalam hati yang lebih dalam dan lebih seni, menguatkan rasa pergantungan kepada Allah s.w.t. Keikhlasan ahli mulhamah ini sudah bertambah kuat. Dia melakukan kebaikan bukan lagi karena ‘takutkan Allah’ tetapi semata-mata ‘karena Allah’ atau karena mau mendapatkan keredaan-Nya. Orang yang sudah berada pada tahap ini akan terus mentaati Allah s.w.t sekali pun Tuhan tidak menjadikan syurga dan neraka. Matlamatnya adalah Allah s.w.t semata-mata. Keyakinannya kepada Allah s.w.t sangat mendalam, sebab itu dia kuat melakukan tajrid, yaitu menyerahkan urusannya kepada Allah s.w.t saja, tidak kepada makhluk. Daerah mulhamah merupakan peringkat terakhir pekerjaan membawa haluan nafsu ke arah yang betul. Ia adalah sempadan terakhir bagi nafsu yang mendatang, yang menumpang nafsu asli yang suci. Oleh karena dia masih berada dalam daerah nafsu yang mendatang dia masih berkemungkinan diseret semula kepada daerah nafsu yang lebih rendah. Oleh itu kesungguhan beribadat dan kekuatan iman diperlukan agar rantai dari daerah nafsu yang lebih rendah tidak kembali menyambar dan mengikatnya.
Apabila seseorang itu keluar sepenuhnya daripada daerah nafsu yang mendatang dan masuk sepenuhnya ke dalam daerah nafsu yang asli dan haluan nafsunya sudah berada pada arah yang benar, dia masuk ke dalam daerah nafsu muthmainnah. Dia telah kembali kepada tahap yang diredai Allah s.w.t.
Wahai nafsu muthmainnah. Kembalilah kepada Tuhan engkau dalam keadaan reda meredai oleh-Nya dan masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah engkau ke dalam syurgaKu. ( Ayat 27 – 30 : Surah al-Fajr )
Jiwa muthmainnah hanya tenang dan tenteram di dalam melakukan ketaatan kepada Allah s.w.t. Perbuatan zahirnya dan kelakuan hatinya semata-mata dalam melakukan ketaatan kepada Allah s.w.t. Dia menyayangi makhluk Tuhan, suka bersedekah, tidak menyimpan harta, reda dengan ketentuan Allah s.w.t dan bertawakal kepada-Nya dalam segala perkara. Dia hidup di atas landasan takwa, kuat beribadat dan mensyukuri segala pemberian Tuhan. Dia sudah melepasi makam sabar dan masuk kepada makam reda, maka tidak ada apa lagi yang menekan jiwanya. Cahaya ketenangan muncul pada wajahnya. Dia sudah dapat mengalami Hadrat nama-nama Tuhan. Kesadaran dan ingatan terhadap nama-nama Tuhan mendatangkan kenikmatan dan kelazatan pada hatinya. Kehampirannya dengan Tuhan membuatnya merasakan dirinya senantiasa bersama-sama-Nya, maka tidak ada apa lagi yang menakutkan dan mendukacitakannya. Daerah muthmainnah ini dinamakan daerah kewalian peringkat permulaian atau wali kecil.
Manusia rohani memiliki sifat-sifat yang asli. Manusia zahir memperolehi sifat melalui percantuman dengan manusia rohani. Sifat yang muncul pada manusia zahir dinamakan sifat kemanusiaan. Apabila seseorang meninggalkan daerah-daerah ammarah, lawwamah dan mulhamah masuk ke dalam daerah muthmainnah, bermakna dia meninggalkan daerah sifat kemanusiaan dan masuk kepada sifat rohani. Kelenyapan sifat kemanusiaan dinamakan kefanaan. Bertambah kuat sifat rohani menguasainya bertambah kuat kefanaan yang dialaminya. Tertanggalnya sifat kemanusiaan dan pada masa yang sama mengalami suasana Hadrat Ilahi menyebabkan orang yang berkenaan menafikan perbuatan manusia dan menyandarkannya kepada perbuatan Tuhan. Orang yang dalam keadaan demikian menyaksikan Hadrat Tuhan menerajui sekalian alam maya ini. Oleh sebab itu dia menyerah bulat-bulat kepada pentadbiran Tuhan. Dalam daerah muthmainnah Hadrat Tuhan yang dialami oleh hati menyata sebagai Nama-nama-Nya yang banyak. Setelah dia masuk kepada daerah yang lebih mendalam hatinya mengalami keadaan di mana Hadrat nama-nama yang kelihatan banyak itu sebenarnya adalah Hadrat yang satu, yang berkuasa menentukan segala perkara, tidak ada yang lain memiliki kuasa. Daerah ini dinamakan nafsu radhiah. Suasana hati ahli nafsu radhiah adalah sangat teguh meredai apa saja takdir Tuhan. Baginya bala dan nikmat adalah sama saja, sama-sama takdir Tuhan. Orang radhiah sangat kuat merasai kehadiran kuasa ghaib mengawal segala kelakuan dan tindak-tanduknya. Perbuatan yang keluar dari dirinya berlaku secara spontan tanpa dia campurtangan sedikit pun. Keadaannya samalah separti keadaan orang yang melihat dirinya di dalam mimpi. Dia tidak ikut campurtangan dalam kelakuan dirinya yang di dalam mimpi itu. Dirinya yang di dalam mimpi melakukan sesuatu tanpa berfikir dan merancang, tidak terikat dengan dirinya yang diluar mimpi. Apabila diri yang di dalam mimpi itu menjadi sangat kuat diri yang di luar merasakan dialah yang khayalan dan diri yang di dalam mimpi itulah diri yang sebenar. Pengalaman separti inilah menyebabkan orang radhiah menafikan kewujudan dirinya dan diisbatkan kepada kewujudan Allah s.w.t. Kelakuan orang radhiah tidak lagi terpengaruh kepada fikiran, perasaan dan hukum logik. Tuturkatanya berbunga-bunga, sukar dimengarti oleh orang lain. Dia kadang-kadang mengeluarkan perkataan yang menyinggung perasaan orang lain. Biasa juga terjadi dia mengeluarkan ucapan yang pada zahirnya menyalahi syariat. Dia tidak lagi mengendahkan peraturan masyarakat. Tingkah lakunya bisa menyebabkan orang banyak menyangkakannya sudah gila. Apa yang nyata pada hatinya adalah segala perkara datangnya dari Tuhan. Dia mengembalikan segala perkara kepada Tuhan. Apa juga kebisaan dan kekeramatan yang diperolehinya disandarkan kepada Tuhan. Orang radhiah mengalami rasa ‘kegilaan kepada Allah’ pada tahap paling tinggi. Suasana hatinya diistilahkan sebagai ‘dalam Allah.’ Dia fana dalam lautan takdir.
Setelah sampai pada puncakk, derajat kefanaan mulai menurun. Peringkat kefanaan menurun ini dinamakan nafsu mardhiah. Dalam proses menaik sehingga ke radhiah seseorang itu terpisah daripada sifat kemanusiaan dan kewujudan alam maya. Apabila sampai kepada daerah mardhiah dia kembali melihat kepada apa yang terpisah daripadanya sewaktu menaik dahulu. Dia sudah bisa melihat sifat kemanusiaan yang menumpang wujud rohani dan sudah merasakan memiliki keupayaan untuk menggunakan sifat dan bakat tersebut. Bila sifat kemanusiaan sudah kembali dia kembali menyaksikan kewujudan alam maya dan makhluk di sekelilingnya. Ketika masih hampir dengan daerah radhiah, walaupun dia sudah berada dalam daerah mardhiah, kesan kefanaan belum terhapus sepenuhnya dari hatinya. Penyaksiannya terhadap makhluk tidak menetap. Kadang-kadang penyaksiannya melampaui makhluk. Kemudian makhluk datang kembali kepada pandangannya. Begitulah keadaannya sehingga dia sampai kepada penetapan nafsu mardhiah, di mana pandangannya tidak terbalik lagi. Dirinya, sifat dan bakatnya dan makhluk sekaliannya menjadi tetap dalam kesadarannya. Dia masuk ke dalam suasana yang diistilahkan sebagai baqa atau kekal dengan Allah s.w.t. Dalam suasana tersebut hatinya kekal dengan Allah s.w.t walaupun zahirnya bercampur dengan orang banyak. Walaupun dia sudah bisa bergaul dengan orang banyak tetapi dia lebih suka bersendirian dan tidak mau bercakap atau melakukan sesuatu yang sia-sia. Dia sudah bisa mengatur kehidupan hariannya. Ucapan yang menyalahi syariat tidak keluar lagi dari mulutnya.
Dalam daerah mardhiah seseorang itu mendapat kesadaran sepenuhnya tentang keaslian rohaninya. Perjalanan kerohanian bukanlah perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia merupakan perubahan kesadaran mengenai hakikat dirinya sehinggalah dia memperolehi kesadaran sepenuhnya tentang keaslian dirinya. Dalam melalui proses perubahan kesadaran itu dia mendapat pengetahuan tentang Tuhan. Dia juga memperolehi kesadaran mengenai roh yang paling latif yang dipakaikan dengan tubuh badan yang nyata. Orang mardhiah yakin bahwa dia diciptakan untuk sesuatu tujuan yang khusus tetapi dia belum menerima amanah untuk memikul tugas berkenaan. Oleh itu keadaannya adalah umpama orang yang sedang menunggu kenderaan di stesen. Sementara kenderaan yang akan membawanya pergi ke tempat yang khusus sampai dia melakukan sesuatu pekerjaan secara ala kadar saja. Dia melakukan sesuatu dengan persediaan untuk meninggalkannya apabila datang ‘perintah’ untuk pergi ke satu tempat yang muktamad kelak. Suasana hati yang beginilah membuatkan orang mardhiah kembali kepada kehidupan dunianya tanpa sesuatu matlamat yang jelas. Sebenarnya kesan kefanaan yang sangat kuat pada peringkat radhiah masih menguasai hatinya. Kesan tersebut membuatnya masih ‘menanti-nantikan’ sesuatu yang dia sendiri tidak pasti. Masih ada tarik menarik di dalam hatinya di antara kesadaran kerohanian yang diperolehinya dengan kesadaran kemanusiaan yang dikembalikan kepadanya. Dia adalah umpama seorang yang keberatan untuk memasuki rumahnya yang telah lama ditinggalkannya dan rumah itu gelap gelita. Dia akan terus berkeadaan demikian sehinggalah dia menyedari bahwa dirinya sudah ada cahaya yang mampu menerangi rumah gelap tersebut. Apabila dia telah menerima rumahnya dengan sepenuh jiwa raga dan dia memasuki rumah itu, akan memancarlah di dalamnya cahaya yang terang benderang. Dia mulai bekerja di dalam rumah tersebut. Keadaannya seumpama Adam a.s yang reda dengan bumi ini menjadi tempat kediamannya, tempat kematiannya dan tempat dibangkitkan.
Rohani yang terang benderang telah menerima jasad yang gelap gelita, maka sempurnalah kejadian insan. Adam a.s telah menerima bumi sebagai tempat kediamannya, maka sempurnalah tujuan penciptaan Adam a.s. Orang kerohanian melalui berbagai-bagai peringkat kerohanian. Apabila rohaninya menerima jasadnya sempurnalah kejadiannya. Apabila dirinya yaitu rohani yang berkamil dengan jasad, menerima penghidupan di dalam dunia sempurnalah perjalanannya. Tidak ada lagi yang dinanti-nantikannya dan tidak ada perintah lagi yang ditunggunya. Dunia inilah daerah kekhalifahannya dan al-Quran itulah perintah yang sudah siap termetri. Orang kerohanian masuk ke dalam daerah nafsu kamaliah atau kesempurnaan nafsu dengan doa:
Dan katakanlah: “Wahai Tuhanku! Masukkan daku dengan kemasukan yang baik dan keluarkan daku dengan keluaran yang baik dan jadikanlah untukku langsung dari Engkau satu kekuasaan yang menolong”. Dan katakanlah: “Telah datang kebenaran dan telah lenyap kebatalan; sesungguhnya yang batal itu pastilah dilenyapkan”. ( Ayat 80 & 81 : Surah al-Israa’ @ Bani Israil )
Orang kerohanian yang telah kembali kepada keaslian rohaninya, kemudian dihantar semula ke tempat dia bermulai, yaitu kehidupan dunia, dipelihara oleh Allah s.w.t daripada dirosakkan oleh kehidupan dunia. Dia kembali kepada kesadaran kemanusiaan dan kehidupan dunia sebagai nafsu muthmainnah, nafsu yang paling sempurna dan sesuai untuk kehidupan di bumi. Bumi yang menjadi tempat kembalinya itu adalah seumpama bumi yang diciptakan semula oleh Tuhan setelah berlaku kiamat.
Pada hari yang akan diganti bumi ini dengan bumi lain dan semua langit juga, dan akan tampil mereka ke hadapan Tuhan, Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan akan engkau lihat orang-orang yang berdosa itu terikat dengan belenggu-belenggu. ( Ayat 48 & 49 : Surah Ibrahim )
Manusia pilihan yang diturunkan kepada penghidupan dunia setelah dinaikkan kepada tempat asalnya, merupakan khalifah Tuhan yang bertugas memakmurkan bumi dan melaksanakan perintah Allah s.w.t. Golongan yang tidak mengarti akan mencoba untuk mengganggu pekerjaan mereka tetapi pertolongan dari Tuhan membelenggu musuh mereka hinggakan dunia ini tidak lagi berupaya mencederakan mereka. Setelah tugas mereka di bumi sempurna mereka akan kembali kepada Tuhan dalam keadaan reda meredai.
Para khalifah Tuhan diperkuatkan dengan pertolongan yang langsung daripada-Nya.
Dia campakkan Roh dari urusan-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki dari kalangan hamba-hamba-Nya. ( Ayat 15 : Surah Mu’min )
Dan Kami telah perkuatkan dia (Isa) dengan Roh Kudus. ( Ayat 87 : Surah al-Baqarah )
Khalifah Tuhan berkecimpung dalam kehidupan masyarakat sebagaimana anggota masyarakat yang lain. Kerja utama mereka adalah membimbing manusia ke jalan Allah s.w.t. Di damping itu mereka menjalankan kewajiban terhadap diri dan keluarga.. Mereka melakukan pekerjaan karena mentaati Allah s.w.t. Khidmat mereka kepada masyarakat adalah khidmat mereka kepada Tuhan. Kasih mereka kepada Tuhan disebarkan kepada makhluk Tuhan. Ketaatan mereka kepada Tuhan ditunjukkan dengan memberi bantuan kepada makhluk Tuhan. Mereka adalah wakil Tuhan yang bertugas hal ihwal makhluk Tuhan. Itulah pekerjaan Adam a.s dan keturunannya yang dipilih dari masa ke masa untuk meneruskan pekerjaan tersebut.
Daerah-daerah nafsu merupakan stesen kerohanian di sepanjang perjalanan. Stesen kerohanian tidak seharusnya dipandang sebagai makam ketinggian dan kemuliaan. Tuhan tidak melihat kepada stesen kerohanian tetapi Dia melihat kepada takwa. Takwa yang sebenar hanya bisa disempurnakan dalam kehidupan dunia, di tengah-tengah masyarakat, bukan dalam kerohanian yang memisahkan seseorang dengan orang banyak. Manusia yang paling mulia, yaitu Nabi Muhammad s.a.w sangat aktif dalam kegiatan masyarakat dan kehidupan harian.
Selain daripada mengajarkan perjalanan kerohanian melalui daerah-daerah nafsu, tarekat tasauf juga mengajarkan perkembangan kesadaran kerohanian melalui berbagai-bagai peringkat kebatinan. Suasana kebatinan itu dinamakan Latifah Rabbaniah, yaitu unsur seni yang ghaib yang termasuk dalam urusan Tuhan yang tidak mampu difikirkan. Latifah Rabbaniah yang tergolong sebagai Diri Batin adalah Latifah -latifah Kalbu, Roh, Sir, Khafi, Akhfa, Nafsu Natiqah dan Kullu Jasad.
Latifah Kalbu adalah hati nurani. Ia menjadi raja yang memerintah sekalian anggota dan tubuh manusia. Ia menjadi induk bagi semua latifah yang lain. Kalbu atau hati itulah yang menjadi tilikan Allah s.w.t. Jika baik hati akan baiklah sekalian anggota. Hati yang seni dan ghaib dikaitkan dengan hati sanubari, yaitu jantung yang terletak dalam dada sebelah kiri, kira-kira dua jari di bawah tetek. Jika diletakkan jari pada tempat tersebut bisa dirasakan denyutannya. Denyutan jantung memberi peringatan kepada manusia bahwa dia masih hidup karena sokongan daripada Latifah Kalbu yang menjadi bekas menerima kurniaan Allah s.w.t. Kalbu atau hati seni dibungkus oleh alam perasaan yang berbolak-balik, tidak menetap. Kesungguhan beribadat dan berzikir membebaskan Latifah Kalbu daripada hijab alam perasaan yang menutupinya. Bila Latifah Kalbu telah bebas daripada tutupan alam perasaan ia akan menghadap kepada alam ghaib dan menerima ilham yang bebas daripada bisikan syaitan. Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Kalbu membuat hati merasakan jalinan yang erat dan unik dengan Kenabian Adam a.s atau dikatakan hati mengalami suasana Hakikat Adamiyah. Perjalanan Adam a.s menjadi iktibar untuk hati bertaubat dan membersihkannya daripada segala kekotoran. Kesadaran kerohanian yang berhubung erat dengan kenabian Adam a.s itu juga membuka kepemahaman tentang perjalanan hukum sebab dan akibat. Kepemahaman mengenainya membuat seseorang mengkagumi perjalanan kehidupan yang sangat rapi telah diaturkan untuknya oleh Tuhan Yang Maha Mentadbir. Kesadaran tersebut menambahkan keyakinannya kepada bimbingan yang datang dari Tuhan. Hatinya menjadi bertambah kuat untuk kembali kepada Tuhan dan dia bermujahadah untuk mendapatkan keredaan-Nya. Keasyikan dalam suasana latifah sering membuat mata hati menyaksikan cahaya dan warna dalam alam ghaib. Keasyikan dalam Latifah Kalbu membawa seseorang menyaksikan cahaya berwarna kuning yang bergemerlapan. Cahaya latifah yang disaksikan bukanlah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukanlah Tuhan. Ia mesti dinafikan dengan membanyakkan ucapan: “La ilaha illa Llah ”.
Latifah Kalbu adalah umpama ruang yang besar, terdapat dalamnya berbagai-bagai latifah lagi. Tahap kesadaran latifah yang lebih mendalam dinamakan Latifah Roh, dikenali sebagai Roh Hewani. Latifah Roh atau Roh Hewani itu dihijabkan oleh sifat-sifat keji yang dipanggil sifat binatang jinak. Sifat ini mengseret manusia kepada jalan memuaskan nafsu syahwat separti hewan, tanpa menghiraukan akibat dan dosa. Sifat binatang jinak inilah yang membuat manusia berani melakukan kesalahan walaupun orang lain yang telah membuat kesalahan yang sama telah pun menerima padahnya. Orang lain yang telah mati karena penyakit aids tidak menakutkan binatang jinak untuk terus berbuat maksiat. Orang lain yang sudah kena gantung karena menjual dadah tidak menakutkan binatang jinak untuk terus menjual dadah. Memang sifat binatang tidak mengenal dosa dan tidak takut kepada penyakit. Tenaga ibadat dan zikir yang masuk ke dalam daerah Latifah Roh akan menghancurkan sifat binatang jinak itu. Bila sifat tersebut telah hancur akan muncullah sifat Latifah Roh yang asli, yaitu gemar beribadat, kuat bertawakal dan reda dengan takdir Tuhan. Kesadaran pada tahap Latifah Roh ini membuatkan seseorang melakukan ibadat dan berzikir dengan banyaknya tanpa berasa penat dan jemu. Dalam daerah ini juga muncul hubungan kerohanian dengan Kenabian Ibrahim a.s dan Nuh a.s. ‘Pertemuan’ dengan Hakikat Ibrahimiyah dan Nuhiyah menguatkan kesanggupan seseorang untuk berjuang dan berkorban demi mendapatkan keredaan Allah s.w.t. Keasyikan dalam daerah Latifah Roh ini membawa mata hati menyaksikan cahaya yang berwarna merah yang gilang gemilang. Cahaya latifah ini juga bukanlah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan memperbanyakkan ucapan : “La ilaha illa Llah ”.
Setelah melepasi daerah Latifah Roh seseorang mengalami pula suasana kerohanian dalam daerah Latifah Sir atau dinamakan Roh Insani. Latifah Sir atau Roh Insani ini dihijab oleh sifat buruk yang dinamakan sifat binatang buas. Sifat tersebut mendorong manusia bermusuhan sesama sendiri, melakukan kezaliman, berdendam dan saling membenci. Apabila sifat binatang buas ini berkuasa akan berlakukah penganiayaan, penindasan dan kezaliman yang tidak berperi kemanusiaan terhadap sesama manusia. Sifat binatang buas ini mesti dihancurkan dengan tenaga ibadat dan zikir. Bila sifat binatang buas telah hancur akan muncullah sifat Latifah Sir yang asli yaitu mencintai Allah s.w.t dengan teramat sangat. Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Sir inilah yang sering membuat hati gilakan Allah s.w.t hingga ke tahap tidak rasional. Dalam daerah ini juga terjalin hubungan kerohanian dengan Kenabian Musa a.s. Hakikat Musawiyah membawanya merasai kehampiran dengan Allah s.w.t dan merasai nikmat Cinta Ilahi. Keasyikan dalam daerah ini membawa mata hati menyaksikan cahaya berwarna putih yang bergemerlapan. Cahaya latifah ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, mesti dinafikan dengan ucapan: “La ilaha illa Llah ” sebanyak mungkin.
Seterusnya hati mengalami suasana Latifah Khafi. Latifah ini dihijabkan oleh sifat syaitaniah yang menerbitkan perasaan dengki, khianat dan busuk hati. Apabila tenaga ibadat dan zikir yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh berjaya menghancurkan sifat syaitaniah, akan muncullah sifat latifah yang asli yaitu sabar, syukur, reda dan tawakal yang sebenarnya. Kesadaran pada tahap Latifah Khafi membuat seseorang mengalami hubungan kerohanian dengan Kenabian Isa a s atau Hakikat Isaiyah. Kesadaran dalam daerah ini menambahkan kekuatan rohani untuk menghampiri Allah s.w.t dan pada tahap latifah ini juga selalu muncul perkara yang luar biasa separti kebisaan mengobati penyakit dan mempunyai firasat yang tajam, walaupun bidang tersebut tidak pernah dipelajarinya. Keasyikan dalam Latifah Khafi membawa seseorang menyaksikan cahaya hitam yang tidak terhingga. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan. Ia mesti dinafikan dengan memperbanyakkan ucapan: “La ilaha illa Llah ”.
Kesadaran kebatinan seterusnya dinamakan Latifah Akhfa yang dihijab oleh sifat Rabbaniah (ketuhanan) yang tidak layak dipakai oleh makhluk. Sifat tersebut melahirkan rasa sombong, ujub dan ria. Apabila tenaga ibadat dan zikir berjaya membebaskan Latifah Akhfa daripada sifat Rabbaniah akan muncullah sifat kebaikan separti ikhlas dan tawaduk yang sebenarnya. Kesadaran dalam daerah ini membuat seseorang gemar bertafakur. Dalam kesadaran latifah ini juga lahir hubungan kerohanian yang erat dengan Kenabian Muhammad s.a.w atau Hakikat Muhammadiah. Orang berkenaan akan mengalami rasa kasih, keasyikan dan kerinduan yang bersangatan terhadap Rasulullah s.a.w. Ucapan selawat merupakan ucapan yang sangat merdu dan mengasyikkan. Keasyikan terhadap Rasulullah s.a.w dalam daerah Latifah Akhfa ini juga membuat seseorang mengalami suasana ‘pertemuan’ dengan rohani Rasulullah s.a.w sama ada dalam mimpi atau pun dalam jaga. Hakikat Muhammadiah membawa seseorang memasuki suasana Cinta Allah s.w.t yang lebih halus dan lebih seni serta memperolehi muraqabah atau berhadap kepada Allah s.w.t semata-mata, tidak kepada selain-Nya. Keasyikan pada latifah ini juga membawa seseorang menyaksikan cahaya berwarna hijau yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan ucapan : “La ilaha illa Llah ”.
Latifah seterusnya dinamakan Latifah Nafsu Natiqah. Latifah ini juga dikenali sebagai diri yang bisa berfikir. Nafsu Natiqah dihijab oleh sifat ammarah yang banyak membentuk khayalan dan melahirkan penyakit panjang angan-angan. Dalam daerah inilah gambar-gambar yang disukai oleh nafsu syahwat ditayangkan. Keinginan kepada kesenangan dan keseronokan dunia berpuncak daripada daerah ini. Apabila tenaga ibadat dan zikir berjaya menghapuskan sifat ammarah, akan muncullah suasana hati yang tenteram dan fikiran yang tenang. Gambaran, khayalan dan fikiran jahat yang selalu mengganggu orang yang sedang bersholat tidak ada lagi apabila sifat ammarah pada Nafsu Natiqah sudah terhapus. Keasyikan dalam kesadaran Nafsu Natiqah membawa seseorang menyaksikan cahaya yang berwarna ungu yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan sebanyak mungkin dengan ucapan: “La ilaha illa Llah ”.
Latifah yang terakhir dikenali sebagai Latifah Kullu Jasad yang meliputi seluruh tubuh. Latifah ini dihijab oleh sifat jahil dan lalai. Apabila hijab tersebut berjaya dihapuskan oleh tenaga ibadat dan zikir akan muncullah sifat berilmu dan beramal. Tenaga zikir yang berjalan lancar dalam daerah ini dapat dirasakan mengalir ke seluruh tubuh, dari hujung rambut sampai ke hujung kaki, menyerap ke segenap rongga dalam tubuh badan, bercampur dengan darah, daging, tulang, sumsum dan seluruh maujud. Suasana yang demikianlah dikatakan seluruh tubuh berzikir. Keasyikan dalam latifah ini membawa seseorang menyaksikan cahaya yang gilang gemilang tidak dapat dihinggakan dan ditentukan warnanya. Cahaya ini, separti juga cahaya-cahaya yang lain, bukanlah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan dan perlu dinafikan dengan ucapan: “La ilaha illa Llah ”.
Tujuan tarekat tasauf adalah membawa hati keluar daripada hijab kegelapan dan masuk ke dalam cahaya yang terang benderang. Dalam dunia ini benda-benda nyata bisa disaksikan karena ada cahaya nyata separti matahari, bulan dan lampu. Perkara dunia yang abstrak dapat disaksikan melalui cahaya akal. Alam ghaib pula disaksikan melalui cahaya latifah. Walaupun cahaya latifah muncul sebentar saja dalam pandangan mata hati namun ia memadai untuk menerangi perjalanan menuju stesen kerohanian yang berikutnya. Apabila seseorang mencapai baqa semua cahaya tidak mempunyai warna, maka tidak ada penyaksian terhadap cahaya, tetapi hati masih dapat merasakan suasana yang terang benderang menerangi perjalanannya sehingga dia tidak berasa keliru atau ragu-ragu. Cahaya-cahaya alam kerohanian memandu seseorang untuk sampai ke Hadrat Ilahi. Suasana Hadrat Ilahi adalah makam ihsan, yaitu merasai kehadiran Tuhan dalam segala keadaan dan pada setiap ketika. Orang yang sampai kepada pengalaman yang demikian mengarti maksud firman Allah s.w.t:
Allah jualah Cahaya bagi langit dan bumi. ( Ayat 35 : Surah an-Nur )
Nur Allah s.w.t adalah Hadrat-Nya atau kehadiran-Nya yang dapat dirasakan oleh hati yang berkait rapat dengan rohnya yang asli. Nur Allah s.w.t bukanlah cahaya yang bisa difikirkan, digambarkan atau dikhayalkan. Maksud melihat Nur Allah s.w.t adalah merasakan kehadiran-Nya. Apa juga cahaya yang disaksikan dalam alam ghaib adalah cahaya yang Dia gubah sebagai menarik hamba-hamba-Nya agar terus berjalan sehingga sampai kepada matlamat yang dituju. Matlamat yang terakhir hanya bisa ditemui dan dicapai melalui suluhan cahaya kebenaran yang sejati.
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu Roh dari urusan Kami. Padahal tidaklah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman. Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di semua langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Wahyu adalah cahaya kebenaran yang sejati, dijadikan nur yang memberi petunjuk yang dengannya segala urusan sampai kepada Allah s.w.t.
23: Contoh Pengalaman Kerohanian
________________________________________
Orang-orang yang meminati tarekat tasauf sangat ingin mengetahui pengalaman kerohanian dan penyaksian yang terjadi kepada orang sufi. Penerangan mengenai perkara tersebut sukar diperolehi. Buku-buku tasauf hanya menceritakan tentang perjalanan kerohanian secara umum. Kadang-kadang diolah dengan cara yang sukar dimengarti, dicampur pula dengan istilah-istilah yang belum pernah didengar. Banyak perkara dibungkus dengan istilah Rahsia; Rahsia Tuhan, Rahsia Insan dan berbagai-bagai Rahsia lagi. Ada pula yang menceritakan pengalaman secara berteka-teki, digunakan uraian yang samar-samar. Semua itu dilakukan dengan alasan orang awam tidak akan mengarti perkara kerohanian yang mendalam. Perkara khusus hanya bisa diperkatakan dalam majlis yang menjadi ahli saja. Ada guru-guru yang tarekat melarang murid-muridnya bercakap mengenai perkara kerohanian dengan orang yang berlainan aliran tarekat.
Apabila intisari pengalaman kerohanian tidak didedahkan, orang banyak yang berminat dalam bidang tersebut mudah terdorong untuk membuat andaian sendiri. Sebagian mereka menyangkakan ilmu yang diajar secara bersembunyi itulah ilmu yang benar dan ilmu yang diajar secara terbuka tidak sampai kepada kebenaran yang sejati. Dalam alam yang tersembunyi itulah muncul berbagai-bagai ajaran yang kedengaran daripada jauh sebagai ajaran sesat. Apabila dipanggil oleh pihak yang berkuasa pengamal ajaran berkenaan menafikan penglibatan mereka dengan ajaran tersebut. Mereka mengaku menjadi pengikut Ahli Sunah wal Jamaah. Bila dibebaskan mereka kembali semula kepada alam persembunyian mereka. Murid-murid mereka diberitahu bahwa ilmu mereka adalah ilmu wali-wali, hanya wali saja bisa mendengar pengajarannya, tidak bisa didedahkan kepada orang yang tidak berjalan pada jalan wali, walaupun mereka adalah pihak yang berkuasa. Alam persembunyian mereka tetap tinggal kukuh. Tidak dapat dipastikan berapa banyak tuhan-tuhan yang muncul dalam alam persembunyian tersebut. Akibatnya tarekat tasauf yang benar dengan tarekat yang sesat sukar dikenalpasti. Di kalangan orang banyak pula mulai timbul anggapan serong terhadap orang-orang yang bertarekat tasauf, terutamanya yang memakai jubah. Guru ajaran sesat digambarkan sebagai orang yang berjubah dan berserban. Orang alim pula digambarkan sebagai berpakaian ‘bush jacket’ dan ‘coat’. Ahli tarekat yang benar tidak diterima dengan baik karena mereka memakai jubah. Inilah yang berlaku apabila tarekat yang sesat berselindung di sebalik jubah dan serban, dan aktiviti mereka tidak didedahkan.
Dalam menangani masalah penyakit aids, orang banyak didedahkan secara meluas kepada pengetahuan mengenai puncak dan tanda-tanda penyakit tersebut. Dalam menangani penyakit sosial yang melibatkan seks, sudah ada usaha menyebarkan pendidikan seks secara terbuka. Penyakit aids dan pengamal seks yang tersalah langkah berpeluang menceritakan pengalaman mereka secara terbuka. Tindakan berani orang-orang yang bersalah dan menyesal itu sedikit sebanyak memberi kesan kepada orang banyak.
Di antara semua penyakit, termasuklah penyakit aids, dadah, seks dan semua penyakit, penyakit yang paling besar dan paling merbahaya adalah penyakit sesat akidah. Penyakit lain mungkin menerima pengampunan Tuhan, sekiranya Dia kehendaki, tetapi penyakit sesat akidah tidak diampunkan-Nya. Jika orang lain berpeluang memasuki syurga selepas dicuci di dalam neraka, tetapi orang yang sesat akidah tidak berpeluang meninggalkan neraka. Oleh karena penyakit ini merugikan manusia di dunia dan di akhirat, usaha membenterasnya mestilah dilakukan sehingga ke akar umbinya. Salah satu kubu persembunyian mereka adalah bagian kesamaran dalam ajaran tarekat tasauf. Kubu ini mesti diperuntuhkan dengan memperjelaskan apa yang samar supaya tidak ada lagi alasan yang batal bersembunyi di sebalik yang benar. Pendukung ajaran tarekat yang benar berkewajiban melindungi akidah orang banyak daripada fitnah yang ditaburkan oleh nabi-nabi palsu, wali-wali palsu dan guru-guru palsu yang berselindung di sebalik nama tarekat kewalian.
Pengalaman kerohanian, separti penyaksian terhadap cahaya-cahaya perlu diperjelaskan agar tidak timbul anggapan bahwa Tuhan adalah cahaya dengan warna yang tertentu. Pengalaman yang dilalui oleh Syeikh Ahmad Sirhindi dimuatkan di sini untuk dijadikan iktibar oleh orang yang terpengaruh dengan ajaran sesat yang mempertuhankan cahaya. Syeikh Ahmad Sirhindi, keturunan Umar al-Khattab, dilahirkan di India. Beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang tarekat tasauf. Beliau telah menceritakan pengalaman kerohanian beliau.
Apabila Syeikh Ahmad memutuskan untuk mengikuti jalan kesufian beliau telah pergi kepada mursyid tarekat Naqsabandiah yang bernama Syeikh Muhammad al-Baqi. Syeikh Muhammad menjadi pembimbing Syeikh Ahmad melalui semua peringkat kerohanian. Syeikh Muhammad mentalkinkan zikir Ilmul Zat, yaitu kalimah Allah kepada Syeikh Ahmad. Mursyid Naqsabandiah itu menjuruskan perhatian kerohanian beliau kepada Syeikh Ahmad sehinggalah Syeikh Ahmad mengalami kegairah dan kelazatan yang amat sangat. Beliau juga mengalami rasa kepiluan yang bersangatan sehingga beliau menangis dengan bersungguh-sungguh. Setelah satu hari mengamalkan zikir Ismul Zat, Syeikh Ahmad dikuasai oleh rasa penafian dan kelenyapan diri. Dalam suasana kerohanian yang demikian beliau menyaksikan laut yang sangat luas. Beliau menyaksikan segala sesuatu sebagai bayang-bayang dalam laut tersebut. Pengalaman demikian menjadi bertambah kuat, mendalam dan cemerlang sehingga memukau jiwa beliau. Beliau mengalami suasana tersebut beberapa lama, kadang-kadang berlarutan sampai satu suku hari, kadang-kadang sehingga separuh hari dan kadang-kadang sampai satu hari penuh. Syeikh Ahmad melapurkan pengalaman beliau itu kepada Syeikh Muhammad. Syeikh Muhammad menjelaskan bahwa apa yang telah dialami oleh Syeikh Ahmad itu merupakan sejenis pengalaman fana dan Syeikh Ahmad dinasehatkan supaya menjaga penyingkapan itu.
Syeikh Ahmad meneruskan latihannya. Dua hari kemudian beliau mengalami fana yang lebih teratur. Beliau meneruskan latihan sebagaimana yang diajarkan oleh mursyidnya. Seterusnya beliau mencapai fana dalam fana. Syeikh Ahmad melapurkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad. Mursyidnya itu bertanyakan sama ada Syeikh Ahmad menyaksikan seluruh alam ini sebagai satu kewujudan dan adakah beliau mendapati kewujudan tersebut bersatu dengan Yang Satu. Syeikh Ahmad memperakui bahwa demikianlah yang beliau telah alami. Mursyidnya menjelaskan bahwa fana dalam fana yang sebenar adalah walaupun disaksikan penyatuan tetapi seseorang itu masuk ke dalam suasana ketidak-sedaran sehingga fana itu sendiri tidak ada dalam kesadarannya. Syeikh Ahmad meneruskan latihannya dan pada malam itu beliau mengalami suasana fana separti yang digambarkan oleh mursyidnya. Beliau melapurkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad, termasuklah pengalaman beliau sebelum memasuki fana. Beliau melapurkan bahwa beliau mendapat ilmu secara langsung dari Tuhan. Beliau juga mendapati sifat-sifat yang menjadi miliknya adalah juga milik Tuhan. Selepas peringkat tersebut beliau maju lagi. Beliau menyaksikan satu cahaya yang membungkus segala sesuatu. Cahaya tersebut berwarna hitam. Beliau menyangkakan apa yang beliau saksikan itu adalah Tuhan. Mursyid beliau menjelaskan apa yang telah beliau alami itu adalah menghadap kepada Tuhan di sebalik hijab cahaya. Ia kelihatan karena perkaitan Zat Yang Maha Suci dengan alam kebendaan, tetapi ia mesti dinafikan. Selepas penafian itu Syeikh Ahmad mendapati cahaya hitam yang membungkus segala sesuatu itu mulai mengecil sehingga menjadi satu titik yang sangat halus. Mursyidnya menyuruhnya menafikan juga titik hitam yang halus itu supaya beliau bisa sampai kepada suasana keheranan. Syeikh Ahmad mematuhi arahan mursyidnya itu dan titik hitam yang halus itu pun lenyap. Beliau dikuasai oleh suasana keheranan. Dalam suasana keheranan itulah Syeikh Ahmad mendapati Tuhan hanya kelihatan kepada Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri. Mursyidnya mengsahkan bahwa apa yang dialami oleh Syeikh Ahmad itu adalah suasana kehadiran yang dicari dalam tarekat Naqsabandiah. Ia dinamakan nisbat bagi tarekat Naqsabandiah. Ia juga dipanggil kehadiran Tuhan secara tiada rupa, bentuk, sifat dan lain-lain. Tahap inilah menjadi tujuan pencarian.
Maksud nisbat adalah hubungan dengan Tuhan yang tidak putus walau sedetik pun. Nisbat yang jarang terjadi ini dikurniakan kepada Syeikh Ahmad dalam masa dua bulan beberapa hari selepas beliau ditalkinkan oleh Syeikh Muhammad. Selepas tahap nisbat satu lagi bidang fana dikurniakan kepada beliau. Beliau meyakini bahwa fana pada tahap ini adalah fana hakiki. Dalam kefanaan yang demikian beliau menyaksikan hati beliau menjadi besar, menjadi tersangat besar hinggakan seluruh alam termasuklah al-Kursi dan al-Arasy hanyalah seumpama sebiji sawi jika dibandingkan dengan hatinya. Selepas peringkat ini beliau menyaksikan dirinya dan segala sesuatu sebagai Tuhan. Kemudian beliau melihat segala sesuatu dari alam ini menjadi satu dengan dirinya dan dirinya menjadi satu dengan segala sesuatu. Beliau menyaksikan seluruh alam tersembunyi dalam sebiji zarah yang halus. Kemudian pengalaman beliau berubah pula. Beliau menyaksikan zarah dirinya membesar hinggakan beberapa alam bisa diisi di dalamnya. Beliau menyaksikan dirinya atau satu zarah sebagai cahaya yang membesar, memasuki setiap zarah kewujudan sehingga semua rupa dan bentuk alam hilang lenyap di dalamnya. Selepas itu beliau mendapati dirinya atau satu zarah, menanggung alam atau menjadi pasak alam. Mursyidnya menyatakan suasana demikian adalah peringkat haqqul yaqin dalam tauhid, peringkat bersatu dalam kesatuan.
Selepas peringkat di atas, berlaku pula pengalaman yang berbeda daripada pengalaman penyatuan. Dahulunya Syeikh Ahmad menyaksikan segala sesuatu sebagai Tuhan tanpa ada sebarang perbedaan. Bila memasuki peringkat yang baru ini beliau mendapati segala sesuatu pada alam bukanlah bersatu dengan Tuhan, tetapi hanyalah bentuk khayalan. Penyatuan hanya berlaku dalam penyaksian mata hati semata-mata. Beliau masuk kepada suasana keheranan yang menyeluruh. Pada ketika itu beliau teringatkan kata-kata Ibnu Arabi dalam kitab Fusus: “Jika kamu suka kamu bisa panggilnya yang diciptakan atau jika kamu suka kamu bisa panggilnya Tuhan dalam satu aspek dan makhluk dalam aspek yang lain. Kamu bisa juga mengatakan yang kamu tidak mampu membedakan keduanya”. Keterangan dari kitab Fusus itu mententeramkan jiwa Syeikh Ahmad. Bila berkesempatan beliau melapurkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad. Mursyid itu memberitahu bahwa Syeikh Ahmad mengalami suasana kehadiran Tuhan tetapi secara tidak jelas. Beliau dinasehatkan supaya meneruskan latihan agar wujud bisa dibedakan daripada khayali. Syeikh Ahmad bertanya kepada mursyidnya mengenai keterangan Ibnu Arabi berhubung pengalaman yang telah dialaminya. Syeikh Muhammad menjelaskan bahwa Ibnu Arabi tidak menceritakan suasana yang sempurna yang berbeda dengan pemahaman satu wujud, karena kebanyakan sufi tidak melepasi peringkat menyaksikan tidak ada perbedaan di antara Tuhan dengan alam. Jika mereka melepasi peringkat tersebut mereka akan menyaksikan perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk.
Syeikh Ahmad meneruskan latihannya. Dalam masa dua hari beliau dikurniakan pengalaman yang memperlihatkan perbedaan di antara Wujud yang sebenar dengan wujud khayali. Beliau mendapati sifat, tindakan dan kesan yang muncul pada wujud bayangan (khayali) sebenarnya datang dari Tuhan. Beliau menyedari sepenuhnya bahwa sifat dan perbuatan tersebut sebenarnya bayangan atau khayalan sepenuhnya dan tiada yang maujud melainkan Tuhan. Mursyidnya menerangkan bahwa beliau sudah sampai kepada peringkat mengalami suasana perbedaan selepas penyatuan, yaitu selepas menyaksikan Wujud Tuhan dan wujud hamba bersatu sebagai satu wujud, beliau melepasi peringkat tersebut dan menyaksikan Wujud Tuhan sebenarnya berbeda daripada wujud hamba. Peringkat ini merupakan tahap terakhir pencapaian manusia. Selepas peringkat ini seseorang itu akan memahami dan menyedari tujuan dia diberi bakat-bakat yang perlu. Inilah peringkat kesempurnaan.
Syeikh Ahmad Sirhindi meringkaskan perjalanan kerohanian beliau. Bila beliau dibawa kepada peringkat kesadaran sesudah mabuk, baqa sesudah fana dan melihat kepada setiap zarah kewujudan dirinya, beliau tidak melihat sesuatu melainkan Allah s.w.t dan beliau temui ‘cermin’ untuk ‘menanggung’ Tuhan. Kemudian beliau dibawa meninggalkan peringkat tersebut. Beliau masuk ke dalam suasana keheranan. Bila beliau kembali kepada dirinya beliau dapati Tuhan dan segala yang maujud berada dalam dirinya. Kemudian beliau dibawa lagi ke dalam suasana keheranan. Selepas itu kesadaran beliau dikembalikan semula dan beliau mendapati Tuhan bukan satu dengan alam, tetapi tidak juga berpisah. Pada peringkat permulaiannya beliau menyaksikan Tuhan sebagai meliputi dan menyertai sesuatu, kemudian penyaksian yang demikian hilang sama sekali. Walaupun begitu Tuhan kelihatan kepadanya dengan keadaan tersebut yang membuatnya merasakan seakan-akan Dia. Seterusnya beliau melihat alam tidak ada di samping Tuhan, padahal dahulunya beliau melihat alam berada di samping Tuhan. Beliau kembali semula kepada suasana keheranan. Kemudian kesadaran beliau kembali lagi. Beliau kini memperolehi pengetahuan yang sangat berbeda daripada pengetahuan beliau sebelumnya. Dalam pengetahuan beliau yang terbaru ini beliau mendapati hubungan Tuhan dengan alam adalah berlainan daripada apa yang beliau fahamkan dahulu. Hubungan Tuhan dengan alam tidak mampu diuraikan dan tidak dapat diketahui. Beliau masuk pula ke dalam suasana keheranan. Beliau merasakan kekerdilan diri. Bila beliau sedar semula beliau mendapat pengetahuan bahwa Tuhan tidak ada hubungan dengan alam secara diketahui atau tidak diketahui. Beliau diberi pengetahuan khusus tentang tidak wujud hubungan di antara Tuhan dengan makhluk walaupun beliau menyaksikan kedua-duanya. Pada tahap ini beliau mendapat pengetahuan bahwa apa juga yang disaksikan, walaupun berunsur ghaib, adalah bukan Tuhan. Ia adalah bentuk simbolik atau misal tentang hubungan Tuhan dan ciptaan-Nya yang melampaui apa juga pengetahuan dan penyaksian. Beliau menemui di akhir perjalanan beliau bahwa masih ada peringkat yang lebih tinggi daripada peringkat menyaksikan satu wujud. Penyaksian terhadap satu wujud merupakan satu pengalaman yang ditemui dalam perjalanan kerohanian. Setelah melepasi peringkat tersebut seseorang itu akan menjadi sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis secara sedikit demi sedikit. Di penghujung perjalanannya kesan penyaksian satu wujud hilang sama sekali dan dia menjadi sesuai sepenuhnya dengan al-Quran dan as-Sunah.
Dari pengalaman Syeikh Ahmad Sirhindi dapatlah diyakini bahwa bimbingan guru yang arif sangat diperlukan bagi orang yang mau memasuki perjalanan kerohanian. Tanpa bimbingan guru yang arif sukar bagi seseorang melepasi hijab-hijab yang ditemui di sepanjang perjalanan. Orang yang berhenti di tengah jalan menemui buah yang belum masak. Mereka merasakan buah yang belum masak itu sudah cukup enak. Mereka tidak mengetahui bahwa buah yang sudah masak berlainan rasanya.
Beberapa orang sufi mungkin mengalami hal yang sama tetapi pemahaman yang timbul daripada pengalaman tersebut mungkin berbeda. Ibnu Arabi mengalami suasana satu wujud berpegang kepada pemahaman wahdatul wujud. Syeikh Ahmad Sirhindi juga mengalami suasana yang demikian tetapi beliau berpegang kepada pemahaman wahdatul syuhud. Syeikh Ahmad telah melepasi peringkat menyaksikan satu wujud dan beliau kembali kepada jalan kenabian. Banyak juga sufi yang tidak terlepas daripada kesan menyaksikan satu wujud, lalu mereka bermukim pada makam yang berfahamkan wahdatul wujud. Sufi tersebut ditarik kepada pemahaman demikian karena kefanaan dan mabuk. Orang yang dalam kesadaran tidak patut mengikuti pemahaman yang demikian. Perlulah diketahui bahwa apa yang dialami dalam alam kerohanian tidak semestinya kebenaran yang sejati. Alam demikian lebih merupakan Alam Misal yang menceritakan sesuatu tentang Kebenaran Hakiki yang melampaui misal. Misal dalam alam kerohanian bisa dialami secara penyaksian atau zauk (rasa). Ketika melalui daerah-daerah Latifah Rabbaniah seseorang bisa menyaksikan cahaya-cahaya dan mengalami zauk Hakikat-hakikat Kenabian. Cahaya yang disaksikan dalam daerah latifah bisa mempesonakan seseorang dan hakikat kenabian bisa membalikkan pandangan seseorang. Ada orang yang keliru dengan cahaya, menyangkakan Tuhan sebagai cahaya cuaca subuh. Ada orang yang keliru dengan hakikat kenabian, menyangkakan dirinya menyatu dengan nabi-nabi atau terus mendakwakan dirinya sebagai nabi Ada sebagian daripada mereka yang mencoba untuk mencungkil ‘Rahsia’. Mereka menyatukan diri mereka dengan Nabi Adam a.s dan Nabi Muhammad s.a.w. Bagi mereka tidak ada bedanya diri mereka dengan Adam dan Muhammad. Pemahaman mereka sudah jauh menyimpang dari kebenaran. Perjalanan jasad dengan perjalanan roh lebih kurang saja. Manusia dari aspek jasad datang dari jasad yang satu yaitu jasad Adam. Walaupun bersumberkan jasad yang satu tetapi sekalian jasad-jasad merdeka daripada jasad yang satu itu dan juga setiap jasad tidak terikat dengan jasad yang lain. Setelah jasad Adam mengalami mati, jasad-jasad lain tidak ikut mati bersamanya. Jika jasad Saleh dipotong, jasad Yusuf tidak ikut terpotong. Setiap jasad bebas dengan perjalanannya, menanggung bagia atau celakanya sendiri. Begitu juga dengan perjalanan rohani atau roh. Jika roh Nabi Muhammad s.a.w bagia, roh Abu Jahal tidak ikut bagia. Jika roh dan jasad Nabi Ibrahim a.s dimasukkan ke dalam syurga, roh dan jasad Namrud tidak ikut memasuki syurga. Sekalipun sekalian roh-roh bersumberkan roh yang satu tetapi roh individu bebas dengan perjalanannya sebagaimana jasad bebas berbuat demikian. Pemahaman menyatukan jasad atau roh seseorang dengan jasad atau roh orang lain adalah pemahaman yang keliru. Orang yang mengalami jazbah mungkin terbalik pandangannya dan mengalami suasana penyatuan, tetapi penyatuan tersebut hanya berlaku dalam alam perasaannya, bukan itulah yang sebenarnya berlaku. Tanpa bimbingan guru yang arif orang tersebut akan berterusan berada di dalam gambaran khayalannya atau di dalam alam bayangan.
24: Zikir Meliputi Perkataan, Perbuatan Dan Perasaan
________________________________________
Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Dan dirikanlah sholat bagi mengingati Aku! ( Ayat 14 : Surah Taha )
Sholat mengandungi perbuatan anggota zahir, perkataan yang dilafazkan dan penyertaan hati yang benar menghadap kepada Allah s.w.t dengan sepenuh jiwa raga. Mengingati Allah s.w.t melalui sholat merupakan zikir yang paling sempurna. Perbuatan menjadi zikir, perkataan menjadi zikir dan perasaan menjadi zikir. Sekalian maujud berada dalam suasana zikir. Zikir dalam sholat menggabungkan pengakuan bahwa yang diingatkan itu adalah Allah s.w.t; bahwa Allah s.w.t yang diingati itu adalah Tuhan; bahwa tiada Tuhan melainkan Dia; bahwa Allah adalah Tuhan yang disembah; bahwa menyembah Allah s.w.t adalah dengan perkataan, perbuatan dan perasaan; bahwa apa saja yang dilakukan adalah karena mentaati-Nya dan karena ingat kepada-Nya.
Zikir yang di dalam sholat menjadi induk kepada zikir-zikir di luar sholat. Menyebut nama-nama Allah s.w.t adalah zikir. Perkataan yang baik-baik diucapkan karena Allah s.w.t adalah zikir. Nasehat menasehati karena Allah s.w.t adalah zikir. Menyeru manusia ke jalan Allah s.w.t adalah zikir. Semua itu merupakan zikir perkataan. Zikir perbuatan pula meliputi segala bentuk amalan dan kelakukan yang sesuai dengan syarak demi mencari keredaan Allah s.w.t. Berdiri, rukuk dan sujud dalam sholat adalah zikir. Melakukan pekerjaan yang halal karena Allah s.w.t, karena mematuhi peraturan yang Allah s.w.t turunkan, adalah zikir. Mengalihkan duri dari jalan karena Allah s.w.t adalah zikir. Apa juga perbuatan yang tidak menyalahi peraturan syariat jika dibuat karena Allah s.w.t maka ia menjadi zikir. Tidak melakukan apa-apa pun bisa menjadi zikir. Orang yang menahan anggotanya, lidahnya dan hatinya daripada menyertai perbuatan maksiat sebenarnya melakukan zikir jika dia berbuat demikian karena Allah s.w.t. Semua itu menjadi zikir jika dibuat karena Allah s.w.t, karena mematuhi perintah-Nya, karena mencari keredaan-Nya dan karena ingat kepada-Nya. Jadi, perbuatan dan perkataan terikat dengan amalan hati untuk menjadikannya zikir. Ia hanya dikira sebagai zikir jika ada zikir hati yaitu hati ingat kepada Allah s.w.t, ikhlas dalam melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya Tanpa zikir hati tidak ada zikir-zikir yang lain, karena setiap amalan digantungkan kepada niat yang lahir dalam hati.
Zikir adalah mengingati Allah s.w.t sebaik dan seikhlas mungkin. Mengingati nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah zikir. Melihat matahari, bulan dan bintang di langit sambil mengenang kebijaksanaan Allah s.w.t merupakan zikir. Melihat kilat memancar dan mendengar guruh berdentum sambil mengenangkan keperkasaan Allah s.w.t adalah zikir. Melihat fajar subuh, melihat dan mencium bunga yang indah lagi harum sambil mengenang keelokan Allah s.w.t adalah zikir juga namanya. Jadi, zikir adalah pekerjaan sepanjang masa, setiap ketika, semua suasana, pada setiap sedutan dan hembusan nafas dan pada setiap denyutan nadi. Kehidupan ini merupakan zikir daim (zikir berkekalan) jika mata hati senantiasa memerhatikan sesuatu tentang Allah s.w.t.
Misalkan seorang sedang melakukan zikir hati dan perkataan; menyebut dan mengingati nama-nama dan sifat-sifat Allah s.w.t. Tiba-tiba datang seorang kanak-kanak di hadapannya. Anak kecil itu memegang sebotol racun. Anak kecil mau meminum racun tersebut. Pada ketika itu ahli zikir tadi berkewajiban meninggalkan pekerjaan zikir yang sedang dilakukannya dan berpindah kepada zikir menyelamatkan anak kecil yang mau meminum racun itu. Perpindahan perbuatan tidak memutuskan zikir atau ingatannya kepada Allah s.w.t. Dia menyebut nama Tuhan karena ingat kepada Tuhan. Dia menyelamatkan anak kecil itu karena mentaati perintah Tuhan. Tuhan yang mentakdirkan anak kecil itu mau meminum racun di hadapannya. Tuhan juga mengadakan syariat yang mewajibkan membuang kemudaratan. Taat kepada perintah Tuhan dan reda dengan takdir Tuhan yang datang serta bartindak menurut peraturan syariat Tuhan merupakan zikir yang sangat mulia pada sisi Tuhan. Zikir yang begini termasuk di dalam golongan zikir yang berkekalan atau zikir daim.
Zikir daim sukar diperolehi. Kebanyakan manusia melakukan pekerjaan yang baik-baik yang seharusnya menjadi zikir tetapi dilakukan tanpa ingatan kepada Allah s.w.t dan bukan dengan penghayatan mematuhi syariat-Nya. Kekuatan dalaman perlu ditambah bagi memperolehi zikir daim. Bagi tujuan tersebut perlulah dilakukan zikir sebutan yaitu zikir nafi-isbat (ucapan kalimah “La ilaha illa Llah ”) dan zikir nama-nama serta sifat-sifat-Nya. Zikir yang separti ini memberi kesan kepada menguatkan rasa kecintaan dan ingatan kepada Allah s.w.t. Ia membuka kesadaran-kesadaran dalaman separti yang telah dinyatakan pada tajuk yang membicarakan perjalanan Latifah Rabbaniah. Kekuatan kesadaran dalaman mendorong seseorang melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah s.w.t yang dicintainya, yang hampir dengannya. Zikir nafi-isbat dan sebutan nama-nama serta sifat-sifat-Nya menjadi jalan kepada zikir dalam bentuk mentaati peraturan-Nya tanpa lupa kepada-Nya. Jadi, perlu dilakukan zikir secara sebutan untuk memudahkan zikir secara amalan atau perbuatan dan kelakuan. Mudah-mudahan terhasillah zikir yang berkekalan.
Zikir atau mengingati Allah s.w.t haruslah dilakukan menurut kadar kemampuan masing-masing. Zikir yang paling baik diucapkan adalah separti yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w dengan sabda baginda s.a.w yang bermaksud: “Ucapan zikir yang paling baik adalah yang aku dan sekalian nabi-nabi bawa. Itulah ucapan kalimah ‘La ilaha illa Llah ’ .”
Orang yang tidak pernah berzikir adalah orang yang sangat keras hatinya dan kuat dikuasai oleh syaitan, hawa nafsu dan dunia. Cahaya api syaitan, fatamorgana dunia dan karat hawa nafsu membaluti hatinya sehingga tidak ada ingatannya kepada Allah s.w.t. Seruan, peringatan dan ayat-ayat Tuhan tidak diterima oleh hatinya. Beginilah keadaan orang Islam yang dijajah oleh sifat munafik. Orang yang masih mempunyai kesadaran perlu memaksakan dirinya untuk berzikir, sekalipun hanya berzikir dengan lidah sedangkan hatinya masih lalai dengan berbagai-bagai ingatan yang selain Allah s.w.t. Pada tahap pemaksaan diri ini, lidah menyebut Nama Allah s.w.t tetapi hati dan ingatan mungkin tertuju kepada pekerjaan, harta, perempuan, hiburan dan lain-lain. Beginilah tahap orang Islam biasa. Orang yang berada pada tahap ini perlu meneruskan zikirnya karena jika dia tidak berzikir dia kan lebih mudah dihanyutkan di dalam kelalaian. Tanpa ucapan zikir syaitan akan lebih mudah memancarkan gambar-gambar tipuan kepada cermin hatinya dan dunia akan lebih kuat menutupinya. Zikir pada peringkat ini berperanan sebagai juru ingat. Sebutan lidah menjadi sahabat yang memperingatkan hati yang lalai. Berlakulah pertembungan di antara tenaga zikir dengan tenaga syaitan yang menutupi hati. Tenaga syaitan akan mencoba untuk menghalang tenaga zikir daripada memasuki hati. Tindakan syaitan itu membuatkan orang yang ingin berzikir itu menjadi malas dan mengantuk. Oleh yang demikian perlulah dilakukan mujahadah, memerangi syaitan yang menghalang lidah daripada berzikir itu. Zikir yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh akan berjaya melepasi benteng yang didirikan oleh syaitan. Tenaga zikir yang berjaya memasuki hati akan bartindak sebagai pencuci, menyucikan karat-karat yang ada pada dinding hati. Pada peringkat permulaiannya zikir masuk ke dalam hati sebagai Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan yang diucapkan. Apabila karat pada dinding hati sudah berkurangan ucapan zikir akan disertai oleh rasa kelazatan. Hati yang sudah merasai nikmat zikir itu tidak perlu kepada paksaan lagi. Lidah tidak perlu lagi berzikir. Zikir sudah hidup dalam hati secara diam, jelira dan melazatkan. Perhatian bukan sekadar kepada nama-nama dan sifat-sifat yang diingatkan malah ia lebih tertuju kepada Yang Empunya nama dan sifat. Inilah kedudukan orang yang beriman.
Zikir yang lebih mendalam membawa hati berhadap kepada Hadrat Tuhan, menyaksikan Tuhan pada setiap masa dan suasana. Apa saja yang dilihat dan dibuat memperingatkannya kepada Tuhan. Inilah peringkat zikir daim yang dikurniakan kepada mereka yang beriman dan bersungguh-sungguh mengabdikan diri kepada Allah s.w.t. Kehidupan mereka dipenuhi oleh zikir sepanjang masa. Tidur mereka juga menjadi zikir.
Zikir yang diucapkan dengan perkataan membantu hati mengingati Tuhan. Bagi sebagian manusia berzikir secara kuat lebih memberi kesan daripada berzikir secara perlahan, terutamanya bagi mereka yang baru memulaikan amalan zikir. Zikir secara senyap di dalam hati adalah pergerakan perasaan. Hati menghayati apa yang dizikirkan dan terbentuklah alunan perasaan sesuai dengan apa yang dihayati. Pada tahap yang lebih mendalam zikir bukan lagi sebutan atau ingatan kepada Nama, tetapi hati menyaksikan Keperkasaan dan Keelokan Tuhan. Bila hati sudah bisa menyaksikan Keelokan dan Keperkasaan Tuhan, itu tandanya seseorang itu sudah ada hubungan semula dengan roh suci yang mengenal Tuhan. Pancaran cahaya makrifat daripada roh suci membuat hati dapat melihat kenyataan sifat-sifat Tuhan.
Pada tahap kesadaran yang lebih mendalam, ucapan serta ingatan dan perhatian yang berhubung dengan Tuhan menimbulkan kegairah atau zauk. Zauk itu terjadi karena kuatnya tarikan Hadrat Tuhan kepada hati. Ingatan dan penyaksian terhadap Hadrat Tuhan akan memberi kesan yang sangat kuat kepada hati. Hati yang menyaksikan Hadrat Tuhan Yang Maha Perkasa bisa menyebabkan seseorang itu menjadi pingsan karena takutnya hati kepada keperkasaan Allah s.w.t. Hati yang menyaksikan Hadrat Tuhan Yang Maha Lemah-lembut akan mengalami rasa kenikmatan dan kebagiaan yang amat sangat.
Pada tahap kesadaran yang lebih mendalam, hati diperkuatkan lagi supaya mampu menerima ‘sentuhan’ Hadrat Tuhan itu. Penyaksian terhadap Hadrat Tuhan tidak lagi melahirkan kegairah atau zauk atau kegoncangan kepada hati. Hati mengalami suasana Hadrat Tuhan dalam keadaan damai dan sejahtera. Pada tahap ini hati akan mengenali Tuhan sebagai Raja Yang Maha Berkuasa. Berada pada sisi Raja tersebut membuat hati merasakan kesejahteraan dan keselamatan yang tidak terhingga, hilang rasa takut dan dukacita.
Pada tahap kesadaran yang paling dalam hati berhadap kepada Hadrat Tuhan yang bernama Allah s.w.t, yang menguasai semua Hadrat, yang melampaui segala nama dan sifat, segala kenyataan dan ibarat. Hati sampai kepada tahap jahil setelah berpengetahuan. Ilmu gagal menguraikan tentang Allah s.w.t. makrifat gagal memperkenalkan Allah s.w.t. Apa saja yang terbentuk, tergambar, terfikir, yang disaksikan dengan mata luar dan juga mata dalam dan segala-galanya tersungkur di hadapan Hadrat Allah s.w.t, yang tiada Tuhan melainkan Dia, Maha Perkasa. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menyamai Allah s.w.t, Dia Maha Esa. Hati yang berhadapan dengan Hadrat Allah s.w.t benar-benar mengalami dan mengenali maksud keesaan Allah s.w.t. Hati pun tunduk, menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t, Tuhan Maha Mencipta. Barulah sempurna penyerahannya, barulah lengkap perjalanan Islamnya.
Setelah itu rohnya menjadi seakan-akan roh yang baru, seumpama baru lahir. Roh yang baru itu adalah Roh Islam yang telah mengenal Allah s.w.t yang melampaui segala sesuatu tetapi memiliki Hadrat-Nya, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya, menyata kepada Roh Islam, yaitu Roh yang lebih tulen dan seni daripada semua roh-roh yang lain. Itulah roh yang telah menemui Kebenaran Hakiki. Pada roh tersebut bercantum tahu dengan tidak tahu, kenal dengan tidak kenal, nafi dengan isbat. Roh Islam itulah yang benar-benar mengarti maksud nafi dan isbat pada Kalimah Tauhid: “La ilaha illa Llah”.
Dia turunkan Roh dari urusan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min
Roh Islam yang mengenderai hati Islam dan memiliki nafsu Islam, akal Islam dan pancaindera Islam kembali kepada kehidupan dunia untuk mengajak dan membimbing orang lain kepada Yang Haq, Kebenaran Hakiki. Roh Islam mengeluarkan yang Islam saja. Jiwanya Islam, perkataannya Islam, perbuatannya Islam, diamnya Islam, tidurnya Islam dan segala-gala yang mengenainya adalah Islam. Roh Islam yang paling sempurna adalah roh Nabi Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w merupakan contoh tauladan Islam yang paling sempurna, paling baik.
Zikir memainkan peranan yang penting dalam melahirkan Roh Islam. Bagi orang yang inginkan kebenaran dan melihat kebenaran, menjadi kewajiban baginya mengingati Allah s.w.t sebanyak mungkin.
Lantas apabila kamu telah selesaikan sholat (sholat di waktu perang ) itu, maka hendaklah kamu ingat kepada Allah s.w.t sambil berdiri, dan sambil duduk, dan sambil (berbaring) atas rusuk-rusuk kamu. Tetapi apabila kamu telah tenteram, maka hendaklah kamu dirikan sholat (separti biasa), karena sesungguhnya itu adalah bagi Mukminin satu kewajiban yang ditentukan mwaktunya. ( Ayat 103 : Surah an-Nisaa’ )
Yang mengingati Allah sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil berbaring, dan memikirkan tentang kejadian langit-langit dan bumi (sambil berkata): “Wahai Tuhan kami! Engkau tidak jadikan (semua) ini dengan sia-sia! Maha Suci Engkau. Lantaran itu peliharakanlah kami daripada seksa neraka”. ( Ayat 191 : Surah a-Li ‘Imran )
Setiap Muslim seharusnya mencari kehidupan berzikir; berzikir sambil duduk dan sambil berbaring; bekerja di dalam berzikir; berehat di dalam berzikir dan tidur di dalam berzikir. Lidah berzikir, anggota tubuh berzikir dan hati berzikir. Tentera Islam yang sedang berperang dengan musuh pun dituntut berzikir, apa lagi kaum Muslimin yang berada dalam suasana aman. Muslim sejati senantiasa berzikir, mengingati dan mentaati Allah s.w.t.
25: Salik Dan Suluk
________________________________________
Salik adalah orang yang menjalani latihan kerohanian secara bersuluk. Suluk pula adalah sistem latihan kerohanian yang digunakan bagi tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan. Semasa bersuluk seseorang itu mengasingkan diri daripada orang banyak. Bila dia tidak ada bersama orang banyak, maka mereka terselamat daripada gangguan yang mungkin datang daripadanya dan juga dia terselamat daripada gangguan yang mungkin datang daripada mereka. Pengasingan tersebut bisa menyelamatkan ahli suluk itu daripada anasir yang bisa merusakkannya melalui ego dan nafsunya. Dalam pengasingan itu juga dia melatihkan diri bagi memperolehi perkembangan kerohanian. Dia melatihkan diri agar terpisah daripada sifat-sifat yang tercela dan digantikan dengan sifat-sifat yang terpuji. Semasa bersuluk itu amal ibadat separti bersholat, berpuasa, berzikir dan lain-lain dilakukan dengan banyaknya. Dorongan hawa nafsu dikurangkan dengan cara menyedikitkan makanan, tidur dan berkata-kata. Bila kurang berkata-kata hati menjadi tidak lalai dalam mengingati Tuhan.
Orang yang mau memasuki suluk mestilah mempunyai azam yang kuat. Perkara-perkara yang sering menghalang seseorang daripada memasuki suluk adalah dunia, makhluk, syaitan dan hawa nafsu. Kebanyakan manusia tidak sanggup memisahkan diri buat seketika dengan dunia dan makhluk. Tipu daya syaitan dan kesenangan hawa nafsu berada dengan makhluk. Oleh sebab itu agak sukar bagi kebanyakan orang memisahkan dirinya daripada orang banyak. Jika dia berjaya melepaskan halangan tersebut dia mungkin berhadapan dengan halangan lain semasa bersuluk. Halangan semasa bersuluk adalah tuntutan mencari rezeki, kebimbangan tidak akan menemui apa yang dicari, kemungkinan ditimpa penyakit dan juga masalah keluarga yang berbagai-bagai. Seseorang salik perlu memperkuatkan sifat sabar dan bertawakal jika dia mau jika dia mau melepasi rintangan yang menghalangnya meneruskan amalan suluk. Dia juga perlu mengawasi perkara-perkara yang bisa merusakkan pencapaian rohaninya. Perkara-perkara tersebut adalah sifat-sifat takabur, ujub, ria dan samaah. Suasana hati yang ingin diperolehi melalui bersuluk adalah: “Ilahi! Engkau jua maksud dan tujuanku dan keredaan Engkau yang aku cari”.
Salik yang berhasrat memperolehi hasil yang baik perlu menjaga sopan santun semasa bersuluk. Perlu yang perlu dijaga adalah:
a) mengikhlaskan kasih kepada Allah s.w.t dan melakukan ibadat semata-mata karena Allah s.w.t bukan karena maukan kasyaf dan keramat.
b) Amal ibadat yang dilakukan hendaklah sesuai dengan peraturan yang ditentukan oleh syariat, tidak bisa mengubahnya sehingga bercanggah dengan syariat.
c) Salik perlu melepaskan ilmu-ilmu yang bisa melalaikannya dan bisa menarik cita-citanya kepada yang selain Allah s.w.t. Ilmu-ilmu separti ilmu kebal, ilmu pengasih, ilmu menarik harta dari bumi, ilmu yang berkait dengan khadam dan yang seumpamanya hendaklah dilepaskan karena ilmu yang demikian menutup mata hati.
d) Ketika menjalani amalan suluk fikiran hendaklah dibebaskan daripada memikirkan dan mengangankan sesuatu yang di dalam dunia.
e) Hati hendaklah dipisahkan daripada sifat-sifat yang keji, separti sifat hewan, syaitan dan dorongan hawa nafsu.
f) Memenuhkan masa bersuluk dengan kegiatan yang mengingatkan hati kepada Allah s.w.t.
Sebagian manusia lebih dituntut bergiat dalam kehidupan harian daripada mengasingkan diri. Pertama adalah orang alim yang ilmunya diperlukan bagi menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh orang banyak. Termasuk di dalam ilmu yang diperlukan oleh orang banyak adalah pengajarannya, fatwanya dan karangannya. Orang yang separti ini penyebaran ilmu merupakan ibadat khusus bagi mereka selepas ibadat fardu. Selepas urusan sholat lima waktu, lebih afdal baginya menyebarkan ilmu dan membasmikan kejahilan dalam masyarakat daripada mengasingkan diri dan membenamkan diri ke dalam perkara yang sunat. Golongan kedua adalah pengusaha yang mempunyai kepakaran yang diperlukan oleh orang banyak, separti doktor, pembuat roti, tukang kayu dan sebagainya. Mereka perlu berkhidmat kepada orang banyak dan memakmurkan bumi ini. Masa lapang mereka perlu diisi dengan ibadat dan membaca al-Quran. Golongan ke tiga adalah pemerintah yang bertugas membawa kebajikan kepada orang banyak. Mereka lebih dituntut menegakkan keadilan di dalam masyarakat dan menyebarkan kesejahteraan hidup daripada mengasingkan diri. Masa lapang mereka perlu diisi dengan ibadat dan pada malamnya diperbanyakkan wirid.
Ada dua jenis manusia, secara sifat semulajadi mereka, sangat cenderung memasuki jalan suluk. Jenis pertama adalah orang yang cenderung untuk menjadi abid atau ahli ibadat. abid tidak mempunyai sebarang pekerjaan kecuali beribadat kepada Allah s.w.t. Golongan ini seolah-olah tidak ada kemahiran untuk melakukan sesuatu yang lain daripada beribadat. Mereka hanya memperolehi manfaat dengan menggunakan masa untuk beribadat. Golongan ini dikuasai oleh suasana hati yang sangat takut meninggalkan ibadat untuk melakukan sesuatu pekerjaan, karena dia takut tidak akan dapat menyempurnakan kebaktiannya kepada Allah s.w.t. Mereka sangat takutkan dunia karena mereka melihat kekacauan di dalam dunia menjadi fitnah yang merusakkan hubungan mereka dengan Tuhan. Meninggalkan ibadat membuat mereka merasakan berjauhan dengan Tuhan. Rasa berjauhan dengan Tuhan menjadikan mereka tidak bermaya dan tidak berupaya berbuat apa-apa. Hanya ibadat bisa memberi kekuatan kepada mereka. Mereka seolah-olah tidak ada pilihan kecuali hidup beribadat dalam pengasingan. Jenis kedua dinamakan muwahhid yaitu orang yang terikat sepenuhnya dengan Allah s.w.t. Kecintaan mereka kepada Allah s.w.t sangat kuat menyebabkan hati mereka ‘pecah’ dan tidak berupaya lagi mengasihi sesuatu yang selain Allah s.w.t. Kebagiaan mereka hanyalah bersama-sama Allah s.w.t, tidak ada tempat lagi untuk makhluk. Hati mereka tidak melihat kepada makhluk, oleh itu kehadiran makhluk tidak diperlukan. Orang yang ditakdirkan menjadi salah satu daripada dua golongan tersebut sangat cenderung memasuki jalan suluk sebagai persediaan untuk mereka mencapai kesempurnaan pada jalan abid atau muwahhid.
Selain golongan yang menuju kepada suasana abid dan muwahhid, orang yang cenderung memasuki jalan suluk adalah muta’allim, yaitu orang yang belajar semata-mata karena Allah s.w.t. Mereka merupakan golongan yang mencari kebenaran. Mereka tidak merasa puas dengan apa yang ditemui pada jalan pembelajaran biasa. Mereka memasuki suluk dengan harapan akan menemui apa yang tidak mereka temui sebelum bersuluk. Mereka percaya kebenaran yang sejati hanya bisa ditemui oleh hati yang suci murni dan cara yang paling baik menyucikan hati adalah dengan bersuluk. Golongan ini memerlukan bimbingan guru tarekat yang arif. Guru hendaklah tahu kedudukan murid dan tahu kadar ilmu yang bisa dibukakan kepada murid berkenaan. Bagi muta’allim (orang yang belajar) yang tidak memasuki jalan suluk, haruslah memberi tumpuan kepada mempelajari ilmu. Menghadiri majlis ilmu lebih utama daripada ibadat sunat dan berzikir yang bisa dilakukan pada masa lapangnya.
Muta’allim yang memasuki suluk lebih terdorong untuk mengalami suasana kerohanian yang diistilahkan sebagai muttakhaliq, yaitu orang yang mengalami perubahan sifat. Ada dua jenis muttakhaliq. Jenis pertama mengalami suasana mereka menjadi alat dan Allah s.w.t Pengguna alat. Mereka melihat perbuatan dan kelakuan mereka berlaku tanpa mereka rancang dan mereka tidak berdaya menahannya. Mereka melihat apa yang terjadi pada mereka terjadi tanpa kehendak mereka sendiri, tanpa usaha, tanpa tadbir dan tanpa ikhtiar memilih. Muttakhaliq jenis kedua pula adalah orang yang melihat Allah s.w.t meletakkan sifat dan bakat pada diri mereka dan mereka menjadi pelaku kepada sifat dan bakat tersebut. Jenis pertama melakukan sesuatu dalam suasana ‘dengan kehendak Allah s.w.t’ dan jenis kedua dalam suasana ‘dengan izin Allah s.w.t.’
Ahli suluk, sesudah melalui berbagai-bagai pengalaman kerohanian, kembali semula kepada kesadaran biasa dinamakan mutahaqqiq. Golongan ini kembali kepada jalan kenabian, memegang tugas sebagai khalifah Allah s.w.t yang meneruskan perjuangan Nabi-nabi. Golongan ini kembali kepada kesadaran kemanusiaan bagi membisakan mereka menguruskan hal-ihwal manusia.
Latihan kerohanian yang dilakukan semasa bersuluk berkemungkinan membawa salik memperolehi kasyaf, yaitu terbuka perkara ghaib kepada pandangan mata hatinya. Kasyaf ada dua jenis, yaitu kasyaf kecil dan kasyaf besar. Kasyaf kecil termasuklah terbukanya pandangan untuk melihat kepada Alam Barzakh, melihat roh orang yang sudah meninggal dunia, melihat syurga dan neraka, melihat makhluk halus dan lain-lain. Kasyaf besar pula adalah terbukanya pandangan hati kepada hakikat sesuatu dan membuka ingatan dan penghayatan kepada Allah s.w.t. Dalam perjalanan kerohanian, kasyaf kecil tidak penting bahkan kasyaf kecil sering menjadi benteng yang menghalang salik meneruskan perjalanannya. Keasyikan menyaksikan perkara ghaib membuat salik berhenti dan menyangkakan dia sudah sampai kepada Yang Haq, sedangkan perjalanannya masih jauh lagi. Apa yang penting adalah kasyaf besar atau terbukanya hakikat sesuatu. Pembukaan tentang hakikat bisa menyelamatkan salik daripada tipu daya syaitan yang bersembunyi di sebalik berbagai-bagai rupa, bentuk dan keadaan. Salik yang dikurniakan kasyaf besar tidak tartipu dengan syaitan walaupun syaitan datang dalam rupa guru yang alim dan warak. Salik juga bisa mengenali malaikat sekalipun malaikat datang tanpa berupa. Rasulullah s.a.w melihat rupa malaikat Jibrail a.s dalam rupanya yang asli hanya dua kali saja, tetapi setiap kali Jibrail a.s datang Rasulullah s.a.w mengenalinya, sekalipun Jibrail a.s memakai rupa manusia atau tidak berupa. Kasyaf yang mengenali hakikat inilah sangat penting bagi salik yang berjalan kepada Tuhan. Kasyaf separti ini diperolehi apabila rohani kembali kepada kesuciannya yang asal. Rohani yang demikian mengenali syaitan walaupun syaitan mengenderai manusia atau suasana dan rohani itu juga mengenali malaikat walaupun malaikat tidak menjelma di hadapannya. Contoh kasyaf besar adalah, apabila seorang salih didatangi oleh seseorang yang menyuruhnya berbuat kejahatan, maka dengan segera orang salih itu berkata: “Pergi kamu syaitan!” Orang salih itu menyedari atau melihat dengan kasyafnya yang orang yang mendatanginya itu sedang digunakan oleh syaitan untuk mengenakan tipu dayanya. Kasyaf yang demikian, walaupun tidak memperlihatkan rupa syaitan yang sebenarnya, tetapi syaitan itu tidak dapat bersembunyi.
Kasyaf membawa salik kepada zauk yaitu mengalami suasana yang berhubung dengan Tuhan. Zauk membawa salik mengalami suasana Hadrat Tuhan. Suasana Hadrat Tuhan yang menguasai salik itu membentuk keperibadiannya.
Bidang zauk sangat luas. Zauk biasanya diperolehi oleh salik yang terus menerus membenamkan dirinya di dalam zikir. Tenaga zikir memberi kekuatan kepada rohaninya untuk menghadap kepada hakikat ketuhanan. Kesan daripada pengalaman menghadap kepada hakikat ketuhanan yang dirasakan oleh hati itulah dinamakan zauk. Misalnya, hati salik berhadap kepada hakikat Tuhan Yang Maha Keras. Dia akan dikuasai oleh perasaan takut kepada Tuhan, takut karena dosa-dosa yang telah dilakukannya, takut karena ibadat yang dilakukannya tidak sempurna dan bermacam-macam ketakutan lagi. Pengalaman yang demikian dinamakan pengalaman hakikat dan ia membuatnya mengenali Tuhan Yang Maha Keras atau dia dikatakan memperolehi makrifat tentang Tuhan Yang Maha Keras.
Salik juga mungkin mengalami hakikat kenabian. Mungkin salik mengalami suasana Nabi Adam a. s diciptakan dan diturunkan ke bumi. Salik tersebut dikatakan mengalami Hakikat Adamiyah dan ia membuatnya lebih mengarti tentang kenabian Adam a.s. Pengalaman yang demikian tidak mengubahnya menjadi Nabi Adam a.s atau bersatu dengan beliau a.s. Jika ada penyatuan pun hanyalah dalam zauk atau alam perasaan, bukan penyatuan yang sebenarnya. Hakikat Adamiyah adalah suasana pentadbiran Tuhan yang berhubung dengan kejadian Adam a.s. Ia bukan anasir alam dan bukan berada dalam hati salik yang mengalaminya. Ia adalah suasana yang Tuhan gubah bagi memperkenalkan apa yang Dia mau kenalkan kepada hati hamba-Nya. Begitu juga dengan pengalaman salik berhubung dengan hakikat Nabi Muhammad s.a.w atau dikenali sebagai Hakikat Muhammadiah. Salik tidak bertukar menjadi Nabi Muhammad s.a.w atau bersatu dengan baginda s.a.w. Salik diberi kesempatan mengenali Nabi Muhammad s.a.w dalam suasana pentadbiran Tuhan atau urusan Tuhan. Apa saja yang Tuhan mau ciptakan telah ada pada sisi-Nya, dalam Ilmu-Nya, termasuklah Nabi Adam a.s dan Nabi Muhammad s.a.w. Tuhan bentukkan misal bagi suasana yang pada sisi-Nya yang melampaui segala misalan, dan misal gubahan Tuhan itu dihantarkan kepada hati salik. Salik yang menetap dalam kehambaan menyaksikan Hakikat Adam, Hakikat Muhammad dan Hakikat Tuhan. Salik yang terbalik pandangannya menjadi orang yang merasakan menjadi Nabi Adam a.s, menjadi Nabi Muhammad s.a.w dan menjadi Tuhan atau pun mereka merasakan suasana penyatuan dengan hakikat-hakikat tersebut. Penyatuan tersebut hanya berlaku dalam bayangan ilmu, bukan penyatuan yang sebenarnya. Apabila salik melepasi peringkat bayangan, dia masuk kepada hal yang sebenar, yang tidak serupa dengan bayangan ilmu itu.
Manusia yang ciptaannya digabungkan unsur rohani dengan unsur jasmani berkemampuan menerima bayangan Tuhan atau menerima sinaran Nur-Nya. Bayangan tetap bayangan. Zat Tuhan Yang Maha Tinggi tetap tinggal diselubungi oleh selimut ghaib yang Mutlak lagi amat perkasa, tidak mungkin diruntuhkan oleh kasyaf yang bagaimana pun. Nur bukanlah Zat, tetapi hanyalah satu ayat, tanda atau bukti tentang Tuhan dan juga satu Hijab daripada sekalian banyak Hijab-hijab ketuhanan, juga satu nama daripada sekian banyaknya nama-nama Tuhan. Kebodohan, ketidak-upayaan mengenal-Nya adalah tabir penutup yang asli dan tidak mungkin tersingkap hakikat Zat Tuhan melainkan pada hari kebangkitan, suasana yang Tuhan berkehendak memperlihatkan Diri-Nya secara nyata. Sebelum itu penyaksian merupakan penglihatan akal dan mata hati atau melihat Nur-Nya.
Dalam fana salik mencapai Wajibul Wujud sifat bukan Wajibul Wujud Zat. Zat Ilahiat melampaui perbatasan Wajibul Wujud, mumkinul wujud atau apa saja yang dikaitkan dengan wujud atau tidak wujud. Salik yang mencapai Wajibul Wujud sifat mencapai kedudukan kewalian yaitu dia menjadi alat Allah s.w.t, bukan menjadi Allah s.w.t. Allah s.w.t memperkenalkan Hadrat-Nya melalui sifat dan nilai yang ada dengan manusia. Sifat dan nilai yang ada pada wali-Nya memperkenalkan-Nya dengan lebih berkesan daripada orang lain. Semakin sempurna kewalian seseorang itu semakin menyerlah keupayaan yang dikurniakan Allah s.w.t kepadanya dalam memperkenalkan-Nya sebaik mungkin.
Bakat atau keupayaan memperkenalkan Tuhan yang dikurniakan kepada wali itu dinamakan tajalli Rahmani (kenyataan Tuhan). Wali yang di dalam fana mengucapkan “ Ana al-Haq! (Aku adalah Tuhan!)” memperkenalkan sifat Kalam Tuhan. Tuhan yang mengatakan demikian melalui lidah wali-Nya. Wali yang tidak di dalam fana pula mengatakan “Hua al-Haq! (Dia jualah Tuhan!)”. Ucapan wali yang di dalam fana dan ucapan wali yang di dalam kesadaran itu membawa maksud yang serupa. Wali yang di dalam fana tidak menjadi Tuhan dan demikian juga wali yang di dalam kesadaran.
Satu jenis tajalli lagi dinamakan tajalli rohani (tajalli roh). Roh yang asli yang mengenal Tuhan dibungkus atau dihijab oleh bakat roh yang mendatang yang padanya terdapat berbagai-bagai sifat buruk yang menghijab Latifah Rabbaniah. Dalam tajalli roh kumpulan atau penyatuan hijab-hijab itulah yang menyata sebagai roh yang memiliki sifat Rabbaniah (ketuhanan). Orang yang mengalami tajalli roh mengatakan juga “Ana al-Haq!” dan pada ucapan tersebut ada pengakuan tentang ketuhanan rohnya. Dia benar-benar merasakan rohnya itulah Tuhan dan dia melihat sekalian makhluk tunduk kepada keagungan, kebesaran dan kemuliaan rohnya. Orang yang mudah terjatuh ke dalam medan tajalli roh ini adalah mereka yang sejak awal perjalanan lagi memang mempercayai dan berpegang kepada pemahaman wahdatul wujud dan mereka sengaja mencari penyatuan dengan Tuhan. Segala usaha ditujukan bagi menghapuskan kemanusiaan mereka dan melahirkan ketuhanan diri mereka. Mereka berpegang kepada pemahaman bahwa diri mereka, Adam, Muhammad dan Allah s.w.t adalah yang satu (kami berlindung kepada Allah s.w.t daripada iktikad yang sesat itu). Ibadat dan zikir bukan ditujukan karena mencari keredaan Allah s.w.t sebaliknya digunakan bagi melahirkan kesadaran menurut apa yang telah mereka iktikadkan. Penyatuan Adam, Muhammad, Allah s.w.t dan diri mereka dialami pada makam roh. Sejak mulai lagi, walaupun menyebut nama Allah s.w.t tetapi tumpuan dan penghayatan mereka adalah roh. Mereka memulaikan sholat dengan memukau diri sendiri agar meyakini bahwa perbuatan mereka adalah Perbuatan Tuhan, sifat mereka adalah Sifat Tuhan, wujud mereka adalah Wujud Tuhan dan zat mereka adalah Zat Tuhan. Kalimah “La ilaha illa Llah” yang bermaksud “Tiada Tuhan melainkan Allah” mereka menghayatinya sebagai “La maujud illa Llah ” yang bermaksud “ Tidak ada yang ada melainkan Allah”. Mereka gunakan ucapan orang yang di dalam zauk untuk membentuk kepemahaman mereka di dalam sedar. Setelah ditekankan beberapa lama bahwa perbuatan, sifat, wujud dan zat mereka sama dengan Tuhan maka keyakinan yang demikian terpahat dalam jiwa mereka. Bila sampai kepada satu tahap keyakinan hati mereka merasakan sekalian makhluk tunduk kepada ketuhanan mereka. Ketika itu keluarlah dari mulut mereka ucapan “ Ana al-Haq!”.
Walaupun mengucapkan yang demikian separti yang diucapkan oleh salik yang di dalam fana namun hati salik yang menerima tajalli Rahmani berbeda daripada hati mulhid yang menerima tajalli roh. Dalam tajalli roh tidak ada fana. Apa yang disangkakan fana di situ adalah pelepasan secara menyeluruh pengakuan kehambaan dan penerimaan secara menyeluruh bahwa rohnya adalah Tuhan atau Tuhan yang menjadi nyawa kepada rohnya. Bila orang ini kembali semula kepada kesadaran, ego diri dan sifat-sifat kebinatangan bertambah kuat menguasai mereka. Mereka menjadi orang yang takabur, berani mempersendakan Tuhan, nabi-nabi dan amalan agama (Ya Allah! Lindungi kami daripada perbuatan sesat itu.) Dari kalangan mereka timbul ungkapan bahwa ilmu Tuhan belum sempurna. Keegoan diri bertambah dan syariat dibuang begitu saja. Mereka menyahut seruan azan dengan ucapan meremehkannya. Mereka melihat ibadat yang orang lain lakukan sebagai sia-sia saja karena kononnya orang banyak tidak mengenal Tuhan separti mereka. Bagi mereka sholat yang sebenar adalah menyembah diri sendiri. Mereka inilah kumpulkan yang sesat, menyebarkan kesesatan dengan berselindung di sebalik ajaran tarekat tasauf dan ahli sunnah wal jamaah. Setiap Mukmin yang menjalani tarekat yang benar berkewajiban menghancurkan gerakan kumpulan tarekat yang sesat itu. Jangan terpedaya orang sesat yang bisa mengeluarkan kebisaan yang luar biasa. Mahaguru ajaran sesat, iblis laknatullah, lebih lagi luar biasanya.
Dalam tajalli Rahmani keegoan salik binasa dan dia mencapai fana. Dalam kefanaan sifat kemanusiaannya lenyap bersama-sama kekotoran hatinya. Bila dia sedar semula dia sudah menjadi bersih dan hatinya penuh dengan keikhlasan. Ego tidak kembali kepadanya. Dia senantiasa merendahkan diri kepada Tuhan dan sesama manusia. Dia mematuhi perintah-Nya dan peraturan-Nya dan berjalan di atas muka bumi dengan tawaduk dan takwa.
Seseorang yang ingin menjadi salik sangat perlu melepaskan pemahaman wahdatul wujud dan keinginan kepada sesuatu yang selain Allah s.w.t separti kasyaf, kekeramatan, kewalian, sesuatu ilmu dunia dan lain-lain yang bisa menjadi hijab. Masuklah ke dalam suluk bersama-sama syariat, sebagai hamba Tuhan, yang inginkan makam sebagai hamba Tuhan semata-mata tidak hamba kepada yang selain-Nya, mau menyembah Tuhan semata-mata, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu baik yang nyata maupun yang ghaib, berharap, bergantung dan berhajat kepada-Nya semata-mata, tidak kepada yang lain.
Orang yang baru memasuki bidang tarekat tasauf gemar memerhatikan martabat nafsu. Mereka sering mengintai-intai diri mereka apakah sudah berada pada martabat nafsu yang tinggi. Jika mereka merasakan terdapat tanda ketinggian nafsu mereka maka mereka akan merasakan kejayaan. Orang salik dan juga orang yang berminat kepada tasauf perlulah sedar bahwa martabat nafsu bukanlah matlamat. Uraian di dalam buku-buku, daerah nafsu-nafsu dinyatakan dengan jelas. Dalam perjalanan yang sebenarnya tidak ada sempadan yang jelas di antara satu daerah nafsu dengan daerah nafsu yang berikutnya. Perubahan sifat nafsu berlaku tanpa disedari, tidak ada isyarat yang mengsahkan yang mereka sudah berpindah kepada daerah nafsu yang lain. Keinginan kepada pertukaran makam nafsu merupakan tipu daya yang halus. Orang yang memasuki suluk perlu membuang kehendak diri sendiri dan tunduk kepada kehendak Tuhan. Jika masih lagi mengintai makam nafsu bermakna kehendak diri masih lagi kuat. Walaupun dia melihat tanda nafsunya sudah ada pada makam yang tinggi, tetapi keinginannya kepada makam nafsu yang tinggi itu menunjukkan kehendaknya masih belum menyerah kepada kehendak Tuhan. Itu bermakna dia belum mencapai makam nafsu yang tinggi itu walaupun dia merasakan sudah mencapainya. Makam-makam nafsu hanyalah panduan di dalam perjalanan, berguna bagi guru yang membimbing muridnya dalam menyusun latihan berperingkat-peringkat.
Permulaian tarekat adalah syariat dan penghabisan tarekat adalah juga syariat. Kebenaran dalam syariat dipermulaian jalan tidak jelas. Setelah sampai di penghujung jalan kebenaran yang dinyatakan oleh syariat menjadi jelas. Pengalaman fana yang paling tinggi dalam nafsu radhiah tidak dapat menandingi satu sholat fardu yang dilakukan karena Allah s.w.t menurut peraturan syariat. Baqa bersama-sama Allah s.w.t di dalam makam nafsu mardhiah tidak dapat menandingi baqa (kekal) di dalam Sunah Rasulullah s.a.w. Kesempurnaan nafsu pada makam kamaliah tidak dapat menandingi kesempurnaan menjalankan perintah Allah s.w.t, terutamanya dalam bidang berdakwah membimbing umat manusia kepada jalan Allah s.w.t. Makam-makam nafsu hanyalah alat atau jalan, bukan matlamat. Zikir yang dilakukan sendirian selama 24 jam tanpa berhenti tidak dapat menandingi zikir yang melibatkan perkataan, perbuatan dan perasaan yang dilakukan dalam masyarakat dan memanfaatkan makhluk Tuhan. Tarekat haruslah dijadikan alat untuk menyempurnakan syariat bukan untuk sesuatu tujuan yang lain.
Salik perlu tahu bahwa latihan kerohanian yang sebenar hanya bermulai apabila dia diseret oleh kuasa ghaib dan dia dapat merasakan yang dia diberi bimbingan, tunjuk-ajar serta panduan. Pada masa yang sama dia merasakan jalan menuju Tuhan semakin terang dan rasa kehampiran dengan Tuhan semakin bertambah. Salik perlu sedar bahwa tidak ada satu jalan pun daripada hamba kepada Tuhan. Semua jalan kepada Tuhan adalah dihulurkan daripada Tuhan kepada hamba. Selagi Tuhan tidak menghulurkan jalan selagi itulah hamba tidak menemui jalan kepada-Nya. Latihan kerohanian yang dilakukan oleh salik bertujuan mempersiapkan salik agar bersedia memasuki jalan Tuhan apabila Tuhan membuka jalan tersebut. Sekiranya dia tidak bersedia jalan tersebut akan ditutup kembali. Rasulullah s.a.w berkhalwat di Gua Hiraa sebagai persiapan menerima kedatangan wahyu. Khalwat yang baginda s.a.w lakukan itu tidak berupaya memanggil wahyu turun. Wahyu datang daripada Allah s.w.t, menurut kehendak-Nya namun, Allah s.w.t menghantarkan wahyu setelah baginda s.a.w bersedia dan mampu menerima kedatangan wahyu itu. Begitu juga dengan kedatangan warid. Ia dihantarkan kepada salik yang bersedia menerimanya.
Setelah mengakui tidak ada jalan atau tangga yang bisa dibina oleh hamba untuk mencapai Tuhan maka hamba tidak ada pilihan kecuali bersandar kepada Tuhan dan berserah diri kepada-Nya. Ilmu dan amal hanya mampu membawa salik kepada makam berserah diri kepada Tuhan dengan sepenuh jiwa raga. Makam berserah diri adalah medan di mana dihulurkan jalan atau tangga yang membawa seseorang hamba kepada Tuhan. Penyerahan yang sebenar itu adalah Islam. Hanya Islam saja yang menjadi agama yang diredai Allah s.w.t dan kepada orang yang benar-benar Islam saja dikurniakan nikmat kehampiran dengan Allah s.w.t Yang Maha Tinggi. Tidak dinamakan Islam tanpa syariat Islam. Oleh sebab itu tarekat yang putus dengan syariat Islam tidak akan menemukan seseorang dengan Allah s.w.t. Islam merupakan satu-satunya jalan bagi seseorang hamba menghampiri Tuhan. Tidak ada jalan lain lagi. Allah s.w.t telah menyatakan perkara ini dengan tegasnya di dalam al-Quran:
Hari ini Aku sempurnakan agama kamu bagi kamu dan Aku cukupkan atas kamu nikmat-Ku. Dan Aku reda Islam menjadi agama (syariat) kamu. ( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah )
27: Ciri-ciri Dan Doktrin Nabi Palsu
________________________________________
Nabi Muhammad s.a.w terkenal di seluruh Tanah Arab, sampai ke Yamamah. Baginda s.a.w dikenali sebagai Utusan Allah dan seorang pemimpin yang agung menguasai sebuah kerajaan yang besar dan kuat. Kemuliaan dan kebesaran baginda s.a.w bertapak dalam hati orang banyak. Salah seorang yang mengagungkan kebesaran Nabi Muhammad s.a.w itu adalah Musailima bin Habib dari Banu Hanifah yang tinggal di Yamamah. Musailima bukanlah seorang yang berkedudukan mulia dalam golongannya. Dia lebih merupakan orang suruhan yang melakukan kerja-kerja menurut arahan golongan atasan dalam golongannya. Ketika rombongan Banu Hanifah berangkat ke Madinah untuk berjumpa dengan Nabi Muhammad s.a.w, Musailima dibawa bersama. Dia ditugaskan mengangkat barang-barang dan menjaga serta memberi makan hewan tunggangan. Rombongan Banu Hanifah berhenti di luar kota Madinah. Musailima tinggal menjaga barang-barang sementara ahli rombongan yang lain memasuki kota Madinah untuk menemui Rasulullah s.a.w. Rombongan Banu Hanifah itu telah memeluk Islam di hadapan Rasulullah s.a.w. Sebagai tanda persahabatan Islam, Rasulullah s.a.w memberikan mereka beberapa hadiah. Mereka juga telah menceritakan tentang salah seorang daripada mereka yang berada di luar kota Madinah menjaga barang-barang mereka. Rasulullah s.a.w berkenan juga memberikan hadiah kepada orang Banu Hanifah yang menjaga barang-barang itu sambil baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Dia bukan lebih hina daripada kamu”. Rasulullah s.a.w secara lembut menegur orang-orang Banu Hanifah bahwa tidak baik jika salah seorang daripada mereka yang merdeka diberi layanan sebagai budak suruhan. Mereka tidak seharusnya merendahkan sesama sendiri.
Setelah kembali ke tempat barang-barang ditinggalkan, mereka yang telah berjumpa dengan Rasulullah s.a.w telah memberikan hadiah kiriman baginda s.a.w kepada Musailima. Mereka menceritakan apa yang telah dikatakan oleh baginda s.a.w. Pemberian hadiah, diiringi oleh kata-kata yang baik daripada seorang pemimpin yang sangat agung telah menimbulkan kejutan dalam jiwa Musailima yang selama ini tidak pernah dipandang mulia oleh kaumnya. Hatinya mengulangi kata-kata baik yang diucapkan mengenainya itu. Dia merenung dirinya sendiri yang mendapat perhatian daripada seorang Rasul dan pemerintah yang begitu mulia. Tentu sekali perhatian diberikan kepadanya karena dia juga seorang yang mulia. Semakin dia merenung dirinya semakin dia menjadi asyik dengan dirinya. Rasa kemuliaan diri timbul dalam dirinya, semakin lama semakin kuat. Musailima menjadi asyik mahsyuk dengan dirinya sendiri.
Keasyikan kepada diri sendiri merupakan pintu masuk kepada alam gelap yang membentuk misal diri yang mulia. Musailima telah dibawa kepada penggoda-penggoda alam gelap dan akhirnya dia menemui apa yang telah ditemui oleh Petrus, penganut agama Nasrani. Petrus telah ditabalkan oleh iblis menjadi nabi. Musailima juga menerima pertabalan tersebut. Petrus bersekutu dengan Isa al-Masih. Musailima bersekutu dengan Nabi Muhammad s.a.w. Petrus menerima ‘wahyu’ dari iblis. Musailima juga menerima yang demikian. Petrus mengaku menjadi nabi. Musailima juga mengaku menjadi nabi. Bertambahlah bilangan nabi-nabi palsu yang ditabalkan oleh iblis.
Pada zaman Nabi Muhammad s.a.w selain Musailima ada dua orang lagi yang mengaku menjadi nabi. Mereka adalah Thulaihah al-Asadi dan seorang wanita Banu Tamim bernama Sajjah. Tiga orang nabi-nabi palsu itu diperangi oleh Khalifah Abu Bakar as-Siddik kemudian hari nanti. Kaum Muslimin mengetahui bahwa mereka adalah nabi-nabi palsu, tetapi ke tiga-tiga mereka tidak tahu yang diri mereka adalah nabi-nabi palsu. Mereka benar-benar percaya bahwa mereka adalah nabi. Musailima yakin bahwa dirinya bersekutu dan bersatu dengan Nabi Muhammad s.a.w dan dia lebih mulia daripada Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Bermulai dengan keasyikan dengan diri sendiri Petrus, Musailima, Thulaihah dan Sajjah membangkitkan keegoan roh hewani mereka. Satu medan alam ghaib di bawah bumbung langit dunia terbuka kepada roh hewani mereka yang dikenderai oleh ego diri. Mereka masuk ke dalam Alam Misal gubahan iblis. Dalam Alam Misal tersebut mereka menyaksikan keagungan, kemuliaan dan kesempurnaan diri mereka sendiri melebihi segala kewujudan. Apabila mereka sudah merasakan diri mereka melebihi daripada segala sesuatu mereka pun ditabalkan oleh iblis menjadi nabi-nabi, yaitu utusan iblis bagi menyebarkan ajaran sesat kepada umat manusia. Tuhan mereka adalah diri mereka sendiri dan syariat mereka adalah hawa nafsu. Nabi-nabi iblis itu akan menanggalkan kehambaan, menghalalkan arak, judi dan zina. Mereka menggugurkan kewajiban sholat lima waktu, puasa dan zakat. Apa saja yang dinamakan syariat Islam bagi mereka adalah kosong, tidak ada faedahnya. Amalan agama yang mereka bawa sangat bersesuaian dengan kehendak hawa nafsu.
Nabi-nabi iblis akan muncul dari masa ke masa. Mereka akan merombak peraturan syariat dan Sunah. Mereka membawa cerita-cerita ganjil yang mengelirukan. Mereka meletakkan al-Quran di bawah tapak kaki mereka dan meletakkan ceritera daripada iblis di atas kepala mereka. Sifat yang nyata lahir daripada mereka adalah ujub dan ria. Mereka mendakwa bahwa merekalah yang paling benar, paling bermakrifat.
Nabi palsu berbeda daripada orang munafik. Orang munafik memutar-belitkan agama tanpa membawa satu bentuk kepercayaan khusus sebagai alternatif. Orang munafik tidak mempunyai pendirian yang tetap. Asal saja mereka dapat memesungkan yang benar mereka sudah berpuas hati. Nabi palsu pula membawa agama alternatif dengan menggunakan istilah agama yang sudah ada. Mereka mempunyai kepercayaan dan pegangan yang khusus. Ada amalan tertentu yang mereka titik beratkan.
Munafik hanya bersandar kepada hukum akal dan logik lahiriah. Nabi palsu pula menutup pintu akal dan membuka prinsip mengimani sumber ghaib yang berhubungan dengan mereka. Munafik memperbanyakkan hujah. Nabi palsu membentuk kepercayaan tanpa hujah. Setiap munafik bebas meminda agama menurut kehendak individu. Pengikut nabi palsu pula berpegang bulat kepada apa yang dikatakan oleh ketua mereka yang dipercayai sebagai nabi itu. Kedua-dua golongan tersebut akan membina jalan-jalan yang selari dengan jalan yang lurus dan mereka akan mencoba menarik umat Islam supaya masuk kepada jalan mereka. Orang yang tergelincir kepada jalan munafik dan jalan nabi palsu masih merasakan yang dia berada pada jalan yang lurus.
Gerakan Musailima tidak mendapat pengaruh ketika Nabi Muhammad s.a.w masih hidup. Setelah Rasulullah s.a.w wafat golongan yang ingin lari daripada pemerintahan Madinah telah memberi sokongan kepada Musailima tetapi mereka dapat dikalahkan oleh kaum Muslimin yang dipimpin oleh Saidina Abu Bakar as-Siddik.
28: Ciri-ciri Dan Doktrin Munafik
________________________________________
Gerakan munafik bermulai di Madinah di bawah pimpinan Abdullah bin Ubai. Abdullah bin Ubai, sebelum kedatangan Rasulullah s.a.w ke Madinah, merupakan seorang yang sangat berpengaruh di sana sebagaimana kedudukan Abu Sufyan di Makkah. Selepas Perang Bu’as tamat penduduk Madinah (nama asalnya Yasrib) sudah sepakat untuk melantik Abdullah bin Ubai sebagai raja di Madinah, malah mahkotanya pun sudah siap dibuat. Masyarakat Madinah bersetuju melantik Abdullah bin Ubai menjadi raja menunjukkan dia memiliki sifat-sifat yang menyebabkan dia dihormati dan dimuliakan.
Sebelum Nabi Muhammad s.a.w berhijrah ke Madinah, kaum Yahudi sudah lama bertapak di sana. Kaum Yahudi dikenali sebagai ahli Kitab, orang beragama yang memiliki peradaban yang mulia. Kaum Yahudi juga menguasai bidang ekonomi dan mempunyai kekuatan dalam bidang ketenteraan. Kaum Yahudi yang dikenali sebagai ahli agama, ahli ilmu, ahli ekonomi dan ahli ketenteraan menyebabkan mereka dipandang tinggi oleh orang Arab Madinah.
Orang Arab Madinah memandang kaum Yahudi sebagai manusia yang berjaya dan disegani. Kedudukan kaum Yahudi yang demikian menyebabkan orang Arab Madinah suka meniru peradaban Yahudi tetapi mereka tidak memeluk agama Yahudi. Bagi orang Arab agama Yahudi dilihat sebagai khusus untuk orang Yahudi saja. Walaupun tidak menerima agama Yahudi tetapi banyak daripada nilai-nilai moral Yahudi diterima pakai oleh orang Arab Madinah.
Golongan Arab Madinah yang berilmu merupakan orang yang paling banyak menceduk peradaban Yahudi dan meng-Arabkan peradaban tersebut. Di antara mereka adalah Abdullah bin Ubai. Kumpulan Abdullah bin Ubai mempraktikkan nilai-nilai moral yang lebih tinggi daripada orang Arab Madinah yang lain. Oleh karena itu mereka dipandang tinggi dan dihormati. Ketika Perang Bu’as hampir berlaku di antara dua golongan terbesar di Madinah, kumpulan Abdullah bin Ubai menentang suku-suku mereka yang mau berperang itu. Bila peperangan berlaku juga Abdullah bin Ubai tidak ikut serta dalam peperangan tersebut. Sikap berkecualinya itulah yang menyebabkan dia dicadangkan untuk menjadi raja setelah kedua-dua pihak yang berperang itu berdamai.
Walaupun menimba dari telaga Yahudi namun ahli fikir Arab Madinah mempertahankan ke-Araban mereka. Sikap yang demikian menyebabkan terbentuk aliran pemikiran yang kabur. Ia bukan Yahudi dan bukan juga Arab. Mereka menganggap diri mereka setaraf dengan orang Yahudi yang berilmu dan mereka lebih mulia daripada umat Arab yang jahil. Oleh karena apa yang terbentuk dalam aliran pemikiran mereka tidak jelas, maka tidak ada satu bentuk kepercayaan atau akidah yang mereka pertahankan. Mereka mempertahankan satu perkara saja, yaitu merekalah golongan Arab yang paling pintar dan apa saja yang datang daripada orang Arab yang lain tidak sama dengan apa yang ada dengan mereka. Apabila agama Islam datang ke Madinah dibawa oleh orang Arab Makkah, kumpulan Abdullah bin Ubai itu sudah ada keputusan sejak awal-awal lagi untuk menolaknya. Mereka menganggap apa yang baru datang itu lebih rendah daripada apa yang ada dengan mereka. Mereka menjadi golongan yang tidak mempertahankan sebarang kepercayaan dan juga tidak ada satu kepercayaan yang mereka terima. Sebagaimana golongan Yahudi yang menganggap semua bangsa di dunia lebih rendah daripada mereka, begitu juga kumpulan Abdullah bin Ubai yang meminum air daripada telaga Yahudi menganggap semua orang Arab lebih rendah daripada mereka. Mereka memandang rendah apa saja yang datang daripada orang Arab yang lain. Mereka adalah golongan yang sudah ada keputusan untuk mengunci mata, telinga dan hati mereka daripada segala agama yang datang kepada mereka.
Arus perkembangan Islam melanda Madinah dengan deras dan menyeluruh. Dalam masa kurang daripada satu tahun hampir keseluruhan penduduk Madinah sudah memeluk agama Islam. Segala aktiviti berpusat kepada Nabi Muhammad s.a.w dan agama Islam. Kumpulan Abdullah bin Ubai yang memandang diri mereka sebagai lebih mulia itu tidak ada pilihan melainkan ikut serta di dalam rentak perkembangan Madinah, jika tidak mereka akan tersisih. Penyertaan mereka di dalam arus tersebut juga bertujuan mencari jalan merampas semula kekuasaan di Madinah sebagaimana sebelum kedatangan agama Islam dan Nabi Muhammad s.a.w ke sana. Mereka mau orang-orang Makkah meninggalkan Madinah.
Oleh karena mereka tidak mempunyai satu bentuk kepercayaan yang jelas dan tidak ada satu agama yang mereka pertahankan, maka mereka bisa bergerak cergas dalam apa juga medan kepercayaan atau agama. Istilah dosa, pahala, syurga, neraka, hari kiamat, halal dan haram tidak ada pada mereka. Akhirat tidak ada dalam pandangan mereka. Apabila tidak ada agama yang diperjuangkan dan tidak ada kepercayaan kepada perkara ghaib, kumpulan tersebut menyertai kegiatan agama orang lain dalam keadaan yang dipanggil munafik. Mereka memakai baju agama padahal mereka tidak ikhlas berbuat demikian dan tidak merelakannya.
Munafik berbeda daripada kafir. Orang kafir tidak percaya kepada agama Islam karena mereka mempunyai kepercayaan sendiri dan mereka pertahankan kepercayaan tersebut. Penentangan mereka terhadap Islam adalah jelas. Orang munafik pula di samping tidak beriman kepada agama Islam, mereka tidak mendatangkan kepercayaan yang menjadi alternatif dan mereka tidak menyebarkan sebarang bentuk kepercayaan. Oleh yang demikian mereka bisa menyertai kegiatan Islam seolah-olah mereka adalah orang Islam sejati dan mereka bisa menentang Islam seolah-olah mereka adalah orang kafir tulin. Mereka menganggapkan Islam sebagai baju yang bisa dipakai dan ditanggalkan menurut keadaan yang membawa keuntungan kepada mereka.
Al-Quran menceritakan keadaan golongan munafik:
Dan sebagian daripada manusia ada yang berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”. Padahal mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak memperdayakan Allah dan orang yang beriman, padahal mereka tidak perdayakan melainkan diri mereka sendiri sedangkan mereka tidak sedar. Di hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambahkan penyakit kepada mereka dan adalah bagi mereka seksaan yang pedih sebab mereka telah berdusta. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerosakan di bumi”, mereka menjawab: “Kami tidak lain melainkan orang yang membuat kebaikan”. Ketahuilah bahwa mereka itu adalah orang yang membuat kerosakan tetapi mereka tidak sedar. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah sebagaimana orang yang telah beriman”. Mereka berkata, “Apakah harus kami beriman separti orang-orang bodoh itu beriman?” Ketahuilah mereka itulah orang-orang yang bodoh tetapi mereka tidak ketahui. Dan apabila mereka bertemu dengan orang yang beriman mereka berkata, “Kami telah beriman”. Apabila bersendirian dengan syaitan-syaitan mereka, mereka berkata, “Kami beserta kamu. Kami tidak lain melainkan memperolok-olokkan (orang yang beriman)”. ( Ayat 8-14 : Surah al-Baqarah )
Yang tuli, yang bisu, yang buta. Lantaran itu mereka tidak akan kembali. ( Ayat 18 : Surah al-Baqarah )
Orang munafik sangat berbeda daripada orang kafir. Orang kafir dengan tegas menyatakan tidak beriman baik secara terang atau pun secara bersembunyi. Ancaman azab neraka dan pujukan nikmat syurga tidak menarik orang kafir kepada iman. Orang munafik pula mengucap dua Kalimah Syahadah dengan lidah mereka dan tidak keberatan menyertai amalan ibadat bersama-sama orang Islam yang lain, tetapi ucapan dan ibadat yang dilakukan itu tidak berbekas pada hati mereka. Mulut mereka mengatakan beriman kepada Allah s.w.t dan hari akhirat tetapi hati mereka kufur. Mereka adalah orang yang Islam pada zahir tetapi kafir pada hati. Perbuatan zahir mereka sesuai dengan perbuatan orang yang beriman karena mereka mau menyembunyikan apa yang ada dalam hati mereka. Ada kepentingan diri yang mereka mau jaga.
Golongan munafik tidak mengakui kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Bagi mereka Nabi Muhammad s.a.w hanyalah seorang lelaki Arab yang sama dengan lelaki Arab yang lain, yang tergolong dalam kalangan bangsa Arab yang mereka pandang lebih rendah daripada mereka. Mereka menolak kepimpinan Nabi Muhammad s.a.w. Mereka mau agar baginda s.a.w mengikuti kepimpinan mereka. Mereka juga tidak mempunyai perasaan hormat kepada Nabi Muhammad s.a.w. Oleh karena mereka menganggapkan Nabi Muhammad s.a.w, maka mereka tidak menerima kedudukan wahyu sebagai Kalam Allah s.w.t. Mereka menganggap wahyu hanyalah perkataan Nabi Muhammad s.a.w yang sama dengan perkataan orang lain yang bisa dihujah dan ditolak. Golongan munafik, dengan kerjasama kaum Yahudi, sangat aktif di dalam mempartikaikan wahyu dan hadis Nabi Muhammad s.a.w.
Tuhan memperingatkan Rasulullah s.a.w supaya berwaspada terhadap golongan munafik yang akan mencoba untuk membawa baginda s.a.w tunduk kepada pemimpin mereka. Baginda s.a.w diperingatkan bahwa golongan munafik itu tidak suka kepada baginda s.a.w.
Wahai Nabi! Berbaktilah kepada Allah dan jangan engkau taat kepada kafir-kafir dan munafik-munafik, sesungguhnya Allah adalah Mengetahui, Bijaksana. ( Ayat 1 : Surah al-Ahzaab )
Dan jangan engkau tunduk kepada orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan biarkanlah gangguan mereka. Dan berserah dirilah kepada Allah karena cukuplah Allah sebagai Pengawal. ( Ayat 48 : Surah al-Ahzaab )
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kepada apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya”, kamu melihat orang munafik berpaling daripadamu sungguh-sungguh. (ayat 61 : Surah an-Nisaa’ )
Dan dari kalangan mereka ada yang menyakiti Nabi dan mereka berkata, “Dia itu pendengar!” (Maksudnya mengiyakan saja apa yang orang lain kata). Katakanlah: “Dia memang pendengar kebaikan kamu, dia beriman kepada Allah dan dia percaya kepada mereka yang beriman, dan jadi rahmat bagi orang yang beriman di antara kamu”. Dan mereka yang menyakiti Rasul Allah bagi mereka azab yang pedih. ( Ayat 61 : Surah at-Taubah )
Sangat sukar menangani golongan munafik karena secara terangnya mereka mengaku beriman walaupun hati mereka menolak. Mereka juga sanggup bersumpah bagi menegakkan benang basah.
Mereka akan bersumpah dengan Nama Allah kepada kamu untuk menyenangkan kamu, padahal Allah dan Rasul-Nya yang lebih patut mereka sukakan jika adalah mereka orang yang beriman. ( Ayat 62 : Surah at-Taubah )
Oleh karena golongan munafik hidup dalam kepura-puraan mereka sangat takut jika rahsia mereka diketahui oleh orang lain.
Amat takut orang munafik itu bahwa akan diturunkan atas mereka suatu surah yang mengkhabarkan kepada mereka apa yang ada dalam hati mereka. Katakanlah: “Perolok-olokkanlah! Sesungguhnya Allah akan mengeluarkan apa yang kamu takutkan itu”. (Ayat 64 : Surah at-Taubah )
Apabila tembelang mereka pecah golongan munafik itu akan berdalih secara selamba dan mudah. Bila bertembung dengan kebenaran yang tidak dapat dielakkan golongan munafik tidak akan mempertahankan kesesatan dan kebohongan yang mereka telah lakukan.
Dan jika engkau tanyakan kepada mereka tentu mereka akan berkata, “Kami ini hanya bergurau senda dan bermain-main”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah dan ayat-ayat-Nya dan (dengan) Rasul-Nya kamu hendak berolok-olok?” ( Ayat 65 : Surah at-Taubah )
Golongan munafik menyebarkan ajaran yang menyalahi syariat Islam. Apabila syariat meletakkan peraturan amal makruf dan mencegah yang munkar, golongan munafik akan menilai yang makruf sebagai keuntungan duniawi dan yang munkar pula sebagai kerugiannya. Mereka menganggap zakat dan sedekah sebagai bukan amal makruf karena ia merugikan dari segi keduniaan.
Laki-laki munafik dan perempuan munafik yang sebagian mereka adalah dari yang sebagian, mereka menyuruh yang munkar dan melarang dari yang makruf dan mereka genggamkan tangan mereka (bakhil). Mereka telah melupakan Allah dan Allah pun melupakan mereka. Sesungguhnya orang munafik itu adalah orang yang fasik (melewati batas). ( Ayat 67 : Surah at-Taubah )
Golongan munafik pandai berdolak-dalih. Mereka berani menggunakan nama Allah bagi menutup kesesatan dan kekufuran mereka. Tuhan memerintahkan Nabi s.a.w agar berjihad memerangi orang munafik karena mereka adalah orang yang kufur.
Wahai Nabi! Berjihadlah terhadap kaum kafir dan munafik dan berlaku keraslah terhadap mereka. Tempat kembali mereka adalah jahanam dan itulah yang seburuk-buruk kesudahan. Mereka akan bersumpah dengan Nama Allah bahwa mereka tidak pernah berkata, padahal mereka pernah mengatakan kalimat kufur dan mereka telah kafir sesudah Islam dan mereka sangat mengingini apa yang tidak dapat mereka capai. Dan tidaklah kebencian mereka itu melainkan karena Allah dan Rasul-Nya telah memperkayakan orang yang beriman dengan kurnia-Nya. Tetapi jika mereka bertaubat adalah baik bagi mereka dan jika mereka berpaling, Allah akan azabkan mereka dengan satu azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan tidak ada bagi mereka pembantu di bumi dan tidak ada penolong. ( Ayat 73 – 74 : Surah at-Taubah )
Al-Quran memberi peringatan tentang ancaman golongan munafik terhadap keselamatan dan kepercayaan orang yang beriman. Tuhan menamakan satu surah al-Quran dengan nama surah al-Munafiqun, bagi menyedarkan kaum Muslimin betapa bahayanya kehadiran golongan munafik di dalam masyarakat kaum Muslimin. Tuhan menggesa Nabi Muhammad s.a.w dan kaum Muslimin semua zaman agar berwaspada terhadap tipu daya dan fitnah yang datang daripada golongan munafik.
Apabila orang munafik datang kepada kamu mereka akan berkata, “Kami mengakui bahwasanya kamu Rasul Allah,” padahal Allah mengetahui bahwasanya engkau pesuruh-Nya dan Allah menyaksikan bahwasanya kaum munafik itu adalah orang yang berdusta. Mereka jadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perlindungan, lalu mereka halangi manusia dari jalan Allah. Sesungguhnya jelek apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian (adalah) lantaran beriman kemudian mereka kufur, lalu dimetrai atas hati mereka; oleh itu mereka tidak dapat memahami. ( Ayat 1 – 3 : Surah al-Munafiquun )
Dan apabila engkau lihat mereka, mengherankan kamu tubuh-tubuh mereka; dan jika mereka berkata-kata, engkau dengarkan perkataan mereka. Mereka seolah-olah kayu yang disandarkan. Tiap-tiap teriaan mereka sangka buat membahayakan mereka. Mereka adalah musuh; maka hendaklah engkau awasi mereka. Allah laknati mereka! Ke manakah mereka dipalingkan? ( Ayat 4 : Surah al-Munafiquun )
Tuhan memperingatkan sungguh-sungguh kepada Nabi s.a.w dan kaum Muslimin sekaliannya pada semua zaman, supaya jangan membiarkan racun yang ditabur oleh golongan munafik memusnahkan umat. Sekali lagi Tuhan memberi peringatan!
Wahai Nabi! Berjihadlah menentang kaum kafir dan munafik dan berlaku keraslah terhadap mereka dan tempat kembali mereka itu adalah jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. ( Ayat 9 : Surah at-Tahrim )
Tuhan memberi peringatan kepada kaum Muslimin, sekiranya kegiatan golongan munafik yang mencampur adukkan kesesatan dan kekufuran ke dalam akidah Islam tidak dibendung, nescaya umat Islam akan menemui kehancuran. Setiap umat Islam mestilah berwaspada terhadap orang munafik yang berada di tengah-tengah mereka. Tanda munafik mudah dikenal melalui keengganan mereka berjuang pada jalan Allah s.w.t.
Dan supaya dibuktikan-Nya pula keadaan orang-orang munafik. Dikatakan kepada mereka: “Marilah berperang pada jalan Allah atau pertahankanlah.” Mereka menjawab, “Kalau kami tahu berperang nescaya kami ikut kamu (berperang).” Mereka itu pada hari tersebut lebih hampir kepada kufur daripada kepada iman. Mereka berkata dengan mulut mereka apa yang tidak ada dalam hati mereka. Dan Allah lebih Mengetahui apa-apa yang mereka sembunyikan. (Adalah) mereka yang berkata kepada saudara-saudara mereka sambil mundur, “Kalau mereka ikut kami tentu mereka tidak terbunuh.” Katakanlah: “Kalau begitu tolakkanlah kematian daripada kamu jika memang kamu orang yang benar.” ( Ayat 167 – 168 : Surah a-Li ‘Imraan )
Kemunafikan lebih ketara melalui amalan yang mereka lakukan sambil lewa saja, semata-mata sebagai pameran.
Orang munafik menipu Allah dan Allah pun (balas) menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri kepada sholat mereka berdiri dalam keadaan malas. Mereka menunjuk-nunjuk kepada manusia dan tidaklah mereka mengingati Allah kecuali sedikit. Keadaan mereka terumbang ambing di antara yang demikian itu, tidak kepada mereka itu, tidak kepada mereka ini; karena barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tidak akan engkau dapat satu jalan (keselamatan) baginya. ( Ayat 142 – 143 : Surah an-Nisaa’ )
Tuhan memberi amaran yang keras kepada orang munafik:
Sesungguhnya jika tidak berhenti juga orang munafik itu dan orang yang dalam hatinya ada penyakit dan pengacau-pengacau di Madinah, nescaya Kami akan kerahkan engkau terhadap mereka. Kemudian itu tidaklah mereka akan bertetangga lagi dengan engkau di situ kecuali bagi masa yang singkat. Mereka di dalam keadaan terkutuk di mana saja mereka dijumpai dan mereka akan dibunuh sampai semusnah-musnahnya. Sunah Allah yang telah berlaku pada orang-orang yang terdahulu. Dan sekali-kali tidak akan didapati bagi Sunnatullah itu satu pengganti. ( Ayat 60 –62 : Surah al-Ahzaab )
Al-Quran telah memberi gambaran yang jelas tentang orang munafik. Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin mengenali golongan munafik yang ada di dalam masyarakat mereka. Mereka dapat menunjukkan dengan jelas bahwa Abdullah bin Ubai adalah pemimpin golongan munafik. Keterangan yang telah diberikan oleh al-Quran memberi manfaat bagi kaum Muslimin dalam mengawasi pergerakan golongan munafik agar perpaduan, keselamatan dan kesejahteraan kaum Muslimin dapat dipelihara. Umat Islam yang datang kemudian mestilah memerhatikan petunjuk daripada al-Quran bagi mengenali musuh-musuh mereka.
Abdullah bin Ubai telah pun mati. Markas golongan munafik, sebuah masjid yang dibina di Zu Awan, sudah pun dibakar oleh kaum Muslimin pada zaman Rasulullah s.a.w. Tetapi kaum Muslimin perlu berwaspada karena racun munafik masih berjalan hingga ke hari ini.
Golongan munafik terdiri daripada orang-orang yang sangat licik. Mereka hidup bersama-sama orang Islam, mengaku sebagai orang Islam dan melibatkan diri dalam kegiatan kaum Muslimin, malah mereka merasakan yang mereka lebih Islam daripada orang-orang Islam yang lain. Memang sukar untuk mengenali hati yang munafik, sedangkan mulutnya mengucapkan dua Kalimah Syahadah dan anggotanya melakukan ibadat bersama-sama kaum Muslimin yang lain. Orang munafik bergerak di dalam masyarakat orang Islam, sebagai orang Islam dan menggunakan ajaran Islam. Orang munafik melakukan apa yang sudah dibuat oleh kaum Yahudi dan Nasrani, yaitu mengubah maksud kitab Allah dan meminda syariat Islam. Mereka mengadakan tafsiran al-Quran menurut cara mereka sendiri. Golongan munafik adalah ilmuan yang mengeluarkan al-Quran tiruan dan Hadis palsu, terutamanya dalam soal yang bersangkutan dengan akidah dan kebatinan. Daripada golongan yang demikianlah muncul istilah kebudayaan Islam yang ditampalkan kepada kegiatan maksiat yang berlawanan dengan syariat Tuhan. Lahir pula persatuan Islam pada nama tetapi bergiat memecah-belahkan perpaduan umat Islam. Ada pula istilah seni bina Islam diletakkan pada bangunan yang digunakan sebagai sarang perjudian dan pelacuran. Lebih buruk lagi timbul akidah syirik yang dikatakan sebagai akidah Islam yang sebenarnya. Racun yang dikeluarkan oleh Abdullah bin Ubai dan kawan-kawannya sudah meresap ke dalam darah daging umat Islam di seluruh dunia pada masa kini. Hanya bimbingan daripada Allah s.w.t dapat menyelamatkan umat Islam daripada fitnah golongan munafik itu.
Orang munafik tidak mempunyai kepercayaan dan pegangan yang jelas. Mereka sendiri tidak pasti apakah yang mereka pegang dan imankan. Mereka bergerak berlandaskan kepercayaan dan pegangan orang lain dengan mengadakan perubahan kepada yang asli, tetapi mereka tetap menggunakan label yang asli, separti lembu yang mati di tepi jalan diletakkan label halal. Orang munafik bergerak di dalam masyarakat orang Islam, bercakap pasal Islam, tetapi apa yang mereka bawa adalah perkara yang sudah diselewengkan. Orang yang berilmu dapat melihat penyelewengan tersebut tetapi orang jahil akan keliru karena si munafik bercakap tentang Allah s.w.t dan agama Islam. Lebih-lebih lagi si munafik itu pandai menggunakan hujah keagamaan, terutamanya secara usul yang tidak ada kesudahan. Mereka suka menggunakan cara berteka teki yang sukar dimengarti. Lebih mengelirukan lagi apabila si munafik berhujah dengan menyandarkan kepada Hadis Nabi s.a.w, perkataan sahabat dan wali-wali yang mereka gubah sendiri, yang tidak diketahui oleh orang jahil. Si munafik bisa bersumpah bohong dengan menggunakan nama Allah bagi memerangkap orang yang jahil. Orang Islam yang jahil mudah terperangkap dengan ajaran sesat orang munafik. Kegiatan orang munafik menjadi lebih mudah setelah berlaku proses asimilasi agama-agama lain separti Buddha, Hindu dan Keristian ke dalam agama Islam.
Setiap kaum Muslimin yang insaf berkewajiban menyelak setiap hamparan dan membongkar setiap tutupan bagi mencari racun munafik yang bersembunyi di dalam kalangan umat Islam. Racun tersebut mestilah dikeluarkan. Inilah jihad kaum Muslimin zaman ini!
29: Kaum Sufi Di Zaman Rasulullah s.a.w
________________________________________
Ahli suffah merupakan satu kumpulan sahabat Rasulullah s.a.w yang daripada mereka dikatakan bermulainya aliran sufi atau tasauf. Mereka dikenali sebagai golongan miskin yang menumpang tinggal di beranda masjid Rasulullah s.a.w di kota Madinah. Perbelanjaan mereka ditanggung oleh orang banyak. Mereka terdiri daripada golongan yang tidak memiliki apa-apa, lemah dan tiada kemahiran dalam urusan kehidupan harian. Walaupun keadaan ahli suffah yang demikian kaum Muslimin tidak menganggapkan mereka sebagai beban. Kaum Muslimin yang berkemampuan dengan ikhlas hati memberi bantuan kepada golongan yang lemah itu.
Apabila perkembangan Islam telah pesat ternyata peranan ahli suffah sangat penting. Tindakan Rasulullah s.a.w menyediakan tempat di beranda masjid baginda s.a.w untuk satu golongan yang menjadi ahli masjid merupakan satu tindakan yang sangat berhikmah. Ahli suffah yang juga ahli masjid Rasulullah s.a.w merupakan kumpulan yang paling hampir dengan baginda s.a.w. Mereka yang mulai-mulai mendengar pengajaran Rasulullah s.a.w. Mereka senantiasa hadir di dalam majlis baginda s.a.w. Mereka mempelajari al-Quran secara langsung daripada Rasulullah s.a.w. Peranan mereka adalah umpama kutubkhanah yang menyimpan segala macam pengajaran Nabi Muhammad s.a.w. Mereka hanya menceburi satu bidang saja dalam kehidupan ini, yaitulah bidang ilmu Rasulullah s.a.w. Dari kalangan mereka terdapat orang-orang yang sangat mendalam pengetahuan mereka tentang agama Islam. ‘Khazanah ilmu agama’ itulah yang memainkan peranan penting sebagai mubaligh yang menyampaikan ajaran Islam kepada kaum Muslimin yang tidak sempat hadir di dalam majlis Rasulullah s.a.w dan juga kepada mereka yang baru memeluk agama Islam. Ahli suffah, ahli masjid Nabi s.a.w atau ahli sufi pada zaman Rasulullah s.a.w merupakan golongan yang bekerja di dalam bidang ilmu sepanjang masa. Mereka merupakan gedung ilmu dan juga penyebar ilmu. Al-Quran memberikan perhatian istimewa kepada ahli suffah, ahli masjid Nabi s.a.w, ahli sufi atau ahli ilmu itu. Allah s.w.t memperakui kepentingan sumbangan mereka kepada perkembangan agama-Nya.
Untuk orang-orang faqir yang telah terikat pada jalan Allah, yang tidak sanggup lagi berusaha pada bumi, disangka oleh orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah golongan yang berada, dari sangat mereka menahan diri. Engkau dapat mengenal mereka daripada tanda mereka. Mereka tidak meminta-minta kepada manusia dengan memaksa-maksa. Maka apa pun harta yang kamu belanjakan sesungguhnya Allah amat Tahu. ( Ayat 273 : Surah al-Baqarah )
Dan tidaklah (patut) orang-orang yang beriman itu turut (ke medan perang) semuanya. Tetapi alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka satu kelompok; supaya mereka memberi ancaman kepada kaum mereka apabila mereka kembali kepada kaum mereka, supaya mereka berhati-hati. ( Ayat 122 : Surah at-Taubah )
Ahli suffah atau ahli sufi pada zaman Rasulullah s.a.w merupakan orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak berkehendakkan apa-apa kecuali Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Mereka dikenali sebagai faqir yang terikat pada jalan Allah s.w.t. Jalan Allah s.w.t bukan semata-mata berperang mengangkat senjata. Memelihara al-Quran dan al-Hadis juga merupakan jihad yang besar. Perkembangan Islam yang pesat memerlukan tenaga yang khusus dalam bidang tersebut. Urusan memelihara ilmu agama sangat penting. Jika tenaga khusus itu disalurkan kepada bidang pekerjaan harian maka urusan pemeliharaan ilmu agama akan terjejas, sedangkan ianya sangatlah penting bagi perkembangan agama. Al-Quran menganjurkan agar sebagian daripada umat Islam tidak keluar berperang. Jihad bagi golongan yang dibenarkan tidak keluar ke medan perang itu adalah memperdalamkan dan mengembangkan ilmu agama. Tuhan telah memberikan garisan pembagian tugas dalam pembangunan masyarakat dan perkembangan agama. Berperang mengangkat senjata dan berjuang mengembangkan ilmu agama sama-sama mendapat penghargaan dari Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Manusia yang paling hampir dengan derajat Kenabian adalah ahli ilmu. Ahli ilmu menunjukkan kepada manusia apa yang dibawa oleh Rasul. Ahli jihad pula berjuang dengan pedang mereka membawa apa yang dibawa oleh Rasul”. Baginda s.a.w juga bersabda yang bermaksud: “Pada hari kiamat tinta ulama ditimbang dengan darah syuhada”.
Ahli sufi pada zaman Rasulullah s.a.w merupakan orang-orang yang menyediakan diri mereka semata-mata untuk Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Mereka berfungsi sebagai penyimpan ilmu al-Quran dan Hadis dan juga segala jenis ilmu agama. Mereka memancarkan ilmu-ilmu tersebut ke seluruh pelosok muka bumi. Inilah dasar yang perlu diperhatikan dalam memperkaitkan ahli suffah dengan ahli sufi yang datang kemudian.
Jihad yang paling besar adalah jihad mengangkat senjata dan orang yang mati karenanya memperolehi syahid. Pekerjaan yang begitu besar dan mulia dikecualikan daripada ahli ilmu sepenuh masa, apa lagi pekerjaan yang berhubung dengan urusan mengisi perut. Pada zaman Rasulullah s.a.w, golongan yang bekerja khusus dalam bidang ilmu agama itu ditanggung oleh pemerintah, yaitu Rasulullah s.a.w sendiri.
Oleh karena ahli ilmu itu tidak melibatkan diri dalam urusan mencari rezeki, maka mereka tidak dapat mengecapi kemewahan dan kesenangan. Mereka hidup di dalam kefaqiran. Mereka faqir pada pandangan dunia tetapi kaya dengan ilmu Tuhan dan Rasul-Nya. Lidah dan pena mereka adalah pedang jihad mereka. Ilmu yang mereka pelajari dan sebarkan itulah darah syahid mereka. Rasulullah s.a.w memperakui bahwa golongan demikian sebagai kumpulan yang paling hampir dengan derajat kenabian. Ilmu mereka adalah percikan ilmu nabi-nabi. Rohani mereka adalah cermin jernih yang menerima pancaran cahaya kenabian. Golongan separti ini akan dihantarkan Tuhan dari masa ke masa pada setiap zaman. Tugas mereka adalah memperbaiki kerosakan yang berlaku pada ilmu agama, terutamanya dalam perkara akidah.
Kerajaan Islam yang diasaskan oleh Rasulullah s.a.w bermulai di Madinah. Semakin besar kerajaan Islam semakin besar dan berat tugas yang dipikul oleh Rasulullah s.a.w. Baginda s.a.w dibantu oleh empat orang ‘Menteri Kanan’. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Siapa pula ‘kakitangan kerajaan’ yang membantu Rasulullah s.a.w dan ‘Menteri-menteri’ baginda s.a.w? Mereka adalah ahli suffah yang bekerja sepenuh masa untuk Rasulullah s.a.w. Kebanyakan daripada masa baginda s.a.w dihabiskan di dalam masjid. Pengajaran, perancangan, strategi, polisi, wawasan dan lain-lain keluar daripada Rasulullah s.a.w dan disebarkan oleh ahli suffah. Mereka menyampaikan berita yang Rasulullah s.a.w mau sampaikan kepada kaum Muslimin. Ahli suffah yang bergerak mempastikan latihan ketenteraan berjalan dengan teratur sebagai persiapan mempertahankan agama dan negara Islam. Ahli suffah yang mengatur pembuatan senjata-senjata perang separti baju besi dan pedang. Ahli suffah juga menggerakkan kaum Muslimin mempersiapkan unta dan kuda mereka supaya apabila diperlukan semuanya berada dalam keadaan siap sedia. kehadiran ahli suffah, ahli masjid Nabi s.a.w atau ahli sufi itulah yang memudahkan Rasulullah s.a.w mentadbir negara Islam dari dalam masjid baginda s.a.w. Ketika bilangan tentera Islam masih sedikit, ahli suffah ikut serta berperang. Jadi, ahli suffah adalah satu kumpulan yang sangat aktif bekerja untuk Allah s.w.t dan Rasul-Nya tanpa gaji. Apa yang Rasulullah s.a.w berikan itulah bagian mereka bagi menyara kehidupan mereka. Mereka reda dengan yang demikian. Mereka lebih suka nama mereka tidak dikenali karena mereka tidak mencari nama dan kebesaran. Apa yang mereka cari hanyalah keredaan Allah s.w.t dan Rasul-Nya.
30: Tarekat Kehidupan Harian
________________________________________
Setiap orang yang hidup dalam dunia ini membina kehidupan masing-masing berdasarkan dorongan naluri semulajadi separti keinginan berkeluarga, mencari rezeki, memiliki tempat tinggal dan sebagainya yang mensejahterakan kehidupan di dalam alam ini. Hasilnya seseorang itu berjaya memiliki sesuatu separti pekerjaan yang baik, tempat tinggal yang selesa dan kemudahan asas yang lain yang diperlukan. Masing-masing juga sudah berkeluarga, hidup bagia bersama isteri dan anak-anak. Bukan mudah mau membina kehidupan yang selesa dan bagia itu. Seseorang itu perlu melalui kesusahan dan pengorbanan bagi memperolehinya. Adakah jika seseorang itu mau memasuki bidang kerohanian dia mesti meninggalkan atau membuang apa saja yang telah dimilikinya itu? Patutkah dia meninggalkan pekerjaan, rumah tangga, isteri, anak-anak dan masyarakat lalu lari ke hutan dan gua?
Orang yang cenderung kepada aliran tarekat tasauf gemar menjadikan kehidupan wali-wali yang dibaca daripada buku-buku sebagai contoh tauladan. Aspek kewalian yang paling menarik perhatian adalah kekeramatan. Kekeramatan dianggap sebagai bukti ketinggian makam seseorang wali itu. Kebisaan wali mengeluarkan kekeramatan dikaitkan dengan sifat zuhud dan bertawakal penuh yang dimiliki oleh wali tersebut. Orang yang berminat kepada tarekat tasauf itu mengandaikan jika mau memperolehi pangkat kewalian dan bisa mengeluarkan kekeramatan, perlulah dia memilih hidup bertajrid sepenuhnya dengan meninggalkan ikhtiar dan dia perlu bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sikap melulu bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Dia lari ke hutan, ke puncakk gunung dan ke gua-gua. Dia mengasingkan dirinya daripada segala-galanya yang dia anggap bisa menghalang perkembangan kerohaniannya. Ketika di dalam pengasingan itu dia meniru cara hidup wali-wali. Dia memaksa dirinya supaya menjadi kuat beribadat dan berzikir. Tidak memperdulikan keselamatan dirinya dan tidak mengambil tahu apa yang berlaku di sekelilingnya.
Biasanya orang yang bertajrid secara melulu ini tidak dapat bertahan lama. Kesabarannya tidak cukup kuat untuk menanggung kesusahan yang mendatanginya semasa dalam pengasingan. Kerinduan kepada anak-anak selalu mengganggu jiwanya. Kecemburuan terhadap isteri yang jauh di mata merisaukan fikirannya. Harta yang banyak ditinggalkan mungkin sudah direbut oleh orang lain. Dia pula tidak dapat makan dengan mencukupi, tidurnya juga tidak selesa. Tubuhnya menjadi lemah dan semangatnya juga lemah. Akhirnya dia tidak tahan lagi menanggung penderitaan dan kegelisahan. Dia lari daripada alam pengasingan dan kembali kepada kehidupannya yang lama. Setelah kembali dia melihat kerugian yang sudah dialaminya selama dia lari ke hutan. Kerugian perlu dituntut ganti. Kali ini dia menggunakan apa juga cara untuk menebus semula masa dan peluang yang telah terlepas daripadanya. Kelakuannya menjadi lebih buruk daripada sebelum dia lari ke dalam alam pengasingan dahulu.
Bertajrid secara melulu memberi kesan yang tidak baik kepada orang yang mencintai jalan kerohanian. Tidak mungkin seseorang yang baru mau memulaikan latihan tarekat kerohanian beramal separti wali-wali yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri. Tindakan mencampakkan segala-galanya yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatkan dia berhadapan dengan jabaran dan dugaan yang menggoncangkan imannya dan bisa menyebabkan dia berputus asa. Dia tidak seharusnya meniru secara melulu kehidupan wali-wali yang sudah mencapai makam keteguhan. Seseorang perlu melihat kepada dirinya sendiri; mengenalpasti kedudukannya, kemampuannya dan daya tahannya.
Ketika masih di dalam makam asbab dia perlu bartindak sesuai dengan hukum sebab akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya. Dia juga perlu mengadakan sebab bagi mensejahterakan kehidupannya. Sebagai persediaan memasuki bidang kerohanian dia terlebih dahulu perlu bergerak di atas landasan sebab musabab yang bisa memperkuatkan daya tahan dan kesabarannya. Dia masih lagi terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih melihat tindakan makhluk mempunyai kesan dan pengaruh. Oleh yang demikian adalah wajar jika dia juga mengadakan tindakan menurut hukum sebab musabab dengan menggunakan bakat kemanusiaannya demi mengatur perancangan dengan rapi agar apa yang dia hajati bisa tercapai. Jika niatnya benar dan baik, perjalanan sebab musabab akan membantunya menuju ke arah yang dihajatinya. Tanda seseorang itu diletakkan di dalam sempadan asbab sebagai kenderaannya menuju matlamat, adalah urusan dan tindakannya menurut peraturan sebab musabab tidak menyebabkannya mengabaikan kewajibannya terhadap tuntutan agama. Dia tetap berasa mudah untuk berbakti kepada Allah s.w.t, tidak menggunakan cara yang diharamkan oleh Allah s.w.t, tidak gelojoh dengan nikmat dunia dan tidak dengkikan nikmat yang Allah s.w.t kurniakan kepada orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum sebab musabab yang tidak menyalahi syarak, jiwanya akan berkembang dengan baik dan teratur, tanpa menghadapi kegoncangan yang dia tidak berdaya menanggungnya. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan menolaknya ke dalam suasana tajrid secara teratur dan selamat. Akhirnya dia mampu bertajrid sepenuhnya.
Dalam kehidupan harian ada juga orang yang dipaksa oleh takdir supaya terjun ke dalam lautan tajrid. Orang ini asalnya tergolong di dalam kumpulan ahli asbab yang hidup menurut hukum sebab musabab separti orang banyak. Kehidupan dalam daerahasbab itu tidak menambahkan kemantapan rohaninya. Dia memerlukan perubahan bidang kehidupan barulah rohaninya bisa berkembang maju. Bagi tujuan menambahkan kekuatan kerohaniannya takdir memisahkannya daripada apa saja yang menghalangnya daripada berjalan kepada Tuhan. Pada peringkat permulaian menerima kedatangan takdir yang demikian, sebagai seorang yang masih terikat dengan hukum sebab akibat, dia akan berusaha sedaya upayanya untuk menahan takdir yang tidak diingininya itu. Bila dia tidak berdaya menolong dirinya sendiri dia akan meminta pertolongan dengan orang lain yang mempunyai kuasa. Kuasa yang ada dengan manusia tidak mampu juga menolongnya menyekat kemaraan takdir yang mendatanginya itu. Dia bisa mengadakan sebab tetapi akibat yang diharapkan tidak berlaku. Dia menghadapi keadaan di mana hukum sebab akibat tidak berdaya menembusi benteng takdir. Setelah puas berusaha dan meminta pertolongan orang lain, dia tidak ada pilihan lagi kecuali lari kepada Tuhan. Dia merayu sambil menangis, memohon Tuhan menolongnya, melepaskannya daripada takdir yang menimpanya itu. Walau bagaimana sekalipun dia merayu namun tangan takdir yang mencengkamnya tidak juga terlepas. Akhirnya dia tidak berkuasa melawan lagi. Dia mengaku kalah dan tunduk kepada perjalanan takdir yang menguasainya. Redalah dia dengan apa juga takdir yang menimpanya. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan, sebaliknya dia menyerah bulat-bulat kepada-Nya. Tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah s.w.t yang bertajrid sepenuhnya. Bila seseorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah s.w.t akan menguruskan kehidupannya.
Beberapa banyak binatang yang melata yang tidak sanggup membawa rezekinya. Allah yang menjamin rezekinya, juga terhadap kamu. Dia Maha Mendengar Maha Mengetahui. ( Ayat 60 : Surah al-‘Ankabut )
Makhluk Tuhan separti burung, ikan, ulat, semut, kuman dan berbagai-bagai lagi tidak memiliki kebun dan kilang makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezeki mereka oleh Tuhan. Manusia tajrid juga dijamin rezekinya oleh Tuhan. Bukan sekadar rezeki yang dijamin oleh Tuhan, malah segala aspek kehidupannya diuruskan oleh Tuhan. Tuhan mencabut kehendak dirinya yang lama dan digantikan-Nya dengan kehendak yang lain yang sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan memeliharanya daripada melakukan apa yang Dia murkai. Apa saja yang Dia mau hantarkan kepada hamba-Nya yang bertajrid, ditapis-Nya agar ia tidak merusakkan iman dan iktikadnya. Dia memelihara hamba-Nya yang demikian daripada gangguan manusia lain yang tidak mengarti. Dia yang membela hamba-Nya yang demikian yang teraniaya. Penjagaan Tuhan terhadap hamba-Nya yang bertajrid melebihi penjagaan seorang ibu terhadap anaknya yang masih bayi. Allah s.w.t menghalang tangan manusia yang kotor dan aniaya daripada sampai kepada hamba-Nya yang menyerahkan urusan kepada-Nya.
Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang hamba-Nya itu dalam daerah tajrid adalah Dia memudahkan baginya rezeki dan penyelesaian masalahnya dengan cara yang tidak disangkanya. Jiwanya dijaga agar senantiasa tenteram walaupun berlaku kekurangan rezeki atau dia ditimpa oleh kesusahan. Allah s.w.t membela hamba-Nya yang bertajrid secara langsung atau dihantarkan-Nya makhluk-Nya untuk membantu hamba-Nya itu. Orang yang berperang dengan hamba Allah s.w.t yang bertajrid sebenarnya berperang dengan Allah s.w.t karena hamba tersebut telah menyerahkan segala urusannya kepada Tuhannya dan Tuhan menghantarkan tentera-Nya yang tidak kelihatan bagi melindungi hamba-Nya yang bertajrid itu.
Seseorang hamba perlulah menerima dengan rela kedudukan yang Tuhan kurniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah s.w.t Yang Maha Mengarti dan Maha Mentadbir. Apa yang penting dilakukan bukanlah mengubah dengan serta merta bentuk kehidupan yang sedang dimiliki. Tumpuan awal hendaklah ditujukan kepada mengubah suasana hati walaupun suasana kehidupan belum berubah. Ketika masih dalam daerahasbab tidaklah wajar jika seseorang mencampakkan segala-galanya. Mulaiilah dengan kehidupan yang sedia ada tetapi dengan suasana hati yang berbeda. Hati hendaklah dipaksakan supaya senantiasa mengingati Allah s.w.t, ada hubungan dengan-Nya. Segala sesuatu dan segala perkara hendaklah dilihat sebagai ada pertalian dengan urusan dan pentadbiran Tuhan. Tidak ada sesuatu yang bebas bergerak sendiri tanpa tadbir Ilahi.
Beriman kepada Qada dan Qadar memainkan peranan yang penting dalam tarekat kehidupan harian. Qada dan Qadar adalah urusan Tuhan. Apa saja yang dinisbahkan sebagai urusan Tuhan walaupun bisa dijelaskan melalui bakat dan nilai yang ada dengan manusia tetapi maksud yang sebenar melampaui penjelasan tersebut. Beriman kepada Qada dan Qadar mengandungi penyerahan tanpa takwil terhadap apa yang tidak mampu diuraikan secara terperinci melalui kekuatan akal, logik dan dalil. Walau bagaimana pun bisalah dikatakan Qada dan Qadar adalah suasana Ilmu Tuhan mengenai segala perkara yang Dia berkehendak menciptakan. Suasana dalam Ilmu Tuhan adalah awalnya itulah akhirnya dan zahirnya itulah batinnya, tidak ada perpisahan. Penciptaan manusia pertama dengan penciptaan manusia terakhir tidak ada jarak masa, ruang dan zaman dalam Ilmu Tuhan, tetapi perkara tersebut ada pada penciptaan yang nyata atau makhluk. Oleh sebab itu Tuhan mengetahui hal-ihwal manusia pertama dan terakhir sekaligus. Tuhan mengetahui yang azali dan yang abadi sekaligus. Tidak ada sesuatu yang melindungi sesuatu yang lain pada pengetahuan Tuhan. Tuhan mengetahui roh seseorang dan pada masa yang sama juga Dia mengetahui jasadnya. Tidak akan berlaku keadaan Tuhan tersalah meletakkan roh kepada jasad yang bukan untuknya. Roh adalah urusan Tuhan. Segala maklumat yang berhubung dengan penciptaan sesuatu makhluk itu telah disimpankan pada roh urusan-Nya itu. Roh urusan-Nya akan bergerak menurut ketentuan yang Tuhan letakkan padanya dan ia mengseret yang di bawah jagaannya menurut ketentuan yang sama. Dengan cara yang demikian apa yang Tuhan telah tentukan pada Ilmu-Nya berlaku dalam alam makhluk.
Qada dan Qadar memperkenalkan Kudrat, Iradat dan Ilmu Tuhan yang menguruskan segala perkara mengenai makhluk separti penciptaan, keutuhan sebagai ciptaan yang mampu mengeluarkan kesan dan ciptaan itu menjadi asas kepada kewujudan di dunia dan di akhirat. Medan takdir menjadi cermin yang padanya manusia dapat melihat sesuatu mengenai Tuhan dan melaluinya manusia mengenal Tuhan. Beriman kepada Qada dan Qadar mempereratkan hubungan hamba dengan Hadrat Tuhan yang “Dia beserta kamu walau di mana kamu berada”; “ Ke mana kamu hadapkan muka kamu di sana ada Wajah Tuhan (perihal tentang Tuhan”; “Tidak ada daya dan upaya melainkan beserta Allah”. Tanpa iman kepada Qada dan Qadar tidak bisa wujud hubungan yang erat di antara hati hamba dengan Tuhan.
Beriman kepada Qada dan Qadar juga membuatkan manusia mengakui keberkesanan bakat-bakat yang Tuhan kurniakan kepadanya menyertai penciptaannya. Pengakuan tersebut membuat manusia menghargai bakat-bakat kurniaan Tuhan itu dan menggunakannya menurut peraturan Tuhan demi mencari keredaan-Nya. Beriman kepada Qada dan Qadar cara begini membuat manusia melihat bakat-bakat dirinya sebagai alat yang Tuhan amanahkan kepadanya untuk dijaga dan digunakan sebaik mungkin. Alat-alat tersebut akan diserahkan kembali kepada Tuhan, Pemilik sebenar yang akan memerikasanya.
Dalam perjalanan takdir seseorang manusia, muncul kehendak diri kepada sesuatu. Bakat-bakat diri digerakkan bagi mendapatkan apa yang dikehendaki itu. Biasa terjadi kekuatan bakat diri tidak mampu mendapatkan apa yang diingini. Kejadian separti ini menambahkan kesadaran manusia kepada Pemilik sebenar yang berkuasa mengatasi hak yang ada pada pengguna. Dengan demikian pengguna akan rasa bersyukur dalam menggunakan alat yang dipinjamkan kepadanya dan dia juga senantiasa ingat kepada Pemilik sebenar, berhajat kepada-Nya dan tunduk kepada keputusan-Nya yang Mutlak. Manusia itu juga sedar bahwa Pemilik sebenar bisa mengambil balik apa yang dipinjamkan-Nya kepada hamba-Nya, pada bila-bila masa yang Dia kehendaki dan tiada siapa dapat menghalang-Nya.
Terjemahan kepada suasana beriman kepada Qada dan Qadar bergantung kepada kedudukan seseorang. Orang yang didudukkan di dalam medan asbab perlu melihat kepada perjuangan, usaha, ikhtiar, doa dan sebagainya dalam melaksanakan tuntutan imannya itu. Orang yang berada dalam medan tajrid tidak melihat kepada perkara-perkara yang demikian. Mata hatinya tertutup daripada melihat kepada kekuatan dirinya dan bakatnya. Walaupun seseorang itu bermakam pada asbab atau tajrid, pasti ada sesuatu yang berlaku pada dirinya, ada perbuatan, perkataan dan lain-lain. Perkara yang berlaku pada ahli asbab adalah serupa dengan yang berlaku pada ahli tajrid. Misalkan, pada ahli asbab ada perbuatan memanjat pokok karena mau memetik buah kelapa. Pada ahli tajrid juga ada perbuatan yang serupa. Ahli asbab melihat perbuatan tersebut sebagai perbuatan dirinya. Dia menggunakan bakat-bakat yang lahir bersama kelahirannya. Ahli tajrid melihat perbuatan tersebut sebagai takdirnya. Takdir yang menggunakan bakat-bakat yang tersimpan pada dirinya. Oleh yang demikian, orang yang berada dalam medan asbab secara fikiran dan perasaannya, tidak seharusnya menggunakan hujah ahli tajrid untuk merombak kepercayaan kepada Qada dan Qadar. Ahli tajrid pula tidak seharusnya menyalahkan uraian mengenai Qada dan Qadar yang dibuat oleh ahli asbab dengan menggunakan fikiran dan perasaan asbab. Mengetahui kedudukan masing-masing bisa mengelakkan perbalahan yang tidak berkesudahan tentang Qada dan Qadar.
Fitnah kehidupan harian lebih banyak mengenai ahli asbab daripada ahli tajrid. Orang tajrid dipertahankan oleh perasaan reda dengan apa juga takdir yang menimpanya. Ahli asbab pula perlu bertahan dengan kepercayaan kepada hari akhirat. Beriman kepada Akhirat menjadi benteng yang mempertahankan ahli asbab daripada jatuh ke dalam jurang kemusnahan, sama ada kemusnahan pada jiwa atau pada akidah apabila berhadapan dengan kegoncangan yang berlaku pada kehidupannya. Akhirat adalah pemisah di antara orang yang beriman dengan orang yang kafir. Di dalam dunia ini orang yang beriman bisa mengadakan ikhtiar sebagaimana yang dilakukan oleh orang kafir, tetapi sering terjadi usaha orang kafir lebih mendatangkan keuntungan. Orang yang beriman mesti meyakini bahwa pengadilan di dunia tidak muktamad. Banyak daripada balasan baik untuk orang yang beriman disimpan di akhirat, bukan karena Tuhan berkira dengan orang yang beriman tetapi karena balasan yang Tuhan sediakan itu tidak layak dimuatkan di dalam dunia. Dunia ini terlalu sempit untuk dimuatkan dengan balasan baik yang Tuhan sediakan untuk orang mukmin. Orang mukmin melakukan kebaikan dengan kekuatan rohani yang berunsur nur atau cahaya. Cahaya bisa meliputi ruang yang luas dan melintasi zaman. Cahaya daripada sebagian bintang mengambil masa beratus tahun untuk sampai ke bumi dan ada pula bintang yang cahayanya tidak akan sampai ke bumi. Cahaya rohani manusia lebih latif daripada cahaya bintang. Nabi Ibrahim a.s yang mempunyai kekuatan rohani yang tinggi, berdoa kepada Tuhan agar Kaabatullah dikunjungi orang bagi mengerjakan haji. Kekuatan doa Nabi Ibrahim a.s yang timbul daripada rohani yang suci bersih itu menarik manusia berduyun-duyun ke Makkah, sehingga ke hari kiamat. Ruang yang ada dalam dunia ini tidak cukup memuatkan balasan kepada kebaikan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s yang hanyalah sepotong doa, belum dicampurkan dengan kebaikan-kebaikan yang lain. Ruang yang cukup luas bagi memuatkan balasan orang mukmin berada di akhirat. Oleh karena orang mukmin perlu menunggu untuk mendapatkan balasannya maka Tuhan menggandakan balasan tersebut.
Keadaan orang kafir berbeda daripada orang mukmin. Orang kafir berbuat kebaikan bukan atas dasar beriman kepada Allah s.w.t. Oleh itu tidak ada balasan kebaikan bagi mereka di akhirat. Balasan kebaikan orang kafir diselesaikan di dunia ini juga. Sebab itulah usaha mereka yang sedikit mendapat pulangan yang banyak. Tuhan senantiasa memberi lebih banyak daripada apa yang mereka usahakan supaya mereka tidak ada hak lagi untuk membuat tuntutan di akhirat.
Allah s.w.t ciptakan manusia sebagai hamba-Nya dan untuk-Nya. Sebab itu hati hamba cenderung untuk kembali kepada-Nya. Dia telah sediakan jalan kembali kepada-Nya. Itulah jalan yang lurus. Orang yang mengikuti jalan yang lurus bartindak sesuai dengan tujuan dia diciptakan dan citarasanya yang asli. Apabila tujuan, tindakan dan citarasa bersepakat akan lahirlah kedamaian dalam hati. Kesejahteraan hati diperolehi di atas jalan yang lurus. Jika seseorang hamba lari dari jalan yang lurus hatinya akan memberontak. Akibatnya dia tidak akan merasakan kedamaian. Dia akan merasakan kekosongan di dalam jiwa. Rasa kekosongan itu menggerakkannya mencari tetapi dia sendiri tidak tahu apa yang dicarinya. Ketidak-pastian yang menguasainya membuatnya mencari menurut sangkaan. Sangkaan tidak menemukannya dengan yang sebenarnya dicari. Bila pencarian berlaku di luar daripada sempadan yang lurus yang ditemui hanyalah bayangan. Bayangan tidak membawa kebagiaan yang sejati. Harta kekayaan, pangkat kebesaran dan lain-lain yang digunakan bagi mencari di luar daripada sempadan jalan yang lurus hanya memberi pulangan yang sia-sia. Hanya jalan yang lurus bisa membawa hamba kepada kebenaran yang dicari. Pada jalan yang lurus, harta dan pangkat akan mendatangkan keberkatan kepada dirinya dan memberi manfaat kepada makhluk Tuhan. Segala pemilikan menjadi alat bagi mendapatkan keredaan Allah s.w.t, berbakti kepada-Nya dan membantu makhluk-Nya. Bila tindakan dibuat sesuai dengan peraturan jalan yang lurus hati akan menjadi damai dan sejahtera. Tiada lagi pemberontakan dan tiada lagi kekosongan.
Suka, duka, senang, susah, bagia, celaka dan semuanya ditanggung oleh hati karena hati yang memerintah sekalian anggota dan hati yang membuat keputusan dan pilihan. Hati perlu diperkuatkan agar ia dapat membuat pilihan yang baik dan benar dan mengawal anggotanya daripada lari ke jalan yang tidak lurus. Kekuatan hati bisa dipartingkatkan dengan amalan zikir. Hati perlu dibenamkan ke dalam suasana zikir sebanyak mungkin. Kekuatan zikir hati menyata sebagai zikir anggota. Bila anggota sudah dikuasai oleh zikir ia tidak lagi keluar daripada jalan yang lurus.
Tarekat kehidupan harian perlu dilakukan dalam suasana hati yang mengingati Allah s.w.t yaitu zikir. Seseorang itu perlu berzikir ketika berjalan, memandu, memasak, berbaring dan pada semua keadaan. Kepenatan bekerja perlu direhatkan dengan zikir. Biar roh zikir menguasai semua aktiviti kehidupan. Berjalan ke bilik mesyuarat dengan zikir, bagi memperolehi keberkatan pada semua keputusan yang akan dibuat nanti. Menunggu kapal terbang sampai dengan berzikir, menaiki kapal terbang dengan zikir dan turun dari kapal terbang juga dengan zikir. Jika seseorang itu dicabut nyawanya maka dia ‘keluar’ bersama ingatan kepada Allah s.w.t.
Selain daripada melakukan zikir beserta kegiatan harian, zikir perlu juga dibuat secara khusus, terutamanya pada waktu malam, setelah segala kegiatan harian berakhir. Zikir secara khusus memudahkan zikir secara perbuatan dan perkataan dalam kehidupan harian.
Zikir mengubah suasana hati. Tarekat kehidupan harian mengubah kerohanian tanpa mengubah penghidupan harian. Orang masih bisa bekerja, menjaga isteri dan anak-anak serta berkhidmat kepada masyarakat. Bila tidak ada perubahan yang mendadak tidak ada pula kegoncangan yang menjabar iman. Dunia dan kehidupannya menjadi tarekat. Takwa (memelihara batasan yang ditentukan Tuhan) menjadi suluk. Perkataannya menjadi zikir, perbuatannya menjadi zikir dan perasaannya juga zikir. Roh amal bagi tarekat kehidupan harian adalah ikhlas. Apabila seseorang sudah berjaya mencapai makam ikhlas dalam menjalani kehidupannya dengan mematuhi perintah Tuhan, sesungguhnya dia sudah memperolehi nikmat yang sangat besar. Dia sudah berjaya mengikuti kehidupan Rasulullah s.a.w dan sahabat-sahabat baginda s.a.w.
31: Tarekat Ujian Bala Bencana
________________________________________
Allah s.w.t memilih dari kalangan orang-orang yang beriman orang-orang yang tertentu bagi menjalankan sesuatu tugas menurut kehendak-Nya. Mereka yang akan diberi tugas khusus akan dibawa melalui latihan kerohanian yang disusun secara langsung oleh Tuhan. Melalui latihan tersebut mereka mengalami perubahan kerohanian sehingga rohani mereka menjadi cukup kuat untuk menanggung beban tugas yang diamanahkan oleh Tuhan.
Latihan kerohanian secara khusus biasanya melibatkan ujian bala bencana. Ujian ditujukan kepada jiwa dan jiwa yang menghadapi tekanan ujian biasanya akan mengadakan tindak balas bagi menghadapi tekanan tersebut. Tindak balas itu membuat jiwa menjadi kuat dan berkemampuan menghadapi keadaan yang kan ditemui semasa menjalankan tugas khusus nanti.
Al-Quran telah menceritakan dengan indah kisah hamba Allah s.w.t yang telah berjalan dalam tarekat ujian bala. Surah Yusuf, surah yang ke dua belas, menceritakan kisah suka duka Nabi Yusuf a.s. Ketika kecilnya beliau a.s didengki dan dikhianati oleh saudara-saudara sendiri. Yusuf a.s dicampakkan ke dalam perigi yang dalam. Beliau a.s terpaksa tinggal di dalam perigi tersebut beberapa lama sehinggalah satu kumpulan pengembara datang ke tempat itu. Yusuf a.s diselamatkan daripada perigi tetapi dijual pula sebagai hamba. Beliau a.s dibeli oleh seorang bangsawan Mesir.
Zaman remaja Yusuf a.s menemukan beliau a.s dengan fitnah kaum wanita. Keelokan paras rupa Yusuf a.s menyebabkan beliau a.s menjadi idaman setiap wanita yang memandang kepada beliau a.s, termasuklah isteri tuannya sendiri. Keremajaan tidak membuat Yusuf a.s hilang pedoman. Beliau a.s berjaya melepaskan diri daripada perangkap wanita bangsawan, isteri tuannya itu, tetapi sebagai natijah kepada keengganannya melayani keinginan wanita tersebut beliau a.s telah dianiaya dan dimasukkan ke dalam penjara. Yusuf a.s menerima semua ujian itu dengan hati yang reda.
Ujian bala bencana yang dihadapinya satu persatu itu telah mematangkan jiwa Yusuf a.s. Bila jiwa beliau a.s sudah cukup kuat, tarekat ujian bala pun berakhir. Datang pula tarekat kehidupan harian. Yusuf a.s dikeluarkan daripada penjara dan dilantik sebagai Perdana Menteri Mesir secara terhormat.
Kisah suka duka Yusuf a.s memberi pengajaran kepada orang yang beriman bahwa hidup ini bukan selalunya senang, selesa dan mudah. Tidak semua yang diidamkan bisa diperolehi dan tidak semua yang dirancangkan bisa terlaksana. Kadang-kadang seseorang itu perlu melalui penderitaan yang lama sebelum menemui kebagiaan. Yusuf a.s telah menempuh semua peringkat penderitaan dengan hati yang sabar dan tabah, senantiasa bertenang tanpa berkeluh-kisah. Setelah tamat tempuh ujian datanglah peringkat mempraktikkan apa yang sudah dipelajari selama berada dalam kursus intensif dahulu.
Nabi Musa a.s juga melalui tarekat ujian bala sebelum diangkat menjadi Rasul. Musa a.s berasal daripada keturunan Bani Israil. Kaumnya ditindas oleh kaum Kibti yang berkuasa. Pemerintah Kibti adalah Firaun. Ketika kaumnya ditindas oleh kaum Kibti, Musa a.s hidup dengan aman di dalam istana Firaun, karena beliau a.s adalah anak angkat Firaun. Kehidupan yang tidak berhadapan dengan jabaran, penderitaan dan kesusahan tidak mampu membuat Musa a.s layak menerima jawatan sebagai Rasul Allah. Oleh itu Musa a.s dibawa kepada tarekat ujian bala bagi memantapkan kerohanian beliau a.s. Musa a.s dengan tidak sengaja telah membunuh seorang Kibti. Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan kaum Kibti. Mereka berpakat untuk membunuh Musa a.s. Musa a.s terpaksa melarikan diri, meninggalkan negerinya dan kesenangan yang dinikmatinya. Beliau a. s terpaksa merantau dari satu tempat ke satu tempat sehingga beliau a.s sampai ke negeri Nabi Syuaib a.s. Beliau a.s tinggal bersama-sama Nabi Syuaib a.s dan bekerja sebagai pengembala kambing. Setelah beberapa tahun kemudian Musa a.s berkahwin dengan anak Nabi Syuaib a.s yang bernama Siti Safar.
Setelah berkahwin Musa a.s membawa isteri beliau a.s merantau. Semasa dalam perantauan itu Siti Safar yang sarat mengandung mengalami kesakitan. Ketika itu hari hujan. Musa a.s tidak dapat menghidupkan api untuk memanaskan isteri beliau a.s. Beliau a.s keluar mencari api. Beliau a.s melihat cahaya api dari kejauhan. Beliau a.s pergi ke sana. Sampai di sana bukan api yang beliau a.s temui. Musa a.s menemui destininya. Beliau a.s menyaksikan kenyataan Tuhan dan beliau a.s diangkat menjadi Rasul.
Sebagai pesuruh Allah s.w.t, Musa a.s menerima perintah yang sangat berat. Beliau a.s mesti kembali kepada kaum Bani Israil dan kaum Kibti, menyeru mereka supaya kembali kepada ajaran tauhid. Musa a.s mesti berhadapan semula dengan kaum yang masih lagi menyimpan dendam mau membunuh beliau a.s. Perintah Allah s.w.t mesti dilaksanakan tanpa ragu-ragu dan dengan membuang segala kepentingan diri sendiri.
Tarekat ujian bala bermulai daripada manusia yang pertama lagi. Adam a.s dan Hawa hidup senang lenang di dalam syurga. Kehidupan syurga adalah abadi. Di dalamnya tidak ada kematian, tidak ada penyakit, tidak ada susah, tidak ada panas, tidak ada lapar dan tidak ada apa saja yang tidak menyenangkan. Rupanya kehidupan syurgawi tidak cukup untuk memantapkan kerohanian seseorang manusia bagi mencapai makam pilihan Tuhan dan mampu menanggung tugas khusus yang Tuhan tentukan. Selama Adam a.s tinggal di dalam syurga beban sebagai khalifah di bumi tidak dipikulnya. Beliau a.s perlu menjalani perubahan bentuk kehidupan, untuk itu beliau a.s dihantar ke bumi, ke dalam dunia. Di bumi Adam a.s menjalani tarekat ujian bala. Beliau a.s mesti menjalani tarekat yang ada kematian, ada penyakit, ada kesusahan, ada panas, ada lapar ada berbagai-bagai perkara yang tidak menyenangkan. Tarekat ujian bala mengajar dan memperkenalkan apa yang tidak dialami dan dikenal di dalam syurga, dengan demikian pengalaman dan pengenalan Adam a.s menjadi sempurna. Barulah Adam a.s layak memikul tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Mahkota khalifah itu hanya bisa dipakai oleh Adam a.s setelah beliau a.s menjalani tarekat ujian bala dan memasuki pintu taubat. Ujian bala bencana dan taubat adalah dua perkara yang sangat penting dan berkesan dalam menaikkan taraf kerohanian seseorang insan.
Umat manusia yang dari keturunan Adam a.s akan mengulangi kesilapan yang pernah dilakukan oleh bapa mereka itu. Bahang syurgawi dirasakan juga oleh keturunan beliau a.s. Syurga adalah kekal abadi dan manusia merasakan tempat mereka tinggal ini juga abadi. Semasa di dalam syurga Adam a.s sangat menginginkan kehidupan yang abadi dan itulah yang membuatnya bisa diperdayakan oleh iblis supaya memakan buah daripada pokok larangan yang kononnya bisa membuatkan Adam a.s menjadi abadi di dalam syurga. Keturunan Adam a.s juga akan mendekati pokok larangan di dalam dunia karena menyangkakan ia akan membuat mereka hidup kekal di dalam dunia. Pokok larangan di dalam dunia itu adalah hawa nafsu. Orang yang merasai buah daripada pokok hawa nafsu akan merasakan dunia ini sebagai syurga yang kekal abadi. Timbullah keasyikan kepada dunia dan lalailah mereka di dalam arus keseronokan. Dalam kelekaan itulah mereka dijajah oleh iblis.
Ketika manusia sedang asyik di dalam kelekaan dan dikuasai oleh iblis itu, jatuhlah kemurkaan Allah s.w.t ke atas mereka. Hancurlah syurga dunia mereka. Lenyaplah khayalan mereka tentang keabadian dunia dan kelazatan hawa nafsu. Tahulah mereka bahwa hawa nafsu adalah pokok larangan yang membuat manusia lupakan amanat Allah s.w.t. Manusia yang telah menerima padah daripada pokok larangan itu akan menjadi menyesal. Mereka bertaubat bersungguh-sungguh kepada Tuhan. Bercucuranlah air mata mereka membasahi pipi, misai dan janggut. Sujudlah mereka ke Hadrat Ilahi Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Taubat telah menjadikan Adam a.s sebagai manusia pilihan dan diberi kedudukan istimewa sebagai khalifah Allah di bumi. Taubat juga menjadikan keturunan Adam a.s sebagai manusia pilihan yang akan meneruskan tugas kekhalifahan di bumi. Manusia yang diseret kepada taubat adalah manusia istimewa yang dipilih oleh Allah s.w.t untuk mendapatkan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Seseorang hamba yang akan memikul tugas kekhalifahan di bumi akan dipersiapkan melalui cara yang sesuai bagi memantapkan kerohaniannya. Ujian bala bencana merupakan satu bentuk latihan yang perlu bagi membentuk kewibawaan seseorang. Orang yang dibawa kepada tarekat ujian bala dipisahkan daripada kesenangan dan puncak yang menyenangkannya. Dia dikeluarkan daripada alam keasyikan dan kelalaian. Beban dunia yang sedang dipikulnya, separti kebesaran, kemuliaan dan kekayaan dicabut daripadanya. Dia dijadikan miskin sesudah kaya, hina sesudah mulia dan kerdil sesudah berkedudukan tinggi. Hamba yang melalui tarekat kemiskinan ini akan menjadi sangat miskin sehingga dia hampir-hampir mengemis untuk mendapatkan keperluannya. Tuhan selamatkannya daripada menjadi pengemis. Dibukakan sedikit pintu rezeki untuknya. Bekerjalah dia sesuai dengan bidang rezeki yang dibukakan kepadanya. Bidang kerja peringkat ini berbeda daripada bidang kerja yang lalu. Kali ini medan rezeki yang bisa diterokainya sangat sempit, tidak memadai untuk dia menyelesaikan masalah kehidupan yang dihadapinya, hinggakan dia hampir-hampir meminjam. Bila dia sampai hampir kepada keadaan akan meminjam, Tuhan bukakan sedikit lagi bidang rezekinya. Selamatlah dia daripada keperluan meminjam.
Latihan melalui tarekat ujian bala sehingga ke peringkat ini sudah berjaya menghancurkan sebagian besar daripada keegoan dirinya. Dia sudah sampai ke pintu mengemis dan meminjam. Tuhan selamatkannya daripada mengemis dan meminjam karena masih ada lagi sisa-sisa ego diri yang menghalangnya untuk mengemis dan meminjam dengan rela. Ujian bala bencana kan terus menekan keegoan dirinya sehingga sisa-sisa itu juga terhapus. Dia memasuki peringkat latihan kerohanian yang lebih berat. Pada peringkat ini pintu rezekinya ditutup sama sekali sehingga tidak ada jalan langsung untuknya mencari rezeki. Pintu meminjam juga tertutup baginya. Tuhan menghalang tangan manusia daripada memberinya pinjaman. Hiduplah dia dalam keadaan yang sangat susah. Beban berat yang menekan jiwanya itu menyebabkan hatinya ‘pecah’. Peringkat ini merupakan peringkat peralihan kepada perkembangan kerohaniannya. Dirinya yang lama ‘digantikan’ dengan diri yang baru. Hati yang telah ‘pecah’ itu ‘digantikan’ dengan hati yang baru. Dalam suasana hati yang baru inilah dia dapat merasakan sesuatu hubungan yang unik dengan alam ghaib. Dia merasakan seakan-akan petunjuk dan bimbingan ghaib mendatangi hatinya. Dia merasai kemunculan gerak hati yang datang dari daerah kesadaran yang dalam. Gerak hati yang demikian menguasai jiwanya. Dia bergerak dan melakukan sesuatu dengan ‘arahan’ atau cetusan rasa yang seni, yang kuat menguasai hatinya dan dia yakin dengan cetusan rasa tersebut. Cetusan rasa atau gerak hati itulah yang menjadi pembimbingnya. Pada tahap ini barulah dikatakan dia benar-benar memasuki bidang kerohanian.
Dia memasuki latihan kerohanian peringkat selanjutnya. Dia menerima cetusan rasa, gerak hati atau ‘perintah dari dalam’ agar dia mendapatkan apa yang diperlukan dengan cara meminta kepada orang lain. Tuhan bukakan tangan orang banyak supaya memberi kepadanya. Jika dia meminta dia akan memperolehi apa yang diperlukannya dan jika dia enggan meminta dia tidak akan memperolehi apa-apa. Peringkat meminta-minta ini merupakan latihan menghancurkan keegoan tahap paling halus. Sisa-sisa ego diri terhapus daripada hatinya. Tidak ada apa-apa lagi baginya kecuali mematuhi cetusan rasa atau gerak hati yang dinisbahkan kepada ilham yang dihantar oleh Tuhan. Perbuatan meminta-minta kepada orang lain tidak sedikit pun membuatnya berasa aib. Apabila orang banyak memberi apa yang dia minta, bertambahlah keyakinannya bahwa gerak hatinya adalah benar. Akhirnya dia sampai kepada tahap kematangan jiwa tanpa ego diri. Jadi, latihan di atas tidak diperlukannya lagi.
Bentuk latihan kerohaniannya diubah daripada meminta kepada meminjam. Tuhan bukakan hati orang banyak yang berkemampuan untuk memberinya pinjaman, walaupun pada zahirnya kelihatan dia tidak akan mampu membayar pinjaman tersebut. Dalam peringkat meminta-minta dahulu dia melihat makhluk sebagai sumber rezekinya. Pada peringkat meminjam ini pula dia melihat rezekinya datang daripada Tuhan melalui makhluk. Walaupun tangan manusia menghulurkan bantuan kepadanya tetapi dia melihat ‘Tangan’ Tuhan yang sebenarnya memberi. Dia melalui proses latihan yang demikian beberapa lama. Kemudian bentuk latihan diubah lagi.
Dalam peringkat latihan kerohanian yang berikutnya dia tidak bisa lagi melihat makhluk sebagai sumber rezeki dan juga tidak bisa bergantung kepada Tuhan melalui makhluk. Dia dibawa kepada suasana mesti bergantung kepada Tuhan semata-mata, tiada perantaraan. Pada peringkat ini Tuhan putuskan hubungannya dengan makhluk. Orang-orang yang dahulunya tidak keberatan memberi apa saja yang dia meminta dan meminjam, kini terhalang berbuat demikian. Tangan makhluk tertahan daripada memberinya sesuatu jika dia meminta kepada mereka. Dia hanya bisa meminta kepada Tuhan secara langsung. Jika dia memerlukan sesuatu, dia hanya perlu menadah tangannya, memohon kepada Tuhan, pasti Tuhan akan hantarkan apa yang diperlukannya itu melalui cara yang Dia pilih. Latihan yang begini membuat hatinya bergantung kepada Tuhan saja, tidak lagi melihat keberkesanan makhluk.
Kemudian latihan yang dikenakan kepadanya diubah dalam bentuk lain pula. Dia hanya bisa meminta kepada Tuhan dengan hatinya, dengan berharap penuh kepada Tuhan, tanpa ucapan lisan, tanpa menadah tangan. Jika dia meminta dengan lisan atau menadah tangan dia tidak akan memperolehi apa yang diperlukannya. Jika dia meletakkan harapan kepada Tuhan di dalam hatinya Tuhan akan memberi. Latihan begini menambahkan kesadaran dan penghayatannya bahwa Tuhan mengetahui yang zahir dan yang batin, yang diucapkan dengan lidah dan yang dibisikkan oleh hati, yang meminta dan yang mengharap. Bertambahlah pengenalannya tentang Tuhan.
Apabila dia sudah mengenali Tuhan secara demikian, dia dibawa kepada suasana latihan yang lain pula. Pada peringkat ini dia tidak bisa meminta apa-apa, baik secara lisan atau pengharapan dalam hati. Dia tidak bisa lagi berdoa atau menyampaikan hajatnya kepada Tuhan. Jika dia meminta atau berharap, apa yang diminta dan diharapkan itu tidak akan diperolehinya. Dia hanya bisa menyerah sepenuhnya kepada Tuhan. Terserah kepada-Nya mau memberi atau tidak dan apa yang mau diberi-Nya. Dalam suasana yang demikian dia dapati Tuhan tetap memberikan keperluannya walaupun dia tidak meminta dan mengharap. Tuhan tetap memeliharanya dan memberikannya apa yang patut. Pada peringkat ini dia mengenali Tuhan al-Karim yang memberi apabila diminta, memberi tanpa diminta, memberi hanya dengan hamba berhajat saja, memberi menurut keperluan hamba tanpa hamba meminta atau berharap, memberi yang lebih baik daripada apa yang hamba minta atau harapkan, memberi pada waktu yang sesuai hamba menerimanya dan memberi tanpa had, tanpa terpengaruh kepada permintaan, harapan atau kehendak siapapun pun. Allah s.w.t adalah Tuhan yang berbuat apa yang Dia kehendaki. Pada tahap ini tidak ada lagi kehendak dan hawa nafsu yang mengingkari Tuhan pada si hamba itu. Inilah peringkat kewalian umum. Peringkat seterusnya bergantung kepada tugas khusus yang akan dipikul oleh hamba yang mencapai kewalian umum itu. Dari kalangan wali-wali yang umum itulah dipilih dan diberi latihan yang lebih khusus untuk menjalankan sesuatu tugas yang Tuhan kehendaki bagi manfaat makhluk-Nya.
Latihan kerohanian yang disusun oleh Tuhan secara langsung atau yang diistilahkan sebagai tarekat ujian bala memberi kesan yang lebih mendalam dan lebih cepat dalam mempartingkatkan kekuatan rohani, berbanding dengan latihan secara suluk dan lain-lain. Para sahabat Rasulullah s.a.w yang melalui tarekat ujian bala tidak perlu memasuki tarekat yang ada suluk atau khalwat, tetapi mereka merupakan golongan yang paling teratas dalam senarai wali-wali Allah s.w.t. Latihan secara bersuluk dan berzikir adalah jalan biasa, sementara pembentukan kerohanian secara ujian bala bencana adalah jalan pintas yang cepat menyampaikan kepada matlamat. Ahli ibadat dan ahli zikir mungkin mengambil masa dua tahun untuk mencapai tahap kerohanian yang dicapai oleh ahli bala dalam masa dua bulan.
Istilah ujian membawa maksud yang sangat luas. Ujian bisa ditakrifkan sebagai rangsangan atau pengaruh alam benda kepada rohani manusia. Alam benda pada hakikatnya tidak mempunyai sebarang kekuasaan dan kekuatan, tetapi percantumannya dengan alam rohani menyebabkan alam benda mampu mengeluarkan kesan dan pengaruh. Kesan dan pengaruh alam benda itu tertuju kepada rohani, yaitu menarik rohani agar melupakan kedudukannya yang asli yang hanya tahu bertauhid. Maksud ujian yang sebenarnya adalah ujian kepada pegangan tauhid. Rohani yang berpegang kepada tauhid diuji apakah alam benda akan membuatnya melakukan syirik. Dalam segi ini bisalah dikatakan kewujudan alam benda hanyalah daya yang merangsang untuk menguji rohani. Ujian tersebut menjadi dalil sama ada rohani mampu bertahan dalam tauhid dan sampai kepada kedudukannya sebagai amr Tuhan atau pun jatuh ke dalam lembah syirik. Rohani yang dapat bertahan menerima ujian alam benda akan mengasihi Tuhan dan merindui-Nya. Rohani yang tewas di dalam ujian itu akan memanjai syahwatnya dan meletakkan sepenuh perhatian kepada alam benda.
Tujuan latihan kerohanian sama ada dengan cara berzikir atau ujian bala bencana adalah untuk mengeluarkan apa saja yang selain Allah s.w.t daripada hati. Hati hanya layak diisi dengan Allah s.w.t, kecintaan kepada-Nya dan ketaatan kepada-Nya, sementara yang selain-Nya hanya layak duduk di pinggiran saja. Bagi mencapai tahap ini diperlukan kesabaran. Kesabaran merupakan sumber kepada segala kebaikan dan melaluinya orang yang beriman dapat meningkat kepada taraf menyerah diri dengan sepenuh kerelaan kepada Tuhan. Daripada makam sabar orang mukmin melompat ke makam reda. Ketika di dalam makam kesabaran ada perjuangan menentang yang batal. Bila sudah sampai kepada makam reda perjuangan tidak ada lagi karena yang batal sudah hancur. Tipu daya syaitan, rangsangan hawa nafsu dan tarikan dunia tidak ada kuasa terhadap orang yang reda sepenuhnya dengan peraturan dan kehendak Allah s.w.t. Hati yang demikian dinamakan hati yang bertauhid.
Pada peringkat permulaian menerima ujian daripada Tuhan si hamba banyak berdoa memohon Tuhan mengangkatkan kesusahannya dan memberikannya kesenangan. Tuhan tidak menerima rayuannya dan dia dibiarkan berterusan di dalam kesusahan. Dia menghadapi perjuangan batin yang hebat. Senjatanya adalah sabar. Dia bersabar dan terus bersabar sambil meletakkan harapan kepada Tuhan. Setelah beberapa lama, kesusahan dan masalah yang dihadapinya tidak juga terangkat daripada bahunya, mulailah berubah pandangannya. Dia mulai menilai kembali apa yang menyusahkan dan menjadi masalahnya itu. Penilaian semula membuatnya melihat bahwa perkara yang dianggap sebagai kesusahan dan masalah itu sebenarnya bukanlah perkara besar yang perlu ditakuti untuk bertembung dengannya. Kesusahan dan masalah itu timbul daripada keinginannya terhadap sesuatu dan yang diingininya itu bukanlah sesuatu yang berharga, terutamanya pada sisi Tuhan dan pada kehidupan akhirat. Dia menyedari bahwa dia hanya mengejar sesuatu yang tidak berharga, yang diingini oleh hawa nafsunya, dan dia lari daripada sesuatu yang sangat berfaedah. Berubahlah keadaan hatinya dan hilanglah keinginannya kepada apa yang dia maukan selama ini. Bila dia dapat mengalahkan keinginannya maka menanglah rohaninya. Rohani mulai celik dan melihat kepada perjalanan takdir Tuhan, tidak lagi melihat kepada kekuatan makhluk yang bergerak di dalam arus takdir. Dia melihat bahwa segala perkara berada di dalam genggaman Tuhan. Tidak ada siapapun yang berkuasa mendatangkan kebaikan dan kemudaratan kecuali dengan izin Allah s.w.t. Fanalah dia dalam lautan takdir.
Kefanaan di dalam lautan takdir memperlihatkan aspek ketuhanan pada segala kejadian. Dia melihat Tuhan yang mentadbir dan mengurus. Jika dia memperolehi sesuatu pengetahuan dia merasakan Tuhan yang mendatangkan pengetahuan itu kepadanya. Keadaan ini membuatnya merasakan seolah-olah Tuhan bertutur-kata dengannya. Bertambahlah keseronokannya mengenang Tuhan dan bertambahlah keinginannya mau menghampiri Tuhan. Orang yang berada pada peringkat ini tidak berminat lagi untuk mendampingi makhluk Tuhan. Dia lebih suka bersendirian sambil mendengar ‘tutur-kata’ Tuhan. Fikirannya telah bebas daripada urusan orang banyak dan dunia seluruhnya. Dia juga telah membuang usaha dan ikhtiar untuk mendapatkan sesuatu. Dia tidak lagi menggunakan cara keduniaan untuk mendapatkan sesuatu faedah atau menghindarkan sesuatu bahaya. Dia bergantung dan menyerah bulat kepada Tuhan. Ini menandakan dia sudah berjaya menundukkan hawa nafsunya. Apabila dia maju ke hadapan lagi dia sampai kepada suasana tidak mempunyai sebarang matlamat dan tujuan, baik berupa keduniaan atau pun keakhiratan. Maksud dan tujuannya hanya satu, yaitu Allah s.w.t. Ini menandakan dia tidak lagi dikuasai oleh sebarang kehendak dan keinginan. Pada tahap ini apa yang muncul daripadanya terjadi secara spontan, tanpa berfikir atau merancang dan pada masa yang sama dia merasakan kedamaian dan kelazatan berhubungan dengan Allah s.w.t.
Apabila hawa nafsu, kehendak diri dan segala sesuatu telah hancur dari hatinya, maka hati itu menjadi sesuai untuk diisi dengan kehendak Allah s.w.t. Allah s.w.t menjadikannya insan baru yang dilengkapi dengan kehendak dan tenaga yang baru. Kehendaknya sesuai dengan kehendak Allah s.w.t dan tenaganya bergantung kepada kekuasaan Allah s.w.t. Allah s.w.t akan memeliharanya agar sisa-sisa nafsu dan kehendak diri tidak kembali menguasainya. Apabila sisa-sisa nafsu dan kehendak diri mencoba muncul, Allah s.w.t akan menghancurkannya sehingga selamatlah hamba itu berada di dalam suasana yang baru. Bila hamba telah sesuai dengan Allah s.w.t, perintah-Nya, peraturan-Nya dan kehendak-Nya, maka seluruh alam akan tunduk kepada hamba Allah itu. Bila hamba menetap di dalam menjaga agar tidak terjerumus ke dalam yang haram, maka apa saja yang haram akan lari daripadanya walau di mana dia berada. Begitulah keadaan wali Allah (hamba yang dipelihara dan dilindungi oleh Allah s.w.t).
Di dalam tarekat ujian bala si hamba bukan saja menjadi sasaran anak panah bala, malah kadang-kadang dia juga menjadi busur panah yang menghantar bala kepada orang lain, separti peranan tanah, air, api dan angin yang menyampaikan bala kepada makhluk Tuhan. Bila Tuhan perintahkan air menghanyutkan apa saja, api membakar apa saja, angin menerbangkan apa saja dan tanah menimbuskan apa saja tanpa kasihan belas atau timbang rasa dan tidak ada ragu-ragu. Suami dipisahkan daripada isteri. Anak-anak dipisahkan daripada ibu bapa. Pemilik dipisahkan daripada harta miliknya. Tanaman dipisahkan daripada peladang. Ternakan dipisahkan daripada penternak. Hamba Tuhan yaitu manusia, juga sering berfungsi sebagai alat yang menyampaikan bala kepada orang lain. Khaidir a.s diperintahkan menebuk kapal dan membunuh kanak-kanak yang masih kecil. Ibrahim a.s diperintahkan menyembelihkan anaknya sendiri. Manusia lain juga biasa mendatangkan kesusahan kepada orang lain. Ada orang yang terlanggar orang lain dan menyebabkan kematiannya, meninggalkan isteri dan anak-anak tanpa tempat bergantung. Ada pula orang yang tertembak rakan sendiri semasa berburu. Ada juga kejadian seorang yang membawa anak tetangganya bermain di pantai dan si anak tersebut mati lemas. Menjadi alat yang menyampaikan bala kepada orang lain lebih berat daripada menjadi sasaran bala, tetapi bila Tuhan kehendaki, perkara yang demikian tetap juga berlaku. Bila hamba reda menerima ujian bala dari Tuhan dan reda juga menjadi alat menyampaikan bala maka Allah s.w.t pun reda kepadanya:
Wahai nafsu muthmainnah! Kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan reda (dan) diredai. Yaitu masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam syurga-Ku. (Ayat 27 – 30 : Surah al-Fajr )
Hamba pilihan Tuhan dibawa kepada sesuatu matlamat yang khusus untuknya. Jika muncul di dalam hatinya sesuatu yang bisa mengubah haluannya menuju matlamat yang ditetapkan oleh Allah s.w.t, akan didatangkan ujian kepadanya agar kecenderungan yang mencoba memesungkannya itu segera hilang dan dia kembali kepada haluan yang betul. Demikianlah hamba pilihan itu dijaga agar hatinya tidak terpengaruh dengan apa saja yang selain Allah s.w.t. Melalui proses yang demikian hatinya menjadi bersih dan langkahnya akan senantiasa berada di atas jalan yang lurus. Kesabarannya menghadapi ujian menjadi bertambah kuat. Bila Allah s.w.t reda dengannya, Dia akan menjaganya dan menyelamatkannya daripada kejahatan makhluk-Nya. Hati hamba itu menjadi kuat dalam mengawal anggotanya. Derajat takwanya bertambah dan tenteramlah dia di sisi Tuhan Yang Maha Perkasa.
Orang mukmin pilihan melalui dua peringkat kehidupan. Dalam peringkat pertama dia hidup dalam kesejahteraan, keberkatan dan menerima nikmat yang tidak terhingga. Perjalanannya sesuai dengan peraturan Tuhan. Rumah tangganya aman damai. Pekerjaan yang dibuatnya mendatangkan keberkatan. Doanya sangat makbul. Dia memperolehi ilmu yang halus-halus dan diberi pula kesempatan untuk menyaksikan perkara ghaib. Hiduplah dia dalam kedamaian, kesejahteraan, tidak diganggu oleh apa-apa pun. Kehidupan yang demikian menetap padanya beberapa lama sehingga dia menyangkakan itulah penetapan dan makamnya.
Kemudian datanglah peringkat kehidupannya yang kedua. Secara tiba-tiba saja Tuhan melontarkan batu-batu ujian kepadanya. Dia ditimpa oleh bala yang datang berturut-turut dan dari berbagai-bagai jurusan. Dia tidak berupaya menahan apa yang datang itu. Seluruh kehidupannya dibolak-balikkan oleh gelombang ujian. Dia menghadapi kesusahan dan penderitaan yang amat sangat. Perubahan yang berlaku secara mendadak itu membuatkan orang mukmin tadi tercengang-cengang, tidak mengarti. Dia kehilangan segala yang berharga. Orang-orang yang segolongan dengannya terpisah daripadanya tanpa sesuatu sebab yang kukuh. Dia tidak dapat mencari penjelasan. Jika datang sesuatu alamat atau mimpi dia tidak mampu menguraikannya. Dia kehilangan pedoman untuk memahami sesuatu perkara yang sampai kepadanya. Bila dia membuat sesuatu janji dia tidak pasti apakah dia dapat melaksanakan janji tersebut. Bila dia berdoa tidak ada tanda-tanda yang doanya akan dimakbulkan. Bila dia mencoba merenung ke dalam lubuk hatinya untuk mencari sesuatu keterangan, dilihatnya hatinya dibungkus oleh kejahilan. Apa juga cara yang digunakannya hanya kekecewaan yang ditemuinya. Hanya nasib malang yang menyata pada penglihatannya. Dia ditinggalkan dalam keadaan demikian beberapa lama. Dalam keadaan yang sudah sangat berat itu kadang-kadang kesusahan dan penderitaan ditambah lagi ke atas bahunya. Hatinya digoncangkan dengan sesungguhnya. Masuklah dia ke dalam ruang di mana semua pintu tertutup dan semua langkah terikat. Pada masa itu hatinya akan menjadi kosong. Tidak ada apa-apa lagi yang tinggal dalam hatinya. Tabiat dan sifat kemanusiaannya hilang terus. Kesadarannya terhadap dirinya tidak ada lagi. Dia tidak memperdulikan lagi kesusahan dan penderitaan yang menimpanya. Tatkala itu dia hanya mempunyai kesadaran rohani semata-mata.
Ujian yang datang dengan hebatnya secara bartimpa-timpa telah menghancurkan dirinya yang mempunyai kehendak dan nafsu, yang sebelum itu datang dan pergi bersilih ganti Setiap kali diri yang hilang itu kembali ia menggerakkan sisa-sisa nafsu dan kehendaknya yang masih tinggal. Ujian yang datang dengan hebat itu telah benar-benar menghapuskan sisa-sisa nafsu, keinginan dan syahwatnya. Barulah dia benar-benar mencapai tahap yang suci murni yaitu kesucian roh sebelum berkait dengan jasad. Barulah dia benar-benar masuk ke dalam makam penetapan yang tidak akan berubah lagi. Bebaslah hatinya daripada lintasan dan rangsangan. Pancainderanya tidak ada kekuatan lagi untuk melakukan maksiat. Dia adalah umpama malaikat suci yang dipelihara daripada dosa dan noda. Allah s.w.t pun membuka pintu rahmat dan keredaan-Nya. Hatinya dipenuhi oleh cahaya iman dan ilmu. Dia dikembalikan kepada kedudukannya yang mulia. Keberkatan dan kesejahteraan hidup dikurniakan semula kepadanya. Dia menjadi tumpuan orang banyak. Mereka bersedia untuk berkhidmat kepadanya. Manusia dari berbagai-bagai lapisan mengunjungi dan memuliakannya. Dia dipelihara secara zahir melalui makhluk tetapi pada hakikatnya melalui kasih sayang dan rahmat Allah s.w.t. Bila dia sudah sampai kepada makam penetapan keadaan yang ada dengannya berkekalan sehingga dia meninggal dunia dan kembali kepada Tuhannya.
Orang yang sedang dilatih pada jalan kerohanian akan mengalami ujian yang mengubah suasana hatinya. Perkara biasa jika doa mereka menjadi tidak makbul sesudah makbul, perkataannya tidak terlaksana sesudah ia mudah menjadi kenyataan. Ada orang yang diberi kebisaan untuk mengobati penyakit. Apa saja penyakit yang diobatinya akan sembuh. Kemudian keadaan berubah. Apa saja penyakit yang diobatinya tidak akan sembuh. Sesudah itu dia masuk kepada suasana di mana kadang-kadang sembuh dan kadang-kadang tidak sembuh, ada doanya yang makbul dan ada yang tidak makbul, ada firasatnya yang menyata dan ada yang tidak. Latihan yang demikian perlu bagi meyakinkannya bahwa dia tidak akan terlepas daripada pergantungan dengan Allah s.w.t walau dia berada pada makam mana sekali pun. Timbullah keyakinannya bahwa pada setiap makam kerohanian mesti ada pengharapan dan ketakutan kepada Allah s.w.t. Hamba Allah yang dijaga akan ditetapkan untuk menyaksikan kehambaannya pada setiap masa, pada semua makam. Siapapun yang inginkan kejayaan pada jalan kerohanian dan mencapai ketetapan, hendaklah melazimi kehambaan sepanjang masa dengan sebenar-benar kehambaan pada segala keadaan dan makam.
Orang yang belum mencapai makam penetapan perlu berwaspada dengan dirinya sendiri. Dirinya yang menjadi sumber kepada nafsu dan berbagai-bagai keinginan akan kembali kepadanya dan meninggalkannya beberapa kali. Setiap kali ia datang ia akan mencoba mengseretnya kepada apa yang telah ditinggalkannya sebelum tenggelam ke dalam lautan kerohanian dahulu. Ketika ia muncul seketika itu, timbullah keinginannya kepada harta, perempuan dan kedudukan yang pernah dimiliki dan dikasihinya dahulu. Nafsunya meminta dipuaskan dan keinginannya meminta dipenuhi. Nafsu dan keinginannya meminta dia kembali kepada alam yang telah ditinggalkannya. Oleh yang demikian, berhati-hatilah dengan diri sendiri. Jihad terhadap diri perlu dilakukan secara berterusan. Jangan terpedaya dengan helah hawa nafsu dan keinginan yang banyak muslihatnya. Berjihadlah sehingga ia tidak kembali lagi buat selama-lamanya. Barulah diri itu bangkit semula sebagai insan baru, bertenaga baru, berpandangan baru, mempunyai selera dan citarasa baru, berwawasan baru dan segala-galanya pada dirinya adalah baru yang melayakkannya bergelar hamba Tuhan.
Orang yang sedang melakukan mujahadah perlu mendirikan benteng di sekeliling hatinya. Hati itu perlu dipelihara agar apa saja yang selain Allah s.w.t tidak dapat masuk ke dalamnya. Hati mesti dipertahankan dengan pedang tauhid. Apa saja yang mau masuk ke dalam hati dan menjabar kedudukan Allah s.w.t mestilah dipancung dengan pedang tauhid sehingga bebaslah hati daripada yang selain Allah s.w.t. Hati hanya dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah s.w.t, ketaatan kepada Allah s.w.t, penyembahan hanya untuk Allah s.w.t, pemujian hanya untuk Allah s.w.t dan tidak ada apa lagi yang menjabar kedudukan Allah s.w.t pada hatinya. Bila keadaan ini sudah sebati dalam hatinya Allah s.w.t memasukkannya ke dalam pemeliharaan-Nya (kewalian). Tugas mengawal hatinya diambil alih oleh tentera-tentera Allah s.w.t yang bertugas melindunginya secara berterusan dengan menggunakan pedang tauhid. Syaitan, hawa nafsu kebinatangan, pengaruh dunia dan makhluk yang merusakkan, angan-angan kosong dan apa saja yang tidak baik tidak berupaya lagi menawan hati hamba yang dipelihara oleh Allah s.w.t. Keberkatan, kekeramatan dan kemuliaan yang dikurniakan kepadanya tidak menggoncangkan hatinya. Isteri-isteri, anak-anak dan kaum keluarganya dijaga agar tidak menjadi fitnah kepadanya. Apa saja yang daripada dunia ditapis terlebih dahulu sebelum sampai kepadanya agar yang datang itu tetap bersih dan tidak membahayakannya. Beban yang ditanggungnya akan diangkatkan supaya tidak ada lagi penguasaan makhluk ke atasnya. Jadilah dia hamba yang merdeka daripada sekalian makhluk. Dia hanya memperhambakan dirinya kepada Tuhan. Dia masuk ke dalam penjagaan ar-Rahim yang mendakapnya dengan rahmat, kasih sayang dan keredaan-Nya. Penghidupannya adalah berenang dalam lautan takdir, bartindak secara spontan menurut firasat hatinya yang dipenuhi oleh nur suci.
Tanda seseorang itu telah sampai kepada makam takdir dan berada dalam ketetapan adalah Tuhan mengembalikan keinginannya (dalam keadaan terpelihara) dan dia diperintahkan supaya mengambil bagiannya yang selama ini disimpan bagi keselamatannya. Bagiannya itu ditahan buat sementara karena dia masih di dalam perjalanan dan belum mencapai ketetapan. Tanpa ketetapan hati apa yang diingini bisa merusakkan hati itu sendiri. Bila dia sudah memperolehi ketetapan dia bisa menerima bagiannya tanpa dicederakan oleh apa yang diterimanya itu. Apa yang diperuntukkan kepadanya hanya dia yang berhak mengambilnya. Tidak ada siapapun yang dapat merebut haknya.
Allah s.w.t menetapkan keadaan hamba-Nya itu sebagai manusia biasa yang bertubuh badan dan hidup di dalam dunia supaya Dia dapat menyerahkan haknya yang Dia sebagai Pemegang amanah telah menyimpannya demi kebaikan si hamba itu sendiri. Bila hatinya sudah teguh dan kuat, tidak bisa digugat oleh apa yang diperuntukkan kepadanya, maka ia diserahkan kepadanya untuk dinikmatinya sebagai balasan terhadap perjuangannya menahan diri dan melawan hawa nafsu. Allah s.w.t bukakan pintu-pintu kebaikan supaya nyatalah kedudukannya pada sisi-Nya dan terbuktilah kebenaran janji-janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mentaati-Nya. Allah s.w.t bukakan keinginannya terhadap apa yang disediakan untuknya dan dia digerakkan supaya meminta yang demikian. Permintaannya pasti dimakbulkan karena Allah s.w.t tidak mau menyekat bagian yang Dia telah tentukan untuk hamba-Nya, juga supaya terbukti kedudukan hamba itu, keredaan Allah s.w.t kepadanya dan keberkatan doanya. Itulah nikmat yang Allah s.w.t sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang benar-benar ikhlas kepada-Nya, bersabar terhadap ujian-Nya dan reda dengan takdir-Nya, sekalipun panjang masa perjuangannya dia senantiasa mengawal diri agar tidak keluar daripada sempadan yang Dia tentukan dan melalui berbagai-bagai peringkat kerohanian sehinggalah mencapai makam penetapan dan pemeliharaan Allah s.w.t. Setelah melengkapi bulatan perjalanannya dia kembali kepada kedudukannya sebagai seorang individu untuk mengambil bagiannya dalam kehidupan dunia ini sehingga berakhir hayatnya.
Tarekat ujian bala adalah sistem latihan kerohanian yang Allah s.w.t susun kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih untuk melaksanakan kewajiban sebagai khalifah atau wakil-Nya di bumi, menyeru umat manusia supaya kembali kepada jalan-Nya. Mereka mengajar manusia supaya mengenal Tuhan, mentaati peraturan-Nya, memakmurkan bumi ini dengan kebaikan dan membasmi kemunkaran. Tuhan Yang Maha Mengasihi tidak berhenti menghantarkan wakil-wakil-Nya kepada umat manusia supaya orang yang benar-benar ikhlas mau mencari-Nya akan menemui-Nya melalui bimbingan wakil-Nya.
32: Tarekat Orang majzub
________________________________________
Manusia pilihan kelas tartinggi adalah Nabi-nabi. Tuhan kurniakan kepada mereka kekuatan rohani yang luar biasa. Mereka mampu menempuh alam ghaib dan berhadap kepada Hadrat Ilahi tanpa berlaku kegoncangan kepada akal fikiran, kesadaran dan sifat-sifat kemanusiaan mereka. Mereka diperkenalkan dengan berbagai-bagai suasana ketuhanan (hakikat ketuhanan) dan mengalami berbagai-bagai perkara yang ganjil dalam keadaan jaga, tidak terbalik pandangan, tidak terlepas kehambaan dan tidak hilang kesadaran terhadap diri sendiri dan makhluk lainnya. Mereka tidak terdorong kepada suasana fana dan jazbah, tidak ada bersatu dengan Tuhan, baqa dengan Tuhan dan berpisah dengan Tuhan. Nabi-nabi menghadap kepada Tuhan tanpa melupai makhluk. Mereka juga melayani makhluk tanpa lalai daripada Tuhan. Makhluk tidak melindungi Tuhan dan Tuhan tidak menghapuskan makhluk. Kedua-duanya berada dalam kesadaran nabi-nabi.
Manusia yang selain nabi-nabi akan menerima kesan yang kuat daripada pengalaman kerohanian yang dinisbahkan kepada suasana ketuhanan. Keadaan ini lebih kuat lagi berlaku kepada orang yang dibawa kepada tarekat ujian bala. Kegoncangan yang hebat oleh ujian bala menyebabkan hati mereka ‘pecah’. Akibatnya kesadaran kepada alam maujud dan diri sendiri hilang. Tabiat dan sifat kemanusiaan juga tertanggal. Kesan yang muncul daripada ‘pertembungan’ dengan suasana ketuhanan itu dinamakan jazbah dan orang yang mengalami jazbah dinamakan majzub.
Jazbah adalah hal yang dialami oleh hati berhubung dengan aspek ketuhanan yang tidak dapat dicapai oleh akal. Hijab diangkatkan dan mata hati mereka menyaksikan perkara ghaib dan kenyataan tentang Tuhan. Suasana jazbah itu berbeda bagi seorang dengan seorang yang lain. Secara umumnya orang yang mengalami jazbah atau ahli majzub bisa dibagikan kepada empat jenis.
Majzub jenis pertama adalah orang yang dibawa oleh Tuhan kepada beberapa pengalaman kerohanian yang berkait dengan ketuhanan dan mencapai beberapa makam yang tinggi dalam tempuh yang singkat serta mereka mendapat keasyikan terhadap Allah s.w.t tanpa berguru dengan siapapun dalam hidup mereka. Jazbah merombak keperibadian mereka secara menyeluruh. Mereka menjadi orang yang sangat berlainan daripada keadaan mereka sebelum kedatangan jazbah. Mereka tidak suka bergaul dengan orang banyak. Mereka lebih merasakan kedamaian dan kebagiaan jika mereka bersendirian dalam keasyikan dengan Allah s.w.t. Apa yang berlaku di sekeliling mereka, baik atau buruk, tidak menarik minat mereka. Kegoncangan yang berlaku dalam masyarakat dan keluarga tidak mampu menarik mereka keluar daripada keasyikan mereka. Mereka hanya gilakan Allah s.w.t. Setiap detik mereka teringatkan Allah s.w.t saja. Mereka tidak suka mendengar cerita yang selain Allah s.w.t. Hanya Allah s.w.t dan yang mengenai Allah s.w.t saja yang dapat menembusi hati mereka. Bila mereka dikuasai oleh jazbah hilanglah kesadaran, fikiran, penglihatan, pendengaran dan pergerakan mereka. Orang majzub tidak sedarkan diri mereka dan alam maujud sekaliannya. Dalam keadaan demikian mereka mengalami berbagai-bagai hal atau pengalaman kerohanian. Mereka berpindah dari satu makam ke satu makam yang lain dengan cepat. Orang majzub separti ini dikasihi oleh Allah s.w.t dan Dia melindungi mereka daripada orang jahil yang jahat perangai. Oleh karena mereka sudah hilang kesadaran dan sifat kemanusiaan, maka hilang juga keupayaan mereka untuk membedakan yang baik daripada yang buruk. Majzub yang separti ini tidak bisa dijadikan pembimbing orang banyak karena adab sopan dan peraturan masyarakat tidak ada dalam kesadaran mereka.
Majzub jenis kedua, setelah dilenyapkan akal dan kesadaran separti jenis pertama, mereka dikembalikan semula kepada kesadaran kemanusiaan sedikit demi sedikit. Mereka diturunkan dari satu makam kepada makam yang lain. Penurunan tersebut mengurangkan kesan jazbah sehingga akhirnya mereka sampai kepada penetapan dan kesadaran sepenuhnya. Ketika menaik kesadaran mereka terhadap yang selain Allah s.w.t hilang dengan cepat dan dalam keadaan demikian mereka ‘menemui’-Nya. Ketika penurunan kesadaran terhadap diri sendiri dan makhluk lainnya tidak kembali dengan cepat. Mereka mengambil masa yang agak lama sebelum kesan jazbah hilang sepenuhnya daripada kesadaran mereka. Ada sebagian daripada mereka yang kesan jazbah tidak hilang sampai ke akhir hayat mereka. Bagi majzub kumpulan kedua ini jazbah berperanan sebagai ‘kuasa pemaksa’ yang mengseret mereka keluar daripada alam kelalaian dan memasukkan mereka ke jalan yang memperadabkan mereka dengan Tuhan. Rahmat Tuhan yang menarik mereka kembali kepada jalan yang lurus. Perubahan yang berlaku kepada mereka terjadi dengan pantas. Mungkin dalam masa kurang daripada dua bulan mereka sudah melalui semua stesen kerohanian dan mengalami hal ketuhanan yang mencukupi untuk mereka mengenal Tuhan secara hakiki. Setelah kembali kepada sifat kemanusiaan semula mereka meneruskan kehidupan menurut jalan kenabian, menurut Sunah Rasulullah s.a.w dan menjadikan kehidupan nabi-nabi dan wali-wali sebagai iktibar. Proses penurunan majzub jenis kedua ini merupakan pembalikan kepada proses menaik orang salik.
Majzub jenis ke tiga tidak hilang akal fikiran dan kesadaran mereka. Perubahan kerohanian berlaku dalam sedar dan jaga. Tidak ada perpisahan dengan sifat kemanusiaan, tidak ada fana dan bersatu dengan Tuhan. Mereka menetap dalam kehambaan, tidak terbalik pandangan, tidak mengalami mabuk dan tidak mengeluarkan ucapan latah yang menyalahi syariat. Orang yang di dalam kesadaran ini didatangkan jazbah kepada mereka sebagai kurniaan Tuhan untuk memperkenalkan mereka kepada Yang Hakiki karena ilmu dan amal mereka tidak berupaya menyampaikan mereka kepada yang demikian. Kaum sufi umumnya berpendapat majzub yang menetap dalam kesadaran dan kehambaan lebih baik daripada majzub yang mengalami kefanaan dan mabuk. Majzub yang di dalam kesadaran bisa menjauhkan diri mereka daripada perkara-perkara yang mendatangkan fitnah.
Majzub jenis ke empat adalah orang yang memasuki jalan suluk terlebih dahulu. Ketika bersuluk itulah akal fikiran dan kesadaran mereka dihapuskan. Majzub jenis ini mengenali alam terlebih dahulu sebelum mengenal Tuhan (mengalami hakikat ketuhanan). Bimbingan guru yang mursyid membuat perjalanan jazbah mereka teratur. Mereka meningkat dari satu makam kepada makam yang lain dengan bersistematik. Mereka melalui stesen-stesen kerohanian dengan bimbingan yang benar. Guru yang telah melalui semua stesen kerohanian, memperolehi makam-makam, mengetahui suasana kefanaan, kebaqaan dan Kebenaran Hakiki sesudah fana dan baqa, diperlukan bagi membimbing salik yang didatangi jazbah. Guru yang demikian dapat menyapu kekeliruan daripada mengelabui pandangan hati muridnya. Murid itu dapat maju ke matlamat terakhir dengan selamat dan teratur. Bimbingan guru membuat salik mengalami dan mengetahui pengalaman mereka. Pengenalan melalui pengalaman yang diterangi oleh pengetahuan mempercepatkan salik menjadi orang arif. Majzub jenis inilah dipersetujui oleh kaum sufi.
Majzub jenis pertama hidup terus menerus sebagai orang majzub, tidak kembali lagi kepada kehidupan manusia biasa. makrifat mereka berdasarkan pengalaman kerohanian mereka. Pengalaman mereka hanya untuk diri mereka saja, bukan untuk orang lain. Tanpa tajalli ilmu (terbuka pengetahuan tentang pengalaman yang dilalui) mereka tidak bisa dipanggil orang arif dan mereka tidak dibisakan menjadi pembimbing orang banyak yang di dalam kesadaran biasa.
Majzub jenis ke dua melalui stesen-stesen kerohanian dan mencapai berbagai-bagai makam dalam tempuh yang singkat. Kumpulan ini biasanya memasuki jazbah tanpa persediaan dari segi ilmu dan juga mereka tidak mempunyai guru. Setelah mengalami jazbah mereka kembali kepada kesadaran biasa. Akal fikiran dan sifat kemanusiaan mereka dikembalikan. Mereka mendapati sukar untuk menguraikan pengalaman kerohanian yang telah mereka lalui. Ketika di dalam zauk pengetahuan tidak penting, tetapi bila kembali sedar akal fikiran memerlukan kepemahaman. Dari sini orang majzub yang kembali sedar itu digerakkan untuk menyelidik, mengambil iktibar dan bertanya kepada orang-orang yang arif. Keadaan mereka adalah umpama orang yang bermimpi pada malam hari dan termenung pada siangnya untuk mengingati apa yang dimimpikan dan apa pula maksud mimpi tersebut. Proses memahami dan menyusun perjalanan kerohanian jauh lebih lambat daripada proses pengalaman kerohanian itu sendiri. Pengalaman kerohanian yang dilalui dalam tempuh dua bulan mungkin mengambil masa lebih daripada lima tahun untuk memahaminya dengan jelas dan menyusunnya secara terperinci. Kelambatan proses ini juga disebabkan oleh kesan jazbah yang sukar hilang dari kesadaran seseorang. Kebenaran yang ditemui melalui akal fikiran akan berubah-ubah mengikut kadar kesan jazbah yang sudah hilang daripada mereka. Apabila mereka bebas sepenuhnya daripada kesan jazbah, mereka akan temui Kebenaran Hakiki yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunah. Walaupun mereka mengalami hakikat tetapi tanpa kematangan ilmu mengenai pengalaman tersebut, mereka tidak layak dipanggil orang arif. Ilmu mereka benar-benar matang setelah mereka kembali kepada al-Quran dan as-Sunah.
Majzub jenis ke tiga biasanya terdiri daripada mereka yang mempunyai bekalan ilmu yang mencukupi. Kumpulan ini memasuki jalan kerohanian secara berhati-hati dan diselubungi oleh keraguan. Mereka memerlukan masa untuk mengharmonikan pengalaman yang dilalui dengan pengetahuan yang sedia ada. Apa yang diketahui sebelum mendapat jazbah berbeda daripada apa yang diketahui sesudah mendapat jazbah. Kedua-dua pengetahuan yang kelihatan berbeda itu kemudiannya dapat dipastikan bahwa perbedaan berlaku pada sudut pandangan sedangkan kebenarannya tidak berbeda. Pengalaman mengsahkan apa yang sudah diketahui. Bila kedua-dua jenis pengetahuan itu bersepakat keraguan mereka pun hilang. Pengetahuan yang lahir daripada cantuman dua sudut itu meneguhkan keyakinan.
Majzub jenis ke empat memasuki bidang suluk terlebih dahulu. Ketika menjalani suluk itulah mereka memperolehi jazbah. Tempuh mendapatkan jazbah berbeda-beda di antara seorang salik dengan salik yang lain. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Tidak kurang juga yang langsung tidak mendapat jazbah. Salik yang tidak mendapat jazbah atau lambat memperolehinya tidak seharusnya berasa kecewa. Jazbah bukanlah matlamat suluk. Kebaikan bagi orang yang menjalani jalan kerohanian adalah menjaga makam mereka. Jangan meminta makam yang lebih tinggi atau lebih rendah. Intisari bagi perjalanan kerohanian adalah kesabaran dalam menjalankan perintah Allah s.w.t dan kesabaran menanggung takdir-Nya. Salik hanya perlu menjaga takdir yang mereka berada di dalamnya. Sabar mengawal diri dan tidak bertelingkah dengan takdir merupakan kejayaan yang besar bagi salik, sekalipun mereka tidak mendapat jazbah. Teruskan tegak berdiri karena Allah s.w.t, demi Wajah-Nya semata-mata bukan karena sebarang keperluan. Salik jenis ini dibawa kepada ikhlas tanpa melalui jazbah. Ikhlas dan benar dengan Allah s.w.t merupakan matlamat perjalanan kerohanian, baik melalui jazbah atau secara sedar. Salik yang menetap dalam kesadaran beriman kepada Allah s.w.t dan Rasul-Nya dengan ikhlas. Mereka beriman kepada perkataan al-Quran dan Hadis dengan ikhlas tanpa memasuki bidang hakikat. Bagi salik yang mengalami jazbah pula berdampingan dengan guru menjadi syarat penting. Mereka perlu merujukkan kepada guru mereka semua pengalaman kerohanian yang mereka lalui semasa jaga maupun secara mimpi. Salik jangan mudah membuat tafsiran sendiri mengenai sesuatu perkara.
Setiap orang majzub mempunyai jalannya sendiri yang berbeda dengan majzub yang lain. Masing-masing ditarik kepada jalannya oleh ‘kuasa ghaib’ yang diistilahkan sebagai Tarikan Rahmani (ketuhanan), Pembimbing Hakiki ataupun Perintah Batin. Orang majzub menerima Tarikan Rahmani tanpa mereka bisa menahannya. Tarikan tersebut membawa mereka kepada jalan khusus yang Tuhan sediakan untuk mereka. Tarikan tersebut juga mengarahkan mereka melakukan sesuatu perkara tanpa terikat dengan hukum logik. Tarikan yang langsung dari Tuhan itu juga memandu orang majzub sehingga selamat sampai kepada matlamat. Orang yang di dalam keadaan demikian sering mendapat peringatan dari dalam diri mereka sendiri. Peringatan yang demikian dinamakan Suara Hakiki. Jika timbul cita-cita mereka untuk berhenti tatkala terjadi kasyaf suara dari dalam diri mereka akan memberi peringatan: “Apa yang kamu cari masih jauh di hadapan. Oleh itu jangan berhenti!” Jika terbuka kepada mereka rahsia alam maya, mereka diperingatkan oleh hakikat alam maya: “Sesungguhnya kami adalah ujian, karena itu janganlah kamu kufur!” Hamba yang dipimpin itu menafikan apa juga yang ditemui di sepanjang jalan. Apa yang mereka saksikan adalah gubahan Tuhan, hikmat kebijaksanaan-Nya dan tanda-tanda yang memberi pemahaman tentang Dia. Zat Ilahiat tetap tinggal terhijab, tidak dapat ditembusi oleh siapapun pun. Akhirnya hamba menemui kenyataan bahwa Dia yang sebenarnya mengenali Diri-Nya. Dia yang mencari, Dia yang dicari dan Dia yang menemui. Tidak ada siapapun yang ikut campur dalam urusan-Nya.
Orang yang sedang dikuasai oleh Tarikan Rahmani akan kehilangan kekuatan akal fikiran dan kesadaran diri mereka. Pengaruh pancaindera dan alam sekeliling menjadi lemah kepada hati mereka. Rangsangan yang datang dari kehendak diri sendiri menjadi tumpul. Pada peringkat permulaian mengalami hal yang demikian, ketika akal fikiran, kesadaran dan kehendak diri masih mempunyai kekuatan, mereka tidak mengarti apakah yang sedang berlaku kepada diri mereka. Mereka merasakan kelainan tetapi tidak mengarti mengenainya. Walaupun begitu mereka terus juga berjalan menurut cetusan yang muncul dari dalam diri mereka. Setelah beberapa lama mereka mulai menyedari kehadiran ‘kuasa ghaib’ yang menguasai mereka, memberi petunjuk dan bimbingan. Kelainan yang mereka alami mereka hubungkan dengan kehadiran kuasa ghaib tersebut. Mereka tidak tahu apakah hakikat kuasa ghaib itu tetapi mereka yakin bahwa ia adalah sesuatu yang suci dan berhubung rapat dengan pekerjaan Tuhan. Mereka yakin hanya dengan mengikuti petunjuk ghaib itu mereka dapat menghampiri Tuhan. Kehadiran kuasa ghaib tersebut dirasakan bertambah kuat dari masa ke masa. Ia membuat mereka berasa tenang dan mereka merasakan jalan menuju Tuhan semakin terang.
Penguasaan petunjuk ghaib ke atas diri mereka membawa mereka kepada peringkat di mana mereka menyaksikan kelakukan dan perbuatan muncul daripada diri mereka tanpa mereka berkehendak melakukannya, tanpa berfikir dan merancang dan juga tanpa menggunakan kekuatan diri sendiri. Segalanya berlaku secara spontan. Mereka tidak ikut campur dalam menghasilkan perbuatan diri mereka sendiri. Mereka hanya menyaksikan ‘kuasa ghaib’ menghasilkan kelakuan dan perbuatan diri mereka. Mereka tidak ada kehendak untuk membantah hal yang demikian, malah hal tersebut membuat mereka memerhatikan sesuatu tentang Tuhan. Apa yang berlaku secara spontan itu membukakan kepemahaman mereka tentang Tuhan. Dalam keadaan yang demikian akal mereka menjadi umpama bekas yang dituangkan dengan kepemahaman. Banyak perkara mengenai ketuhanan yang mereka tidak fahami sebelumnya ‘difahamkan’ pada peringkat ini. Hal yang demikian membuat hati mereka merasakan kewujudan hubungan di antara Tuhan dengan mereka. Jika kehendak kepada sesuatu yang lain menjadi lemah tetapi kehendak berjumpa dengan Tuhan menjadi kuat. Hati mereka sudah ada rasa kasihkan Tuhan. Mereka juga dapat merasakan kasihan belas Tuhan kepada mereka. Mereka mendapat penghayatan bahwa Tuhan tidak melupakan mereka, Tuhan senantiasa mengambil tahu tentang hal-ihwal mereka. Bertambahlah keseronokan mereka mengintai Tuhan.
Orang yang sedang diseret oleh petunjuk ghaib hilang minat kepada makhluk dan kehidupan dunia seluruhnya. Hati mereka hanya mencintai Allah s.w.t. Mereka menjadi hamba yang gilakan Allah s.w.t. Apa saja yang dipandang membalikkan sesuatu tentang Allah s.w.t. Dalam keasyikan mereka mengalami berbagai-bagai hakikat ketuhanan yang menambahkan pengenalan mereka tentang Tuhan. Puncakk kecintaan hamba kepada Allah s.w.t adalah pengalaman Allah Maha Esa, tiada sesuatu beserta-Nya. Selepas pengalaman tersebut mereka memasuki suasana baqa dengan Allah s.w.t. Suasana kebaqaan membuat mereka merasakan yang mereka tidak berpisah dengan Allah s.w.t yang mereka cintai, walau di mana mereka berada dan apa juga yang mereka lakukan. Bila suasana demikian sudah menguasai hati mereka barulah mereka bisa terima kehadiran makhluk karena pada tahap ini kehadiran makhluk tidak lagi memisahkan mereka dengan Tuhan.
Perjalanan seterusnya membawa mereka kepada kesadaran mengenai tujuan mereka diciptakan. Kesadaran, akal fikiran dan sifat kemanusiaan mereka sudah dikembalikan. Mereka mulai bergerak jauh daripada Tuhan tetapi dalam keadaan tidak berpisah. Bila kesadaran, fikiran dan sifat kemanusiaan mereka kembali sepenuhnya, mereka dapat melihat perbedaan di antara Tuhan dengan hamba. Mereka berpindah daripada suasana baqa kepada suasana kehambaan sepenuhnya. Mereka kembali kepada kewujudan diri sendiri dan menghabiskan sisa-sisa hidup mereka sebagai ahli syariat yang taat. Lengkaplah perjalanan kerohanian mereka. Pengalaman jazbah menjadi ingatan yang paling berharga bagi mereka karena melalui pengalaman tersebut mereka berubah menjadi manusia baru, mempunyai kehendak dan citarasa yang baru. Jazbah telah menghancurkan ‘patung-patung’ dalam diri mereka yang mereka tidak berupaya menghancurkannya dengan kekuatan diri sendiri.
33: Persediaan Menerima Kedatangan Jazbah
________________________________________
Apabila Allah s.w.t berkehendak menyampaikan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w, Dia menggerakkan hamba-Nya itu supaya berkhalwat di Gua Hiraa. Pemergian baginda s.a.w ke Gua Hiraa adalah karena Tarikan Rahmani atau Petunjuk Ghaib yang datang secara langsung daripada Allah Yang Maha Tinggi. Petunjuk Ghaib mempersiapkan Nabi Muhammad s.a.w. Apabila baginda s.a.w sudah bersedia barulah wahyu diturunkan.
Seseorang yang akan menerima urusan Tuhan akan dipersiapkan oleh Tuhan menurut kebijaksanaan-Nya. Seseorang yang akan menerima jazbah dipersiapkan terlebih dahulu. Ada orang yang diseret kepada jalan bersuluk. Walaupun mereka memasuki suluk di dalam kesadaran namun pada hakikatnya mereka ditarik oleh Petunjuk Ghaib. Petunjuk Ghaib bartindak ke atas mereka, yang pada zahirnya kelihatan sebagai bimbingan guru mereka. Kehadiran guru yang arif memudahkan murid memahami petunjuk-petunjuk sampai kepada mereka daripada alam ghaib.
Sebagian ahli jazbah memasuki jalan yang tidak ada guru. Mereka bisa dibagikan kepada dua golongan. Golongan pertama memasuki jalan memencilkan diri di tempat yang jauh daripada orang banyak. Ketika bersendirian itulah timbul kecenderungan dalam hati mereka untuk melakukan sesuatu ibadat dengan bersungguh-sungguh. Kemudian jazbah didatangkan kepada mereka. Golongan ini biasanya sukar untuk kembali kepada kehidupan biasa separti orang banyak. Orang yang menjadi majzub secara terus menerus kebanyakannya terdiri daripada golongan ini. Golongan kedua pula adalah mereka yang menetap dalam masyarakat, tidak mengasingkan diri di tempat yang jauh. Ketika masih berada bersama-sama orang banyak itulah didatangkan minat kepada mereka untuk melakukan sesuatu amalan atau ibadat. Apabila mereka didatangi oleh jazbah mereka tetap juga berada di dalam lengkungan orang banyak. Ahli jazbah separti ini mengalami berbagai-bagai perkara ganjil sambil diperhatikan oleh orang banyak. Mereka terpaksa berhadapan dengan reaksi orang banyak dan keadaan memudahkan buat mereka kembali semula kepada kehidupan biasa nanti.
Majzub berbeda daripada majnun (gila). Kepada kedua-duanya dibukakan keghaiban. Orang majnun tersangkut pada alam makhluk halus atau alam khadam. Mereka suka bercakap sendirian seolah-olah mereka bercakap dengan seseorang. Sebenarnya mereka memang bercakap dengan sesuatu yang orang lain tidak nampak dan tidak dengar. Isu percakapan mereka adalah perkara ganjil yang terdapat pada alam lain. Sekiranya orang majnun kembali kepada kesadaran biasa semula, mereka akan lupa kepada apa yang mereka telah alami pada alam makhluk halus itu. Pengalaman majnun tidak meninggalkan kesan yang mempengaruhi pemahaman dan pegangannya.
Orang Majzub pula tertarik kepada ‘alam ketuhanan.’ Walaupun bercakap sendirian, isu percakapan mereka adalah Tuhan. Mereka banyak bercakap mengenai aspek misal ketuhanan. Kelakuan mereka yang kelihatan separti orang yang tidak siuman, bercakap sendirian mengenai misal ketuhanan, bisa menyebabkan orang banyak menyangkakan mereka sudah gila. Apabila orang majzub kembali kepada kesadaran biasa semula, pengalaman jazbah tidak hilang daripada ingatan mereka. Pengalaman yang demikian meninggalkan kesan yang kuat pada jiwa mereka. Mereka yang keluar daripada alam jazbah membawa bersama-sama mereka kekuatan kerohanian yang kuat sehingga mereka mampu melakukan untuk masyarakat apa yang orang lain tidak mampu.
Allah s.w.t menyediakan berbagai-bagai cara bagi mempersiapkan hamba-hamba-Nya. Pengalaman seorang hamba Allah dimuatkan di sini untuk dijadikan iktibar bagi orang yang berminat pada jalan kerohanian.
Petunjuk Ghaib mendatangi hati si hamba itu sebagai kecenderungan atau dorongan yang kuat. Si hamba itu merasakan seolah-olah menerima perintah yang tidak bisa diengkari namun dia tunduk kepada ‘perintah’ itu dengan kerelaan. ‘Perintah’ yang datang itu menyuruh si hamba itu menziarahi 100 buah masjid.
Allah s.w.t memperakui masjid-masjid sebagai rumah-Nya. Tuan rumah senantiasa meraikan tetamu yang berkunjung ke rumahnya. Allah s.w.t adalah Tuan rumah yang paling baik, menyambut para tetamu-Nya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Para kekasih Allah gemar mengunjungi rumah-Nya. Mereka jadikan masjid sebagai tempat bermunajat. Tempat yang selalu disebut nama-nama Allah s.w.t, diucapkan kata-kata pujian dan kesyukuran kepada-Nya, dipenuhi oleh keberkatan. Keberkatan itu umpama cahaya yang menerangi kegelapan. Siapapun yang mendatangi cahaya akan dapat melihat dan berada jauh daripada cahaya akan tinggal di dalam kegelapan. Bermunajat di dalam cahaya keberkatan di dalam rumah-Nya melahirkan rasa kehadiran-Nya.
Si hamba mandi mensucikan diri dan berwuduk. Kemudian dia bersholat sunat dua rakaat bagi memulaikan perjalanannya. Sesudah bersholat dia bermunajat kepada Tuhannya: “Ilahi! Engkau jualah maksud dan tujuanku. Keredaan Engkau jua yang daku cari. Berikan daku petunjuk di dalam perjalananku, berkatilah langkahku dan bimbinglah daku untuk sampai kepadaMu”. Selesai bermunajat kepada Tuhan si hamba memulaikan perjalanan ke masjid-masjid dengan kalimah:
Kunjungan ke masjid-masjid cara ini bukanlah kunjungan sosial, bukan bertujuan untuk menuntut ilmu atau berkenalan dengan ahli-ahli masjid. Setiap masjid yang dikunjunginya adalah umpama negeri asing yang tidak seorang penduduk pun yang dikenalinya atau mengenalinya. Bertegur sapa dan bersalaman sekadar yang patut saja tanpa membanyakkan kata-kata merupakan adat berkunjung ke masjid. Setiap memasuki masjid kerjakanlah sholat sunnat tahiyyatul masjid, kemudian duduk beriktikaf sambil bermunajat kepada Allah s.w.t, memohon petunjuk dan bimbingan-Nya demi mencari keredaan-Nya. Jika waktu sholat fardu sudah sampai kerjakanlah sholat berkenaan secara berjemaah. Sesudah berwirid dan berdoa berpindahlah ke masjid yang lain pula.
Berkunjung ke masjid-masjid menurut Petunjuk Ghaib memberi kesan kepada jiwa hamba Allah itu. Suasana kehidupannya berubah. Dia mendapat kekuatan untuk menyelamatkan diri daripada pengaruh dan rangsangan yang datang daripada orang banyak. Kegiatan yang menyeronokkan dan melalaikan terpisah daripadanya. Jika dahulu dia sanggup menghabiskan wang yang banyak karena tujuan berseronok dan membazir, kini setiap sen yang dia ada digunakan semata-mata untuk jalan Allah s.w.t. Jika dahulu dia sanggup mengembara dari jambatan ke jambatan karena mencari nikmat memancing, kini dia mengembara dari masjid ke masjid karena mencari nikmat bermunajat kepada Allah s.w.t. Kekuatan dan keupayaan yang sama kini digunakan untuk mencari keredaan Allah s.w.t. Setiap waktu dan ruang digunakan untuk mengingati Allah s.w.t, Tuhan sekalian alam.
Si hamba kehilangan minat kepada makhluk dan aktiviti kehidupan harian. Seberapa banyak hilang minatnya terhadap makhluk, lebih banyak pula minatnya untuk menghampiri Allah s.w.t. Bila perhatiannya banyak tertuju kepada Allah s.w.t, fikiran dan hatinya kurang memerhatikan kepada hukum sebab akibat. Dia lebih memerhatikan perjalanan takdir daripada perjalanan sebab musabab. Bila perhatiannya tertuju kepada perjalanan takdir hatinya tidak lagi terganggu dengan kerenah makhluk yang bergerak di dalam arus sebab musabab. Dia sudah bisa merasakan kedamaian di tengah-tengah kekacauan yang berlaku di sekelilingnya.
Hati manusia mempunyai satu muka. Jika ia menghadap kepada makhluk ia akan membelakangi Tuhan. Jika ia menghadap kepada Tuhan ia akan membelakangi makhluk. Sekiranya Allah s.w.t berkehendak mengurniakan taufik dan hidayat kepada hamba-Nya, Dia akan palingkan muka hati si hamba itu kepada-Nya. Hati yang menghadap kepada Tuhan akan dapat merasai kehadiran-Nya, dengan demikian menambahkan keyakinan kepada Allah s.w.t. Si hamba akan menjadi seorang yang gemar beribadat. Dia sanggup melakukan ibadat dengan banyaknya semata-mata karena Allah s.w.t, demi mencari keredaan-Nya. Kekuatan yang diperolehi oleh hati sewaktu menziarahi 100 buah masjid sudah mampu mengadakan sekatan kepada pancaindera daripada melakukan sesuatu yang Allah s.w.t tidak suka.
Apabila minat mau berbakti kepada Tuhan sudah kuat, si hamba akan menilik kepada kecacatan dan keaiban dirinya. Dia berasa malu menghadap Tuhan dengan dirinya yang diselaputi oleh kekotoran. Dia juga melihat dirinya sebagai seorang yang ‘berpenyakit’, tidak berupaya membuat kebaktian kepada Tuhan dengan sempurna. Dia sangat ingin menyucikan dirinya dan menyembuhkan penyakitnya agar dia bisa berkhidmat kepada Tuhan dengan sekuat tenaganya dan dalam keadaan suci.
Setelah tamat peringkat menziarahi 100 buah masjid, didatangkan pula minat untuk ‘menziarahi’ dirinya sendiri.
Dan pada diri kamu apakah tidak kamu perhatikan? ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat )
Si hamba merenung perjalanan kehidupannya di dalam dunia. Sudah sangat banyak kekotoran yang mengenai dirinya zahir dan batin, dan racun yang memasuki dirinya zahir dan batin. Dia perlu menyucikan rohani dan jasmaninya. Dia perlu mengobati penyakit rohani dan jasmaninya. Dalam dia mencari-cari alat penyucian dan penawar itu hatinya mengingati firman Tuhan:
Dan jika ada satu kitab bacaan yang (mampu) dijalankan gunung-gunung dengannya atau dibelah bumi dengannya atau dibuat bercakap orang-orang yang sudah mati dengannya (maka al-Quranlah Kitabnya). Bahkan kepunyaan Allah jua segala urusan. Apakah tidak tahu orang yang beriman bahwa jika Allah mau nescaya Dia pimpin semua manusia? ( Ayat 31 : Surah ar-Ra’d )
Al-Quran mampu menyucikan kekotoran yang menjadi hijab di antara hamba dengan Tuhan. Al-Quran juga menjadi penawar yang menguatkan hamba berjalan kepada Tuhannya. Si hamba yakin dengan al-Quran sebagai Kitabullah yang diturunkan untuk kebaikan manusia. Oleh karena kekotoran dan penyakitnya banyak berhubung dengan hati dia harus memulaikan dengan hati al-Quran. Hati al-Quran dapat menyucikan hatinya dan menguatkannya.
Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Tiap sesuatu mempunyai hati, begitu juga al-Quran. Hati al-Quran adalah Surah Yaa Siin. Siapapun membacanya akan ditulis pahala sebanyak sepuluh kali membaca al-Quran”. Baginda s.a.w juga bersabda yang bermaksud: “Dalam al-Quran ada satu surah namanya Surah Yaa Siin. Surah ini mensyafaatkan bagi siapapun yang membacanya dan menuntutkan keampunan bagi orang yang mendengarnya”. Fadhilat Surah Ya Sin sangat besar. Ia menjadi penawar bagi berbagai-bagai penyakit. Kekotoran dan penyakit tidak dapat bertahan apabila penawar dari Surah Yaa Siin memasuki setiap rongga dan sekalian maujud.
Si hamba meletakkan pergantungannya kepada Allah s.w.t. Selepas peringkat menziarahi 100 buah masjid dia menjadikan pembacaan Surah Yaa Siin sebagai wiridnya. Dibacanya berulang-ulang, sekadar kemampuannya setiap hari. Dia berada dalam keadaan demikian beberapa hari. Setelah dia selesai membaca Surah Yaa Siin sebanyak 203 kali dia membaca doa yang pernah dibaca oleh Rasulullah s.a.w:
Ya Allah! Ya Tuhanku! Adakanlah di dalam hatiku nur, dalam pendengaranku nur, dalam penglihatanku nur, adakanlah di sebelah kananku nur, sebelah kiriku nur, dihadapanku nur dan berikan daku nur.
Berkat rumah Allah dan nur hati al-Quran memberi kekuatan kepada hati si hamba untuk menerima isyarat-isyarat dari alam ghaib. Hatinya sudah bersedia untuk menghadapi perjalanan kerohanian, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah s.w.t.
34: Perjalanan Menuju Allah
________________________________________
Keadaan hamba yang dipersiapkan untuk memasuki jalan kerohanian itu sudah sangat berbeda daripada keadaannya yang asal. Minatnya kepada orang banyak sudah tidak ada lagi. Dia tidak memperdulikan lagi televisyen, radio, surat khabar, talipon, kunjungan sahabat handai dan lain-lain. Dia lebih suka bersendirian. Dalam suasana bersendirian itulah dia dibawa kepada stesen kerohanian yang pertama.
STESEN PERTAMA
Si hamba membetulkan niatnya: “Ilahi! Engkaulah maksud dan tujuan. Keredaan Engkau yang daku cari”. Tiada niat lain lagi baginya. Dia tidak mengharapkan untuk menjadi wali atau mendapat kekeramatan. Dia tidak meminta ilmu keduniaan atau ilmu akhirat. Dia adalah umpama seorang pesalah yang sedang menanti dengan rela hukuman pancung yang akan dijatuhkan kepadanya. Dia menyerahkan ‘batang lehernya’ bulat-bulat kepada ‘pancungan’ takdir.
Dalam penyerahan itu si hamba merasakan hatinya separti disinari cahaya yang terang, lebih terang daripada segala cahaya yang ada di bumi. Dalam suasana hati yang demikian dia merasakan kewujudan jalinan hubungan yang erat dengan Kenabian Ibrahim a.s. Rasa kehadiran Ibrahimiyah membuat si hamba mengenangkan keluhuran Nabi Ibrahim a.s yang hanif, dengan kekuatan sabar, reda dan tawakalnya. Ibrahim a.s meninggalkan isteri yang sarat mengandung di tempat yang tidak ada penghuni, demi menjunjung perintah Tuhan. Ibrahim a.s sanggup mengorbankan anak kesayangan demi menjunjung perintah Tuhan. Ibrahim a.s mempunyai kekuatan hati karena hati beliau a.s berserah sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sewaktu akan dicampakkan ke dalam api Ibrahim a.s berkata: “Tuhanku melihat keadaanku. Dia tahu apa yang baik untukku. Dia tidak akan membiarkan daku”. Api kehilangan keupayaan membakar apabila berhadapan dengan kekuatan penyerahan Ibrahim a.s.
Si hamba berdoa kepada Tuhan: “Wahai Tuhanku! Kurniakanlah kepadaku sebagian daripada apa yang telah Engkau kurniakan kepada Khalil-Mu, Ibrahim a.s. Kurniakanlah kepadaku rasa penyerahan yang sebenarnya kepada-Mu. Perkuatkanlah kesabaranku menghadapi ujian-Mu. Teguhkan tawakalku menanti keputusan-Mu. Kurniakanlah kepadaku keredaan yang sebenarnya dalam menerima takdir yang datang daripada-Mu, baik atau buruk”.
Hati si hamba senantiasa memanggil Tuhannya: “Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah!” Inilah hamba-Mu yang berdiri karena menjunjung perintah-Mu. Inilah hamba-Mu yang rukuk karena memuji dan memuja-Mu. Inilah hamba-Mu yang sujud karena mengharapkan Wajah-Mu. Wahai Tuhanku. Janganlah Engkau jadikan kejahilan dan kedaifanku sebagai hujah untuk Engkau tidak menerima kedatanganku”.
Kemudian didatangkan kecenderungan membaca al-Quran kepada hati si hamba. Si hamba memulaikannya dengan membaca Surah al-Hadiid, Surah yang ke lima puluh tujuh. Dia membacanya dengan penuh penghayatan dan memahami maksudnya. Surah ini mengajar manusia supaya sanggup berkorban karena Allah s.w.t demi menegakkan kebenaran. Diterangkan bahwa kehidupan di dalam dunia ini adalah perjuangan di antara yang benar dengan yang salah. Orang yang beriman kepada Allah s.w.t, Rasul-Nya dan hari akhirat mestilah mempertahankan keyakinan yang benar dan apa saja yang benar. Surah ini juga memperingatkan bahwa mengenakan tipu daya kepada manusia. Manusia mestilah sedar bahwa dunia dengan segala kemewahannya tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan perjuangan pada jalan Allah s.w.t. Manusia digesa supaya mengejar nikmat yang ada pada sisi Allah s.w.t, disediakan untuk orang yang bertaubat dan bertakwa. Manusia juga diperingatkan supaya bersabar menerima ujian daripada Allah s.w.t. Ia mengajar manusia supaya beriman kepada Qada dan Qadar.
Tidaklah mengena satu bencana atas bumi dan tidak pula pada diri kamu melainkan semua itu sudah tercatit dalam Kitab sebelum Kami melakukannya. Yang demikian bagi Allah sangatlah mudah. Allah khabarkan demikian supaya kamu tidak berputus asa terhadap apa yang telah hilang daripada kamu dan tidak menyombong dengan apa yang datang kepada kamu. Dan Allah tidak suka kepada orang yang menyombong. (Ayat 22 & 23 : Surah al-Hadiid )
Allah s.w.t menerangkan bahwa segala yang berlaku adalah menurut takdir yang Dia telah tentukan. Membuat yang demikian sangatlah mudah bagi Tuhan karena Ilmu-Nya meliputi yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin. Orang yang beriman tidak seharusnya berputus asa apabila berpisah daripada sesuatu yang dia sayangi karena mungkin menurut Ilmu Allah s.w.t yang demikian baik baginya. Kesusahan dan bala bencana membuat manusia menjadi sabar, reda, bertawakal dan bersyukur, lalu dia dibawa hampir dengan-Nya. Ini jauh lebih baik daripada apa yang terpisah daripadanya.
Surah al-Hadiid juga memperkenalkan Allah s.w.t melalui nama-nama-Nya. Nama-nama Tuhan menjadi jambatan menghubungkan hamba dengan Tuhan. Jika nama Tuhan ditilik dengan hati nescaya terlihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata.
Seterusnya si hamba membaca pula Surah as-Sajdah, Surah yang ke tiga puluh dua. Surah ini mengajak manusia memerhatikan hubungan mereka dengan Pencipta. Tuhan menciptakan manusia pertama daripada tanah dan keturunan manusia dikembangkan melalui air mani. Tuhan sempurnakan ciptaan manusia dengan pengurniaan kepada mereka roh dan diperlengkapkan dengan berbagai-bagai bakat serta keupayaan. Surah ini menceritakan keadaan orang yang beriman sujud kepada-Nya apabila mereka diperingatkan dengan-Nya Orang beriman memisahkan diri mereka daripada tempat tidur pada malam hari karena melakukan ibadat kepada-Nya, memuji dan memuja-Nya dengan rasa takut dan harap. Manusia diberitahu bahwa Allah s.w.t adalah Pencipta, Pengatur dan Pengurus segala-galanya. Hanya Dia yang berkuasa memberi pertolongan dan pembelaan. Dia Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Oleh itu layaklah jika hamba mengadu dan merayu kepada-Nya saja, tidak kepada yang lain. Manusia diperingatkan supaya menggunakan bakat dan keupayaan yang Tuhan kurniakan kepada mereka untuk berbakti kepada-Nya bukan berbuat maksiat.
Si hamba semakin merasakan keakraban dengan al-Quran. Dibacanya pula Surah Luqman dengan penuh penghayatan. Surah ini menceritakan sifat orang yang beriman separti yang telah digambarkan oleh Surah as-Sajdah. Luqman adalah seorang hamba Allah yang salih. Beliau banyak bertafakur merenung alam keliling dan kehidupan di dalamnya. Tuhan bukakan kepadanya rahsia kehidupan. Beliau dapat melihat kehidupan ini dengan pandangan hikmah, karena itu beliau digelar ahli hikmah. Ahli hikmah melihat yang tersirat sedangkan orang lain melihat yang tersurat.
Keseronokan membaca al-Quran berterusan. Dibacanya pula Surah Yusuf. Surah ini menceritakan bahwa orang yang memperolehi hikmah adalah orang yang tahan menanggung ujian. Ujian merupakan proses penyucian dan pembentukan jiwa manusia.
Si hamba beralih pula kepada Surah Saba'. Surah Yusuf menceritakan hamba-Nya yang diuji dengan kesusahan. Surah Sabaa pula menceritakan tentang hamba-hamba-Nya yang diuji dengan kesenangan dan kekuasaan. Nabi Daud a. s menjadi raja yang sangat luas daerah kekuasaannya, hinggakan angin dan gunung ditundukkan kepadanya. Anakandanya, Sulaiman a.s, mewarisi kekuasaan tersebut. Kekuasaan Sulaiman a.s ditambah lagi hinggakan hewan dan jin tunduk kepadanya. Kerajaan dan kekuasaan yang begitu luar biasa tidak sedikit pun menggugat iman Daud a.s dan Sulaiman a.s.
Si hamba kemudiannya membaca Surah Faatir. Surah ini menggambarkan dengan indah bangunan alam maya ciptaan Tuhan. Diceritakan keharmonian perjalanan anggota-anggota alam. Manusia yang menggunakan akal fikiran akan dapat menghayati kerapian ciptaan Tuhan untuk mereka merasakan kebesaran dan keagungan Tuhan. Surah Faatir menekankan bahwa segala-galanya berpusat kepada Kudrat dan Iradat Tuhan yang tidak terbatas. Semuanya diciptakan dan diaturkan oleh satu kuasa saja, yaitu Allah Yang Maha Esa. Manusia diciptakan dan dihantarkan ke bumi. Kemudian dikirimkan petunjuk supaya manusia dapat menjalankan urusan dan bertugas sebagai khalifah di bumi. Mereka diberi peringatan bahwa mereka akan berhadapan dengan gangguan-gangguan. Gangguan tersebut memperingatkan mereka kepada tujuan mereka dihantarkan ke bumi.
Setelah membaca Surah-surah al-Hadiid, as-Sajdah, Luqman, Yusuf, Saba’ dan Faatir, si hamba mendapat keinsafan yang mendalam. Dibacanya pula Surah at-Taubah sebagai pengakuan bahwa dia bertaubat daripada segala kesalahan dan kekeliruannya.
Si hamba menghayati tujuh buah Surah daripada al-Quran. Pembacaan al-Quran kali ini sangat menyentuh jiwanya. Hatinya berasa terang dan jelas memandang kepada jalan yang mau ditujunya. Tujuan dan matlamatnya untuk menghampiri Tuhan semakin teguh. Sesungguhnya membaca al-Quran dalam suasana kehadiran Hakikat Ibrahimiyah memperkuatkan tapak kakinya untuk terus berjalan kepada Tuhan. Tidak ada apa lagi yang bisa mengalihkan pandangannya daripada matlamatnya.
Kemudian hatinya dibawa kepada suasana kehadiran Hakikat Musawiyah. Musa a.s adalah Kalim Allah, yaitu orang yang Allah s.w.t bercakap-cakap dengannya. Musa a.s mengarti tentang Kalam Allah s.w.t yang tidak bersuara dan berhuruf. Dalam suasana kehadiran Musawiyah itu si hamba memulaikan pembacaan al-Quran dari permulaiannya. Dimulaikannya dengan membaca Surah al-Faatihah, Ibu Kitab, kunci pembuka keghaiban, cahaya yang terang benderang menerangi hati nurani. Hati yang diterangi oleh cahaya al-Faatihah merenung al-Quran, huruf demi huruf, ayat demi ayat. Al-Quran dibaca bukan sekadar mengeluarkan bunyi dan arti-makna malah lebih mendalam daripada itu al-Quran melahirkan daya rasa yang seni, yang melampaui apa yang mampu disampaikan oleh bunyi dan makna. “Jika ada satu Kitab yang mampu dijalankan gunung-gunung dengannya atau dibelah bumi dengannya atau dibuat bercakap orang yang telah mati dengannya, maka al-Quran adalah Kitab tersebut”. Apabila hati menghayati maksud ayat ini, maka al-Quran jualah yang membawa hati kepada jalan yang lurus, membelahnya untuk diisi dengan kebaikan dan menghidupkannya untuk memandang kepada Tuhan. Bacaan al-Quran bartindak seumpama air sejuk yang enak menyerap ke seluruh rongga dan ruang. Bacaannya memberi kesan kepada seluruh diri zahir dan Diri Batin, menyerap ke seluruh maujud, menjadi darah dan daging, menjadi cita-cita dan keinginan. nur al-Quran menghancurkan hijab yang didirikan oleh syaitan, dunia dan hawa nafsu. Tenaga nur al-Quran akan menghapuskan apa saja yang mencoba menawan hati. nur al-Quran membebaskan hati daripada segala bentuk perhambaan kepada makhluk dan menetapkan satu perhambaan saja yaitu perhambaan kepada Allah s.w.t yang tidak bersekutu dengan-Nya sesuatu apa jua pun. Bila ruang hati sudah penuh dengan nur al-Quran barulah manusia itu benar-benar menjadi hamba Allah yang sesuai dengan Kalam Allah s.w.t. Penghayatan bacaan al-Quran tanpa penyerapan nur al-Quran tidak memadai untuk membentuk insan al-Quran, separti generasi Muslim yang diasuh secara langsung oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Si hamba sampai kepada ayat 54, Surah al-Baqarah:
Dan (ingatlah) tatkala Musa berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu telah menzalimi diri-diri kamu dengan sebab kamu menyembah anak sapi. Oleh itu minta ampun kepada Tuhan dan bunuhlah diri-diri kamu. Yang demikian itu baik bagi kamu pada sisi Tuhan kamu. Lantas Dia ampunkan kamu karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Penyayang.” ( Ayat 54 : Surah al-Baqarah )
Hati si hamba disentuh oleh ayat di atas. Bukan kaum Nabi Musa a.s saja yang menzalimi diri mereka. Manusia lain juga tidak kurang menzalimi diri sendiri. Mereka juga ‘menyembah berbagai-bagai anak sapi’ yang dibentuk oleh hawa nafsu mereka. Musa a.s menyarankan agar bertaubat dan diri yang zalim itu dibunuh. Si hamba yang berada dalam suasana kehadiran Hakikat Musawiyah menyahut seruan ayat 54, Surah al-Baqarah itu. Si hamba berdiri menghadap kiblat sambil mengangkat tangannya. Dia melafazkan dengan penuh kekhusyukan:
Aku bertaubat daripada menzalimi diri sendiri.
Si hamba mengarti bahwa kezaliman yang paling besar adalah meletakkan taraf ketuhanan Allah s.w.t tidak pada kedudukan yang adil dan meletakkan taraf makhluk melebihi apa yang sepatutnya. Dia benar-benar ikhlas ‘membunuh’ dirinya yang zalim agar diri yang adil saja tegak berdiri. Si hamba bersyukur kepada Allah s.w.t karena memberinya taufik, hidayat dan kekuatan untuk melakukan taubat yang demikian. Peristiharan hamba yang ikhlas itu menjadi kenyataan kepada firman Tuhan:
Dan tidak! Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menegur dirinya (nafsu lawwamah). ( Ayat 2 : Surah al-Qiyamah )
Nafsu lawwamah adalah diri hamba yang menginsafi segala kesalahan yang telah dilakukannya dan benar-benar ingin memperbaiki diri sendiri.
________________________________________
STESEN KE DUA
Sambil membaca al-Quran si hamba memperbanyakkan zikir. Dipalukannya zikir itu kuat-kuat ke dalam lubuk hatinya, seumpama jentera yang memukul tiang konkrit ke dalam tanah hingga bergegar tanah di sekelilingnya. Ucapan zikir bergema di dalam diri. Gemanya menyelinap ke seluruh ruang diri.
Di dalam suasana kehadiran Hakikat Musawiyah hati si hamba diperkuatkan bagi melawan anasir syirik yang mencoba menguasai jiwanya. Kemudian dia berpindah pula kepada suasana kehadiran Hakikat Isaiyah. Si hamba meneruskan pembacaan al-Quran dalam suasana yang baru ini. Dalam suasana ini hati banyak memerhatikan urusan taubat. Hati mencari-cari cara taubat yang lebih baik. Dia mau memutuskan dirinya daripada rantai-rantai yang mungkin bisa mengseretnya semula kepada kesalahan. Dia mau menjadi orang yang benar dengan taubatnya.
Dia terus membaca al-Quran dari satu Surah ke Surah yang lain dalam suasana hati memohon keampunan kepada Allah s.w.t, mengharapkan taubatnya diterima oleh-Nya. Dalam suasana bertaubat memohon keampunan Allah s.w.t, dalam kehadiran Hakikat Isaiyah atau dalam sinaran cahaya kenabian Isa a.s, si hamba mendapat pengartian bahwa bertaubat bukan sekadar menyesal dan meninggalkan kesalahan. Lebih penting daripada itu adalah menyesuaikan baki hayat yang masih ada dengan al-Quran secara zahir dan batin. Taubat adalah pintu kepada al-Quran, bukan sekadar pintu meninggalkan kesalahan dan dosa. Taubat yang sebenarnya berlaku di dalam sinaran nur al-Quran, dalam suasana hati yang sama dengan hati orang yang sedang mengerjakan sholat dengan khusyuk. Setelah selesai membaca Surah Maryam sebelum memasuki daerah Surah Taha, si hamba ‘digerakkan’ supaya meletakkan tangannya ke atas dada al-Quran, pada muka pertama Surah Taha dan dia mengucapkan:
Aku bertaubat daripada perbuatan syirik dan munkar.
Kemudian si hamba menadah tangannya ke langit dan bermunajat kepada Tuhan: “Wahai Tuhanku! Engkau Mengetahui kezaliman dan kejahatan diriku. Jika tidak kepada Engkau kepada siapa lagi hendakku pohonkan keampunan. Sesungguhnya Engkau jualah Tuhan Yang Maha Mengampuni dan Maha Mengasihani. Ya Allah, ya Tuhanku! Ampuni segala dosa-dosaku, dosa-dosa kedua ibu-bapaku ,dosa-dosa isteri dan anak-anakku, dosa-dosa saudara-saudaraku dan dosa-dosa sekalian kaum Muslimin dan Muslimat. Sesungguhnya Engkau jualah yang mengampunkan dosa-dosa hamba-Mu. Amin!” Si hamba menyapu mukanya dengan kedua-dua tapak tangannya yang telah menyentuh al-Quran dan menadah ke langit itu. Dia merasakan aliran wap sejuk berjalan ke seluruh tubuhnya. Dia berada dalam keadaan demikian beberapa ketika.
________________________________________
STESEN KE TIGA
Si hamba meneruskan perjalanannya di dalam daerah-daerah Surah al-Quran. Hatinya memasuki suasana kehadiran kenabian Daud a.s. Nabi Daud a.s telah menerima tanah kepunyaan Nasuha untuk didirikan masjid. Nasuha yang pada mulainya enggan menyerahkan tanah tersebut tetapi kemudian mendapat taufik dan hidayat daripada Tuhan, lalu dia bertaubat. Taubat itu dinamakan taubat nasuha, yaitu taubat orang yang meyakini akan berjumpa dengan Tuhan dan kembali kepada-Nya. Setelah menerima tanah Nasuha, bekerjalah Nabi Daud a.s membina rumah Allah. Si hamba yang telah benar dengan taubatnya bekerja membina hatinya untuk menjadi rumah Allah.
Setelah melepasi daerah Surah Muhammad, si hamba masuk ke dalam daerah Surah al-Fat-h, sampai kepada ayat ke 29.
Muhammad Pesuruh Allah! Dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang kafir (dan) berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka rukuk, sujud, mencari kurniaan dan keredaan Allah. Tanda-tanda mereka (ada) di muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka di Taurat dan sifat mereka di Injil, sebagai tanaman yang keluarkan tunasnya, lalu Dia teguhkan ia. Maka jadilah ia gemuk dan tegap berdiri di atas pangkalnya. (Adalah) karena Dia hendak jengkilkan kafir-kafir itu dengan (kesuburan) mereka (yang mukmin). Allah janjikan mereka yang beriman dan beramal salih dari mereka keampunan-Nya dan ganjaran yang besar. ( Ayat 29 : Surah al-Fat-h )
Si hamba membaca ayat di atas dengan khusyuk. Diulanginya beberapa kali. Kemudian dia digerakkan supaya menghadap kiblat dan mengangkat tangannya. Dia mengadakan baiah (janji setia) dengan sepenuh jiwa raganya:
Daku mengadakan baiah dengan Rasulullah s.a.w
Tangan kanan yang menyaksikan baiah di atas diletakkannya ke dada sebelah kiri, berbetulan dengan kedudukan hati. Sebaik saja tapak tangannya yang menyaksikan baiah itu menyentuh dadanya dirasakannya seolah-olah “Muhammad ur-Rasulullah ” menjadi pedang yang tajam memancung tangkal hatinya. Pancungan tersebut seumpama petir memanah ke hatinya. Terlalu kuat pancungan dan panahan tersebut hinggakan dia terbaring. Dia merasakan tusukan bisa di dalam hatinya. Dia bermohon kepada Allah s.w.t agar diberikan kepadanya kekuatan untuk menahan bisa yang sedang merobekkan hatinya itu. Pada saat itu Kaabatullah muncul dalam pandangan mata hatinya. Dalam penyaksian tersebut hatinya ‘mengucup’ Hajaral Aswad dengan penuh rasa tawadhuk kepada Allah s.w.t. Barulah berkurangan kepedihan yang menikan hatinya.
Pengalaman yang singkat itu membuat si hamba mengarti kebesaran ucapan kalimah “Muhammad-ur-Rasulullah.” Ia adalah pedang kebenaran yang memancung apa saja yang selain Allah s.w.t yang berada di dalam hati. Ia merobekkan istana iblis yang telah sekian lama terbina di sana. Ia meruntuhkan dinding dan tembok yang didirikan oleh syaitan, hawa nafsu dan dunia. Pedang kebenaran menghalau segala yang keji. Bila segala yang keji sudah menyingkir terbinalah sebuah istana yang indah di dalam hati.
Kalbu (hati) orang mukmin adalah istana Allah.
________________________________________
STESEN KE EMPAT
Hati si hamba masuk pula kepada suasana kehadiran Cahaya Kenabian Sulaiman a.s. Sulaiman a.s menyudahkan pembinaan masjid yang pembinaannya dimulaikan oleh ayahandannya, Daud a.s. Mereka membina masjid di atas tanah Nasuha yang bertaubat.
Daud a.s dan Sulaiman a.s merupakan dua orang hamba Allah yang diberikan kerajaan dan kekuasaan yang tidak diberikan kepada manusia lain. Kurniaan Allah s.w.t yang begitu besar menambahkan kesyukuran mereka. Si hamba yang telah memasuki pintu taubat menemui pula pintu kesyukuran.
Si hamba yang hatinya dikuasai oleh rasa bersyukur kepada Allah s.w.t meneruskan pembacaan al-Quran. Alunan kesyukuran pada jiwa ketika membaca al-Quran berbeda daripada alunan taubat. Kedua-duanya tidak mampu diuraikan. Hati yang telah merasainya akan mengarti. Di dalam alunan kesyukuran itu si hamba sampai kepada daerah Surah ar-Rahman. Dia sampai kepada ayat ke 13:
Dan kurniaan Tuhan kamu yang mana lagi hendak kamu dustakan? ( yat 13 : Surah ar-Rahman )
Si hamba terpegun sejenak. Bacaannya terhenti. Dimencobanya membaca sekali lagi ayat tersebut tetapi lidahnya kelu. Dia merasakan kekerdilan diri yang amat sangat. Apabila dia mencoba lagi untuk meneruskan bacaannya dirasakannya sebuah gunung yang besar terhempap ke atas kepalanya. Tiba-tiba mata hatinya menyaksikan keagungan ar-Rahman. Keagungan ar-Rahman menguasai hatinya. Dia merasakan seolah-olah nafasnya dan perjalanan darahnya terhenti. Ingatan kepada ar-Rahman itu menggoncangkan sekalian maujudnya. Apabila dia berhadapan dengan ar-Rahman dirasakannya dirinya umpama lilin yang cair dimakan api, umpama tepung yang diterbangkan angin kencang. Tidak ada daya dan upayanya untuk menghampiri daerah ar-Rahman. Dia sujud ke Hadrat Tuhan ar-Rahman dan bermunajat: “Wahai ar-Rahman! Engkau perlihatkan Keagungan-Mu kepada hamba-Mu yang kerdil dan daif ini. Dalam serba kelemahan dan kekurangan ini hamba-Mu memohonkan keampunan dan kemaafan-Mu. Maafkan daku wahai Yang Maha Agung! Tidak terdaya hamba-Mu ini melalui Surah ar-Rahman Yang Agung ini. Izinkan daku meneruskan perjalananku kepada Surah-surah yang lain dengan meninggalkan apa yang tidak terdaya daku melaluinya”.
Pengalaman berhadapan dengan Surah ar-Rahman membuatkan si hamba mengarti bagaimana Gunung Thursina hancur lebur bila dihadapkan kepada tajalli Tuhan. Berhadapan dengan Surah ar-Rahmaan sudah menghancur-leburkan kewujudan insan, Apa lagi jika benar-benar berhadapan dengan keagungan-Nya. Kesucian dan kemuliaan malaikat Jabrail a.s masih tidak cukup kuat untuk berhadapan dengan keagungan Allah ar-Rahman!
Si hamba sampai kepada daerah Surah al-Ikhlas. Diulangi bacaannya beberapa kali. Kemudian diletakkan tangannya di atas dada Surah al-Ikhlas dan diucapkannya dengan penuh kekhusyukan.:
Diucapkannya kalimah di atas beberapa kali dengan sepenuh jiwa raganya. Dia merasakan sesuatu keanehan. Dirasakannya kalimah suci itu menyelinap ke seluruh tubuhnya dan ke seluruh jiwa raganya. Tiada ruang lagi pada dirinya yang tidak diresapi oleh kalimah suci itu. Sekalian maujudnya menyaksikan:
Tapak tangan kanannya yang menyentuh dada al-Quran semasa dia mengucapkan Kalimah Syahadah tadi diletakkannya di dadanya, berbetulan dengan hati. Seluruh maujudnya, zahir dan batin, dikuasai oleh kalimah La ilaha illa Llah. Ia menjalar ke dalam darah, daging, urat saraf, tulang belulang dan seluruh tubuhnya dari hujung rambut sampai hujung kaki. Sekaliannya menyaksikan dengan penuh tawadhuk kepada Tuhan bahwa La ilaha illa Llah. Apa yang dirasainya daripada ucapan Kalimah Tauhid kali ini sangat berbeda daripada yang sudah-sudah. Tidak pernah dia merasakannya begini, walaupun dia selalu mengucapkan kalimah tersebut. Pengalaman La ilaha illa Llah yang diperolehinya kali ini tidak akan ditukarkan dengan sesuatu, walaupun dengan sebuah gunung emas. Dunia dan isinya bukanlah harga untuk ditukar dengan kalimah suci ini. Si hamba bermunajat kepada Tuhan dengan segala kerendahan hatinya: “Ya Allah! Ya Ahad! Bawalah daku kepada-Mu. Jangan Engkau tinggalkan daku walau satu detik pun. Jangan Engkau biarkan yang selain-Mu mengurus daku walau satu saat pun. Janganlah Engkau kembalikan daku kepada pekerjaan zalim, munkar dan melampaui batas. Daku berlindung kepada-Mu pada setiap waktu. Engkau jualah sebaik-baik Pelindung!”
Kemudian si hamba mengucapkan:
“Aku reda Allah s.w.t jualah Tuhan, Islam jualah agama, Muhammad s.a.w adalah Nabi dan Rasul, al-Quran adalah imam (ikutan), Kaabah adalah Kiblat dan Mukminin serta Mukminat adalah saudara!”
Kemudian si hamba menghabiskan bacaan al-Quran hingga ke Surah yang terakhir. Dia telah diberi kesempatan mengalami sesuatu yang unik semasa melalui daerah-daerah Surah al-Quran. Pengalaman hati sukar dijelaskan. Hati yang merasai suka, duka, senang dan susah. Hati mengalami suasana yang dipanggil sabar, reda, tawakal dan syukur. Hati juga merasai suasana kehadiran cahaya kenabian, sebagaimana hati mengalami kehadiran (Hadrat) Ilahi. Merasai kehadiran cahaya kenabian bukan berhadapan secara nyata, bertutur-kata dengan mereka. Rasa kehadiran berlaku di dalam hati. Tutur-katanya bukanlah percakapan tetapi pengartian yang tiba-tiba tertanam pada lubuk hati.
________________________________________
STESEN KE LIMA
Setelah selesai membaca al-Quran si hamba meneruskan perjalanannya dengan memperbanyakkan zikir dan bersholat sunnat, sesuai dengan firman Tuhan:
Sesungguhnya aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku. Sebab itu abdikan dirimu kepada-Ku dan dirikanlah sholat buat mengingati Aku. ( Ayat 14 : Surah Taha )
Pengembaraan di dalam sholat membentuk hati yang kuat berserah diri kepada Allah s.w.t. Keinginan untuk bertemu dengan-Nya semakin kuat. Si hamba yakin bahwa hanya dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya saja bisa membawa seseorang hamba hampir kepada-Nya. Dalam keadaan demikian pergantungan si hamba itu kepada Allah s.w.t semakin teguh. Pengharapannya kepada makhluk tinggal hanya sedikit saja lagi. Ingatannya kepada Allah s.w.t sangat kuat dan ingatannya kepada makhluk sangat berkurangan. Lama kelamaan kuatlah penghayatan dalam hatinya suasana: “Maksud dan tujuan hanyalah Allah s.w.t. Keredaan-Nya yang dicari”.
Dalam keasyikan mengerjakan berbagai-bagai sholat sunnat itu hati si hamba disentuh oleh sepotong ayat yang sering dibaca dalam sholat. Si hamba dengan ikhlas membuat penyaksian:
Dengan Nama Allah, Pemurah, Penyayang.
Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.
Si hamba memperakui bahwa tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah s.w.t. Oleh karena segala daya dan upaya adalah hak Allah s.w.t, maka segala sholat, ibadat-ibadat, seluruh penghidupan dan juga kematian adalah diperuntukkan kepada Allah s.w.t, tidak kepada yang lain. Tidak ada motif keduniaan dan keakhiratan.
________________________________________
STESEN KE ENAM
Si hamba tenggelam dalam penghayatan bahwa tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah s.w.t. Bertambah kuat dia melakukan sholat dan zikir sebagai menyatakan bahwa segala daya dan upaya yang dikurniakan Allah s.w.t kepadanya digunakannya untuk mencari keredaan Allah s.w.t jua. Hatinya menyaksikan bahwa segala perkara, semua kejadian, apa saja yang bergerak dan yang diam, semuanya terjadi karena daya dan upaya yang dari Allah s.w.t. Pergantian malam dengan siang, pasang dan surut air laut, senang dan susah, sehat dan sakit dan semuanya adalah kenyataan kepada daya dan upaya yang dari Allah s.w.t jua. Daya dan upaya yang dari Allah s.w.t itu muncul dalam berbagai-bagai keadaan, rupa bentuk, sifat, ruang dan waktu. Si hamba melihat perbuatan dan kelakuan muncul daripada dirinya sebenarnya adalah daya dan upaya yang datang dari Allah s.w.t.
________________________________________
STESEN KE TUJUH
Dalam suasana yang dipenuhi dengan sholat dan zikir si hamba digerakkan untuk bertafakur. Dia gemar merenung segala perkara dan menghubungkannya dengan Tuhan. Sesuatu perkara yang pada mulainya kelihatan sulit, setelah direnungnya dengan mendalam dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Melalui proses tafakur itulah dia banyak mendapat kepemahaman tentang berbagai-bagai perkara yang pernah dimusykilkannya dahulu. Dahulu akalnya tidak mampu mencari jawaban. Kini dia mendapat jawaban dengan mudah. Sedikit demi sedikit, melalui penemuan secara bertafakur, hatinya merasakan bahwa jawaban yang datang kepadanya bukan terjadi dengan tiba-tiba, tetapi ia berlaku secara terancang dan diuruskan dengan bijaksana. Hatinya merasakan bahwa dirinya diberi pengajaran dengan cara yang sangat misteri. Dari situ dia menyedari bahwa ada Pembimbing Rohani yang bartindak memberinya petunjuk, panduan dan nasehat dengan cara yang sangat sukar untuk difahami. Dia tidak mengetahui hakikat pembimbing tersebut tetapi dia merasakan kehampiran dengannya. Rasa kehadiran pembimbing tersebut membuatnya lebih berani bertafakur mengenai perkara-perkara ketuhanan yang pada zahirnya sukar dimengarti. Apa juga perkara yang mencetus minatnya untuk bertafakur, didapatinya jawaban yang memuaskan hatinya. Melalui proses tersebut dia mulai mengenal Tuhan melalui pandangan yang berbeda daripada pengenalannya yang lalu.
Kehadiran Pembimbing Rohani menjadikan si hamba bersikap pasif, jiwanya tenang dan yakin, membiarkan Petunjuk Ghaib ‘membawanya’ ke mana saja. Pada peringkat ini si hamba seolah-olah memiliki dua jenis diri. Diri pertama adalah diri yang memiliki sifat kemanusiaan biasa. Diri kedua adalah diri yang bergerak di bawah kekuasaan Petunjuk Ghaib atau Pembimbing Rohani. Bila dikuasai oleh Petunjuk Ghaib akan lahirlah perbuatan yang ganjil, tidak logik yang kadang-kadang menyalahi adab sopan dan nilai kemanusiaan biasa. Walaupun lahir perbuatan yang kelihatan bodoh dan remeh temeh tetapi baginya perbuatan yang dicetuskan oleh Petunjuk Ghaib itu mengandungi pengajaran yang halus tentang Tuhan. Oleh itu si hamba berasa tenang dan tenteram walaupun keganjilan yang muncul pada dirinya telah membuat orang-orang yang hampir dengannya menjadi gelisah.
Si hamba bukan sekadar melihat Haula dan Kuwwata sebagai bakat dan tenaga yang menggerakkan makhluk, malah dilihatnya Haula dan Kuwwata adalah jambatan yang menghubungkan hamba dengan Tuhan. Tanpa Haula dan Kuwwata tidak mungkin hamba bisa menghadap kepada-Nya dan menghampiri-Nya. Haula dan Kuwwata adalah urusan-Nya yang pada satu aspek memungkinkan makhluk bergerak dan melahirkan kesan, sementara pada aspek yang lain pula merupakan ‘Rahsia’ yang memungkinkan hamba berhubung dengan Tuhan.
________________________________________
STESEN KE LAPAN
Si hamba masih lagi di dalam suasana bersholat, berzikir dan bertafakur. Rasa kehambaannya semakin mendalam. Dia hanya mementingkan soal hubungannya dengan Tuhan. Soal-soal kehidupan harian tidak mendapat perhatiannya. Dia tidak mengambil berat tentang soal-soal zahiriah separti makan, minum, pakaian dan lain-lain. Kelakuannya sudah agak berlainan dengan kelakuan orang biasa. Cara dia makan kadang-kadang menimbulkan fitnah kepada orang yang memandangnya. Dia dapat melihat keganjilan yang berlaku kepada dirinya tetapi dia tidak berdaya menghalangnya dan juga dia tidak keberatan hal yang demikian terjadi kepada dirinya. Dia merasakan dirinya benar-benar tidak berdaya dan upaya. Dia merasakan dirinya digerakkan untuk melakukan sesuatu tanpa dia bisa membantah atau mengubahnya. Dia melihat anggotanya sebagai alat yang digunakan oleh kuasa dalaman yang menguasainya. Dia lebih banyak berada dalam keadaan dia tidak tahu mengapa dia berbuat sesuatu yang ganjil. Perbuatan yang tidak dapat dikawalnya itu disandarkannya kepada Pembimbingnya. Dia yakin bahwa dengan mematuhi Petunjuk Ghaib itu dia akan sampai kepada Tuhan.
Dia benar-benar mau mengabdikan diri kepada Tuhan. Bukankah dia telah menyaksikan bahwa:
Dengan nama Allah, Pemurah, Penyayang.
Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.
Tiap kali dia membaca ayat tersebut di dalam sholat jiwanya menggeletar, darah daging dan urat sarafnya ikut menggeletar.
Tiba-tiba muncul dalam lubuk hatinya firman Tuhan:
Adakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan berkata: “Kami telah beriman”, padahal mereka tidak diuji? ( Ayat 2 : Surah al-'Ankabut )
Dia mendengar dari dalam lubuk hatinya ‘Juru-bicara’ mengatakan: “Apakah kamu menyangka akan dibiarkan berkata, ‘Sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya karena Allah’, padahal engkau tidak diuji?” Ucapan Juru-bicara tersebut sangat menyentuh jiwanya. Adakah dia benar dengan apa yang selalu dibacakannya di dalam sholat itu?
Allah s.w.t adalah Maharaja yang sangat cemburu. Dia tidak mengizinkan hamba-Nya mempersekutukan kasih sayang dan taat setia kepada-Nya. Dia tidak mau ada yang selain-Nya lebih dicintai dan ditaati daripada kecintaan dan ketaatan kepada-Nya. Tanda Dia cemburu adalah Dia mengharamkan siapapun saja menyamakan Diri-Nya dengan sesuatu. Dia tidak mengampunkan dosa syirik. Si hamba itu telah mengatakan bahwa dia mencintai Allah s.w.t lebih daripada segala yang lain. Pengakuan itu adalah bohong belaka karena dia melebihkan kasihnya kepada dirinya daripada kasihnya kepada Tuhannya. Dia tidak mau dirinya mengalami kesusahan dan penderitaan dalam membuktikan kecintaan-Nya kepada Allah s.w.t. Jika seseorang hamba itu benar-benar mencintai Tuhannya dia akan sanggup menyerahkan dirinya kepada Tuhannya.
Juru-bicara dari dalam hatinya membacakan firman Tuhan:
Katakanlah: “Kami datang dari Allah dan kepada-Nya kami kembali”. ( Ayat 156 : Surah al-Baqarah )
Si hamba terpegun sejenak. Dia merasakan ayat tersebut ditujukan khusus untuknya. “Kembalikan sholat kamu kepada Allah! Kembalikan ibadat kamu kepada Allah! Kembalikan hidup kamu kepada Allah! Kembalikan mati kamu kepada Allah!” Itulah gema yang memenuhi ruang hatinya. Sujudlah si hamba itu kepada Tuhannya dengan penuh tawadhuk dan bermunajatlah dia kepada Tuhannya: “Ya Allah! Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan kecuali Engkau. Aku hanyalah hamba-Mu. Tidak ada satu hak pun pada diriku. Semuanya adalah hak Engkau. Nyawaku juga adalah hak Engkau. Engkau berhak mengambil apa yang menjadi hak Engkau. Aku tidak akan membantah atau mengeluh menerima ketentuan-Mu. Terimalah daku sebagai hamba yang berserah diri kepada-Mu. Izinkan daku mengerjakan sholat buat kali penghabisan sebelum Engkau mengambil nyawaku”.
Si hamba berdiri untuk mengerjakan sholat. Baginya itulah sholatnya yang penghabisan dalam hidupnya. Dia berdiri, rukuk dan sujud dengan penuh penyerahan. Tidak ada keresahan atau terkilan. Tidak ada takut atau berdukacita. Tidak ada kegembiraan atau kegairah. Hatinya menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t, tanpa sebarang perasaan, harapan dan cita-cita. “Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang berdiri dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang rukuk dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang sujud dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Lakukanlah apa yang Engkau kehendaki”. Begitulah lebih kurang suasana hati si hamba ketika melakukan sholat yang penghabisan. Selepas mengucapkan salam si hamba sujud dengan penuh akur kepada ketentuan Tuhannya. Dia sujud lama sekali tanpa menyedari apa yang berlaku kepada dirinya dan di mana dia sedang berada. Kemudian hatinya mendengar ucapan Juru-bicara dari dalam dirinya: “Bangkitlah dari sujudmu sebagai insan baru yang mati makhluk dari hatinya sehingga tidak melihat lagi ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat dan mudarat, yang tidak berkehendak lagi kepada dunia dan akhirat dan yang hidup dengan lakuan Allah s.w.t semata-mata”.
Si hamba bangkit dari sujudnya dan mengucapkan syukur kepada Allah s.w.t.
________________________________________
STESEN KE SEMBILAN
Rasa kekerdilan diri semakin kuat menguasai hati si hamba. Bila diri berasa kerdil dapatlah hati merasakan kebesaran, ketinggian dan keagungan Allah s.w.t. Apa saja yang berkait dengan Allah s.w.t akan menggetarkan hati nurani. Nama-nama Allah s.w.t, sifat-sifat-Nya dan ayat-ayat-Nya memberi kesan yang kuat kepada hati. Setiap disebut atau didengarnya nama dan ayat-ayat Allah s.w.t hatinya merasakan separti ditikam dengan lembing tajam. Setiap patah suara azan yang berkemundang di udara ‘menerpa’ ke dadanya seumpama anak panah yang bisa. Dalam keadaan yang demikian si hamba sujud mengakui kebesaran, ketinggian dan keagungan Allah s.w.t, Tuhan sekalian alam. Pengalaman yang demikian membuatnya mengarti maksud mukmin yang diceritakan oleh al-Quran.
Orang-orang mukmin apabila diperingatkan dengan Allah nescaya gementarlan hati mereka. (Ayat 2 : Surah al-Anfaal )
Si hamba bersyukur kepada Allah s.w.t karena mengajarkan maksud ayat al-Quran melalui pengalaman yang membuatnya lebih mengarti dengan apa yang al-Quran katakan. Dia telah dikurniakan nikmat yang besar karena diberi kesempatan untuk memahami maksud ayat al-Quran melalui pengalaman rasa. Bertambahlah kesyukurannya dan rasa kekerdilan diri di hadapan keagungan Allah s.w.t.
Di dalam suasana kekerdilan diri berhadapan dengan keagungan Allah s.w.t itu Juru-bicara dari dalam dirinya membacakan ayat:
Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-Ku dan masuklah engkau ke dalam syurga-Ku. ( Ayat 30 : Surah al-Fajr )
Si hamba tersentak mendengar ‘ucapan’ tersebut. Dia tergamam seketika. Sebelum sesuatu berputik di dalam hatinya dia ‘mendengar’ peringatan daripada Petunjuk Ghaib: “Apa yang kamu cari masih jauh di hadapan. Jangan kamu berhenti dan terpesona dengan keindahan syurga”. Si hamba dengan merendahkan diri bermunajat kepada Tuhannya: “Wahai Tuhanku! Tutupkanlah pandanganku daripada melihat syurga-Mu agar keindahannya tidak memukau daku, yang nanti menyebabkan langkahku menuju-Mu terhenti. Wahai Tuhan Yang Maha Mengasihani. Janganlah Engkau jadikan syurga sebagai penghalang di antara Engkau dengan aku. Ambillah kembali syurga-Mu dan serahkannya kepada siapapun saja yang ada tuntutan terhadap diriku agar aku bebas daripada mereka dan hanya menjadi hamba-Mu saja. Janganlah Engkau adakan selain-Mu sebagai hijab di antara Engkau dengan aku. Inilah hamba-Mu yang tidak ada maksud dan tujuan selain Engkau, wahai Tuhanku!”
________________________________________
STESEN KE SEPULUH
Si hamba membebaskan dirinya daripada sebarang pergantungan kepada daya usaha dan ikhtiar memilih, kosong daripada kehendak dan tujuan yang bersangkutan dengan dunia dan juga akhirat. Hatinya menjadi kosong daripada hawa nafsu, keinginan, harapan, cita-cita dan angan-angan. Jadilah hatinya benar-benar kosong. Dia adalah umpama mayat di tangan pemandi mayat.
Si hamba telah membuktikan kehambaan dan pengabdiannya kepada Tuhan dengan rela menyerahkan apa saja kepada-Nya dan bersedia menjalankan perintah-Nya separti malaikat yang bersifat teguh. Apakah itu sudah memadai bagi menghilangkan kecemburuan Tuhan Yang Maha Cemburu? Pengorbanan yang demikian bisa dilakukan oleh seorang manusia untuk kekasihnya yang juga seorang manusia. Bukan sedikit manusia yang sanggup membunuh diri demi kekasihnya. Bukan sedikit manusia yang sanggup membinasakan orang lain demi kekasihnya. Pengorbanan untuk Allah s.w.t mestilah lebih agung daripada segala bentuk pengorbanan yang bisa dilakukan oleh manusia untuk sesama manusia. Pengorbanan yang paling tinggi bisa dilakukan oleh seorang hamba untuk Tuhannya adalah menetapkan keesaan-Nya, tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu, baik daripada anasir bumi atau langit, anasir nyata atau ghaib atau apa saja termasuklah dirinya sendiri. Allah Maha Esa, bagaimana yang lain bisa berhadapan dengan-Nya? Selagi ada istilah hamba selagi itu ada hamba yang berhadapan dengan-Nya. Selagi ada kesanggupan melakukan sesuatu selagi itu ada diri yang berkesanggupan berhadapan dengan-Nya. Selagi mengharapkan pangkat kewalian selagi itulah ada diri yang berharap menjadi wali berhadapan dengan-Nya. Selagi bercita-cita untuk dunia dan akhirat selagi itulah ada diri yang bercita-cita berhadapan dengan-Nya. Selagi ada itu dan ini selagi itulah ada diri yang itu dan ini berhadapan dengan-Nya. Tidak ada yang layak berhadapan dengan-Nya karena Dia Maha Esa. Siapakah yang bisa duduk dalam majlis keesaan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri?
Apa juga yang tersisa pada si hamba dilenyapkan. Jadilah si hamba itu seumpama tong kosong yang berlubang. Setiap kali hujan turun ia menyucikan sisa-sisa kekotoran yang melekat pada dindingnya. Apabila dinding itu sudah tidak ada sebarang kekotoran, maka air yang bersih dan jernih keluar daripadanya tanpa sedikit pun berubah rupa dan warnanya sebagaimana air yang masuk ke dalamnya. Apa yang turun dari langit itulah juga keluar daripada tong kosong yang berlubang dan suci bersih. Tidak ada pertukaran dan perubahan.
________________________________________
STESEN KE SEBELAS
Si hamba telah menyerahkan apa saja yang bernama hak kepada Yang Empunya hak. Hati si hamba kosong daripada segala-galanya. Perhatian terhadap dirinya sendiri sudah tidak ada lagi, begitu juga dengan perhatiannya kepada segala sesuatu di sekelilingnya. Bila hati si hamba benar-benar kosong, maka Allah s.w.t penuhkannya dengan Kehendak dan Tujuan-Nya semata-mata. Allah s.w.t yang nengurus kehidupan si hamba yang telah terpisah daripada segala hak itu. Allah s.w.t yang menguasai Loh Kun. Si hamba menjadi alat yang melaluinya Urusan Allah s.w.t menjadi nyata. Bila Allah s.w.t katakan: “Jadi!” maka jadilah ia. Bila Allah s.w.t katakan: “Bergerak!” maka bergeraklah ia. Bila Allah s.w.t katakan: “Diam!” maka diamlah ia. Bila Allah s.w.t katakan:
Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku!
Si hamba pun mengatakan:
Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku!
Bila Allah s.w.t mengatakan:
Aku adalah Yang Haq !
Si hamba pun mengatakan:
Aku adalah Yang Haq !
________________________________________
STESEN KE DUA BELAS
Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingati daku. ( Ayat 14 : Surah Taha )
Allah s.w.t memerintahkan supaya mendirikan sholat. Si hamba berdiri mengerjakan sholat. Dalam suasana tong kosong yang berlubang, apa juga suasana sholat yang Tuhan kurniakan itulah yang zahir padanya. Bagaimana kedudukan sholat pada sisi Tuhan begitulah yang nyata pada si hamba. Allah s.w.t mengatakan sholat itu adalah ingatan kepada-Nya, maka yang ada dalam sholat itu adalah ingatan kepada-Nya. Bila kesadaran terhadap diri sendiri sudah tidak ada, si hamba hanya menjadi ‘yang menyaksikan’. Si hamba sudah ‘tidak ada’ untuk ingat kepada Allah s.w.t. Oleh itu ‘yang ada’ adalah Allah s.w.t yang ingat kepada Diri-Nya sendiri. Si hamba sudah ‘tidak ada’ untuk mengerjakan sholat, ‘yang ada’ adalah Allah s.w.t dan sholat itu adalah “Puji-pujian Allah s.w.t kepada Diri-Nya.” Pada ketika si hamba berada dalam suasana ‘dirinya tidak ada’. Dia mengalami suasana “Keesaan Allah s.w.t.” Dalam majlis keesaan tidak ada dua. Tidak ada yang ada dalam majlis keesaan-Nya melainkan Dia. Dia yang memuji Diri-Nya. Pujian Allah s.w.t kepada Diri-Nya adalah kelazatan yang paling lazat dan kebagiaan yang paling bagia, melebihi apa yang ada di bumi, di langit dan di syurga. Buat seketika hati si hamba diizinkan menikmati kelazatan dan kebagiaan yang maha agung itu dalam suasana dirinya ‘tidak ada’, yang ada hanyalah Yang Maha Esa. Siapakah yang layak mendampingi-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak berhadapan dengan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak berkata-kata dengan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak mendengar ucapan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Dalam Majlis Keesaan yang ada hanyalah Yang Maha Esa. Allah s.w.t mengizinkan sebagian daripada hamba-hamba-Nya mendapat pengartian tentang “Allah Maha Esa” melalui pengalaman kerohanian ketika hamba-hamba tersebut hilang perhatian dan kesadaran kepada sesuatu kecuali Allah s.w.t Yang Maha Esa. Apa yang berlaku kepada si hamba pada ketika itu seolah-olah Tuhan berkata: “Aku cabutkan dirimu buat seketika untuk Aku masukkan suasana keesaan-Ku agar engkau mengenali keesaan-Ku.”
________________________________________
STESEN KE TIGA BELAS
Yang nyata sudah ghaib. Yang ghaib sudah hilang. Tiada lagi kenyataan dan yang menyatakan. Tiada lagi ilmu untuk membahaskan. Tiada lagi penyaksian untuk menyaksikan. Tiada lagi cahaya untuk menerangkan. Tiada lagi kewujudan untuk membuktikan. Alam perasaan dan rujukan sudah tiada. Tiada atas tiada bawah. Tiada hadapan tiada belakang. Tiada kanan tiada kiri. Tiada ruang tiada zaman. Tiada siang tiada malam. Tiada panjang tiada pendek. Tiada jauh tiada dekat. Tiada perpisahan tiada penyatuan. Tiada persamaan tiada perbedaan. Tiada perkaitan dengan wujud tiada perkaitan dengan tidak wujud.
Tahu berkamil dengan tidak tahu. Kenal berkamil dengan tidak kenal. Itulah Allah, Rabbil ‘Izzati! Benteng keteguhan-Nya tidak mungkin diruntuhkan!
“Sesungguhnya Engkau adalah Allah yang aku saksikan dengan mata keyakinan, bukan dengan mata zahir, bukan dengan mata ilmu dan bukan juga dengan mata makrifat; tiada huruf, tiada suara, tiada rupa, tiada warna, tiada cahaya karena sesungguhnya Engkau adalah:
Tiada sesuatu serupa dengan-Nya
35: Perbendaharaan Yang Tersembunyi
________________________________________
Juru-bicara dalam diri si hamba menyampaikan: “ Allah s.w.t bartitah, ‘Jangan siapapun mengganggu Keesaan-Ku. Tidak ada siapapun dapat merobohkan Keperkasaan-Ku. Siapapun yang mencerobohi Benteng Keperkasaan-Ku akan Aku bakar dengan api Keagungan-Ku dan dia akan binasa! Selamatkanlah diri kamu. Pergilah kamu dan masuklah kamu ke dalam Perbendaharaan-Ku Yang Tersembunyi untuk mengenal Daku sekadar Daku izinkan engkau mengenali Daku’”.
Perbendaharaan Yang Tersembunyi itu bernama:
Pintu gerbangnya bernama:
Kuncinya bernama:
Cahaya yang menerangi di dalamnya bernama:
Kenderaan di dalamnya bernama:
Dengan izin Allah s.w.t si hamba masuk ke dalam Perbendaharaan-Nya Yang Tersembunyi.
________________________________________
HAKIKAT ASMA’ (NAMA-NAMA ALLAH S.W.T)
Ke mana saja kamu hadapkan muka kamu di situ Wajah Allah. ( Ayat 115 : Surah al-Baqarah )
Di dalam Perbendaharaan-Nya Yang Tersembunyi, ke mana saja di halakan pandangan hanya Wajah-Nya yang kelihatan. Wajah-Nya disaksikan sebagai:
Wajah-Nya menyata melalui sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Wajah-Nya disaksikan melalui Jamal-Nya dan Jalal-Nya. Wajah Jamal-Nya menyata melalui nama-nama: ar-Rauf, al-Wadud, al-Halim, al-Karim, al’Afuwwu, al-Ghaffar, al-Mannan, al-Hannan, as-Sobbur, asy-Syakur dan ar-Razak. Wajah Jalal-Nya menyata melalui Nama-nama: al-Jabbar, al-Muntaqim, al-‘Aziz, al-Muta’al, al-Mutakabbir, al-Muhaimin, al-Jalil, al-‘Adzim, al-Kabir, al-Mu’iz, al-Qabidh dan al-Khafidh. Nama-nama Tuhan ada yang menunjukkan kepada sifat dan ada yang menunjukkan kepada Zat. Aspek Zat yang bisa disifatkan dipanggil tasybih dan yang tidak bisa disifatkan dipanggil tanzih. Kesempurnaan jiwa hamba adalah berada di antara kedua-dua aspek tersebut:
Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya dan Dia Mendengar dan Melihat (Ayat 11 : Surah asy-Syura )
Walaupun Dia tidak serupa dengan sesuatu tetapi Dia adalah Mendengar dan Melihat. Allah s.w.t menyatukan kedua-dua aspek tersebut pada satu ayat. Bila kedua-dua aspek tersebut menyatu pada jiwa si hamba dia akan merasakan ketenteraman dan kedamaian.
Ada nama-nama-Nya yang kelihatan sebagai berlawanan di antara satu dengan yang lain. Al-Hayyun menghidupkan dan al-Mumit mematikan. Al-Hadi memberi petunjuk dan al-Muzil menyesatkan. Kelihatan seolah-olah ada perlumbaan di antara nama-nama yang berlawanan sifat. Muncullah as-Salam yang mensejahterakan sehingga tidak berlaku perlumbaan atau perlawanan. Sekaliannya berada dalam kesejahteraan, mengambil bidang masing-masing tanpa mengganggu bidang yang lain. Percantuman dua perkara yang berbeda melahirkan pengenalan yang sebenarnya.
Dia Yang Awal dan Dia juga Yang Akhir, Dia Yang Zahir dan Dia juga Yang Batin. ( Ayat 3 : Surah al-Hadiid )
As-Salam yang mensejahterakan membawa setiap nama kepada ketetapan bidang tugas masing-masing. Bila sekaliannya berada dalam ketetapan as-Samad melengkungi sekaliannya. As-Samad menjadi sempadan bagi satu nama dan juga sempadan bagi sekalian nama-nama. Kesemua nama-nama dikemudikan oleh al-Wahid, memperkenalkan Wahdaniatik, keesaan Tuhan. Al-Wahid memimpin sekalian nama-nama bagi memperkenalkan al-Ahad. Penyaksian terhadap Wahdaniatik Tuhan membawa pengakuan terhadap kedudukan-Nya sebagai al-Malik, Raja yang memerintah dan juga al-Malik-ul-Mulk, Raja kepada segala kerajaan, dan juga Rabbul Arbab, Tuhan yang menguasai sekalian bakat-bakat ketuhanan. Kesemuanya menceritakan yang satu yaitu ALLAH! ALLAH adalah nama yang paling agung yang mengandungi dan menyimpulkan sekalian nama-nama yang lain. ALLAHmenunjukkan terkumpulnya sekalian nama-nama dan ALLAH adalah juga nama bagi Zat.
Sesungguhnya ALLAH menguasai segala sesuatu ( Ayat 20 : Surah al-Baqarah )
ALLAH yang memegang semua kekuasaan menetapkan:
Tidak ada satu pun yang melata melainkan Dia yang menguasai ubun-ubunnya. Dan Tuhanku adalah di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud )
Allah s.w.t menetapkan nama-nama-Nya menjadi hakikat-hakikat yang menguasai sekalian kejadian-Nya. Setiap yang maujud ubun-ubunnya dipegang oleh nama Tuhan dan nama Tuhan yang menjadi hakikat itu mengseret makhluk yang di bawah bidang kekuasaan-Nya pada jalan yang Allah s.w.t telah tentukan. Tidak ada satu makhluk pun bisa bebas daripada nama Tuhan yang menjadi hakikat yang menguasainya. Nama al-Hadi membimbing seseorang kepada jalan yang benar. Semua guru-guru merupakan ‘cermin’ tempat zahirnya kesan kekuasaan al-Hadi. Siapapun saja yang mendapat bimbingan kepada jalan yang lurus dan siapapun saja yang membimbingnya, pada hakikatnya al-Hadi yang memberi bimbingan. Al-Muzil mempunyai kekuatan untuk menyesatkan dan kekuatan ini terzahir pada makhluk-Nya yang bernama iblis. Sekalipun kelihatan iblis yang menyesatkan manusia tetapi iblis bukan berdiri dengan sendiri. Iblis tidak mempunyai sebarang kekuasaan. Allah s.w.t mengizinkan iblis menumpang kekuasaan al-Muzil. Oleh karena iblis menumpang kekuasaan nama Tuhan maka tidak ada kekuasaan makhluk dapat mengalahkannya. Hanya satu saja kekuasaan yang mampu mengatasinya, yaitulah kekuasaan ALLAH yang menguasai segala kekuasaan. Lantaran itu Dia mengajarkan:
Daku berlindung kepada ALLAH dari syaitan yang direjam
Segala kekuasaan tunduk kepada kekuasaan ALLAH. Allah yang memiliki segala kekuasaan itu menetapkan:
Barangsiapa dibimbing oleh Allah pada jalan yang benar, engkau tidak dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, engkau tidak dapat membimbingnya kepada jalan yang benar. ( Maksud Hadis )
Manusia hanya ada satu pilihan saja yaitu tunduk menyerah kepada Allah s.w.t. Penyerahan kepada Allah s.w.t merupakan kekuatan maksima yang tidak terkalahkan oleh kekuatan yang lain.
Oleh karena nama-nama Tuhan menjadi hakikat yang menguasai segala sesuatu, maka tidak ada makhluk yang dapat mengubah perjalanan hakikat yang menguasainya. Unta tidak bisa meminta menjadi matahari. Bulan tidak bisa meminta menjadi bumi. Gunung tidak bisa meminta menjadi langit. Malaikat tidak bisa meminta menjadi manusia. Manusia tidak bisa meminta menjadi Tuhan. Setiap sesuatu dikawal oleh hakikat masing-masing. Dalam aspek ini setiap kejadian Tuhan tidak mempunyai pilihan. Mereka adalah hamba yang terikat. Sebagai satu kejadian yang dikawal oleh satu hakikat ia bebas bergerak di dalam sempadan hakikatnya. Oleh karena nama Tuhan menjadi hakikat maka makhluk memperolehi bakat-bakat yang berkuasa melahirkan kesan. Hakikat yang menguasai manusia adalah hakikat yang paling lengkap dan sempurna. Tidak ada yang dapat mengatasi apa yang ada dengan manusia. Keistimewaan hakikat yang menguasai manusia menyebabkan di dalam sempadan kemanusiaan, manusia bebas melahirkan fikiran, perbuatan, kehendak dan pilihan. Dalam aspek ini manusia adalah hamba yang merdeka.
Hakikat yang menguasai makhluk itulah yang menyebabkan makhluk mendapat nikmat penciptaan dan nikmat kesinambungan kewujudan. Hakikat menjadi pemangkin atau hijab yang mempertahankan apa yang Tuhan ciptakan. Hubungan wujud makhluk dengan Wujud hakikat adalah perkaitan mumkinul wujud dengan Wajibul Wujud. Wujud hakikat adalah wujud ketuhanan, wujud pemerintah atau pentadbiran ketuhanan. Wujud makhluk adalah wujud yang diperintah, wujud yang menumpang, yang bergantung, berhajat dan berharap kepada wujud yang memerintah.
Hakikat bukanlah makhluk. Ia adalah suasana pentadbiran Tuhan. Qada dan Qadar yang ditentukan Tuhan adalah di dalam sempadan hakikat yang daripada suasana tersebut berlakulah takdir. Takdir tidak menyimpang daripada hakikat yang menguasainya. Setiap makhluk di seret oleh hakikat yang menguasainya. Siapapun yang berhakikatkan hakikat kenabian akan menjadi nabi. Siapapun yang berhakikatkan hakikat kewalian akan menjadi wali. Siapapun yang berhakikatkan Hakikat Manusia akan menjadi manusia.
Tiada perubahan dalam kalimat Allah itu. ( Ayat 64 : Surah Yunus )
Orang yang mengenal dirinya sebenarnya mengenali hakikat yang menguasai dirinya, yaitu suasana ketuhanan yang menguasai kewujudan dan penghidupannya. Mengetahui hakikat ketuhanan yang menguasai diri tidak menjadikan diri itu Tuhan. Tuhan tetap Tuhan tidak berubah menjadi hamba. Hakikat ketuhanan adalah pemerintah dan hamba pula adalah makhluk yang diperintah. Diri tetap berada pada taraf kehambaan walaupun mengenali hakikat ketuhanan.
Diri yang menetap pada kedudukan kehambaan dengan menyerah sepenuhnya kepada pemerintah itulah sebenarnya wali Tuhan. Wali Tuhan pada peringkat ini menetap pada makam kehambaan dengan menyaksikan Rububiah pada setiap ketika dan dalam semua suasana.
________________________________________
HAKIKAT ALAM DAN HAKIKAT INSAN
Satu makhluk dikuasai oleh satu hakikat. Apabila sekalian makhluk dikumpulkan dan dilihat sebagai satu kewujudan saja ia dipanggil alam. Hakikat yang menguasai sekalian alam ini dipanggil Hakikat Alam. Manusia merupakan salinan kecil kepada sekalian alam. Apa saja yang ingin dilihat pada alam makhluk bisa dilihat pada manusia. Manusia bisa dilihat sebagai malaikat, syaitan, hewan, bumi yang kaku atau langit yang tinggi, atau apa saja anasir alam. Pada manusia ada sifat kebaikan dan ada sifat kejahatan, ada unsur alam bawah yang gelap dan ada unsur alam atas yang terang. Keunikan ciptaan manusia itu menyebabkan manusia mengenal Tuhan dari berbagai-bagai aspek, melebihi pengenalan yang ada dengan makhluk yang lain. Makhluk lain bergerak dalam sempadan yang ditentukan untuknya saja. Malaikat yang menjaga langit pertama tidak bisa turun ke dunia dan tidak bisa naik ke langit ke dua melainkan dengan perintah Tuhan karena sesuatu sebab. Malaikat yang menjaga matahari tidak menggangu urusan bulan. Malaikat yang bertugas memberi rezeki tidak terlibat dengan urusan mencabut nyawa. Setiap malaikat bergerak di dalam sempadannya masing-masing atau di kuasai oleh satu hakikat saja. Manusia dikuasai oleh hakikat-hakikat yang berkumpul sebagai satu hakikat. Manusia menguruskan penglihatan, pendengaran, pergerakan dan lain-lain. Manusia mampu melepasi alam bumi, Alam Langit dan sampai ke Arasy, separti yang dibuktikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Manusia dalam aspek kerohaniannya bisa menerima isyarat-isyarat dari alam ghaib dan menerima perkhabaran daripada Loh Mahfuz. Manusia mempunyai ilmu mengenai semua perkara. Keistimewaan manusia adalah karena hakikat yang menguasai sekalian alam itu juga adalah hakikat yang menguasai manusia. Bila dipandang hakikat tersebut sebagai hakikat yang menguasai manusia istilah Hakikat Insan digunakan. Setiap makhluk akan hanya mempunyai ilmu menurut hakikat yang menguasainya. Perkara tersebut diketahui karena maklumat mengenainya ada pada hakikat yang menguasainya. Apa yang tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui adalah apa yang tidak termasuk di dalam sempadan hakikat yang menguasainya itu. Pada hakikat yang menguasai lembu tidak ada maklumat tentang 2 + 2 = 4. Mengajar lembu untuk mempercayai bahwa 2 + 2 = 4 adalah perbuatan yang sia-sia dan tidak akan berhasil walaupun dimencoba sehingga ke hari kiamat.
Pada hakikat yang menguasai manusia ada maklumat tentang matematik, sains dan teknologi, termasuklah teknologi maklumat yang tercanggih, astronomi, perobatan, sastera, pertukangan, penternakan, pertanian dan lain-lain. Oleh sebab itu manusia bisa diajar mengenai perkara-perkara tersebut. Fungsi belajar sebenarnya adalah ‘memperingatkan’ manusia tentang apa yang sudah ada dengannya. Manusia tidak mempelajari perkara baru karena semua maklumat sudah pun dibekalkan kepada kejadian manusia sejak manusia yang pertama diciptakan.
Dan telah diajarkan kepada Adam sekalian nama-nama…. ( Ayat 31 : Surah al-Baqarah )
Oleh yang demikian permencobaan mengajar ilmu walau bagaimana rumit sekalipun ia bisa berjaya karena dia hanya perlu ‘celik’ memandang kepada apa yang sudah tertanam pada kejadiannya yang asli.
Hakikat yang menguasai manusia yaitu Hakikat Insan dikenali juga sebagai Hakikat Adam karena hakikat ini menguasai kejadian Adam a.s dan sekalian keturunannya. Hakikat Insan tidak bisa diketahui dan tidak ada kenyataannya tanpa penciptaan Adam a.s, yang dipanggil juga Bapa Jasad. Adam a.s adalah penggerak kepada alam badan kebendaan. Pada zaman dan ruang yang tidak ada Adam a.s, tidak ada anasir yang bergerak pada tubuh badan. Iblis juga tidak ada. Pada ketika itu semua kejadian berada dalam suasana rohani yang tidak tahu berbuat durhaka kepada Tuhan. Apabila Allah s.w.t menciptakan Adam a.s dan meneranginya dengan hakikat yang menguasai perjalanan sekalian makhluk, yang terkandung padanya semua bakat dan nilai, maka segala kejadian bisa bergerak pada jalan menyatakan bakat masing-masing. Secara automatik muncullah iblis. Sebelum Adam a.s diciptakan, Azazil yang padanya tersimpan maklumat mengenai kejahatan tidak berupaya menggunakan bakat tersebut. Sebaik saja Adam a.s diciptakan maklumat mengenai kejahatan yang terpendam itu sudah bisa menyata dan dengan serta merta Azazil bertukar menjadi iblis. Penciptaan Adam a.s membisakan anasir jahat memakai tubuh badan.
Malaikat yang tidak memerlukan badan kebendaan bisa wujud sebelum Adam a.s diciptakan. Pada zaman sebelum ada Adam a.s semuanya bertaraf malaikat, termasuklah Azazil, Bapa Jin. Semua mereka tidak ada pilihan melainkan beribadat kepada Tuhan. Dalam keadaan yang demikian neraka seolah-olah tidak akan mendapat rezeki. Sebaik saja Adam a.s diciptakan keupayaan dan bakat jahat telah mempunyai bekas untuk menyalurkan kejahatannya. Di sinilah letaknya rahsia syariat. Tanpa Adam a.s tidak ada kejahatan, maka syariat tidak diperlukan. Bila syariat tidak zahir hakikat tidak menyata. Semuanya tersembunyi dan tidak ada yang mengenal Tuhan. Bila syariat zahir barulah ada makrifat tentang Tuhan.
Syariat mengandungi kesempurnaan makrifat karena syariat memperkenalkan Yang Esa melalui dua aspek yang bertentangan. Syariat memperkenalkan yang kanan melalui kewujudan yang kiri, begitu juga sebaliknya. Jika tidak ada kiri tidak akan dikenali kanan. Syariat memperkenalkan cahaya dengan adanya gelap. Jika tidak ada gelap tidak akan diketahui apa itu cahaya. Syariat memperkenalkan taat dengan adanya ingkar. Jika tidak ada ingkar tidak akan diketahui apa itu taat. Syariat memperkenalkan ibadat dengan adanya maksiat. Jika tidak ada maksiat tidak akan diketahui apa itu ibadat. Syariat memperkenalkan pahala dengan adanya dosa. Jika tidak ada dosa tidak akan diketahui apa itu pahala. Satu perkara memperkenalkan lawannya yang satu lagi dan kedua-duanya memperkenalkan penghubung keduanya. Penghubung tersebut memperkenalkan wujud yang menguasai.
Penciptaan Adam a.s yang dikuasai oleh hakikat yang sempurna menyebabkan alam menjadi sempurna. Adam a.s adalah pasak alam yang menstabilkan alam. Tanpa Adam a.s neraka akan bergegar karena tidak ada siapapun yang akan masuk ke dalamnya. Bila Adam a.s diciptakan neraka menjadi tenteram karena ia tahu haknya akan ditunaikan. Tanpa Adam a.s, hakikat kenabian dan hakikat kewalian tidak akan ada kenyataan, tidak akan muncul nabi-nabi dan wali-wali ke dunia, maka tidak ada siapapun mengenal Tuhan.
Mengalami suasana Hakikat Insan di dalam Perbendaharaan-Nya yang tersembunyi memakrifatkan hamba dengan Pentadbiran Tuhan ke atas makhluk-Nya, termasuklah manusia.
________________________________________
HAKIKAT MUHAMMADIAH
(HAKIKAT KEPADA SEMUA HAKIKAT-HAKIKAT)
Hakikat Insan yang menguasai keturunan Adam a.s membekalkan segala bentuk maklumat yang diperlukan oleh bangsa manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Walaupun begitu Allah s.w.t memperingatkan:
Kami firmankan: “Turunlah kamu sekalian dari (syurga) ini, kemudian jika datang pada kamu satu petunjuk daripada-Ku, maka barangsiapa yang menuruti petunjuk-Ku itu, tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita”. ( Ayat 38 : Surah al-Baqarah )
Walaupun Adam a.s dikuasai oleh hakikat yang membekalkan maklumat yang lengkap namun beliau a.s tetap tertakluk kepada petunjuk yang Allah s.w.t turunkan dari masa ke masa. Ini bermakna ada hakikat yang lebih sempurna dan lebih lengkap serta menguasai Hakikat Insan itu. Pada Hakikat Insan terkumpul segala maklumat mengenai kejadian manusia dan sekalian makhluk, tetapi tidak dibekalkan maklumat mengenai yang bukan manusia dan bukan makhluk. Hakikat yang menyimpan segala maklumat mengenai apa yang ada dengan Hakikat Insan ditambah lagi dengan maklumat mengenai syariat Tuhan, makrifat tentang Tuhan, suasana Ilmu Tuhan dan apa saja selain Allah Yang Hakiki, dinamakan hakikat kepada hakikat-hakikat atau hakikat yang menyeluruh. Ia lebih dikenali sebagai Hakikat Muhammadiah, kadang-kadang dipanggil sebagai Hakikat Muhammad saja. Hakikat Muhammadiah ini merupakan Hakikat yang menguasai Nabi Muhammad s.a.w, sebab itu dinamakan Hakikat Muhammad. Inilah yang membuatkan Nabi Muhammad s.a.w lebih istimewa daripada semua manusia dan sekalian makhluk. Hakikat Muhammadiah atau urusan Tuhan yang menguasai kejadian Nabi Muhammad s.a.w itu adalah juga urusan Tuhan yang menguasai sekalian urusan-urusan Tuhan.
Manusia dari segi fitrahnya dihubungkan dengan Hakikat Insan tetapi dari segi Islam, iman, tauhid dan makrifat dihubungkan dengan Hakikat Muhammadiah. Hakikat Muhammadiah menyata melalui Rasul-rasul dan Nabi-nabi. Jika semua keturunan manusia dikuasai oleh Hakikat Insan atau Hakikat Adam, maka semua Nabi-nabi dan Rasul-rasul dikuasai oleh hakikat yang menyeluruh atau Hakikat Muhammadiah.
Adam a.s diperakui sebagai wakil kepada sekalian manusia. Muhammad s.a.w pula menjadi wakil kepada sekalian Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Bila disebut Nabi Muhammad s.a.w ia membawa maksud kesatuan sekalian Nabi-nabi dan Rasul-rasul karena pada Nabi Muhammad s.a.w terkumpul semua kebaikan para nabi dan para rasul, ilmu sekalian nabi dan rasul, syariat yang dibawa oleh sekalian nabi dan rasul dan semua mengenai Islam, iman, tauhid dan makrifat para Nabi dan Rasul. Nabi Muhammad s.a.w merupakan Rasul Allah yang paling agung, paling sempurna dan paling mulia. Oleh yang demikian sekalian makhluk menyaksikan:
Maklumat yang tersimpan pada hakikat yang menyeluruh menyata dengan sempurna pada Nabi Muhammad s.a.w.
Apabila disebut Nabi Muhammad s.a.w ia meliputi risalat sekalian Rasul-rasul. Jika disebut Nabi Ibrahim a.s atau Nabi Musa a.s ia membawa maksud satu bentuk risalat daripada risalat yang menyeluruh yang berkumpul pada kerasulan Muhammad s.a.w. Semua nabi-nabi menyaksikan “La ilaha illah Llah Muhammad ur-Rasullullah ”. Semua nabi-nabi memberi peringatan tentang kedatangan Muhammad Rasul Allah, Rasul yang paling mulia dan paling sempurna, yang membawa intisari yang lengkap dan menyeluruh bagi maklumat yang terkumpul pada sumber kerasulan yaitu Hakikat Muhammadiah.
Walaupun Hakikat Muhammadiah merupakan hakikat yang menyeluruh, tetapi ia bukanlah Allah s.w.t. Nabi Muhammad s.a.w bukanlah Allah s.w.t dan bukan juga penjelmaan Allah s.w.t. Hakikat Muhammadiah adalah urusan Allah s.w.t ‘yang menyampaikan’ melalui rasul-rasul-Nya apa yang Dia berkehendak menyampaikan. Bila urusan Allah s.w.t ini berhubung dengan Jibrail a.s dan rasul-rasul ia dipanggil wahyu. Wahyu yang terpendam pada sisi Allah s.w.t dipanggil Hakikat Muhammadiah. Bila ia dipandang sebagai penyimpan segala maklumat tentang urusan Tuhan ia dipanggil Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Hakikat Muhammadiah atau urusan Tuhan yang menyeluruh atau Perbendaharaan Yang Tersembunyi itu dikurniakan secara lengkap dan sempurna kepada Nabi Muhammad s.a.w. Oleh yang demikian wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah wahyu yang paling lengkap. Risalat yang dikurniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah risalat yang paling lengkap. Kerasulan yang dikurniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah kerasulan yang paling lengkap dan paling tinggi.
Istilah Hakikat Muhammadiah kadang-kadang menimbulkan kekeliruan kepada sesetengah orang. Perlu difahamkan bahwa Hakikat Muhammadiah pada suasana urusan Tuhan itu tidak turun atau menjelma menjadi Nabi Muhammad s.a.w, apa lagi menjadi orang lain. Urusan Tuhan tetap berada pada tahap urusan Tuhan. Hakikat tetap berada pada tahap hakikat. Apa yang diperkatakan adalah suasana makrifat, penyaksian dalam ilmu dan pengalaman rasa (zauk). Hal atau keadaan hakikat yang sebenarnya hanya Allah s.w.t saja yang tahu. Manusia hanya bercerita menurut kadar makrifat, ilmu dan pengalaman yang ada dengan mereka, sekadar yang Allah s.w.t kurniakan kepada mereka. Pengalaman kerohanian pada peringkat Hakikat Muhammadiah lebih membuat si hamba mengenali kemuliaan dan ketinggian derajat Nabi Muhammad s.a.w, walaupun baginda s.a.w hanyalah seorang manusia keturunan Adam a.s, separti manusia yang lain.
Mengalami suasana Hakikat Muhammadiah melahirkan keasyikan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. Sehingga kepada peringkat ini si hamba masih lagi tidak ada perhatian dan kesadaran terhadap dirinya sendiri. Perhatiannya dan kesadarannya hanyalah tertuju kepada apa yang dialaminya dalam suasana Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Bila dikuasai oleh keasyikan terhadap Rasulullah s.a.w, apa saja yang berkenaan dengan baginda s.a.w sangat memberi kesan pada jiwanya. Dia merasakan kehampiran yang amat sangat dengan Rasulullah s.a.w, seolah-olah tidak terpisah. Ucapan selawat dan salam memberi kelazatan kepada jiwanya. Dia menikmati puji-pujian terhadap Rasulullah s.a.w seakan-akan ia adalah untuknya juga. Dalam suasana yang demikian hatinya dikuasai oleh dua hal saja yaitu Allah s.w.t dan Rasulullah s.a.w. Dia tidak menyaksikan yang lain. Apa yang hatinya menyaksikan adalah kecintaan Allah s.w.t kepada rasul-Nya dan kecintaan serta ketaatan Rasulullah s.a.w kepada Tuhannya.
36: Kembali Menyaksikan Kewujudan Diri Sendiri
________________________________________
Hakikat Insan dan Hakikat Muhammadiah adalah pengalaman kerohanian di dalam kefanaan, yaitu ketika hilang perhatian dan kesadaran terhadap diri sendiri. Dalam suasana tersebut si hamba tidak tahu siapakah dirinya. Dia hanyalah yang menyaksikan.
Setelah mengalami suasana Hakikat Muhammadiah si hamba berpindah kepada suasana di mana kesadaran dan perhatian terhadap kewujudan dirinya mulai datang semula secara sedikit demi sedikit. Hakikat yang membuka jalan kepada kesadaran ini dinamakan Hakikat Insan Kamil.
________________________________________
HAKIKAT INSAN KAMIL
Si hamba menyaksikan bahwa Insan Kamil adalah pertemuan di antara ketuhanan dan kehambaan. Pada Insan Kamil berkumpul pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan tentang makhluk Tuhan. Insan Kamil mengenal Tuhan dalam aspek tanzih dan tasybih. Insan Kamil memperolehi maklumat Hakikat Muhammadiah secara lengkap dan sempurna. Insan Kamil yang memiliki ilmu dan makrifat yang sempurna. Insan Kamil yang mempunyai pengenalan yang sempurna tentang Tuhan. Insan Kamil juga mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang apa yang Tuhan sampaikan kepada hamba-hamba-Nya.
Insan Kamil juga mempunyai maklumat Hakikat Insan secara sempurna. Oleh karena Hakikat Insan mengumpulkan maklumat yang lengkap tentang manusia dan alam makhluk sekaliannya, maka Insan Kamil mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang manusia dan alam makhluk sekaliannya. Seluruh alam semesta ‘terkandung’ dalam Insan Kamil. Hati si hamba yang terbuka kepada suasana Hakikat Insan Kamil menyaksikan seluruh alam semesta berada dalam hatinya. Si hamba menyaksikan pengetahuan ketuhanan datang secara langsung kepada hatinya.
Pembukaan kepada Hakikat Insan Kamil membuat hati si hamba menyaksikan alam semesta disempadani oleh dirinya dan pada masa yang sama dia menyaksikan ‘Allah’ bersemayam dalam hatinya. Inilah peringkat yang paling tinggi bahayanya dalam semua peringkat pengalaman kerohanian. Ketuhanan dan kehambaan muncul pada hati yang sama, pada perasaan yang sama dan pada masa yang sama. Hanya kehambaan yang senantiasa membayanginya meneguhkan tapak kakinya berpijak pada jalan yang benar. Kehambaan pada peringkat ini sangat rapuh, mudah saja menjadi hancur lebur. Jika hal yang demikian terjadi hati si hamba tidak lagi melihat perbedaan di antara hamba dengan Tuhan, dirinya dengan Tuhan. Keadaan separti ini tidak muncul sewaktu menyaksikan Hakikat-hakikat yang lain termasuklah Hakikat Muhammadiah karena pada ketika itu makhluk dan dirinya tidak ada dalam perhatian dan kesadarannya. Pada tahap mengalami suasana Hakikat Insan Kamil ini kesadaran dan perhatian kepada diri dan makhluk baru saja muncul kembali, belum begitu kuat dan berpengaruh. Kesadaran dan perhatian tersebut baru pada tahap seumpama bayang-bayang yang belum melekat benar pada hati. Hakikat Insan Kamil adalah umpama stesen bebas bagi hati. Ia bisa menjadi Tuhan dan hamba pada masa yang sama. Ia juga bisa menjadi nabi dan wali. Ia juga bisa menjadi malaikat.
Jika seseorang yang baru saja kembali sedikit kesadarannya terhadap kewujudan dirinya larut dalam Hakikat Insan Kamil, hatinya akan mengalami apa yang biasa disebut oleh orang sufi sebagai bersatu dengan Tuhan. Rasa bersatu dengan Tuhan berbeda daripada mengalami suasana keesaan yang berlaku pada stesen kedua belas dahulu. Pada ketika itu keesaan dialami dalam suasana tiada kesadaran terhadap diri sendiri. Si hamba hanya menyaksikan Allah s.w.t semata-mata, tidak pada dirinya dan makhluk lainnya. Dia hanya menyaksikan satu wujud yaitu wujud Allah s.w.t, wujud yang lain tidak ada dalam perhatiannya. Oleh yang demikian tidak timbul isu bersatu dengan Tuhan pada peringkat itu. Pada peringkat Hakikat Insan Kamil pula wujud Allah s.w.t dan wujud dirinya menyata dalam kesadarannya dan mungkin dia tidak dapat membedakan yang satu dengan yang lain. Dalam keadaan demikian dia mungkin menyaksikan Allah s.w.t sebagai Haq (Yang Hakiki) dan juga khalq (makhluk sebagai bayangan Yang Hakiki). Dia mungkin merasakan dirinya sebagai Tuhan dan hamba Tuhan, yang sama dalam aspek yang berbeda. Dia mungkin melihat sifat-sifat yang ada pada dirinya sebagai sifat Tuhan dan dia menjadi penzahir sifat Tuhan secara sempurna. Dia mungkin merasakan pada wujudnya yang satu bertemu Wujud Tuhan dengan wujud alam semesta. Dia mungkin menyaksikan seluruh alam semesta seumpama bola kecil terkandung di dalam hatinya. Dia mungkin melihat badannya sebagai Arasy, rohnya sebagai Roh Muhammad dan zatnya sebagai Zat Tuhan. Dia mungkin juga melihat ilmunya sebagai Ilmu Tuhan dan bakat dirinya sebagai malaikat.
Bila dikuasai oleh rasa kelarutan dalam Hakikat Insan Kamil dia mungkin melihat dirinya berada pada satu falak di atas daripada falak yang ada makhluk yang lain. Malaikat, jin dan yang lain-lain mungkin dilihatnya berada di bawah daripada falak dirinya. Dia mungkin melihat bakat dirinya bergerak melalui makhluk yang lain. Jika dia berada dalam satu kumpulan pekerja dia mungkin melihat bakat dan daya upayanya berada pada setiap pekerja tersebut.
Suasana hati yang bertembung dengan Hakikat Insan Kamil mungkin membuat seseorang melaungkan “Ana al-Haq!”. Ucapan “Ana al-Haq” pada peringkat ini berbeda daripada ucapan Ana al-Haq pada peringkat stesen ke sebelas. Pada stesen ke sebelas dahulu si hamba semata-mata menjadi alat dan Tuhan Pengguna alat. Si hamba tidak melihat ucapan tersebut sebagai ucapannya. Dia menyaksikan Kalam Tuhan yang keluar daripadanya. Pada peringkat Hakikat Insan Kamil pula ucapan “Ana al-Haq” dilafazkan dalam keadaan ada kesadaran diri. Kesadaran tersebut membuatnya melihat ucapan itu sebagai ucapan Tuhan dan juga ucapan dirinya yang bersatu dengan Tuhan. Apa yang dia ucapkan itulah yang Tuhan ucapkan, dan apa yang Tuhan ucapkan itulah yang dia ucapkan. Beginilah keadaan yang berlaku kepada orang yang larut dalam Insan Kamil.
Banyak orang menyangkakan Insan Kamil adalah penghabisan jalan. Mereka jadikan Insan Kamil sebagai makam mereka.
Semua keturunan Adam a.s dinamakan manusia. Dalam bangsa manusia itu ada golongan yang sempurna dinamakan manusia yang sempurna. Dalam golongan manusia yang sempurna itu ada kumpulan yang menjadi Nabi dan Rasul. Bangsa manusia secara keseluruhannya dikuasai oleh Hakikat Insan. Golongan manusia yang sempurna itu pula dikuasai oleh Hakikat Insan Kamil. Dalam golongan manusia yang sempurna itu, yang menjadi nabi dan rasul dikuasai pula oleh Hakikat Muhammadiah.
Hakikat-hakikat, termasuklah Insan Kamil, bukanlah makhluk yang ada dalam alam. Hakikat adalah urusan Tuhan. Insan Kamil adalah urusan Tuhan yang menguasai satu kumpulan manusia yang sempurna kehambaannya kepada Allah s.w.t. Insan Kamil yang asli, yang ada pada sisi Tuhan tidak berupa, tidak berbentuk, tidak berwarna, tidak menempati ruang dan zaman dan juga tidak bernama. Manusia-manusia sempurna yang muncul di atas muka bumi bisalah dikatakan salinan lengkap kepada Insan Kamil yang asli. Manusia yang paling sempurna, menjadi salinan Insan Kamil yang paling sempurna menerima penguasaan sepenuhnya daripada Hakikat Muhammadiah dan beliau adalah Nabi Muhammad s.a.w. Manusia-manusia sempurna yang lain, walaupun sempurna tetapi kesempurnaan mereka tidak mencapai tahap kesempurnaan Nabi Muhammad s.a.w. Mereka tidak menerima penguasaan Hakikat Muhammadiah secara lengkap, selengkap Nabi Muhammad s.a.w. Oleh itu hanya Nabi Muhammad s.a.w saja yang bernama Muhammad, yang lain bernama Ibrahim, Musa, Isa, Nuh dan lain-lain. Manusia sempurna yang lain tidak mengaku diri mereka sebagai Muhammad walaupun mereka juga menerima maklumat daripada Hakikat Muhammadiah. Sejak Nabi Adam a.s sampailah kepada Nabi Isa a.s tidak ada seorang Nabi pun yang mengaku menjadi Muhammad. Kumpulan manusia yang sah kesempurnaan mereka tidak mengaku menjadi Muhammad atau bersekutu dengan Muhammad. Jika ada orang yang mengaku menjadi Muhammad atau bersekutu dengan Muhammad, baik secara zahir atau secara batin, maka nyatalah mereka telah keliru dalam memahami hakikat.
Salinan Insan Kamil yang paling sempurna dalam kumpulan Nabi-nabi adalah Nabi Muhammad s.a.w, penutup Kenabian. Salinan Insan Kamil yang sempurna dalam kumpulan wali-wali adalah Muhammad Imam Mahadi, penutup kewalian. Muhammad Imam Mahadi tinggal di dalam dunia dan menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya oleh Allah s.w.t. Bila tugas tersebut selesai beliau kembali ke rahmatullah. Pada ketika itu salinan Insan Kamil tidak akan muncul lagi ke dunia. Bila salinan Insan Kamil tidak ada lagi di dalam dunia maka tertutuplah ilmu ketuhanan. Tidak ada lagi manusia yang mengenal Allah s.w.t. Pada ketika itu berlakulah kiamat besar.
Ada beberapa perkara lagi perlu diketahui berhubung dengan daerah Insan Kamil yang selalu diperkatakan apabila bercakap mengenainya. Insan Kamil dikatakan bersemayam di dalam Kaabatullah. Kaabatullah selalu disebut dalam memperkatakan tentang hakikat. Ada orang mengatakan dia bersholat menghadap Kaabatullah. Ada pula yang mengatakan dia bersholat di dalam Kaabatullah. Yang lain pula mengatakan dia sholat dengan ketiadaan Kaabatullah. Ada juga orang mengatakan dia menemui Rasulullah s.a.w di dalam Kaabatullah. Berbagai-bagai lagi keadaan Kaabatullah yang diceritakan orang dalam menggambarkan suasana hakikat.
Kaabatullah yang dikatakan separti cerita di atas merupakan suasana simbolik bagi menggambarkan keadaan hubungan hati dengan Allah s.w.t. Umat Islam bersholat menghadap Kaabatullah bukan bermakna mereka menyembah Kaabatullah dan bukan juga Allah s.w.t berada dalam Kaabatullah. Allah s.w.t memilih Kaabatullah sebagai tempat yang bisa dirasakan kehadiran-Nya dengan kuat. Jadi, Kaabatullah dihubungkan dengan Hadrat Ilahi. Berhadap ke Kaabatullah bermakna menghadap kepada Hadrat-Nya.
Di dalam suasana hakikat, Kaabatullah menjadi misal bagi suasana ketuhanan. Bila dikatakan Insan Kami bersemayam di dalam Kaabatullah ia bermaksud Insan Kamil adalah suasana ketuhanan, berada dalam Ilmu Tuhan. Orang yang bersholat di dalam kesadaran melihat Kaabatullah berada di hadapannya. Orang yang di dalam zauk merasakan berada di dalam Kaabatullah. Orang yang baqa dengan Allah s.w.t tidak melihat kepada Kaabatullah. Orang yang ‘memasuki’ Ilmu Allah, mengenali suasana Hakikat Muhammadiah dan mengambil ilmu daripada sumber tersebut, menggambarkannya sebagai berjumpa dengan Rasulullah s.a.w di dalam Kaabatullah dan menerima pengajaran daripada baginda s.a.w. Pengalaman-pengalaman yang disebut di atas merupakan pengalaman dalam 'misal kepada hakikat’.
Penyaksian terhadap rupa, bentuk, cahaya dan warna adalah penyaksian kepada misal bagi hakikat-hakikat. Apa yang disaksikan itu menjadi cermin yang membalikkan kepemahaman tentang hakikat yang tidak bisa disaksikan. Rasulullah s.a.w melihat pada malam Israk dan Mikraj, bentuk misal kesenangan dan kemewahan dunia sebagai perempuan cantik dan umur dunia yang sudah lanjut sebagai perempuan tua. Kedua-duanya menceritakan tentang hakikat dunia tetapi berlainan rupa bagi menceritakan maksud yang berbeda.
Hakikat bisa diibaratkan sebagai cahaya dan cermin sebagai Alam Misal. Jika benda nyata diletakkan di hadapan cermin dan cahaya dipancarkan kepadanya, akan kelihatanlah gambaran benda nyata itu di dalam cermin. Gambaran yang kelihatan di dalam cermin itu menyatakan bahwa pada benda nyata itu ada pancaran cahaya. Cahaya disaksikan dalam bentuk benda-benda nyata. Bentuk benda-benda nyata itu menjadi misal kepada cahaya, menceritakan bahwa di sana ada kehadiran cahaya. Tetapi benda nyata dan gambaran benda nyata yang kelihatan atau bentuk misal itu bukanlah cahaya. Cahaya tetap dalam keadaan aslinya yang tidak ada rupa dan warna. Ada orang yang tidak membedakan bentuk misal dengan cahaya yang asli. Orang yang tidak membedakan bentuk misal dengan hakikat kepada yang dimisalkan itu memahamkan hakikat ketuhanan mempunyai wajah-wajah tertentu.
Hakikat Insan Kamil adalah umpama cahaya yang hening. Hati insan umpama cermin yang jernih. Orang yang memandang ke dalam cermin hatinya bersuluhkan cahaya Hakikat Insan Kamil akan menyaksikan wajahnya sendiri di dalam cermin itu, lalu dia menyangkakan bahwa itulah wajah Insan Kamil yang asli, dan itu jugalah wajah Tuhan yang tidak dibedakan dengan Insan Kamil. Jika orang Hindu menyembah tuhan dalam rupa monyet orang tadi menyembah Tuhan dalam rupa dirinya sendiri. Lama-lama orang Hindu menyembah monyet, tidak lagi menyembah Tuhan. Lama-lama orang tadi menyembah dirinya, tidak lagi menyembah Tuhan. Inilah yang selalu terjadi kepada orang yang berjalan kepada hakikat tanpa membawa syariat.
Orang yang berjalan pada jalan kerohanian perlu melepasi bentuk-bentuk misal. Lepaskan apa juga yang sampai kepada penyaksian. Nafikan dengan kalimah “La ilaha illa Llah”. Orang yang berjaya melepasi bentuk-bentuk misal tersebut akan sampai kepada Penyaksian Hakiki, yaitu menyaksikan tanpa rupa, bentuk, cahaya, warna dan wajah. Pada Penyaksian Hakiki juga tidak ada suara, tidak ada huruf. Penyaksian berlaku kepada mata keyakinan. Si hamba yang menyaksikan dengan mata keyakinan mengucapkan: “Sesungguhnya hatiku tidak berasa syak lagi bahwa Engkau yang daku pandang tanpa rupa, tanpa bentuk, tanpa cahaya, tanpa warna, tanpa suara dan tanpa huruf”. Itulah keadaan memandang dengan tiada sesuatu yang dipandang, tahu tanpa sesuatu pengetahuan dan kenal tanpa sesuatu pengenalan. Penyaksian akal dinamakan ilmul yaqin. Penyaksian mata hati dinamakan ainul yaqin. Penyaksian mata keyakinan dinamakan haqqul yaqin. Haqqul yaqin meruntuhkan segala pengetahuan dan penyaksian karena sesungguhnya Tuhan adalah:
Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya
Keyakinan terhadap Allah s.w.t adalah:
Dan Dia Mendengar dan Melihat
Jika seseorang mau cepat sampai ke matlamat hendaklah bersegera melepaskan bentuk-bentuk misal yang sampai kepada penyaksiannya. Berpindahlah kepada Penyaksian Hakiki. Tanda seseorang sudah memiliki Penyaksian Hakiki adalah dia dapat melihat hakikat ketuhanan pada dua perkara yang bertentangan dengan sekali pandang. Nama, rupa, bentuk, cahaya dan warna tidak menghijab pandangannya untuk menyaksikan hakikat atau Rububiah. Makrifat tentang nama-nama Tuhan penting bagi memperolehi Penyaksian Hakiki. Jika Yang Menghidupkan tidak menghijab Yang Mematikan, Yang Menaikkan tidak menghijab Yang Menjatuhkan, Yang Memberi tidak menghijab Yang Menahan, Yang Awal tidak menghijab Yang Akhir, Yang Zahir tidak menghijab Yang Batin, maka yang disaksikan pada setiap masa dan dalam semua suasana adalah Yang Maha Esa. Apabila mata ilmu dan mata hati tidak menutup mata keyakinan maka yang disaksikan adalah Yang Haq!
Tidak semua orang yang memasuki daerah Hakikat Insan Kamil akan terdorong kepada suasana bersatu dengan Tuhan. Si hamba yang telah mengalami suasana kehadiran kenabian dan mengalami pula suasana keesaan Tuhan akan senantiasa dibayangi oleh rasa kehambaan kepada Tuhan. Pertembungan dengan Hakikat Insan Kamil tidak menyebabkan berlakunya perlarutan. Suasana Hakikat Insan Kamil dialaminya sebagaimana mengalami suasana Hadrat kenabian dan Hadrat ketuhanan. Si hamba tidak mengalami suasana menjadi Insan Kamil atau menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Insan Kamil merupakan salah satu Hadrat yang dialaminya dan melalui pengalaman tersebut dia mengarti maksud Insan Kamil.
Orang yang berjalan pada jalan kehambaan akan menetap sebagai hamba, tidak berubah menjadi Adam atau Muhammad atau Insan Kamil atau Tuhan. Sepanjang perjalanan dia berada dalam suasana dia yang menyaksikan dan melalui penyaksian tersebut dia memperolehi pengetahuan dan pengenalan (ilmu dan makrifat) tanpa melepaskan pandangan kepada “Allah Yang Maha Esa” dan “Tiada sesuatu serupa dengan-Nya”. Melalui jalan kehambaan kehadiran kenabian, kehadiran Hakikat-hakikat Insan, Muhammadiah dan Insan Kamil dan juga kehadiran Tuhan berperanan sebagai Pembimbing. ‘Pertemuan’ dengan Hadrat-Hadrat tersebut memperkuatkan Petunjuk Ghaib dalam dirinya. Juru-bicara dalam dirinya senantiasa memberi peringatan. Dia diperingatkan agar berjalan terus, jangan berhenti walaupun dilambai oleh syurga atau dihalang oleh neraka, walaupun dibukakan suasana Hakikat-hakikat. Semua itu untuk diketahui dan untuk dikenal, bukan tempat untuk bermakam.
Dalam suasana Hakikat Insan Kamil, seseorang biasa berjumpa dengan hakikat maut yaitu mengalami suasana Izrail. Bisa juga dikatakan jika seseorang itu tidak mengalami suasana Izrail dia tidak memasuki daerah Insan Kamil dengan sepenuhnya. Dia mungkin berjalan di bawah bayangan daerah itu saja.
Manusia biasa naik ke langit melalui jalan biasa yang dilalui oleh semua orang, yaitu jalan mati. Orang yang memasuki daerah Hakikat Insan Kamil juga mengalami kematian, tetapi bukan kematian tubuh badan. Kematian yang berlaku di sana adalah kematian secara kebatinan, yaitu merasai kehadiran Maut. Dia mungkin merasai suasana kematian beberapa kali pada alam kebatinannya. Pengalaman yang demikian membuka tutupan pada hati. Pada stesen kerohanian yang ke lapan si hamba telah menghadapkan dirinya kepada maut. Pada ketika itu dia menuju kepada pengecilan kesadaran terhadap diri sendiri. Ia menjadi lonjakan untuk mencapai stesen yang berikutnya. Tetapi pengalaman tersebut tidak banyak memberi pengartian kepada dirinya. Dalam daerah Hakikat Insan Kamil pula si hamba sedang menuju ke arah pembesaran kesadaran terhadap diri sendiri. Oleh itu setiap pengalaman menarik perhatiannya. kehadiran Maut pada daerah Insan Kamil memperjelaskan pengalaman pada stesen ke lapan dahulu. Dalam daerah Insan Kamil ini si hamba merasakan sangat hampir dengan Maut. Biasa terjadi pada peringkat ini dia mendapat firasat mengenai kematian orang-orang tertentu dan kemudiannya ternyata firasat tersebut adalah benar. Keadaan ini bersifat sementara saja. Apabila dia meninggalkan daerah Insan Kamil dia keluar juga daripada Hadrat Maut itu dan firasat tentang kematian tidak ada lagi.
Apabila Hadrat Maut dan Hadrat Insan Kamil bertemu pada satu daerah, pada satu hati, suasana kehambaan akan menetap dan terhindarlah suasana ketuhanan. Hadrat Maut memperlihatkan kedaifan, kehinaan dan kejahilan si hamba. Hadrat Insan Kamil memperlihatkan kekuasaan, kemuliaan dan kebijaksanaan Tuhan. Orang yang benar-benar menyaksikan keagungan Tuhan adalah orang yang sedang menghadapi sakratul maut. Keadaan ini samalah separti keadaan orang yang menerima wang satu juta dan pada masa yang sama dia mengetahui bahwa dia menghidapi penyakit kanser yang akan membawanya kepada maut. Begitulah umpamanya keadaan hati yang merasai Hadrat Maut dan Hadrat Insan Kamil pada satu masa. Dia diperlihatkan kekerdilan dirinya sebagai hamba Tuhan dan keagungan Allah s.w.t sebagai Tuhan. Bertambah kuatlah rasa kehambaan pada dirinya. Jadi, Hadrat Insan Kamil yang menyebabkan sebagian orang mengalami suasana bersatu dengan Tuhan bisa juga menambahkan rasa kehambaan. Si hamba yang bertambah rasa kekerdilan diri dan kehambaannya kepada Tuhan bermunajat kepada Tuhan dengan penuh tawaduk:
“Sesungguhnya Engkau jualah Tuhan Yang Maha Esa. Tiada sesuatu bersekutu dengan-Mu. Daku hanyalah hamba-Mu yang lemah, hina dan jahil. Di hadapan Wajah-Mu Yang Maha Mulia dan Maha Suci daku menyaksikan betapa lemah, hina dan jahilnya diriku.
Engkau perlihatkan pakaian keindahan-Mu. Bukan Engkau memerlukan pakaian dan bukan juga Engkau menghijab Diri-Mu, tetapi jika tidak karena pakaian keindahan-Mu nescaya hancur leburlah segala kewujudan yang menghadap kepada keagungan-Mu. Pakaian keindahan itu bukan menutupi Diri-Mu, karena Engkau Maha Esa, mana mungkin ditutupi oleh sesuatu. Wujud kami jua yang Engkau selimuti dengan kelembutan pakaian keindahan-Mu, agar kami dapat bertetangga dengan kebesaran, kemuliaan, keperkasaan dan keagungan-Mu. Engkau berbuat demikian demi rahmat dan kasihan belas-Mu kepada kami.
Engkau memiliki satu pakaian yang Engkau pakai bila menyamar. Di dalam penyamaran-Mu berdatanganlah penyanggahan, karena Engkau tidak dikenal dalam penyamaran-Mu. Kekasih akan menunjukkan kebencian. Sahabat akan menunjukkan permusuhan. Seteru akan mempergiatkan fitnah. Besarlah huru-hara terjadi apabila Engkau menyamar. Ilahi! Daku bermohon kepada-Mu. Selamatkanlah daku daripada pengingkaran tatkala menerima kedatangan-Mu dalam penyamaran. Jadikan daku senantiasa mengenali-Mu ketika menyamar dan ketika menyata.
Engkau Maha Cinta. Engkau mencintai agar Diri-Mu dikenali. Lalu Engkau perkenalkan Diri-Mu melalui nama-nama-Mu. Nama dan zat nama sendiri tidak berupaya mendatangkan kesan. Hanya Engkau, Zat yang memiliki segala kekuasaan dan kekuatan. Semuanya menumpang kekuasaan dan kekuatan Zat Diri-Mu Yang Maha Esa, Maha Tinggi. Sekaliannya menyaksikan bahwa: ‘Sesungguhnya Allah jualah yang menguasai segala sesuatu’ ”.
Kesadaran si hamba kepada kewujudan dirinya dan makhluk lainnya semakin bertambah. Banyak perkara telah disaksikannya, diketahui dan dikenalinya namun kesadaran yang kembali kepadanya belum cukup kuat buat dia mengenali dirinya. Si hamba berhadap kepada Hadrat Tuhannya dan bermunajat:
“Ilahi Rabbi! Engkau perlihatkan kepadaku jalan kenabian, jalan asma’ dan jalan Insan Kamil. Daku melihat sekaliannya namun daku tidak melihat diriku di atas mana-mana jalan. Ilahi Rabbi! Siapakah pula aku ini?”
Juru-bicara dari dalam dirinya menyampaikan perutusan:
“Tuhan berkehendak engkau berdiri di hadapan-Nya bukan untuk bertutur-kata, bukan untuk mendengar pertuturan-Nya, bukan untuk mengajukan pertanyaan, bukan juga untuk meminta pengetahuan, tetapi hanyalah berdiri tegak semata-mata demi untuk-Nya. Barulah engkau benar-benar mengenali Keagungan-Nya. Jangan engkau mendahului-Nya. Bila Dia berkehendak mengucapkan tutur kata Dia akan mengucapkan tutur kata-Nya. Bila Dia berkehendak memberikan kepemahaman akan ditanamkan kepemahaman ke dalam hatimu. Sebelum itu berdiri tegak di dalam makammu yang rendah itu!”
Si hamba berdiri tegak. Maksud berdiri tegak adalah hati menghadap kepada Allah s.w.t secara keseluruhannya, tidak condong ke kanan atau ke kiri. Ingatan dan penghayatan hanya kepada Allah s.w.t. Suasana demikian biasa dipanggil makam alif tanpa baris. Alif yang tidak berbaris tidak bergerak dan tidak bersuara.
Makam alif berdiri tegak biasa diperkatakan oleh mereka yang mengaku diri mereka sebagai ahli hakikat. Mereka meletakkan baris-baris pada alif, maka jadilah alif baris di atas, alif baris di bawah dan alif baris di hadapan. Bila sudah diletakkan baris alif sudah bisa bersuara. Suara alif adalah ‘a’, ‘i’ dan ‘u’. Bagi mereka a, i dan u merupakan tahap makrifat yang sangat tinggi. Berbagai-bagai ilmu dibentuk berdasarkan a, i dan u itu. Oleh karena mereka berpegang kepada alif yang berbaris, maka mereka hanya bisa mengeluarkan bunyi, tidak bisa mengeluarkan perbuatan. Golongan ini hanya bercakap tentang iman dan tauhid tetapi tidak melakukan amalan Islam. Bagi mereka puncakk makrifat yang mereka temui itu tidak memerlukan mereka beramal. Inilah golongan yang sesat dalam istilah.
Apa yang berlaku dalam perjalanan kerohanian berbeda daripada jalan yang meletakkan baris kepada alif. Makam alif berdiri tegak adalah penjelasan kepada stesen kerohanian yang ke sebelas. Pada makam ini si hamba berdiri dengan penyerahan secara menyeluruh kepada Allah s.w.t, tidak ada kehendak, tidak ada permintaan dan tidak ada apa-apa melainkan menyerah kepada Allah s.w.t semata-mata. Penyerahan pada peringkat ini lebih sukar daripada penyerahan pada stesen ke sebelas dahulu. Ketika itu kesadaran dan perhatian terhadap diri sendiri tidak ada, lalu penyerahan berlaku secara spontan. Pada peringkat alif berdiri tegak, kesadaran dan perhatian kepada diri sendiri sudah mulai tumbuh. Sebelum kesadaran dan perhatian terhadap diri sendiri itu menawan hati, si hamba diperintahkan supaya berdiri tegak seumpama alif, menundukkan kesadaran dan perhatiannya secara menyeluruh di bawah kekuasaan dan pengawasan penyerahan kepada Allah s.w.t. Berbuat demikian di dalam kesadaran sangatlah sukar. Pada ketika itulah si hamba teringatkan Insan Kamil dan berharap Insan Kamil membantunya. Bila timbul saja ingatan dan perhatian kepada Insan Kamil terhijablah ingatan, perhatian dan pandangannya daripada Tuhannya. Juru-bicara dari dalam dirinya dengan segera menegurnya:
“Tuhan berkata: ‘Bagaimana engkau mau masuk ke dalam majlis-Ku sedangkan engkau masih menggantungkan harapan kepada selain-Ku dan engkau masih inginkan yang selain-Ku!”
Teguran tersebut sangat memeranjatkan si hamba. Tuhan tidak mau ada di antara-Nya dengan hamba-Nya sesuatu yang lain, walaupun sesuatu yang lain itu adalah Insan Kamil atau Qutubul Aqtab atau Wali Qutub atau apa saja. Si hamba dengan penuh tawadhuk menyeru Tuhannya:
“Wahai Pelindung diriku. Tunjukkan daku jalan yang lurus. Arahkan diriku dengan Diri-Mu untuk menatap Wajah-Mu”.
Si hamba kembali berdiri tegak dengan Allah s.w.t dan untuk Allah s.w.t. Alif berdiri tegak di hadapan Hadrat Allah s.w.t. Allah s.w.t hadapkan Nur-Nya kepada alif. Alif hancur lebur separti hancurnya Gunung Thursina. Alif yang hancur tidak akan wujud lagi, tidak akan ada alif yang berbaris. Alif hilang, yang ada hanyalah Nur. Nur di mana-mana, tidak ada alif, tidak ada baris dan tidak ada siapapun pun. Pada tahap ini ‘aku’ si hamba itu juga tidak ada. Hanya Dia yang ada dan hanya Dia yang mengenali Diri-Nya, tidak ada siapapun yang ikut campur dalam urusan-Nya. Suasana pada tahap ini menjadi penjelasan kepada suasana kerohanian pada stesen ke dua belas.
Nur menghadap kepada Zat Yang Maha Agung. Lemah longlai nur di hadapan kemaha-agungan Zat. Nur berhadapan dengan Wahdaniatik Zat yang Qiamuhu Binafsih. Zat Berdiri Dengan Sendiri, cukup lengkap sendiri-Nya, tidak memerlukan nur untuk menerangi Diri-Nya. Fanalah nur, maka nyatalah Ghaibul Ghuyub Zat. Zat menerangi Zat oleh Zat dengan Zat. Zat dalam keesaan-Nya serba cukup. Zat Melihat sendiri-Nya, Mendengar sendiri-Nya, Berpengetahuan sendiri-Nya, Berkata-kata sendiri-Nya, Hidup sendiri-Nya, Berkehendak sendiri-Nya dan Berkuasa sendiri-Nya. Zat tidak memerlukan sifat tambahan untuk muslihat Diri-Nya. Sifat yang bisa diletakkan pada Zat adalah “Melampaui segala penyifatan” dan “Tiada sesuatu serupa dengan-Nya”. Bagi-Nya Wajah tanpa rupa, Mata tanpa kelopak, Ucap tanpa suara, Ilmu tanpa halaman, Dekat tanpa mana dan Jauh tanpa hingga. Semua ini memperjelaskan stesen kerohanian yang ke tiga belas.
Zat Maha Mencintai Diri-Nya. Dia Menyaksikan Diri-Nya bersama kesempurnaan sifat Diri-Nya. Dia memperakukan bahwa:
Sesungguhnya Aku adalah Allah!
Dia sendiri menamakan Diri-Nya ALLAH. Demi Cinta-Nya kepada Diri-Nya Dia menetapkan:
Tiada Tuhan melainkan Aku!
Dia telah menentukan bahwa Dia adalah Tuhan dan tidak akan ada Tuhan yang selain-Nya. Selanjutnya Dia mengadakan ketentuan Siratalmustaqim (Jalan yang lurus), yang pada jalan hakikat dinamakan Khutbah Makrifat. Khutbah Makrifat yang pertama adalah:
Muhammad Rasul Allah!
Bagi mengwujudkan Muhammad Rasul Allah, Dia mengadakan urusan-Nya yang dikenali sebagai Hakikat Muhammadiah yaitu pemangkin atau hijab ketuhanan yang membisakan Muhammad diciptakan. Berasaskan kepada penciptaan Muhammad itulah sekalian makhluk diciptakan. Dia tidak akan menciptakan makhluk jika Dia tidak berkehendak menciptakan kekasih-Nya, Muhammad. Pada urusan-Nya yang dipanggil Hakikat Muhammadiah itu diletakkan-Nya maklumat atau penyaksian yang melengkapkan Khutbah Makrifat:
Tiada Tuhan melainkan Allah!
Sejak Allah s.w.t mengadakan urusan-Nya yang bernama Hakikat Muhammadiah, Dia telah menetapkan bahwa “Muhammad Rasul Allah” sebelum lagi makhluk diciptakan, sebelum alam diciptakan. Oleh itu setelah Dia menciptakan makhluk, maka sekalian makhluk wajib memperakui bahwa “Muhammad Rasul Allah” walaupun Muhammad yang bertubuh badan belum diciptakan. Nabi-nabi dan rasul-rasul sejak Nabi Adam a.s bersaksikan bahwa “Muhammad Rasul Allah” walaupun mereka datang ke dunia lebih dahulu daripada Nabi Muhammad s.a.w, karena mereka menerima maklumat daripada Hakikat Muhammadiah yang padanya ada kenyataan “Muhammad Rasul Allah”. Tujuan Allah s.w.t mengadakan Urusan-Nya (Hakikat Muhammadiah) itu adalah untuk menyatakan bahwa “Tiada Tuhan melainkan Allah.” Apabila Allah s.w.t ‘menanamkan benih’ “Tiada Tuhan melainkan Allah” pada Hakikat Muhammadiah, maka kemunculan makhluk yang ‘bersumberkan’ Hakikat Muhammadiah itu tidak mempunyai kekuatan untuk melahirkan Tuhan yang lain daripada-Nya. Sekali-kali tidak mungkin akan ada Tuhan yang selain Allah s.w.t. Termetrailah kedudukan-Nya sebagai Zat al-Haq, Yang Mutlak dan Ghaibul Ghuyub, terpelihara keagungan-Nya daripada dijangkau oleh sesuatu yang lain daripada Diri-Nya.
Semua kewujudan dibina di atas tapak tauhid. Hakikat Muhammadiah menerima amanah tauhid dan berkewajiban menanggung dan menyebarkannya sebagai Rasul Allah yang menjadi rahmat ke seluruh alam.
Hakikat Muhammadiah sebagai Urusan Allah s.w.t dipanggil Nur Allah. Pada Hakikat Muhammadiah dibekalkan maklumat yang lengkap tentang makhluk yang akan Allah s.w.t ciptakan. Dalam aspek ini Hakikat Muhammadiah dipanggil Hakikat Insan atau Hakikat Alam. Ia dipanggil juga Nur Muhammad. Sebab itu biasa dikatakan sekalian makhluk diciptakan daripada Nur Muhammad. Ia membawa maksud segala kejadian diciptakan menurut apa yang ada pada ketentuan Allah s.w.t, pada suasana hakikat yang dipanggil Nur Muhammad atau Hakikat Insan. Wajah atau aspek Hakikat Muhammadiah yang menghala kepada Allah s.w.t, yang menjadi hijab ketuhanan, dinamakan Nur Allah. Wajah atau aspek Hakikat Muhammadiah yang menghala kepada penciptaan makhluk, termasuklah penciptaan Nabi Muhammad s.a.w, dinamakan Nur Muhammad.
Pada Hakikat Muhammadiah dibekalkan pengetahuan dan pengenalan yang lengkap tentang Tuhan. Pada Hakikat Muhammadiah juga dibekalkan maklumat yang lengkap tentang pengabdian kepada Tuhan. Dalam wajah atau aspek ini Hakikat Muhammadiah dikenali sebagai Insan Kamil. Insan Kamil yang mengenali Tuhan dengan sempurna dan mengetahui cara mengabdikan diri kepada Tuhan dengan sempurna. Apabila Insan Kamil menghala kepada manusia-manusia yang sempurna yang ada di bumi, yang mengetahui dan mengenal Tuhan dengan sempurna dan juga mengabdikan diri kepada Tuhan dengan sempurna, Insan Kamil dikenali sebagai Hakikat Abdul Rab (hakikat hamba Tuhan). Kesempurnaan ilmu, makrifat dan pengabdian kepada Tuhan yang paling tinggi dikurniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w, kekasih-Nya dan hamba-Nya. Setingkat di bawah kedudukan Rasulullah s.a.w adalah golongan nabi-nabi. Di bawah daripada golongan Nabi-nabi adalah golongan wali-wali, siddiqin dan orang-orang salih. Mereka adalah kumpulan manusia yang berhakikatkan Hakikat Abdul Rab. Ketua agung bagi sekalian Abdul Rab adalah Nabi Muhammad s.a.w dan baginda s.a.w dikenali sebagai Abdul Allah (Hamba Allah). Manusia sempurna yang lain berhakikatkan Nama-nama Tuhan yang selain Nama Allah. Mereka berkedudukan sebagai Abdul Malik, Abdul Rahman, Abdul Latif, Abdul Karim dan sebagainya. Setiap Abdul Rab akan mempamerkan hakikat ketuhanan yang menguasainya. Pada Hakikat Abdul Rab (hakikat hamba Tuhan) diletakkan penyaksian Khutbah Makrifat:
Tiada Tuhan melainkan Allah. Muhammad Rasul Allah.
Hakikat kehambaan ditemui dalam Hakikat Muhammadiah. Apabila si hamba menemui hakikat kehambaan yang menguasainya, maka terbentuklah perakuan, perhatian dan kesadaran yang teguh tentang kewujudan yang Tuhan kurniakan kepadanya. Kesadaran pada peringkat ini adalah kesadaran dalam Ilmu. Si hamba menyaksikan hakikat dirinya dalam Ilmu Allah s.w.t. Dalam Ilmu Allah, si hamba melihat hakikat dirinya sebagai Abdul Rab yang dipersiapkan untuk menjadi hamba-Nya. Dalam suasana Ilmu Allah s.w.t itulah si hamba menyaksikan Kudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam Tuhan. Perhatian kepada sifat-sifat Tuhan menyedarkan si hamba tentang pergantungannya kepada sifat-sifat tersebut. Dia menumpang sifat-sifat Tuhan dan karena itu dia kembali menyedari sifat-sifat atau bakat-bakat yang ada dengan dirinya, yaitu berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat dan berkata-kata. Si hamba menyaksikan semua bakat-bakat tersebut sebagai medan kehambaannya kepada Tuhan. Orang yang telah meletakkan baris pada alif hanya melihat bakat berkata-kata, lantaran itu mereka hanya bercakap tentang iman, tauhid dan makrifat tanpa beramal. Si hamba yang menemui kembali bakat dirinya setelah memperolehi kesadaran Abdul Rab, bukan hanya bercakap tetapi juga melaksanakan amal yang menunjukkan kehambaan kepada Tuhan. Inilah perbedaan besar di antara jalan yang menetap dalam kehambaan dengan jalan yang membuang kehambaan.
________________________________________
HAKIKAT ABDUL RAB
Jalan Hakikat Abdul Rab (hamba Tuhan) jarang ditemui karena kebanyakan manusia mencari Insan Kamil. Mereka menyangkakan menjadi Insan Kamil merupakan puncak pencapaian. Mereka tidak tahu bahwa menjadi Hamba Tuhan itulah kesempurnaan jalan. Orang yang benar dengan Allah s.w.t ‘menemui’ Insan Kamil untuk dibawa kepada jalan Hamba Tuhan. Insan Kamil berperanan membuka jalan kehambaan karena Insan Kamil mempunyai ilmu yang sempurna tentang Allah s.w.t dan pengabdian kepada-Nya. Salinan Insan Kamil yang paling sempurna, Nabi Muhammad s.a.w, membawa sahabat-sahabat baginda s.a.w ke jalan menghambakan diri kepada Tuhan dengan sebenar-benar kehambaan. Mereka tidak mengejar makam-makam dan martabat dan tidak juga mengejar kekeramatan. Makam yang mereka tuntut ialah makam hamba Tuhan. Martabat yang mereka cari adalah ketakwaan kepada Tuhan. Kekeramatan yang mereka kejar adalah berjihad pada jalan Tuhan.
Si hamba bergerak jauh daripada daerah Insan Kamil. Pengetahuan dan pengenalan yang diperolehinya daripada ‘pertemuan’ dengan Insan Kamil itu sangat berguna bagi memperkuatkan kehambaannya. Berbekalkan pengetahuan dan pengenalan tersebut dia meneruskan perjalanannya bagi mencari kedudukannya sebagai seorang hamba Tuhan. Pada tahap ini kesadaran kemanusiaannya belum kembali sepenuhnya. Dia masih lagi dikuasai oleh kesadaran dalam Ilmu.
Kemudian si hamba mendengar Juru-bicara dari dalam dirinya membacakan:
Masuklah engkau (Abdul Rab) ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah engkau ke dalam syurga-Ku. ( Ayat 30 : Surah al-Fajr )
Ketika menaik, pada stesen ke sembilan, si hamba mendengar bacaan di atas sebagai ujian. Pada peringkat kesadaran di dalam Ilmu ini pula ayat tersebut merupakan perintah. Dia diperintahkan keluar daripada kesadaran Ilmu dan masuk sepenuhnya ke dalam kesadaran kemanusiaan. Syurga adalah barzakh atau sempadan atau pun suasana peralihan di antara kesadaran Ilmu dengan kesadaran kemanusiaan, kesadaran hakikat dengan kesadaran insan, suasana Pemerintah dengan suasana yang diperintah. Jasad Adam a.s diciptakan di dalam syurga dan di dalam syurga juga ia menerima tiupan dari Roh Allah s.w.t. Di dalam syurga wujud yang diperintah menerima bakat dan keupayaan daripada wujud yang memerintah. Anasir jasad dicantumkan dengan anasir rohani di dalam syurga karena satu tujuan:
Sesungguhnya Aku hendak ciptakan khalifah di bumi. ( Ayat 30 : Surah al-Baqarah )
Roh yang membawa bakat kekhalifahan berjumpa dengan jasad yang menyatakan bakat kekhalifahan itu. Pertemuan itu berlaku di dalam syurga. Pada peringkat ini si hamba yang di dalam kesadaran Ilmu itu menyaksikan jalan penurunan ke Alam Arwah, daripada kesadaran Ilmu kepada kesadaran rohani.
Sebelum keluar daripada kesadaran Ilmu si hamba diberi kekuatan untuk menghadapi dunia yang akan menjadi tempat menetapnya nanti sehingga ke akhir hayatnya. Si hamba tidak perlu takut kepada kehuru-haraan dunia karena dengan izin Allah s.w.t kekuasaan dunia telah dicabut daripadanya sewaktu dia melalui proses menaik dahulu melalui suasana:
Matilah kamu sebelum kamu mati. ( Maksud Hadis )
Kesadaran terhadap hakikat ketuhanan yaitu Hakikat Abdul Rab, yang menguasainya memberinya kekuatan untuk menghadapi apa yang selain Tuhan. Hamba yang kembali ‘bersama’ Hakikat Abdul Rab merasakan dirinya yang lama sudah ‘kiamat’ dan diri yang baru bergerak menurut kehendak dan peraturan Allah s.w.t. Tuhan menceritakan suasana sesudah kiamat:
Pada hari yang akan digantikan bumi ini dengan bumi lain dan semua langit juga. Dan akan tampil mereka ke hadapan Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa. ( Ayat 48 : Surah Ibrahim )
Hamba yang menyaksikan penguasaan ketuhanan terhadap dirinya kembali kepada kesadaran rohani dalam keadaan seolah-olah telah berlaku kiamat dan segala sesuatu diseret ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Tidak akan ada sesuatu yang keluar daripada kekuasaan dan keperkasaan Tuhan.
Ketika di dalam kesadaran rohani itu si hamba mendapat pengetahuan yang jelas bahwa kesempurnaan jalan bagi kehidupan di bumi adalah gabungan jalan kenabian dan jalan asma’. Jalan kenabian adalah syariat, yaitu mengabdikan diri kepada Allah s.w.t.
Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdikan diri kepada-Ku. ( Ayat 56 : Surah adz-Dzaariyaat )
Jalan Asma’ adalah menyaksikan Rububiah atau hakikat ketuhanan atau pun urusan Tuhan, pada setiap masa dan dalam semua suasana.
Apa saja yang melata ubun-ubunnya adalah dalam genggaman Tuhannya. Dan Tuhanku berada di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud )
Bukan kamu yang membunuh mereka tetapi Allah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melimpar ketika kamu melimpar tetapi Allah yang melimpar, karena Dia mau memberi kemenangan kepada orang-orang yang beriman dari (jihad) itu satu nikmat yang baik. Sesungguhnya Allah Mendengar, Melihat. ( Ayat 17 : Surah al-Anfal )
Kesempurnaan jalan yang menggabungkan kedua-dua jalan tersebut, yaitu bersungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah s.w.t dan tidak lalai daripada mengingati serta memperhatikan sesuatu tentang-Nya pada setiap waktu dan semua suasana.
Dalam kesadaran rohani si hamba menyaksikan:
Ya Allah! Engkau adalah Tuhan dan daku adalah hamba-Mu.
Ketika di dalam kesadaran rohani itu juga si hamba memperakui kewujudannya yang berjasad. Gabungan rohani dan jasad si hamba menyaksikan:
Aku naik saksi tiada Tuhan melainkan Allah dan aku naik saksi Muhammad adalah Rasul Allah.
Itulah penyaksian seorang insan yang menanggung amanah:
1: Rukun Islam.
2: Rukun Iman.
3: Rukun Ihsan
Kepada para insan yang berpegang teguh dengan amanah tersebut dibacakan ayat penetapan:
Ingatlah! Bahwa sesungguhnya aulia Allah itu tidak mereka takut dan tidak mereka berdukacita. Mereka adalah beriman dan mereka sebenarnya bertakwa. Mereka mendapat berita gembira di kehidupan dunia dan di hari akhirat; tiada lagi perubahan pada ketentuan Allah, itulah keuntungan yang besar.
( Ayat 62 – 64 : Surah Yunus )
Si hamba memasuki daerah kesadaran rohani dengan munajat:
“Ilahi! Daku bukan seorang abid, maka daku tidak kuat beribadat. Daku bukan seorang alim, maka daku tidak tahu menyeru. Daku hanyalah seorang penyerah, maka terimalah daku. Lakukan apa yang Engkau mau dengan diriku. Daku jualkan diriku kepada-Mu. Harganya adalah sabar, reda, tawakal dan ikhlas. Engkau ambillah diriku dan kurniakan kepadaku sabar, reda, tawakal dan ikhlas. Izinkan daku memakai pakaian sebagai hamba-Mu”.
Kemudian si hamba membacakan:
Katakanlah: “Wahai Tuhanku! Masukkan daku dengan kemasukan yang baik dan keluarkan daku dengan keluaran yang baik. Dan jadikanlah untukku pertolongan yang langsung dari-Mu sebagai kekuatan yang menolong”. ( Ayat 80 : Surah Bani Israil )
“Engkau jualah Pelindung diriku, yang memfitrahkan daku untuk berdiri di antara kedua Tangan-Mu, Jalal dan Jamal-Mu, dan menetapkan daku dalam makam Hadrat-Mu. Nur-Mu yang menjadi perisai melindungi daku dalam melaksanakan perintah dan peraturan-Mu”.
Maha Suci Engkau, Tuhanku, Tuhan Yang Maha Perkasa dari apa yang mereka sifatkan. Dan salam sejahtera atas sekalian yang diutus. Dan segala puji-pujian bagi Allah, Tuhan sekalian alam.
Kemudian si hamba mengalami suasana kebatinan yang digambarkan sebagai “dinding Kaabatullah terbuka dan terbentanglah bumi baru yang rata dan sangat luas, dilengkungi oleh Rahmaniat Tuhan”. Si hamba diterangi oleh cahaya Hakikat Ahmadiah.
37: Menuju Kesadaran Insani
________________________________________
HAKIKAT AHMADIAH
Suasana Ilmu Allah diumpamakan berada dalam Kaabatullah. Orang yang berada di dalam kota tidak dapat menyaksikan apa yang ada di luar kota. Kota menghalang perhubungan orang yang berada di dalam dengan orang yang berada di luar. Dalam perjalanan kerohanian kota yang menghijab adalah kesadaran yang menguasai hati. Hati yang terbungkus dan terikat oleh suasana kebatinan yang menguasainya. Hati yang ‘terkurung’ di dalam suasana Ilmu tidak dapat bercampur gaul dengan orang banyak.
Suasana hakikat yang dialami oleh hati memberi kesan yang sangat mendalam. Ia tidak hilang dengan serta merta walaupun berlaku perubahan stesen dan makam. Apabila “dinding Kaabatullah terbuka” si hamba keluar daripada kesadaran Ilmu dan masuk kepada kesadaran rohani yang belum terikat dengan jasad. Pada permulaian peringkat ini kesan daripada ‘pertemuan’ dengan hakikat-hakikat masih lagi mempengaruhi kesadarannya. Pengaruh atau kesan daripada hakikat-hakikat tersebut membawa ke dalam kesadarannya penyaksian terhadap Hakikat Ahmadiah. Hatinya menyaksikan bahwa Ahmad adalah suasana roh yang paling latif, paling suci dan paling murni. Ahmad adalah nama bagi roh yang mempunyai kesempurnaan makrifat, kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan kehambaan. Ahmad atau roh yang paling latif itulah menjadi roh kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Dan ingatlah tatkala berkata Isa anak Maryam: “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku ini adalah Utusan Allah kepada kamu, membenarkan apa yang ada di antara kedua tanganku daripada Taurat dan memberikan berita gembira dengan kedatangan seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya AHMAD!” Maka tatkala dia telah datang kepada mereka dengan bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata”. ( Ayat 6 : Surah as-Saff )
Sebelum Nabi Muhammad s.a.w lahir ke dunia baginda s.a.w disaksikan pada Alam Arwah sebagai Ahmad. Sesudah baginda s.a.w dilahirkan baginda s.a.w dinamakan Muhammad dan juga bergelar Ahmad. Dalam kesadaran peringkat Ilmu, si hamba merasai kehadiran Hakikat Muhammadiah, Hakikat Insan Kamil dan hakikat hamba Tuhan. Dia melihat Hakikat-hakikat tersebut sebagai urusan Tuhan yang menguasai perjalanan sekalian makhluk. Dalam kesadaran rohani pula si hamba merasai kehadiran Hakikat Ahmadiah dan dia menyaksikan bahwa roh yang paling latif itulah penjana segala urusan Tuhan kepada makhluk.
Dan mereka bertanya kepada engkau tentang Roh. Katakanlah: “Roh itu adalah urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu melainkan sedikit”. ( Ayat 85 : Surah Bani Israil )
(Ingatlah) tatkala Tuhan engkau berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia daripada tanah. Maka apabila Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya daripada Roh-Ku hendaklah kamu meniarap kepadanya dalam keadaan sujud”. ( Ayat 71 & 72 : Surah Saad )
Seterusnya Allah s.w.t berfirman:
Maha Luhur derajat-Nya, Yang Empunya Arasy. Dia turunkan Roh dari urusan-Nya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )
Seterusnya Allah s.w.t berfirman:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu Roh dari urusan Kami. Padahal tidaklah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman. Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di semua langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Kewujudan roh yang paling latif itulah menyebabkan manusia memiliki bakat dan nilai kemanusiaan; manusia menjadi hidup, berkuasa, berkehendak, mengetahui, mendengar, melihat dan berkata-kata. Tanpa kewujudan roh yang paling latif atau Ahmad sebagai pemangkin atau hijab, apa yang daripada Tuhan tidak dapat diterima oleh makhluk. Makhluk yang selain roh yang paling latif itu tidak ada kekuatan untuk menyambut apa yang Tuhan ‘hantarkan’ daripada Hadrat-Nya.
________________________________________
HAKIKAT KHALIFAH
Dari kalangan hamba-hamba-Nya dipilihnya siapapun saja yang Dia kehendaki dan dibukakan hijab di antara hamba-Nya itu dengan cahaya roh yang paling latif itu. Hamba yang ada perkaitan dengan roh yang paling latif secara demikian berkedudukan sebagai khalifah Allah. Khalifah Allah peringkat paling tinggi adalah golongan nabi-nabi, diikuti oleh golongan wali-wali dan orang salih. Khalifah Allah bertugas memberi peringatan tentang hari pertemuan dengan Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Perkasa. Mereka membimbing umat manusia kepada jalan yang lurus yaitu jalan Tuhan sekalian alam.
Hamba yang berkedudukan sebagai khalifah Allah telah dibawa kepada makam penyaksian yang meneguhkan keyakinan mereka, sebagaimana Allah s.w.t meneguhkan keyakinan Nabi Ibrahim a.s.
Dan demikianlah Kami bukakan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi supaya jadilah dia daripada orang-orang yang benar-benar yakin. ( Ayat 75 : Surah al-An’aam )
Keyakinan yang sebenarnya membawa hamba kepada suasana:
Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada yang menjadikan semua langit dan bumi, dengan ikhlas, dan tidaklah aku daripada orang-orang yang mempersekutukan-Nya. ( Ayat 79 : Surah al-An’aam )
Hamba yang sejati adalah hamba yang dapat melakukan “menghadap wajahnya kepada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, dengan ikhlas dan tidak mempersekutukan-Nya”. Inilah makam yang paling tinggi bisa dicapai oleh seorang hamba Tuhan. Wajah hamba Tuhan menghadap kepada Yang Hakiki. Dia juga menyaksikan kerajaan-Nya. Perbuatan zahirnya dan amalan hatinya ikhlas karena Allah s.w.t, bersih daripada syirik. Itulah para hamba yang layak bergelar khalifah Allah. Kepada mereka Allah s.w.t tujukan firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Tuhan kami adalah Allah!” kemudian mereka tetap lurus, nescaya akan turun kepada mereka malaikat (yang berkata), “Jangan kamu takut dan jangan kamu berdukacita dan bergiranglah dengan syurga yang pernah dijanjikan kepada kamu. Kami adalah pelindung-pelindung kamu pada penghidupan di dunia dan pada akhirat, dan untuk kamu di dalamnya apa saja keinginan dirimu dan untuk kamu di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai jamuan dari Pengampun, Penyayang”. ( Ayat 30 – 32 : Surah Fussilat )
Mereka adalah golongan yang menerima pembentukan yang paling baik daripada Allah s.w.t.
Pencelupan Allah! Dan siapakah yang lebih baik pencelupannya daripada Allah? Dan akan Dia jualah kami menyembah. ( Ayat 138 : Surah al-Baqarah)
Mereka yang menerima pencelupan yang paling baik adalah yang kekal di dalam kehambaan, mengabdikan diri kepada Allah s.w.t, menyembah-Nya dan melaksanakan perintah dan peraturan-Nya. Mereka memulaikan perjalanan sebagai hamba dan kembali sebagai hamba juga. Segala pengalaman kerohanian yang dilalui adalah untuk memperteguhkan kehambaan itu, menyesuaikan diri dengan al-Quran dan as-Sunah, mencontohi kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat yang mendapat keredaan Allah s.w.t. Mereka kembali kepada kesadaran kemanusiaan biasa separti semula karena tanpa kesadaran kemanusiaan hukum dan peraturan Tuhan tidak dapat dilaksanakan. Manusialah yang diangkat menjadi Rasul dan manusia juga yang mengembangkan ajaran Tuhan. Malaikat tidak diangkat menjadi Rasul untuk memimpin manusia. Tuhan memilih dari kalangan manusia juga untuk memimpin umat manusia. Sekalipun ada orang yang diizinkan mengalami berbagai-bagai suasana hakikat tetapi itu bukanlah matlamat. Matlamatnya adalah membentuk insan yang layak dipanggil umat Nabi Muhammad s.a.w yang berkedudukan sebagai hamba Tuhan.
Si hamba telah memanjat gunung yang tinggi. Dengan izin dan melalui bimbingan-Nya si hamba itu terselamat daripada segala bahaya yang ada di sepanjang jalan. Bahaya yang besar ada dua jenis. Bahaya jenis pertama datangnya daripada luar, dibawa oleh syaitan, dunia yang menipu daya dan makhluk yang menjadi agen syaitan. Bahaya tersebut dijumpai dalam perjalanan menuju Tuhan. Penghapusan kesadaran diri menjadi penawar bagi menghancurkan bahaya tersebut. Setelah melepasi bahaya yang datang daripada luar itu si hamba berhadapan pula dengan bahaya yang datang daripada dirinya sendiri yang bergerak melalui hawa nafsunya, memakai pakaian kehendak, cita-cita, angan-angan dan harapan. Selagi si hamba mempunyai kemauan yang keras atau cita-cita yang kuat dia tidak akan selamat daripada bahaya dirinya. Nafsu mudah terangsang oleh sifat Rabbaniah (sifat ketuhanan). Nafsu mudah lupa diri dan memakai sifat yang tidak layak dipakai olehnya. Bahaya jenis ini hanya terhapus melalui penyerahan kepada Allah s.w.t secara menyeluruh dan mengikat dirinya dengan tali kehambaan walau bagaimana tinggi kedudukan yang dicapainya.
Dalam perjalanan menaik si hamba melepaskan segala hak kepada Yang Empunya Hak separti orang membuka pakaiannya dan diserahkannya kepada Tuan pakaian. Penelanjangan secara menyeluruh atau tajrid menjadi kenderaannya. Di dalam kenderaan tajrid tidak ada ilmu dan tidak ada makrifat. Si hamba semata-mata berdiri tegak demi Wajah Allah s.w.t, untuk-Nya semata-mata dan bersama-Nya dalam segala perkara dan semua ketika. Si hamba menitipkan namanya, sifatnya dan kewujudannya kepada Allah s.w.t sehingga dia masuk ke Hadrat-Nya tanpa nama, tanpa sifat, tanpa perhatian kepada diri sendiri dan makhluk lainnya juga tidak ada. Pengalaman hakikat-hakikat tidak melepaskan pandangannya kepada Allah s.w.t. Insan kamil juga tidak bisa menjadi hijab di antara hamba dengan Allah s.w.t. Si hamba masuk ke Hadrat Allah s.w.t tanpa sebarang bekal. Penyerahan itulah kekuatan sejati yang menggerakkannya untuk maju terus sehingga sampai kepada matlamat.
Kini Allah s.w.t kembalikan apa yang diserahkan kepada-Nya untuk dijaga. Tuan pakaian mengembalikan pakaiannya dan dia diizinkan memakai pakaian tersebut sebagai menyatakan bahwa dia adalah hamba Tuhan. Bila si hamba memakai pakaian hamba Tuhan maka Tuhan menguruskan kehidupannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Tuan terhadap hamba-Nya.
Peringkat permulaian kembali kepada kesadaran kemanusiaan si hamba hanya menyaksikan kekuasaan Tuhan semata-mata. Dia tidak melihat keberkesanan hukum yang Tuhan letakkan pada makhluk-Nya. Hatinya melihat bahwa makhluk dengan zat dirinya tidak memiliki apa-apa kuasa, tidak berupaya mendatangkan manfaat atau mudarat. Dalam kesadaran yang demikian jika dia berhadapan dengan ribut kencang dia tidak akan mencari perlindungan. Jika dia berhadapan dengan kilat dan petir juga dia tidak mencari perlindungan. Jika matanya berbetulan memandang kepada matahari dia tidak bersegera mengalihkan pandangannya. Dalam menghadapi semua yang kelihatan memberi kesan itu hatinya berkata, “Kamu adalah makhluk Tuhan. Kamu tidak ada kuasa membinasakan daku. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan”. Keyakinan yang kuat kepada Tuhan melindunginya. Bila dia menghadapi anasir alam dengan meletakkan pergantungan bulat kepada Tuhan perkara yang menggerunkan bertukar menjadi ‘jinak’ dan ‘mesra.’ Angin kencang mengeluarkan lagu yang merdu. Cahaya kilat menjadi permainan bunga api yang indah. Matahari yang sedang terik memancar kelihatan suram, menyentuh bola mata dengan lemah lembut.
Ketika berada pada tahap ini si hamba tidak tahu berterima kasih kepada sesama manusia. Dia hanya melihat Tuhan yang memberi. Bila dia bergerak lebih jauh ke dalam kesadaran keinsanan pandangannya akan berubah. Jika dia menerima sesuatu daripada makhluk, sekalipun dia melihat Pemberi sebenar adalah Tuhan, tetapi dia sudah dapat menghargai makhluk yang dipilih oleh Tuhan menjadi utusan yang menyampaikan kurniaan Tuhan itu dan dia berterima kasih kepadanya. Terima kasih kepada makhluk dan syukur kepada Tuhan bisa berlaku dalam satu masa. Dia juga sudah bisa menghormati anasir-anasir alam yang memberi kesan karena dia melihat Tuhan yang meletakkan kesan tersebut kepada mereka. Sebagai menghormati dan menerima peraturan Tuhan dia memperakui kesan yang ada dengan anasir-anasir tersebut. Dia sudah bisa melihat bahwa angin, kilat dan matahari bisa membinasakan dengan izin Allah s.w.t. Kesan yang Tuhan letakkan kepada anasir-anasir tersebut merupakan keizinan Tuhan kepada mereka untuk berfungsi menurut fitrah masing-masing.
Si hamba yang dibawa kembali kepada kesadaran keinsanannya dan ditentukan untuk menjalani sesuatu tugas khusus sebagai hamba Tuhan akan terlebih dahulu dibawa kepada pengalaman kehadiran Hakikat Habiballah, kekasih Allah yaitu Nabi Muhammad s.a.w.
38: Menuju Penetapan Insan Hamba Tuhan
________________________________________
HAKIKAT HABIBALLAH
Kehadiran Habiballah berbeda daripada kehadiran Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil. Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil membawa makrifat tentang urusan dan pentadbiran Tuhan. Habiballah pula memperingatkan si hamba tentang kedudukannya sebagai manusia yang hidup di atas muka bumi, di dalam dunia, mempunyai tugas untuk dilaksanakan. Kehadiran Habiballah membawa si hamba menyaksikan seorang insan yang paling sempurna bergelar kekasih Allah. Insan tersebut adalah Nabi Muhammad s.a.w, manusia maksum yang tidak pernah melakukan kesalahan. Inilah manusia yang paling baik untuk dijadikan contoh teladan. Selagi belum sesuai dengan Sunah baginda s.a.w selagi itulah pencarian belum berakhir. Jangan menyangka orang yang asyik dengan Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil itu telah mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan yang sebenar telah ditunjukkan oleh seorang manusia yang telah menerima dengan lengkap, penuh dan sempurna segala bakat dan keupayaan yang tersimpan pada Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil. Nabi Muhammad s.a.w, Muhammad bin Abdullah yang berbangsa Arab, itulah cermin yang sempurna bagi Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil. Jika ada orang mendakwa dirinya bermakrifat dengan Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil sedangkan dia berada pada jalan yang berbeda daripada jalan Nabi Muhammad s.a.w, sesungguhnya dakwaan orang itu adalah tidak benar. Orang berkenaan telah diserkup oleh kekeliruan di suatu peringkat dalam perjalanannya. Pencariannya belum berakhir. Kebenaran yang sejati belum ditemuinya. Mungkin kesan kefanaan dan mabuk belum terhapus sepenuhnya daripada hatinya.
Tanda seseorang itu belum pulih daripada kefanaan, mabuk dan kebaqaan adalah dia masih mencari-cari hakikat dirinya, makam dirinya dan mengintai-intai kalau-kalau namanya ada dalam senarai wali-wali agung. Dia masih lagi melihat hakikat dirinya pada makam ketuhanan, masih dikuasai oleh suasana Ilmu dan dia tidak berselera melakukan amalan syariat. Dia masih lagi dalam keadaan menanti-nanti sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa yang dinantikannya. Orang separti ini perlu mengucapkan salawat banyak-banyak, mudah-mudahan dia mengenali Muhammad Habiballah yang sebenarnya. Bila Muhammad Habiballah sudah dikenali, maka semua pengalaman kerohanian yang sudah dilalui akan menjadi kenangan manis. Ia menjadi modal bagi seseorang mencari keuntungan di dalam syariat. Syariat adalah medan perniagaan yang luas. Modal yang tidak dilaburkan di dalam syariat tidak akan berkembang. Lama kelamaan modal tersebut akan kehabisan.
Ada orang yang telah mengalami hakikat mendapati sukar untuk masuk semula kepada syariat. Sekalipun mereka tidak membuang syariat mereka lebih suka ‘membawa diri’ daripada menyertai kegiatan orang banyak separti yang dianjurkan oleh syariat. Ada di antara mereka yang tidak bersholat Jumaat bersama-sama dengan orang banyak. Mereka tidak mencegah kemunkaran yang berlaku di hadapan mata mereka. Mereka tidak mengajak orang lain kepada yang makruf. Sikap menyepi diri biasa ditemui pada orang yang melalui jalan hakikat.
Dalam perjalanan menaik seseorang itu mengalami keadaan fikirannya menjadi tidak aktif, kehendaknya menjadi lemah dan perhatian terhadap diri sendiri dan orang lain menjadi berkurangan. Dia kemudian sampai kepada satu tahap di mana semua itu tidak berfungsi separti biasa. Segala-galanya hilang daripada kesadarannya, yang ada hanyalah Allah s.w.t. Dia hanya inginkan Allah s.w.t, ingatkan Allah s.w.t dan kasihkan Allah s.w.t. Hal ini meninggalkan kesan yang lama pada hati walaupun dia telah kembali kepada kesadaran kemanusiaan. Hati yang sudah dipenuhi dengan Allah s.w.t sukar menerima kehadiran yang lain, yang dirasakannya menjabar kedudukan Allah s.w.t dalam hatinya. Dia bimbang dengan memberi perhatian kepada makhluk akan berkurangan perhatiannya kepada Allah s.w.t. Suasana begini sukar diperbetulkan. Ia memerlukan kehadiran suasana yang lain yang lebih kuat barulah hatinya tunduk dan menyerah kepada suasana baru yang lebih kuat itu.
Kehadiran Habiballah memainkan peranan penting dalam menolak seseorang ahli hakikat ke dalam syariat secara menyeluruh. Tidak ada manusia yang kasihkan Allah s.w.t melebihi Nabi Muhammad s.a.w. Tidak ada manusia yang memberi perhatian kepada Allah s.w.t melebihi Nabi Muhammad s.a.w. Kasih dan perhatian Nabi Muhammad s.a.w kepada Allah s.w.t tidak menutup kasih dan perhatian baginda s.a.w kepada makhluk Allah. Kesibukan baginda s.a.w melayani orang banyak tidak menyebabkan baginda s.a.w lalai daripada mengingati Allah s.w.t. Pada yang demikian tersembunyi rahsia besar. Bagaimana hati yang mempunyai satu muka bisa berhadap kepada dua perkara dalam satu masa. Inilah yang dinamakan rahsia syariat. Syariat mengajar manusia mengenali Yang Esa melalui dua perkara yang berlawanan. Manusia yang mempunyai akal, hati dan dua aspek yang berlawanan pada dirinya, separti kanan dengan kiri, menjadi bekas yang paling sesuai menerima syariat. Malaikat yang diciptakan dengan satu aspek saja, yaitu tidak ada lelaki dan perempuan juga tidak ada kanan dan kiri, tidak sesuai menanggung syariat. Manusia yang mempunyai dua nilai yang bertentangan pada dirinya bisa mengenal Tuhan melalui nilai-nilai tersebut. Semakin manusia menggunakan bakat dan nilai yang ada pada dirinya semakin dia mengenal Tuhan. Menggunakan bakat dan nilai yang ada pada diri merupakan sebaik-baik jalan untuk mengenal Tuhan. Tuhan dikenali karena ada makhluk Tuhan. Berbakti kepada makhluk Tuhan atas dasar mentaati peraturan Tuhan menambahkan ingatan dan pengenalan kepada Tuhan. Sebab itulah kesibukan melayani makhluk Tuhan tidak membuat hati lalai daripada mengingati Tuhan, malah ingatan kepada-Nya menjadi lebih kuat lagi. Kesadaran tentang perkara ini diperolehi melalui kehadiran Muhammad Habiballah yang telah mempraktikkan yang demikian sepanjang hidup baginda s.a.w. Jika perhatian seseorang hanya tertumpu kepada Muhammad dalam hakikat atau Muhammad Insan Kamil, kesadaran tersebut tidak muncul. Muhammad Habiballah yang membimbing manusia kembali kepada kesadaran kemanusiaan sepenuhnya dan menggunakan bakat serta nilai diri untuk berbakti kepada Allah s.w.t secara langsung atau secara tidak langsung melalui khidmat-bakti kepada makhluk-Nya. Orang yang tidak berjumpa dengan kebenaran Muhammad Habiballah mendapati sukar untuk menetapkan kesadaran kemanusiaannya dan berkecimpung di dalam kegiatan masyarakat.
Orang yang memasuki jalan pelarutan diri ke dalam hakikat sukar kembali kepada kesadaran kemanusiaan. Bila ‘bertembung’ dengan Hakikat Allah s.w.t dia merasakan dirinya adalah Allah s.w.t. Bila ‘bertembung’ dengan Hakikat Muhammadiah dia merasakan dirinya adalah Muhammad. Bila ‘bertembung’ dengan Hakikat Insan Kamil dia merasakan dirinya adalah Insan Kamil. Bila ‘bertembung’ dengan Habiballah dia merasakan dirinya adalah Habiballah. Sukar baginya untuk keluar daripada mabuk untuk menyaksikan kebenaran yang sebenar-benarnya benar. Mabuk menjadi hijab menutup pandangannya daripada melihat dan menerima kenyataan. Orang yang separti ini mungkin menerima penyerapan yang berkekalan oleh hakikat yang menguasai hatinya. Dia akan menjadi ujian kepada orang banyak, terutamanya mereka yang berminat kepada jalan hakikat.
Perkataan orang yang di dalam mabuk mengenai hakikat dan penyatuan dengan Tuhan memang seronok didengar. Manusia memang cenderung kepada perkara ganjil. Ujian akan berubah menjadi fitnah apabila orang yang di dalam mabuk mengeluarkan kekeramatan yang menyebabkan orang-orang jahil yang lemah iman memegang sepenuhnya perkataan orang yang di dalam mabuk itu. Orang yang di dalam mabuk berhak dimaafkan jika dia mengeluarkan ucapan yang menyalahi syariat tetapi orang yang di dalam kesadaran jika ikut yang demikian dia berhak dihukumkan kufur. Mereka wajib bertaubat dan kembali kepada jalan kenabian.
Orang yang berminat dalam soal-soal kerohanian mestilah yakin bahwa kebenaran yang paling tinggi bukanlah menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Kebenaran yang tartinggi adalah menjadi hamba Tuhan. Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil bisa dilihat sebagai Hamba Allah karena kedua-duanya bergantung kepada Allah s.w.t, bukan berdiri dengan sendiri. Hamba Allah dalam suasana ketuhanan dipanggil Urusan Allah bagi membedakannya dengan makhluk yang mendiami alam. Urusan Allah adalah kewujudan di dalam Ilmu Allah, bukan kewujudan di dalam alam. Ilmu Allah tidak menempati ruang dan zaman. Ia juga bukan bertempat di dalam hati manusia. Hati hanya diizinkan merasai suasana Hadrat atau kehadiran hakikat bukan berhadapan dengan hakikat yang sebenar. Merasai kehadiran Insan Kamil bukan bermakna Insan Kamil benar-benar ada di hadapan. Merasakan menjadi Insan Kamil bukan bermakna benar-benar menjadi Insan Kamil. Merasakan menjadi Insan Kamil adalah suasana mabuk. Merasai kehadiran Insan Kamil pula adalah suasana menerima kenyataan Insan Kamil itu. Merasai kehadiran Allah s.w.t pula bermakna menerima kenyataan Allah s.w.t. Ia disebut juga ayat-ayat Allah, sifat-sifat Allah, nama-nama Allah, tanda-tanda Allah dan sebagainya. Walaupun digunakan istilah-istilah yang tidak pernah didengar separti Lahut, Balhut, Ghaibul Ghuyub, Ghaibul Mutlak dan lain-lain, semuanya bukanlah Allah s.w.t tetapi hanyalah cerita tentang Allah s.w.t. Cerita yang paling baik dan paling benar mengenai Allah s.w.t adalah cerita daripada al-Quran. Tidak ada cerita lain yang kebenarannya mengatasi apa yang diceritakan oleh al-Quran. Oleh itu apabila mendengar cerita daripada mana-mana sumber rujuk semula kepada cerita al-Quran. Jangan diikuti orang yang di dalam mabuk karena orang yang demikian sudah hilang partimbangan.
Dalam perjalanan kerohanian, apabila ‘berjumpa’ dengan kehadiran Habiballah barulah fikiran terbuka luas, begitu juga dengan kesadaran diri. Sebelum itu jiwa seseorang seumpama berada di dalam laut, dilambung oleh gelombang. Sekalipun tidak mabuk namun ‘pening-pening lalat’ tetap juga ada.
Dalam perjalanan kerohanian seseorang itu memasuki empat tahap kesadaran diri. Tahap pertama adalah kesadaran nafsu, dibahasakan sebagai Alam Nasut atau alam jasad. Kesadaran nafsu mengarahkan kepada ingatan yang jahat, melakukan dosa dan maksiat. Tahap ke dua adalah kesadaran kalbu atau hati, dibahasakan sebagai Alam Malakut. Dalam kesadaran hati timbul sifat patuh dan taat kepada perintah dan peraturan Allah s.w.t. Tahap ke tiga adalah kesadaran rohani, dibahasakan sebagai Alam Jabarut. Dalam kesadaran ini si hamba bebas daripada kegembiraan dan kerisauan, fikiran dan keinginan. Dia menjadi patuh kepada perintah rohani dan dia menjadi tenteram, dengan kepatuhan tersebut. Tahap ke empat adalah kesadaran Sir, dibahasakan sebagai alam Lahut. Dalam kesadaran ini si hamba tenggelam dalam tafakur tentang Tuhan. Penyaksiannya hanya kepada Tuhan, tidak kepada yang lain. Dia mengalami suasana hakikat-hakikat ketuhanan atau dikatakan juga hatinya menerima sinaran nur Ilahi. Selepas peringkat ini barulah kesadaran diri kembali semula sedikit demi sedikit.
Permulaian jalan kembali kepada kesadaran itu dinamakan baqa. Kesadaran terhadap Insan Kamil muncul pada peringkat permulaian baqa. Baqa adalah suasana bergerak daripada Tuhan bersama Tuhan. Ada unsur perpisahan dan perbedaan dengan Tuhan tetapi masih lagi bersamaan. Kesadaran dalam peringkat inilah membuat seseorang bercakap secara berteka-teki dan samar-samar karena suasana teka-teki dan kesamaran yang menguasai hatinya. Semakin jauh dia masuk ke dalam baqa semakin terurai teka-teki tersebut dan semakin berkurangan kesamaran.
Baqa adalah salah satu daripada peringkat perjalanan kerohanian. Bila kesadaran pulih sepenuhnya kebaqaan tidak ada lagi.
Keseluruhan perjalanan bisa dibagikan kepada empat peringkat. Peringkat pertama dinamakan jalan orang Islam biasa. Pada jalan ini penekanan adalah pada syariat zahir. Penggerak utama pada jalan ini adalah syurga dan peringatannya adalah neraka. Matlamat pada jalan ini adalah mencapai kedudukan sebagai seorang mukmin yang layak menjadi penghuni syurga. Jalan ini menjadi asas kepada jalan-jalan yang lain. Tanpa jalan ini jalan-jalan yang lain tidak dapat dibina. Orang yang meninggalkan jalan ini dan terus pergi ke jalan hakikat itulah yang mudah jatuh ke dalam jurang yang menyesatkan.
Sambungan kepada jalan syariat zahir adalah jalan syariat batin atau jalan tarekat tasauf. Jalan ini merupakan jalan hamba mencari Tuhan. Keinginan mengenal Tuhan mendorong mereka melakukan ibadat bukan karena inginkan syurga atau takutkan neraka. Segala usaha dan ikhtiar digunakan bagi mendekatkan diri dengan Tuhan. Pada peringkat awal mereka kuat bersandar kepada amal karena menyangkakan kekuatan amal itulah yang mendekatkan mereka dengan Tuhan. Pada peringkat ini ada bahaya yang menanti. Bahaya tersebut adalah perasaan tidak sabar untuk cepat sampai kepada matlamat, sedangkan matlamat itu sendiri tidak jelas. Sikap tidak sabar dan kurang penyerahan kepada Tuhan membuat seseorang mudah terdorong kepada amalan yang ganjil-ganjil yang diharapkan mempercepatkan perjalanan mereka. Sebagian daripada mereka yang keliru pada peringkat ini mengambil amalan melihat jin dan bersahabat dengan khadam. Mereka menyangkakan amalan yang demikian adalah sebagian daripada jalan ketuhanan yang mendekatkan diri mereka dengan Tuhan. Kesan daripada yang demikian ada yang gila akalnya atau pun gila hakikatnya. Gila hakikat adalah mendakwa diri sudah memiliki hakikat sedangkan dia belum memasuki jalan hakikat. Apa yang mereka anggapkan alam hakikat itu sebenarnya adalah alam khadam. Orang yang gila hakikat, dalam kesadaran biasa, mengaku mereka menjadi wali yang agung dan memiliki berbagai-bagai kekeramatan. Mereka menyangkakan mereka adalah manusia pilihan Tuhan atau pun mereka adalah nabi. Beginilah keadaan nabi palsu yang selalu muncul dalam sejarah. Nabi palsu itu yakin yang diri mereka adalah nabi, terutamanya jika pada diri mereka muncul sesuatu yang luar biasa. Perkara luar biasa itu mereka sangkakan mukjizat tetapi yang sebenarnya hanyalah perbuatan khadam yang mendampingi mereka.
Dalam melalui jalan ini seseorang mestilah membulatkan maksudnya kepada Allah s.w.t semata-mata, tidak dicampur dengan keinginan kepada kekeramatan dan pangkat kewalian. Apabila maksud sudah bulat kepada Allah s.w.t barulah ada harapan untuk memasuki jalan kerohanian. Tanda seseorang itu telah memasuki jalan ketuhanan adalah dia dikurniakan Petunjuk Ghaib. Dia dapat merasakan kuasa ghaib mengseretnya dengan menangkis apa saja yang mencoba membuatnya berhenti. Perhatian dan kesadaran terhadap segala sesuatu akan menjadi lemah. Dia masuk ke dalam kesadaran kebatinan. Dalam kesadaran tersebut dia mengalami kehadiran kenabian. Dia mengenali kenabian secara zauk.
Apabila hati sampai kepada suasana nama-nama Tuhan pula dia mengenali Tuhan melalui nama-nama tersebut. Di sini dia melihat urusan Tuhan menguasai perjalanan segala sesuatu. Seterusnya dia sampai kepada suasana keesaan Tuhan. Kemudian dia memasuki pula suasana yang menggambarkan bahwa tiada sesuatu yang serupa dengan Tuhan. Dia menemui kenyataan bahwa Tuhan tidak dijumpai melalui ilmu dan makrifat. Hamba yang sampai ke sini mengakui kelemahan dirinya di hadapan keperkasaan Tuhan. Wujudlah sifat kehambaan yang sejati dalam jiwanya. Kuatlah dia bersabar menanggung ujian Tuhan dan berserah diri kepada-Nya. Orang yang berhenti pada peringkat ini akan menjadi ahli ibadat yang tidak ada pekerjaan melainkan beribadat kepada Allah s.w.t. Akhir peringkat kedua adalah menyaksikan Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa.
Peringkat ke tiga dinamakan jalan hakikat. Dalam peringkat kedua dahulu si hamba menemui kenyataan bahwa ilmu dan amal tidak berupaya memecahkan benteng keperkasaan Tuhan. Penemuan tersebut membuat si hamba tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya. Apa juga amalan yang dilakukannya adalah karena Allah s.w.t bukan karena sesuatu kepentingan dirinya. Amal tidak lagi menjadi alat untuk mendapatkan sesuatu daripada Tuhan. Dia sudah memperolehi keyakinan bahwa yang dapat membawanya kepada Tuhan adalah Tuhan sendiri, dengan kehendak-Nya bukan dengan kehendak hamba-Nya, atau ilmu dan amal hamba-Nya.
Perjalanan pada peringkat ke tiga bermulai daripada suasana keesaan. Si hamba dilambung oleh gelombang kefanaan yang kuat. Dia tidak lagi mengetahui siapakah dirinya. Dia terpisah daripada sifat kemanusiaan dan tidak lagi memperdulikan peraturan masyarakat. Orang yang berada pada peringkat ini patut dipisahkan daripada orang banyak supaya kehadirannya tidak mendatangkan fitnah terhadap dirinya dan juga orang lain. Ucapannya mengenai hakikat yang dialaminya mungkin akan menimbulkan salah faham orang lain. Pada peringkat ini si hamba berada ‘di luar’ sesuatu dan dia hanya menyaksikan. Dia melihat perbuatan muncul daripada dirinya tetapi dia melihatnya ‘dari luar’ dirinya, sebagaimana orang lain melihatnya. Dia merasakan yang dia tidak terlibat dengan perbuatan tersebut. Dia menyaksikan segala perkara sebagai tindak tanduk urusan Tuhan. Dalam suasana yang demikian dia mendapat pengartian bahwa sebenarnya bukan dirinya yang mencari Tuhan tetapi sebenarnya Dia yang mencari dan Dia yang dicari. Tidak ada siapapun yang masuk campur dalam urusan-Nya. Orang yang dalam kefanaan menggambarkan peringkat ini dengan ucapannya “Dia yang mencari dan Dia yang dicari. Dia yang bertemu dengan Diri-Nya sendiri!” Orang yang di dalam kesadaran pula menggambarkan suasana pada tahap ini dengan ucapannya, “Aku kenal Tuhanku melalui Tuhanku sekadar yang Tuhanku izinkan daku mengenali-Nya”. Perjalanan yang bermulai daripada suasana keesaan itu berakhir pada suasana Insan Kamil.
Insan Kamil adalah permulaian jalan peringkat ke empat, jalan menuju baqa, dinamakan jalan Diri mencari Diri. Pada peringkat suasana Insan Kamil ini kesadaran terhadap diri sendiri sudah mulai datang kembali dalam keadaan dia tidak mengenali dirinya sendiri. Kesadaran yang sudah kembali sedikit itu menggerakkannya untuk mencari dirinya yang ‘hilang.’ Pada suasana Insan Kamil itu si hamba menyaksikan hakikat dirinya dalam Hakikat Muhammadiah. Dia menyaksikan hakikat dirinya sebagai Hakikat Abdul Rab (hamba Tuhan). Si hamba ditarik kepada satu nama Tuhan yang menguasai dirinya. Dia ditarik kepada Yang Empunya nama. Tarikan ketuhanan Yang Empunya nama itu membawa si hamba keluar dari alam fana sedikit demi sedikit, masuk ke alam baqa. Dalam kebaqaan itu si hamba melihat hakikat dirinya yang tidak berpisah dengan Tuhan. Hakikat Abdul Rab (kewujudan kehambaan pada sisi Tuhan atau urusan Tuhan yang menguasai perjalanan kehambaan kepada Tuhan) tidak berpisah dengan Tuhan. Penyaksian terhadap hakikat diri yang tidak berpisah dengan Tuhan dan suasana hati yang merasakan tidak berpisah dengan Tuhan itulah dinamakan baqa.
Penghujung jalan baqa menemukan si hamba dengan Hakikat Ahmadiah. Pada tahap ini si hamba menemui dirinya sebagai rohani yang ‘menerima’ bakat daripada hakikat kehambaan. Rohani hanya mempamerkan apa yang ada dengan hakikat yang menguasainya. Penyaksian terhadap kewujudan rohani ini membuka perhatiannya kepada kewujudan jasadnya. Kesadaran kemanusiaan yang bertubuh badan kembali semula kepadanya secara sedikit demi sedikit. Dia (rohani) sudah memperakukan bahwa alam jasad itulah daerah kekhalifahannya atau tempat tinggalnya. Rohani dan jasad ‘bercantum’ semula dalam suasana kehadiran Habiballah. Diri yang mencari berpadu dengan Diri yang dicari. Si hamba kembali mengenali dirinya. Pusingan perjalanannya menjadi lengkap.Awal perjalanannya berpadu dengan akhir perjalanannya. Batinnya berpadu dengan zahirnya.
Perpindahan daripada suasana kebaqaan kepada suasana kehambaan sepenuhnya diistilahkan sebagai hijrah kerohanian. Si hamba berpindah daripada kesadaran hakikat kepada kesadaran kemanusiaan, masuk ke dalam syariat zahir dan batin. Nabi Muhammad s.a.w berhijrah daripada Makkah yang padanya ada Kaabah, pergi ke Madinah yang padanya syariat diperlengkapkan. Ahli hakikat juga perlu berhijrah meninggalkan ‘Kaabatullah’ (makam hakikat yang ada fana, bersatu dengan Tuhan, baqa dengan Tuhan dan lain-lain suasana hakikat) pergi ke ‘Madinah’ (makam kehambaan yang padanya ada agama yang sempurna, syariat yang sempurna, peraturan zahir yang sempurna, amalan batin yang sempurna, Islam yang sempurna, iman yang sempurna dan makrifat yang sempurna). ‘Hijrah’ adalah makam hakikat dan makrifat yang paling tinggi. Apabila seseorang Ahli hakikat ‘berhijrah’ barulah kesadaran kemanusiaannya kembali sepenuhnya. Syariat zahir dan batinnya sempurna. Agamanya pun sempurna.
Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu. Dan Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu. Dan Aku reda Islam menjadi agama (syariat)mu. ( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah )
Perjalanan yang tidak merialisasikan maksud ayat di atas adalah perjalanan yang tidak lengkap. Perjalanan kerohanian yang lengkap mengandungi:
1: Jalan orang Islam biasa
2: Jalan hamba mencari Tuhan
3: Jalan Dia yang mengenali Diri-Nya
4: Jalan Diri mencari Diri atau jalan mengenal diri.
Ada orang yang sengaja mengambil jalan Diri mencari Diri, yaitu jalan mengenal diri saja tanpa mengambil jalan-jalan yang lain. Jalan mengenal diri yang dilalui oleh orang yang mengalami kefanaan, kelenyapan terhadap kesadaran diri sendiri, berbeda daripada jalan mengenal diri yang digubah oleh orang yang tidak ada zauk, tidak hilang kesadaran diri, tidak hilang akal fikiran, tetap gelojoh dengan makan dan minum dan masih maukan kesenangan dunia. Golongan ini mengambil perkataan ahli zauk untuk dijadikan iktikad dalam kesadaran mereka. Mereka menyamakan hamba dengan Tuhan. Iktikad mereka telah sesat dan menyesatkan.
Di antara semua peringkat perjalanan kerohanian yang paling sukar dilakukan adalah berhijrah daripada hakikat kepada syariat. Banyak di antara ahli sufi tidak melakukan hijrah. Mereka tidak dapat melepaskan diri daripada kesan kefanaan dan mabuk. Pengalaman bersatu dengan Tuhan yang mengasyikkan membuat mereka enggan melepaskan kegairah tersebut.
Ahli sufi yang dipimpin kepada jalan mahabbah melakukan hijrah dan kembali kepada jalan kenabian dengan sempurna. Hijrah Nabi Muhammad s.a.w dari Makkah ke Madinah mengambil masa tujuh hari. Bukan perkara yang ganjil jika hijrah ahli hakikat ke syariat secara sepenuhnya mengambil masa tujuh tahun. Kehadiran Habiballah yang membuka pintu hijrah kepada ahli hakikat. Orang yang melihat dengan ‘mata’ Allah tidak dapat melihat kebenaran yang sejati. Orang yang melihat dengan ‘mata’ Rasul Allah yang dapat melihat kepada Yang Haq. Walaupun Allah s.w.t memperkenalkan sifat-Nya melalui sifat manusia tetapi itu hanyalah sekadar iktibar. Allah s.w.t tidak jadikan sifat-Nya sebagai sifat manusia. Siapapun yang mencoba menggunakan sifat Allah s.w.t akan terbaliklah akal dan hatinya. Orang yang sengaja berbuat demikian berkemungkinan menjadi tidak stabil mentalnya, biasanya dipanggil ‘isim’. Keadaan akal dan hatinya seumpama tayar kereta yang tidak seimbang, menggegarkan keseluruhan bagian kereta. Allah s.w.t telah meletakkan “mata kebenaran” pada Nabi Muhammad s.a.w. Hanya dengan memandang melalui ‘mata’ Nabi Muhammad s.a.w seseorang itu dapat menyaksikan kebenaran yang sejati lagi tulen.
Tidak Kami utuskan engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat ke seluruh alam. ( Ayat 107 : Surah al-Anbiyaa’ )
Sesungguhnya adalah bagi kamu pada (diri) Rasulullah itu satu teladan yang baik bagi orang yang percaya kepada Allah dan Hari Kemudian dan menyebut Allah (sebutan) yang banyak. (Ayat 21 : Surah al-Ahzaab )
Orang yang beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w dan mengikuti jalan baginda s.a.w akan sampai kepada kesudahan makam yaitu makam penetapan.
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada pada makam Amin (kedudukan yang aman). ( Ayat 51 : Surah ad-Dukhaan )
Makam Amin adalah makam penetapan, dikurniakan kepada mereka yang bertakwa. Tidak ada takwa jika tidak ada syariat karena takwa adalah memelihara syariat. Orang yang bertakwa mengakui kewujudan sempadan dan hukum-hukum. Mereka memelihara sempadan jalan yang lurus itu dan juga memerhatikan hukum-hukumnya. Perkara yang menyalahi syariat adalah umpama duri-duri di atas jalan dan orang yang bertakwa berjalan dengan menjaga tapak kakinya agar tidak terpijak duri.
39: Makam Penetapan
________________________________________
Orang kerohanian yang kembali kepada kesadaran kemanusiaan dan masuk kepada suasana penetapan, hidup sebagai seorang Muslim biasa. Orang arif dan orang awam dalam agama Islam tertakluk kepada hukum dan peraturan yang sama. Semuanya bertuhankan Tuhan Yang Satu. Semuanya berpenghulukan Nabi yang satu. Semuanya berkiblatkan Kiblat yang satu. Semuanya berimamkan Kitab yang satu. Sekalian kaum Muslimin bersaudara.
Aku reda Allah adalah Tuhan, Islam adalah agama, Muhammad s.a.w adalah Nabi dan Rasul, al-Quran adalah ikutan, Kaabah adalah Kiblat dan semua mukminin dan mukminat adalah saudara.
Aku naik saksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku naik saksi bahwa Nabi Muhammad s.a.w adalah Pesuruh Allah.
Pada makam penetapan orang arif bergerak dalam masyarakat separti air yang mengalir pada bumi, menghidupkan bumi yang mati. Bila bumi sudah hidup akan tumbuhlah pokok Islam yang akar tunjangnya teguh di dalam bumi dan pucuknya menggamit langit. Daunnya rendang menjadi tempat berteduh bagi musafir yang lalu sebentar di atas muka bumi. Buahnya enak dan lazat memberi kekuatan kepada musafir berjalan menuju destinasi.
Muhammad Pesuruh Allah! Dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang kafir (dan) berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka rukuk, sujud, mencari kurniaan dan keredaan Allah. Tanda-tanda mereka (ada) di muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka di Taurat dan sifat mereka di Injil, sebagai tanaman yang keluarkan tunasnya, lalu Dia teguhkan ia. Maka jadilah ia gemuk dan tegap berdiri di atas pangkalnya. (Adalah) karena Dia hendak jengkilkan kafir-kafir itu dengan (kesuburan) mereka (yang mukmin). Allah janjikan mereka yang beriman dan beramal salih dari mereka keampunan-Nya dan ganjaran yang besar. ( Ayat 29 : Surah al-Fat-h )
Setiap Muslim mestilah memilih benih yang baik untuk di tanam. Tuhan hanya menyediakan satu tempat saja sebagai kebun untuk bercucuk tanam. Tuhan memberikan kepada manusia satu peluang saja untuk mengusahakan ladangnya. Kebun tersebut adalah dunia dan peluang tersebut adalah hidup di dalam dunia ini. Tidak ada kebun lain dan tidak ada peluang lain. Pokok yang paling baik ditanam adalah pokok yang batangnya berdiri tegak, dahannya rukuk merendahkan diri dan julainya yang berat dengan buah sujud mencecah bumi dengan penuh kehambaan. Pokok yang baik mengeluarkan buah yang baik untuk kehidupan dunia dan ia terus berbuah di dalam kubur. Di akhirat kelak buahnya akan memberikan kegembiraan yang abadi.
Pengalaman zauk dan jazbah hanyalah kedudukan yang sementara, bukan penetapan dan bukan matlamat. Nabi Muhammad s.a.w memasuki pengalaman Israk dan Mikraj hanya satu bagian daripada malam saja. Dalam perjalanan yang mengambil masa yang singkat itu baginda s.a.w menerima perintah sholat lima waktu. Perintah sholat yang diterima dalam masa yang singkat itu membawa Nabi Muhammad s.a.w mengerjakan sholat sepanjang hayat baginda s.a.w. Pengalaman yang singkat membuka jalan kepada penetapan. Baginda s.a.w yang dikeluarkan daripada dunia sebagian daripada malam kembali semula ke dunia untuk meneruskan baki umur baginda s.a.w dan di dunia ini juga baginda s.a.w menghabiskan umur baginda s.a.w. Di sini juga jasad baginda s.a.w disemadikan. Begitulah jalan yang Tuhan tentukan untuk manusia yang paling mulia, paling sempurna.
Tuhan ciptakan Adam a.s tanpa ibu dan ayah. Tuhan ciptakan Isa a.s tanpa ayah. Tuhan ciptakan Kekasih-Nya, Muhammad s.a.w dengan beribu dan berbapa. Tuhan jadikan Kekasih-Nya itu merasai lapar, dahaga, sakit dan mati di dalam dunia. Sahabat-sahabat baginda s.a.w yang merupakan manusia pilihan kelas pertama melalui jalan yang demikian juga. Orang-orang yang benar yang datang kemudian melalui jalan itu juga. Itulah sebaik-baik jalan dan ia dinamakan Jalan Nabi atau Sunah Nabi Muhammad s.a.w.
Pada Jalan Nabi tentera Muslimin berperang dengan menggunakan pedang, kepintaran akal dan kekuatan jasmani. Mereka memukul dan dipukul. Mereka menerima luka-luka. Mereka membunuh dan dibunuh. Mereka selalu menang tetapi ada juga kekalahan. Namun mereka terus juga berjuang di dalam perbatasan manusia biasa. Mereka tidak bersandar kepada ilmu kebal atau ilmu menutup pandangan musuh. Mereka tidak bersandar kepada mukjizat. Jika Tuhan kirimkan mukjizat melalui Nabi-Nya mereka menerimanya dengan syukur. Jika Tuhan tetapkan mereka berperang dengan menggunakan bakat kemanusiaan biasa mereka terus juga berjuang dengan penuh semangat dan kesabaran.
Rasulullah s.a.w dan para sahabat telah menunjukkan cara menghadapi kehidupan sebagai manusia biasa. Baginda s.a.w bersama-sama sahabat yang paling mulia, Abu Bakar as-Siddik, telah menunjukkan contoh yang paling baik dalam menghadapi jabaran sewaktu melakukan hijrah. Konsep bertawakal yang sebenarnya diajarkan oleh Rasulullah s.a.w melalui peristiwa hijrah tersebut. Baginda s.a.w diutuskan untuk membimbing umat manusia yang tidak bisa terbang di udara atau berjalan di atas air dan juga tidak kebal. Jika orang yang membimbing menggunakan cara terbang di udara, berjalan di atas air, kenyang tanpa makan, tidak ditimpa penyakit, maka yang bisa mengikuti pembimbing yang demikian hanyalah para malaikat. Nabi Muhammad s.a.w dan pewaris perjuangan baginda s.a.w perlu bergerak dan bartindak di dalam sempadan kemanusiaan agar orang banyak bisa mengikuti mereka. Orang kerohanian yang kembali kepada kesadaran kemanusiaan akan bergerak sebagai manusia biasa juga. Mungkin ada perkara yang luar biasa keluar daripada mereka. Itu adalah sebagai anugerah Tuhan kepada mereka. Perkara tersebut tidak bisa dipandang sebagai identiti mereka.
Ahli hakikat yang kembali kepada kesadaran biasa akan hidup separti manusia lain juga. Pekerjaan utama mereka adalah menyeru umat manusia ke jalan Tuhan. Di samping itu mereka juga melakukan apa yang layak dilakukan sebagai manusia. Mereka membuat pekerjaan menurut bakat dan keupayaan yang Tuhan kurniakan kepada mereka. Sebagian daripada mereka menceburkan diri ke dalam bidang perdagangan untuk menjadi model kepada pedagang-pedagang yang lain. Ada yang menjadi pengusaha, nelayan, pemandu teksi, petani dan lain-lain. Golongan pilihan itu menyerap ke dalam masyarakat melalui semua bidang kehidupan agar umat manusia bisa menguruskan setiap bidang dengan mencontohi model yang Tuhan hantar kepada mereka. Manusia pilihan itu akan meneruskan kehidupan masing-masing menurut warna pencelupan pilihan Tuhan, sehinggalah mereka kembali kepada Tuhan dalam keadaan reda meredai.
Kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.
Di awal perjalanan kerohanian seseorang itu merasakan kehadiran Pembimbing Ghaib yang mengiringinya. Hadrat (kehadiran) tersebut senantiasa bersama-samanya sehingga dia sampai ke gerbang penetapan. Selama ‘dikuasai’ oleh Hadrat tersebut si hamba berada dalam suasana tidak bernama atau tidak ada identiti sendiri. Apa juga keberkatan yang diperolehinya diisbatkan kepada keberkatan Hadrat tersebut. Segala pengetahuannya diisbatkan kepada pengetahuan Hadrat berkenaan. Si hamba tidak mengakui sesuatu kebaikan itu sebagai kebaikan dirinya. Semuanya diisbatkan kepada Hadrat yang bersamanya.
Penguasaan Hadrat ghaib itu menjadi jazbah yang paling kuat menguasai seseorang yang berjalan pada jalan kerohanian. Hadrat inilah yang paling akhir berpisah dengan si hamba berbanding dengan semua pengalaman jazbah yang lain. Apabila si hamba masuk ke dalam kota penetapan, secara tiba-tiba saja si hamba menyedari Hadrat ghaib itu sudah kembali ke Hadrat Ilahi. Tugas Hadrat ghaib itu sebagai Pembimbing dan Protokol sudah selesai. Hadrat tersebut telah melaksanakan tugasnya membentuk si hamba itu menurut kehendak Allah s.w.t. Bila si hamba sudah bisa menguruskan dirinya sendiri Hadrat tersebut pun kembali kepada kedudukan urusan Allah s.w.t. Si hamba telah kembali kepada dirinya dengan lengkap dan sempurna. Dia sudah bisa memakai identitinya semula. Dia kembali kepada namanya yang sekian lama terpisah daripadanya. Peringkat perpisahan dengan Hadrat ghaib dan bersatu dengan nama dan identiti sendiri merupakan penetapan yang sebenarnya. Ia dinamakan makam penetapan yang teguh. Si hamba kembali kepada kedudukan sebagai satu individu yang memikul amanah dan ada tugas yang perlu dilaksanakannya. Pada tahap ini barulah bakat khalifah yang dikenalinya pada peringkat Hakikat Khalifah dahulu menjadi bakat dirinya. Khalifah Allah berurusan secara langsung dengan Allah s.w.t, tidak melalui perantaraan yang nyata atau yang ghaib, tidak ada tawasul. Orang yang masih menggunakan cara tawasul menandakan kesan mabuk belum lagi habis daripadanya.
Khalifah pada makam penetapan bukan separti khalifah pada makam hakikat. Khalifah Allah pada makam penetapan berpijak pada bumi nyata, tidak lagi ‘mencari-cari’ atau ‘memandang ke atas’ atau ‘menantikan sesuatu.’ Khalifah yang sudah menetap adalah golongan salihin dan siddiqin. Benar kedudukan syariat, benar kedudukan tarekat, benar kedudukan hakikat dan benar kedudukan makrifat pada satu kedudukan yaitu syariat yang lengkap. Inilah makam khalifah Allah yang menjadi pewaris nabi.
Khalifah Allah menguruskan daerah kekhalifahannya yaitu dirinya sendiri dan bidang pengkhususannya. Bidangnya yang paling penting adalah berdakwah ke jalan Allah. Bagi melakukan semua itu dia kembali ke dunia, menghadapi dunia yang diporak-perandakan oleh syaitan dan hawa nafsu. Dalam melaksanakan tugasnya dia dijaga oleh Allah s.w.t. Apabila Allah s.w.t menentukannya menguruskan hal-ihwal makhluk maka diberinya petunjuk dan kekuatan dalam melaksanakan tugasnya.
Allah s.w.t kurniakan kepada para khalifah-Nya kurniaan yang tidak rosak binasa. Mereka diberi kebagiaan yang tidak ada lagi kesusahan dan kesedihan. Nasib mereka menjadi baik dan tidak buruk lagi. Apa saja perkara keduniaan yang sampai kepada mereka sudah ditapis dan mereka menerima yang baik-baik saja. Kedudukan mereka akan ditinggikan dan tidak rendah lagi. Mereka menjadi pusat pertemuan orang banyak. Melalui sholat mereka kesulitan orang banyak dapat diselesaikan. Melalui doa mereka bala terangkat daripada orang banyak. Mereka menjadi pengawal kerohanian kepada orang-orang yang di dalam daerah kekhalifahan mereka. Apabila mereka sudah bersesuaian dengan Allah s.w.t dan perintah-Nya maka seluruh alam tunduk kepada mereka dalam keadaan merendah diri. Apabila mereka teguh menjaga diri daripada perkara yang haram, maka yang haram akan lari daripada mereka walau ke mana saja mereka pergi. Khalifah Allah adalah mereka yang kuat memerhatikan larangan Allah s.w.t, menjaga diri daripada terjerumus ke dalam perkara yang tidak disukai oleh Allah s.w.t dan mereka sangat bersegera di dalam melakukan ketaatan kepada-Nya.
Apa saja yang dari Allah s.w.t adalah nur. Malaikat yang bertugas menjalankan perintah Allah s.w.t adalah nur. Khalifah Allah diselimuti oleh nur suci. Nur pada matanya, nur pada telinganya, nur pada lidahnya, nur di kanannya, nur di kirinya, nur di hadapannya, nur di belakangnya dan seluruh maujudnya diselimuti oleh nur.
Takutlah kamu firasat orang mukmin karena mereka melihat dengan nur Ilahi. ( Maksud Hadis )
Si hamba yang dibaluti oleh nur tidak dibahayakan oleh kegelapan. Ilmunya adalah nur yang dari Allah s.w.t. Nur membuka tutupan sehingga yang benar nyata kebenarannya dan yang salah tidak dapat berselindung. Tidak ada lagi syak dan wasangka. Nur Ilmu menghapuskan kesamaran dan teka teki. Segala perkara adalah jelas dan nyata. Yang jelas dan nyata itu adalah kebenaran al-Quran dan as-Sunah.
Si hamba yang telah kembali kepada kesadaran kemanusiaan dan berupaya menguruskan hal-ihwal dirinya dan orang lain, diizinkan menikmati sepenuhnya bagian yang baik-baik yang diperuntukkan kepadanya. Bagian tersebut telah dipegang oleh Pemegang Amanah yaitu al-Waliyyu (Yang Memelihara) selama si hamba itu di dalam perjalanan demi kebaikan si hamba itu sendiri. Bila keupayaan khalifah dikurniakan kepadanya bagiannya juga dikembalikan. Apa yang menjadi bagiannya tidak dapat diambil oleh orang lain.
Ketika berjalan kepada Allah s.w.t dahulu diserahkannya semua hak dirinya kepada Allah s.w.t. Diserahkannya dirinya, namanya, sifatnya, bagiannya dan sekalian makhluk kepada Allah s.w.t. Kini Allah s.w.t mengembalikan semuanya itu kepadanya. Dirinya, namanya, sifatnya dan bagiannya kembali kepadanya. Makhluk juga kembali kepadanya. Dia menjadi pengurus terhadap apa yang Allah s.w.t kembalikan kepadanya. Pada zahirnya dia yang menguruskan tetapi pada hakikatnya Allah s.w.t, al-Waliyyu, yang menguruskan hal-ihwal si hamba itu. Hamba yang diuruskan oleh Allah s.w.t itulah yang dimaksudkan sebagai wali Allah dan khalifah Allah.
Si hamba yang sampai kepada makam penetapan menjadikan seluruh kehidupan ini sebagai ibadat. Lidahnya basah dengan zikir. Dia mengucapkan zikir yang biasa diucapkan oleh orang Islam biasa dan hatinya terikat dengan masjid. Dia juga berbakti kepada orang tuanya selaku anak yang salih. Allah s.w.t kurniakan kedudukan yang tinggi lagi mulia kepada hamba-Nya yang senantiasa ingat kepada-Nya, yang hatinya terikat dengan masjid dan yang berbakti kepada orang tuanya. Kedudukannya satu tingkat di bawah kedudukan nabi-nabi. Hamba yang demikian diliputi oleh Nur Arasy, sebagaimana yang telah disaksikan oleh Rasulullah s.a.w sewaktu baginda s.a.w Mikraj melepasi Sidratul Muntaha.
Maha Suci Allah s.w.t yang menciptakan satu golongan daripada umat manusia sebagai hamba-Nya yang pilihan untuk Dia taburkan rahmat-Nya kepada seluruh umat manusia, sekalian makhluk-Nya dan sekalian alam ciptaan-Nya.
40: Umat Yang Diasuh Oleh nabi Muhammad s.a.w
________________________________________
Para sahabat Rasulullah s.a.w bisa dibagikan kepada tiga golongan. Pertama adalah mereka yang memeluk Islam sebelum Rasulullah s.a.w berhijrah ke Madinah. Kedua adalah mereka yang memeluk Islam selepas Rasulullah s.a.w berhijrah ke Madinah. Ke tiga adalah mereka yang memeluk Islam sesudah pembebasan Makkah. Al-Quran telah meletakkan ketentuan bahwa golongan pertamalah yang paling mulia, diikuti oleh golongan ke dua dan seterusnya golongan ke tiga. Berdasarkan kenyataan al-Quran itulah Abu Bakar as-Siddik berhujah dengan kaum Ansar berhubung dengan isu perlantikan pengganti Rasulullah s.a.w. Kaum Ansar memperakui memang demikianlah kenyataan al-Quran. Oleh yang demikian golongan pertamalah yang berhak memegang jawatan amir dan golongan kedua jawatan wazir. Di antara yang paling mulia dalam golongan pertama, maka Abu Bakar as-Siddik adalah yang paling mulia. Neraca keadilan Umar al-Khattab telah menunjukkan keutamaan Abu Bakar as-Siddik. Sekalian kaum Muslimin membenarkan partimbangan Umar dan Abu Bakar as-Siddik dilantik menjadi khalifah umat Islam yang pertama.
Golongan pertama telah melalui jalan yang tidak dilalui oleh golongan-golongan yang lain. Mereka adalah yang pertama beriman kepada Rasulullah s.a.w. Mereka terpaksa membayar harga yang mahal demi agama mereka dan iman mereka. Hak asasi mereka dirampas oleh kaum Quraisy. Ketahanan iman mereka benar-benar diuji. Setelah mereka lulus ujian iman barulah Allah s.w.t mengeluarkan mereka daripada Makkah untuk melakukan satu laku pekerjaan yang sangat mulia, yang tidak dilakukan oleh golongan yang lain. Mereka memperolehi fadilat hijrah.
Setelah hijrah golongan pertama ini menjadi seumpama air meresap ke dalam golongan kedua untuk memberi kehidupan kepada mereka. Golongan kedua yang telah bersatu dengan golongan pertama telah menjadi kuat, dan kedua-duanya menjadi tentera Allah, para mujahidin. Hasil daripada perjuangan mereka itulah muncul golongan ke tiga dan seterusnya berkembang hingga ke hari ini dan sampai ke hari kiamat.
Di dalam golongan ke tiga terdapat orang-orang yang satu ketika dahulu sangat-sangat memusuhi Rasulullah s.a.w, kaum Muslimin dan agama Islam. Dari kalangan mereka ada orang yang pernah menyiksa kaum Muslimin, malah ada yang pernah membunuh orang Islam. Perjuangan golongan pertama dan ke dua bukanlah untuk membalas dendam atau untuk mencari keuntungan diri. Mereka adalah tentera Allah yang berkewajiban membawa agama Allah kepada umat manusia. Mereka adalah golongan manusia yang dipilih khusus untuk memimpin umat manusia agar selamat daripada neraka.
Ada sebagian cendikiawan yang datang kemudian tidak bersetuju dengan beberapa tindakan para Mujahidin itu. Mereka perlu memahami daya nilai kemanusiaan dan daya nilai Muslim. Manusia umum menggunakan bakat fitrah kemanusiaan dalam membuat penilaian. Fitrah kemanusiaan hanya berupaya menggunakan kekuatan akal fikiran sebagai sumber yang paling kuat. Fitrah Muslim pula tunduk menyerah kepada wahyu. Penyerahan kepada wahyu Tuhan dilakukan dengan iman, bukan dengan hujah dan takwil. Kaum Muslimin berkewajiban menundukkan fitrah asas kepada fitrah Muslim yang menyerah kepada berita yang datang dari Tuhan. Kaum Muslimin hendaklah tidak membuang perkataan Tuhan karena melihat kepada hukum logik fitrah asas.
Golongan pertama dan kedua menerima dengan baik orang-orang yang telah memusuhi mereka, menindas mereka, berperang dengan mereka dan membunuh saudara-saudara mereka. Keadaan demikian bisa terjadi karena sifat pemaaf yang kuat tertanam dalam jiwa kaum Muslimin yang diasuh oleh Rasulullah s.a.w.
Umat yang diasuh oleh Rasulullah s.a.w berpusat kepada dua perkara penting yaitu al-Quran dan masjid. Mereka menjadi umat yang belajar al-Quran, mengamalkan al-Quran dan menyebarkan al-Quran. Islam dan al-Quran bergandingan. Tidak dinamakan Islam tanpa al-Quran. Umat Nabi Muhammad s.a.w berkewajiban mempelajari al-Quran secara membaca, menghafal dan mengamalkan. Mereka juga berkewajiban menyebarkan apa yang mereka pelajari dan amalkan. Siapapun yang menerima agama Islam daripada Nabi Muhammad s.a.w melalui proses yang demikian. Setiap orang dibawa tunduk kepada perkataan Tuhan, bukan kepada fikiran, ilham atau kasyaf orang tertentu. Orang yang memiliki fikiran, ilham atau kasyaf berkewajiban mengharmonikan apa yang ada dengan mereka itu dengan perkataan Tuhan. Apa saja yang bercanggah dengan perkataan Tuhan mesti ditolak.
Masjid adalah tempat yang paling mulia bagi umat Nabi Muhammad s.a.w. Rasulullah s.a.w banyak menghabiskan waktu baginda s.a.w di dalam masjid. Baginda s.a.w bersholat di dalam masjid. Baginda s.a.w menerima tetamu di dalam masjid. Baginda s.a.w menyusun strategi peperangan di dalam masjid. Peraturan yang baginda s.a.w lakukan di salam masjid menjadi asas kepada perlantikan Abu Bakar sebagai pengganti baginda s.a.w, karena Abu Bakar dipilih oleh baginda s.a.w menjadi imam sholat semasa ketiadaan baginda s.a.w. Orang yang menjadi ketua kaum Muslimin adalah imam bagi saf yang berjemaah di dalam masjid. Begitulah pentingnya institusi masjid yang kepada umat yang dididik oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Al-Quran dan masjid menjadi dasar yang kukuh kepada umat Nabi Muhammad s.a.w menjadi golongan yang mencintai jihad. Mereka adalah golongan yang telah menjualkan harta dan nyawa mereka kepada Tuhan. Kecintaan mereka adalah kepada Allah s.w.t, Rasul-Nya dan berjihad pada jalan-Nya. Tidak ada yang mereka cintai melebihi yang tiga itu.
Semangat jihad pengikut-pengikut Nabi Muhammad s.a.w yang tidak ada tolok bandingnya dapat dilihat pada peristiwa Perang Uhud. Dalam peperangan tersebut 70 orang tentera Muslimin gugur syahid. Setelah para syuhada tersebut dikebumikan Nabi Muhammad s.a.w membawa mereka yang masih hidup pulang ke Madinah. Kebanyakan daripada mengalami kecederaan yang serius. Abdul Rahman bin Auf mendapat luka 20 liang. Hanya satu malam saja mereka berkesempatan berehat dan merawat luka mereka. Keesokan paginya para petugas telah menyeru semua tentera Muslimin yang menghadiri Perang Uhud kelmarin keluar untuk mengejar tentera musyrikin yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Hanya mereka yang menyertai peperangan kelmarin saja yang dibenarkan ikut serta. Betapa iman mereka diuji begitu hebat sekali oleh Tuhan. Mereka menyahut seruan tersebut tanpa ragu-ragu dan membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang benar-benar menjualkan diri dan harta mereka kepada Allah s.w.t. Mereka keluar semula daripada Madinah mengejar musuh yang telah mengalahkan mereka kelmarin. Mereka sanggup berbuat demikian karena iman. Mereka percaya kepada janji Allah s.w.t bahwa para syuhada sebenarnya tidak mati. Mereka terus memperolehi nikmat dan kurniaan Tuhan sekalipun mereka tinggal di dalam alam yang berbeda.
Selepas Perang Uhud, Jabir bin Abdullah duduk termenung mengenangkan ayahnya yang telah syahid, di antara 70 syuhada Uhud itu. Rasulullah s.a.w bertanyakan keadaannya dan dia menceritakan puncak kesugulannya. Rasulullah s.a.w bersabda: “Kalau Tuhan hendak berbicara dengan seseorang hanyalah dari sebalik hijab tetapi ayahmu dihidupkan dan Tuhan bercakap dengannya berhadapan. Lalu Tuhan berfirman, ‘Wahai hamba-Ku! Sebutlah apa yang engkau ingini nescaya Aku beri’. Dia menjawab, ‘Pintaku hanya satu wahai Tuhanku. Hidupkan aku sekali lagi supaya aku mati terbunuh kali ke dua pada jalan-Mu’. Tuhan menjawab, ‘Telah tertulis bahwa orang yang mati tidak akan kembali lagi’. Maka berkata pula hamba yang memohon tadi, ‘Wahai Tuhanku! Jika demikian sampaikanlah kepada makhluk-Mu yang telah aku tinggalkan bahwa betapa bagianya daku sekarang’”. Rasulullah s.a.w bersabda: “Kawan-kawanmu yang syahid di Uhud itu, arwah mereka disimpan oleh Tuhan di dalam rongga burung hijau, terbang dan hinggap di sekitar sungai-sungai syurga, makan buah-buahannya dan hinggap pada kidil-kindil emas yang tergantung di bawah naungan Arasy. Setelah mereka merasai kelazatan makanan dan minuman dan sambutan yang amat baik atas mereka, berkatalah mereka, ‘Alangkah baiknya kalau kawan-kawan kita yang masih hidup di dunia mengetahui apa yang diperbuat oleh Tuhan untuk menyambut kita ini. Siapakah agaknya yang kan menyampaikan kepada mereka di dunia bahwa kita ini hidup di dalam syurga dan tetap diberi rezeki, supaya mereka jangan enggan berjihad dan jangan takut berperang’. Tuhan menjawab, ‘Aku sendiri akan menyampaikannya’”.
Para mujahidin bergerak ke medan perang dengan ucapan: “Cukuplah Allah bagi kami dan Dia jualah sebaik-baik Penjaga”. Tekad mereka bulat. Keyakinan mereka penuh kepada kempimpinan Rasul Allah. Penyerahan mereka hanyalah kepada Allah s.w.t. Tugas mereka adalah menyebarkan apa yang Allah s.w.t sampaikan kepada Rasul-Nya. Mereka bekerja untuk menyelamatkan diri mereka, ahli mereka dan umat manusia umumnya daripada azab api neraka.
Pengikut Nabi Muhammad s.a.w hidup bersama-sama tiga perkara pokok yaitu al-Quran, masjid dan jihad. Jihad bukan saja mengangkat senjata. Dalam keadaan aman jihad mereka adalah memperkuatkan umat Islam secara rohani dan jasmani. Ahli ilmu memberi tumpuan kepada urusan mempelajari ilmu dan menyampaikannya kepada orang banyak. Dalam keadaan aman juga mereka berjihad merombak apa juga adat, kebudayaan dan peraturan yang tidak bersesuaian dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. Apabila datang hukum Tuhan mengharamkan arak, maka dengan senang hati mereka melepaskan keinginan dan tabiat meminum arak. Begitu juga dengan lain-lain peraturan yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. Mereka menerima perintah Tuhan dengan penuh kerelaan, tidak berdolak-dalih atau berhujah dengan kekuatan akal mereka bagi tujuan mengabaikan perintah Tuhan.
Nabi Muhammad s.a.w mengajar umat baginda s.a.w supaya memelihara ketulinan, keaslian dan kemurnian Islam. Baginda s.a.w mau umat baginda s.a.w membawa identiti sendiri yang mudah dikenal dan dibedakan daripada kaum lain. Umat Nabi Muhammad s.a.w berkewajiban memelihara ibadat mereka, upacara keagamaan mereka, adat dalam masyarakat, kebudayaan dan sebagainya agar semua itu benar-benar bersih daripada pengaruh agama lain.
Kaum Muslimin diberi kesadaran bahwa kemasukan pengaruh agama atau adat lain walaupun dipandang kecil, akan membuka jalan kepada kemasukan pengaruh yang lebih besar. Mempertahankan ketulenan Islam merupakan jihad juga. Umat Islam seharusnya bisa berkata dan menunjukkan dengan pasti bahwa yang ini Islam dan yang itu bukan Islam. Seharusnya ada sempadan yang jelas di antara Islam dengan bukan Islam. Misalnya, bagi upacara perkahwinan, seharusnya dikenalpasti sempadan Islam, yang dibisakan oleh Islam dan yang dilarang oleh Islam. Begitu juga bagi bidang-bidang perekonomian, politik pendidikan dan lain-lain. Apa juga yang datang dari luar yang bisa diterima oleh peraturan Islam hendaklah ‘diIslamkan’ terlebih dahulu, seumpama kulit binatang halal yang hendak digunakan disamakkan terlebih dahulu. Pekerjaan ‘menyamakkan’ segala ilmu, sistem, adat, kebudayaan, hukum dan lain-lain menjadi medan jihad yang sangat luas bagi cendikiawan Muslim. Setiap Muslim yang diberi kepakaran dalam sesuatu bidang sebenarnya diberi amanah oleh Tuhan supaya memelihara bidang yang menjadi kepakarannya itu agar berada dalam keadaan Islam. Kepentingan ekonomi, politik, kuasa atau sesuatu tidak seharusnya melunturkan warna Islam. Jihad cendikiawan Muslim dalam medan ini tidak akan habis sampai ke hari kiamat.
41: PENUTUP
________________________________________
Nabi Muhammad s.a.w adalah seorang ‘arkitek’ dan ‘jurutera’ yang paling arif dalam membuat rekabentuk dan mendirikan bangunan Islam. Siapapun saja yang mau mendirikan bangunan Islam mestilah merujuk kepada pelan dan bangunan yang sudah baginda asaskan pembinaannya. Dasar yang baginda s.a.w rekabentukkan sudah mengambil kira keperluan struktur tambahan yang akan diperlukan di kemudian hari nanti, sesuai dengan perubahan zaman dan suasana. Namun ada had struktur tambahan yang bisa diterimanya. Jika tambahan dilakukan secara tidak bersesuaian dengan pelan dasarnya maka yang dibina itu akan runtuh. Hanya arkitek dan jurutera yang mahir saja, yang ilmu mereka sesuai dengan ilmu Nabi Muhammad s.a.w yang bisa mendirikan struktur tambahan tanpa membahayakan bangunan yang dibina.
Benih Islam yang ditanam oleh Nabi Muhammad s.a.w sudah tumbuh menjadi sebatang pokok yang tegap dan rendang. Akar tunjangnya tertanam kejap di dalam bumi. Pokok tersebut sudah sempurna tumbuhnya sewaktu Nabi Muhammad s.a.w masih hidup. Ia telah mengeluarkan dahan-dahan, ranting-ranting, bunga-bunga dan buah-buah pada segenap arah. Tidak ada satu arah pun yang tidak dicapai olehnya. Walaupun begitu pokok yang begitu subur masih mampu mengeluarkan dahan baru, ranting baru, daun baru, bunga baru dan buah baru sebagai tambahan kepada pokok yang asal. Sekalipun bagian tersebut baru tumbuh tetapi ia tetap daripada pokok yang sama, yang tumbuh bersama peredaran masa. Selagi yang baru tumbuh itu daripada pokok yang sama maka ia tetap mempunyai zat yang sama dengan pokok yang ditanam oleh Rasulullah s.a.w. Sekiranya yang baru tumbuh itu datangnya daripada pokok yang baru ditanam, maka ia tidak sesuai lagi dengan pokok asal yang ditanam oleh Rasulullah s.a.w. Oleh yang demikian setiap Muslim haruslah berwaspada terhadap pembaruan yang dilakukan. Dahan dan ranting bisa bertambah tetapi mestilah daripada pokok yang sama.
Penambahan dan pembaruan bisa muncul dalam bidang yang bersangkutan dengan dunia dan juga akhirat. Perubahan zaman mengwujudkan sistem teknologi, perekonomian, sosial dan politik yang lebih kompleks. Jangan dikira sesuatu yang kompleks itu tidak dapat ditangani oleh Islam. Jangan mudah beralih kepada sesuatu yang bukan Islam. Selusur kembali dari ranting ke dahan, dari dahan ke batang dan seterusnya ke akar umbi. Jika proses penyelusuran itu dilakukan dengan bijaksana dan ia bisa kembali kepada dasarnya, maka yang sudah ada mampu menangani apa yang baru dijumpai itu. Jika tidak ditemui jalan kembali, maka mulaikan daripada akarnya, kepada batangnya, dan dahannya. Kemudian baru pergi kepada ranting yang baru tumbuh, yang terdapat buah kepada permasalahan yang baru mendatang itu.
Ketelitian yang lebih lagi diperlukan dalam menangani permasalahan yang menyentuh soal akhirat dan hubungan dengan Tuhan terutamanya dalam soal aliran tarekat. Walau apa juga nama diletakkan kepada sesuatu aliran tarekat itu, janganlah dialih pandangan daripada dasarnya, yaitu tarekat Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w dan para sahabat telah menunjukkan tarekat yang paling benar dan paling baik. Tarekat yang datang kemudian mestilah membentuk kehidupan yang bersesuaian dengan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat. Jangan membentuk ideologi dan tatacara yang tersendiri. Selagi tidak ditemui persesuaian dengan Sunah Rasulullah s.a.w janganlah dikira sudah berakhir perjalanan tarekat. Jika tidak ditemui juga, maka aliran tarekat yang sedang diikuti itu haruslah ditinggalkan karena ia mungkin dahan yang tumbuh daripada pokok yang tidak ditanam oleh Rasulullah s.a.w dan ia tidak mampu membawa kepada Yang Haq.
Tujuan kehidupan di bumi bukan mencari makam dan pengalaman kerohanian, tetapi membentuk kehidupan yang bersesuaian dengan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat. Peri kehidupan baginda s.a.w dan para sahabat hendaklah difahami benar-benar. Apa yang tersembunyi dalam Sir Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat nyata keluar sebagai buahnya yang dapat dilihat pada rupa tarekat, Islam, iman, tauhid, hakikat dan makrifat yang keluar daripada mereka. Sekaliannya itu menyata dalam perilaku kehidupan mereka. Setiap orang Islam mestilah mengeluarkan buah yang serupa, barulah benar-benar sah bahwa yang tersembunyi dalam dirinya serupa dengan yang ada pada Rasulullah s.a.w dan para sahabat. Jika perilaku masih menyerupai orang kafir, orang munafik, orang fasiq dan tidak melepaskan maksiat, janganlah dianggap diri sudah berada di atas jalan yang benar. Jika akhlak tidak mengikuti akhlak Rasulullah s.a.w dan para sahabat janganlah mengira diri sudah menjadi orang arif dan memiliki ilmu yang sesuai dengan ilmu Rasulullah s.a.w. Jika tidak dapat membedakan yang benar dengan yang batal janganlah menyangka diri sudah menjadi ahli hakikat dan ahli makrifat. Tidak dinamakan bermakrifat jika tidak mengenal hakikat yang benar dan yang salah, tidak tahu yang halal dan yang haram dan tidak bisa membedakan Tuhan dengan hamba Tuhan.
Tujuan bersyariat dan bertarekat adalah untuk menghidupkan alat yang di dalam diri yang mampu mengasingkan yang benar daripada yang batal, yang benar daripada yang salah. Apabila keupayaan mengasingkan yang benar daripada yang batal itu menjadi sifat yang sebati, barulah sah bahwa syariat dan tarekat yang diamalkannya itu mengeluarkan buah yang baik. Daya dan upaya yang memisahkan yang benar daripada yang salah secara spontan adalah buah kepada makrifat. Tanpa daya dan upaya tersebut orang yang mengaku dirinya bermakrifat sebenarnya menanam pokok yang tidak berbuah. Duri dan parasit yang muncul pada batangnya disangkakan buah yang enak. Akibatnya mereka memakan duri dan parasit tanpa mereka sedari.
Daya dan upaya yang mampu mengasingkan yang benar daripada yang salah secara spontan akan melahirkan ghirah (kecemburuan) dalam jiwa orang-orang yang beriman. Keghirahan itu yang membuat orang beriman mempertahankan kebenaran agamanya, tidak mengizinkan agama Islam dan Nabi Muhammad s.a.w dipersendakan atau diperhinakan dan tidak sekali-kali membiarkan perbuatan syirik dan mungkar bermaharajalela di dalam kalangan umat. Keghirahan itu yang membuat orang yang beriman mempertahankan peraturan Islam, tidak sekali-kali merombak apa yang sudah siap ditenun oleh Nabi Muhammad s.a.w. Hati mukmin yang ghirah mencintai Allah s.w.t, mencinta Rasul Allah, mencintai berjuang pada jalan Allah dan juga mencinta makhluk Allah. Sahabat-sahabat baginda s.a.w telah membuktikan kecintaan mereka kepada umat manusia dengan kesediaan diri mereka terkorban dan harta benda mereka melayang demi menyelamatkan umat manusia daripada api neraka. Mukmin yang ghirah bekerja menarik manusia kepada syurga dan menutup jalan-jalan ke neraka.
Segala puji-pujian bagi Allah, Pemelihara sekalian alam. Selawat disertai salam atas yang paling mulia di antara Rasul-rasul, Muhammad Rasul yang Amin, dan atas sekalian keluarga dan sahabat-sahabat baginda.
Maha Suci Tuhan dengan segala Kemuliaan-Nya dan berfirman dengannya. Maha Suci Tuhan yang bersifat dengan Kebesaran dan Kemurahan. Maha Suci Tuhan yang menghinggakan bilangan sesuatu dengan Ilmu-Nya. Maha Suci Tuhan yang tiada layaknya Tasbih melainkan untuk-Nya. Maha Suci Tuhan yang mempunyai nikmat dan kurnia. Maha Suci Tuhan yang memiliki Kebesaran dan Kemuliaan. Maha Suci Tuhan yang mempunyai kekuasaan. Daku bermohon kepada Tuhan dengan Kemuliaan Arasy-Mu dengan Rahmat-Mu yang setinggi-tingginya dari Kitab-Mu, dengan Nama-Mu Yang Agung. Kesungguhan-Mu yang tinggi dan Kalimat-Mu Yang Sempurna lagi Lengkap yang tidak dilampaui oleh orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat kejahatan. Anugerahilah Rahmat Kurnia-Mu kepada Nabi Muhammad s.a.w dan keluarga Nabi Muhammad s.a.w.
Wahai Tuhan yang mensejahterakan. Sejahterakanlah agama kami, sejahterakanlah iman kami, sejahterakanlah tauhid kami, sejahterakanlah makrifat kami, sejahterakanlah roh kami dan sejehterakanlah jasad kami. Wahai Yang Memberi Rahmat dan Yang Mengasihani.
Wahai Tuhan kami. Janganlah Engkau seksa kami sekiranya kami lupa atau kami keliru. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan atas kami seksa sebagaimana Engkau pikulkan atas orang-orang yang terdahulu daripada kami. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan atas kami (perintah-perintah) yang tidak kuat kami mengerjakannya; dan hapuskanlah (dosa-dosa) kami, dan lindungilah kami (daripada dosa-dosa), dan kasihanilah kami. Engkau jua Penolong kami; oleh sebab itu tolonglah kami atas (mengalahkan) kaum yang kafir.
Wahai Tuhan kami! Berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat pun kebaikan. Dan peliharalah kami daripada seksaan neraka.
Selawat serta salam ke atas Sayyidina Muhammad, ke atas keluarga dan sahabat-sahabat baginda s.a.w.
Maha Suci Tuhanmu, Tuhan Maha Perkasa dari apa yang mereka sifatkan. Dan sejahtera atas mereka yang diutus. Dan segala puji kepunyaan Allah, Tuhan bagi sekalian alam.
MOHAMAD NASIR BIN MAJID
(TOK FAQIR AN-NASIRIN)
Seberang Takir
KEBENARAN HAKIKI
KATA PENGANTAR
________________________________________Segala pujian terkhusus bagi Allah s.w.t, Pencipta sekalian alam. Selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w serta seluruh pejuang kebenaran sehingga akhir zaman.
Manusia merupakan makhluk istimewa dicipta oleh Allah s.w.t namun, keistimewaan tersebut bergantung kepada realiti dirinya, kesadaran serta ketaatan terhadap apa yang diperintahkan oleh Penciptanya. Kemuliaan manusia sehingga dilantik menjadi khalifah dan diangkat menjadi rasul-rasul dan nabi-nabi adalah membuktikan tentang hakikat kejadian tersebut serta tanggungjawab yang bakal dipikul olehnya.
Jabaran duniawi yang besar serta liputan kebenaran yang senantiasa tertutup oleh pandangan kebendaan, hawa nafsu dan dorongan jiwa yang rendah menyebabkan manusia senantiasa mencari jalan-jalan yang pelbagai. Ada yang mencoba mengarti hakikat kejadian alam dan keindahan; lalu ia tersungkur dengan keindahan alam yang tidak berpenghujung kepada Penciptanya. Ada yang mencari kedamaian dengan melalui pelbagai jalan yang difikir oleh akal, tanpa panduan Ilahi; lalu ia melalui jalan-jalan kesesatan dan berakhir dengan kefanaan dalam kesesatan. Benarlah wahyu Allah s.w.t dalam hadis Qudsi yang bermaksud:
Betapa banyak angin yang bartiup mematikan lampu-lampu,
Betapa banyak abid, musnah disebabkan rasa bangga dan ujub,
Betapa banyaknya orang kaya, musnah karena kekayaannya,
Betapa banyak orang fakir, musnah karena kefakirannya,
Betapa banyak orang yang sehat, musnah karena kesehatannya,
Betapa banyak orang alim, musnah karena ilmunya,
Betapa banyak orang jahil, musnah karena kejahilannya
Pencarian jalan yang benar mestilah lahir dari kesadaran yang benar kemudian melalui hanya lorong-lorong makrifah yang telah dirintis oleh Rasulullah s.a.w dan para sahabat. Pencarian ini bilamana telah melalui jalannya yang benar, bukan sekadar mampu mengutip mutiara keindahan makrifah, tetapi jauh di sebalik itu, ialah kemampuan untuk membawa dan membesarkan laluan tersebut, agar dengannya tidak akan membawa manusia ke jalan yang sesat, dan memandu manusia lain untuk melalui jalan tersebut.
Sebagian manusia takut untuk melalui jalan-jalan yang masih kabur, agar ia selamat dari kesesatan; walaupun di saat yang sama ia berada dalam kegelapan. Terdapat pula kumpulan yang berhati-hati untuk menempuhi jalan-jalan ini. Tindakan ini ada kebaikannya, karena bilamana datang pertunjuk dan panduan maka ia akan menerangi jalan-jalan yang gelap tersebut, dan ia seharusnya menjalani jalan-jalan tersebut setakat yang ia yakin dengan kebenarannya. Hakikat ini dijelaskan oleh Allah s.w.t dengan firman-Nya yang bermaksud:
“Kilat itu pula hampir-hampir menyambar penglihatan mereka; setiap kali kilat itu menerangi mereka (dengan pancarannya) mereka berjalan dengan cahayanya, dan apabila gelap menyelubungi mereka, berhentilah mereka menunggu dengan kebingungan. Dan sekiranya Allah menghendaki, nescaya dihilangkan pendengaran dan penglihatan mereka; sesungguhnya Allah Maha berkuasa di atas segala sesuatu”.
Namun apa yang lebih membimbangkan ialah ketakutannya untuk mencari dan meneliti jalan-jalan kebenaran menyebabkan ia terus berhenti di atas kesesatan yang berpanjangan. Firman Allah s.w.t yang bermaksud:
“Mereka (seolah-olah) orang yang pekak, bisu dan buta. Dengan keadaan itu mereka tidak akan dapat kembali kepada kebenaran”.
Hakikat kebenaran bukanlah jalan yang sukar, karena laluannya dipenuhi dengan lampu pertunjuk yang senantiasa menerangi manusia. Hanya keinginan untuk menempuhi jalan-jalan tersebut serta kejahilannya menyebabkan ia menyangka jalan-jalan kenabian dan kerasulan, dengan berpegang kepada Islam, akan menyebabkan mereka tidak lagi dapat menikmati keindahan duniawi, lalu kehidupannya akan malap dan tidak bersinar (ceria). Bisikan kebatilan ini terus menghantui jiwa manusia, lantaran itulah jalan-jalan kebenaran walaupun telah diterangi dengan panduan cahaya pertunjuk Ilahi, masih tidak mendapat tempat yang sewajarnya.
Kita tidak seharusnya menafikan juga kebimbangan ini disebabkan oleh sejarah lampau yang menakutkan manusia untuk melalui jalan-jalan tarekat dan tasauf, yang terlalu banyak didorongi oleh nilai-nilai mistik yang mengelirukan, bercampur dengan penyelewengan dan kekeliruan yang dibina di atas nama tarekat dan tasauf; tambahan pula perkembangan ideologi rasionalisma yang menguasai dunia kini yang disertakan dengan budaya lojik yang terpahat dalam minda manusia kini, menyebabkan jalan-jalan ini tidak mendapat kedudukan yang sepatutnya. Lantaran itu, keindahan syariat Islam hanyalah serpihan yang berkecai dalam setiap sudut. Ia umpama permata yang tiada sinar atau bunga yang telah hilang madunya, maka jadilah manusia kini sebagai manusia yang telah hilang kemanusiaannya.
Buku Kebenaran Hakiki tulisan saudara Mohamad Nasir diharapkan menjadi pembuka minat kepada umat Islam untuk mengetahui kebenaran dan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Dengan menggunakan pendekatan yang mudah serta persembahan yang menarik, maka diharapkan pembaca akan lebih dekat memahami beberapa persoalan yang berlaku dalam sejarah umat Islam; di samping panduan dalam kehidupannya. Pendekatan yang beliau gunakan dalam penulisan ini bukanlah sesuatu yang asing atau baru; hanya masing-masing penulis mengolah dengan gayanya tersendiri dan beliau adalah sebagian dari umat Islam yang memikirkan sesuatu sumbangan yang bisa diberikan kepada perjuangan dan kemurniaan aqidah Islam.
Meneliti nukilan saudara Nasir, maka saya mempunyai anggapan besar ia akan menjadi suatu hasil penulisan yang mencoba menjelaskan hakikat jalan-jalan yang indah, yang mencoba dikongsikan bersama pembaca yang lain. Walaupun hakikat keindahan sesuatu tidak akan sama antara yang melalui dan merasainya dengan segolongan yang hanya mengetahui melalui pembacaan atau mendengar dari seseorang yang menempuhi jalan-jalan tersebut, “Keenakan sebiji buah hanya dapat dihayati oleh yang memakannya”, namun diharapkan ianya menjadi pendorong yang kuat kepada semua pembaca untuk meneruskan penelitian dan pengamatan terhadap jalan-jalan kebenaran yang murni ini, agar seluruh keindahan Islam dapat dihayati dalam artikata sebenar, zahir dan batin.
Saya mengakui pengamatan yang singkat yang saya lakukan mungkin mempunyai banyak kelemahan, namun dengan rendah diri saya memohon tunjukajar dan pandangan baik semua pembaca. Penulisan ini diharapkan menjadi dorongan kepada penulis untuk terus berkecimpung memberikan sumbangan untuk kemajuan dan meningkatkan lagi khazanah ilmuan Islam.
Semoga diberkati Allah s.w.t.
Akhukum fil Islam
Dato’ Haji Tuan Ibrahim bin Tuan Man
Pensyarah Kanan
ITM Cawangan Pahang
20 April 1999.
MUKADIMAH
________________________________________Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang. Segala puji-pujian bagi Allah, Pemelihara sekalian alam. Selawat disertai salam ke atas yang paling mulia di antara Rasul-rasul, Muhammad Rasul yang Amin, dan atas sekalian keluarga dan sahabat-sahabat baginda s.a.w.
Segala puja dan puji sekaliannya hanya untuk Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Agung, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Perkasa, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Kami panjatkan syukur atas segala rahmat, nikmat, taufik, hidayat dan segala kurniaan-Mu yang tidak pernah putus sejak zaman azali hinggalah kepada zaman abadi. Walau bagaimanapun suci puji-pujian kami terhadap diri-Mu namun, Engkau meninggi dan melampaui apa yang kami ucapkan, rasakan dan apa yang terlintas dalam fikiran dan penghayatan kami. Sesungguhnya Engkau adalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Berdiri Dengan Sendiri, Pencipta sekalian makhluk. Walau bagaimana luas sekalipun kesyukuran kami namun, ia hanyalah sezarah di dalam ruang kurniaan-Mu. Kami sandarkan puji dan puja kami terhadap-Mu kepada puji dan puja-Mu terhadap diri-Mu sendiri agar apabila Engkau Memuji diri-Mu Engkau mengingati pujian kami terhadap diri-Mu. Kami sandarkan kesyukuran kami kepada rahmaniat-Mu agar apabila Engkau meratai segala kurniaan-Mu dengan rahmaniat-Mu, Engkau mengingati kami yang bersyukur terhadap segala kurniaan-Mu. Sebesar-besar kurniaan-Mu kepada kami adalah Engkau utuskan kepada kami kekasih-Mu, Nabi Muhammad s.a.w. Selawat dan salam buat Rasul junjungan, juga buat keluarga dan sahabat-sahabat baginda s.a.w yang telah menjualkan jiwa dan harta mereka kepada Allah s.w.t demi ketaatan dan kecintaan mereka kepada Allah s.w.t dan Rasul-Nya serta berjihad pada jalan-Nya.
Wahai Tuhan kami! Dengan taufik dan hidayat-Mu yang maha luas, dapatlah kami menyudahkan penulisan kitab “Kebenaran Hakiki” ini selepas lebih daripada tujuh tahun memulaikannya. Tempuh tujuh tahun lebih itu kami rasakan separti baru kelmarin karena setiap saat yang kami gunakan dalam urusan-Mu Engkau payungi kami dengan rahmat-Mu. Tidak ada pekerjaan yang sukar dan berat apabila ia dilakukan demi mematuhi perintah dan kehendak-Mu.
Ya Tuhan! Kami sujud ke Hadrat-Mu dan kami mengaku bahwa sesungguhnya Engkau adalah Tuhan dan kami adalah hamba-Mu. Apa juga yang kami perolehi daripada nikmat ilmu, nikmat zahiriah dan nikmat batiniah semuanya adalah kurniaan-Mu. Segala kebaikan yang Engkau kurniakan kepada kami, kami kembalikan kepada-Mu. Segala keburukan dan kecacatan yang keluar daripada kami adalah karena kegelapan hati kami. Kami memohon keampunan dan kemaafan-Mu. Ampunkanlah juga dosa ibu-bapa kami dan kasihanilah mereka sebagaimana mereka menjaga kami dengan penuh kasih sayang, wahai Tuhan Yang Ghafur.
Kami memulaikan perjalanan kami sebagai orang yang tidak mengetahui apa-apa tentang tarekat, hakikat, makrifat, Sir dan lain-lain yang biasa diperkatakan oleh orang-orang tasauf. Penggerak kami adalah pembukaan daripada Allah s.w.t Yang Maha Mengasihani. Ketika kami sedang hanyut di dalam kelalaian arus angan-angan, Dia dengan Kasihan Belas-Nya membawa kami menghadap kepada-Nya. Apa yang telah dibukakan kepada kami walaupun dalam tempoh yang singkat tetapi memerlukan masa lebih daripada tujuh tahun untuk memahami dan menguraikannya.
Dalam proses tersebut kami banyak bertanya dan membaca buku-buku tasauf. Dalam perjalanan kami, kami telah bertemu dengan orang-orang yang membuang kehambaan dan berpegang kepada pemahaman penyatuan dengan Tuhan. Kami temui kitab-kitab tulisan tangan yang kononnya ilmu para wali. Apabila mengambil perkataan orang yang demikian dan kitab yang demikian, kami menjadi lebih keliru. Dalam satu segi, diperkatakan tentang perjalanan nafsu dan latihan kerohanian yang sama dengan apa yang dikatakan oleh ulama tasauf yang muktabar. Mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran dan kisah-kisah Rasulullah s.a.w juga, tetapi di sana sini terdapat pemahaman tersendiri mengenai maksud ayat-ayat al-Quran dan ada pula cerita-cerita tentang Rasulullah s.a.w yang tidak bisa ditemui dalam kitab-kitab sejarah. Perkara yang paling mengelirukan adalah yang mengenai akidah. Berpegang kepada orang-orang yang demikian dan kitab-kitab yang demikian membuat seseorang tidak tahu di mana mau diletakkan al-Quran dan al-Hadis.
Kitab-kitab tasauf yang bisa didapati di kedai-kedai buku, sebagian daripadanya memperbesarkan jazbah, zauk, fana, bersatu dengan Tuhan dan baqa dengan Tuhan. Pada satu peringkat kami menyangkakan bersatu dengan Tuhan itulah tahap paling tinggi bisa dicapai oleh manusia. Orang yang bersatu dengan Tuhan itulah orang yang sudah benar-benar ‘sampai’. Walaupun anggapan yang demikian muncul di dalam hati tetapi di satu bagian hati yang tersembunyi menolak anggapan tersebut.
Kami bersyukur kepada Allah s.w.t yang telah mempertemukan kami dengan kitab-kitab karangan Imam Ibnu Athaillah, Syeikh Muhammad Abdul Haq Ansari mengenai sufisma yang dibawa oleh Syeikh Ahmad Sirhindi, Syeikh Abdul Qadir Jilani, Imam an-Nafari dan lain-lain yang telah membuka pandangan kami, dengan izin Allah s.w.t. Semoga Allah s.w.t mengurniakan rahmat yang berlimpah ruah kepada arwah mereka sekalian.
Kitab al-Hikam karangan Imam Ibnu Athaillah telah memainkan peranan yang penting kepada kami dalam perjalanan mencari jawaban. Apa yang kami temui melalui kata-kata hikmah Imam Ibnu Athaillah itu telah kami susunkan dalam bentuk buku yang kami beri jodol “Syarah al-Hikam”.
Pandangan kami menjadi lebih jelas lagi setelah membaca keterangan yang diberikan oleh Syeikh Ahmad Sirhindi dalam kitab yang disusun oleh Syeikh Muhammad Abdul Haq Ansari. Di atas tapak yang dibina oleh Syeikh Ahmad Sirhindi itu kami mempelajari sejarah kehidupan Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w. Ia telah memberi pemahaman yang tetap kepada kami. Barulah kami dengan yakin menolak kitab-kitab yang diedarkan secara bersembunyi yang kononnya atas alasan ilmu para wali tidak bisa diberikan kepada orang banyak.
Apa yang kami temui dan kami fahamkan itu kami tuliskan sebagai kitab “Kebenaran Hakiki” ini. Semoga keterangan di dalamnya bisa membantu saudara-saudara kami yang masih mencari-cari.
Dengan segala kerendahan hati kami nyatakan bahwa kami bukanlah dari golongan ulama tasauf. Apa yang kami tuliskan adalah berdasarkan pengalaman dan kajian kami. Adalah lebih baik jika saudara-saudara yang membaca kitab ini merujuk semula kepada orang yang alim dalam bidang ini.
Kami serahkan pekerjaan kami kepada Allah s.w.t. Segala kebaikan yang ada pada kitab ini adalah hak Allah s.w.t. Kekurangan dan kecacatannya adalah karena kejahilan kami. Segala puji dan puja hanya untuk-Nya.
Sesungguhnya Engkau yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Mu. Terimalah dan berkatilah pekerjaan kami. Amin!
Penghargaan yang tidak terkira kami tujukan kepada sahabat kami, Dol @ Zulkifli bin Abdullah, yang telah banyak membantu kami dengan menyediakan keperluan-keperluan kami bagi memudahkan pekerjaan kami menyiapkan kitab ini. Penghargaan kami juga kepada sahabat-sahabat yang lain yang telah memberi teguran dan pandangan yang baik berhubung penulisan kitab ini. Semoga Allah s.w.t memberkati mereka sekalian.
Kami teramat berhutang budi kepada Ybg. Dato’ Haji Tuan Ibrahim bin Tuan Man, yang di dalam kesibukan beliau masih juga memberi ruang untuk meneliti kitab “Kebenaran Hakiki” ini serta memberi pandangan dan teguran yang membina. Sentuhan ikhlas beliau telah menambahkan semangat serta keyakinan kami di dalam pekerjaan kami. Semoga Allah s.w.t senantiasa memelihara dan memberkati beliau.
Kami sangat bersyukur kepada Allah s.w.t yang telah meneguhkan kesabaran ahli-ahli kami yang terpaksa menanggung berbagai-bagai kesulitan selama kami berada dalam pekerjaan ini.
Semoga Allah s.w.t mengurniakan ganjaran yang melimpah ruah kepada mereka semua. Amin!
Wassalam.
MOHAMAD NASIR BIN MAJID
(TOK FAQIR AN-NASIRIN)
Seberang Takir.
1: NABI MUHAMMAD S.A.W DIUTUSKAN UNTUK MENYELAMATKAN UMAT MANUSIA
________________________________________
KEADAAN DUNIA SEBELUM KELAHIRAN NABI MUHAMMAD S.A.W:
Dunia pada abad ke enam Masehi adalah umpama seorang yang sedang sakit tenat, tersangat memerlukan kepada penyelamat dan perawat yang mahir untuk mengobati penyakitnya dan menyelamatkannya daripada berbagai-bagai huru-hara dan kemusnahan. Semua bangsa-bangsa di seluruh pelosok dunia dicengkam oleh kegelapan akidah dan kehancuran moral. Bangsa Aria di Sepanyol dan di selatan Perancis terlibat di dalam perebutan kuasa dengan kerajaan Clovis yang bermazhab Katholik. Bangsa Aria yang mendapat bantuan daripada kerajaan Roman Timur berjaya menewaskan kerajaan Clovis. Setelah berjaya menewaskan kerajaan Clovis, bangsa Aria berperang pula menentang kerajaan Roman Timur yang telah membantu mereka, karena berebut kuasa ke atas tanah jajahan. Di negeri Inggeris pula bangsa Anglo dan bangsa Saxon terlibat di dalam kes perebutan tanah juga. Di Itali, kekuasaan kerajaan Roman sudah sangat lemah, lalu ia berpindah kepada kekuasaan gereja (agama Masehi). Kerajaan Yunani pula sudah dijajah oleh kerajaan Roman Timur.
Bangsa-bangsa yang kuat di Eropah sering menceroboh kedaulatan bangsa-bangsa yang lemah di Eropah Selatan. Bangsa Got dan bangsa Han berlumba-lumba memperluaskan tanah jajahan. Di tengah-tengah Asia Kecil muncul bangsa Turki yang berjaya menyekat perkembangan kekuasaan Yunani. Mana-mana bagian dunia yang dikuasai oleh kerajaan Roman Timur mengalami kerosakan teruk akibat kekejaman perang dan kezaliman pemerintah. Bukan kerajaan Roman Timur saja yang melakukan kerosakan di atas muka bumi malah, siapapun saja yang berjaya memperolehi kemenangan telah melakukan keganasan dan kerosakan, bahkan ada yang lebih ganas dan kejam daripada Roman Timur.
Bukan di Eropah saja bergolak. Pergolakan berlaku juga di Asia. Di Tibet, India dan Cina muncul pemahaman-pemahaman yang ganjil-ganjil dan kepercayaan mistik yang sukar difahami, baik dalam bidang keagamaan dan falsafah dan juga dalam bidang siasah. Perbedaan pemahaman keagamaan, falsafah dan siasah sering menjadi isu yang menyebabkan persengketaan sesama sendiri. Keadaan diburukkan oleh lagi oleh peperangan yang berlaku dengan orang luar.
Kerajaan Masehi Roman Timur yang berpusat di Konstantinopal terlibat di dalam kancah peperangan dengan kerajaan Parsi. Kemenangan sering bertukar tangan di antara mereka. Selain kerajaan Parsi, kerajaan lain yang lebih kecil dapat dikalahkan oleh kerajaan Roman. Sayap penindasan kerajaan Roman sampai juga ke Mesir.
Dunia pada ketika itu penuh dengan kebuasan, kezaliman dan pertumpahan darah. Umat manusia lebih berminat melakukan kerosakan daripada berbuat kebaikan dan perdamaian. Pemimpin bukan lagi menjadi pelindung dan penyelamat rakyat malah, merekalah yang lebih dahulu menindas rakyat yang mereka pimpin. Nyawa manusia menjadi tidak berharga asalkan nafsu buas pemimpin yang berkuasa mendapat kepuasan. Sikap belas kasihan kepada rakyat yang lemah sangat jarang ditemui di kalangan golongan yang berkuasa.
Pada ketika itu masih ada golongan yang berpegang kepada nilai-nilai murni yang diajarkan oleh agama tetapi mereka tidak ada kekuatan untuk melakukan perubahan atau menyekat kerosakan yang melanda dunia dan umat manusia. Suara keagamaan tidak cukup lantang untuk sampai ke telinga orang-orang yang berkuasa. Di kebanyakan tempat pihak yang berkuasa mengadakan tekanan dan kongkongan terhadap ahli-ahli agama sehingga cahaya agama yang sebenar tertutup dan diperlihatkan cahaya agama yang telah diwarnai oleh pihak pemerintah. Seluruh pelosok bumi sudah dicalarkan oleh kuku kuasa-kuasa besar, hanya satu tempat saja pada ketika itu yang masih selamat daripada kuku kerosakan penjajah. Tempat tersebut adalah Tanah Arab. Semenanjung Arab bukan diselamatkan oleh kekuatan dan kepintaran penduduknya tetapi ia diselamatkan oleh kekuatan alam semula jadi bumi bertuah itu. Lautan padang pasir dan gunung-ganang menjadi benteng pertahanan yang kuat menghalang permencobaan kuasa besar untuk masuk ke dalamnya.
Umat manusia sangat berhajat kepada penyelamat yang mampu mengadakan perubahan, membela nasib golongan yang lemah dan memperbaiki segala macam kerosakan yang telah melanda dunia. Seluruh dunia sudah berada di dalam keadaan huru-hara, hanya bumi Arab yang masih bertahan. Bumi yang dipelihara itu menjadi tempat yang paling sesuai untuk dijadikan markas bagi penyelamat yang akan datang memulaikan tugas demi umat manusia seluruhnya.
SEMENANJUNG ARAB SEBELUM KELAHIRAN NABI MUHAMMAD S.A.W:
Walaupun sebagian besar daripada Semenanjung Tanah Arab tidak berjaya dijajah oleh kuasa-kuasa besar namun, sebagian daripadanya tidak terlepas daripada kuku penjajah. Bahrain dan Irak dijajah oleh kerajaan Parsi. Syria pula dijajah oleh kerajaan Masehi Roman Timur. Arab Hijaz dan Arab Tengah agak bernasib baik, walaupun mereka ada persepemahaman untuk tunduk kepada kerajaan Parsi tetapi ia tidak dikuatkuasakan.
Di antara semua penduduk Arab, kaum Badwi yang tinggal di pergunungan dan padang pasir menjadi satu-satunya golongan Arab yang benar-benar bebas daripada mana-mana kekuasaan penjajah. Mereka jugalah kemudian hari kelak menjadi tenaga pejuang yang paling kuat di dalam menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok bumi Arab dan juga lain-lain tempat di atas muka bumi.
Sebelum Islam muncul di Tanah Arab, agama-agama Masehi dan Yahudi dan juga agama menyembah berhala sudah pun bertapak di sana. Di antara mereka penganut agama Yahudilah yang paling fanatik dan agresif. Mereka bukan sekadar mau menjajah untuk mendapatkan kuasa dan harta malah mereka sangat benci dan memusuhi siapapun saja yang tidak seagama dengan mereka. Mereka menganggapkan kekuasaan ke atas bangsa-bangsa lain sebagai satu jihad yang mulia. Di dalam melakukan jihad tersebut mereka membisakan diri mereka melakukan apa saja asalkan tujuan mereka tercapai. Penindasan keagamaan yang berlaku di Tanah Arab biasanya ada kaitan dengan penganut agama Yahudi. Ketika berkuasa di Yaman orang-orang Yahudi telah membakar 20,000 penganut agama Masehi yang enggan menerima agama Yahudi. Pembunuhan bebanyak-banyak manusia yang tidak bersalah itu telah mencemarkan kemurnian agama Yahudi dan pencemaran tersebut diperturunkan kepada generasi Yahudi yang di belakang.
Agama Masehi pula kurang mendapat tempat di hati orang-orang Arab. Agama yang telah diresapi oleh pemahaman mistik yang pelik-pelik itu tidak menarik minat orang Arab yang umumnya bersifat kebendaan. Walaupun ada sebilangan kecil orang Arab yang memeluk agama Masehi namun, agama tersebut tidak berjaya disebarkan dengan meluas.
Agama yang paling popular kepada orang-orang Arab adalah agama menyembah berhala. Mereka yang masih percaya kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi tidak terlepas daripada perbuatan syirik yaitu mengadakan berhala-berhala sebagai perantaraan di antara mereka dengan Tuhan. Beberapa buah berhala besar dibina di beberapa tempat. Di samping mempertuhankan berhala-berhala besar, suku dan keluarga Arab mempunyai berhala-berhala kecil yang juga dipertuhankan.
Selain daripada penyembah berhala ada juga suku-suku Arab yang menyembah bulan dan bintang, separti suku-suku Kinanah, Lakham, Jurhum, Asad dan Tayyi. Kebanyakan daripada orang Arab tidak percaya kepada hari akhirat. Mereka beranggapan hidup ini berakhir dengan kematian. Oleh itu segala perkara mesti diselesaikan di dunia ini juga. Ada juga sebagian daripada mereka yang percaya kematian bukan kesudahan kehidupan, terutamanya bagi orang yang mati dibunuh. Golongan ini percaya mangsa pembunuhan tidak dapat hidup aman pada alam lain sebelum dilakukan pembalasan terhadap pembunuhnya.
Ada juga segelintir golongan Arab yang percaya kepada malaikat. Mereka percaya malaikat berhubung dengan orang-orang suci di kalangan mereka. Mereka yang dianggap suci itu dijadikan perantaraan untuk berhubung dengan malaikat dan juga dengan Tuhan. Selain daripada golongan tersebut ada pula golongan yang percaya kepada dua tuhan yaitu tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan. Tuhan kebaikan menjadikan yang baik-baik saja dan tuhan kejahatan menjadikan yang jahat-jahat saja.
Golongan yang paling mulia di Makkah yaitu golongan Quraisy menganut pemahaman zindik, yaitu kepercayaan kepada cahaya dan gelap. Pemahaman ini menolak kewujudan akhirat dan Tuhan. Pemahaman yang demikian pada masa ini dipanggil ateis. Walaupun golongan Quraisy ini tidak percaya kepada Tuhan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka dengan cara berpura-pura mempercayai Tuhan supaya mereka tidak terasing daripada golongan-golongan Arab yang lain yang percaya kepada kewujudan Tuhan. Pemahaman separti pemahaman zindik ini juga dipegang oleh golongan bangsawan di Yasrib, dan mereka kemudiannya membentuk kumpulan munafik yang menentang Rasulullah s.a.w secara sembunyi.
Agama Yahudi tidak dikembangkan kepada orang-orang Arab. Orang Yahudi beranggapan bangsa Arab lebih hina daripada mereka dan tidak layak diterima sebagai penganut agama mereka. Agama Yahudi dijadikan agama yang khusus untuk bangsa mereka saja. Selain daripada sikap orang Yahudi yang demikian, permusuhan dengan kerajaan Masehi Roman Timur juga menyebabkan pergerakan kaum Yahudi terhalang. Kerajaan Roman Timur berjaya mengalahkan kerajaan Yahudi di Yaman dan mereka memperhebatkan gerakan memburu orang Yahudi sebagai membalas dendam terhadap perbuatan Yahudi membakar kaum Masehi di Yaman. Di mana saja dijumpai, tentera Roman Timur akan membunuh orang Yahudi. Orang Yahudi terpaksa melarikan diri ke seluruh pelosok muka bumi. Sebagian besar daripada mereka membuat tempat tinggal di Khaibar dan Yasrib. Mereka membina benteng yang kukuh di sekeliling perkampungan mereka. Mereka tidak berani keluar jauh daripada benteng pertahanan mereka. Oleh yang demikian mereka terpaksa menggunakan khidmat orang-orang Arab di dalam menguruskan perniagaan dan perladangan mereka. Jadi, tekanan daripada pihak kerajaan Roman Timur dan keegoan mereka sendiri menyebabkan agama Yahudi tidak berkembang di Semenanjung Arab.
Ada sebilangan kecil golongan Arab yang masih mengesakan Tuhan. Mereka terdiri daripada pemimpin Banu Hasyim yang menguasai pengurusan Kaabah. Mereka tetap melakukan ibadat haji, umrah, bertawaf mengelilingi Kaabah dan menyembelihkan binatang korban. Pegangan mereka bersumberkan ajaran Nabi Ibrahim a.s.
Secara umumnya orang Arab percaya kepada Tuhan yang menciptakan alam tetapi mereka beranggapan Tuhan terlalu tinggi dan mereka tidak mampu berhubung secara langsung dengan Tuhan. Mereka percaya ada benda-benda alam yang dikasihi oleh Tuhan. Mereka berpendapat perhubungan dengan Tuhan perlu dibuat melalui benda-benda yang Tuhan kasihi. Bagi memudahkan upacara perhubungan dan penyembahan mereka membina patung-patung yang menyerupai sesuatu yang dianggap sebagai dikasihi oleh Tuhan. Mereka mengadakan penyembahan dan persembahan kepada patung-patung tersebut sebagai cara untuk menyampaikan hajat kepada Tuhan Yang Maha Tinggi.
Umat manusia di seluruh Semenanjung Arab dan juga di seluruh pelosok dunia dibungkus oleh kegelapan akidah dan dicengkam oleh keruntuhan moral. Ajaran nabi-nabi yang pernah diutuskan oleh Tuhan telah dipinda oleh orang-orang yang gila kuasa sehingga ketulenan ajaran tersebut tidak dapat dikenalpasti lagi. Apa juga ajaran agama yang tidak disenangi oleh pihak yang berkuasa akan diubahsuai. Bumi Parsi menyaksikan banyak agama-agama dihancurkan oleh pemerintah. Agama-agama Zoroaster, Manu dan Mazdak menemui kehancuran di Parsi.
Agama Masehi pula diputarbelitkan oleh orang-orang Masehi yang tunduk kepada pemerintahan kerajaan Roman Timur. Agama Yahudi dirosakkan oleh kaum Yahudi sendiri. Di tempat-tempat lain muncul agama falsafah yang direka oleh akal dan khayalan manusia sendiri. Kemusnahan akidah berlaku di merata tempat dan ia diikuti oleh kehancuran nilai-nilai akhlak yang murni. Banyak perkara yang diterima pakai sebagai adat dan kebudayaan telah merusakkan nilai-nilai murni kemanusiaan. Di dalam kebudayaan orang Arab Jahiliah dan juga bangsa-bangsa lain, arak merupakan minuman kegemaran orang banyak. Darah umat manusia yang bercampur dengan najis arak menjadi medan yang luas bagi syaitan melakukan kerosakan ke atas Banu Adam. Puisi dan syair yang memuji dan memuja arak sering diperdendangkan. Arak menjadi pintu kepada berbagai-bagai lagi perlakuan akhlak yang hina. Judi dan zina berleluasa di dalam masyarakat. Di dalam tradisi mereka juga kaum lelaki bisa berkahwin seberapa banyak yang mereka mau asalkan mereka mampu. Kaum lelaki juga berhak menceraikan isteri mereka sesuka hati mereka. Kaum wanita menerima nasib yang lebih malang apabila mereka yang kematian suami dikira sebagai sebagian daripada harta pusaka suami yang berhak dituntut oleh waris si suami. Tradisi yang demikian menyebabkan sistem kekeluargaan menjadi kucar kacir. Dan, yang paling buruk berlaku di dalam tradisi Arab Jahiliah adalah adat kejam menanam anak perempuan yang baru lahir.
Kerosakan akidah dan akhlak yang menyerang penduduk di Tanah Arab tidak mampu dibendung oleh orang Masehi dan orang Yahudi. Orang Yahudi lebih berminat mengembangkan perniagaan mereka yang berasaskan riba. Perpecahan yang berlaku di kalangan masyarakat Arab memudahkan kaum Yahudi mengembangkan ekonomi mereka tanpa persaingan besar daripada golongan Arab.
Jika kaum Yahudi sibuk mengumpulkan harta kaum Masehi pula tidak mempunyai kepimpinan yang berkaliber untuk mengadakan pembaikan ke atas umat manusia. Ajaran mistik yang kompleks menyebabkan agama tersebut menjadi satu agama yang sukar difahami oleh orang banyak. Oleh karena itu banyak daripada urusan agama dilakukan oleh pihak gereja saja. Orang banyak yang telah menyerahkan urusan agama mereka kepada pihak gereja sudah dianggap mendapat keselamatan.
Orang Arab secara umumnya mempunyai fikiran yang terbuka dalam banyak perkara tetapi mereka sangat fanatik dalam soal kepercayaan dan adat resam. Prinsip mereka dalam perkara tersebut adalah berpegang teguh dengan apa juga yang mereka pusakai daripada nenek moyang mereka. Pusaka nenek moyang yang menyentuh soal kepercayaan dan adat resam tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapunpun.
NABI MUHAMMAD S.A.W DAN KAUM MUSLIMIN BERTANGGUNGJAWAB MENYELAMATKAN UMAT MANUSIA DAN DUNIA SELURUHNYA:
Di tengah-tengah kerosakan akidah dan akhlak yang melanda umat manusia di Semenanjung Tanah Arab dan di seluruh dunia itulah Allah s.w.t mengutuskan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. Pada masa Nabi Muhammad s.a.w dilahirkan, di dalam dunia ini ada tidak lebih daripada tiga puluh orang yang mengenal Allah s.w.t sebagaimana yang patut dikenali. Kenyataan ini diterima oleh Salman al-Farisi daripada pendeta terakhir yang beliau temui di Ammuria, dalam perjalanannya mencari kebenaran, sehinggalah beliau berjumpa dengan Nabi Muhammad s.a.w di Madinah. Pertemuan dengan Nabi Muhammad s.a.w mengakhirkan pencarian Salman. Dia telah menemui kebenaran.
Nabi Muhammad s.a.w berkewajiban membaiki seluruh dunia. Hanya satu agama yang lengkap dan sesuai dengan fitrah asli sekalian manusia yang mengimbangi soal lahiriah dengan soal batiniah mampu menangani masalah berat yang sedang melanda dunia dan penghuninya. Agama tersebut adalah ISLAM! Baginda s.a.w diutuskan bagi menyampaikan risalat dari Allah s.w.t dan mentadbir urusan makhluk di dalam dunia ini agar peraturan Allah s.w.t dipatuhi oleh sekalian manusia. Kaum Muslimin yang menjadi umat baginda s.a.w juga memikul amanah tersebut, bertanggungjawab menyambung perjuangan baginda s.a.w. Tugas tersebut terletak di atas bahu umat Nabi Muhammad s.a.w hinggalah kepada hari kiamat. Jalan yang telah dipelopori oleh Nabi Muhammad s.a.w dan diikuti oleh sahabat-sahabat baginda s.a.w adalah sebaik-baik dan sebenar-benar jalan. Jalan yang paling baik dan paling benar ini juga dilalui oleh para pengikut baginda s.a.w yang datang kemudian.
Dasar agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w adalah mengabdikan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mencari kesejahteraan hidup di akhirat tanpa melupakan tanggungjawab terhadap kehidupan dunia dan makhluk Tuhan sekaliannya. Tugas utama mereka adalah menyucikan akidah mereka sendiri, kaum keluarga dan umat manusia sekaliannya. Tugas susulan yang tidak kurang penting adalah memurnikan akhlak diri sendiri, kaum keluarga dan umat manusia sekaliannya. Akidah dan akhlak merupakan dua agenda paling penting di dalam tarekat Nabi Muhammad s.a.w yang juga diikuti oleh para sahabat baginda s.a.w.
2: NABI MUHAMMAD S.A.W INSAN FITRAH
________________________________________
Nabi Muhammad s.a.w adalah seorang manusia fitrah yang sejak awal kejadian baginda s.a.w senantiasa bergerak di atas landasan fitrah insan yang suci murni. Fitrah yang suci bersih lagi murni akan mencetuskan perjuangan dalam jiwa apabila insan itu dibaluti oleh suasana yang penuh dengan kemunkaran, kezaliman, penyembahan berhala dan benda-benda alam, perebutan kuasa, kegilaan kepada harta dan berbagai-bagai adat serta kebudayaan yang menyimpang jauh daripada sifat fitrah yang asli. Perjuangan dalam jiwa Nabi Muhammad s.a.w sampai ke puncakknya apabila baginda s.a.w mencapai usia 36 tahun. Kejahilan, kesyirikan, kekafiran, kemunkaran dan kezaliman yang berleluasa di dalam masyarakat menjadi beban yang sangat berat menghimpit jiwa fitrah baginda s.a.w. Tekanan tersebut menjadi lebih kuat lantaran segala kerosakan itu terjadi kepada orang-orang yang hampir dengan baginda s.a.w, kaum keluarga dan masyarakat yang sama keturunan dengan baginda s.a.w, sedangkan jalan untuk menyelamatkan mereka tidak terbuka. Jiwa fitrah yang sangat mengasihi sesama manusia sangat menginginkan keselamatan dan kesejahteraan kepada sekalian manusia. Jiwa yang separti inilah yang selalu menderita apabila melihat kerosakan yang terjadi kepada orang lain.
Fitrah yang suci murni memiliki bakat yang istimewa yaitu kebisaan untuk mengenal dan mengarti tentang sesuatu yang benar dan juga memiliki keupayaan untuk bergerak kepada yang benar itu. Apabila mencapai usia 36 tahun Nabi Muhammad s.a.w diseret oleh fitrah suci baginda s.a.w ke Gua Hiraa, kira-kira 10 km ke utara Makkah. Gua tersebut terletak di atas Gunung Hiraa, kira-kira 20 meter dari puncakk gunung. Seorang lelaki yang kuat memerlukan masa kira-kira 40 minit untuk mendaki dari bawah hingga ke aras Gua Hiraa. Laluan masuk ke dalam gua tersebut sangat sempit, di celah dua buah ketulan batu besar yang hampir-hampir bertaut. Seseorang yang ingin melaluinya perlu menyusup dengan bersusah payah. Setelah berjaya melepasi laluan yang sempit itu seseorang itu akan masuk ke dalam satu ruang kosong yang sempit juga. Ruangnya tidak memadai untuk seorang manusia tidur dengan selesa di dalamnya.
Gua tersebut disembunyikan oleh batu-batu besar, hampir-hampir tidak ada cahaya matahari yang masuk ke dalamnya. Batu-batu di sekitar gua itu berwarna hitam kemerah-merahan yang bisa menimbulkan rasa gerun dalam hati siapapun yang menyaksikan pemandangan di sana. Bagian yang terdapat Gua Hiraa merupakan bagian yang paling menggerunkan di antara semua bagian Gunung Hiraa.
Tarikan Fitrah telah membawa Nabi Muhammad s.a.w ke tempat yang tidak ada manusia mau pergi, apa lagi tinggal beberapa hari di sana siang dan malam. Bulan Ramadan merupakan tempoh yang paling baginda s.a.w gemar berkhalwat di Gua Hiraa. Baginda s.a.w berulang-alik ke Gua Hiraa sehinggalah wahyu yang pertama turun ketika usia baginda s.a.w menjangkau 40 tahun.
Suasana Gua Hiraa menceritakan bahwa hanya insan yang berjiwa besar dan sangat berani serta bersemangat waja saja yang sanggup tinggal di sana seorang diri, siang dan malam dan berhari-hari lamanya. Hanya tawakal dan keyakinan yang teguh membuat seseorang mampu bertahan di dalam kegelapan Gua Hiraa, tidak dapat melihat binatang bisa separti ular dan jengking yang mungkin muncul pada bila-bila masa saja. Insan yang bisa tinggal di sana pastilah di dalam jiwanya tidak ada sebesar zarah pun rasa takut kepada makhluk, kecintaan kepada dunia, harta benda, pangkat dan kemuliaan. Hanya jiwa Islam (berserah diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t) yang sempurna dapat tinggal sendirian di dalam Gua Hiraa. Tujuan, harapan dan pergantungan hanyalah Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Semakin mendekati usia 40 tahun semakin kerap Nabi Muhammad s.a.w mengunjungi Gua Hiraa. Apabila berada di luar gua, terutamanya pada waktu malam, baginda s.a.w merenung bangunan alam maya, melihat kerapian susunannya dan keindahan gubahannya. Apabila berada di dalam gua baginda s.a.w merasakan ketenangan, kedamaian dan kelazatan. Gua Hiraa yang gelap gelita dan sunyi sepi memisahkan baginda s.a.w daripada seluruh alam dan sekalian makhluk. Kegelapan membungkus jasad hinggakan pengaruh jasad tidak lagi menghijab hati nurani. Apabila terpisah daripada segala yang maujud, fitrah suci akan merdeka dari segala sesuatu kecuali Allah s.w.t. Cahaya fitrah yang suci lagi murni memancar dengan terang benderang menyuluh ke seluruh pelosok alam maya menyaksikan dengan jelas apa yang tidak mampu dipandang dengan mata. Tiap sesuatu menjadi terang benderang di dalam sinaran fitrah suci Nabi Muhammad s.a.w. Tidak ada satu zarah pun yang terlindung daripada pandangan mata hati baginda s.a.w. Semuanya jelas dan nyata namun, masih ada satu yang tidak dapat disingkap oleh fitrah, walaupun seseorang itu manusia suci.
Fitrah mampu menyingkap rahsia kemanusiaan sehingga manusia bisa membentuk tatasusila kehidupan yang sesuai untuk dijalani oleh semua umat manusia. Fitrah bisa membentuk sistem moral yang baik. Fitrah dapat menguruskan pentadbiran negara dan perdagangan. Fitrah dapat meneroka alam maya dan benda-benda alam. Tetapi apabila berhadapan dengan Pencipta manusia dan alam sekaliannya dan juga Pencipta fitrah itu sendiri maka fitrah hanya mampu berkata, “Allah!” dan masuk kepada penyerahan tanpa takwil.
Apa yang dilalui oleh Nabi Muhammad s.a.w di Gua Hiraa pernah dialami juga oleh Nabi Ibrahim a.s, sebagaimana diceritakan oleh al-Quran:
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Nabi Ibrahim kebesaran dan kekuasaan (Kami) di langit dan di bumi, dan supaya menjadilah ia dari orang-orang yang percaya dengan sepenuh-penuh yakin. Maka ketika ia berada pada waktu malam yang gelap, ia melihat sebuah bintang (bersinar-sinar), lalu ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Kemudian apabila bintang itu terbenam, ia berkata pula: “Aku tidak suka kepada yang terbenam hilang.” Kemudian apabila dilihatnya bulan terbit (menyinarkan cahayanya), ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Maka setelah bulan itu terbenam berkatalah ia: “Demi sesungguhnya, jika aku tidak diberikan petunjuk oleh Tuhanku, nescaya menjadilah aku dari kaum yang sesat”. Kemudian apabila ia melihat matahari sedang terbit (menyinarkan cahayanya), berkatalah ia: “Inikah Tuhanku? Ini lebih besar!” Setelah matahari terbenam, ia berkata pula: “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri (bersih) dari apa yang kamu sekutukan (Allah dengannya). Sesungguhnya aku hadapkan muka dan diriku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi, sedang aku tetap di atas dasar tauhid dan bukanlah aku dari orang-orang yang menyengutukan Allah (dengan sesuatu yang lain)”. ( Ayat 75 – 79 : Surah al-An’aam )
Tafakur membawa Nabi Ibrahim a.s berhujah dengan pemahaman-pemahaman yang menjadikan benda-benda alam sebagai tuhan-tuhan. Tafakur dan hujah berakhir pada tahap: “Aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan semua langit dan bumi. Aku hadapkan dengan fitrah yang hanif. Aku tidak mempersekutukan-Nya dengan apa-apa pun”. Tahap terakhir ini Allah s.w.t bukakan kepada para hamba-Nya yang Dia kehendaki. Hadapkan fitrah suci kepada-Nya dengan penuh keikhlasan tanpa mengadakan sebarang takwil mengenai-Nya dan tidak mengadakan sekutu bagi-Nya. Dia sendiri menentukan bila dan bagaimana Dia berkehendak mengadakan pembukaan kepada hamba-Nya.
Pada 17 Ramadan, tahun 41 daripada umur Nabi Muhammad s.a.w, datanglah malaikat Jibrail a.s membawa wahyu yang pertama daripada Tuhan Azza wa Jalla, sebagai menyempurnakan lagi fitrah Nabi Muhammad s.a.w, menaikkan fitrah insan kepada derajat fitrah Muslim, menjawab segala yang terkilan, menguraikan segala yang kusut dan membukakan segala yang tertutup. Sempurnalah kesempurnaan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim dipersiapkan untuk menanggung mahkota seluruh alam, menjadi penutup sekalian nabi-nabi, menjadi penyelamat umat manusia dan dunia seluruhnya, menjadi rahmat kepada sekalian alam dan menjadi kekasih Allah!
3: FITRAH (FIKIRAN, ILHAM DAN KASYAF) DAN WAHYU
________________________________________
Semua manusia berasal daripada diri yang satu yaitu Nabi Adam a.s. Sekalian yang lahir daripada Adam a.s dinamakan bangsa manusia. Tidak ada keturunan Adam a.s yang berbangsa hewan, tumbuh-tumbuhan atau gali-galian. Adam a.s dan keturunan beliau a.s menjadi manusia karena mereka semua memiliki kemanusiaan. Tidak ada manusia yang tidak memiliki kemanusiaan. Benih kemanusiaan yang pertama disemaikan pada kejadian Adam a.s dan kemudian benih tersebut ‘berjalan’ kepada Siti Hawa, ibu yang mulia dan diberkati dengan keturunan yang amat banyak. Ketika Adam a.s dan Ibu Hawa berada di dalam syurga benih kemanusiaan itu hanya aktif pada mereka berdua saja., tidak ‘membiak’. Setelah mereka dikeluarkan daripada syurga dan ditempatkan di bumi, di dalam dunia, barulah benih kemanusiaan itu menampakkan keupayaannya melahirkan generasi manusia. Benih kemanusiaan akan terus bekerja melahirkan manusia hingga ke hari kiamat. Apabila berlaku kiamat barulah benih kemanusiaan itu berhenti melahirkan manusia.
Bermulai daripada Adam a.s sampailah kepada manusia terakhir pada hari kiamat, benih kemanusiaan ‘berjalan’ terus, melahirkan keturunan manusia yang berpecah-pecah kepada berbagai-bagai bangsa, suku dan keluarga. Perjalanan benih tersebut sangat sempurna sehingga tidak berlaku kesilapan pada pekerjaannya. Jika benih kemanusiaan melakukan kesilapan nescaya ada ibu-ibu manusia yang melahirkan ikan, beruang, rambutan dan lain-lain. Kesempurnaan benih kemanusiaan menyebabkan manusia akan terus melahirkan manusia saja tidak bangsa lain.
Keturunan Adam a.s membiak melalui proses percantuman benih lelaki dengan benih perempuan. Walaupun pada zahirnya percantuman benih menjadi proses pembiakan keturunan manusia tetapi bukanlah benih lelaki dan benih perempuan itu yang mengawal kewujudan dan kesinambungan bangsa manusia. Adam a.s diciptakan bukan daripada benih lelaki atau benih perempuan namun, Adam a.s tetap memiliki kemanusiaan. Nabi Isa a.s diciptakan tanpa melalui proses percantuman benih lelaki dengan benih perempuan namun, Isa a.s tetap memiliki kemanusiaan. Setiap manusia tidak terlepas daripada kemanusiaan yang tidak dimengarti hakikatnya. Jika semua manusia bermulai dari Adam a.s hinggalah kepada manusia terakhir yang ada pada hari kiamat, dibedah untuk dikaji perihal kemanusiaan itu tentu sekali perbuatan tersebut hanya sia-sia saja. Tidak mungkin dijumpai hakikat kemanusiaan pada mana-mana manusia tetapi peranan dan pengaruhnya pada setiap manusia tidak dapat dipartikaikan.
Jika mau memahami tentang hakikat ia harus dilihat dari sumbernya. Sumber segala kejadian ada pada sisi Allah s.w.t. Allah s.w.t menciptakan makhluk-Nya menurut Iradat-Nya, dengan Kudrat-Nya dan sesuai dengan Ilmu-Nya. Apa juga yang Allah s.w.t berkehendak menciptakan sudah termaktub di dalam Ilmu-Nya. Apa yang pada sisi Allah s.w.t atau pada Ilmu-Nya itu dinamakan hakikat. Sebelum Allah s.w.t menciptakan alam dan benda-benda alam, hakikat alam dan hakikat-hakikat benda alam sudah pun ada pada Ilmu-Nya. Hakikat adalah kewujudan yang memerintah atau mengawal. Segala yang diciptakan Allah s.w.t, yang mengisi ruang alam, dikawal oleh hakikat masing-masing. Hakikat yang berhubung dengan kejadian manusia dinamakan Hakikat Manusia atau Hakikat Insan. Hakikat Insan mengawal kejadian manusia sejak manusia pertama hinggalah kepada manusia yang penghabisan. Apa juga yang dikawal oleh Hakikat Insan akan lahir sebagai manusia. Hakikat Malaikat mengawal kewujudan malaikat. Hakikat Hewan mengawal kewujudan hewan dan demikian juga dengan hakikat-hakikat yang lain. Hewan tidak bisa menjadi manusia dan manusia tidak bisa menjadi malaikat apa lagi menjadi Tuhan. Hakikat masing-masing tidak mengizinkan perkara yang demikian terjadi.
Dan engkau tidak sekali-kali akan mendapati perubahan bagi “Sunnatullah” itu. (Ayat 62 : Surah al-Ahzaab)
Tidak ada (sebarang) perubahan pada kalimat (janji-janji) Allah. ( Ayat 64 : Surah Yunus )
Tiada suatupun dari makhluk yang bergerak di muka bumi melainkan Allah jualah yang menguasainya. Sesungguhnya Tuhanku tetap di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud)
Hakikat adalah suasana pentadbiran Tuhan. Suasana pentadbiran Tuhan bukan makhluk. Oleh itu ia tidak bisa ditemui pada makhluk tetapi kehadirannya menguasai dan mengawal kewujudan dan kesinambungan kewujudan makhluk bisa dirasai. Akal yang sehat juga bisa mengakui kebenaran ini. Tanpa kawalan daripada alam hakikat nescaya berlaku huru-hara pada kejadian makhluk. Tentu sekali semua hewan mau menjadi buraq. Manusia dan jin mau menjadi malaikat. Semua orang mau lahir sebagai putera raja. Tetapi semua itu tidak berlaku karena benteng hakikat sangat teguh, tidak dapat dirobohkan oleh makhluk. Pada Hakikat Insan sudah ada maklumat yang jelas dan muktamad tentang kejadian semua manusia termasuklah giliran masing-masing masuk ke alam dunia ini.
Di antara semua hakikat-hakikat, hakikat yang menguasai manusia merupakan hakikat yang paling utama karena ia mengadakan hubungan yang istimewa di antara insan dengan Tuhannya.
(Ingatlah peristiwa) tatkala Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia - Adam - dari tanah. Kemudian apabila Aku sempurnakan kejadiannya, serta Aku tiupkan padanya roh dari (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu sujud kepadanya. ( Ayat 71 & 72 : Surah Saad )
Adam a.s ditempa daripada tanah. Bagian Adam a.s yang ditempa daripada tanah ini dinamakan jasad, tubuh badan atau diri yang zahir. Jasad yang dari tanah itu walaupun sudah sempurna kejadiannya, cukup lengkap dengan sekalian anggota namun, ia tetap kaku, tidak dapat bergerak, tidak merasakan apa-apa dan tidak dapat berkata-kata. Ia sudah mempunyai otak tetapi otaknya tidak dapat berfikir. Ia sudah mempunyai mata tetapi matanya tidak dapat melihat. Ia sudah mempunyai telinga tetapi telinganya tidak dapat mendengar. Ia hanyalah satu lembaga yang kaku. Tetapi sebaik saja ia menerima tiupan dari Roh Allah s.w.t segala-galanya berubah dengan serta merta. Otaknya mulai berfungsi. Mata, telinga dan semua anggotanya juga mulai berfungsi. Ia juga bisa merasa. Ia bukan lagi satu lembaga yang kaku tetapi ia sudah menjadi insan yang hidup, bisa berfikir, bisa berkata-kata, bisa bergerak dan bisa merasa. Keajaiban itu berlaku semata-mata karena tiupan dari Roh Allah s.w.t. Bagian Adam a.s yang menerima tiupan daripada Roh Allah s.w.t itu dinamakan Diri Batin atau rohani.
Roh Allah s.w.t bukanlah Allah s.w.t dan juga bukan nyawa yang menghidupkan Allah s.w.t. Allah s.w.t hidup dengan Zat-Nya, bukan dengan nyawa atau roh dan bukan juga dengan sifat hidup. Sifat hidup bergantung kepada Allah s.w.t tetapi Allah s.w.t tidak bergantung kepada sifat hidup. Roh Allah s.w.t sama halnya separti Tangan Allah s.w.t, Kalam Allah s.w.t, Pendengaran Allah s.w.t dan lain-lain yang dinisbahkan kepada-Nya. Semuanya bukanlah Allah s.w.t tetapi adalah keadaan atau sifat atau misal atau ibarat yang memperkenalkan Diri-Nya sekadar layak Dia dikenali oleh makhluk-Nya. Hakikat Diri-Nya yang sebenar tidak mampu disifatkan, diibaratkan atau dimisalkan karena Dia adalah:
Tiada sesuatupun yang sebanding dengan (Zat-Nya, sifat-sifat-Nya dan pentadbiran)-Nya, ( Ayat 11 : Surah asy-Syura )
Sekalipun Dia tidak bisa disifatkan tetapi Dia adalah:
Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat ( Ayat 11 : Surah asy-Syura )
Allah s.w.t sendiri mengatakan Dia Mendengar dan Melihat. Dia mengadakan penyifatan setelah terlebih dahulu Dia menafikan segala bentuk penyifatan. Dia tidak serupa dengan apa saja yang terlintas di dalam fikiran, cita-cita dan khayalan manusia. Dia tidak serupa dengan apa juga yang nyata dan yang ghaib, yang zahir dan yang batin. Bila Dia mengatakan Dia Mendengar dan Melihat maka Mendengar dan Melihat-Nya tidak serupa dengan apa juga keadaan mendengar dan melihat yang diketahui atau tidak diketahui oleh manusia. Bila Dia mengatakan Dia Berkata-kata maka Kalam-Nya tidak serupa dengan apa juga bentuk percakapan baik yang bisa difikirkan oleh manusia mau pun yang tidak bisa difikirkan oleh manusia. Perkataan Allah s.w.t tidak serupa dengan apa juga bentuk perkataan. Kalam-Nya tidak berhuruf dan tidak bersuara. Apabila Dia tujukan firman-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w yang berbangsa Arab, digubah-Nya Kalam-Nya dalam bahasa Arab yang berhuruf dan bersuara dan Dia masih menisbahkan Kalam-Nya yang berhuruf dan bersuara dalam bahasa Arab itu sebagai Kalam-Nya. Oleh karena Dia sendiri memperakui yang demikian adalah Kalam-Nya siapapun menafikannya adalah kufur, tetapi siapapun mengatakan Allah s.w.t bercakap dalam bahasa Arab maka terlebih kufur lagi keadaannya. Konsep nafi dan isbat tidak bisa dipisahkan apabila memperkatakan tentang Allah s.w.t pada aspek yang disifatkan. Apabila Allah s.w.t memperkenalkan Diri-Nya kepada manusia maka Dia wujudkan penyifatan yang mampu diterima oleh manusia, sesuai dengan keupayaan mengenal yang ada dengan manusia, tetapi Yang Haq itu melampaui apa yang disifatkan. Aspek Allah s.w.t yang disifatkan merupakan pintu atau perantaraan yang menghubungkan hamba dengan Allah s.w.t yang tidak mampu disifatkan. Sekalipun Allah s.w.t memperkenalkan Diri-Nya melalui sifat-sifat yang diketahui oleh manusia tetapi mengadakan lembaga bagi Allah s.w.t adalah sesat yang nyata. Siapapun yang menjadi jelas kepadanya konsep nafi dan isbat sesungguhnya dia telah memperolehi nikmat yang tidak terhingga nilainya.
Tiada Tuhan melainkan Allah
Roh Allah s.w.t adalah perantaraan yang karenanya manusia memperolehi kehidupan. Roh Allah s.w.t adalah suasana pentadbiran Allah s.w.t yang mengawal bidang kehidupan. Adam a.s memperolehi sifat hidup karena tiupan Roh Allah s.w.t atau Hakikat Roh yang ada pada sisi Allah s.w.t. Apabila keturunan Adam a.s berkembang biak kesemua mereka tidak terlepas daripada kawalan Hakikat Roh yang menjadi sumber kepada penghidupan yang bermulai dengan penghidupan Adam a.s. Walau berapa banyak sekalipun manusia diciptakan mereka tetap menerima kehidupan daripada sumber yang sama yaitu suasana pentadbiran Allah s.w.t yang diistilahkan sebagai Roh-Nya atau Hakikat Roh. Suasana ketuhanan itu mempunyai bakat dan keupayaan untuk menghidupkan setiap jasad secara berasingan dan bebas daripada jasad-jasad yang lain. Setiap jasad memiliki keupayaan untuk hidup sendiri, walaupun ada jasad yang mengalami kematian namun jasad-jasad lain terus juga hidup. Jasad yang sudah diciptakan bisa juga hidup sekalipun masih banyak lagi jasad yang belum dizahirkan.
Adam a.s dan keturunan beliau a.s diciptakan dengan bermatlamat:
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”. ( Ayat 30 : Surah al-Baqarah )
Adam a.s dan keturunan beliau a.s yang dibangsakan sebagai manusia diciptakan Allah s.w.t untuk dijadikan khalifah di bumi. Khalifah bisa diartikan menurut beberapa pengartian. Pada pengartian pertama khalifah bermaksud pengganti kepada makhluk yang telah pupus. Satu ketika dahulu bumi ini pernah didiami oleh satu bangsa makhluk tetapi makhluk tersebut telah dibinasakan oleh Allah s.w.t karena mereka berbuat derhaka kepada Allah s.w.t. Sejak makhluk bangsa tersebut pupus tidak ada lagi makhluk berakal yang mendiami bumi. Adam a.s diciptakan untuk menggantikan bangsa yang telah pupus itu. Khalifah pada makna yang kedua bermaksud pengganti Rasulullah s.a.w, yang menjadi pemimpin umat Islam setelah baginda s.a.w wafat. Khalifah dalam segi ini ada dua kategori yaitu khalifah rasyidin (yang dipimpin) dan khalifah umum. Saidina-saidina Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali termasuk dalam golongan khalifah rasyidin yang mendapat pimpinan Allah s.w.t dan dijamin kebenaran mereka. Pimpinan mereka mendapat keredaan Allah s.w.t. Perbuatan dan perkataan khalifah rasyidin bisa dijadikan rujukan dalam pembentukan hukum-hukum agama, selepas al-Quran dan as-Sunah. Khalifah yang selain mereka tidak memiliki derajat yang demikian. Pada makna yang ke tiga pula khalifah bermaksud makhluk atau golongan yang memiliki ciri-ciri khusus mengatasi semua makhluk atau golongan lain. Ia bermaksud bangsa manusia yang memiliki bakat-bakat serta keupayaan melebihi makhluk lain dalam menguruskan hal-ihwal di bumi yang meliputi kehidupan manusia sendiri dan juga makhluk yang lain.
Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam; dan Kami telah beri mereka menggunakan berbagai-bagai kenderaan di darat dan di laut; dan Kami memberikan rezeki kepada mereka dari benda-benda yang baik-baik serta Kami telah lebihkan mereka dengan selebih-lebihnya atas banyak makhluk-makhluk yang telah Kami ciptakankan. ( Ayat 70 : Surah Bani Israil )
Bangsa manusia dibekalkan dengan bakat-bakat dan keupayaan semulajadi yang melebihkan mereka daripada makhluk yang lain sehingga mereka bisa memimpin makhluk lain di bumi atau menjadi khalifah di bumi. Bakat kekhalifahan sudah dibekalkan kepada manusia sejak manusia pertama diciptakan.
Dan Ia telah mengajarkan Nabi Adam, akan nama benda-benda dan gunanya, (Ayat 31 : Surah al-Baqarah)
Allah s.w.t membekalkan kepada Adam a.s bakat kekhalifahan sesuai dengan tujuan beliau a.s diciptakan. Bakat kekhalifahan yang dibekalkan kepada Adam a.s dan bangsa manusia itu dinamakan fitrah manusia. Makhluk lain juga dibekalkan dengan fitrah masing-masing tetapi fitrah yang dikurniakan kepada bangsa manusia adalah yang paling utama dan paling sempurna. Pada fitrah manusia terkumpul semua fitrah kejadian alam. Lantaran itu manusia berpengetahuan tentang tabeat makhluk yang lain separti malaikat, hewan, angin, tumbuh-tumbuhan, syaitan dan lain-lain. Fitrah manusia yang bersifat universal itu membuat manusia bisa memakai sifat-sifat anasir alam yang lain. Mereka bisa bersifat separti malaikat atau syaitan atau hewan atau pun membeku separti galian. Fitrah itu juga membuat manusia bisa mengambil manfaat daripada anasir alam. Mereka bisa menciptakan kenderaan udara dan terbang separti burung dan kenderaan air untuk berenang separti ikan apa lagi kenderaan darat untuk mereka bergerak separti kuda.
Alat penting yang ada dengan manusia dalam menjalankan tugas kekhalifahan adalah beberapa bakat fitrah insan yang ada dengan mereka. Bakat fitrah yang pertama adalah akal fikiran. Melalui bakat fitrah akal ini manusia mampu membentuk kehidupan yang teratur dan juga mampu mengambil manfaat daripada benda-benda alam yang ada di sekeliling mereka. Daya fikir yang menjadi bakat fitrah ini berkait rapat dengan satu lagi bakat fitrah yaitu ilham. Ilham sebagai bakat fitrah tahap ke dua adalah lebih seni daripada akal fikiran. Ilham menjadi pencetus atau penggerak kepada daya fikir untuk meneroka dan mengembangkan apa yang dicetuskan oleh ilham itu.
Bakat fitrah yang ke tiga diceritakan oleh al-Quran:
Dan Ia telah mengajarkan Nabi Adam, akan segala nama benda-benda dan gunanya, kemudian ditunjukkannyakan kepada malaikat lalu Ia berfirman: “Terangkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu semuanya, jika kamu golongan yang benar”. Malaikat menjawab: “Maha Suci Engkau (Ya Allah)! Kami tidak mempunyai pengetahuan selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau jualah Yang Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana”. Allah berfirman: “Wahai Adam! Terangkanlah nama benda-benda ini semua kepada mereka”. Maka setelah Nabi Adam menerangkan nama benda-benda itu kepada mereka, Allah berfirman: “Bukankah telah Aku katakan kepada kamu bahwasanya Aku mengetahui segala rahsia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan”. ( Ayat 31 – 33 : Surah al-Baqarah )
Allah s.w.t mengetahui rahsia semua langit dan bumi. Dia mengetahui yang nyata dan yang disembunyikan. Sebagian daripada pengetahuan tersebut Allah s.w.t simpankan pada fitrah Adam a.s sebagaimana firman-Nya yang bermaksud: “Dan Kami ajarkan kepada Adam nama-nama sekaliannya”. Maksud nama di sini adalah nama beserta segala maklumat yang terperinci yang berkait dengan yang dinamakan itu. Bakat fitrah yang mengetahui sebagian daripada yang nyata dan yang disembunyikan mengikut apa yang dibekalkan oleh Allah s.w.t itu dinamakan kasyaf. Pengetahuan Adam a.s melalui kekuatan kasyaf melebihi pengetahuan malaikat.
Keistimewaan yang ada pada fitrah insan adalah karena perkaitannya dengan tiupan Roh Allah s.w.t.
.. lalu Aku tiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu sujud kepadanya. (Ayat 72 : Surah Saad)
Dan (ingatlah) tatkala Kami berfirman kepada malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam!” ( Ayat 34 : Surah al-Baqarah )
Semua makhluk termasuk malaikat diperintahkan sujud kepada Adam a.s karena fitrah Adam a.s ada perkaitan dengan tiupan Roh Allah s.w.t. Kadang-kadang istilah ‘Rahsia’ atau ‘Rahsia Allah s.w.t’ digunakan oleh orang sufi bagi menceritakan maksud ‘tiupan Roh Allah s.w.t’ itu. Istilah Rahsia digunakan bagi menerangkan bahwa ‘tiupan Roh Allah s.w.t’ bukanlah sesuatu yang bisa diuraikan dengan jelas. Ia adalah sebenarnya rahsia karena jarang manusia yang diberi pengetahuan tentangnya dan kumpulan sedikit yang diberi pengetahuan itu tidak mampu menguraikannya dengan jelas kepada orang lain. Pemahaman itu ditanamkan sebagai keyakinan bukan uraian akal. Rahsia Allah s.w.t itulah yang membuka medan perhubungan di antara Allah s.w.t dengan hamba-Nya. Rahsia Allah s.w.t itulah yang menanamkan kepemahaman tentang Allah s.w.t yang “ ”; Allah Mendengar dan Melihat; Allah Maha Esa dan berbagai-bagai aspek ketuhanan.
Orang sufi banyak menggunakan istilah yang maksudnya kurang jelas bagi orang awam sedangkan istilah yang demikian tidak ditemui pada zaman Rasulullah s.a.w. Perlu diketahui bahwa huruf dan perkataan adalah alat untuk menyampaikan maksud. Kadang-kadang huruf dan perkataan gagal menyampaikan maksud yang tersirat. Apabila ia gagal menyampaikan maksud ia menjadi tabir yang menyembunyikan maksud. Ayat yang serupa apabila diucapkan oleh orang yang berlainan bisa membawa pengartian yang berbeda. Jika seorang jejaka asing berkata kepada seorang gadis, ‘Aku cinta padamu,’ ia tidak menyampaikan maksud yang jelas kepada gadis tersebut, tetapi jika kekasihnya yang mengucapkan demikian si gadis itu akan mendapat maksud yang jelas. Walaupun ayat yang serupa digunakan tetapi perbedaan orang yang mengatakannya membawa pengartian yang berbeda-beda.
Hanya sebilangan kecil saja yang dapat mengeluarkan ucapan yang maksud sebenarnya masuk terus kepada pemahaman si pendengar. Golongan yang paling arif dalam bidang tersebut adalah para nabi dan yang terutama di antara mereka adalah Nabi Muhammad s.a.w. Apabila Nabi Muhammad s.a.w menyampaikan sesuatu perkara maka maksud yang sebenar terus tertanam dan terpahat dalam hati si pendengar. Apabila baginda s.a.w mengatakan, “Allah Mendengar dan Melihat,” maka maksud Allah Mendengar dan Melihat itu menjadi jelas pada pemahaman orang yang menerima pengajaran daripada baginda s.a.w, hinggakan uraian lanjut tidak diperlukan karena orang berkenaan benar-benar mengarti apa yang baginda s.a.w maksudkan. Kaum Muslimin beriman kepada perkataan Rasulullah s.a.w yang melahirkan kepemahaman pada mereka dan mereka tidak perlu bertakwil lagi. Perkataan yang keluar secara langsung daripada mulut Rasulullah s.a.w berkekuatan menghancurkan hijab, membuka keghaiban dan menyampaikan maksud yang tersirat, melebihi apa juga bentuk amalan menghancurkan hijab atau menyingkap keghaiban yang dilakukan oleh siapapunpun, sama ada ahli ibadat atau ahli suluk. Sebab itu para sahabat baginda s.a.w tidak perlu menjalani latihan khusus separti berkhalwat atau bersuluk. Apabila Rasulullah s.a.w mengatakan, “Allah lebih hampir kepada kamu dari urat leher kamu sendiri”, maka para sahabat mendapat kepemahaman yang jitu tentang kehampiran Allah s.w.t yang baginda s.a.w maksudkan itu. Mereka tidak memerlukan ulasan karena perkataan yang keluar secara langsung dari mulut Rasulullah s.a.w memberi kepemahaman yang lebih jelas daripada apa juga bentuk dan cara penjelasan. Perkataan Rasulullah s.a.w sudah membukakan rahsia dan yang tersembunyi berhubung apa yang baginda s.a.w katakan, maka tidak ada keperluan kepada istilah tambahan, yang rahsia atau yang samar-samar.
Semakin jauh zaman meninggalkan Rasulullah s.a.w semakin berkurangan kekuatan perkataan yang diucapkan oleh manusia, walaupun mereka menggunakan bahasa dan perkataan yang pernah baginda s.a.w ucapkan. Ayat al-Quran yang dibaca pada hari ini sama dengan ayat al-Quran yang dibacakan oleh Rasulullah s.a.w dahulu tetapi tidak ada manusia pada hari ini dapat membacakan al-Quran dengan cara menyampaikan maksud sebenar dan setepat yang dibacakan itu kepada pendengar sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Guru-guru hari ini perlu mencari kekuatan tambahan kepada perkataan mereka dengan memperbanyakkan perkataan yang diperkatakan dalam bentuk terjemahan, uraian, tafsiran, ulasan, perumpamaan dan sebagainya. Apabila sampai kepada perkara-perkara ghaib dan tersembunyi guru perlu mengadakan pintu untuk menahan murid yang belum layak merempuh ke hadapan dan sebagai jalan masuk kepada murid yang sudah layak. Pintu tersebut adalah istilah-istilah yang baru digunakan, yang tidak digunakan sebelumnya. Ia menjadi sempadan memisahkan yang khusus daripada yang awam. Di antara istilah baru itu adalah Rahsia Allah s.w.t yang menceritakan tentang perkaitan insan dengan tiupan Roh Allah s.w.t. Istilah tersebut menyekat orang awam daripada mencari-cari maksud yang tersirat dan istilah itu juga menjadi stesen loncatan bagi mereka yang memperolehi kepemahaman tentang perkara tersebut. Kepemahaman yang diperolehi itu adalah kepemahaman yang tidak dapat diuraikan, tetapi dimengarti halnya dan melaluinya orang khusus maju terus dalam mengenal Allah s.w.t.
Allah s.w.t mengurniakan fitrah sejagat kepada manusia karena mereka memikul amanah serta beban tugas yang suci lagi mulia:
(Allah bertanya dengan firman-Nya): “Bukankah Aku Tuhan kamu?” Mereka semua menjawab: “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Ayat 172 : Surah al-A’raaf)
Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepada-Ku. ( Ayat 56 : Surah adz-Dzaariyaat )
Fitrah manusia bukan sekadar berperanan dalam mentadbir penghidupan menurut tabiat semulajadi kemanusiaan malah lebih penting lagi ia adalah persediaan buat manusia melakukan kehambaan (ubudiah) terhadap Allah s.w.t.
Manusia yang bergerak dalam sekop fitrahnya mampu memperolehi maklumat melalui akal fikiran, ilham dan kasyaf. Pancaindera dan fikiran bergabung di dalam mendapatkan maklumat mengenai perkara yang zahir. Maklumat yang diperolehi dengan cara ini bisa dikembangkan oleh akal fikiran dengan menggunakan hukum logik dan formulai-formulai yang dapat disusun oleh akal fikiran. Kebisaan berfikir yang dihasilkan oleh fitrah manusia mampu membawa manusia meneroka segala bidang lahiriah separti sains, teknologi maklumat, matematik, astronomi, kedoktoran, pentadbiran negara dan lain-lain. Sempadan bagi akal fikiran adalah logik. Ia tidak mampu mengolah sesuatu yang telah keluar daripada daerah logik.
Bakat-bakat fitrah merupakan kenyataan kepada firman Tuhan yang bermaksud: “Dan telah diajarkan kepada Adam nama-nama semuanya”. Segala maklumat yang perlu bagi manusia menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi sudah pun ada pada fitrahnya. Proses pembelajaran, pengalaman, penyelidikan dan sebagainya merupakan cara mencungkil maklumat yang tersimpan di dalam khazanah fitrah, bukan membawa masuk maklumat yang baru. Pada satu tahap, maklumat di dalam khazanah fitrah dicungkil melalui cara berfikir. Kebisaan berfikir ini dikuasai oleh semua manusia kecuali orang gila.
Apa yang Tuhan ajarkan kepada Adam a.s (dan manusia sekaliannya) bukan sekadar penggunaan akal fikiran. Apabila fitrah sampai kepada puncakk kekuatan berfikir yang dimilikinya yaitu apabila hukum logik gagal memberi uraian maka fitrah beralih kepada bakat keduanya yaitu ilham. Bidang ilham sesuai untuk diterokai oleh mereka yang fitrahnya bebas daripada hukum logik, yaitu tarikan anasir alam, pengaruh kebendaan dan hawa nafsu. Kebanyakan yang termasuk di dalam golongan ini adalah ahli falsafah yang telah membebaskan hati mereka daripada sempadan kebendaan. Bila hati sudah berjaya melepaskan diri daripada kongkongan kebendaan dapatlah ia masuk ke dalam bidang ilham yang berada di sebalik alam kebendaan. Ilham membuka kepemahaman tentang unsur ghaib yang mempengaruhi perjalanan kehidupan yang zahir.
Ilham bisa dibagikan kepada dua jenis yaitu ilham ahli falsafah dan ilham ahli sufi (ahli kerohanian). Ahli falsafah menggunakan kekuatan dirinya untuk berjuang menentang hawa nafsu dan membebaskannya daripada tarikan anasir-anasir alam. Bila telah berjaya berbuat demikian rohaninya mampu memandang kepada keghaiban yang menyelimuti alam zahir. Dia dapat menyaksikan tenaga ghaib yang membentuk sistem dan mempengaruhi perjalanan segala yang zahir. Di sebalik semua itu dia dapat melihat kesempurnaan: kesempurnaan peraturan dan perjalanan alam maya dan kesempurnaan Pencipta segala kesempurnaan itu. Renungan ahli falsafah berakhir dengan pengakuan tentang wujudnya kekuasaan Mutlak yang mencipta dan mengatur perjalanan alam ini. Kelarutan (kefanaan) di dalam kesempurnaan itu menjadikan ahli falsafah mencintai yang sempurna dan bergerak membentuk kesempurnaan di dalam kehidupan ini.
Ahli sufi pula di samping berjuang menentang hawa nafsu dan tuntutan badaniah dia juga membenamkan dirinya ke dalam zikir atau ingatan kepada Allah s.w.t secara terus menerus. Pergantungannya tidak terlepas daripada Tuhan. Apabila dia berjaya di dalam perjalanannya dia berjaya di dalam keadaan ingat dan bergantung kepada Allah s.w.t. Oleh itu ilham yang terbuka kepadanya lebih berkaitan dengan Tuhan daripada makhluk Tuhan. Perhatiannya terhadap makhluk, termasuklah dirinya sendiri, mengecil dan perhatiannya kepada Tuhan membesar. Jika ilham ahli falsafah lebih tertumpu kepada kesempurnaan dan kerapian penciptaan yaitu perbuatan Tuhan, ilham ahli sufi pula tertumpu kepada keelokan dan kesempurnaan sifat Tuhan yang menciptakan segala kesempurnaan dan keelokan itu. Ilham ahli falsafah melahirkan rasa kekaguman terhadap Pencipta sementara ilham ahli sufi pula melahirkan rasa kehampiran dan keasyikan terhadap Pencipta Yang Maha Indah lagi Maha Sempurna. Ilham sufi bukan sekadar melahirkan pengakuan dan keasyikan terhadap Yang Maha Mencipta dan Maha Mengatur, malah ahli sufi juga memperolehi keyakinan tentang kedudukannya pada taraf kehambaan yang perlu membuktikan kehambaan itu, tetapi ilham sufi tidak mampu membuka rahsia ketuhanan dan tidak berupaya membentuk cara pengabdian kepada Tuhan sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.
Fitrah tidak mengaku kalah pada tahap ilham. Ia maju lagi meneroka lebih tinggi dengan menggunakan bakatnya yang ke tiga yaitu kasyaf. Kasyaf adalah terbukanya perkara ghaib kepada alam perasaan dan penyaksian mata hati. Apa yang difikirkan dan ditemui melalui ilham dapat dirasakan atau disaksikan melalui kasyaf. Bidang kasyaf membuka perkara yang tersembunyi disebalik yang nyata dan juga membuka bidang alam ghaib yang tidak dapat dipandang dengan mata, tidak dapat difikirkan dan dikhayalkan dan terkeluar dari medan logik. Bidang kasyaf memungkinkan seseorang memperolehi pengetahuan tentang alam rohani separti Alam Jin, Alam Barzakh, syurga dan neraka. Kasyaf bisa meneroka lebih jauh kepada suasana yang dinisbahkan kepada ketuhanan. Suasana ketuhanan yang dibukakan kepada ahli kasyaf adalah sebagai perkenalan dari Tuhan kepada hamba. Oleh karena Tuhan adalah: “ ” maka suasana yang dinisbahkan kepada ketuhanan atau diibaratkan kepada Tuhan yang dibukakan kepada ahli kasyaf adalah dalam bentuk misal, ibarat atau penyifatan. Suasana misal yang disaksikan itu menanamkan kepemahaman tentang Tuhan yang tidak bisa dimisalkan.
Pengetahuan yang diperolehi secara fikiran dan ilham dipanggil makrifat (pengenalan) secara ilmu. Pengetahuan yang diperolehi secara kasyaf pula dinamakan makrifat secara zauk atau penyaksian mata hati. Apabila kasyaf sampai kepada puncakk penyaksiannya maka tiada apa lagi yang dapat disaksikan. Kasyaf pada tahap ini hanya merasakan dengan penuh yakin tanpa menyaksikan tentang Wujud Tuhan yang tanpa misal, tanpa sifat, tanpa ibarat dan tidak bisa dikatakan apa-apa karena Allah s.w.t adalah :
Medan kasyaf yang sangat luas itu diterokai oleh sufi yang telah membuang segala kepentingan diri sendiri lantaran kecintaan mereka kepada Allah s.w.t. Melalui kasyaf, yang paling tinggi dapat disaksikan adalah suasana atau keadaan yang dinisbahkan kepada Tuhan tetapi bukanlah Tuhan. Apabila melepasi tahap penyaksian kasyaf sampai kepada batasan terakhir yaitu merasai secara zauk Wujud Tuhan yang tidak dapat disifatkan dan Dia Maha Esa, tiada sesuatu beserta-Nya. Puncakk kasyaf adalah kejahilan di mana tidak ada lagi bahasa yang mampu bercerita tentang Tuhan. Ahli kasyaf yang masuk kepada tahap ini berada dalam suasana yang dipanggil keheran-heranan di mana dia merasakan telah mengenal Tuhan tetapi tidak mampu menyingkap pengenalan tersebut. Dia dikatakan faham tanpa sesuatu kepemahaman dan tahu tanpa sesuatu pengetahuan.
Kasyaf tidak tahu menyebut Allah s.w.t sebagaimana Dia mau disebut. Kasyaf tidak tahu menceritakan Allah s.w.t sebagaimana yang Dia mau diceritakan. Kasyaf tidak berupaya memperkenalkan Allah s.w.t sebagaimana Dia mau Diri-Nya dikenali. Kasyaf juga tidak tahu bentuk pengabdian yang Allah s.w.t maukan dari hamba-Nya. Kasyaf tidak dapat mengajar manusia cara menyembah Allah s.w.t. Jadi, fitrah manusia dengan segala bakat-bakatnya tidak dapat membuka Kebenaran Hakiki mengenai Allah s.w.t. Dalam soal ini fitrah sampai kepada keadaan mesti tunduk, patuh dan taat dengan seluruh penyerahan kepada Allah s.w.t dan menyatakan hajat kepada bimbingan yang langsung daripada-Nya serta bermohon agar Dia sendiri membuka Yang Haq itu.
Hanya Allah s.w.t bisa menyatakan apa yang Dia kehendaki. Hanya Dia yang berhak menentukan cara pengabdian dan penyembahan kepada-Nya. Hanya Dia yang mampu memperkenalkan Diri-Nya sebagaimana yang Dia mau. Dalam perkara ini manusia tidak ada pilihan melainkan berhajat kepada WAHYU yang datang dari Allah s.w.t sendiri bagi menghakimkan fikiran, ilham dan kasyaf. Kebenaran yang dikatakan oleh wahyu itulah yang kebenaran sejati, yang paling benar, tidak bisa dijabar oleh fikiran, ilham dan kasyaf. Tugas fikiran, ilham dan kasyaf adalah membuktikan kebenaran wahyu bukan mencari kebenaran yang lain daripada itu.
Tanpa bimbingan wahyu manusia membentuk berbagai-bagai kepercayaan dan cara menyembah Tuhan. Golongan yang hanya menggunakan akal hanya berminat dengan perkara kebendaan. Golongan ini kurang berminat tentang Tuhan. Dari kalangan mereka muncul golongan ateis yang tidak percaya kepada Tuhan dan perkara ghaib. Dari kalangan ahli falsafah pula muncul ideologi idealisma yang kemudiannya diterima oleh orang banyak sebagai agama. Agama yang muncul melalui cara ini berasaskan fitrah kemanusiaan semata-mata. Golongan ini melihat kesempurnaan yang diletakkan oleh Pencipta kepada kejadian alam tetapi keadaan Pencipta itu sendiri tertutup kepada mereka. Oleh yang demikian perhatian mereka kuat tertuju kepada kejadian alam. Apabila sikap menghormati dan mencintai anasir alam sudah berlebihan ia bertukar menjadi penyembahan. Kesudahannya muncullah agama yang mengadakan anasir alam sebagai sekutu Tuhan. Golongan sufi yang belum matang pula mendapat gambaran yang tidak tepat tentang Tuhan. Di dalam golongan ini bukan saja terdapat kaum Muslimin yang memasuki jalan sufi, ia termasuk juga penganut kepercayaan lain yang membuat latihan tarekat menurut kepercayaan mereka. Bila alam ghaib terbuka kepada mereka, biasanya di samping melihat kesempurnaan sifat Tuhan mereka juga melihat kesempurnaan diri sendiri yang ditempa oleh Tuhan. Sebagian daripada mereka terdorong ke dalam rasa takjub dan taasub terhadap kesempurnaan diri, lalu melihat sifat ketuhanan pada diri. Dari golongan mereka muncullah golongan yang mempertuhankan Isa al-Masih, Uzair, Buddha dan lain-lain. Ada pula yang mempertuhankan diri sendiri. Banyak lagi kekeliruan yang muncul dalam akidah manusia apabila mereka tidak bersandar kepada wahyu. Kebenaran yang sejati tentang Tuhan dan cara menyembah-Nya hanya bisa didapati daripada wahyu.
Bangsa manusia telah memilih seorang wakil yang paling sempurna dari kalangan mereka, seorang insan yang paling tinggi kecerdasan akalnya, paling luas medan ilhamnya dan paling terang suluhan kasyafnya. Wakil yang sempurna itu adalah Nabi Muhammad s.a.w. Sebelum wahyu datang wakil yang sempurna itu telah menjalani latihan khalwat di Gua Hiraa. Melalui proses tersebut kesempurnaan baginda s.a.w menjadi lebih sempurna tetapi kesempurnaan yang paling sempurna itu pun tetap tunduk kepada hukum Allah s.w.t yaitu berhajat kepada jawaban dan bimbingan yang langsung daripada-Nya, tidak mampu diteka oleh akal, tidak mampu diurai oleh ilham dan tidak mampu disuluh oleh kasyaf walaupun kesemua bakat-bakat tersebut berada di dalam kesempurnaan. Apabila Allah s.w.t mendatangkan jawaban dengan wahyu-Nya barulah hilang segala kesamaran dan kekusutan dan tersingkaplah hijab yang menutupi Yang Haq! Fikiran, ilham dan kasyaf wajib akur dengan apa yang wahyu kata karena wahyu itulah Kalam al-Hak. Pada tanggal 17 Ramadan, tahun 41 dari usia Nabi Muhammad s.a.w, wahyu yang pertama menyinari fitrah suci baginda s.a.w. Terbukalah era baru di dalam kehidupan manusia dan penduduk seluruh alam. Yang samar telah terang. Yang tertutup telah terbuka. Yang terhijab telah tersingkap. Yang tidak bisa diperkatakan sudah bisa diperkatakan. Yang Haq telah nyata tanpa ragu-ragu lagi.
4: RASULULLAH S.A.W DAN PARA SAHABAT FANA DALAM WAHYU BAQA DALAM UBUDIAH
________________________________________
Pada hari Isnin 17 Ramadan bersamaan 6 Ogos tahun 610 Masehi, ketika Nabi Muhammad s.a.w berusia 40 tahun, 6 bulan dan 8 hari, datanglah malaikat Jibrail a.s kepada baginda s.a.w yang sedang berkhalwat di Gua Hiraa. Jibrail a.s yang muncul secara tiba-tiba itu terus berkata: “Baca!” Nabi Muhammad s.a.w menjawab: “Saya tidak tahu membaca”. Jibrail a.s terus menangkap Nabi Muhammad s.a.w. Diserkupnya baginda s.a.w dengan kain rida’ dan dipeluknya sehingga baginda s.a.w mengalami kesukaran untuk bernafas. Kemudian dilepaskannya dan disuruhnya baginda s.a.w membaca separti mulainya. Baginda s.a.w masih mengatakan tidak tahu membaca. Sekali lagi Jibrail a.s menangkap Nabi Muhammad s.a.w dan dilakukannya separti mulai-mulai tadi. Pelukan Jibrail a.s kali ini lebih erat daripada yang pertama tadi, menyebabkan baginda s.a.w hampir-hampir tidak dapat bernafas. Kemudian baginda s.a.w dilepaskan oleh Jibrail a.s dan disuruhnya lagi baginda s.a.w membaca. Baginda s.a.w masih mengatakan tidak tahu membaca. Buat kali ke tiga Jibrail a.s menangkap Nabi Muhammad s.a.w, menutup baginda s.a.w dengan kain rida’ dan memeluk baginda s.a.w dengan erat. Perbuatan yang demikian sangat memayahkan baginda s.a.w bernafas. Setelah melepaskan baginda s.a.w buat kali ke tiganya, Jibrail a.s membacakan firman Allah:
Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian makhluk). Ia menciptakan manusia dari segumpal darah beku. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, - Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, - Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. ( Ayat 1 – 5 : Surah al-‘Alaq )
Termetrailah wahyu pertama di dalam dada Nabi Muhammad s.a.w. Sekali Jibrail a.s membacakan wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w, wahyu tersebut akan melekat, terpahat pada hati baginda s.a.w, tidak akan hilang atau pudar buat selama-lamanya. Baginda s.a.w mengikuti bacaan Jibrail a.s dengan fasih. Setiap huruf dan ayat yang baginda s.a.w bacakan membuka segala tutupan dan menguraikan segala simpulan yang tidak mampu diuraikan oleh fitrah baginda s.a.w selama baginda s.a.w berkhalwat di Gua Hiraa. Apa yang tidak mampu disingkap oleh akal dan renungan batin sudah terjawab dengan kedatangan wahyu. Kebenaran yang disampaikan oleh wahyu adalah kebenaran yang muktamad.
Nabi Muhammad s.a.w menerima perkhabaran wahyu dengan sepenuh jiwa raga tanpa sebarang keraguan walaupun sebesar zarah. Baginda s.a.w yakin penuh dengan kebenaran berita dan janji yang wahyu sampaikan. Wahyu senantiasa turun membimbing baginda s.a.w serta memberi ketetapan hati, meneguhkan kepercayaan dan pendirian baginda s.a.w di dalam melaksanakan amanah yang Allah s.w.t serahkan kepada baginda s.a.w. Tempoh wahyu turun kepada baginda s.a.w adalah 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.
Wahyu turun kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui tujuh cara. Cara yang pertama adalah mimpi yang benar. Apabila baginda s.a.w melihat sesuatu di dalam mimpi, pandangan yang kelihatan adalah terang separti cuaca subuh. Apa yang baginda s.a.w saksikan di dalam mimpi benar-benar berlaku. Wahyu cara ke dua dihantarkan oleh malaikat kepada hati baginda s.a.w. Baginda s.a.w mengetahui sesuatu secara spontan, tanpa berfikir atau merenung. Wahyu cara ke tiga dibawa oleh malaikat Jibrail a.s yang menggunakan bentuk misal. Contohnya Jibrail a.s pernah memakai rupa salah seorang daripada sahabat Rasulullah s.a.w yang elok wajahnya yaitu Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Sahabat inilah yang kemudian hari menjadi wakil Rasulullah s.a.w menyampaikan surat baginda s.a.w kepada Heraklius, penguasa kerajaan Roman Timur. Wahyu cara ke empat pula datang kepada Rasulullah s.a.w separti suara loceng. Wahyu cara inilah yang paling berat dan memenatkan baginda s.a.w. Baginda s.a.w pernah berpeluh pada musim dingin tatkala menerima kedatangan wahyu cara ke empat ini. Pernah satu ketika paha Rasulullah s.a.w sedang menindih paha Zaid bin Sabit ketika wahyu yang separti suara loceng ini turun kepada baginda s.a.w. Zaid merasakan seolah-olah pahanya akan pecah menanggung paha Rasulullah s.a.w yang sedang menerima wahyu tersebut. Wahyu cara ke lima datang kepada Rasulullah s.a.w dengan menderu separti suara lebah. Pada cara ke enam pula Jibrail a.s datang kepada Rasulullah s.a.w dalam rupanya yang asli. Wahyu cara ke tujuh adalah penyampaian secara langsung daripada Allah s.w.t kepada Rasulullah s.a.w, tanpa sebarang perantaraan, separti yang pernah dialami oleh Nabi Musa a.s.
Ketegasan dan keteguhan Rasulullah s.a.w menyampaikan dakwah melalui bimbingan wahyu ternyata pada kata-kata baginda s.a.w kepada bapa saudara baginda s.a.w, Abu Talib, yang menyampaikan kepada baginda s.a.w permintaan kaumnya agar baginda s.a.w menghentikan pekerjaan dakwah. Baginda s.a.w memberikan jawaban yang tegas: “Wahai bapaku. Walaupun mereka meletakkan matahari pada bahuku yang kanan dan bulan pada bahuku yang kiri dengan maksud daku meninggalkan tugasku, tidak akan daku tinggalkannya sehinggalah agama ini menang atau daku binasa sebelumnya!”
Nabi Muhammad s.a.w tidak pernah melepaskan pergantungan kepada Allah s.w.t. Baginda s.a.w memperolehi berbagai-bagai kemuliaan dan ketinggian tetapi segala puji-pujian diperuntukkan kepada Allah s.w.t semata-mata. Apabila baginda s.a.w dipuji oleh orang banyak baginda s.a.w mengembalikan pujian itu kepada Allah s.w.t. Baginda s.a.w sangat cermat dan tegas di dalam menanggung wahyu. Apa yang diperintahkan oleh Allah s.w.t baginda s.a.w melaksanakannya sendiri terlebih dahulu sebelum menyuruh orang lain melakukannya. Baginda s.a.w telah menunjukkan contoh teladan melalui diri baginda s.a.w sendiri. Tidak ada istilah hukum yang wajib untuk orang banyak tetapi tidak wajib untuk Rasulullah s.a.w. Hukum Allah s.w.t berjalan sama rata sama rasa, kepada Rasulullah s.a.w dan juga kepada umat baginda s.a.w. Jika umat baginda s.a.w wajib mengerjakan sholat lima waktu sehari semalam baginda s.a.w juga wajib berbuat demikian, malah baginda s.a.w lakukan melebihi daripada apa yang dikerjakan oleh orang lain. Baginda s.a.w memperbanyakkan sholat malam hingga bengkak tumit baginda s.a.w, tetapi umat baginda s.a.w tidak diwajibkan berbuat demikian, walaupun digalakkan.
Nabi Muhammad s.a.w sangat mengasihi umat manusia. Baginda s.a.w pernah disakiti oleh kaum baginda s.a.w tetapi baginda s.a.w mengelakkan daripada mendoakan keburukan untuk mereka. Baginda s.a.w lebih suka mendoakan: “Wahai Tuhanku! Tunjukilah kaumku karena mereka tidak mengarti.” Kadang-kadang baginda s.a.w mendoakan: “Wahai Tuhanku! Ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu”. Begitulah halusnya nilai budi dan akhlak Rasulullah s.a.w yang diasuh oleh wahyu.
Rasulullah s.a.w menerima wahyu sebagai kebenaran yang Mutlak. Apa juga bakat yang ada dengan baginda s.a.w separti fikiran, ilham dan kasyaf, baginda s.a.w gunakan sebaik mungkin bagi menterjemahkan wahyu dan menyatakan kebenaran wahyu itu. Tidak pernah terjadi baginda s.a.w mengeluarkan buah fikiran, ilham atau kasyaf yang berbeda dengan wahyu. Baginda s.a.w menggunakan segala bakat baginda s.a.w untuk menyokong wahyu. Cara yang baginda amalkan menyebabkan Hadis menjadi sumber hukum selepas al-Quran. Hadis yang benar daripada Rasulullah s.a.w tidak sezarah pun bercanggah dengan al-Quran.
Rasulullah s.a.w dengan perintah, petunjuk dan bimbingan wahyu menjalani kehidupan di dalam dunia ini sebagai manusia biasa bukan sebagai malaikat atau manusia luar biasa. Baginda s.a.w menjalani kehidupan yang ada urusan beristeri dan berkeluarga, bermasyarakat, merasai kenyang dan lapar, sehat dan sakit dan segala aspek kehidupan manusia biasa, hinggakan baginda s.a.w menjalani juga proses kematian walaupun ada Nabi yang tidak menjalani proses tersebut. Kehidupan yang baginda s.a.w jalani itu berdasarkan bimbingan wahyu yang maha benar. Baginda s.a.w adalah orang yang paling arif mengenai maksud wahyu. Terjemahan wahyu yang baginda s.a.w tunjukkan dengan prinsip dan amalan kehidupan baginda s.a.w sendiri merupakan suasana kehidupan yang paling utama, paling baik, paling mulia dan paling tinggi. Suasana demikian juga yang dijalani oleh para sahabat baginda s.a.w. Mereka adalah golongan yang bergerak di atas muka bumi, di dalam dunia, menyebarkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.
Setelah diangkat menjadi Rasul Allah, Nabi Muhammad s.a.w menerima perintah mengenai enam perkara yang menjadi dasar pembentukan umat yang ingin kembali kepada kemurnian fitrah mereka dan melaksanakan kewajiban kehambaan kepada Allah s.w.t. Enam dasar yang konkrit itu adalah:
1: menyampaikan, mengajak serta membimbing umat manusia supaya mematuhi sekalian perintah Allah s.w.t dan menjauhi sekalian larangan-Nya dengan sepenuh kekuatan dan kebijaksanaan.
2: bersyukur kepada Allah s.w.t yang menciptakan dan mengurniakan nikmat kesinambungan hidup sehingga umat manusia tidak menemui kesukaran di dalam menjalani kehidupan dan mendapatkan keperluan mereka.
3: membersihkan pakaian dan perbuatan zahir serta amalan hati bagi mencapai kesempurnaan takwa.
4: meninggalkan segala yang keji dan munkar separti syirik, berhala, arak, judi, zina, riba dan lain-lain yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t.
5: mengikhlaskan niat dan amalan supaya kepentingan diri tidak merobohkan benteng keadilan dan supaya fitnah kebendaan tidak memesongkan haluan ubudiah (kehambaan) terhadap Allah s.w.t.
6: semua perkara yang dinyatakan di atas hendaklah dilengkapkan dengan sabar karena dugaan di dalam melakukan kebaikan jauh lebih kuat daripada dugaan meninggalkan kejahatan. Sabar menjadi prinsip yang kukuh mempertahankan diri dalam menghadapi halangan dan penentangan di sepanjang jalan menyebarkan dan melakukan kebaikan.
Wahyu telah memberi jawaban yang konkrit terhadap permasalahan yang tidak mampu diurai oleh fikiran, ilham dan kasyaf. Apabila wahyu datang selesailah perjuangan batin Nabi Muhammad s.a.w di dalam mencari hakikat yang sebenar. Kebenaran Hakiki yang baginda s.a.w terima melalui wahyu itu dipertanggungjawabkan kepada baginda s.a.w untuk disampaikan pula kepada sekalian manusia. Baginda s.a.w tidak bisa lagi memencilkan diri di dalam Gua Hiraa. Apabila cahaya kebenaran memancar di dalam lubuk hati dan bidang tugas dibukakan, baginda s.a.w mesti keluar kepada orang banyak, kepada dunia, bagi menyampaikan amanah yang baginda s.a.w tanggung dengan bersuluhkan cahaya kebenaran.
Wahyu menceritakan tentang Allah s.w.t, Tuhan yang bersifat dengan sifat-sifat Kesempurnaan, Yang Maha Mulia dan memiliki nama-nama yang baik-baik. Diterangkan juga tentang kejadian manusia. Wahyu mengajar manusia berbuat kebaktian kepada Allah s.w.t. Diajarkan cara perhubungan dengan sesama manusia. Wahyu sangat menekankan soal takwa yaitu mematuhi titah perintah Allah s.w.t, tidak keluar daripada sempadan jalan yang lurus yang telah digariskan oleh Allah s.w.t sendiri. Wahyu mendidik manusia supaya hidup sebagai hamba Tuhan dengan sebenar-benar kehambaan. Wahyu telah dengan tegas dan jelas meletakkan manusia pada taraf hamba Tuhan, bukan taraf yang lain daripada itu.
Rasulullah s.a.w sangat bersungguh-sungguh mengajarkan al-Quran kepada kaum Muslimin. Pendidikan al-Quran berkembang dengan sangat pesat setelah baginda s.a.w dan kaum Muslimin berhijrah ke Madinah. Jika Rasulullah s.a.w sangat bersungguh-sungguh mengajarkan al-Quran, kaum Muslimin pula sangat bersungguh-sungguh mempelajarinya. Sebagian daripada kaum Muhajirin yang berhijrah ke Madinah terpaksa tinggal di luar kota Madinah, di satu kawasan yang bernama Sunuh, kira-kira 20 km dari masjid Rasulullah s.a.w. Di sana mereka mendirikan rumah-rumah dan menguruskan kebun-kebun. Saidina Abu Bakar dan Saidina Umar adalah di antara mereka yang tinggal di Sunuh. Jarak 20km itu tidak menghalang mereka mempelajari al-Quran daripada Rasulullah s.a.w. Mereka telah menyusun jadual pembelajaran al-Quran dengan rapi. Tiap-tiap hari mereka menghantarkan dua atau tiga orang wakil dari Sunuh pergi ke Madinah. Sepanjang hari wakil dari Sunuh akan mendapatkan apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w, terutamanya ayat-ayat al-Quran yang baru turun. Mereka mempelajari al-Quran secara menghafal dan memahami dengan lengkap. Jika ada larangan atau perintah atau amalan yang disampaikan oleh al-Quran mereka akan mendapatkan penjelasan yang sejelas-jelasnya daripada Rasulullah s.a.w. Apa juga ayat yang turun pada hari itu mesti dihafalkan pada hari itu juga karena pada hari esoknya mungkin ada pula ayat-ayat yang baru turun. Setelah hari petang mereka kembali semula ke Sunuh dan pada malam itu juga atau paling lewat keesokan harinya semua pelajaran yang diterima daripada Rasulullah s.a.w sudah disampaikan kepada semua kaum Muslimin di Sunuh. Mereka mempelajari al-Quran tanpa bertangguh-tangguh. Al-Quran dipelajari secara menyeluruh yaitu membaca, menghafal, memahami dan mengamalkan. Program pembelajaran al-Quran yang diatur oleh Saidina Abu Bakar dan sahabat-sahabat beliau di Sunuh sungguh berkesan sehingga mereka bisa menjalankan kegiatan harian untuk menampung perbelanjaan mereka dan pada masa yang sama mereka bisa mempelajari al-Quran dengan sempurna. Kegiatan pertanian, perniagaan, penternakan, pertukangan dan lain-lain bisa berjalan dengan lancar jika pembelajaran al-Quran dilakukan dengan bersistematik. Kesungguhan mempelajari al-Quran tidak menjejaskan urusan kehidupan harian.
Rasulullah s.a.w sangat teliti di dalam menyampaikan ayat-ayat suci al-Quran kepada kaum Muslimin. Setiap kali turun ayat baginda s.a.w akan mengumpulkan sahabat-sahabat baginda s.a.w dan ayat yang baru turun itu disampaikan dengan pembacaan yang betul, sebutan setiap huruf mengikut kadar panjang dan pendek yang harus dibunyikan. Bacaan yang tepat sebutannya dihafal berulang-ulang sehingga ayat-ayat tersebut benar-benar melekat di dalam ingatan dan hati mereka. Mereka tidak berganjak daripada majlis Rasulullah s.a.w sebelum mereka dapat menyebut ayat-ayat al-Quran dengan betul dan menghafalnya dengan baik. Bukan sekadar membaca dan menghafal, malah mereka juga dilengkapkan dengan pengetahuan dan pengartian yang jelas tentang maksud ayat, kedudukan susunannya di dalam al-Quran dan hubung-kaitnya dengan ayat-ayat yang lain. Jika ayat tersebut melibatkan peraturan dan amalan maka kaedah peraturan dan amalan itu difahami benar-benar. Semua itu mereka pelajari secara langsung daripada Rasulullah s.a.w. Kemudian apa yang sudah mereka pelajari itu mereka sampaikan pula kepada kawan-kawan mereka yang tidak sempat menghadiri majlis Rasulullah s.a.w.
Selain dihafal, ayat-ayat al-Quran juga ditulis di atas kulit binatang, tulang-tulang yang lebar, pelepah-pelepah tamar yang sudah dikeringkan dan batu-batu yang lebar. Jadi, ayat al-Quran bukan saja dipelihara di dalam dada kaum Muslimin malah ia juga dipelihara secara bertulis. Lembaran al-Quran yang bertulis itu disimpan di rumah Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w telah mewariskan al-Quran kepada umat baginda s.a.w dengan cara yang paling berkesan dan selamat. Atas kebijaksanaan baginda s.a.w umat Islam yang datang kemudian dapat menerima al-Quran dalam keasliannya. Selain daripada jurutulis wahyu yang khusus terdapat kira-kira 40 orang yang mengambil bagian di dalam bidang penulisan wahyu. Cara yang demikian lebih memudahkan kaum Muslimin menyebarkan al-Quran.
Rasulullah s.a.w sangat menekankan soal menghafal al-Quran. Baginda s.a.w memberi petunjuk mengenai penghafalan ayat-ayat al-Quran dengan sabda baginda s.a.w yang bermaksud: “Perumpamaan orang yang menghafal al-Quran adalah separti orang yang memiliki unta yang diikat. Jika unta itu dijaga ia terpelihara. Jika dilepaskan ia akan hilang”. Baginda s.a.w mengajarkan supaya mengikat hafalan al-Quran dengan cara terus mengulangi bacaannya seberapa kerap yang terdaya. Selain daripada menghafal, pemahaman dan amalan juga dititik-beratkan. Ibnu Mas’ud menceritakan: “Apabila seseorang kami mempelajari sepuluh ayat dari al-Quran kami tidak akan berpindah kepada ayat lain sebelum kami mengetahui benar-benar maksudnya dan tahu cara beramal dengannya”. Banyak para sahabat menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w mengajarkan ayat-ayat al-Quran kepada mereka secara sepuluh ayat sekali belajar, tetapi lengkap dengan menghafal, memahami maksud, tahu mengamalkannya dan tahu kedudukannya berhubung dengan ayat-ayat lain yang turun terdahulu. Mereka mempelajari al-Quran, menyimpan serta mengamalkannya.
Rasulullah s.a.w selama-lamanya membaca al-Quran secara tartil, membaca dengan terang dan perlahan-lahan, mengeluarkan bunyi setiap huruf dengan jelas. Cara bacaan yang demikian baginda s.a.w sebarkan kepada para sahabat. Cara tersebut selain memberi faedah kepada para pembaca juga memudahkan pendengar mengikuti serta menghafalnya.
Rasulullah s.a.w berjaya membentuk satu umat yang tidak pernah wujud di atas muka bumi separti mereka sebelumnya dan tidak akan ada lagi yang menyamai mereka sesudahnya. Itulah umat yang setiap ahlinya terdiri daripada orang yang arif tentang al-Quran. Jika dilihat al-Quran dari sudut perlembagaan negara maka setiap ahli masyarakatnya adalah ahli politik yang arif tentang peraturan negara. Jika dilihat al-Quran sebagai kod etika sosial maka setiap ahli masyarakatnya adalah pemimpin yang bertanggung-jawab kepada apa yang dipimpin, baik keluarga, perniagaan, pertanian, penternakan dan sebagainya. Jika dilihat al-Quran sebagai kitab ilmu perang maka setiap ahli masyarakatnya adalah perajurit yang senantiasa bersedia menyahut panggilan jihad. Jika al-Quran dilihat sebagai peraturan kehidupan maka setiap ahlinya adalah ahli syariat yang taat. Jika dilihat al-Quran sebagai penyampai khabar tentang Allah s.w.t maka setiap ahli masyarakatnya adalah ahli makrifat yang benar-benar mengenal Allah s.w.t. Jika dilihat al-Quran sebagai ajaran penyucian hati maka setiap ahli masyarakatnya adalah yang sangat mendalam pengartian mereka mengenai hati. Mereka beragama secara menyeluruh. Darah, daging, tulang, sumsun dan urat saraf adalah Muslim. Pendengaran, penglihatan, penciuman, pergerakan dan akal fikiran mereka adalah Muslim. Hati mereka adalah Muslim. Roh mereka adalah Muslim. Mereka memakai satu makam saja yaitu makam HAMBA ALLAH! Mereka tidak tahu perbedaan istilah-istilah syariat, tarekat, hakikat, makrifat, ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tasauf dan yang seumpamanya. Mereka adalah ahli al-Quran dan ilmu mereka adalah ilmu al-Quran.
Rasulullah s.a.w menyiramkan roh dan jiwa raga sahabat baginda s.a.w dengan air al-Quran. Lahirlah individu yang cergas dalam segala bidang. Mereka yang menjadi petani bekerja bersungguh-sungguh dengan segala kemahiran yang mereka miliki bagi menghasilkan makanan dan keperluan kaum Muslimin. Peniaga pula mengumpulkan harta sebanyak mungkin secara halal untuk disumbangkan kepada pembangunan umat dan juga jihad fi-sabilillah. Apa juga nikmat yang diperolehi diperakui sebagai kurniaan Allah s.w.t yang dipertaruhkan sebagai amanah, bukan sebagai milik individu sepenuhnya. Individu yang menerima kurniaan tersebut mentadbirkannya secara yang diredai oleh Allah s.w.t. Apabila pemilikan harta longgar pada hati mudahlah melepaskannya demi kepentingan agama Allah s.w.t karena Allah s.w.t adalah Pemilik sebenar. Saidina Abu Bakar as-Siddik melepaskan kesemua hartanya demi jihad fi-sabilillah. Para sahabat yang lain menyumbangkan menurut kadar masing-masing. Tidak ada yang menuntut harta sebagai pemilikan mereka sepenuhnya. Kaum Ansar telah membuktikannya dengan kesanggupan mereka melepaskan harta dan tanah pemilikan mereka demi membantu saudara-saudara mereka kaum Muhajirin. Apa yang dilepaskan itu diserahkan sepenuhnya kepada Rasulullah s.a.w. Terpulang kepada baginda s.a.w bagaimana mau membagikan harta Ansar tersebut.
Al-Quran telah membimbing Nabi Muhammad s.a.w dan kaum Muslimin agar bergerak cergas dalam segala bidang bagi membentuk kehidupan yang sehat sejahtera sesuai dengan kehendak dan peraturan Allah s.w.t. Kehidupan dunia yang demikian menjadi asas kepada kehidupan akhirat. Kesungguhan Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w membina kesejahteraan di bumi dapat dilihat melalui program dan strategi pertahanan dan ketenteraan yang rapi disusun oleh baginda s.a.w bersama-sama para sahabat baginda s.a.w. Ketika berlaku Perang Badar dalam tahun ke dua hijrah tentera Islam terdiri daripada 313 orang dengan alat kelengkapan perang yang sangat sederhana. Ketika berlaku Perang Uhud dalam tahun ke tiga hijrah tentera Islam berjumlah 700 orang dengan kelengkapan perang yang lebih baik daripada ketika Perang Badar dahulu. Dalam tahun ke lima hijrah berlaku pula Perang Khandak. Dalam peperangan tersebut tentera Islam sudah berjumlah 3,000 orang dengan kelengkapan perang yang mencukupi. Dalam tahun ke enam hijrah Rasulullah s.a.w memimpin 1,700 orang kaum Muslimin menuju Makkah dengan bilangan kuda sebanyak 200 ekor. Dalam tahun ke sepuluh hijrah baginda s.a.w memimpin 10,000 orang tentera Muslimin menakluki kota Makkah. Bilangan kuda pada masa itu sudah berjumlah 1,000 ekor. Pada tahun ke sembilan hijrah baginda s.a.w memimpin hampir 40,000 orang tentera Muslimin ke Tabbuk dalam daerah Syam. Mereka menggunakan 10,000 ekor kuda dan 20,000 ekor unta. Mereka mampu meredah jarak 2,000 batu yang sebagian besarnya adalah padang pasir. Bukan pekerjaan yang mudah membentuk 40,000 orang tentera yang tinggal di merata tempat dalam Semenanjung Arab. Mereka terdiri daripada berbagai-bagai suku dan kaum. Kerja penyelarasan pasukan tentera yang begitu besar bukanlah mudah. 40,000 orang tentera, 10,000 ekor kuda dan 20,000 ekor unta berkumpul di Madinah pada satu masa sebelum berangkat ke Tabbuk. Tempat tinggal, makan dan minum mereka semua diperlukan. Pekerjaan yang berat itu dapat diselenggarakan oleh kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah s.a.w. Apa yang tidak dapat dibuat oleh umat lain mampu dilakukan oleh umat Nabi Muhammad s.a.w karena mereka mendapat pimpinan yang langsung dari Allah s.w.t melalui wahyu-Nya, melalui Rasul-Nya. Al-Quran telah berjaya membentuk umat yang menjadi penolong dan pembela agama Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w mengatakan di Arafah bahwa orang yang bisa menolong agama Islam adalah mereka yang memberikan sepenuh hatinya kepada Islam dan bekerja dalam segala jurusan untuk Islam. Orang yang menolong Islam dalam satu jurusan saja tidak dapat menyumbangkan kepada perkembangan Islam secara berkesan. Hanya mereka yang menyerah secara menyeluruh dirinya, tenaganya, hartanya dan masanya untuk Islam benar-benar mampu menaikkan Islam. Orang yang menolong Islam dalam satu jurusan saja, misalnya dalam jurusan ibadat saja atau dalam jurusan ekonomi saja atau politik saja, tidak banyak membantu kepada pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Hanya golongan Ansar (orang yang menolong dan membela Islam dalam segala bidang) dapat menyokong perkembangan Islam. Orang Ansar mengenepikan segala kepentingan diri demi agama Allah s.w.t, karena Allah s.w.t!
Rasulullah s.a.w juga memberikan perhatian kepada bidang ekonomi. Di dalam pelan pembangunan Madinah baginda s.a.w tidak lupa menyediakan kawasan untuk dijadikan pusat perniagaan kaum Muslimin. Sebelumnya kaum Muslimin Madinah berkumpul di pasar Yahudi Banu Kainuka. Sistem pasar tersebut berjalan menurut peraturan Yahudi. Rasulullah s.a.w sangat tidak menyukai apa saja yang bercanggah dengan peraturan Allah s.w.t. Baginda s.a.w mau kaum Muslimin berniaga menurut prinsip perekonomian Islam. Oleh itu baginda s.a.w membuka pusat perniagaan yang baru. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Inilah tapak tempat perniagaan kamu, semoga ia tidak sempit dan tidak dipungut hasil padanya”. Muncullah sebuah pekan kecil yang berperanan sebagai pasar bebas cukai milik kaum Muslimin Madinah. Pusat perniagaan yang dibuka oleh Rasulullah s.a.w itu diberkati Allah s.w.t. Pengunjungnya senantiasa bertambah dan pada masa yang sama pasar Yahudi menjadi semakin lengang.
Tugas Rasulullah s.a.w dalam bidang ekonomi bukan sekadar menyediakan kawasan perniagaan saja. Baginda s.a.w juga melindunginya agar keadilan dalam perniagaan ditegakkan di sana. Satu ketika baginda s.a.w melihat ada didirikan khemah di kawasan perniagaan tersebut. Baginda s.a.w memerintahkan agar khemah itu dibakar. Sebelum terjadi perlumbaan mengawal kepentingan diri sendiri dengan mencabut hak orang lain, awal-awal lagi Rasulullah s.a.w mencabut pokok yang berbisa itu, sebelum ia sempat tumbuh segar dan merusakkan sistem perekonomian kaum Muslimin. Baginda s.a.w tidak mau ruang perniagaan menjadi sempit lantaran didirikan bangunan di atasnya. Tidak ada pemilikan dan penguasaan individu di dalam kawasan perniagaan yang di bina oleh Rasulullah s.a.w.
Pada masa yang lain pula Rasulullah s.a.w melihat ada peniaga yang menumpuk gandum. Baginda s.a.w memasukkan tangan baginda s.a.w ke dalam tumpukan gandum itu dan mendapati bagian bawahnya basah. Baginda s.a.w memerintahkan agar bagian yang basah diletakkan di atas supaya pembeli tidak tartipu. Baginda s.a.w juga menegur sikap peniaga yang sengaja menaikkan harga barang. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Orang yang membawa barang ke pasar ini separti orang yang berjihad fi-sabilillah. Orang yang menaikkan harga barang separti orang yang kufur dengan Allah s.w.t”.
Di dalam pelan pembangunan Madinah masjid menjadi pusat atau jantung yang segala aktiviti bergerak mengelilinginya. ‘Roh’ kepada jantung itu adalah Nabi Muhammad s.a.w. Daripada masjid baginda s.a.w memancarkan kehidupan yang baik yang berbentuk kerohanian dan juga kebendaan. Jika masjid diibaratkan jantung, maka darah yang dihantarkan oleh jantung kepada semua bagian adalah al-Quran. Darah al-Quran memberikan kekuatan kepada kaum Muslimin. Kaum Muslimin bekerja di atas dasar mentaati Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Pembangunan kebendaan berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran.
Wahyu meninggalkan kesan yang sangat mendalam kepada Rasulullah s.a.w dan pengikut baginda s.a.w. Setiap kali wahyu turun terjadilah perubahan pada diri mereka dan suasana di sekeliling mereka. Wahyu yang dibacakan sendiri oleh Rasulullah s.a.w mempunyai kekuatan untuk mendatangkan perubahan. Apabila Rasulullah s.a.w membaca wahyu yang menegur sesuatu perkara yang ada pada mereka, maka dengan segera mereka mengambil tindakan menyesuaikan diri dengan teguran tersebut. Amalan, kepercayaan, tradisi dan apa saja mereka bisa lepaskan dengan mudah apabila datang perintah wahyu. Pekerjaan berat dan belum pernah mereka lakukan akan menjadi ringan jika wahyu memerintahkan mereka melakukan pekerjaan tersebut. Apabila datang wahyu mengharamkan arak, orang yang sedang memegang botol arak terus mencampakkannya, sekalipun mereka merupakan orang yang ketagihkan arak. Begitulah kekuatan wahyu yang dibacakan secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Kaum Muslimin senantiasa mengharapkan kedatangan wahyu untuk memberi petunjuk, bimbingan dan teguran kepada mereka. Kedatangan wahyu adalah umpama kedatangan kekasih yang mereka rindui. Mereka fana di dalam wahyu hinggakan tidak ada perkataan yang menguasai mereka melebihi perkataan Allah s.w.t. Mereka baqa di dalam perintah wahyu yaitu kehambaan kepada Allah s.w.t hinggakan tidak ada yang menguasai mereka melainkan peraturan Allah s.w.t. Itulah umat Nabi Muhammad s.a.w yang fana dalam wahyu dan baqa dalam ubudiah (kehambaan).
5: JALAN PARA SAHABAT R.A
________________________________________
Kaum Muslimin yang dibimbing secara langsung oleh Rasulullah s.a.w telah menunjukkan kecemerlangan dalam apa juga bidang yang mereka ceburi dan apa juga suasana yang mereka berada di dalamnya. Mereka mampu bertahan ketika menghadapi ujian bala bencana, menanggung penghinaan, ejekan, penentangan dan penyiksaan sehingga mereka terpaksa mengharungi lautan ke Habsyah dan meredah padang pasir ke Yasrib demi menyelamatkan agama mereka. Di hadapan Raja Habsyah, Jaafar bin Abu Talib selaku ketua Muhajirin di Habsyah, telah memberi penerangan lengkap dan jelas mengenai Nabi Muhammad s.a.w dan agama Islam, mematahkan hujah wakil pihak Quraisy yang menuntut agar kaum Muslimin dihantar pulang ke Makkah. Jelas sekali para sahabat Rasulullah s.a.w bukan saja memiliki ketahanan jiwa menanggung kesusahan malah mereka juga memiliki kecerdasan akal fikiran. Mereka adalah duta-duta Rasulullah s.a.w, menterjemahkan sifat-sifat baginda s.a.w yaitu benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana. Mereka bisa berdiri di hadapan siapapun saja bagi menyampaikan kebenaran secara bijaksana. Apa yang terbit dari mereka adalah bakat-bakat dan sifat-sifat Roh Islam yang tulen yang memenuhi seluruh rongga tubuh mereka dan setiap ruang hati mereka. Ketulenan Roh Islam yang mengendalikan kehidupan mereka menyebabkan mereka Islam pada perkataan, Islam pada perbuatan dan Islam pada amalan hati.
Ketulenan Roh Islam lahir apabila ia digilap dengan cara mengesakan Allah s.w.t, mengabdikan diri kepada-Nya dengan beramal salih dan bertakwa serta mengasihi saudara Muslimnya apa yang dikasihi untuk dirinya sendiri. Apabila jalan atau tarekat tersebut diikuti akan muncullah Roh Islam yang sejati dan tulen. Ketulenan itu diuji pula dengan dihadapkan kepada ujian bala bencana, penekanan pada zahir dan batin. Jika ujian bala tidak mencederakan iman maka sahlah ketulenan Roh Islam seseorang Muslim itu. Begitulah tarekat yang didukung oleh kaum Muslimin yang diasuh secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Mereka tundukkan jasad kepada pemerintahan roh dan roh ditundukkan kepada perintah Allah s.w.t yang disampaikan melalui Rasulullah s.a.w. Roh Islam tidak dikuasai oleh sesuatu melainkan kekuasaan Allah s.w.t. Roh Islam merdeka dari segala sesuatu kecuali Allah s.w.t, Rasul-Nya dan agama-Nya. Apa juga kekacauan yang melanda dunia tidak akan sampai kepada Roh Islam selagi orang Islam tidak menjualkan akhiratnya untuk kebendaan dan duniawi.
Kaum Muslimin dibimbing oleh Nabi Muhammad s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w dibimbing oleh Jibrail a.s. Jibrail a.s dibimbing oleh Allah s.w.t. Nabi Muhammad s.a.w telah memasuki satu jalan khusus untuk baginda s.a.w sendiri. Baginda s.a.w memasuki alam khalwat sewaktu berusia 36 tahun. Baginda s.a.w pergi ke Gua Hiraa melalui bimbingan Allah s.w.t, sebagaimana firman-Nya:
Dan didapati-Nya engkau mencari-cari (jalan yang benar), lalu Ia memberikan hidayah petunjuk (dengan wahyu – al-Quran)? ( Ayat 7 : Surah adh-Dhuha )
Tuhan yang memimpin Nabi Muhammad s.a.w ke Gua Hiraa. Pimpinan yang demikian dinamakan Tarikan Rahmani atau tarikan yang langsung dari Allah s.w.t. Ketika mencari kebenaran Nabi Muhammad s.a.w tidak pergi kepada pendeta Yahudi dan Nasrani yang terkenal alim mengenai kitab-kitab dari langit dan juga ilmu falsafah. Baginda s.a.w pergi ke Gua Hiraa yang gelap gelita, meletakkan sepenuh harapan dan pergantungan kepada Allah s.w.t. Apa yang dicari oleh Nabi Muhammad s.a.w tidak dapat diurai dan dibukakan oleh siapapun saja kecuali Allah s.w.t. Apa yang Allah s.w.t berkehendak mengurniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w melebihi apa yang mampu diberikan oleh manusia.
Setelah fitrah suci baginda s.a.w menerima pembukaan dengan kedatangan wahyu yang pertama, selesailah urusan berkhalwat. Khalwat di Gua Hiraa telah memberikan makna yang besar kepada penghidupan Nabi Muhammad s.a.w. Latihan tersebut menjadi asas yang kukuh di dalam pembentukan keperibadian dan kekuatan jiwa Nabi Muhammad s.a.w. Hasilnya rohani dan jasmani baginda s.a.w mampu bertahan menerima kunjungan wahyu yang maha berat dan ia juga membuatkan baginda s.a.w mampu melakukan Israk dan Mikraj di kemudian hari nanti. Tanpa kekuatan yang diperolehi di Gua Hiraa mungkin jasad dan roh baginda s.a.w akan hancur bila ‘dihempap’ oleh wahyu dan bila baginda s.a.w memasuki alam tinggi ketika Mikraj. Hanya golongan nabi-nabi yang dipersiapkan untuk menjadi cukup kuat bagi menerima kedatangan wahyu dan juga memasuki alam tinggi. Golongan yang selain nabi-nabi, walaupun siddiqin dan salihin, mereka hanya menerima percikan wahyu dan memasuki alam tinggi secara pengalaman kerohanian separti zauk dan kasyaf, tidak secara langsung separti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Oleh yang demikian siddiqin dan salihin juga wajib merujuk kepada wahyu di dalam menentukan kebenaran sesuatu perkara. Siddiqin yang paling utama, Abu Bakar as-Siddik, juga tertakluk kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Tidak ada fikiran, ilham dan kasyaf orang siddik dan salih yang bebas daripada wahyu. Kenyataan ini dibuktikan oleh Nabi Muhammad s.a.w dan sahabat-sahabat baginda s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w tidak meninggalkan khalwat sebelum wahyu datang. Para sahabat tidak meninggalkan Rasulullah s.a.w, senantiasa mentaati baginda s.a.w dalam apa perkara sekali pun.
Setelah wahyu datang tamatlah peringkat khalwat yang dilalui oleh Nabi Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w sebagai penterjemah wahyu yang paling arif menyampaikan ajaran wahyu kepada pengikut-pengikut baginda s.a.w tanpa membawa mereka memasuki proses khalwat baik di Gua Hiraa atau di mana-mana gua. Tarekat atau jalan sebelum kedatangan wahyu dengan selepas kedatangan wahyu adalah berbeda. Wahyu membawa Nabi Muhammad s.a.w dan pengikut baginda s.a.w memasuki tarekat kehidupan harian di atas muka bumi, di dalam dunia, secara bertauhid dan beramal salih serta bertakwa. Semua itu dilakukan dengan memperakui dan memelihara kewujudan kekeluargaan, kemasyarakatan dan kenegaraan. Golongan hamba yang telah memeluk agama Islam memperakui kedudukan mereka sebagai hamba. Tidak ada hamba yang memeluk Islam lari dari tuan mereka. Mereka tetap menghormati institusi kemasyarakatan sekalipun telah memilih Islam yang mempunyai institusinya sendiri. Golongan pedagang terus juga berdagang. Golongan pertukangan dan pertanian terus juga bertukang dan bertani. Tidak ada di antara mereka yang meninggalkan urusan kehidupan harian lantaran mau berkhalwat secara khusus separti yang telah dilalui oleh Rasulullah s.a.w. Islam tidak mengubah kehidupan harian. Apa yang Islam buat adalah menyusun semula kehidupan itu agar ia menjadi jalan yang lurus menuju kebaikan di dunia dan di akhirat dan seterusnya menemui Tuhan Rabbul Jalil.
Muslim generasi pertama telah membina asas jalan yang lurus dengan keringat dan darah mereka, dengan harta dan jiwa mereka. Generasi yang datang kemudian dapat berjalan di atas jalan lurus yang sudah siap di bina, tidak perlu lagi membina jalan yang lain. Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w yang berjuang menegakkan jalan yang lurus itu tidak melepaskan sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana dalam segala urusan termasuklah ketika bertawakal, berserah diri dan beriman kepada Qada dan Qadar. Mereka beriman kepada takdir dan berserah diri secara bijaksana dan benar. Mereka melihat tanda mereka berserah diri kepada Tuhan adalah mereka menggunakan segala bakat dan keupayaan yang Tuhan kurniakan kepada mereka untuk bergerak di atas jalan yang lurus, melakukan amal salih dan bertakwa. Mereka melihat bahwa tanda mereka beriman kepada takdir adalah mereka menggunakan segala kekuatan untuk mempertahankan kebenaran dan yang benar karena yang demikian itulah takdir yang paling benar, sementara yang lain itu hanyalah bayangan takdir yang samar-samar dan tidak layak diimani.
Nabi Muhammad s.a.w telah menunjukkan contoh teladan yang benar mengenai konsep beriman kepada takdir dan bertawakal. Baginda s.a.w cenderung bergerak dan bartindak di dalam sempadan kemanusiaan biasa dengan menggunakan bakat kemanusiaan separti orang banyak. Pada malam pemuda-pemuda Quraisy mengepung rumah baginda s.a.w untuk membunuh baginda s.a.w, baginda s.a.w telah menyuruh Saidina Ali bin Abu Talib tidur di tempat baginda s.a.w biasa tidur dan Saidina Ali diselimutkan dengan kain selimut baginda s.a.w sendiri. Baginda s.a.w menggunakan strategi, kebijaksanaan dan helah kemanusiaan untuk mengalahkan kumpulan yang mau membunuh baginda s.a.w itu. Setelah keluar dari rumah, baginda s.a.w bersama-sama sahabat paling akrab, Saidina Abu Bakar, bersembunyi di dalam Gua Saur. Rancangan persembunyian di sana telah di atur dengan sangat rapi sehingga rahsia tersebut tidak bocor. Semasa di dalam persembunyian itu maklumat senantiasa di hantar kepada baginda s.a.w oleh anak lelaki Saidina Abu Bakar. Makanan disediakan oleh bekas hamba Saidina Abu Bakar yang mengembalakan kambing Saidina Abu Bakar di kaki Bukit Saur. Semua jejak yang dibuat oleh Rasulullah s.a.w dan Saidina Abu Bakar dihapuskan sehingga tidak ada tanda-tanda yang mereka bersembunyi di Gua Saur. Sekali lagi kaum musyrikin ditewaskan oleh kebijaksanaan Rasulullah s.a.w.
Sebaik saja keadaan di dalam negeri Makkah reda dan tenang sedikit dan telah ada ruang untuk Rasulullah s.a.w bergerak, maklumat tersebut dengan pantas dihantarkan oleh anak Saidina Abu Bakar dan dengan segera pula Rasulullah s.a.w bartindak di atas kesempatan yang terbuka itu. Unta-unta Saidina Abu Bakar yang kuat, yang dijaga khusus untuk tujuan hijrah itu, dan bekalan makanan dengan segera dihantarkan ke Gua Saur. Rasulullah s.a.w bersama-sama Saidina Abu Bakar, dengan dipandu oleh jurupandu yang mahir, bersegera meninggalkan Gua Saur. Pergerakan yang begitu pantas hanya bisa terjadi dengan perancangan yang rapi dan bijaksana. Setelah meninggalkan Gua Saur baginda s.a.w mengambil jalan yang bertentangan dengan arah Yasrib. Jalan yang paling sukar dan paling tidak di sangka telah dipilih oleh Rasulullah s.a.w. Selepas melepasi kawasan bahaya barulah Rasulullah s.a.w membelok ke arah Yasrib.
Tidak ada pengkaji sejarah yang tidak berasa kagum dengan kebijaksanaan Rasulullah s.a.w. Kebijaksanaan baginda s.a.w sudah menyerlah ketika baginda s.a.w masih muda belia lagi. Kekuatan akal baginda s.a.w dapat mengalahkan kekuatan akal semua manusia. Semua akal tunduk kepada akal yang mendapat pembukaan daripada Allah s.w.t. Kebijaksanaan merupakan mukjizat Rasulullah s.a.w yang sangat ketara. Ketika suku-suku Quraisy sudah sampai kepada peringkat mau berperang sesama sendiri akibat kebuntuan akal mereka menentukan siapakah yang layak meletakkan semula Hajaral Aswad ke tempat asalnya setelah Kaabah dibina semula, Nabi Muhammad s.a.w yang pada masa itu masih seorang pemuda, dengan mudah saja menyelesaikan partikaian tersebut, tanpa memerlukan masa untuk berfikir, tanpa meminta pendapat siapapun dan tanpa ragu-ragu baginda s.a.w mengeluarkan formulai yang diterima oleh semua orang. Kebijaksanaan baginda s.a.w menjadi lebih sempurna lagi setelah mendapat penerangan daripada wahyu. Tidak ada sepatah pun perkataan baginda s.a.w yang sia-sia. Tidak ada satu pun perbuatan baginda s.a.w yang tidak bermanfaat. Hanya Nabi Muhammad s.a.w seorang saja di dunia ini yang setiap patah perkataan dan setiap perbuatannya direkodkan. Hingga kini belum ditemui sebarang kesilapan pada perbuatan dan perkataan baginda s.a.w.
Rasulullah s.a.w melaksanakan segala tugas dengan cemerlang, dengan menggunakan bakat dan keupayaan kemanusiaan. Memang benar baginda s.a.w dikurniakan mukjizat tetapi mukjizat hanya datang setelah baginda s.a.w menggunakan bakat kemanusiaan dalam melaksanakan tugas. Baginda s.a.w tidak melemparkan sifat-sifat kemanusiaan lantaran kunci mukjizat berada dalam tangan. Bahkan keupayaan baginda s.a.w menyelesaikan masalah kemanusiaan dengan menggunakan bakat kemanusiaan merupakan mukjizat yang sangat luar biasa. Baginda s.a.w telah membuktikan bahwa seseorang insan yang dapat mempertahankan sifat-sifat kemanusiaan dan kehambaan dalam segala keadaan dan makam itulah perkara yang sangat luar biasa. Di bumi, Nabi Muhammad s.a.w bergerak sebagai hamba Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Di langit, Nabi Muhammad s.a.w bergerak sebagai hamba Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Bahkan di hadapan Allah s.w.t, Nabi Muhammad s.a.w sujud sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya. Tidak terbalik pandangan baginda s.a.w lantaran berlaku perubahan stesen dan makam.
Peristiwa hijrah memberi pengajaran yang sangat berguna kepada umat manusia agar mereka menghargai bakat dan keupayaan kemanusiaan yang Allah s.w.t kurniakan kepada mereka. Nabi Muhammad s.a.w telah mengajarkan bahwa menggunakan akal fikiran, mengadakan strategi dan perancangan serta melakukan ikhtiar dan usaha adalah sebagian daripada pakej beriman kepada takdir, bertawakal dan berserah diri. Jika ada orang yang mentafsirkannya secara lain tentu sekali tafsirannya berbeda dengan tafsiran yang dikeluarkan secara nyata melalui perbuatan oleh Rasulullah s.a.w.
Sebelum kedatangan wahyu Nabi Muhammad s.a.w memasuki amalan berkhalwat. Setelah wahyu datang baginda s.a.w dibimbing oleh wahyu untuk membimbing umat manusia. Baginda s.a.w membawa pengikut-pengikut baginda s.a.w meredah lautan bala bencana, menanggung penyiksaan dan menghadapi penentangan karena semua itu adalah batu ujian yang menggilap iman. Tarekat khalwat sudah berubah menjadi tarekat kehidupan harian yang penuh dengan ujian bala bencana.
Rasulullah s.a.w dan Muslim generasi pertama berjalan di atas ranjau kehidupan, menghadapi kezaliman dan menanggung penderitaan. Keluarga Yasir yang menjadi hamba kepada suku Banu Makhzum telah diseksa dengan sangat teruk sekali. Mereka dijemur di lembah Makkah diwaktu panas terik dengan diletakkan batu di atas dada mereka. Rasulullah s.a.w menziarahi keluarga Yasir dan memberikan kekuatan rohani kepada mereka. Baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Bergembiralah wahai keluarga Yasir. Kamu akan mendapat tempat di dalam syurga”. Ucapan Rasulullah s.a.w itu menjadi penawar yang sangat mujarab, memberi kekuatan kepada keluarga Yasir untuk menanggung penderitaan yang sedang menimpa mereka. Mereka mampu mempertahankan iman mereka dengan penuh kesabaran. Mereka telah terhibur dengan janji yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. Mereka sedikit pun tidak berasa ragu dengan jaminan Rasulullah s.a.w itu. Mereka telah mencium bau syurga dan ia menjadikan mereka tenang, reda dengan takdir Tuhan. Kebagiaan syurga yang menunggu di hadapan menyapu segala kesakitan yang sedang dialami.
Walaupun diseksa dengan hebatnya oleh Banu Makhzum namun keluarga Yasir tidak berganjak daripada kepercayaan mereka. Usaha untuk membawa mereka kepada kekufuran hanya sia-sia. Orang Banu Makhzum yang gagal mengubah akidah keluarga Yasir, menjadi kerasukan syaitan. Apabila syaitan sudah menguasai mereka sepenuhnya hilanglah keperimanusiaan mereka. Dada Yasir direjam dengan tombak. Samyah, isteri Yasir, menjadi lebih bersemangat dan berani menentang tuannya. Banu Makhzum tidak tahu hendak buat apa lagi dengannya. Samyah diserahkan kepada Abu Jahal yang ikut serta menyeksa keluarga Yasir itu. Abu Jahal yang bersekutu dengan iblis, mengambil sebilah tombak dan dengan sekuat-kuat tenaganya merejamkan tombak itu ke bagian kemaluan Samyah hingga tembus ke belakang. Keluarlah dua roh suci, naik kepada Tuhan mereka, membawa kemenangan di dalam mempertahankan tauhid. Yasir dan isterinya Samyah menjadi syuhada yang pertama dalam Islam. Nama mereka yang diukir dengan tinta emas tidak mungkin padam dari lembaran sejarah perjuangan Rasulullah s.a.w. Yasir dan Samyah mendahului para syuhada yang lain, menunggu mereka di pintu syurga.
Selain Yasir dan keluarganya, Bilal bin Rabah dan ibunya juga menerima seksaan yang berat daripada tuan mereka. Mereka menjadi hamba kepada Umayyah bin Khalaf. Bilal menghadapi segala penyeksaan ke atasnya dengan semangat yang kental. Bilal berkata kepada tuannya: “Walaupun tuan cincang lumat badan saya, tuan pisahkan roh dari tubuh saya, namun agama ini tetap saya anuti dan saya pertahankan sedaya upaya saya. Tubuh saya tidak memerlukan makanan yang enak atau pakaian yang cantik atau kehidupan yang selesa. Roh saya yang memerlukan makanan dan pakaian dan perlu dipersucikan. Kini saya sudah temui yang dapat memenuhi keperluan roh saya sebanyak mungkin. Saya tidak memerlukan apa-apa lagi dari tuan. Sia-sia saja tuan menghalangi saya dari mendapatkan yang demikian”.
Ketegasan Bilal menambahkan kemarahan Umayyah. Tangan Bilal diikat dan lehernya dibelit dengan rantai yang berduri. Bilal tidak diberi makan dan minum. Usaha yang kejam itu gagal meruntuhkan iman Bilal. Kemudian Bilal diseret mengelilingi kota Makkah. Orang banyak mengejeknya sambil membalingnya dengan batu. Tindakan begini juga tidak menggugat iman Bilal. Apabila sampai berhampiran dengan Kaabah Bilal menjerit sekuat-kuat hatinya: “AHAD! AHAD! AHAD!” Perkataan inilah yang sangat dibenci oleh kaum musyrikin Quraisy. Bilal tidak putus-putus menyebut Ahad, Ahad, Ahad. Bilal dibawa pula ke padang pasir yang sangat panas. Beliau dipakaikan baju perang (baju besi). Bilal yang dipakaikan baju besi itu dijemur di tengah panas yang sangat terik. Iman Bilal terus memancar. Perkataan Ahad terus keluar dari celah bibirnya. Orang musyrikin sudah tidak dapat menahan geram lagi. Mereka bebanyak-banyak mengangkat seketul batu besar dan diletakkan di atas dada Bilal. Nun di atas sana matahari ‘menyala’. Di bawah pula pasir ‘membara’. Di antara keduanya adalah Bilal yang berpakaian baju besi dan ditindih pula oleh batu besar. Bilal tidak nampak matahari, pasir atau batu besar. Bilal tidak merasakan kepanasan atau keberatan. Bilal hanya melihat satu saja yaitu Yang Maha Satu, Maha Esa, Ahad! Bilal menikmati kelazatan menyaksikan Yang Maha Esa. Dari celah bibirnya, dengan nada yang perlahan dan tersekat-sekat, masih lagi keluar ucapan: “Ahad! Ahad! Ahad!” Dengarlah Bilal bermunajat: “Jika mereka mau membunuh aku agar aku menyengutukan Tuhan ar-Rahman, biarlah aku mati daripada aku berbuat demikian. Aku lebih takut menyengutukan Allah. Allahumma! Tuhan Ibrahim, Tuhan Yunus, Tuhan Musa dan Tuhan Isa. Selamatkan iman daku!”
Bilal telah lulus ujian makam keesaan. Bilal sudah memperolehi pancaran Ahadiyyah. Allah s.w.t menghantarkan wakil-Nya untuk menyelamatkan hamba-Nya yang telah membuang segala sesuatu dari hatinya selain Allah s.w.t. Abu Bakar, lelaki benar lagi jujur, datang ke tempat Bilal yang sedang teruk diseksa. Abu Bakar mau membeli Bilal yang imannya sudah dibeli oleh Allah s.w.t. Apakah Umayyah mau melihat Bilal mati dan dia kerugian? Umayyah mengambil peluang yang ditawarkan oleh Abu Bakar. Bilal dijualkan kepada Abu Bakar dengan harga lima kali lebih mahal daripada harga biasa seorang hamba. Abu Bakar membayarnya tanpa tawar menawar. Abu Bakar mencoba mengangkat batu yang di atas dada Bilal tetapi tidak berdaya. Beliau naik berang. Disergahnya orang-orang yang berada di tempat itu. Barulah mereka datang mengangkat batu tersebut. Baju besi juga ditanggalkan dari tubuh Bilal. Bilal sudah bebas dari matahari yang menyala dan pasir yang membara. Bilal sudah bebas dari batu yang menindih dadanya. Bilal sudah bebas dari baju besi yang membungkusnya. Bilal bertanya kepada Abu Bakar: “Adakah tuan membeli saya untuk menjadi hamba tuan?” Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, wahai Bilal engkau aku bebaskan”. Bebaslah Bilal sepenuhnya dari segala bentuk perhambaan kecuali kehambaan terhadap Allah s.w.t. Ibu Bilal, Hamamah, juga dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakan. Lain-lain hamba yang dibeli dan dibebaskan oleh Abu Bakar adalah Amir bin Furahah (lelaki yang mengembala kambing di kaki Gunung Saur sewaktu Rasulullah bersembunyi di sana sebelum berangkat ke Madinah), Abu Fukaihah, Zinnirah, Ummu Ubais, an-Nahyah dan anak perempuannya, Khabbab bin al-Aratti (lelaki yang berada bersama-sama adik perempuan Umar al-Khattab dan suaminya ketika Umar menerpa masuk dan merampas lembaran yang tertulis ayat al-Quran yang sedang dibaca oleh adiknya) dan seorang hamba perempuan kepada Banu Zuhrah.
Rasulullah s.a.w dan Muslim telah menjalani tarekat ujian bala. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman, rumah tangga, kaum keluarga, harta benda dan pekerjaan demi menyelamatkan akidah mereka. Walau bagaimana keras ujian yang mereka terima namun, mereka tetap berpijak di atas bumi yang nyata. Tarekat mereka adalah kekhalifahan di bumi. Mereka beriman kepada akhirat dan perkara ghaib dan mereka juga beriman kepada perkara kehidupan harian di dalam dunia ini yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Mereka menuju akhirat dengan menunggang dunia. Tidak ada di antara mereka yang lari daripada dunia lantaran cintakan Allah s.w.t dan akhirat. Mereka adalah kumpulan yang diperakui oleh Rasulullah s.a.w sebagai golongan yang paling baik pernah wujud di atas muka bumi. Itulah golongan yang menggabungkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, golongan yang menjadikan dunia sebagai kebun akhirat. Mereka menyintai Allah s.w.t dan Rasul-Nya tanpa membuang dunia dan akhirat. Mereka mendukung tarekat Islam yaitu mentaati Allah s.w.t dan Rasul-Nya dengan melakukan kehambaan kepada Allah s.w.t dengan sebenar-benar kehambaan serta melakukan amal salih dan bertakwa.
Mungkin tidak seorang pun yang datang kemudian telah mengalami zauk atau kefanaan yang dialami oleh Bilal sewaktu dijemur di panas terik dengan berpakaian baju besi dan ditindih batu besar di atas dadanya. Dalam puncakk kefanaan dan zauk Bilal mengucapkan: “Ahad! Ahad! Ahad!” Suasana ketuhanan yang menguasai Bilal dan yang sedang disaksikan oleh mata hati Bilal menyebabkan terucap perkataan AHAD bukan “ana al-Haq!” Masih adakah umat kemudian yang semulia Bilal, juru azan Rasulullah s.a.w? Bukankah pada malam Israk dan Mikraj Rasulullah s.a.w mendengar bunyi terompah Bilal di dalam syurga. Kemuliaan dan ketinggian derajat Bilal masih tidak mengatasi derajat Abu Bakar as-Siddik, sedangkan Abu Bakar tidak melalui makam fana dan zauk. Beliau r.a senantiasa di dalam keadaan jaga. Zauknya adalah mencintai Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Kefanaan beliau r.a adalah wahyu. Kebaqaan beliau r.a adalah ubudiah. Begitu juga halnya dengan Umar, Usman dan Ali. Jalan yang ditempuh oleh para sahabat itu adalah jalan yang dibimbing secara langsung oleh Rasulullah s.a.w dan jalan demikian diistilahkan sebagai jalan kenabian.
6: JALAN KENABIAN
________________________________________
Para sahabat Rasulullah s.a.w adalah kumpulan kaum Muslimin yang paling bertuah karena Rasulullah s.a.w berada di tengah-tengah mereka. Mereka menerima pengajaran wahyu secara langsung daripada baginda s.a.w. Mereka adalah golongan yang paling diberkati Allah s.w.t karena Dia kurniakan kepada mereka cahaya (Nur) Nabi Muhammad s.a.w secara terus, tanpa dihijab oleh ruang, zaman atau masa. Apa yang mereka perolehi daripada Nur Nabi Muhammad s.a.w adalah yang paling benar dan asli pada tahap maksimum. Jika Nabi Muhammad s.a.w diibaratkan sebagai matahari, maka para sahabat menerima pancaran matahari ketika ia berdiri tegak tanpa segumpal awan pun melindunginya. Umat yang di belakang pula adalah umpama orang yang menerima pancaran cahaya matahari ketika ia telah condong ke barat dan ketika awan mendung sudah berarak dipermukaan langit.
Kaum Muslimin yang menerima tarekat secara langsung daripada Rasulullah s.a.w menetap di atas jalan kehambaan dan kesadaran. Wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w secara langsung membakar sifat-sifat keji para sahabat tanpa membakar identiti mereka. Mereka mengikuti tingkah-laku Rasulullah s.a.w dengan bersungguh-sungguh untuk memakai sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan Rasulullah s.a.w karena baginda s.a.w adalah model yang Allah s.w.t hantarkan untuk diteladani. Apabila jalan yang demikian diikuti maka para sahabat menjadi duta-duta kepada Rasulullah s.a.w, cermin yang membalikkan cahaya Nabi Muhammad s.a.w dan penyambung lidah Nabi Muhammad s.a.w. Cara yang demikian meneguhkan iman di atas landasan kehambaan. Tidak ada permencobaan untuk membuang kehambaan dan menjadi Tuhan. Tidak ada pengalaman kerohanian yang memabukkan. Banyak daripada pengalaman yang ganjil-ganjil yang dialami oleh para sufi yang datang kemudian, tidak dialami oleh para sahabat Rasulullah s.a.w. Golongan yang menjalani tarekat yang diterima secara langsung daripada Rasulullah s.a.w tidak mengalami atau jarang terjadi pengalaman dan penyaksian terhadap tajalli-tajalli, warna dan cahaya. Pengalaman yang demikian tidak terjadi di peringkat awal sahabat menerima Islam dan tidak juga di peringkat akhir. Pengalaman yang demikian tidak berlaku karena ‘matahari’ kenabian tidak ditutup oleh awan mendung keraguan dan syak wasangka yang biasa dikeluarkan oleh akal fikiran. Pengembara pada jalan kenabian yaitu tarekat para sahabat tidak terpukau dengan tajalli dan tidak tertarik dengan bayangan. Tajalli dan bayangan adalah fenomena yang timbul selama awan mendung menutupi cahaya matahari yang asli. Setelah awan mendung berlalu muncullah cahaya yang terang benderang, tanpa rupa, tanpa warna dan bayangan juga hilang.
Para sahabat yang mengikuti jalan kenabian sangat menyintai akhirat. Keluarga Yasir yang sedang hebat menderita diseksa oleh orang Banu Makhzum, menjadi tenang apabila menerima jaminan syurga daripada Rasulullah s.a.w. Syurga yang dijanjikan itu memberi semangat dan kekuatan kepada keluarga Yasir. Kecintaan mereka kepada akhirat lahir daripada kecintaan mereka kepada Allah s.w.t yang berjanji untuk memperlihatkan Diri-Nya di akhirat kelak. Mereka tidak meninggalkan akhirat atau pun dunia lantaran kecintaan mereka kepada Allah s.w.t. Kecintaan kepada Allah s.w.t yang disertai oleh kecintaan kepada akhirat dan dunia tidak menggoncangkan iman dan pegangan tauhid mereka.
Apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin bukanlah memaksa kaum Muslimin menafikan ketuhanan Allah s.w.t, tetapi mereka mau diadakan sekutu bagi Allah s.w.t. Kaum Muslimin yang hati mereka sudah dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah s.w.t tidak mau mempersekutukan Allah s.w.t dengan sesuatu. Inilah prinsip menyintai Allah s.w.t yang berdasarkan iman, yang dibentuk melalui jalan kenabian. Cinta yang demikian diperkuatkan dengan kecintaan kepada akhirat dan syurga. Syurga diingini karena syurga adalah tempat pertemuan sebenar hamba dengan Tuhan. Allah s.w.t menggalakkan hamba-Nya menyintai akhirat dan syurga di samping benar dalam menyintai-Nya dan Rasul-Nya. Cinta yang berdasarkan kepada iman itu juga tidak memisahkan seseorang daripada dunia.
Tujuan manusia diciptakan adalah supaya mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dengan cara menjadi khalifah di bumi, di dalam dunia. Manusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan berkewajiban memakmurkan kehidupan di dalam dunia ini, melaksanakan peraturan dan kehendak Allah s.w.t. Dunia adalah daerah kekhalifahan manusia. Dunia adalah kebun buat manusia bercucuk tanam. Dunia adalah tempat buat manusia bekerja sebagai hamba Tuhan. Dunia adalah amanah yang Tuhan pertanggungjawabkan kepada makhluk berbangsa manusia. Cinta kepada Allah s.w.t yang berdasarkan iman mendorong seseorang manusia menyempurnakan tugas dan kewajibannya di dalam dunia. Tugas yang sangat penting di dalam dunia adalah menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar dan semuanya itu hendaklah dibuat berlandaskan kepada tauhid.
Pada jalan kenabian yang diikuti oleh para sahabat, kesungguhan digembelingkan ke arah mematuhi peraturan syariat. Mereka meyakini syariat dengan sepenuh jiwa raga dan bersedia untuk mempertahankan syariat dengan segala kemampuan yang mereka ada. Rasulullah s.a.w menolak permintaan golongan Taqif yang datang dari Taif, agar berhala mereka tidak dirobohkan dalam tempuh satu tahun dari masa mereka mulai menerima Islam dan mereka juga meminta dikecualikan daripada melakukan sholat lima waktu. Agama Tauhid tidak bisa bertolak-ukur dengan berhala. Mengenai sholat pula baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Tidak ada Islam tanpa sholat.” Tentera Islam meredah padang pasir, memikul senjata, berperang, membunuh dan dibunuh, semuanya dilakukan dengan membawa peraturan syariat, termasuklah sholat lima waktu. Selepas kewafatan Rasulullah s.a.w, Khalifah Abu Bakar as-Siddik memerangi golongan Islam yang enggan mengeluarkan zakat. Syariat dipegang sewaktu Rasulullah s.a.w masih hidup dan juga selepas kewafatan baginda s.a.w. Kaum Muslimin berkewajiban menanggung syariat sehingga ke akhir hayat mereka. Tidak ada had atau makam di mana seseorang bebas daripada tuntutan syariat. Rasulullah s.a.w sendiri pun terikat dengan tuntutan syariat, malah kesungguhan baginda s.a.w bersyariat melebihi orang lain.
Orang yang memasuki jalan kenabian adalah hamba yang Allah s.w.t pimpin kepada-Nya. Jalan tersebut sudah dilalui oleh para anbia, siddiqin dan salihin. Pada jalan tersebut sesuatu adalah terang dan jelas, tiada kesamaran. Tuntutan pada jalan ini adalah syariat, tidak perlu melakukan latihan yang berat, merbahaya dan samar-samar. Pada jalan kenabian latihan bersuluk dan berkhalwat tidaklah sepenting menjaga tuntutan fardu di samping melaksanakan tanggungjawab dalam kehidupan harian. Amalan pada jalan kenabian tidak mengganggu pekerjaan harian, tidak perlu mengasingkan diri ke tempat yang tidak ada orang. Cara yang diajarkan oleh Sunah Rasulullah s.a.w bisa mengelakkan seseorang terbawa-bawa ke dalam zauk, berkelakuan ganjil, meratap dan menangis atau mengeluarkan perkataan yang menyalahi syariat. Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengambil tahu tentang tajalli Tuhan, Rahsia Tuhan, fana dalam Tuhan, baqa dengan Tuhan atau yang seumpamanya. Kasyaf, zauk, jazbah dan keramat jarang sekali ditemui pada orang yang melalui jalan kenabian. Jika ada pun perkara yang demikian berlaku, ia berlaku bukan disengajakan, tidak dibuat amalan khusus untuk memperolehi yang demikian. Mereka yang beramal menurut Sunah Rasulullah s.a.w mendapat kelazatan di dalam sholat dan membaca al-Quran bukan di dalam zauk. Mereka bartindak menguruskan kehidupan harian secara manusia biasa tanpa perlu bersandar kepada kekeramatan. Mereka menetap di dalam kesadaran, tidak dibawa ke alam fana. Mereka terus berada di atas landasan kehambaan, tidak memasuki suasana bersatu dengan Tuhan atau baqa dengan-Nya. Mereka menghabiskan masa dengan melakukan tuntutan syariat, bukan berbahas tentang af’al, asma’, sifat dan zat Tuhan. Mereka berpegang kuat kepada wahyu dan perkataan Rasulullah s.a.w, tidak mencari-cari apa yang dipanggil ilmu rahsia, ilmu isi atau yang seumpamanya.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak digesa berperang dengan jasad dengan melakukan latihan yang menyakitkan jasad. Pada jalan kenabian penekanan diberikan kepada soal kesederhanaan dan menjaga agar tidak melampaui batas. Dibenarkan mengadakan pembalasan tetapi sekadar kejahatan yang dilakukan orang, jangan melampau dalam pembalasan dan jika sanggup memaafkan adalah lebih baik. Dibenarkan tidur tetapi jika bangun bersholat tahajjud adalah lebih baik. Dibenarkan makan dan minum tetapi jika berpuasa adalah lebih baik. Cara yang demikian lebih memudahkan orang banyak mengikutinya. Orang khusus juga bisa mencapai matlamat melalui jalan ini.
Pengembara pada jalan kenabian membina kecintaan kepada Allah s.w.t berdasarkan bimbingan syariat. Cinta yang lahir melalui cara yang demikian berada di dalam batasan rasional, tidak terjadi kecintaan yang asyik mahsyuk sehingga lupa diri dan makhluk di sekeliling. Kasih yang rasional melahirkan rasa syukur tatkala menerima nikmat dari Allah s.w.t dan sabar di dalam menerima ujian. Cara yang demikian membuat kehambaan senantiasa menemani pengembara pada jalan kenabian. Rasa bergantung, berhajat dan berharap kepada Allah s.w.t tidak pernah lepas dari hati hamba itu. Kasih yang berdasar kepada iman menjadi lebih kuat dengan cara mendukung syariat, mematuhi Sunah Rasulullah s.a.w, dengan tulus ikhlas beramal sesuai dengan perintah al-Quran dan Sunah Rasulullah s.a.w dalam perkara zahir dan batin, juga tidak melakukan perkara yang munkar. Jika yang demikian dilakukan seseorang itu selamat daripada kekufuran dan seterusnya seseorang itu dibawa kepada suasana berserah diri kepada Allah s.w.t. Cara yang demikian menundukkan keinginan diri sendiri kepada ketentuan dan kehendak Allah s.w.t. Tunduk kepada ketentuan dan kehendak Allah s.w.t menambahkan kecintaan kepada-Nya yang didasarkan kepada iman. Kasih yang demikian menjadi lebih kuat apabila dilakukan kebaktian kepada agama-Nya, peraturan-Nya, Sunah Rasul-Nya, menolong makhluk-Nya, menghapuskan kezaliman dan kemunkaran serta menegakkan keadilan di atas muka bumi. Kasih kepada Allah s.w.t secara demikian melahirkan juga kasihkan makhluk Allah s.w.t dan orang yang berkenaan bekerja untuk membasmikan perkara-perkara yang tidak baik dari umat manusia separti kemiskinan, penyakit, kesusahan dan lain-lain. Pada jalan kenabian kecintaan kepada Allah s.w.t berkait rapat dengan kecintaan kepada peraturan Allah s.w.t dan makhluk-Nya. Matlamatnya adalah melaksanakan kehendak Allah s.w.t sebaik mungkin.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengalami suasana fana, bersatu dengan Tuhan, baqa, tajalli atau menyaksikan satu wujud (wahdatul wujud) yang biasa ditemui oleh pengembara pada jalan kesufian. Pada jalan kenabian Allah s.w.t kurniakan yang lebih baik dan lebih benar daripada semua itu. Dikurniakan kepada pengembara pada jalan kenabian makna agama yang sebenarnya yang tidak bercampur dengan kesamaran dan kekeliruan. Allah s.w.t jadikan mereka saksi bagi agama-Nya, menjadi golongan yang menyatakan kebenaran agama-Nya dan kebenaran Rasul-Nya menyampaikan perintah-Nya. Allah s.w.t kurniakan kepada mereka makam yang mulia yaitu menjadi penyebar agama-Nya secara benar dan bersih daripada bidaah dan kesesatan. Orang yang berjalan pada jalan kenabian dikurniakan rasa ghirah (kecemburuan) beragama. Perasaan yang demikian membuat mereka bersedia berjuang melindungi agama dan mempertahankannya daripada gangguan musuh-musuh agama. Merekalah yang sebenar-benar dipilih dan dilantik sebagai khalifah Allah s.w.t pada bumi dan diberikan izin menggunakan cop mohor-Nya di dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Allah s.w.t akan membantu, menolong dan membela mereka menjalankan tugas mereka menyebarkan syariat, memakmurkan bumi, mengalahkan musuh-musuh Islam dan menyelamatkan umat Islam daripada penindasan bangsa-bangsa lain.
Pada jalan kenabian tidak ada fana dalam perbuatan Allah s.w.t, fana dalam nama Allah s.w.t, fana dalam sifat Allah s.w.t dan fana dalam zat Allah s.w.t. Bila tidak ada fana tidak ada juga baqa. Bila yang demikian tidak ada maka tidak ada pula mabuk. Kecintaan kepada Allah s.w.t berjalan di dalam kesadaran. Tidak terjadi keasyikan yang melahirkan ucapan yang pelik-pelik. Tidak ada tangisan dan rayuan untuk bersatu dengan Tuhan atau dukacita lantaran berpisah dengan Tuhan. Para sahabat yang diasuh sendiri oleh Rasulullah s.a.w senantiasa berada di dalam kesadaran sepenuhnya, bukan kefanaan. Mereka mengejar kecintaan kepada Allah s.w.t dan kehampiran dengan-Nya dengan cara mentaati Rasulullah s.a.w di dalam mentaati Allah s.w.t. Mereka bekerja memahami wahyu Tuhan dan mengamalkannya dalam kehidupan harian. Mereka tidak memasuki jalan suluk secara khusus karena bagi mereka kehidupan inilah tempat bersuluk. Suluk mereka adalah takwa, yaitu berjalan di celah-celah duri kejahilan, kemusyrikan, kemunafikan, kemunkaran dan kefasikan. Mereka bersuluk secara menjaga diri agar tidak melakukan dosa dan maksiat terutamanya syirik kepada Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa.
Rasulullah s.a.w diutuskan ketika umat manusia mengalami kegelapan akidah dan keruntuhan akhlak. Baginda s.a.w berkewajiban menyelamatkan umat manusia. Baginda s.a.w bekerja keras bagi mengobati penyakit-penyakit yang dihidapi oleh bangsa manusia dalam segala segi termasuklah akidah, akhlak, sistem perekonomian, sistem pentadbiran masyarakat dan lain-lain. Agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w mencakupi segala aspek kehidupan umat manusia, bersesuaian dengan akal budi manusia, mengimbangi soal lahiriah dengan soal batiniah. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w memperbetulkan aspek lahiriah yang telah diputar-belitkan oleh kaum Yahudi dan aspek batiniah yang telah dikelirukan oleh kaum Nasrani. Tugas suci yang ditanggung oleh Rasulullah s.a.w itu ditanggung juga oleh kaum Muslimin yang menjadi pengikut baginda s.a.w. Tugas yang sama dipikul oleh kaum Muslimin yang datang kemudian dengan mendukung jalan kenabian.
Jalan yang dibentuk oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat adalah jalan singkat dalam mencapai matlamat yaitu keredaan Allah s.w.t. Jalan yang ada suluk adalah jalan jauh yang perlu dilalui oleh orang-orang tertentu karena sesuatu sebab yang perlu, terutamanya pada zaman yang telah jauh daripada zaman Nabi Muhammad s.a.w. Ketika baginda s.a.w masih hidup bimbingan wahyu dan pengajaran secara langsung daripada baginda s.a.w lebih kuat dan lebih berkesan daripada cara berkhalwat sendirian jauh daripada Rasulullah s.a.w. Beriman dan beramal salih lebih dituntut daripada mengasingkan diri. Berjuang menyelamatkan manusia daripada neraka adalah juga termasuk dalam perkara amal salih. Di dalam melaksanakan tugas suci itu Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin perlu berperang menghapuskan faktor-faktor yang membentengi umat manusia daripada sampai kepada kebenaran. Banyak golongan yang pada mulainya enggan menerima atau mendengar ajaran Islam, telah dengan rela memeluk Islam setelah mereka dikalahkan. Muslim zaman Rasulullah s.a.w sanggup mati demi menyelamatkan umat manusia daripada api neraka.
Nabi Muhammad s.a.w sebagai juru pandu yang mahir telah mengemudikan perjalanan kaum Muslimin di celah-celah kehidupan jahiliah. Kehidupan jahiliah dipenuhi oleh duri-duri keruntuhan akidah dan akhlak. Orang jahiliah menyembah berhala, mendewa-dewakan sesama manusia, meminum arak, berjudi, berzina, membunuh anak-anak perempuan, menyelesaikan permasalahan dengan cara berlaku kejam dan membunuh, menjadikan wanita sebagai alat memuaskan nafsu dan bermacam-macam perlakuan yang menyalahi moral dan etika kemanusiaan. Di dalam menangani masalah jahiliah itu Rasulullah s.a.w menekankan dua perkara pokok yaitu mengembalikan akidah manusia kepada tauhid dan mengembalikan akhlak manusia kepada nilai-nilai murni kemanusiaan (fitrah). Selama baginda s.a.w berdakwah di Makkah tumpuan baginda s.a.w adalah akidah dan akhlak. Penekanan kepada aspek akhlak semata-mata, yaitu nilai murni kemanusiaan semata-mata, tanpa tauhid, tidak akan memberi kesan yang mendalam kepada pembentukan keperibadian manusia. Revolusi akhlak semata-mata tanpa revolusi akidah mungkin mampu mengwujudkan manusia yang baik tetapi manusia yang demikian hanya bergerak pada soal-soal kebendaan dan keduniaan saja. Kejayaan dan kecemerlangan diukur melalui pencapaian pada perkara kehidupan keduniaan dan kebendaan semata-mata. Tanpa akidah manusia akan mengalami kekosongan jiwa dan kekosongan tersebut akan diisi oleh sesuatu separti ketaasuban kepada keluarga, keturunan, kaum dan bangsa. Pengisian dengan anasir keduniaan itu akan menarik manusia kembali kepada kerosakan akhlak. Banyak manusia yang memulaikan perjalanan mereka dengan baik sehingga memperolehi akhlak yang mulia. Setelah mencapai kejayaan dan kecemerlangan di dalam kehidupan lahiriah jiwanya yang kosong diresapi oleh berbagai-bagai anasir keduniaan dan kebendaan. Kesudahannya mereka jatuh ke dalam perlakuan yang mencemarkan nilai murni kemanusiaan. Banyak pemimpin yang telah berjuang dengan ikhlas bagi membebaskan negara mereka daripada penjajah. Setelah mencapai kemerdekaan dan menjadi pemimpin, mereka yang tiada pengisian akidah itu bertukar menjadi tamak kuasa dan menindas rakyat. Banyak juga golongan peniaga yang memulaikan perniagaan mereka secara jujur sehingga orang banyak memberi sokongan padu kepada mereka. Saham mereka melambung naik. Setelah mencapai kejayaan dan kekayaan, jiwa mereka yang kosong diisikan dengan harta benda. Akibatnya lahirlah sifat menambun harta tanpa batasan sehingga harta orang banyak yang diamanahkan kepada mereka juga diselewengkan. Banyak manusia yang memulaikan sesuatu kerjaya dengan menghormati nilai-nilai murni kemanusiaan, tetapi setelah kejayaan dicapai, nilai murni tersebut dibuang begitu saja. Orang yang separti inilah yang selalu mendatangkan kesusahan kepada mana-mana badan atau persatuan yang mereka anggotai. Revolusi akhlak akan hancur jika ia tidak mengiringi revolusi akidah. Rasulullah s.a.w telah membina jalan yang menyelaraskan akidah dengan akhlak. Semakin kuat dan benar akidah kaum Muslimin semakin murni akhlak mereka. Kemurnian akhlak kaum Muslimin menjadi daya penarik kepada kaum lain. Orang yang belum Islam lebih mempelajari tentang Islam melalui akhlak kaum Muslimin. Pembentukan akhlak kaum Muslimin merupakan dakwah secara tidak langsung kepada kaum lain. Pada jalan kenabian kaum Muslimin berkecimpung di dalam masyarakat dan mereka melakukan dakwah sepanjang masa dengan mempraktikkan nilai-nilai murni kemanusiaan.
Orang yang meminati bidang kerohanian, tasauf dan tarekat biasanya tertarik kepada soal kewalian. Kewalian biasanya dihubungkan dengan jalan kesufian. Apabila memperkatakan tentang wali-wali Allah maka nama-nama mereka yang memasuki jalan kesufian sering ditonjolkan. Orang-orang separti Syeikh Abdul Qadir Jilani, Ibrahim bin Adham, Hasan Basri, Junaid, Rabiatul Adawiah dan lain-lain orang sufi biasanya disenaraikan sebagai wali-wali Allah. Mengaitkan kewalian secara khusus dengan kesufian semata-mata telah menimbulkan banyak kekeliruan dan merugikan umat Islam sendiri. Apabila nama-nama sufi sering ditonjolkan sebagai wali Allah, timbullah anggapan bahwa hanya dengan memasuki jalan kesufian seseorang itu bisa mencapai makam kewalian. Kewalian pada jalan kenabian tidak ditonjolkan. Kepemahaman tentang kewalian haruslah diperbetulkan. Haruslah diketahui bahwa orang yang menerima Islam secara langsung daripada Rasulullah s.a.w adalah wali Allah. Wali-wali Allah yang sezaman dengan Rasulullah s.a.w, mendengar pengajaran daripada baginda s.a.w sendiri, melihat wajah baginda s.a.w, mendengar tutur-kata baginda s.a.w, makan bersama-sama baginda s.a.w, berperang di samping baginda s.a.w, adalah wali-wali Allah peringkat paling tinggi. Tidak ada kewalian yang lebih tinggi daripada kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w. Kewalian yang muncul selepas sahabat, termasuklah kewalian para sufi tidak melebihi kewalian para sahabat. Di dalam senarai nama-nama wali Allah peringkat tartinggi yang sezaman dengan Rasulullah s.a.w, mendahuluinya adalah orang-orang separti Abu Bakar as-Siddik, Umar al-Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Talib, Zahid bin Harisah, Zubair bin Awam, Abdul Rahman bin Auf, Saad bin Abu Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, Al-Arqam bin Arqam, Yasir dan anak-anaknya Amar dan Abdullah, Samyah isteri Yasir, Bilal bin Rabah, Jaafar bin Abu Talib, Muaz bin Jabar, Abdullah bin Rawahah, Said bin Muaz, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi yang Jibrail a.s pernah muncul dalam rupanya, Saad bin Ubada dan banyak lagi yang tergolong di dalam senarai wali-wali Allah peringkat tartinggi yang tidak ada wali pada zaman kemudian mengatasi kedudukan mereka. Setelah selesai senarai nama para sahabat itu barulah datang nama-nama wali-wali yang datang kemudian separti Abdul Qadir Jilani dan lain-lain.
Memasukkan nama para sufi saja di dalam senarai wali-wali yang datang kemudian merupakan kekeliruan yang nyata dan ia adalah sikap yang tidak adil kepada kewalian itu sendiri. Orang banyak jangan lupa untuk melihat kewalian orang-orang yang menetap pada jalan kenabian separti Imam Syafi’e, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nawawi, Imam Ghazali dan lain-lain. Harus juga diperhatikan ahli-ahli ilmu yang telah banyak menyumbang kepada umat manusia dalam bidang perobatan, kimia, falsafah, astronomi dan lain-lain. Apakah tidak layak orang yang separti Ibnu Rusyd dan Jamaluddin al-Afghani dipanggil wali Allah?
Wali-wali di peringkat paling atas adalah sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w, termasuklah syuhada di Badar. Mereka telah mendapat pengiktirafan dan sanjungan daripada al-Quran dan disokong oleh Rasulullah s.a.w sendiri. Perkataan al-Quran dan Rasulullah s.a.w adalah muktamad. Wali-wali yang datang kemudian kedudukan mereka diperbesarkan oleh manusia sendiri, bukan perakuan secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Para sahabat adalah wali-wali yang lebih utama daripada wali yang datang kemudian sama ada dari jalan kesufian atau pun dari jalan kenabian. Kenyataan ini mesti dihunjam ke dalam fikiran umat Islam yang keliru dengan kedudukan kewalian. Banyak kaum Muslimin meninggalkan perkataan wali-wali peringkat tartinggi dan berpegang kepada perkataan wali yang lebih rendah atau orang yang tidak sahih kewaliannya.
Walaupun istilah wali tidak popular digunakan pada zaman Rasulullah s.a.w tetapi kewalian para sahabat tidak bisa dinafikan. Sebagian daripada mereka telah disebut nama mereka dengan sahih oleh Rasulullah s.a.w sebagai ahli syurga. Baginda s.a.w juga memberi jaminan bahwa siapapun yang mengikuti mana-mana sahabat baginda s.a.w sesungguhnya orang itu telah mengikuti yang benar. Wali-wali separti Imam Syafi’e dan Imam Malik merupakan yang paling hampir jalan mereka dengan jalan para sahabat Rasulullah s.a.w. Oleh itu perkataan mereka lebih kuat dan lebih kukuh daripada perkataan wali-wali yang bukan berada pada jalan kenabian. Sangat tidak wajar kaum Muslimin membuang perkataan Imam Syafi’e karena terpengaruh dengan perkataan zauk Abu Mukur al-Hallaj. Jalan yang ditempuh oleh Abu Mukur yang ada zauk, fana dan jazbah itu dinamakan jalan kesufian.
7: JALAN KESUFIAN
________________________________________
Nabi Muhammad s.a.w adalah sebaik-baik penyampai, sebaik-baik pembimbing. Baginda s.a.w berkemampuan menyampaikan menurut tahap akal dan suasana kebatinan seseorang. Ahli falsafah mampu menerima pengajaran baginda s.a.w dan ahli kerohanian juga mampu menerimanya. Orang yang semata-mata bertaklid kepada baginda s.a.w juga mampu menerima pengajaran baginda s.a.w. Apa yang baginda s.a.w ajarkan akan terhunjam ke dalam akal fikiran dan hati nurani seseorang. Kalam yang keluar daripada mulut baginda s.a.w menanamkan pengartian pada akal dan penghayatan pada jiwa. Apabila baginda s.a.w mengajarkan ayat-ayat al-Quran, maksud yang sebenar dari ayat-ayat tersebut akan terpahat pada fikiran dan hati sahabat-sahabat baginda s.a.w. Walaupun baginda s.a.w menyampaikan melalui perkataan dan perbuatan tetapi baginda s.a.w juga mampu berkomunikasi secara langsung dengan akal dan hati nurani. Perbuatan dan perkataan baginda s.a.w bartindak sebagai kunci yang membuka tabir hijab yang menutupi akal dan hati. Mata akal dan mata hati menjadi celik apabila menerima sentuhan perkataan dan perbuatan baginda s.a.w. Para sahabat yang menerima pengajaran secara langsung daripada baginda s.a.w akan mengalami perubahan dengan mudah, sesuai dengan apa yang baginda s.a.w ajarkan. Sebaik saja baginda selesai membaca ayat yang mengharamkan arak maka pada ketika itu juga para sahabat baginda s.a.w membuang tabiat meminum arak. Sebaik saja baginda s.a.w selesai menyampaikan perintah sholat fardu lima waktu sehari semalam, maka pada ketika itu juga para sahabat baginda s.a.w masuk ke dalam arus sholat fardu lima waktu sehari semalam. Apabila baginda s.a.w menyampaikan kewajiban berpuasa pada bulan Ramdhan, maka pada bulan Ramdhan tahun itu juga para sahabat baginda s.a.w melakukan fardu puasa. Apabila baginda s.a.w melantik wakil-wakil untuk menyampaikan surat-surat kepada semua penguasa umat manusia di sekitar Semenanjung Arab, maka dengan rela mereka menjalankan tugas tersebut tanpa menghiraukan mereka akan dibunuh atau tidak dalam melaksanakan tugas tersebut. Apabila baginda s.a.w membacakan ayat tentang Allah s.w.t, maka pada ketika itu juga para sahabat mengenal Allah s.w.t. Sesungguhnya Nabi Muhammad s.a.w memancarkan nur yang menerangi akal dan hati manusia.
Kebisaan baginda s.a.w yang luar biasa menembusi akal dan hati manusia itu adalah karena baginda s.a.w dilengkapkan dengan sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah. Baginda s.a.w membawa dan menyampaikan yang benar, tidak menyembunyikan, tidak mengubah kebenaran dan disampaikan dengan penuh kebijaksanaan. Apabila datang yang benar maka yang batal akan menyingkir. Cahaya kebenaran yang dipancarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w menghalau kegelapan yang menyelubungi akal dan hati. Kekuatan cahaya kebenaran yang mampu dipancarkan oleh seseorang pembimbing adalah bergantung kepada setakat mana kesempurnaan sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah yang dimilikinya. Sifat-sifat tersebut dimiliki oleh Nabi Muhammad s.a.w pada tahap kesempurnaan paling tinggi, paling kuat dan paling sempurna. Oleh yang demikian baginda s.a.w meninggalkan kesan yang paling maksima di dalam penyampaian baginda s.a.w. Baginda s.a.w mampu menyampaikan sesuatu perkara dengan menggunakan perkataan paling mudah dan paling ringkas tetapi memberi pengartian yang sangat luas dan kesan yang sangat mendalam kepada pendengarnya. Selama baginda s.a.w berdakwah 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, baginda s.a.w menyampaikan 6,666 ayat al-Quran dan kata-kata baginda s.a.w yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal berjumlah 40,000, dengan kata-kata yang hanya sebanyak itu selama 23 tahun baginda s.a.w sudah menyampaikan dengan lengkap satu agama yang mencangkupi seluruh kehidupan dunia dan akhirat, yang mampu bertahan sehingga hari kiamat. Pekerjaan yang begitu besar dan bidang yang begitu luas baginda sempurnakan dengan tutur-kata yang sangat sedikit. Kemampuan Nabi Muhammad s.a.w itu tidak mungkin dapat dijabar oleh siapapun pun, walau pada zaman mana sekalipun.
Nabi Muhammad s.a.w, mahaguru yang paling arif, pembimbing yang paling bijaksana, telah mengasuh satu kumpulan kaum Muslimin untuk memikul tugas berat membimbing umat manusia. Para pembimbing yang diasuh oleh Rasulullah s.a.w merupakan kumpulan pembimbing yang paling baik di kalangan yang melakukan tugas tersebut. Setelah Rasulullah s.a.w wafat, matahari yang mengeluarkan cahaya petunjuk mulai condong, awan mendung mulai berarak, muncullah bayang menghijab perjalanan. Semakin lama Rasulullah s.a.w meninggalkan dunia ini semakin kurang kesan dan pengaruh yang mampu dihasilkan oleh seseorang pembimbing. Orang banyak telah mengalami kesulitan di dalam mendapatkan bimbingan menuju kepada Yang Haq. Sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah yang ada dengan orang-orang yang seharusnya menjadi pembimbing sudah sangat berkurangan. Ilmu yang mereka sampai tidak lagi berkemampuan membuka pintu akal dan pintu hati. Dalam keadaan yang demikian orang yang benar-benar mencari Yang Haq hilang keyakinan kepada mereka yang memikul tugas sebagai pembimbing di dalam masyarakat. Pencari kebenaran, setelah gagal memperolehi yang di cari melalui ahli ilmu, telah kembali kepada fitrahnya sendiri. Orang yang kembali kepada fitrahnya melihat satu-satunya jalan yang memberi harapan kepadanya adalah memulaikan perjalanan separti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w ketika dunia diselubungi oleh kegelapan akidah dan akhlak dahulu. Orang ini memilih jalan bersendirian, berkhalwat di tempat yang tidak dikunjungi oleh manusia. Walaupun lari dari manusia tetapi orang fitrah itu membawa bersama-samanya pusaka yang ditinggalkan oleh Rasulullah s.a.w yaitu al-Quran dan as-Sunah. Di dalam suasana bersendirian itulah dia melakukan amalan yang diajarkan oleh al-Quran dan as-Sunah berhubung dengan bidang perhubungan hamba dengan Tuhan. Dalam suasana yang demikian, tidak ada perhubungan sesama manusia. Aspek ini ditinggalkan.
Jalan fitrah yang diterokai oleh kumpulan manusia yang mengasingkan diri itu menjadi asas kepada jalan yang kemudian hari dikenali sebagai jalan kesufian. Pengasas aliran sufi adalah manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan, kekeliruan dan ketidak-pastian. Mereka lari daripada kegelapan, kekeliruan dan ketidak-pastian itu sebagaimana Rasulullah s.a.w lari dari suasana jahiliah dahulu. Manusia fitrah yang tinggal sendirian itu melakukan amalan yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w yaitu bersholat, berpuasa, berzikir dan lain-lain. Amalan mereka tidak bersalahan dengan syariat, cuma bidang syariat yang ada hubungan dengan orang banyak tidak diamalkan. Amalan cara yang demikian kemudian harinya dipanggil suluk.
Manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan jahiliah akan merasai tekanan dan kegelisahan pada jiwanya. Jalan keluar bagi orang yang separti ini adalah mengasingkan diri di tempat yang jauh daripada orang banyak dan menghabiskan masanya dengan beribadat kepada Allah s.w.t. Sebagian daripada golongan yang memilih jalan mengasingkan diri akan terus menerus berada di dalam keadaan demikian sementara sebagiannya pula kembali kepada masyarakat setelah rohani mereka mencapai kematangan. Orang yang memasuki jalan bersendirian terus menerus berada pada jalan kesufian dan yang kembali kepada masyarakat adalah orang sufi yang berpindah dari jalan kesufian kepada jalan kenabian. Orang yang kembali kepada jalan kenabian lebih sempurna perjalanannya dan dari golongan inilah muncul para pendakwah yang membimbing umat manusia kepada jalan Allah s.w.t. Kebanyakan sufi yang telah matang kembali kepada jalan kenabian. Abdul Qadir Jilani, Ibrahim Adham, Junaid, Hasan Basri dan banyak lagi merupakan sufi yang kembali kepada jalan kenabian setelah menyempurnakan jalan kesufian. Mereka adalah ahli sufi yang mengikuti jalan kenabian. Sufi yang kembali kepada jalan kenabian ini mempunyai keperibadian yang kuat dan percampuran dengan orang banyak tidak lagi memberi tekanan kepada jiwa mereka, malah mereka mampu membimbing orang lain untuk berjalan kepada Yang Haq. Bagi orang yang separti ini pengembaraan pada jalan kesufian merupakan sebagian daripada latihan memantapkan kerohaniannya bagi melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Golongan tersebut adalah orang yang menjadi pilihan Allah s.w.t dalam menegakkan syariat-Nya di atas muka bumi dan memimpin umat manusia kepada jalan lurus yang sebenarnya.
Peringkat kewalian pada jalan kesufian berbeda dengan peringkat kewalian pada jalan kenabian. Kewalian sufi masuk kepada suasana meninggalkan semua makhluk dan membenamkan ingatan secara terus menerus kepada Allah s.w.t. Kewalian sufi bergerak menghapuskan kehendak diri sendiri dan sifat-sifat kemanusiaan. Sebutan dan ingatan yang terus menerus kepada Allah s.w.t membawa sufi fana diri atau melupakan diri sendiri. Di dalam fana sufi memperolehi jazbah yaitu pengalaman yang berkaitan dengan suasana ketuhanan. Setelah melepasi peringkat fana sufi sampai kepada peringkat baqa atau kekal bersama-sama Allah s.w.t. Di dalam menuju baqa, pada peringkat fana yang paling tinggi sufi hilang kesadaran diri sepenuhnya. Wujudnya hilang dari pandangan dan perasaannya. Hanya Wujud Allah s.w.t saja yang menguasainya. Pada peringkat tersebut sufi mengalami apa yang diistilahkan sebagai wahdatul wujud, di mana wujud hamba dengan Wujud Tuhan tidak lagi berbeda pada alam perasaan sufi. Suasana demikian diperolehi akibat didorong oleh rasa kecintaan kepada Allah s.w.t secara asyik mahsyuk yang bersangatan dan pada masa yang sama kesadaran terhadap diri sendiri hilang. Pengalaman wahdatul wujud menimbulkan apa yang diistilahkan sebagai mabuk. Sufi hanya melihat kepada Wujud Tuhan, tidak lagi kepada wujud dirinya dan sekalian wujud yang selain Tuhan. Bila kewujudan diri sendiri hilang dari alam perasaan sufi sering mengucapkan perkataan yang diistilahkan sebagai latah separti pengakuan bahwa dirinya adalah Tuhan atau Tuhan yang menjadi bakat dirinya.
Kebanyakan sufi sangat mementingkan pengalaman bersatu dengan Tuhan. Mereka menjalani latihan yang berat-berat bagi menghilangkan kesadaran terhadap diri sendiri, yaitu mencapai fana dan dikuasai oleh kecintaan kepada Allah s.w.t yang mengasyikkan. Bagi memperolehi yang demikian sufi perlu menghapuskan semua keinginannya, sifatnya dan identiti dirinya secara menyeluruh. Pekerjaan yang demikian sangat berat, perlu dilakukan latihan menindas jasad. Latihan yang merbahaya dan luar biasa terkenal di kalangan para sufi di dalam proses meleburkan kedirian mereka. Latihan yang demikian membawa sufi melupakan dunia dan akhirat.
Orang sufi percaya rohnya adalah Roh yang dari Allah s.w.t, yang suci bersih. Roh yang suci itu dipenjarakan oleh jasad. Sufi berasa berkewajiban membebaskan rohnya daripada penjara jasad dan mencapai tujuan yaitu bersatu dengan Tuhan. Oleh yang demikian sufi mengistiharkan perang terhadap jasad dengan cara menindas keperluan jasad separti makan, minum, tidur, tutur-kata, pergaulan dan sebagainya. Selagi rohaninya tidak bebas dari pengaruh jasad sufi tidak akan berasa aman. Sikap penindasan terhadap jasad ini menimbulkan kegelisahan, kehangatan dan kemarahan di dalam roh hewaninya yang menghubungkan rohnya dengan jasad. Tindak-balas daripada roh hewani itu sering menimbulkan sikap kasar dan agressif pada orang sufi, terutamanya bagi mereka yang berada pada peringkat permulaian melatihkan diri. Setelah dapat menguasai peringkat roh hewani sufi akan berukur-ukur menjadi tenang dan kesadaran pancainderanya mengecil sehinggalah hilang terus. Dia mencapai kehampiran dengan Tuhan dan seterusnya memasuki suasana bersatu dengan-Nya. Barulah sufi merasakan kerihatan daripada jihadnya terhadap jasad.
Jalan yang ditempuh itu menyebabkan sufi gemar kepada yang indah-indah, mendengar suara yang merdu, lagu-lagu kasih, puisi dan cerita-cerita percintaan. Sebagian daripada para sufi terbawa-bawa kepada berzikir secara menyanyi dan menari sambil diiringi oleh muzik. Keadaan yang demikian menambahkan rasa kecintaan mereka kepada Allah s.w.t dan mengobati kerinduan mereka kepada-Nya. Kerinduan kepada Tuhan sangat menekan jiwa dan menimbulkan kegelisahan yang amat sangat. Aktiviti yang mengasyikkan dapat meredakan tekanan dan kegelisahan tersebut. Perjalanan yang demikian menyebabkan timbul sikap kasar dan tidak terkawal di kalangan sebagian sufi, selama kecintaan kepada Tuhan belum mereka kuasai dan kerinduan kepada-Nya belum terobat. Kerinduan dan keasyikan menyebabkan sufi lupa bukan saja kepada diri dan makhluk, malah sering juga terjadi peraturan syariat dan etika moral tidak diambil berat oleh sebagian mereka. Sebagian sufi masih melakukan peraturan syariat tetapi semata-mata karena menghormati syariat Tuhan bukan karena menghayati peraturan tersebut.
Para sufi yang bersungguh-sungguh dengan latihan kerohanian mereka, setelah memperolehi keasyikan, akan masuk ke dalam suasana kebatinan di mana mereka menyaksikan rupa, bentuk, cahaya dan warna. Pengalaman yang demikian banyak berlaku pada peringkat awal perjalanan sufi. Penyaksian yang demikian sangat menggembirakan mereka, menambahkan keyakinan dan semangat untuk maju terus. Oleh karena penyaksian tersebut terjadi di dalam suasana kebatinan yang ghaib, sufi mudah menghubungkan yang disaksikan itu dengan Allah s.w.t. Timbullah konsep ketuhanan yang tidak jelas dan mengelirukan.
Penghujung jalan para asyikin adalah bersatu dengan Tuhan. Sufi mengalami kefanaan, dirinya hilang dia berkamil dengan Tuhan. Dia dikuasai oleh suasana ketuhanan. Pada peringkat ini sering terjadi ucapan latah separti: “Ana al-Haq!” Ucapan latah yang meletakkan ketuhanan pada diri itu berlaku kepada sufi ketika kesadaran terhadap diri sendiri hilang lenyap. Suasana yang demikian diistilahkan sebagai mabuk. Dalam suasana yang demikian hubungan hati orang sufi dengan Tuhan sangat erat. Dia telah melepaskan segala-galanya demi Tuhannya. Dia telah membuang makhluk dan dirinya demi kecintaannya kepada Tuhan. Gelombang kefanaan yang melanda hati sufi itu mengubah suasana kebatinannya menyebabkan sering muncul keajaiban daripada dirinya, doanya cepat makbul, perkataannya menjadi kenyataan, dia bisa melakukan perkara yang luar biasa separti berjalan di atas air atau masuk ke dalam api. Hasilnya bertambah teguhlah keyakinannya terhadap apa yang dipegangnya.
Perkara luar biasa yang muncul daripada sufi yang di dalam zauk itu menyebabkan orang banyak menjadi percaya kepada apa yang sufi itu iktikadkan. Sufi yang di dalam kefanaan diri menyaksikan satu wujud lalu memperkatakan mengenainya. Muncullah pemahaman wahdatul wujud. Orang banyak yang melihat keajaiban pada sufi itu dengan mudah menerima pemahaman wahdatul wujud yang dipegang oleh sufi itu. Sufi membina pemahaman wahdatul wujud melalui pengalaman kerohaniannya, melalui penyaksian mata hatinya. Dia mengalami sendiri suasana semua wujud hilang dan hanya satu wujud saja yang menyata. Orang banyak pula berpegang kepada pemahaman wahdatul wujud secara ikut-ikutan, tanpa mengalaminya dan tanpa benar-benar mengarti mengenainya. Pegangan sufi dibentuk melalui pengalaman rasa sementara orang lain pula melalui khayalan dan andaian. Sufi yang berkata atau melakukan sesuatu yang menyalahi syariat, bertentangan dengan perkataan al-Quran dan perkataan Rasulullah s.a.w ketika dia dikuasai oleh hal atau mabuk, bisa dimaafkan karena dia berbuat demikian tanpa kesadaran. Orang lain yang di dalam kesadaran biasa yang mengikuti orang sufi secara meniru-niru perlu diberi penjelasan bahwa perbuatan mereka adalah sesat dan kufur.
Pengalaman wahdatul wujud adalah umpama bayangan yang muncul akibat awan mendung menutupi sinar matahari. Setelah awan berlalu bayangan pun hilang. Orang sufi yang berjalan terus akan melepasi peringkat bayangan tersebut. Pemahaman wahdatul wujud ditinggalkan di belakang dan dia masuk kepada jalan kenabian, berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunah. Kebenaran yang sejati terletak dalam al-Quran dan as-Sunah bukan pada zauk, jazbah dan mabuk. Oleh yang demikian orang sufi yang belum melepasi suasana mabuk dilarang keras bercampur gaul dengan orang banyak dan menyampaikan pemahaman yang terbentuk ketika mabuk.
8: KEWALIAN PADA JALAN KENABIAN DAN KEWALIAN PADA JALAN KESUFIAN
________________________________________
Terdapat banyak perbedaan dari segi pengalaman, penyaksian, pemahaman dan pegangan di antara pengembara pada jalan kesufian dengan pengembara pada jalan kenabian. Kewalian sufi diliputi oleh bayangan yang menyata sebagai tajalli-tajalli, sedangkan ia adalah hijab kepada Yang Haq. Kewalian sufi memasuki suasana menyaksikan rupa bentuk, cahaya dan warna. Cinta yang menguasai kewalian sufi adalah cinta yang mengasyikkan dan memabukkan, menghilangkan rasional. Kewalian pada jalan kenabian atau kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w tidak melalui suasana tajalli dan penyaksian kepada rupa bentuk, cahaya dan warna. Pada jalan kenabian, cinta para sahabat kepada Allah s.w.t menyata sebagai ketaatan yang sejati berlandaskan kehambaan yang sebenar-benarnya. Kewalian sufi berpisah daripada dunia dan akhirat. Pada kewalian para sahabat pula, dunia dan akhirat menjadi daerah kekhalifahan mereka. Mereka bertanggung-jawab kepada kehidupan dunia dan mereka bekerja untuk keselamatan di akhirat.
Kehampiran dengan Tuhan pada kewalian sufi bercampur dengan unsur bayangan dan terdapat hijab padanya. Penyaksian sufi sering tertumpu kepada bentuk-bentuk misal yang dinisbahkan kepada Tuhan. Orang sufi biasa mengatakan mereka melihat Tuhan sebagai cuaca subuh atau sebagai satu bentuk atau satu warna. Gambaran misal itu menjadi hijab yang menutupi penyaksian terhadap Allah s.w.t yang tidak berupa, tidak berbentuk, tidak berwarna, tidak bercahaya dan tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya: “ .Pada kewalian terdapat husul yaitu sampai kepada Tuhan. Pada husul terdapat hijab atau bayangan yaitu gambaran misal, dan orang yang memasuki peringkat husul menyatu dengan bayangan atau misal yang dinisbahkan kepada Tuhan, sama ada misal itu cahaya, warna, dirinya sendiri atau apa saja. Penyatuan dengan hijab atau misal ketuhanan itu dirasakan sebagai bersatu dengan Zat Tuhan. Oleh itu melalui husul perbedaan di antara hamba dengan Tuhan dihapuskan. Hamba dengan Tuhan dipertemukan pada satu wujud dan dinamakan wahdatul wujud. Wahdatul wujud hanyalah bayangan, bukan Yang Haq. Kemabukan ketika dilambung gelombang kefanaan yang menghasilkannya. Yang Hakiki hanya ditemui selepas meninggalkan peringkat fana dan mabuk.
Kewalian pada jalan kenabian, kewalian para sahabat, tidak bercampur dengan suasana mabuk, tidak ada fana, bebas daripada bayangan yang menghijab Yang Hakiki. Kewalian para sahabat memperolehi wusul atau berjumpa Tuhan tanpa dihijabkan oleh gambaran misal yang dinisbahkan kepada Tuhan. Pertemuan di antara hamba dengan Tuhan berlaku secara jaga, sedar, bukan dalam suasana mabuk. Bila tidak diganggu oleh mabuk dan gambaran misal, hamba menyaksikan kehambaan dirinya dan hamba menyaksikan ketuhanan Tuhannya. Hamba menyaksikan Tuhan yang : “ ” - tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya, bagaimana Dia dimisalkan oleh sesuatu. Wujud Tuhan dengan wujud hamba bisa dibedakan. Mata keyakinan wali pada jalan kenabian menyaksikan Tuhan Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi dari apa yang disifatkan, digambarkan dan dimisalkan. Penemuan wali pada jalan kenabian sama dengan kenyataan al-Quran dan pengajaran Rasulullah s.a.w. Kewalian pada jalan kenabian itulah yang benar-benar berjumpa dengan Yang Haq. Bila Yang Hakiki ditemui seseorang itu bebas daripada tarikan keasyikan kepada nyanyian dan tarian, bebas daripada mabuk dan pengaruh wahdatul wujud. Tidak terjadi tajalliyat, tidak ada gangguan bayangan dan misalan dan lain-lain yang biasa ditemui pada jalan kesufian. Sebab itu kelakuan ganjil yang biasa menyerang orang sufi tidak didapati berlaku kepada para sahabat Rasulullah s.a.w. Kewalian para sahabat melahirkan kecintaan kepada Allah s.w.t secara ketaatan dengan penuh kerelaan di atas landasan kehambaan yang sebenar-benarnya.
Tajalliyat, sama ada berlaku dalam rupa bentuk, atau di bawah hijab cahaya dan warna, berlaku pada kewalian sufi terutamanya pada peringkat awal perjalanan. Penjelmaan dan tajalliyat adalah bayangan kepada Yang Haq. Tajalli dan penyaksian tertuju kepada bayangan. Orang yang menolak bayangan bebas daripada tajalliyat. Orang yang memasuki jalan kenabian bebas daripada tajalliyat tetapi jika dia sampai kepada jalan kenabian melalui jalan kesufian, pengalaman tajalliyat ditemuinya.
Orang yang memasuki jalan kesufian bekerja untuk menghapuskan semua kehendak. Pada jalan kenabian penghapusan kehendak tidak dituntut. jalan kenabian memperakui bahwa kehendak yang asli adalah baik. Kehendak menjadi jahat apabila diarahkan kepada bahan-bahan dan perkara-perkara jahat. Jadi, bahan dan perkara jahat yang perlu dihapuskan daripada kehendak, bukan kehendak itu sendiri secara keseluruhannya. Kehendak perlu diarahkan kepada sesuatu yang baik menurut petunjuk syariat. Syariat telah menggariskan sempadan yang baik dan yang jahat. Pengembara pada jalan kenabian dikehendaki menjaga dan mengawal kehendak agar tidak keluar daripada daerah yang baik.
Selain daripada penghapusan kehendak, orang yang memasuki jalan kesufian juga menghapuskan sifat-sifat kemanusiaannya. Pada jalan kenabian pula syariat memisahkan sifat kemanusiaan yang baik daripada yang jahat. Orang yang memasuki jalan kenabian hanya perlu menghapuskan sifat yang jahat dan keji, tidak perlu menghapuskan sifat kemanusiaan keseluruhannya. Pada kewalian sufi didapati penafian perbuatan diri sendiri, sifat-sifat diri sendiri dan kewujudan diri sendiri. Semua perkara dan segala sesuatu diisbatkan kepada Allah s.w.t semata-mata. Hal atau suasana penafian diri merupakan ciri kefanaan. Orang yang terus kepada jalan kenabian tidak terlibat dengan penafian diri, sifat dan perbuatan, tetapi jika dia sampai kepada jalan kenabian melalui jalan kesufian dia mengalami juga hal yang demikian.
Kewalian pada jalan kesufian dinamakan wali kecil dan ia dibaluti oleh bayang-bayang yang bercampur dengan perkara-perkara yang tidak jelas dan samar-samar. Wali pada jalan kenabian, termasuklah wali yang telah melepasi jalan kesufian dan memasuki jalan kenabian, adalah lebih sempurna. Jalannya, pemahamannya, pegangannya dan tindak-tanduknya lebih jelas, pasti dan nyata. Wali pada jalan kesufian gemar menggunakan istilah yang ganjil-ganjil dan tidak jelas maksudnya. Mereka suka mengadakan uraian secara berteka-teki yang sukar dimengarti maksudnya. Hujah mereka banyak bersandar kepada pengalaman kerohanian separti zauk dan kasyaf tanpa merujuk kepada sumber yang lebih kuat yaitu al-Quran, as-Sunah ijmak ulama. Wali pada jalan kenabian pula senantiasa bersikap rasional, bersandar kepada sumber yang muktabar dan bisa diterima oleh akal yang sehat. Apabila wali sufi meningkat dan sampai kepada kewalian cara kenabian dia akan meninggalkan daerah yang kesamaran dan meragukan. Dia akan bergabung dengan wali-wali cara kenabian yang lain di dalam mengembangkan syiar agama Islam menurut ajaran al-Quran, as-Sunah dan muafakat ulama.
Bagi orang yang dipimpin, walaupun pada peringkat permulaiannya dia memasuki jalan kewalian sufi namun, akhirnya dia akan sampai kepada jalan kewalian cara kenabian. Pengalamannya dalam bidang kewalian sufi membantunya membentuk keyakinan setelah dia berpindah kepada kewalian cara kenabian. Walaupun kebanyakan sufi yang terkenal memulaikan perjalanan cara kewalian sufi dan kemudiannya berpindah kepada kewalian cara kenabian, tetapi kewalian cara sufi bukanlah syarat yang mesti bagi memperolehi kesempurnaan kewalian cara kenabian. Banyak orang yang terus pergi kepada kewalian cara kenabian tanpa melalui cara kesufian, terutamanya pada zaman Rasulullah s.a.w. Para sahabat yang terus memasuki cara kenabian dan menetap pada jalan tersebut tanpa memasuki cara sufi telah mencapai derajat kewalian yang paling tinggi dibandingkan dengan wali-wali pada semua zaman. Selepas Rasulullah s.a.w, para sahabat adalah contoh yang paling baik untuk diikuti. Rasulullah s.a.w telah mengasuh satu kumpulan manusia sempurna yang bisa diikuti oleh kaum Muslimin yang datang kemudian.
Umat Islam umumnya telah lama keliru di dalam memahami maksud kewalian. Kewalian dan kesufian telah diikat kemas di dalam pemikiran sehingga timbul anggapan hanya orang sufi yang bisa menjadi wali. Orang yang menetap pada Jalan syariat, beriman, beramal salih dan bertakwa, jika tidak memasuki jalan kesufian tidak akan sampai kepada makam kewalian. Orang-orang separti Imam Syafi’e, Imam Malik, Imam Hanafi dan Imam Hanbali tidak disebut sebagai wali Allah. Apakah orang-orang yang dibimbing oleh Allah s.w.t sehingga mereka mampu mengadakan mazhab yang diikuti oleh kebanyakan umat Islam, tidak termasuk ke dalam kelas wali Allah? Apakah orang yang dipimpin oleh Allah s.w.t membentuk kumpulan tarekat yang jauh lebih kecil daripada kumpulan mazhab lebih tinggi kewaliannya daripada orang yang mempelopori mazhab yang besar?
Perlu diketahui bahwa orang yang memasuki aliran kesufian melalui dua peringkat kewalian. Kewalian peringkat pertama dinamakan wali kecil, yaitu kewalian cara sufi yang padanya terdapat amalan suluk, zauk, jazbah, fana, bersatu dengan Tuhan, baqa dengan Tuhan dan lain-lain bentuk pengalaman kerohanian. Setelah menyempurnakan kewalian cara sufi mereka diangkat kepada kewalian cara kenabian, derajat kewalian yang lebih sempurna. Di dalam daerah kewalian cara kenabian orang-orang sufi separti Abdul Qadir Jilani, Hasan Basri, Ibrahim Adham dan banyak lagi bergabung dengan kumpulan wali yang menetap pada cara kenabian separti Imam Syafi’e, Imam Malik dan lain-lain. Semua wali-wali pada peringkat tersebut menjadi sesuai dengan perjalanan Nabi Muhammad s.a.w, para sahabat baginda s.a.w dan dengan syariat yang baginda s.a.w bawa. Malangnya peringkat kesesuaian orang sufi dengan syariat tidak menarik perhatian sebagian daripada kaum Muslimin yang berminat dengan aliran tarekat kesufian. Latihan kesufian lebih dikaitkan dengan kewalian. Kewalian Imam Syafi’e dan Imam Malik yang menetap pada cara kenabian dan berlaku dengan lebih teratur tidak menarik minat mereka. Oleh yang demikian ada kaum Muslimin yang sanggup melepaskan pendapat Imam Syafi’e yang bersandarkan al-Quran dan as-Sunah, demi memegang perkataan wali sufi yang di dalam mabuk. Mereka juga lebih berpegang kepada perkataan wali sufi yang sedang mabuk daripada perkataan wali sufi yang sudah melepasi peringkat mabuk. Konsep ketuhanan yang dinyatakan oleh al-Quran dan diajarkan oleh Rasulullah s.a.w, dipegang oleh para sahabat dan kaum Muslimin umumnya tetapi ditolak oleh sebagian kaum Muslimin yang terpengaruh dengan ucapan sufi yang latah. Mereka lebih terpengaruh dengan ucapan kumpulan sufi yang terperangkap dengan bayangan dan misal.
Kesempurnaan sufi dicapai setelah melalui dua peringkat kewalian, yaitu kewalian cara sufi dan kewalian cara kenabian. Seorang sufi perlu melalui proses menaik dan menurun. Di dalam proses menaik sufi memasuki perjalanan menuju Allah s.w.t yang kemudiannya membawanya kepada perjalanan ‘di dalam’ Allah s.w.t. Puncakk perjalanan ini adalah ‘bersatu’ dengan Allah s.w.t, yang menjadi intisari dan matlamat perjalanan kewalian sufi. Di dalam proses menaik sufi hanya berhubung dengan Allah s.w.t, tidak berhubung dengan sesama makhluk. Sufi terpisah daripada makhluk dan dirinya sendiri. Sufi mencapai fana dan bersatu dengan Tuhan. Pengalaman yang demikian membuat sufi mempunyai satu bentuk kepemahaman tentang ketuhanan.
Setelah menyempurnakan proses pertama sufi masuk kepada proses kedua, yaitu proses menurun, menuju kepada kesempurnaan kewalian dengan melalui jalan kenabian. Ketika menurun mental sufi mulai berpisah daripada Tuhan. Sufi mulai menyaksikan perbedaan di antara Tuhan dengan hamba. Kesadaran sufi terhadap dirinya dan makhluk kembali semula dan akhirnya dia kembali kepada kesadaran sepenuhnya. Proses kedua membentuk kepemahaman dan pegangan yang berbeda dengan proses pertama. Pada proses pertama sufi dikuasai oleh pengaruh wahdatul wujud. Proses kedua pula memisahkan sufi daripada kesan wahdatul wujud itu. Sufi yang telah berpisah dengan pemahaman wahdatul wujud mengakui perbedaan di antara Tuhan dengan hamba dan menerima kenyataan al-Quran bahwa tidak ada sesuatu yang serupa dengan Tuhan. Dua proses yang menghasilkan dua pemahaman dan pegangan yang berlainan berlaku dalam perjalanan sufi.
Orang yang terus kepada cara kenabian tidak mengalami dua peringkat berbeda yang dilalui oleh pada cara kesufian. Pada jalan kenabian tidak berlaku pemutusan hubungan sesama manusia dan penyatuan dengan Tuhan. Tidak ada kefanaan dan kelenyapan diri. Tidak ada zauk, jazbah, mabuk dan tidak berlaku ucapan latah. Pada jalan kenabian akal fikiran senantiasa dalam keadaan sedar. Bila tidak ada peringkat berpisah dengan makhluk tidak ada juga peringkat kembali kepada diri dan makhluk. Bila tidak ada proses bersatu dengan Tuhan tidak ada pula proses berpisah dengan Tuhan. Pengembara pada jalan kenabian tidak dikuasai oleh keasyikan kepada Tuhan yang menyebabkan hilang pandangan terhadap diri sendiri dan makhluk. Mereka juga tidak dikuasai oleh kegairah terhadap makhluk sehingga melupakan Tuhan. Wali cara kenabian senantiasa berhubung dengan Tuhan walaupun mereka sibuk melayani makhluk Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan dan hubungannya dengan makhluk berjalan serentak tanpa gangguan. Tidak berlaku pertentangan di antara perhatian kepada Tuhan dengan perhatian kepada makhluk. Bagi wali yang berada pada jalan kenabian, berkhidmat kepada makhluk Tuhan sebenarnya adalah berkhidmat kepada Tuhan, berdasarkan ingatan dan perhatian kepada Tuhan karena Tuhan yang memerintahkan berbuat demikian. Dalam menguruskan soal makhluk wali Allah sebenarnya melaksanakan kehendak Allah s.w.t, bartindak sebagai khalifah atau wakil-Nya. Walaupun sibuk melayani orang banyak perhatiannya tetap tertuju kepada Allah s.w.t dan mereka mengajak orang banyak kepada Allah s.w.t, taat kepada-Nya dan menghampiri-Nya. Wali pada jalan kenabian melakukan pekerjaan yang mulia ditengah-tengah masyarakat. Allah s.w.t reda dengan amalan mereka dan mereka senang berbuat demikian. Wali yang di dalam daerah kenabian inilah yang menyambung pekerjaan Nabi Muhammad s.a.w di dalam membimbing dan membawa umat manusia kepada Allah s.w.t.
Nabi Muhammad s.a.w bertugas menyampaikan syariat kepada umat manusia. Wali-wali pada jalan kenabian dan wali sufi yang kembali kepada jalan kenabian meneruskan pekerjaan tersebut. Wali yang tidak keluar dari daerah kesufiannya tidak memperdulikan urusan disekelilingnya, tidak memperdulikan sekalipun berlaku kiamat. Wali-wali yang menetap pada daerah kesufian adalah mereka yang tidak diberi tugas. Wali-wali sufi yang dipilih dan diberi tugas akan dibawa kepada daerah kewalian cara kenabian dan mereka melaksanakan tugas yang diamanahkan Allah s.w.t kepada mereka. Tugas utama adalah menyampaikan syariat. Orang banyak dituntut mentaati Nabi Muhammad s.a.w di dalam menjalankan peraturan syariat, bukan mengikuti cara atau amalan wali sufi. Di akhirat kelak yang dihisab adalah yang berkaitan dengan syariat. Latihan kerohanian dan tasauf juga dihisab berdasarkan peraturan syariat. Ketaatan kepada syariat membawa seseorang kepada syurga dan perlanggaran kepada syariat membawa ke neraka. Nabi Muhammad s.a.w dan wali-wali yang mengikuti baginda s.a.w menyampaikan dan mengamalkan syariat dan mereka bersedia untuk berkorban demi mengembang dan mempertahankan syariat.
Kumpulan manusia yang paling mulia adalah Nabi-nabi. Tujuan diutus Nabi-nabi adalah untuk menyebarkan syariat. Pekerjaan menyebarkan syariat adalah pekerjaan yang paling mulia bisa dilakukan oleh seseorang manusia di atas muka bumi. Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia daripadanya. Wali-wali yang menjadi pewaris Nabi meneruskan pekerjaan tersebut. Hanya wali-wali yang telah kembali kepada jalan kenabian yang bisa melakukan pekerjaan tersebut dengan baik dan tepat. Memimpin umat manusia ke jalan yang diredai Allah s.w.t adalah lebih baik daripada melakukan ibadat sendirian tanpa bercampur gaul dengan orang banyak. Ketika masyarakat dilanda oleh kerosakan akidah dan kerosakan akhlak, tuntutan menghidupkan syariat lebih besar lagi. Usaha menghidupkan satu peraturan syariat lebih bermakna daripada latihan kerohanian yang hanya memberi faedah kepada diri sendiri saja. Oleh karena tujuan Allah s.w.t memberi bimbingan kepada wali-wali untuk membimbing umat manusia, maka wali cara sufi yang menerima petunjuk akan kembali kepada cara kenabian serta melaksanakan tugas membimbing umat manusia kepada jalan yang lurus. Ketaatan kepada syariat memelihara seseorang agar teguh di atas jalan yang lurus.
Puncakk kesempurnaan iman, ilmu, amal, takwa, pengalaman dan pencapaian, terdapat pada Nabi Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w menjadi contoh tauladan yang paling baik dan paling tinggi untuk diikuti dan baginda s.a.w juga mestilah dijadikan model di dalam menentukan kedudukan seseorang wali. s.a.w Ketinggian derajat seseorang wali ditentukan dengan setakat mana wali itu menghampiri kualiti-kualiti yang ada pada Nabi Muhammad. Ada wali yang melibatkan diri semata-mata dalam urusan hubungan dengan Tuhan. Wali yang fana dalam Tuhan ini melakukan tuntutan agama yang paling minimal, separti bersholat, tetapi sangat kurang penglibatannya dalam kebaktian kepada sesama manusia. Ada pula wali yang di samping bersungguh-sungguh di dalam urusan perhubungan dengan Allah s.w.t, mereka juga bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan kewajiban sesama manusia. Wali jenis kedua menjalani kehidupan yang lebih sesuai dengan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan mereka merupakan wali yang lebih baik, lebih tinggi dan lebih sempurna. Wali yang bermukim di dalam daerah kewalian sufi, menjadi majzub atau fana dalam Allah s.w.t secara terus menerus, perjalanannya tidak lengkap. Wali yang demikian hanya berjalan separuh jalan saja. Mereka berhenti sebelum menemui Yang Hakiki. Wali tersebut melengkapkan perjalanan kepada Tuhan dan dalam Tuhan sehingga mencapai peringkat bersatu dengan Tuhan. Suasana bersatu dengan Tuhan menimbulkan mabuk yang melahirkan tingkah-laku dan tutur-kata yang ganjil-ganjil. Kemabukan menyebabkan wali tersebut terputus daripada peraturan dan sopan santun kemanusiaan. Dalam keadaan demikian juga peraturan syariat tidak dihormati. Wali jenis ini tidak dibisakan menjadi pembimbing manusia lain karena sifat-sifat kemanusiaannya sudah lenyap. Wali yang layak membimbing manusia lain adalah yang mara terus melepasi peringkat bersatu dengan Tuhan, bergerak jauh dari Tuhan dengan Tuhan, menyaksikan perbedaan di antara hamba dengan Tuhan, menyaksikan wujud hamba yang berpisah dengan Wujud Tuhan, keluar dari suasana mabuk dan kembali kepada keinsanan untuk menceburkan diri dalam kegiatan masyarakat. Wali jenis ini merupakan wali yang melepasi kewalian sufi dan masuk kepada kewalian cara kenabian. Merekalah yang menjadi khalifah Allah di bumi, memikul satu-satu bidang tugas khusus untuk kemanfaatan manusia umum. Inilah kumpulan wali yang menyambung perjuangan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w. Kumpulan ini memikul tugas berdakwah membimbing orang banyak kepada jalan Tuhan. Orang-orang yang kembali kepada jalan Tuhan dipersucikan zahir dan batin agar menjadi hamba Tuhan yang sebenar-benarnya. Hamba yang dipersucikan, berjalan pada jalan Tuhan, bekerja menegakkan syariat Allah s.w.t di atas muka bumi. Pekerjaan wali-wali yang sampai kepada cara kenabian merupakan pekerjaan yang paling mulia karena mereka melakukan pekerjaan Nabi-nabi. Mereka mendapat kedudukan yang paling mulia, sebagai sahabat Allah s.w.t dan Rasul-Nya yang akrab.
Perilaku Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w hendaklah dijadikan neraca dalam menentukan sesuatu perkara agar penilaiannya benar dan tepat. Dalam menilaikan kedudukan seseorang wali, neraca yang didirikan oleh Nabi Muhammad s.a.w hendaklah digunakan Sikap menjadikan kekeramatan sebagai pengukur kewalian adalah sikap yang tidak benar. Kekeramatan bukanlah petanda ketinggian derajat seseorang wali, malah kekeramatan bukanlah syarat kewalian. Biasa terjadi wali yang lebih rendah kedudukannya mengeluarkan kekeramatan yang lebih banyak daripada wali yang lebih tinggi kedudukannya. Wali yang paling tinggi yang muncul pada zaman di belakang ini tidak dapat menyamai kedudukan kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w yang paling rendah. Para sahabat yang berkedudukan sebagai wali peringkat tartinggi pada semua zaman jarang atau tidak ada yang mengeluarkan kekeramatan, tetapi wali yang datang kemudian banyak mengeluarkan kekeramatan. Perlu diambil perhatian bahwa orang kafir, ahli maksiat dan ahli silap mata juga biasa mengeluarkan perkara yang luar biasa separti yang terjadi di kalangan wali-wali. Perkara luar biasa yang dikeluarkan oleh orang kafir, ahli maksiat dan ahli silap mata, tidak ada kaitan dengan kedudukan iman.
Konsep kewalian telah lama mengelirukan umat Islam. Pengagungan kewalian cara sufi dan pengabaian kewalian cara kenabian telah lama menguasai pemikiran mereka. Pemahaman wahdatul wujud, isu bersatu dengan Tuhan, pengguguran taraf kehambaan dan tidak mengambil berat kepada peraturan syariat telah dikaitkan kewalian. Kekeliruan ini sudah sangat jauh mengseret umat Islam. Ia mesti diperbetulkan dengan cara menyebarkan konsep kewalian yang sebenar, yang bersesuaian dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah. Perlu difahamkan bahwa wahdatul wujud adalah kesan sampingan yang bersifat sementara yang dialami oleh wali sufi yang masih di dalam perjalanan. Jika dia menetap pada kewalian sufi kesan tersebut akan berpanjangan. Jika dia masuk kepada kewalian yang lebih sempurna, yaitu kewalian cara kenabian, kesan itu akan hilang. Dia akan kembali kepada syariat dengan penuh keyakinan. Wali yang sampai kepada cara kenabian adalah lebih benar dan lebih tinggi kedudukannya. Wali cara kenabian bersungguh-sungguh dalam kehambaan, mematuhi peraturan syariat dengan sepenuh jiwa raga mereka. Mereka kuat melakukan ibadat, bertakwa dan beramal salih.
Oleh karena Islam mencakupi segala bidang maka Allah s.w.t mendatangkan wali-Nya dalam segala bidang juga. Dalam Islam ada fardu ain dan fardu kifayah. Jika tidak ada seorang pun orang Islam yang menunaikan fardu kifayah dalam sesuatu perkara maka kesemua orang Islam menanggung kesalahannya. Begitu juga jika tidak ada seorang pun wali yang melibatkan diri dalam fardu kifayah maka kesemua wali menanggung kesalahannya. Tuhan tidak berkehendak yang demikian berlaku kepada wali-wali-Nya. Oleh itu Tuhan mendatangkan wali dalam segala bidang. Ada wali yang dikhususkan dalam bidang pentadbiran negara, sebagaimana Nabi Daud a.s dan Nabi Sulaiman a.s mewakili kenabian dalam bidang tersebut. Ada wali yang dikhususkan dalam bidang pengurusan pertanian sebagaimana Nabi Yusuf a.s mewakili kenabian dalam bidang tersebut. Begitu juga dalam bidang-bidang yang lain yang memberi manfaat kepada umat manusia dan makhluk Allah s.w.t. Nabi Isa a.s mengambil bagian dalam bidang perobatan, Nabi Nuh a.s dalam bidang pertukangan, Nabi Musa a.s dalam bidang penternakan dan Nabi-nabi yang lain juga ada bidang kegiatan masing-masing. Nabi Muhammad s.a.w merupakan Nabi yang paling aktif di dalam kegiatan kehidupan harian. Baginda s.a.w pernah memasuki bidang penternakan dan perniagaan. Baginda s.a.w adalah juga pemerintah angkatan perang dan pemimpin agung negara. Baginda s.a.w adalah seorang mufti dan hakim. Ilmu baginda meliputi segala bidang ilmu yang diketahui oleh manusia. Baginda s.a.w mengajarkan ilmu alam, astronomi, kaji hayat, kedoktoran, sains, sejarah, siasah dan lain-lain. Tidak akan ada lagi seorang manusia yang mampu menguasai semua bidang dan semua ilmu separti yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Manusia lain hanya dikhususkan dalam satu atau beberapa bidang saja. Golongan khusus itu adalah wali-wali yang dibekalkan dengan pengetahuan dalam bidang berkenaan. Baik Nabi mau pun wali yang menceburi sesuatu bidang pengkhususan tersebut, mereka melaksanakan tugas mereka selaras dengan peraturan Allah s.w.t. Kegiatan harian tidak menyebabkan urusan ibadat mereka tartinggal. Inilah perbedaan besar di antara wali yang menceburi bidang kehidupan harian dengan orang lain yang berada dalam bidang yang sama. Seorang wali yang menceburi bidang ekonomi mampu menegakkan sistem perekonomian Islam di tengah-tengah berbagai-bagai sistem ekonomi dunia.
Para ilmuan Islam haruslah menyedarkan umat Islam mengenai kewalian. Tokoh-tokoh ilmu yang menghiasai lembaran sejarah Islam haruslah dikaji dengan mendalam apakah tidak mungkin mereka adalah wali-wali yang dikhususkan dalam bidang berkenaan. Orang-orang yang lebih jelas kewalian dan kekhalifahan mereka separti Imam Syafi'’e, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan lain-lain, hendaklah ditonjolkan sebagai wali sebagaimana layaknya, supaya kewalian mereka bisa dicontohi dan tidaklah orang banyak beranggapan hanya orang sufi saja yang menjadi wali.
9: TUJUAN LATIHAN KEROHANIAN CARA SUFI
________________________________________
Manusia fitrah yang memasuki jalan kesufian dan melakukan berbagai-bagai latihan kerohanian didorong oleh tujuan yang suci yaitu untuk menjadi hamba Allah s.w.t sebaik mungkin.. Mereka telah terlebih dahulu mengikuti jalan yang dilalui oleh orang banyak. Mereka telah bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan beramal menurut peraturan syariat. Kehidupan harian dijadikan tarekat buat bermujahadah pada jalan Allah s.w.t, demi memperolehi keredaan-Nya. Dia kuat melakukan ibadat dalam aspek hubungan dengan Tuhan dan juga amalan dalam aspek hubungan sesama manusia. Walaupun mereka sudah menjaga peraturan syariat sekadar kemampuan mereka, namun hati mereka masih merasakan kekosongan. Mereka sudah berjumpa dengan berbagai-bagai guru namun, banyak persoalan yang timbul dalam fikiran mereka tidak dapat dijelaskan secara memuaskan hati mereka. Mereka sampai kepada peringkat mencari sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu apa yang dicari. Mereka diganggu oleh persoalan-persoalan yang mereka tidak tahu di mana mau mendapatkan jawaban. Mereka merasakan kekosongan jauh di dalam lubuk hati, seolah-olah menantikan sesuatu untuk memenuhinya. Kekuatan akal mereka sudah sampai ke perbatasan yang tidak mungkin ditembusi lagi. Jiwa mereka menjadi tidak tenteram dan fikiran mereka keliru. Mereka mencoba mencari kedamaian melalui amalan tetapi tidak berjaya. Mereka mencoba mendapatkan kedamaian melalui orang-orang alim yang mereka kenali, juga tidak berjaya. Orang alim merupakan modal terakhir mereka. Bila modal tersebut gagal memberikan hasil yang mereka harapkan, mereka sampai kepada titik peralihan. Jiwa mereka mudah terangsang apabila melihat kesyirikan, kemunafikan, kefasikan dan kemunkaran yang berlaku di sekeliling mereka. Mereka melihat kerosakan berlaku tetapi mereka tidak terdaya menahannya. Apabila mereka memandang kepada masyarakat mereka melihat kepada kemunkaran dan kerosakan dan apabila mereka memandang kepada diri sendiri mereka melihat ketidak-upayaan mereka mencegah kerosakan yang berlaku. Mereka melihat kerosakan yang berlaku kepada masyarakat separti melihat ombak besar yang menggulung diri mereka. Dalam keadaan yang demikian mereka melihat jalan keselamatan buat mereka adalah mengasingkan diri, lalu mereka masuk ke dalam lembah suluk.
Kumpulan tersebut memasuki suluk dengan niat: “Ilahi! Engkau jualah tujuan dan keredaan Engkau jua yang dicari”. Mereka tidak pernah mengetahui, apa lagi terlibat dengan pemahaman wahdatul wujud, tidak ada motif mau bersatu dengan Tuhan, tidak mengimpikan fana, zauk dan jazbah dan tidak bercadang meninggalkan syariat. Keyakinan mereka terhadap syariat tidak pernah bergoyang, cuma sesuatu tentang syariat itu yang mereka tidak jelas. Jawaban kepada yang tidak jelas itu mereka tidak perolehi melalui jalan yang telah mereka lalui. Kesungguhan melakukan ibadat dan menuntut ilmu tidak menghilangkan gangguan rangsangan syaitan. Setiap kebaikan yang dilakukan diiringi oleh bisikan yang mau merusakkan kebaikan tersebut. Dalam suasana demikian ikhlas adalah sesuatu yang dipaksakan dan mereka mesti bekerja keras mempertahankan keikhlasan itu. Bukan setakat mempertahankan keikhlasan malah kesungguhan melakukan ibadat juga mesti dibaja karena ada saja sesuatu yang mencoba menghalang mereka berbuat ibadat. Pergaulan dengan orang banyak menjadi jalan bagi musuh-musuh ibadat dan ikhlas menyerang mereka. Benteng yang paling baik bagi mereka mempertahankan diri adalah suluk. Latihan-latihan yang dilakukannya semasa bersuluk membawa mereka melepasi gangguan rangsangan syaitan. Amal ibadat dapat dilakukan dengan mudah dan ringan. Sabar, reda, tawakal dan ikhlas menjadi keperibadian mereka, berlaku secara spontan, bukan lagi sifat yang dipaksakan.
Semasa bersuluk itu mungkin mereka terbawa kepada pengalaman kerohanian dan terdorong kepada wahdatul wujud, tetapi akar kehambaan yang teguh akan membawa mereka melepasi yang demikian untuk kembali kepada jalan kenabian. Bila rohani mereka telah benar-benar matang, percampuran dengan orang banyak tidak lagi memudaratkan mereka. Pada masa itu mereka ‘diperintahkan’ supaya kembali kepada masyarakat karena ada tugas yang perlu mereka lakukan. Mereka masuk semula kepada kegiatan masyarakat, membimbing orang banyak agar selamat daripada kemusyrikan, kemunafikan, kefasikan dan kemunkaran, seterusnya kembali kepada Tuhan dengan akidah dan amalan yang bersih.
Kumpulan yang diceritakan di atas merupakan orang yang sampai kepada jalan kenabian melalui jalan kesufian walaupun mereka tidak mengetahui maksud sufi dan istilah-istilah tasauf. Mereka telah memperolehi faedah yang besar daripada latihan kerohanian secara bersuluk. Hati mereka umpama pelita yang mempunyai sumbu tetapi tidak mempunyai minyak. Latihan kesufian umpama memasukkan minyak ke dalam pelita. Gurunya umpama api yang menyalakan pelita tersebut. Setelah pelita hatinya menyala akalnya mampu mendapatkan jawaban kepada persoalan yang mengganggunya selama ini, yang tidak dapat di jelaskan oleh orang lain. Jiwanya menjadi tenang. Derajat kehambaannya meningkat sehingga sampai kepada kesempurnaan. Dia layak bergelar hamba Tuhan yang melaksanakan kehendak dan peraturan Tuhan sebagai yang Dia kehendaki. Tarekat kesufian telah membawanya kepada jalan kenabian yang sebenarnya. Kepercayaan dan keyakinannya kepada kebenaran syariat bertambah dan menjadi teguh serta memudahkannya melaksanakan dan mengamalkan tuntutannya. Mereka bergerak di dalam masyarakat sesuai dengan cara Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w berkecimpung di dalam masyarakat. Mereka telah sampai kepada tujuan mereka diciptakan. Sampai kepada tujuan penciptaan insan itu adalah peringkat paling tinggi. Allah s.w.t menciptakan insan untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Kehambaan adalah peringkat paling tinggi dan paling sempurna. Mereka berpegang kepada Kebenaran Hakiki sebagaimana dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunah. Tidak ada kebenaran yang mengatasi kebenaran syariat. Setelah menemui kebenaran syariat dan mencapai peringkat kehambaan yang sejati, berakhirlah latihan kerohanian. Peringkat seterusnya adalah bekerja menurut peringkat yang dicapai dan kebenaran yang ditemui, sebagaimana Rasulullah s.a.w bekerja setelah menghabiskan peringkat khalwat di Gua Hiraa.
Perkembangan kerohanian sufi dalam mencapai kesempurnaan melalui empat peringkat. Peringkat pertama dinamakan perjalanan menuju Allah s.w.t. Sufi bergerak daripada pengetahuan yang rendah kepada pengetahuan yang lebih tinggi sampai kepada pengetahuan mengenai Wajibul Wujud. Dalam proses ini pengetahuan mengenai mumkinul wujud (wujud yang mungkin) berkurangan sedikit demi sedikit sehingga akhirnya terhapus terus. Keadaan ini dinamakan fana. Fana membawa sufi memasuki peringkat ke dua, dinamakan perjalanan dalam Allah s.w.t. Ia merupakan proses perjalanan yang diistilahkan sebagai makrifat atau mengenal Allah s.w.t dalam suasana yang dinisbahkan kepada ketuhanan atau hakikat-hakikat separti nama-nama Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan hal-hal ketuhanan. Seterusnya sufi sampai kepada suasana yang tiada perkataan dan bahasa bisa bercerita, tiada sifat bisa mengibaratkan, tiada perhubungan bisa dihubungkan dan tiada sesuatu penjelasan. Pengetahuan tidak ada dan makrifat juga tidak ada dalam suasana yang demikian. Tidak ada pengetahuan dan tidak ada pengenalan yang mampu bercerita tentang zat Allah s.w.t. Pengalaman pada suasana kerohanian yang demikian dinamakan baqa atau hidup bersama-sama Tuhan. Ini adalah penghabisan peringkat ke dua. Perjalanan peringkat pertama dan ke dua melengkapkan kewalian cara sufi. Orang yang telah menempuh dua peringkat ini dipanggil sebagai wali sufi atau wali kecil.
Sufi seterusnya bergerak kepada peringkat ke tiga yang dinamakan perjalanan dari Tuhan. Dalam peringkat ini perjalanan bermulai dari pengetahuan yang tinggi kepada yang lebih rendah yaitu dari Wajibul Wujud kepada mumkinul wujud. Sufi yang sampai kepada peringkat ini dinamakan orang arif yang lupakan Tuhan melalui Tuhan, yang kembali dari Tuhan dengan Tuhan, yang kehilangan tetapi menjumpai, yang terpisah tetapi bersatu, yang jauh tetapi dekat, yang tidak bisa dikatakan tetapi tahu, yang tidak bisa disifatkan tetapi kenal. Peringkat ke tiga ini merupakan kebalikan kepada peringkat kedua. Ketika berada pada peringkat kedua sufi mengalami suasana yang diistilahkan sebagai fana dalam Tuhan. Pada peringkat ke tiga pula sufi meninggalkan makam ketuhanan dalam keadaan tidak berpisah dengan Tuhan. Pengaruh mabuk dan wahdatul wujud sudah berkurangan. Kesadaran kemanusiaan sudah mulai kembali sedikit demi sedikit. Bila kesadaran kemanusiaannya telah bertambah kuat sufi melengkapkan perjalanan pada peringkat ke empat yaitu perjalanan dalam alam kebendaan. Pada peringkat ini sufi kembali mengenali sesuatu yang dilupakannya pada peringkat pertama dahulu. Peringkat pertama membuat sufi lupa tetapi peringkat ke empat membuat sufi kembali mengingati. Alam kebendaan menjadi terang benderang kepadanya dan akhirnya dia kembali sepenuhnya kepada kesadaran dirinya dan alam maujud. Dia kembali kepada tempat dia bermulai. Perjalanannya menjadi lengkap.
Perjalanan peringkat ke tiga adalah perubahan dari jalan kesufian kepada jalan kenabian. Peringkat ke empat adalah penyempurnaan cara kenabian untuk memikul tugas yang mulia yaitu membimbing umat manusia kepada Tuhan, meneruskan perjuangan Nabi-nabi.
Ada pula orang yang memasuki jalan kesufian karena dipaksa bukan dengan disengajakan. Golongan ini bisa diibaratkan sebagai orang-orang yang mempunyai tugas tetapi mereka leka dengan kehidupan harian sehingga tercampak jauh daripada tujuan mereka diciptakan. Dengan rahmat dan belas kasihan Tuhan mereka disentak dari kelalaian tersebut dan diseret menghadap Tuhan. Mereka dipisahkan daripada apa saja yang menghalang mereka daripada kembali kepada Tuhan. Dalam golongan inilah terdapat raja yang diturunkan dari takhtanya, orang kaya yang jatuh miskin, orang cantik yang menjadi hodoh dan yang seumpama mereka. Perubahan yang mendadak menimpa mereka memisahkan mereka daripada beban berat yang menghalang mereka berjalan kepada Tuhan dan pada masa yang sama juga mereka terpisah daripada orang banyak. Mereka tidak ada pilihan kecuali mengasingkan diri. Dalam pengasingan itu mereka memperbanyakkan ibadat kepada Tuhan, membentuk penyerahan yang sejati, merelakan apa jua takdir yang sampai kepada mereka. Kesan daripada ujian yang menimpa mereka secara mengejut itu dihapuskan semasa pengasingan atau bersuluk. Dalam keasyikan beribadat itu terbuka kepada mereka peringkat-peringkat perjalanan separti yang dilalui oleh sufi kumpulan pertama. Kumpulan pertama berjalan kepada Tuhan berbekalkan pengharapan. Kumpulan ke dua ini pula tidak membawa sebarang bekal karena segala sesuatu telah diserahkan kepada Tuhan. Mereka telah rela dengan apa juga takdir yang sampai kepada mereka. Kumpulan pertama bekerja keras menghapuskan segala kehendak diri sendiri agar kehendak Tuhan menjadi kehendaknya juga. Pada kumpulan ke dua pula segala kehendak diri sendiri telah dihapuskan ketika ujian bala bencana menghempap mereka. Penghapusan kehendak diri berlaku dengan cepat diikuti oleh sifat penyerahan bulat kepada Tuhan, menghapuskan sifat-sifat keji dari hati mereka. Seterusnya kesadaran diri ikut lenyap bersama-sama dengan pengaruh akal fikiran dan perasaan. Mereka masuk kepada suasana yang dipanggil majzub. Orang majzub mengalami berbagai-bagai hal ketuhanan yang menghasilkan makrifat. Kumpulan yang berjalan melalui tarekat ujian bala ini berjalan lebih pantas daripada kumpulan pertama yang melakukan latihan bersuluk secara kesadaran dan kehendak sendiri, tetapi perkembangan kerohanian pada kumpulan pertama lebih teratur daripada kumpulan ke dua. Bimbingan dari guru yang arif dan bekalan ilmu yang mencukupi membantu kumpulan pertama meningkat dalam bidang kerohanian secara bersistematik dan mereka memperolehi penerangan mengenai apa yang mereka alami. Kumpulan ke dua pula biasanya menjadi majzub tanpa berguru dan mengalami hakikat tanpa mendapat penjelasan mengenainya. Kumpulan majzub ini akan berjalan terus melalui berbagai-bagai pengalaman tanpa mendapat pengetahuan yang jelas mengenai apa yang mereka alami. Setelah mereka melepasi peringkat majzub dan kembali kepada kesadaran keinsanan barulah mereka mempelajari hakikat yang telah mereka alami. Kumpulan yang bergerak secara perguruan selamat daripada fitnah masyarakat. Kumpulan yang tiba-tiba menjadi majzub tanpa berguru sering menimbulkan fitnah kepada orang banyak karena latar belakang mereka yang tidak kuat dan tidak alim dalam bidang agama, sedangkan mereka mulai bercakap tentang ketuhanan, membuat orang banyak curiga kepada mereka. Lebih buruk lagi jika di dalam keadaan hilang kesadaran itu mereka tidak mematuhi peraturan syariat dan adab kemanusiaan. Walau bagaimana pun setelah mereka kembali kepada kesadaran dan memperolehi pengetahuan tentang pengalaman kerohanian mereka, mereka akan bergerak sesuai dengan peraturan syariat dan dapat mengelakkan diri daripada menimbulkan kekeliruan kepada orang banyak.
Tidak semua orang yang menempuh jalan kerohanian akan kembali kepada kesadaran semula. Ada yang menjadi majzub terus menerus, fana dalam Tuhan secara berterusan dan tidak kembali lagi kepada kesadaran keinsanan. Orang yang separti ini telah naik ke tempat yang tinggi tetapi tidak menjumpai jalan turun. Suasana kebatinan mereka berbeda daripada orang banyak. Lantaran itu adab dan sopan santun orang banyak tidak memberi apa-apa makna kepada mereka, malah syariat juga bisa tertanggal ketika mereka dikuasai oleh jazbah. Orang yang hilang kesadaran ini tidak bisa dijadikan pembimbing karena mereka bercakap bahasa zauk sedangkan orang banyak yang dalam kesadaran menggunakan akal untuk mentafsirkan pengalaman zauk. Akal tidak mampu menerangkan pengalaman hakikat.
Orang yang dalam zauk banyak bercakap mengenai perkara ghaib dan hal ketuhanan. Daripada mulut mereka juga mudah keluar cerita mengenai penyaksian mata hati terhadap rupa, bentuk, warna dan cahaya yang dinisbahkan kepada ketuhanan. Orang yang dalam zauk juga melahirkan keasyikan yang mendalam kepada Tuhan. Daripada mereka juga selalu keluar perkara luar biasa yang diistilahkan sebagai keramat. Kekeramatan yang disaksikan menyebabkan orang lain menjadi yakin dengan apa yang mereka perkatakan. Ada orang yang di dalam kesadaran menggubah konsep ketuhanan hanya dengan mendengar ucapan orang majzub. Tuhan dimasukkan ke dalam sempadan rupa, bentuk, warna dan cahaya atau sesuatu menurut khayalan dan sangkaan mereka. Orang yang di dalam kesadaran biasa, tidak pernah mengalami zauk, menjual konsep ketuhanan yang diperolehi dari perkataan orang majzub, adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Golongan ini dan pengikut mereka adalah kufur, tetapi orang majzub, walaupun pada zahirnya menyalahi syariat, mereka patut dimaafkan karena mereka dikuasai oleh mabuk.
Ada juga orang yang memasuki aliran kesufian dengan tujuan mendapatkan kebisaan yang luar biasa karena mereka terpesona melihat kekeramatan yang keluar daripada wali sufi. Bidang kekeramatan yang paling digemari adalah keramat zahir yaitu kebisaan luar biasa dalam bidang keduniaan. Sufi beramal karena mau menyucikan hati bagi mengabdikan diri kepada Tuhan. Kumpulan sufi celup itu pula menggunakan amalan sufi untuk mendapatkan kebisaan yang luar biasa dan ilmu yang mampu menguasai sesuatu perkara bagi kepentingan duniawi. Amalan yang dilakukan orang karena Allah s.w.t diceduk untuk dijadikan amalan karena kepentingan diri sendiri. Pekerjaan ibadat menurut peraturan syariat digubah menjadi khurafat. Pengalaman kebatinan pada alam khadam dikatakan alam ketuhanan. Apabila memperolehi keramat khadam mereka mendakwa diri mereka sudah menjadi wali yang agung. Bila sudah menguasai sesuatu kebisaan yang luar biasa mulailah mereka mendakwa ketuhanan diri lalu menanggalkan kehambaan dan mencampakkan syariat. Mereka adalah golongan yang sesat dan kufur!
Tarekat sufi bukan bertujuan untuk memperolehi penyaksian terhadap rupa, bentuk, warna dan cahaya. Ia juga bukan untuk mendapatkan kekeramatan. Apa juga yang disaksikan dan apa juga yang diperolehi adalah gubahan Tuhan, bukan Tuhan. Tarekat sufi bukan untuk menukarkan manusia menjadi Tuhan. Tuhan tetap Tuhan dan hamba tetap hamba, tidak bisa diadakan bahasa yang kesamaran mengenai perbedaan dua perkara tersebut. Pada satu peringkat perjalanan sufi mungkin terjadi terbalik pandangan mereka sehingga mereka tidak menyaksikan perbedaan di antara hamba dengan Tuhan. Perkara demikian berlaku bukan disengajakan. Ia terjadi akibat pertembungan diri rohani dengan alam tinggi. Pertembungan tersebut menimbulkan mabuk. Orang yang sedang asyik dengan Tuhan, apabila dikuasai oleh mabuk, tidak melihat lagi kepada yang lain kecuali Tuhan. Bagi mereka semuanya adalah Tuhan. Apa yang ditemui pada peringkat ini bukanlah kebenaran yang muktamad. Ia baru suasana menuju kebenaran. Suasana demikian hanyalah bayangan atau misal yang muncul dalam alam kebatinan sufi yang sedang dilambung gelombang kefanaan dan keasyikan dengan Tuhan. Keasyikan seorang jejaka kepada seorang gadis sering juga menimbulkan bentuk misal. Lagu-lagu percintaan sering menggambarkan rupa kekasih sebagai bulan purnama dan suara sebagai buluh perindu. Misal yang digubah dalam kesadaran hanyalah khayalan, tetapi misal dalam alam ghaib adalah nyata dalam keghaiban (bisa disaksikan oleh mata hati tetapi tidak bisa dilihat dengan mata zahir). Yang menyata pada hati orang yang sedang dilamun cinta hanyalah gambaran, bayangan atau misalan yang tidak sedikit pun menyerupai yang sebenar. Kecintaan kepada Tuhan memberi kesan yang sangat kuat kepada hati. Orang yang asyik dengan keindahan Tuhan bisa berdiri di tepi pantai dari pagi hingga ke petang, tanpa jemu, tanpa menghiraukan panas matahari. Bila ditanya apa yang dia lihat, dia akan mengatakan dia melihat Tuhan. Keasyikan kepada Tuhan bercampur dengan rindu yang membara membuat seseorang mabuk ketuhanan sehingga tidak ada apa yang disaksikannya melainkan dinisbahkannya kepada Tuhan. Suasana hati yang demikian juga melahirkan rasa bersatu dengan Tuhan. Penyatuan hanya berlaku dalam alam perasaan, bukan penyatuan yang sebenarnya.
Menyaksikan perkara ghaib dan mendengar suara ghaib bukanlah kesudahan jalan sufi. Semua itu hanyalah bayangan. Allah s.w.t berbeda, tiada persamaan sedikit dengan yang demikian. Walau bagaimana tinggi pun anggapan diberikan kepada sesuatu pengalaman kerohanian itu ia tidak ada nilai sebelum diuji dengan al-Quran dan as-Sunah. Jika pengalaman tersebut bersesuaian dengan al-Quran dan as-Sunah barulah ia menjadi berharga dan bisa dipegang. Ketika seseorang itu masih diperingkat bayangan kerohaniannya masih belum matang dan dia belum mencapai kesempurnaan. Jika dia terus menerus di dalam bayangan, tinggalkan dia dengan alamnya sendiri. Tuhannya yang akan menjaganya. Ikutlah wali yang telah sampai kepada kesempurnaan jalan, beramal sesuai dengan cara Nabi Muhammad s.a.w.
Jangan sekali-kali melepaskan pandangan daripada Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w.
10: PENGALAMAN KEROHANIAN SUFI
________________________________________
Roh Insan adalah cahaya dan nafsunya adalah kegelapan yang membungkus cahaya itu. Kaum sufi mengadakan latihan untuk menghalau kegelapan nafsu dan memancarkan cahaya roh. Jika tumpuan kepada Allah s.w.t dilakukan dengan penuh kekhusyukan disertai oleh penyerahan kepada-Nya dan penyerapan dalam-Nya dengan cara yang betul, akan muncullah daya dan upaya yang menghalau kegelapan untuk memberi laluan kepada cahaya yang terang benderang. Bila penyerapan (kefanaan) ini bertambah kuat sehingga sufi sampai kepada peringkat melupakan dirinya dan segala yang maujud, sufi itu akan lenyap di dalam penyaksian cahaya-cahaya, seterusnya dia sampai kepada matlamat dengan membawa hijab bersama-samanya. Pada tahap ini dia sepenuhnya berada dalam kefanaan zahir dan batin. Jika selepas pengalaman fana itu penyaksian berterusan dengannya dia akan maju ke hadapan untuk melepasi peringkat fana dan mencapai baqa. Pada makam ini sufi tersebut bisa dianggap sebagai seorang wali. Sebagian sufi yang sampai kepada makam ini kekal dalam penyerapan terhadap apa yang disaksikannya, lupa terhadap dirinya dan berterusan dalam suasana demikian sehingga ke akhir hayatnya. Sebagian sufi yang lain melepasi peringkat tersebut, kembali kepada kesadaran keinsanan dan kehidupan dunia, lalu mengambil tugas dalam bidang dakwah, membimbing orang lain kepada jalan Allah s.w.t. Pada tahap ini batinnya tidak berpisah dengan Tuhan sementara zahirnya sibuk melayani makhluk Tuhan. Dia keluar dari bayangan dan hijab karena cahaya roh sudah menembusi kegelapan nafsu. Bila cahaya sudah menang kegelapan akan tunduk kepada cahaya untuk berbuat ibadat dan ketaatan kepada Allah s.w.t. Nafsu menjadi suci bersih, tidak lagi mengseret kepada kemaksiatan dan kemunkaran. Orang yang telah mencapai peringkat di mana cahaya rohnya keluar memancar dari kegelapan nafsu dan nafsu tunduk kepada kebenaran itu layak masuk ke dalam golongan ‘tangan kanan’ Tuhan. Golongan yang kembali sedar dan mengambil bagian dalam kegiatan kehidupan dunia ini akan dikurniakan kejayaan oleh Tuhan dalam tugasnya. Rahmat Tuhan mengalir melalui mereka kepada umat manusia.
Peringkat perjalanan sufi yang sering menimbulkan kekeliruan adalah peringkat yang ada suluk, jazbah, zauk, fana dan baqa. Di antara semua hal dalam peringkat tersebut, penyaksian kepada rupa, bentuk, warna dan cahaya merupakan perkara yang paling menimbulkan tanda-tanya.
Suluk adalah satu bentuk latihan kerohanian yang bertujuan mengosongkan hati daripada sifat-sifat yang keji dan memasukkan sifat-sifat yang terpuji ke dalamnya. Berbagai-bagai jenis ibadat dilakukan semasa bersuluk. Bentuk latihan dan ibadat yang terperinci bergantung kepada perguruan tarekat masing-masing. Semasa bersuluk itu seseorang mungkin mengalami atau merasai sesuatu yang dinisbahkan kepada ketuhanan, di mana hijab terangkat dan orang yang berkenaan menyaksikan atau merasakan suasana alam ghaib. Suasana yang menguasai hati itu dinamakan jazbah dan hati yang dikuasai oleh jazbah itu dikatakan berada dalam zauk. Perkara atau pengalaman yang dizaukkan itu dinamakan hal. Jazbah itu terjadi ketika seseorang itu hilang kesadaran terhadap dirinya dan alam maujud sekaliannya. Kelenyapan kesadaran itu dinamakan fana. Seseorang itu mengalami kefanaan tatkala terbuka hal-hal ketuhanan kepada hatinya. Selepas melalui kefanaan seseorang memperolehi semula kesadaran dirinya tetapi dalam keadaan merasakan dirinya berada bersama-sama Allah s.w.t. Suasana yang begini dinamakan baqa.
Jazbah, fana dan baqa merupakan pengalaman hati, berlaku dalam alam kebatinan orang yang sedang bersuluk. Dalam keadaan demikian hati menyaksikan atau mengalami perkara ghaib. Yang disaksikan itu bisa jadi rupa, bentuk, warna atau cahaya. Walaupun yang disaksikan itu bersifat ghaib, tidak bisa dipandang dengan mata zahir, tetapi ia bukanlah Tuhan. Penyaksian tersebut tertuju kepada bentuk misal yang digubah oleh Tuhan. Bentuk misal bukanlah Yang Hakiki. Yang Hakiki tidak dapat dimisal atau digambarkan. Bentuk misal yang muncul itu bergantung kepada diri orang yang berkenaan dan apa yang dia asyikkan. Orang Hindu yang asyikkan lembu akan menemui bentuk misal lembu dalam alam kebatinannya. Orang Keristian yang asyikkan Isa al-Masih akan temui bentuk misal Isa al-Masih. Orang Yahudi yang asyikkan Uzair akan temui bentuk misal Uzair. Orang yang asyikkan dirinya akan temui bentuk misal dirinya. Bentuk misal menjadi tumpuan orang yang sedang keasyikan dan kerinduan. Seorang kekasih yang sedang keasyikan dan sangat merindui kekasihnya merasakan gambar kekasihnya yang hanya sekeping kertas sebagai kekasihnya sendiri, hidup-hidup. Gambar itu dipeluk dan diciumnya, malah dia berkata-kata dengan kertas ditangannya itu. Bentuk misal pada alam ghaib berbeda daripada gambar pada kertas yang kaku. Misal alam ghaib bisa disaksikan oleh hati. Oleh yang demikian misal alam ghaib meninggalkan kesan yang lebih kuat dan lebih mendalam kepada hati yang menyaksikannya. Orang yang sedang asyikkan Allah s.w.t, tidak ada sesuatu dalam ingatannya selain Allah s.w.t, segala keasyikan dan kerinduannya akan menjurus kepada cahaya atau misal yang disaksikannya dalam alam ghaib. Pada perasaannya apa yang disaksikannya adalah Allah s.w.t, semata-mata Allah s.w.t, tidak yang lain. Orang yang dalam keadaan demikian bukan saja dikuasai oleh penyaksian terhadap Allah s.w.t pada alam ghaib, bahkan pada alam nyata juga. Apa yang menyata pada pandangan zahirnya dan pandangan hatinya, baginya adalah Allah s.w.t, tiada yang lain. Bentuk ghaib dan bentuk nyata semuanya menjadi misal untuknya melihat Allah s.w.t. Pengalaman yang demikian terjadi akibat mabuk. Mabuk ketuhanan dialami oleh hati. Ia terjadi karena insan sebagai bekas yang baru dan lemah digunakan untuk ‘memasukkan’ Allah s.w.t ke dalamnya. Tidak ada satu pun makhluk yang mampu menanggung Tuhan. Bukit Thursina yang dihadapkan dengan tajalli Allah s.w.t telah hancur berkecai. Bukit dan tubuh manusia sama-sama disusun daripada anasir tanah, air, api dan angin. Jika bukit hancur berhadapan dengan tajalli Allah s.w.t, tubuh manusia juga akan hancur dalam keadaan demikian. Oleh karena yang berlaku pada hati bukanlah tajalli Allah s.w.t tetapi hanyalah misalan yang lahir dari keasyikan dan kerinduan kepada Allah s.w.t, maka tubuh mampu bertahan dan tidak menjadi hancur. Walaupun begitu Cinta Allah s.w.t tetap memberi kesan kepada hati dan tubuh badan. Kesan kepada hati dinamakan mabuk ketuhanan. Tubuh yang menjadi bekas kepada hati yang menerima mabuk ketuhanan itu akan mempamerkan kesan tersebut separti menggeletar, berubah warna menjadi pucat, menari, menyanyi dan lain-lain mengikut hal mabuk orang berkenaan. Cinta Allah s.w.t dan mabuk ketuhanan itu juga yang melahirkan rasa bersatu dengan Allah s.w.t. Mabuk ketuhanan dan rasa bersatu dengan Allah s.w.t terjadi ketika seseorang itu melupakan dirinya. Apabila kesadaran terhadap kewujudan diri kembali sedikit demi sedikit, rasa bersatu berubah menjadi rasa kekal bersama-sama Allah s.w.t atau baqa.
Pengalaman bersatu dengan Tuhan, sebelum mencapai baqa, menimbulkan keasyikan, mabuk dan terbalik pandangan yang menyebabkan terhijab Yang Hakiki. Penyatuan yang mabuk itu biasanya menimbulkan latah, yaitu terucap kata-kata yang menyalahi syariat. Pengalaman wahdatul wujud atau merasai satu wujud bisa menyebabkan seseorang mengingkari Sunah Rasulullah s.a.w, sedangkan Allah s.w.t memerintahkan supaya mentaati Rasul-Nya. Hanya orang yang dipimpin dan dipelihara akan tetap berada dalam sempadan syariat sekalipun mereka mengalami wahdatul wujud. Mereka yang dipelihara mengekalkan sholat lima waktu dan menjauhkan perbuatan dosa. Mereka juga tidak terlibat dengan ucapan latah. Sekalipun sufi yang di dalam mabuk terlibat dengan ucapan latah tetapi mereka tidak bisa dikutuk dan juga orang yang mendengar ucapan demikian tidak menjadikannya pegangan. Sufi yang di dalam keadaan mabuk ketuhanan dikuasai oleh perasaan cinta kepada Allah s.w.t yang bersangatan sehingga hilang kesadarannya terhadap dirinya dan makhluk sekaliannya. Mereka berhak dimaafkan dari kesalahan mereka mengeluarkan ucapan latah dalam keadaan tidak sedar. Orang banyak yang bukan dalam jazbah, jika mengatakan demikian, beramal menyalahi syariat atau melepaskan syariat, maka mereka adalah sesat dan kufur.
Ketika dalam suasana penyatuan orang sufi tidak dapat membedakan di antara yang betul dengan yang salah, yang benar dengan yang batal, kesenangan dengan kesusahan, emas dengan pasir dan yang baik dengan yang buruk. Jika dia maju ke hadapan lagi dia akan masuk kepada peringkat di mana dia bisa membuat perbedaan di antara benar dengan salah dan baik dengan buruk. Orang sufi yang sudah masuk kepada peringkat ini, walaupun masih dikenali sebagai sufi, tetapi jalan mereka sudah berubah kepada tarekat Islam (jalan kenabian), bukan lagi tarekat sufi. Dalam tarekat Islam orang bisa membedakan Tuhan dengan makhluk, dosa dengan pahala dan sebagainya.
Perpindahan daripada tarekat sufi yang ada wahdatul wujud kepada tarekat Islam yang membedakan Wujud Tuhan dengan wujud makhluk, tidaklah membebaskan sufi daripada kesan wahdatul wujud dengan serta merta. Ketika di peringkat awal mengalami perbedaan, walaupun sufi sudah mulai mengenali perbedaan tersebut, tetapi keupayaannya masih lagi lemah dan mereka masih belum mampu mengadakan pemisahan dengan jelas. Mereka masih mempercayai, walaupun sudah melihat perbedaan, bahwa perbedaan tersebut bersumberkan kepada kesatuan. Suasana yang demikian menimbulkan ungkapan: “Pandang yang banyak kepada Yang Satu” ; “Pandang Yang Satu kepada yang banyak” dan “Pandang Yang Satu kepada Yang Satu”. Bila mereka maju lagi keupayaan mengadakan perbedaan menjadi semakin kuat dan jelas sehingga akhirnya mereka benar-benar mampu mengadakan perbedaan. Pada akhir perjalanan mereka akan melihat dengan jelas bahwa Tuhan dengan makhluk bukan satu. Tuhan bukan alam dan alam tidak sedikit pun menyamai Tuhan. Tuhan melampaui segala sesuatu. Tidak ada maklumat, ibarat dan misal yang mampu menceritakan tentang Tuhan. Bila sampai kepada peringkat ini sufi telah terlepas sepenuhnya daripada pengaruh pengalaman wahdatul wujud, bersatu dengan Tuhan dan mabuk. Sufi kembali sedar dan bisa mengawal tutur katanya. Tidak ada lagi ucapan latah. Perkataan dan perbuatannya tidak lagi menyalahi syariat. Mereka kembali kepada syariat dan menjadikan Rasulullah s.a.w dan para sahabat sebagai teladan. Peningkatan tersebut berlaku secara berperingkat-peringkat. Orang yang tidak berhenti di tengah jalan akan menemui kebenaran yang sejati di penghujung jalannya. Tarekat kesufian berubah kepada tarekat Islam atau jalan kenabian. Tidak ada lagi pemahaman yang mensyirikkan Tuhan dengan bayangan, gambaran, rupa, bentuk, warna, cahaya dan sebarang misal. Pemahaman dan pegangan mereka sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah.
Pengalaman kerohanian separti fana dan baqa, pengalaman rasa dan penyaksian kepada gambaran misal pada alam ghaib, semuanya berlaku dalam alam kebatinan atau alam perasaan sufi, bukan kewujudan yang nyata. Manusia tidak bertukar menjadi Tuhan, tidak bersatu dengan-Nya dan tidak juga kekal bersama-sama-Nya. Tuhan tetap Tuhan dan hamba tetap hamba. Baik cahaya mau pun suara yang didengar semuanya adalah gubahan Allah s.w.t tetapi bukanlah Dia. Apa juga yang disaksikan dan didengar hendaklah dinafikan dengan memperbanyakkan ucapan: Kalimah Tauhid ini mestilah membawa maksud : “Tiada Tuhan melainkan Allah” bukan “Tiada yang maujud melainkan Allah”. Makhluk tetap wujud pada kenyataan sekalipun hilang pada alam perasaan sufi. Tuhan tetap Berdiri Dengan Sendiri pada makam ketuhanan-Nya dan makhluk tetap wujud dalam sempadan wujud yang Tuhan tentukan untuk mereka. Tuhan menciptakan makhluk dengan peraturan dan ketetapan bahwa tidak mungkin wujud makhluk berlanggar atau bertembung dengan Wujud Tuhan, tidak mungkin berlaku penyatuan atau perpisahan dan tidak mungkin bersamaan. Wujud makhluk tidak bisa disamakan sedikit pun dengan Wujud Tuhan.
Rupa, bentuk, misal, cahaya dan warna yang disaksikan oleh sufi hanyalah gubahan Tuhan bukan Zat Tuhan dan bukan juga Sifat Tuhan. Tuhan menggubahkan yang demikian sebagai tarikan bagi sufi untuk mengenali-Nya. Sufi yang benar akan maju terus untuk melepasi gubahan Tuhan itu menuju kepada Yang Hakiki, yang melepasi segala bentuk gubahan, maklumat, sifat dan misal. Alam Misal yang dipertemukan dengan sufi itu berperanan sebagai batu loncatan untuk sufi bertawajjuh (melonjak) kepada Yang Haq. Peranan misal tersebut samalah separti peranan al-Quran. Al-Quran yang menjadi petunjuk kepada sebagian manusia dijadikan hujah oleh kumpulan manusia yang lain dalam mempertahankan pegangan mereka yang keliru. Manusia dari berlainan mazhab bertengkar sesama sendiri dengan masing-masing menggunakan al-Quran sebagai hujah. Bagi sebagian manusia al-Quran mendatangkan petunjuk tetapi bagi yang lain pula digunakan untuk menyebarkan fitnah. Begitu juga keadaan misal yang dipersaksikan kepada sufi dalam alam ghaib. Sebagian daripada mereka mendapat manfaat daripadanya dan mereka didorong oleh yang demikian untuk sampai kepada Yang Haq. Sebagian yang lain pula tertawan lalu berhenti di situ. Orang yang berjalan terus menemui Yang Maha Esa, yang menggubah bentuk, rupa, cahaya dan warna, yang mengeluarkan semua stesen dan membimbing siapapun saja yang Dia kehendaki. Sebelum sampai kepada Yang Hakiki apa juga yang disaksikan hanyalah bayangan, walaupun pengalaman menyaksikan ‘yang banyak pada Yang Satu’ atau sebaliknya. Nafikan segala yang datang. Ulangi kalimah: “ ” sebanyak mungkin sehingga habis segala penyaksian dan pengetahuan juga tidak ada lagi. Pada tahap ini sufi dikuasai oleh keheran-heranan, karena apa juga yang dibina oleh pengetahuan, penyaksian, khayalan, fikiran, cita-cita dan angan-angan semuanya runtuh dan lemah longlai apabila berhadapan dengan Zat Allah s.w.t. Tidak ada apa yang bisa mengatakan atau menggambarkan tentang Yang Hakiki. Apa yang tinggal adalah kejahilan. Inilah tahap fana yang sebenarnya. Sebelum mencapai keheran-heranan dan kejahilan hakiki, seseorang itu sebenarnya belum lagi memperolehi fana hakiki. Jangan cepat menyangka diri sudah mencapai matlamat dan berhubung dengan Tuhan. Perjalanan masih lagi jauh.
Bukanlah pengetahuan (ilmu) dan pengenalan (makrifat) yang menandakan seseorang itu sudah sampai ke penghujung jalan. Selagi ada ilmu dan makrifat selagi itulah jalan belum tamat. Tanda seseorang itu sampai ke peringkat akhir adalah apabila tidak ada lagi pengetahuan dan tidak ada juga makrifat, kedua-duanya mengaku kalah di hadapan Allah s.w.t. Apa yang ada hanyalah kejahilan hakiki. Tidak ada lagi pendapat tentang Tuhan juga tidak ada walau satu bentuk pun pengenalan mengenai-Nya. Pada ketika itu hamba dengan segala kerendahan hatinya mengakui bahwa tidak ada siapapun yang mampu memecahkan benteng keperkasaan-Nya yang melindungi keesaan-Nya. Pengetahuan sebenar tentang Tuhan adalah tidak tahu. Pengenalan sebenar tentang Tuhan adalah tidak kenal. Setinggi-tinggi ilmu dan makrifat yang bisa dicapai adalah pengakuan bahwa hanya Dia yang kenal Diri-Nya. Abu Bakar as-Siddik yang senantiasa benar telah mengatakan: “Maha Suci Tuhan yang tidak mengadakan jalan untuk Dia dikenali melainkan memberi kita kesadaran dan pengetahuan yang Dia tidak mungkin dikenali”.
Haruslah difahami tentang tujuan fana dan baqa. Ia bukanlah jalan untuk mendapatkan kekeramatan atau kebisaan yang luar biasa. Ia juga bukan bertujuan mendapatkan ilmu dan makrifat yang tidak ada dalam al-Quran dan tidak diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Ia juga tidak bertujuan mengadakan peraturan baru yang tidak ada dalam syariat. Fana yang sebenar adalah membuang apa saja yang tidak suci, bebas daripada mencintai dunia, dapat membendung fitnah nafsu. Semuanya adalah berdasarkan kehambaan kepada Allah s.w.t. Baqa sebenar adalah melakukan semua perintah Allah s.w.t, menjadikan kehendak-Nya sebagai kehendak diri sendiri tanpa perlu membuang kedirian sendiri. Fana dalam wahyu dan baqa dalam ubudiah adalah jalan yang paling benar dan paling lurus.
Bagi mencapai fana secara sufi, seseorang itu hanya perlu mengalami penyaksian yang satu, diistilahkan sebagai tauhid syuhudi. Dia tidak perlu mempercayai dan berpegang dengan pemahaman satu wujud, atau tauhid wujudi atau biasa dikenali sebagai wahdatul wujud. Bukanlah mustahil bagi seorang sufi maju dalam bidang kerohanian, meningkat dari satu makam kepada makam yang lebih tinggi, tanpa dia melibatkan diri dengan pemahaman wahdatul wujud atau ikut mengalaminya. Banyak sufi sampai kepada matlamat tanpa melalui pengalaman wahdatul wujud, malah tanpa pengalaman yang demikian perjalanan akan menjadi lebih teratur dan mudah. Orang yang terlibat dengan wahdatul wujud berkemungkinan besar ditawan oleh bayangan yang menyebabkan sukar bagi mereka melepasi suasana tersebut. Orang yang tidak melalui wahdatul wujud mudah sampai kepada matlamat. Golongan wahdatul wujud mengejar bersatu dengan bayangan sementara yang menolak wahdatul wujud menemui Yang Hakiki. Walaupun jalan kesufian sering dikaitkan dengan pemahaman dan pengalaman wahdatul wujud tetapi perlulah diketahui bahwa banyak dari kalangan mereka yang beramal menurut tarekat sufi tetapi tidak ditarik kepada hal yang demikian. Jadi, mengikat kesufian dengan wahdatul wujud sebenarnya tidak tepat. Ia hanyalah satu kemungkinan yang ada pada jalan kesufian tetapi bukanlah kemestian. Banyak daripada kalangan sufi yang terdorong kepada wahdatul wujud akhirnya meninggalkan pemahaman tersebut dan kembali kepada jalan kenabian. Sufi yang ditarik kepada jalan kenabian memasuki jalan yang dipanggil jalan mahabbah. Kasihan belas Tuhan yang membimbing mereka untuk keluar daripada bayangan awan wahdatul wujud untuk menyaksikan Yang Haq. Sufi yang memasuki jalan mahabbah menafikan wahdatul wujud dan apa saja yang disaksikannya. Setelah habis yang disaksikan sufi itu masuk kepada suasana kejahilan dan keheranan bukan ilmu dan makrifat. Tuhan tidak termasuk di dalam perbatasan ilmu dan makrifat. Setelah sampai kepada kejahilan sebenar, sekiranya seseorang itu dikurniakan pengetahuan maka itulah pengetahuan yang paling benar dan orang yang berkenaan adalah sangat bertuah. Dengan pengetahuan yang sebenar itu seseorang mengetahui bahwa Keesaan yang sebenar tidak muncul di dalam yang banyak. Pengetahuan yang sebenar mengajarkan bahwa hanya Dia yang mengenali Diri-Nya. Itulah pengetahuan yang paling benar selepas mencapai fana yang sebenar, yang diperolehi sesudah menemui kejahilan. Sebelum sampai kepada kejahilan dan keheranan apa yang dikatakan fana hanyalah kekosongan, bukan kefanaan. Kejahilan ditemui dahulu barulah kefanaan diperolehi.
Ada sufi yang mengatakan mereka berkata-kata dengan Tuhan dan melihat Tuhan di dalam dunia ini. Sufi tersebut adalah umpama orang yang mendengar bunyi alat muzik lalu menyangka bunyi tersebut adalah suara pemain alat muzik itu. Suara ghaib yang didengar bukanlah suara Tuhan. Itu hanyalah suara gubahan Tuhan, karena tajalli sifat Tuhan tidak mampu ditanggung oleh manusia, termasuklah tajalli Kalam Tuhan. Kalam Tuhan tidak bersuara dan tidak berhuruf. Perkataan yang didengar bukanlah tutur-kata yang keluar secara langsung dari Tuhan sebagaimana orang bercakap. Ia adalah suara gubahan Tuhan menurut kadar kemampuan manusia menerimanya. Perkataan yang didengar itu sama dengan sesuatu yang dikelaskan sebagai hubungan yang dicipta dengan Pencipta, bukan suara Pencipta sendiri. Kalam Tuhan yang didengar oleh Nabi Musa a.s adalah dalam keadaan perkataan dengan Pencipta perkataan. Begitu juga perkataan yang diterima oleh Jibrail a.s. Perkataan Tuhan Yang Hakiki hanya didengar oleh-Nya sendiri. Apabila berhubung dengan makhluk-Nya Tuhan menggubahkan Kalam yang mampu didengar dan diterima oleh mereka. Oleh karena perkataan demikian dinisbahkan kepada Tuhan semata-mata, bukan kepada malaikat atau lainnya, maka menafikannya adalah kufur. Kalam Tuhan merangkumi kedua-dua aspek yaitu Kalam Batin dan Kalam Yang Bersuara yang Tuhan ciptakan tanpa sesuatu perantaraan. Kalam yang begini adalah Kalam Tuhan yang sebenarnya, tetapi keadaannya haruslah difahami. Dalam perkara ketuhanan konsep nafi dan isbat tidak bisa dipisahkan. Mengenai suara ghaib yang didengar oleh orang sufi, walaupun ia dinisbahkan kepada Tuhan namun, ia tidak menyamai wahyu. Wahyu merupakan terjemahan secara langsung kepada Kalam Hakiki. Suara ghaib yang didengar oleh seseorang berhubung dengan hakikat yang menguasai seseorang itu. Perkataan demikian adalah terjemahan perutusan Tuhan yang diterima oleh Diri Batin seseorang. Suara ghaib mengeluarkan perkataan dan maklumat menurut kadar kekuatan batinnya menerima urusan Tuhan, bukan terjemahan Kalam Hakiki secara langsung. Oleh karena kekuatan batin manusia berbeda-beda maka kedudukan maklumat yang disampaikan oleh suara ghaib juga berbeda. Ada yang menerima maklumat secara jelas dan terperinci dan ada pula yang menerimanya secara samar-samar atau dalam bentuk ibarat yang perlu ditafsirkan. Gaya bahasa yang digunakan dalam penyampaian suara ghaib juga berdasarkan kedudukan seseorang itu. Sebab itu orang yang mendengar suara ghaib menyampaikannya dalam gaya bahasa biasa. Wahyu pula mempunyai gaya bahasa yang tersendiri, tidak bisa ditiru-tiru oleh manusia dan tidak ada bahasa manusia yang mengatasi bahasa wahyu.
Sufi yang berpemahaman bisa melihat Tuhan di dalam dunia ini menyamakan cahaya (nur) dengan Tuhan. Mereka percaya nur itu adalah Zat Tuhan sendiri. Anggapan demikian tidak benar. Nur Tuhan berkedudukan sebagai urusan Tuhan, sama separti kedudukan Kalam Tuhan yaitu wahyu. Kalam Tuhan Yang Hakiki tidak bisa didengar oleh telinga zahir dan juga telinga batin. Hanya Tuhan sendiri yang mendengar Kalam Hakiki-Nya.
Dan tidaklah layak bagi seseorang manusia bahwa Allah berkata-kata dengannya kecuali dengan jalan wahyu (dengan diberi ilham atau mimpi) atau dari sebalik hijab atau dikirim-Nya utusan, lalu (utusan itu) mengkhabarkan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi Maha Bijaksana. ( Ayat 51 : Surah asy-Syura )
Manusia hanya bisa berhubungan dengan Allah s.w.t hanya karena ada ‘pelapik’ atau hijab. Manusia tidak mampu menanggung tajalli Allah s.w.t, baik tajalli Zat mau pun tajalli Sifat. Walaupun sudah dihijabkan hanya manusia tertentu saja mampu menanggung apa yang datang dari Allah s.w.t. Wahyu tidak turun kepada semua orang. Wahyu hanya turun kepada golongan Nabi-nabi karena hanya Nabi-nabi yang mampu menanggung kedatangannya. Manusia yang bukan Nabi akan hancur jika wahyu turun kepada mereka. Apa yang didatangkan kepada manusia lain sudah dihijabkan dengan hijab yang lebih tebal, menurut kedudukan seseorang itu. Baik mendengar perkataan Allah s.w.t atau melihat Allah s.w.t atau melihat Nur Allah s.w.t, semuanya adalah disebalik hijab. Kalam Allah s.w.t Yang Hakiki tidak bisa didengar oleh siapapun pun dan Nur Allah s.w.t tidak bisa dilihat oleh siapapun pun, baik secara zahir mau pun secara batin. Apa yang didengar dan dilihat oleh orang sufi adalah ayat-ayat atau tanda-tanda tentang Allah s.w.t tetapi bukanlah Zat Diri-Nya. Benteng keperkasaan Allah s.w.t tidak dapat ditembusi oleh siapapun pun, baik secara zahir mau pun secara batin. Suasana kerohanian yang menyentuh hati insan atau berhubung dengan alam perasaan insan dinamakan Hadrat-Nya yaitu rasa kehadiran-Nya, bukanlah Tuhan sendiri. Tuhan menyampaikan Hadrat-Nya kepada hamba-Nya sebagai jalan bagi hamba berhubung dengan-Nya. Suasana Hadrat yang menguasai seseorang hamba berbeda dengan Hadrat yang menguasai hamba yang lain. Suasana tersebut bisa berubah dari masa ke masa tetapi Zat-Nya tidak berubah.
Dari berbagai-bagai pengalaman yang dilalui oleh orang sufi, tarekat sufi bisa dibagikan kepada dua jenis. Jenis pertama adalah tarekat yang terlibat dengan pengalaman bersatu dengan Tuhan dan tarekat yang kedua adalah yang membedakan Tuhan dengan hamba. Jenis pertama dipanggil tarekat sufi. Jenis kedua pula walaupun ia juga tarekat orang sufi tetapi ia dikenali sebagai tarekat Islam. Dalam tarekat jenis pertama sufi dikuasai oleh rasa kecintaan kepada Allah s.w.t yang bersangatan dan mengasyikkan sehingga apa saja yang selain-Nya dilupakan. Golongan yang telah membuang segala kepentingan diri sendiri dan melupakan sekalian makhluk ini layak mendapat simpati, kasih sayang dan ganjaran. Walaupun berlaku perlakuan kufur menurut syariat zahir tetapi ia terjadi bukan dalam kesadaran dan bukan disengajakan. Kufur tarekat ini berbeda dengan kufur syariat yang disengajakan dan dalam kesadaran. Kufur syariat berlaku karena kejahilan dan keingkaran dan orang yang berkenaan patut ditentang. Perbuatan sengaja menggunakan perkataan latah yang diucapkan oleh sufi yang mabuk, sedangkan orang berkenaan di dalam kesadaran biasa, merupakan kekufuran yang nyata dan perlu ditentang dengan keras. Golongan sufi tiruan tidak bisa dibiarkan merusakkan akidah orang banyak.
Latah biasa terjadi kepada sufi yang mengalami kufur tarekat, mengalami mabuk dan tidak berupaya membedakan yang benar dengan yang batal. Bagi mereka semua perkara berada di atas jalan yang benar. Mereka tidak membedakan Tuhan dengan makhluk. Mereka mempercayai satu wujud saja yaitu Wujud Tuhan. Apa saja yang zahir mereka anggapkan penzahiran Tuhan yang tidak lain daripada Tuhan. Bila mereka benar-benar mencapai tahap bersatu dengan Tuhan dan bermukim pada kufur tarekat mereka melepaskan apa saja kecuali Tuhan. Mereka membuang ikhtiar memilih dan melupakan sekalian makhluk. Ucapan latah mereka merupakan luahan perasaan yang gilakan Tuhan atau mabuk ketuhanan. Ucapan yang demikian tidak bisa dipakai oleh orang lain yang di dalam kesadaran, sementara sufi berkenaan perlu dimaafkan. Tetapi jika sufi itu tidak mencapai peringkat tersebut secara sempurna, sedangkan dia masih juga mengucapkan ucapan latah yang menyalahi syariat, percaya bahwa tidak ada perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk, baik dengan jahat, benar dengan salah, maka orang ini benar-benar kufur karena mendustai apa yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w secara sedar dan sengaja. Latah bisa keluar dari mulut sufi yang benar lagi lurus, yang dikuasai oleh hal ketuhanan yang mereka tidak berupaya mengawalnya. ‘Latah’ juga bisa keluar dari mulut orang jahat lagi pendusta yang menjadi racun, menimbulkan kekeliruan kepada orang banyak. Banyak orang yang dalam kesadaran biasa terikut-ikut dengan doktrin yang digubah berdasarkan ucapan latah orang sufi. Akibatnya mereka merusakkan agama sendiri dan masuk kepada kesesatan. Sufi yang benar walaupun terlibat dengan ucapan latah yang menyalahi syariat namun, mereka teguh melaksanakan peraturan syariat separti sholat lima waktu, sekalipun mereka dikuasai oleh mabuk. Seorang sufi besar yang terkenal dengan mabuk, Abu Mukur al-Hallaj, walaupun dikuasai oleh mabuk dan terlibat dengan ucapan latah, beliau kuat mengerjakan sholat. Beliau biasa mengerjakan sholat sunat 500 rakaat sehari semalam.
Sufi yang dikurniakan tarekat Islam selamat daripada suasana mabuk dan latah. Mereka menuruti jejak Rasulullah s.a.w dalam kehidupan batin dan mengamalkannya dalam kehidupan zahir. Dalam tarekat Islam ada pengalaman perpisahan dan perbedaan di antara Tuhan dengan hamba, selepas peringkat penyatuan. Sufi kembali menyaksikan perbedaan di antara yang benar dengan yang salah, baik dengan jahat. Sebenarnya tarekat Islam itu sendiri merupakan sebagian daripada syariat Islam yang sempurna. Tarekat adalah sebagian daripada syariat bukan sesuatu yang berasingan. Berlainan istilah digunakan bagi membedakan syariat pada zahir dengan syariat pada batin atau antara Hakikat Syariat dengan keadaannya yang zahir. Lebih tidak mengelirukan jika digunakan saja istilah syariat zahir dengan syariat batin yang berkumpul sebagai syariat yang sempurna. Memanggil syariat zahir sebagai syariat dan syariat batin sebagai tarekat mudah menimbulkan kekeliruan dan membuka jalan kepada sufi tiruan menabur fitnah dan syak wasangka dalam hati orang yang jahil.
Sufi yang dalam keasyikan dan mabuk adalah umpama seorang bayi yang dijaga sepenuhnya oleh ibunya. Ibunya menyayangi dan melindunginya. Si bayi bisa membuang air besar dan kecil di merata tempat, ibunya tidak akan marah. Tidak ada beban yang diletakkan oleh si ibu kepada bayinya. Apa juga yang si bayi lakukan si ibu menerima dengan penuh kasih sayang. Si ibu memperakui bahwa si bayi tidak berupaya menjaga dirinya sendiri. Bila si anak itu sudah baligh, kasih sayang dan perlindungan ibu tidak bisa dijadikan alasan untuk dia terus berkelakuan sebagai bayi. Dia sudah bertanggung-jawab memikul beban dirinya dan tertakluk kepada peraturan dan adab sopan.
Orang majzub dijaga sepenuhnya oleh Tuhan. Tuhan murka kepada siapapun yang menyakiti orang majzub. Biasanya orang yang menyakiti orang majzub menerima balasan dengan segera. Perkataan orang majzub biasanya menjadi kenyataan. Keadaan yang demikianlah menyebabkan orang banyak yang berminat dengan aliran tarekat tasauf menganggap orang majzub sebagai orang keramat. Sebenarnya kekeramatan bukanlah milik seseorang. Ia adalah hak Tuhan yang dizahirkan dalam melindungi para pencinta-Nya yang tidak berupaya melindungi diri sendiri. Setelah ahli majzub kembali sedar, maka bakat dan keupayaan dirinya kembali berfungsi dan fenomena kekeramatan jarang atau pun tidak lagi berlaku pada dirinya. Dia menyelesaikan sesuatu perkara dengan menggunakan bakat kemanusiaan biasa tanpa melalui kekeramatan.
11: SYARIAT ZAHIR DAN BATIN ADALAH PUNCAKK PENCAPAIAN
________________________________________
Ketika di dalam daerah kewalian sufi, mengalami fana dan jazbah, orang sufi melupakan dan membuang segala-galanya kecuali Allah s.w.t. Mereka tidak inginkan syurga dan tidak takutkan neraka. Dosa dan pahala sama saja bagi mereka. Mereka menafikan perbuatan diri mereka dan mengisbatkannya kepada perbuatan Tuhan. Mereka tidak beristighfar di atas kesalahan yang terjadi pada mereka. Bagi mereka istighfar menunjukkan mereka mendakwa diri mereka memiliki kekuasaan untuk melakukan sesuatu, sekalipun perbuatan itu adalah perbuatan dosa. Mengaku diri berkuasa lebih berat daripada dosa itu sendiri. Bagi mereka segala daya dan upaya adalah milik Allah s.w.t. Segala sesuatu adalah ciptaan dan perbuatan Allah s.w.t. Allah s.w.t menciptakan mereka, daya dan upaya mereka, kehendak mereka, perbuatan mereka dan segala-galanya. Oleh itu mereka menerima apa saja yang datang kepada mereka dengan reda. Mereka membuang ikhtiar memilih. Bagi mereka cukuplah Allah s.w.t saja yang mengadakan pilihan dan mereka menerima pilihan Tuhan itu. Mereka menukarkan kehendak diri mereka kepada kehendak Tuhan. Apa saja yang mendatangi mereka adalah kehendak Tuhan. Oleh itu mereka tidak menghindarkan kemudaratan yang sampai kepada mereka. Mereka tidak bergembira dengan nikmat dan tidak berdukacita dengan bala. Nikmat dan bala berjalan menurut kehendak Allah s.w.t, dengan Kudrat dan Iradat-Nya. Jika sesuatu itu ada pada Iradat-Nya, maka Kudrat-Nya melaksanakannya. Tidak ada siapapun yang ikut campur dalam urusan-Nya.
Sesungguhnya maha hebat Cinta Allah s.w.t yang menguasai hati orang sufi. Sufi sanggup membelakangi syurga demi Wajah Kekasihnya. Sufi sanggup meredah neraka jika itulah jalan untuk sampai kepada Kekasihnya. Sufi sanggup menjabar maut jika maut menghalanginya menemui Kekasihnya. Sekiranya benar ada orang yang sanggup mengharungi lautan api karena kekasih, maka sufilah orangnya. Layaklah sufi itu mendapat perlindungan dan kasih sayang dari Tuhan. Suasana perlindungan dan penjagaan secara langsung dari Tuhan itulah yang dimaksudkan sebagai kewalian. Al-Waliyyu, Yang Maha Melindungi, memayungkan wali-wali-Nya dengan penjagaan dan perlindungan. Jazbah, fana dan baqa bukanlah kewalian yang sebenarnya. Itu semua hanyalah fenomena yang sering muncul pada orang yang dipayungi oleh al-Waliyyu, atau orang yang berada dalam daerah kewalian, terutamanya kewalian sufi. Tanpa fenomena demikian kewalian tetap wujud.
Sebagian sufi kekal dengan Cinta Allah s.w.t dan menjadi majzub terus menerus sehingga ke akhir hayatnya. Golongan ini merupakan golongan wali yang tidak mempunyai tugas kekhalifahan. Kewalian mereka hanya untuk diri mereka sendiri, berguna bagi perhubungan mereka dengan Allah s.w.t, tetapi tidak berguna bagi perhubungan sesama manusia. Lagi pun kehadiran wali yang majzub itu berguna kepada masyarakat bagi mengingati orang banyak agar mencintai Allah s.w.t. Cinta Allah s.w.t yang terpancar dari mereka bisa menyedarkan orang-orang yang mempunyai hati tetapi terhijab oleh kelalaian. Cinta Allah s.w.t yang terzahir pada kewalian sufi menjadi besi berani menarik hati orang lain untuk melihat kepada Tuhan dan meninggalkan perkara yang melalaikan.
Sufi yang dipilih untuk menanggung sesuatu tugas di dalam masyarakat akan ditarik kepada jalan mahabbah. Ketika di dalam daerah kewalian sufi, jazbah menghancurkan secara mudah sifat-sifat yang tercela pada diri mereka dan dimasukkan keupayaan sifat-sifat yang terpuji supaya sifat demikian menjadi keperibadian mereka. Mereka menjadi orang yang bersifat baik, bukan orang yang berusaha menjadi baik. Mereka menjadi ikhlas secara spontan bukan yang berperang dengan ria untuk mempertahankan ikhlas. Apabila mereka keluar dari daerah kewalian sufi dan dimasukkan ke dalam daerah kewalian cara kenabian, mereka masuk dengan ada persediaan segala keupayaan yang baik untuk menanggung bebas tugas yang akan diberikan kepada mereka kelak. Pada jalan mahabbah segala bakat dan keupayaan mereka digilapkan bagi melengkapkan kewalian kepada derajat khalifah yang layak memikul beban tugas khusus. Jalan mahabbah bermulai selepas kefanaan, yaitu daripada baqa menuju kepada kesadaran sepenuhnya karena sebelum memperolehi semula kesadaran keinsanan mereka tidak layak menjadi Khalifah Allah yang menguruskan hal-ihwal orang banyak. Apabila meninggalkan kefanaan dan masuk kepada kebaqaan dan kesadaran keinsanan sudah mulai kembali, wali yang lebih matang itu dapat melihat perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk, baik dengan jahat dan benar dengan salah. Pada peringkat permulaian menyaksikan perbedaan wali itu masih mempunyai sikap bertolak-ukur dengan sesuatu yang salah dan tidak benar. Walaupun kesalahan diakui wujud namun, mereka tidak bartindak memperbetulkan kesalahan tersebut. Pada peringkat ini mereka lebih banyak menyendiri dan enggan mencampuri urusan orang lain. Walaupun mereka sudah bisa melihat perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk namun, mereka masih merasakan makhluk itu satu wajah atau aspek ketuhanan atau hak Tuhan, bukan ciptaan yang terpisah sepenuhnya daripada Tuhan.
Jalan mahabbah adalah sempadan di antara jalan kesufian dengan jalan kenabian. Fana dan baqa ada dalam daerah kewalian sufi. Peralihan daripada baqa kepada kesadaran keinsanan ada pada jalan mahabbah. Bila kesadaran keinsanan kembali sepenuhnya sufi tadi masuk kepada jalan kenabian. Perjalanannya menjadi lengkap. Dia sudah kembali kepada tempat bermulainya dan bulatan perjalanan kerohaniannya bercantum dan dia sudah bisa menanggung tugas kekhalifahan. Orang yang sampai kepada daerah khalifah ini menjadi sesuai dengan al-Quran dan as-Sunah. Mereka menjadi salinan kepada sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. Pada peringkat akhir ini mereka sudah berupaya membuat perbedaan sepenuhnya. Pegangan mereka juga berubah. Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Baik adalah baik dan jahat adalah jahat. Benar adalah benar dan salah adalah salah. Tidak ada tolak-ukur lagi. Sempadannya sangat jelas. Sufi itu pun bertaubat daripada pegangannya yang dahulu. Kini mereka rindukan akhirat, kasihkan syurga dan takutkan neraka.
Wali yang menyempurnakan perjalanannya dan sampai kepada daerah kekhalifahannya bertanggungjawab membersihkan jalan menuju Allah s.w.t daripada pencemaran dan kesamaran. Yang benar adalah jelas dan jalan kepada kebenaran juga jelas. Yang salah adalah jelas dan jelas kepada kesalahan juga jelas. Wali yang bertaraf khalifah mampu menguraikan ucapan-ucapan ganjil yang muncul dalam daerah kewalian sufi. Nabi adalah umpama titik awal yang tanpanya tidak mungkin dilukiskan huruf. Wali-wali sufi adalah titik-titik yang membentuk garis lengkung. Titik Nabi dan titik-titik wali sufi membentuk huruf nun. Walaupun garis lengkung itu panjang tetapi ia tidak bercantum dengan titik awal. Oleh itu terdapat perbedaan di antara garis lengkung dengan titik awal. Wali pada jalan kenabian yaitu khalifah kerohanian adalah pencantum garis lengkung kewalian sufi dengan titik awal kenabian. Khalifah memahami suasana kewalian sufi dan mampu membawa mereka kepada jalan kenabian. Khalifah menjadi penterjemah perkataan wali dan penegak perkataan Nabi. Kekusutan pada Jalan Kewalian Sufi diuraikan oleh khalifah. Kebenaran pada jalan kenabian diperjuangkan oleh khalifah. Dari masa ke masa Tuhan menzahirkan khalifah-Nya untuk memperjuangkan jalan kenabian dan melindungi wali-wali yang tenggelam dalam jazbah, fana dan baqa.
Kebenaran sejati separti yang ditemui oleh para khalifah berada dalam syariat yang lengkap yang menggabungkan syariat zahir dengan syariat batin. Orang yang memasuki Jalan Sufi sangat mementingkan syariat batin hinggakan biasa terjadi ada di kalangan mereka yang tidak mengamalkan sebagian besar syariat zahir terutamanya yang melibatkan hubungan sesama manusia. Mereka yang tidak memasuki Jalan Sufi pula mementingkan syariat zahir hinggakan kebanyakan penilaian dibuat berdasarkan perbuatan zahir dan mengabaikan amalan hati. Khalifah Allah mengetahui bahwa kebenaran terletak pada cantuman kedua-dua syariat tersebut. syariat zahir adalah peraturan agama separti yang dibicarakan oleh ilmu fikih. Syariat batin adalah amalan hati separti yang dibicarakan oleh ilmu tasauf. Keislaman seseorang dikenali melalui syariat zahir. Syariat zahir yang membedakan orang Islam dengan orang kafir. Rasulullah s.a.w menolak permintaan kaum Taqif yang mau dikecualikan daripada sholat lima waktu. Khalifah Abu Bakar as- Siddik memerangi golongan yang enggan mengeluarkan zakat. Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w bartindak tegas terhadap orang yang menolak syariat zahir dan mereka sangat berwaspada terhadap orang diketahui meninggalkan syariat batin. Orang yang menolak syariat zahir karena engkar adalah kufur. Orang yang membuang syariat batin adalah munafik. Syariat zahir berhubung dengan amalan Islam. syariat batin berhubung dengan amalan hati yaitu iman. Al-Quran menggabungkan iman dengan Islam (amal salih).
Dan berikan khabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih.. ( Ayat 25 : Surah al-Baqarah )
Al-Quran juga menggesa supaya berlaku keras menghadapi kekufuran dan kemunafikan.
Wahai Nabi! Berjihadlah (menentang) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, serta bartindak keras terhadap mereka. Dan (sebenarnya) tempat mereka ialah neraka jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. ( Ayat 9 : Surah at-Tahrim )
Ketaatan kepada syariat zahir dan syariat batin diperlukan bagi mengelakkan daripada terjatuh ke dalam kekufuran dan kemunafikan. Tidak seharusnya dipisahkan kedua-dua aspek syariat itu. Latihan kesufian haruslah ditujukan ke arah memudahkan seseorang melakukan separti yang diajarkan oleh syariat. Tujuan utama latihan kesufian adalah untuk melahirkan keikhlasan secara spontan. Tiga bagian penting di dalam syariat adalah iman, amal dan niat yang ikhlas. Tarekat kesufian sangat berkesan di dalam memupuk keikhlasan. Ketika melalui peringkat fana, sifat-sifat buruk tertanggal dan sifat ikhlas menjadi sebati. Setelah keluar dari kefanaan sifat ikhlas itu menjadi keperibadian. Orang sufi tidak perlu lagi membentuk keikhlasan dalam beramal karena ikhlas sudah menjadi spontan pada setiap amalannya. Apabila ikhlas sudah menjadi keperibadian seseorang barulah dia mencapai reda. Ikhlas dan reda tidak berpisah. Orang yang ikhlas dalam amalnya dan reda dengan hukum serta peraturan Tuhan itulah yang memperolehi keredaan Allah s.w.t yang merupakan kurniaan Allah s.w.t yang paling baik di dunia dan di akhirat.
Orang yang tidak menjalani tarekat sufi mendapati sukar untuk mempertahankan keikhlasan. Rangsangan yang mau merusakkan keikhlasan itu selalu saja mendatanginya. Rasa ujub dan ria selalu masuk ke dalam hatinya untuk menghalau ikhlas keluar. Dia mesti memelihara hatinya agar musuh-musuh ikhlas itu tidak dapat masuk. Perjuangan dalam jiwa itu sering menimbulkan kegelisahan dan suasana jiwa yang tenang sukar diperolehi. Ikhlas yang muncul dari paksaan tidak kekal.
Jika iman dan amal bisa diperolehi melalui ketaatan kepada peraturan syariat, ikhlas yang menjadi intisari iman dan amal itu pula mudah diperolehi melalui suluk para sufi. Tanpa melalui perjalanan kepada Allah s.w.t dan perjalanan dalam Allah s.w.t, adalah sukar untuk mencapai keikhlasan yang sebenarnya, ikhlas dalam perkataan dan perbuatan, dalam gerak dan diam, yang lahir secara spontan bukan secara paksaan. Ikhlas yang demikian lahir setelah dibuat penafian terhadap semua jenis tuhan-tuhan yang di dalam dan di luar diri, kemudian masuk kepada fana dan baqa. Dengan cara yang demikian seseorang itu masuk kepada makam kewalian yang khusus. Wali peringkat khusus melakukan apa saja karena Allah s.w.t bukan karena muslihat diri sendiri, sebab dirinya sudah dikorbankan untuk Allah s.w.t. Wali tersebut tidak perlu menyucikan niat bagi memperolehi ikhlas karena niatnya telah dipersucikan tatkala dia mengorbankan segala kepentingan dirinya untuk Allah s.w.t semata-mata dan dia masuk kepada kefanaan dan kebaqaan. Orang yang ada kesadaran terhadap dirinya, secara umumnya melakukan sesuatu dengan mengambil kira kepentingan diri, secara disedari atau tidak. Bila kasihkan diri sendiri lenyap diganti dengan kasihkan Allah s.w.t, apa saja yang dibuat adalah karena Allah s.w.t, sama ada dia sengaja memperhatikan niatnya atau pun tidak. Orang yang sudah ada keputusan sejak awal-awal lagi bahwa segala-galanya adalah untuk Allah s.w.t semata-mata, tidak perlu lagi memperjelaskan niatnya, tetapi orang yang masih ada pilihan untuk Allah s.w.t atau untuk diri sendiri, atau untuk sebab yang lain, perlulah memperjelaskan niatnya.
Orang yang tidak mengikuti jalan kesufian biasanya memperolehi kebenaran secara ilmiah semata-mata dan mereka juga memerlukan mujahadah dalam mengerjakan peraturan syariat. Kebenaran yang diketahui secara ilmiah itu dapat disaksikan oleh orang yang mengikuti tarekat sufi. Apa yang diketahui secara ilmiah dialami sendiri oleh orang sufi secara kerohanian. Pekerjaan syariat yang sukar dilakukan oleh orang biasa menjadi mudah bagi orang yang dilatih secara kesufian. Oleh sebab itu apabila orang sufi sampai kepada makam penetapan, keyakinannya sudah sangat teguh. Tanda orang sufi sampai kepada haqqul yaqin adalah apabila kebenaran yang dibukakan kepadanya keseluruhannya sesuai dengan kebenaran al-Quran dan as-Sunah. Jika ada perbedaan walaupun sedikit itu tandanya sufi itu belum sampai kepada Kebenaran Hakiki. Sufi tersebut belum terlepas sepenuhnya daripada kesan mabuk. Setelah dia melepasi kesan mabuk sepenuhnya dia akan menjadi khalifah kepada dirinya sendiri. Dia mampu menguruskan hal-ihwal dirinya dan menguasai penuh stesennya. Bercanggah dengan syariat adalah tanda nyata yang seseorang sufi masih dalam pencarian dan belum menemui Kebenaran Hakiki.
Ada segolongan sufi beranggapan bahwa syariat hanyalah kulit dan isinya adalah hakikat. Anggapan yang demikian menunjukkan bahwa sufi berkenaan tidak memperolehi pengalaman kerohanian yang benar. Sufi yang masuk kepada pengalaman kerohanian yang benar tidak pernah mengeluarkan kenyataan yang demikian. Sufi yang benar tidak membedakan syariat dengan hakikat. Sebenarnya syariat terdiri daripada kulit dan isi. Kulitnya syariat zahir dan isinya syariat batin. Penggunaan istilah ‘hakikat’ adalah untuk merujukkan kepada satu bagian syariat batin yang mendalam. Walaupun digunakan istilah hakikat ia tetap juga bagian syariat. Kebenaran yang dinyatakan dengan jelas dan juga secara simbolik juga termasuk dalam bidang syariat. Ulama zahir memberikan tumpuan kepada syariat zahir. Ulama yang lebih matang memberikan tumpuan kepada syariat zahir dan syariat batin sekaligus, tidak dipisahkan.
Peraturan syariat hukumnya sama bagi semua orang Islam. Orang awam dan ahli makrifat yang sempurna tertakluk kepada hukum dan peraturan yang sama, tidak ada kelonggaran bagi satu pihak dan penekanan pada pihak yang lain. Sufi yang masih baru atau yang keliru dan orang jahil yang bertaklid melulu mencoba membuang dasar syariat dengan mengatakan peraturan syariat terpakai kepada orang yang belum sampai ke makam makrifat. Mereka beranggapan sufi hanya perlu mendapatkan makrifat. Mereka beranggapan tujuan mematuhi syariat adalah untuk memperolehi makrifat. Bila makrifat sudah diperolehi peraturan syariat dengan sendirinya gugur. Golongan ini berpendapat ahli makrifat yang melakukan ibadat hanyalah untuk memberi contoh kepada orang banyak dan galakan kepada mereka untuk menuju kepada makrifat. Mereka mengatakan syariat hanya perlu dilakukan oleh orang yang masih baru dalam perjalanan kerohanian sedangkan bagi mereka sendiri yang sudah mencapai makrifat tidak memerlukan syariat lagi. Inilah pemahaman yang kufur dan sesat.
Ada pula golongan sufi yang hanya mementingkan hakikat, tetapi hakikat yang mereka maksudkan bukanlah syariat batin atau hakikat kepada syariat. Mereka mempunyai definasi sendiri mengenai hakikat dan syariat. Bagi mereka syariat hanyalah kulit semata-mata tanpa isi, tubuh tanpa nyawa. Isi atau nyawa tidak bergantung kepada kulit atau tubuh. Mereka maksudkan hakikat tidak bergantung kepada syariat. Sufi jenis ini membina pemahaman berdasarkan pengalaman mereka semata-mata. Walaupun berpemahaman demikian mereka menghormati syariat karena ia datangnya dari Allah s.w.t dan patut dimuliakan. Mereka tidak bersetuju dengan perbuatan mencampakkan syariat karena tindakan yang demikian menunjukkan tidak bersetuju dengan apa yang Tuhan lakukan. Sufi jenis ini adalah orang yang telah mengorbankan segala-galanya karena cinta mereka kepada Allah s.w.t. Keasyikan dan mabuk yang menguasai mereka menyebabkan mereka memasuki suasana pengalaman kerohanian yang diistilahkan sebagai peringkat bayang, sehingga timbul pemahaman yang berbeda daripada syariat. Namun sebagai orang yang mencintai Allah s.w.t mereka muliakan syariat yang diturunkan oleh-Nya. Golongan inilah yang berhak dimaafkan bukan dikutuk tetapi pemahaman mereka tidak bisa diikuti dan dipegang. Perkataan mereka yang menyalahi syariat hendaklah dianggap sebagai ucapan latah orang yang di dalam mabuk.
Sufi golongan ke tiga memahamkan syariat sebagai gabungan kulit dan isi, tubuh dan nyawa. Mereka berpendapat memegang syariat zahir tanpa mencapai syariat batin adalah kurang bermakna, sementara mengambil syariat batin dengan membuang zahirnya adalah tidak sempurna. Mereka berpemahaman bahwa seseorang bisa mengambil syariat zahir walaupun batinnya tidak menyerlah. Bagi mereka orang yang memberi tumpuan kepada syariat zahir dan beramal dengannya sudah bisa menyelamatkannya di akhirat kelak. Golongan yang mengambil syariat zahir saja adalah mereka yang berkedudukan sebagai ulama zahir dan orang Islam awam. Mengambil syariat zahir saja tanpa batinnya dibisakan tetapi mengambil syariat batin tanpa zahirnya adalah tanda mungkin. Kesimpulan golongan ini adalah kecemerlangan zahir dan batin ditentukan oleh hubungan mereka dengan syarak dan semua kebenaran yang terdapat dalam pemahaman agama yang dikenali sebagai Ahli Sunah wal Jamaah. Seribu pembukaan dan penyaksian dalam alam kebatinan tidak dapat menandingi pemahaman agama yaitu Tuhan tidak menyamai sesuatu apa pun. Golongan tersebut tidak cenderung dengan pengalaman kerohanian yang bercanggah dengan kebenaran syariat walaupun sedikit. Bagi mereka pembukaan demikian hanyalah ujian yang mengseret mereka ke tempat azab secara perlahan-lahan. Mereka adalah golongan yang mendapat petunjuk dari Tuhan dan paling layak diikuti. Mereka sebenarnya adalah ulama yang berjaya, diberi bimbingan dan petunjuk yang benar oleh Tuhan. Tuhan membantu mereka menyatakan kebenaran syariat dan Tuhan memberi mereka ganjaran karena mendukung peraturan syariat.
Sufi golongan ke tiga berbeda dengan golongan yang hanya mementingkan batin dan tidak sedikit pun mematuhi peraturan syariat. Golongan yang memisahkan diri dengan syariat menyangka kebenaran yang dicari tidak ada dalam syariat. Mereka menyangka syariat hanyalah tubuh yang tanpa nyawa. Mereka berpegang kepada kebenaran yang muncul dari bayangan dan mereka terpesong daripada arah yang menuju kepada kebenaran yang sejati. Akibatnya kewalian mereka hanyalah dalam perbatasan kewalian bayangan dan kehampiran mereka dengan Tuhan tidak melebihi tahap Sifat. Kewalian golongan ke tiga yang menggabungkan zahir dan batin syariat menemui kebenaran sejati dan asli. Mereka mendapat petunjuk dan menemui jalan kepada Zat Yang Hakiki, yang tiada sesuatu menyerupai-Nya. Mereka berjaya melepasi kebenaran peringkat rendah. Mereka maju sehingga ke penghujung jalan dan kesudahannya mereka memperolehi kewalian cara kenabian. Tahap tersebut dicapai dengan cara tidak sedikit pun meragui syariat dan tidak meninggalkan tuntutan syariat.
Golongan sufi yang berpemahaman syariat hanyalah kerangka kosong dan hakikat yaitu kebenaran sejati berada diluar syariat, mendapat pemahaman demikian melalui beberapa sebab. Sebagian daripada mereka menjalani tarekat sufi hanya sampai kepada tahap bersatu dengan Tuhan. Mereka tidak meneruskan perjalanan mereka melepasi tahap tersebut. Ada pula yang mempelajari doktrin wahdatul wujud terlebih dahulu dan memulaikan perjalanan dengan membawa kepercayaan doktrin tersebut. Segala usaha ditujukan untuk menzahirkan pemahaman dan kepercayaan wahdatul wujud. Apabila mereka memulaikan perjalanan di atas landasan wahdatul wujud maka yang mereka temui dan alami adalah wahdatul wujud. Golongan ini juga berhenti pada tahap bersatu dengan Tuhan dan meyakini bahwa yang ada hanya satu wujud yaitu Wujud Tuhan. Mereka membentuk keyakinan bahwa wahdatul wujud adalah kebenaran yang paling tinggi sehingga timbul anggapan bahwa wahdatul wujud adalah pegangan wali-wali. Mengaitkan wahdatul wujud dengan kewalian menambahkan keteguhan kepercayaan kepada doktrin tersebut. Mereka memandang hakikat agama melalui suluhan yang berdasarkan kepercayaan kepada satu wujud. Mereka memperkenalkan tauhid secara doktrin wahdatul wujud dan dengan lantang mengatakan syariat tidak memperkenalkan tauhid yang sebenar. Dari kalangan mereka ada yang mengatakan segala perkara dalam syariat adalah syirik, hanya pegangan wahdatul wujud yang bebas daripada syirik. Begitulah hebatnya pengaruh pengalaman kerohanian dalam membentuk keyakinan tentang kebenaran agama dan tauhid.
Selain sebab-sebab di atas sikap dan pandangan peribadi seseorang sufi itu sendiri memisahkan syariat daripada hakikat. Sufi jenis ini berpendirian hidup dalam pengasingan lebih baik daripada bercampur dengan orang banyak. Mereka berpendapat hanya sedikit saja hakikat yang bisa ditemui dalam syariat. Mereka berpendapat bidang hakikat terbuka dalam fana, zauk dan mabuk ketuhanan. Oleh karena itu mereka lebih gemar menghabiskan masa dengan berkhalwat dan beribadat sendirian tanpa mengambil bagian dalam bidang dakwah, berjihad dan berkhidmat kepada masyarakat.
Golongan yang dipimpin kepada penghabisan jalan menemui bahwa syariatlah yang menunjukkan apakah kehidupan agama yang sebenarnya. Syariat bukan saja mengajarkan peraturan zahir yang diistilahkan sebagai syariat zahir, malah syariat juga membawa perkara-perkara kerohanian yang meliputi iman, tauhid, mahabbah, syukur, sabar, ikhlas, takwa, ihsan dan lain-lain. Bidang kerohanian separti pemikiran, perasaan, daya rasa, niat, keinginan dan lain-lain juga berada dalam syariat. Syariat yang mencakupi perkara zahir dan batin adalah Agama Islam yang lengkap dan sempurna. Ia mengajarkan kehidupan beriman, bertakwa dan ihsan yang sempurna. Apa juga aliran tarekat hendaklah menjurus kepada memperteguhkan keyakinan dan pegangan kepada apa yang diperkatakan oleh syariat bukan mencari kebenaran yang lain daripada kebenaran syariat.
12: WAHDATUL SYUHUD, WAHDATUL WUJUD DAN WAHDATUL MA’ABUD
________________________________________
Wahdatul wujud atau tauhid wujudi adalah pemahaman yang membentuk kepercayaan bahwa yang ada hanya satu wujud yaitu Wujud Tuhan dan yang selain Tuhan tidak wujud. Segala kewujudan yang selain Tuhan merupakan penzahiran dan aspek-aspek ketuhanan atau wajah-wajah wujud Yang Esa itu. Dalam doktrin wahdatul wujud, Wujud Tuhan dikatakan bersamaan dengan wujud alam. Apa yang disaksikan dan dipandang adalah alam pada satu aspek dan juga Tuhan pada aspek yang lain. Alam dikatakan Tuhan dalam bentuk penzahiran. Alam dikatakan satu dengan Tuhan dalam keadaan ada perbedaan pada kenyataan tetapi sama pada hakikatnya. Alam adalah Tuhan yang menyata dalam bentuk yang Dia kehendaki.
Wahdatul ma’abud adalah kepercayaan terhadap keesaan Allah s.w.t separti yang dinyatakan oleh Surah al-Ikhlas.
Katakanlah (wahai Muhammad): “(Tuhanku) ialah Allah Yang Maha Esa. Allah yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat. Ia tidak beranak dan Ia tidak diperanakkan. Dan tidak ada siapapunpun yang setara dengan-Nya”. ( Ayat 1 – 4 : Surah al-Ikhlas )
Dalam pemahaman wahdatul ma’abud kepercayaan kepada keesaan Tuhan tidak memerlukan kepada penafian terhadap kewujudan makhluk dan juga wujud makhluk tidak disamakan sedikit pun dengan Wujud Tuhan. Iman kepada Tuhan didasarkan kepada:
Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya.
Tuhan adalah berlainan dan berbeda dengan makhluk. Alam bukan satu dengan Tuhan. Wujud Tuhan adalah hakiki atau benar. Wujud alam pula jika dibandingkan dengan Wujud Tuhan, adalah khayalan, tidak sebenar. Wujud alam dikatakan tidak berhakikat. Oleh karena wujud alam tidak berhakikat sementara Wujud Tuhan adalah hakiki, mengatakan alam sebagai penzahiran Tuhan adalah tidak benar sama sekali. Wujud yang tidak berhakikat adalah berbeda, berlainan dan tidak bisa disamakan dengan Wujud Hakiki.
Dalam soal Wujud Tuhan dan wujud makhluk, kekeliruan timbul karena istilah “WUJUD” itu sendiri. Bila dikatakan Tuhan wujud dan makhluk juga wujud maka terdapat sesuatu persamaan pada kedua-dua jenis wujud tersebut. Istilah tersebut bisa menimbulkan anggapan atau khayalan bahwa kedua-duanya ada persamaan atau perkaitan. Sebenarnya jika istilah wujud digunakan untuk menceritakan tentang keadaan makhluk yang ADA, lebih baik jika istilah lain digunakan untuk menceritakan keadaan Tuhan yang ADA. Tetapi dalam kamus manusia tidak ada istilah yang bisa menceritakan keadaan yang ada tetapi tidak bersamaan dengan adanya segala yang ada dan adanya Dia tidak disertai oleh segala yang ada. Oleh yang demikian perkataan wujud juga digunakan untuk menceritakan tentang Adanya Tuhan. Begitu juga halnya dalam menceritakan sifat-sifat Tuhan. Istilah-istilah separti Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Hidup, Berkehendak, Mengetahui dan Berkuasa digunakan bagi menceritakan keadaan Tuhan. Walaupun istilah yang serupa digunakan dalam menceritakan tentang Tuhan dan makhluk tetapi jika menganggapkan sifat Tuhan sama dengan makhluk maka anggapan yang demikian membawa kepada kekufuran.
Tuhan menciptakan makhluk daripada tidak ada, walaupun makhluk menjadi ada setelah diciptakan namun, hakikatnya tetap tidak ada. Zat makhluk adalah ‘adam (tidak ada). Walaupun sifat berubah namun zat tidak berubah. Kayu yang dijadikan almari, kerusi, pintu dan sebagainya adalah tetap kayu pada zatnya sekalipun sifat sudah berbagai-bagai. ‘Adam (yang tidak ada) tetap ‘adam walaupun sudah menjadi ada. Kewujudan berjuta-juta ‘adam, yang tidak ada, tidak akan mengubah status Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan tetap Esa walaupun Dia membuatkan makhluk menjadi ada, karena pada sisi Tuhan makhluk tidak mempunyai hakikat wujud. Bagaimana ini mungkin terjadi? Ia menjadi mungkin karena Tuhan membuatnya menjadi mungkin dan kewujudan demikian dinamakan wujud yang mungkin (mumkinul wujud). Hanya Tuhan yang berkuasa mengadakan yang mungkin itu. Sebab itulah dakwaan bahwa Diri-Nya adalah Tuhan memang benar. Yang bisa berbuat demikian hanyalah Tuhan. Yang selain Tuhan tidak ada kuasa untuk melakukannya. Semua pencipta-pencipta selain Tuhan, apabila membuat sesuatu ciptaan mereka akan berkongsi ruang dengan ciptaan mereka dan bilangan juga menjadi bertambah. Hanya Allah s.w.t yang berkuasa menciptakan makhluk tanpa mengubah status wujud-Nya Yang Esa. Hanya akal orang yang bingung atau orang yang dalam mabuk mencoba menguraikan teka-teki Wujud Tuhan dan wujud makhluk. Orang yang berakal sehat akan menyerah tanpa takwil, tanpa hujah bahwa sesungguhnya: “Tidak ada sesuatu yang berkongsi apa-apa dengan-Nya, baik dari segi wujud, sifat, perbuatan dan apa segi sekalipun. Dia tidak disekutukan oleh siapapun dan dalam apa perkara sekalipun”. Oleh karena pada hakikatnya Dia tidak bersekutu dengan sesuatu, maka mempersekutukan-Nya dengan sesuatu menjadi kesalahan yang paling besar, yang tidak Dia maafkan.
Tidak semua orang sufi berpegang dengan pemahaman wahdatul wujud. Banyak sufi yang tidak bersetuju dan menolak pemahaman satu wujud. Pengalaman mereka menceritakan bahwa satu wujud hanya muncul dalam penyaksian atau pengalaman kerohanian yang berlaku pada satu tahap perkembangan kerohanian. Pengalaman menyaksikan atau mengalami satu wujud itu dinamakan wahdatul syuhud atau tauhid syuhudi. Wahdatul syuhud atau tauhid syuhudi merupakan pengalaman kerohanian yang paling tinggi mengenai keesaan. Bisa juga dikatakan ia adalah puncakk fana, di mana kesadaran seseorang sufi terhadap dirinya dan sekalian makhluk hilang lenyap sama sekali, tidak ada sedikit pun yang tinggal. Pada tahap tersebut sufi masuk sepenuhnya ke dalam suasana “Tuhan Maha Esa”. Pada ketika itu kewujudan nyata sufi tidak hilang. Dia masih lagi berjasad dan bergerak di atas muka bumi. Hanya ingatan dan kesadarannya terhadap yang selain Allah s.w.t terhapus sama sekali. Sufi tidak bertukar menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Sufi yang di dalam keadaan menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan itu tidak ada kuasa untuk membelah bulan atau membuat matahari naik dari sebelah barat separti kekuasaan Tuhan. Apa yang berlaku kepada sufi hanyalah pengalaman rasa. Dia mengalami rasa “Akulah Tuhan. Aku Esa. Tiada sesuatu beserta Aku”. Peringkat pengalaman keesaan yang paling tinggi ini berlaku dalam sholat. Apa yang dirasakan pada ketika itu adalah: “Sholat adalah puji-pujian Allah terhadap Diri-Nya sendiri. Dia yang Memuji Diri-Nya. Dia yang Berkata-kata. Dia Yang Mendengar”. Pengalaman yang demikian merupakan saat yang paling lazat dirasakan oleh seseorang sufi. Setiap patah ucapan dalam sholat itu sangat mengasyikkan, sangat indah dan sangat merdu.
Ketika mengalami suasana keesaan Tuhan itu bukanlah bermakna sufi sudah menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Ia adalah satu suasana yang Tuhan gubah bagi memperkenalkan keesaan-Nya. Orang yang memasuki suasana tersebut akan kenal, faham dan mengarti maksud Tuhan Maha Esa. Pengalaman yang demikian terjadi tatkala sufi hilang ingatan dan kesadaran kepada segala perkara kecuali Allah s.w.t. Apabila ingatan dan kesadarannya kembali semula pengalaman tentang keesaan Allah s.w.t itu tidak hilang, tidak separti orang gila yang melupai segala pengalaman gilanya tatkala dia sedar kembali. Pengalaman hati membawa sufi bermakrifat dengan keesaan Tuhan. Apa yang diketahui oleh orang lain secara ilmiah, dalil dan bukti, dialami sendiri oleh sufi. Pengalaman keesaan yang dialami oleh hati itulah yang dinamakan wahdatul syuhud. Sufi yang mengalami wahdatul syuhud berpecah kepada dua golongan. Golongan yang pertama memahamkan apa yang dialami itulah kebenaran yang sejati, kebenaran yang paling tinggi. Hati telah mengalami satu wujud maka tentu sekali satu wujudlah yang benar. Berdasarkan penyaksian atau pengalaman hati mengenai satu wujud itulah terbentuk pemahaman wahdatul wujud. Yang wujud hanyalah Tuhan, penzahiran Tuhan atau wajah-wajah Tuhan. Alam dan makhluk adalah bentuk zahir yang dengannya Tuhan menyatakan Wujud-Nya. Alam dan makhluk jika dipandang dari satu segi adalah Tuhan dan jika dipandang dari segi yang lain adalah makhluk. Begitulah pemahaman wahdatul wujud yang dibuat sebagai terjemahan kepada pengalaman wahdatul syuhud. Sufi golongan kedua tidak menggubah terjemahan kepada apa yang mereka alami. Bagi golongan ini satu wujud adalah penyaksian atau pengalaman hati, tidak ada sebab mau mengatakan wahdatul syuhud itu sebagai wahdatul wujud. Golongan ini memahamkan bahwa menyaksikan keesaan Tuhan bukan bermakna menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Memasuki suasana Keesaan Tuhan yang Tuhan gubah bukan bermakna masuk kepada Tuhan. Tuhan tidak dikandung oleh masa, zaman atau ruang. Tidak ada satu perbatasan di mana bertempat Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada sesuatu apa pun yang bisa sampai kepada Zat Tuhan. Walaupun Keesaan Tuhan dikenali dan dialami ia tidak mengubah bangunan alam maya dan tidak mengubah ketuhanan Allah s.w.t. Orang lelaki yang bermimpi menjadi perempuan tidaklah benar-benar bertukar menjadi perempuan. Tetapi pengalaman menjadi perempuan di dalam mimpi itu membuatnya mengenali perempuan dengan mendalam, tahu daya rasa dan citarasa perempuan dan sebagainya. Pengetahuan yang didapati secara pengalaman mengsahkan dan meyakinkan pengetahuan yang diketahui secara pembelajaran dan dalil. Pengalaman menjadi perempuan dalam mimpi dikatakan pengalaman hakikat yaitu lelaki berkenaan mengalami hakikat keperempuanan melalui cara bermimpi. Lelaki tersebut mengenali perempuan secara sempurna.
Sufi mengalami hakikat ketuhanan termasuklah hakikat keesaan Tuhan. Sufi berkenaan masuk ke dalam suasana hakikat dan makrifat bukan masuk ke dalam Tuhan. Hakikat dan makrifat adalah suasana yang Tuhan gubah bagi memperkenalkan Diri-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki berbuat demikian. Seseorang hamba yang menetap dalam makam kehambaan apabila diperkenalkan sifat al-Aziz akan kecutlah hatinya, mengggigil tubuhnya, pucat mukanya hinggakan dia jatuh pingsan. Setelah sedar dari pingsannya dia kenal maksud al-Aziz. Pengenalan secara mengalami itu lebih berkesan dan meyakinkan daripada perkenalan secara ilmiah. makrifat melalui pengalaman hakikat itu melahirkan ungkapan separti: “Aku kenal Tuhanku melalui Tuhanku; Aku melihat Tuhanku tanpa rupa, tanpa bentuk, tanpa warna, tanpa cahaya; Aku kenal Tuhanku tanpa sesuatu pengenalan”. Banyak lagi ungkapan yang seumpamanya.
Sufi yang mengalami wahdatul syuhud tetapi menolak pemahaman wahdatul wujud, berpegang kepada pemahaman wahdatul ma’abud yaitu kepercayaan kepada keesaan Tuhan tanpa menafikan kewujudan makhluk ciptaan Tuhan. Sufi golongan ini mengakui bahwa wujud makhluk memang tidak berhakikat tetapi oleh karena makhluk diciptakan Tuhan maka makhluk mempunyai kewujudan yang teguh, stabil, tetap, kekal mempunyai tindakbalas dan sebagainya, bukan separti wujud khayali yang dibuat oleh ahli silap mata. Jadi, wahdatul syuhud yang membawa sebagian sufi kepada wahdatul wujud itu juga yang menetapkan sufi pada wahdatul ma’abud. Sufi yang tidak terbalik pandangan karena pengalaman wahdatul syuhud adalah yang ditetapkan pada makam kehambaan, sekalipun menempuh gelombang Alam Misal, alam bayangan, cahaya dan warna. Apa saja yang muncul dinafikannya dengan kalimah : dengan membawa maksud : “Tiada Tuhan melainkan Allah.”
Kalimah Tauhid yang menetapkan sebagian sufi pada makam kehambaan itu bisa juga digunakan untuk mencabut kehambaan apabila maksud kalimah tersebut diubah kepada: “Tiada yang maujud melainkan Allah”. ( ). Renungan yang mendalam dan disertakan dengan ucapan yang berulang-ulang bartindak sebagai memukau diri sendiri sehingga terpahat keyakinan dalam jiwa bahwa hanya Wujud Tuhan yang ada. Orang yang memperolehi pemahaman wahdatul wujud secara renungan demikian tidak mengalami wahdatul syuhud, tidak ada pengalaman hakikat, tidak mengalami hal-hal ketuhanan karena mereka belum lagi sampai kepada tahap kesadaran hati (kalbu). Hal ketuhanan hanya dialami oleh orang yang sampai kepada tahap kesadaran hati. wahdatul wujud yang diperolehi secara tafakur itu menjadi pegangan orang yang berada pada tahap ilmu, tetapi ilmu bayang bukan ilmu yang sebenar.
Ada juga sufi yang memulaikan perjalanan tanpa membawa atau mengetahui pemahaman wahdatul wujud. Sufi ini sangat kuat dikuasai oleh kecintaan kepada Allah s.w.t dan tarikan kepada Tuhan yang kuat itulah menemukannya dengan kepercayaan wahdatul wujud. Kecintaan kepada Tuhan menjadi sangat berpengaruh dan menimbulkan keasyikan apabila sampai kepada tahap kesadaran hati, sama ada dia sampai kepada tahap melalui cara suluk atau b pun dengan rahmat Tuhan dia menjadi majzub. Kecintaan yang membara, mengasyikkan, dicampur dengan kerinduan yang mendalam menyebabkan sufi itu hanya menyaksikan satu wujud saja yaitu Wujud Tuhan sementara yang lain terhapus dari pandangannya. Oleh karena dia tidak menyaksikan yang lain maka dia tidak memperakui kewujudan yang lain. Pemahaman yang terbentuk itu adalah hasil daripada zauk atau pengalaman rasa yang bebas dari khayalan. Jika sufi itu menetap pada makam kalbu dan dia kembali kepada dunia dalam keadaan demikian, maka dia kan melihat wajah Kekasihnya pada apa jua yang dia pandang. Segala sesuatu menjadi cermin yang membalikkan wajah Kekasihnya.
Sebagian sufi, dengan rahmat Tuhan, dapat melepasi makam kalbu dan diberi suasana yang lebih baik yaitu menghadap kepada Tuhan yang menguasai kalbu. Sufi yang sudah keluar dari tahap kesadaran kalbu tidak lagi dikuasai oleh kecintaan yang mengasyikkan, yang mabuk. Kecintaannya sudah kembali rasional. Kecintaan rasional mengecilkan pemahaman dan kepercayaan kepada wahdatul wujud. Lama kelamaan pemahaman dan kepercayaan yang demikian hilang terus dari hati sufi. Dari golongan sufi yang telah membuang pemahaman dan kepercayaan wahdatul wujud ada yang mengecam doktrin tersebut. Sufi yang lain tidak membuat kecaman atau ulasan. Mereka bersimpati dengan sahabat-sahabat mereka yang masih terikat pada makam kalbu dan berpegang kepada pemahaman wahdatul wujud bukan dengan kehendak mereka sendiri tetapi pengalaman kerohanian yang menguasai mereka menyebabkan mereka menjadi demikian. Mereka dikuasai oleh hal atau zauk yang menyebabkan mereka tidak berdaya untuk memandang ke arah lain.
Bermukim pada makam kalbu, mengalami berbagai-bagai hal ketuhanan, memasuki suasana bersatu dengan Tuhan, adalah pengalaman yang menyeronokkan dan mengasyikkan. Hati merasai kenikmatan dan kelazatan. Lantaran itu ada sufi yang enggan keluar dari makam tersebut. Apabila kesadaran diri datang kepada mereka, mereka akan kembali membuat latihan untuk menghapuskan kesadaran tersebut. Mereka lebih suka berada dalam zauk terus menerus karena dalam zauk yang ada hanya Allah s.w.t, kehampiran dengan-Nya dan kesatuan dengan-Nya. Mereka percaya Kebenaran Hakiki adalah kefanaan dan penafian diri. Dari kalangan mereka muncul ungkapan separti: “Aku mau sampai kepada ‘adam hakiki (ketiadaan yang sebenar-benarnya) dan tidak kembali lagi kepada wujud”. Golongan ini senantiasa bekerja keras melatih diri dengan cara yang payah, beramal dengan cara yang sukar dan membebankan supaya mereka bisa berada dalam suasana penghapusan diri yang terus menerus. Mereka tidak mempunyai masa untuk berehat. Beban pengalaman yang berat itu mendorong mereka kepada satu-satu kegiatan menurut kecenderungan dan bakat masing-masing sebagai mengalihkan mereka daripada beban pengalaman mereka yang berat itu. Ada di antara mereka mencurahkan perasaan kepada alam semulajadi. Ada yang mendapat kerehatan dan keringanan melalui tarian dan nyanyian. Ada yang berpegang kepada pemahaman satu wujud dan menyaksikan satu wujud dalam yang banyak. Semua itu merupakan rahmat dari Tuhan agar mereka mampu bertahan dalam beban pengalaman mereka dan dengan demikian mereka memperolehi sedikit kerehatan.
Kumpulan sufi yang maju ke hadapan, meninggalkan makam kalbu, memperolehi hubungan dengan Tuhan yang membawa mereka beriktikad bahwa Tuhan Berdiri Dengan Sendiri dan tidak menyerupai sesuatu. Mereka tidak terlibat lagi dengan pemahaman melihat Tuhan dalam alam atau menyamakan alam dengan Tuhan. Iktikad sufi golongan ini sesuai dengan ajaran Rasulullah s.a.w. Baginda s.a.w tidak mengajarkan wahdatul wujud tetapi baginda s.a.w mengajarkan wahdatul ma’abud yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada sokongan al-Quran kepada pemahaman wahdatul wujud. Al-Quran mengajarkan konsep ketuhanan : “ ” - tiada sesuatu serupa dengan-Nya. Rasulullah s.a.w mengajarkan supaya menafikan tuhan-tuhan palsu yang terdiri daripada anasir-anasir alam dan manusia, termasuklah diri sendiri Sama ada yang zahir atau yang batin. Rasulullah s.a.w menentang perbuatan mempertuhankan batu, Isa al-Masih, Uzair, bulan, dan lain-lain. Rasulullah mengatakan konsep ketuhanan yang demikian adalah syirik dan dosanya tidak diampun oleh Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w juga mengajarkan perbedaan di antara hamba dengan Tuhan. Kebenaran sejati yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w adalah manusia adalah hamba ciptaan Tuhan bukan penzahiran Tuhan. Kesatuan wujud tidak diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Pada zaman para sahabat Rasulullah s.a.w, pemahaman wahdatul wujud tidak wujud, malah bayangannya pun tidak ada. Pemahaman yang demikian hanya muncul pada zaman yang akhir-akhir ini.
Sufi yang telah menyelesaikan semua peringkat perjalanan kerohanian dan mencapai peringkat tartinggi kewalian akan memperolehi keyakinan yang sama dengan pegangan ulama yang memperolehinya melalui kitab dan akal. Apa yang ulama putuskan secara mentalaah kitab dan menggunakan akal diperolehi oleh sufi melalui kasyaf.
13: KASYAF DAN ILHAM SUFI
________________________________________
Setiap makhluk yang diciptakan Tuhan dilengkapkan-Nya dengan fitrah. Fitrah menerbitkan bakat dan keupayaan semulajadi yang membisakan setiap kejadian itu berfungsi menurut kejadiannya. Fitrah matahari mengseret matahari untuk bergerak pada satu landasan sambil mengeluarkan cahaya yang mengandungi tenaga yang diperlukan oleh kejadian di bumi. Hewan, tumbuh-tumbuhan, galian dan lain-lain semuanya mempunyai fitrah masing-masing dan setiap satunya bergerak menurut peraturan fitrahnya. Di antara semua kejadian, manusia dikurniakan fitrah yang paling sempurna karena manusia berkewajiban memerintah dan mentadbir sekalian makhluk. Malaikat sendiri tunduk kepada manusia. Malaikat yang menguruskan bidang penglihatan tidak menghalang manusia menggunakan penglihatan matanya sekalipun yang dilihat olehnya itu diharamkan oleh Allah s.w.t. Malaikat yang menjaga nyawa tidak mencabut nyawa itu sekalipun manusia melakukan kejahatan dan kedurhakaan kepada Allah s.w.t.
Fitrah manusia merupakan sebaik-baik persediaan dalam melaksanakan tugas-tugas kehambaan kepada Allah s.w.t. Melakukan ketaatan kepada Allah s.w.t dan menguruskan kehidupan di bumi merupakan kewajiban manusia. Dalam melaksanakan hal yang demikian itu fitrah manusia dikurniakan sesuatu yang sangat luar biasa yaitu keupayaan untuk membuat pilihan. Hanya manusia dan jin yang memiliki keupayaan memilih. Makhluk lain tidak diberikan bakat tersebut. Dalam membuat pilihan fitrah manusia bisa menggunakan bakat-bakatnya yaitu fikiran, ilham dan kasyaf.
Melalui bakat berfikir manusia bisa membuat pilihan dalam menguruskan kehidupan lahiriah mereka. Kekuatan fikiran yang ada dengan manusia mengangkat manusia kepada derajat yang tinggi. Mereka mampu menguasai daratan, lautan dan udara. Mereka mampu mengambil manfaat daripada anasir alam yang ada di sekeliling mereka. Sempadan bagi kekuatan fikiran adalah jangkauan pancaindera dan logik. Apa yang tidak mampu dijangkau oleh pancaindera akan menimbulkan kesulitan kepada fikiran dan apa yang tidak termasuk dalam bidang logik akan mengelirukan fikiran.
Bidang yang tidak dapat diterokai oleh fikiran mampu diterokai oleh ilham. Fikiran sangat mahir dalam menyusun sesuatu yang bersangkutan dengan kebendaan. Kebendaan yang menjadi bidang fikiran ini bartindak sebagai hijab kepada bidang ilham. Pengaruh dan tarikan kebendaan menjadi tembok yang menghalang manusia daripada memperolehi ilham.
Pengaruh dan tarikan kebendaan tertuju kepada hati. Jika hati dapat keluar daripada kekuasaan dan ikatan kebendaan hati akan mampu mengeluarkan sinar cahayanya untuk memperluaskan bidang yang dapat diterokai oleh akal fikiran melalui cetusan ilham. Akal fikiran yang dibantu oleh ilham dapat keluar dari bidang logik dan sempadan kebendaan. Manusia dapat menerima kewujudan kuasa ghaib yang menguasai anasir alam yang nyata.
Terdapat dua golongan manusia yang menguasai bidang ilham. Mereka adalah ahli falsafah dan ahli sufi. Ahli falsafah yang menggunakan kekuatan diri sendiri hanya mampu mengambil ilham pada bagian permukaan sementara ahli sufi berkeupayaan untuk menyelam ke dasar lautan ilham. Walaupun berbeda derajat ilham tetapi oleh karena ia masih di dalam satu daerah, maka terdapat tolak-ukur di antara sufi yang di dalam daerah ilham dan ahli falsafah yang juga di dalam daerah ilham. Sufi yang begini beranggapan ahli falsafah adalah juga ahli sufi. Begitu juga anggapan ahli falsafah terhadap ahli sufi. Pemahaman ahli falsafah dan pemahaman ahli sufi tahap ilham banyak persamaan. Sufi pada tahap ini bisa bekerjasama dengan ahli falsafah dalam mengwujudkan kepercayaan atau agama sejagat. Agama sejagat ini mengambil nilai-nilai murni kemanusiaan sebagai peraturan hidup dan keikhlasan sebagai kehambaan kepada Tuhan. Setiap individu diperlukan mempratikkan nilai-nilai murni kemanusiaan dan bebas melakukan keikhlasan menurut kemampuan dan bakat yang ada dengannya dalam menyatakan khidmatnya kepada Tuhan. Golongan ini sangat mengasihi manusia dan sangat bertolak ukur dengan sesama manusia. Mereka menganggap semua agama adalah baik dan benar. Mereka berpemahaman semua agama menyembah Tuhan yang sama walaupun caranya berbeda. Mereka tidak mengutuk perbuatan memyembah Tuhan dengan menggunakan perantaraan separti patung-patung. Kebanyakan agama dalam dunia hari ini telah diolah semula oleh golongan sufi-falsafah. Maksud sufi di sini termasuklah ahli agama yang selain Islam yang mengamalkan bidang kerohanian dan melatih diri dalam bidang tersebut. Dari kalangan merekalah muncul orang-orang yang membina tempat patung-patung dalam tempat-tempat ibadat agama Nasrani dan Yahudi. Orang yang beragama menyembah berhala tidak berasa janggal apabila mereka memasuki rumah ibadat orang Nasrani dan Yahudi. Pengaruh yang demikian juga menjalar ke dalam masyarakat Islam. Orang-orang Islam yang berjiwa falsafah gemar membina sesuatu yang menonjol dan tersergam di dalam masjid-masjid. Jika penyembah berhala melihat kaum Muslimin sedang sujud mungkin mereka menyangka kaum Muslimin sujud kepada benda yang menonjol dan tersergam itu.
Sufi seterusnya masuk ke dalam bidang kasyaf. Penyaksian mata hati dan pengalaman rasa merupakan bidang kasyaf. Hati menyaksikan dan merasakan suasana ghaib dan hal-hal yang berhubung dengan ketuhanan. Walaupun sufi menyaksikan dan merasakan hal ketuhanan tetapi ia bukanlah Tuhan. Apa yang dibukakan kepada sufi itu adalah ibarat kunci yang membuka pintu makrifat untuk sufi mengenali Tuhan. Kasyaf tahap tartinggi hanyalah pengalaman rasa tanpa penyaksian tentang hal ketuhanan itu. Pengalaman rasa atau zauk tanpa penyaksian membawa sufi bermakrifat tentang Allah s.w.t yang Maha Esa, tiada sesuatu yang menyerupai-Nya. Makrifat cara begini menanamkan kepemahaman yang tidak mampu diuraikan.
Penguraian yang lengkap tentang Allah s.w.t hanya terdapat dalam wahyu. Apa yang diterangkan oleh wahyu tentang Allah s.w.t dapat difahami oleh seseorang manusia menurut tahap pemikiran, ilham dan kasyafnya. Orang yang mempunyai ke tiga-tiga bakat-bakat fitrah itu secara sempurna akan mengenal Allah s.w.t dengan sempurna. Wahyu menerangi kasyaf, kasyaf menerangi ilham dan ilham menerangi fikiran. Nur wahyu yang menerangi kasyaf, ilham dan fikiran itu membuka simpulan pada lidah sehingga lidah bisa berucap dengan fasih tentang Allah s.w.t, menurut kadar yang Dia izinkan.
Apabila sekalian bakat-bakat fitrah itu sudah disinari oleh nur wahyu barulah fitrah kemanusiaan itu melonjak kepada fitrah Muslim. Manusia yang fitrahnya belum mencapai tahap fitrah Muslim, walaupun pintar menggunakan akal namun, dia masih belum bersesuaian dengan kehendak Allah s.w.t. Daya nilai fitrah manusia banyak bersesuaian dengan daya nilai fitrah Muslim dalam bidang akhlak tetapi tidak dalam bidang ketuhanan. Kebenaran yang sejati berada pada fitrah Muslim. Apa yang dinilaikan baik oleh fitrah manusia jika bercanggah dengan penilaian fitrah Muslim, maka fitrah manusia mesti akur dengan kebenaran fitrah Muslim. Orang Islam yang bijak sekalipun tidak akan dapat melihat hikmah di sebalik suruhan dan tegahan agama, sekiranya fitrahnya tidak naik kepada tahap fitrah Muslim atau pun jika akalnya enggan tunduk kepada kebenaran yang dinyatakan oleh wahyu. Apabila fitrah manusia mencapai tahap fitrah Muslim, akan ujudlah penyerahan yang sejati kepada Allah s.w.t, tanpa hujah dan tanpa takwil. Dia akan tunduk kepada peraturan Allah s.w.t yang dibawa oleh Rasul-Nya. Dalam jiwanya akan lahir kegairah beragama. Dia akan cemburu jika Allah s.w.t, Rasulullah s.a.w, al-Quran dan agamanya dipersendakan apa lagi kalau dikhianati.
Semua bakat-bakat fitrah mestilah menjadi Muslim. Akal fikiran menjadi Muslim, ilham menjadi Muslim dan kasyaf menjadi Muslim. Bila semua bakat itu sudah menjadi Muslim, akan bercahayalah Roh Islam seseorang itu. Roh Islam akan hanya mengeluarkan yang Muslim, tidak ada pertentangan dengan Islam. Roh Islam yang paling sempurna adalah Roh Nabi Muhammad s.a.w. Jibrail a.s membacakan wahyu dan Roh Islam Nabi Muhammad s.a.w mentafsirkannya. Apa yang baginda s.a.w tafsirkan menepati apa yang wahyu maksudkan, tanpa sedikitpun pertentangan. Jika mau melihat al-Quran dalam rupa manusia, maka Nabi Muhammad s.a.w adalah ‘al-Quran’ yang hidup, berkata-kata dan bergerak dalam daerah kehidupan manusia. Selain Nabi Muhammad s.a.w derajat persamaan dengan wahyu itu bartingkat-tingkat menurut derajat akal, ilham dan kasyaf masing-masing.
Fikiran, ilham dan kasyaf sufi bukanlah satu sumber ilmu yang menyamai wahyu atau pun bebas daripada wahyu. Bakat-bakat tersebut hanyalah alat untuk mentafsirkan wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w mengenai sesuatu perkara yang diimani. Bakat-bakat tersebut walaupun bisa digunakan sebagai alat bagi menterjemah wahyu tetapi ia bukanlah secara sempurna. Ia berkedudukan separti ijtihad para mujtahid yang mungkin benar dan mungkin silap. Dalam pembinaan hukum dan fatwa yang mengenai orang banyak, kedudukan ijtihad ahli mujtahid lebih kuat daripada ilham dan kasyaf sufi.
Ilham dan kasyaf sufi lebih bersifat peribadi, berguna untuk sufi itu sendiri dalam menentukan arah tindakannya. Kesan mabuk yang berlaku pada jalan kewalian sufi sukar terpisah daripada seseorang sufi itu dan kesan tersebut bisa mempengaruhi ilham dan kasyafnya. Apa yang diperolehi oleh sufi yang dipengaruhi oleh mabuk mungkin tidak menepati kebenaran yang asli. Sufi tersebut mungkin mengeluarkan pendapat yang kurang benar dan meninggalkan yang lebih benar. Oleh yang demikian kebenaran ilham dan kasyaf sufi itu mesti diuji dengan kebenaran al-Quran dan as-Sunah. Kedudukan seseorang sufi itu diukur dengan melihat sejauh mana ilham dan kasyafnya bersesuaian dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah. Sufi yang telah mencapai tahap kewalian peringkat tartinggi, yang telah terlepas daripada kesan mabuk, fana dan bersatu dengan Tuhan, tidak bercanggah dengan al-Quran dan as-Sunah.
Al-Quran dan Hadis telah memberi penjelasan yang lengkap mengenai perkara-perkara yang bersangkutan dengan akidah. Perkara yang sudah cukup terang dan jelas ini tidak bisa digugat oleh apa saja, termasuklah pemahaman, ilham dan kasyaf sufi. Jika terjadi pertentangan di antara ucapan ahli sufi dengan kenyataan al-Quran dan as-Sunah mengenai perkara akidah, ia mestilah ditolak dan perkataan al-Quran dan as-Sunah itu yang wajib diimani. Ucapan sufi yang demikian hendaklah dianggapkan sebagai ucapan yang lahir daripada suasana hati yang dipengaruhi oleh mabuk dan fana dan sufi berkenaan belum lagi menghabiskan perjalanannya. Jika perkataan sufi menyokong kenyataan al-Quran dan as-Sunah, maka perkataan tersebut hendaklah dibenarkan. Dalam memahami maksud al-Quran dan as-Sunah, aliran Ahli Sunah wal Jamaah hendaklah diikuti.
Ada perkara-perkara yang al-Quran dan al-Hadis hanya memberi maklumat secara sepintas lalu atau pun tidak memberi maklumat sedikitpun. Perkara-perkara berkenaan termasuklah soal-soal syurga, neraka, bumi, alam maya, malaikat, jin, makhluk rohani dan lain-lain. Ahli sufi banyak memperkatakan soal-soal yang demikian berdasarkan ilham dan kasyaf mereka, tanpa sokongan nas yang sahih. Dalam soal ini orang banyak tidak dituntut untuk mengimani perkataan sufi. Ilham dan kasyaf sufi bisa jadi benar dan bisa jadi juga tidak benar. Nabi-nabi diperakui oleh Allah s.w.t sebagai maksum, dijamin terpelihara daripada gangguan syaitan dan tidak terjadi kesalahan pada ilham dan kasyaf mereka. Apa juga kekeliruan yang timbul akibat gangguan syaitan diperbetulkan dengan segera dan kebenaran perkataan Nabi-nabi ditetapkan. Jaminan yang demikian tidak diberi kepada golongan yang bukan Nabi. Namun begitu, perkataan sufi mengenai soal-soal yang tidak bersangkutan dengan akidah itu bisa dijadikan iktibar dan mempercayainya tidak menjadi kesalahan. Melalui perkataan mereka orang-orang yang ingin memahami perkara-perkara tersebut mendapat sedikit pemahaman yang bisa dikembangkan melalui kekuatan akal fikiran.
Sufi memperolehi maklumat melalui kasyaf. Kadang-kadang kasyaf berlaku kepada sufi dalam bentuk ibarat atau pembukaan secara umum tanpa perincian. Kasyaf yang demikian perlu ditafsirkan. Biasa terjadi tafsiran yang dibuat oleh sufi itu tidak menepati gambaran atau ibarat yang dibukakan kepadanya Bila sufi menerima berita secara umum maka tafsiran secara umum juga yang diberikannya. Maklumat yang diperolehi secara umum, tanpa perincian, tidak dapat menceritakan sesuatu perkara dengan tepat. Sufi juga mungkin mendapat maklumat mengenai sesuatu kejadian dan maklumat tersebut datangnya daripada sumber takdir yang akan berubah, sedangkan perubahan yang akan berlaku tidak dibukakan kepadanya. Allah s.w.t berfirman:
Apa sajat ayat keterangan yang Kami mansukhkan (batalkan) atau yang Kami tinggalkan (atau tangguhkan), Kami datangkan ganti yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah engkau mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu? ( Ayat 106 : Surah al-Baqarah )
Ayat di atas memberitahukan tentang takdir yang di dalam perbatasan yang bisa berubah dengan kehendak dan perintah Allah s.w.t.
Untuk mereka sajalah kebagiaan yang menggembirakan di dunia dan di akhirat; tidak ada (sebarang) perubahan pada kalimat (janji-janji) Allah; yang demikian itulah kejayaan yang besar. ( Ayat 64 : Surah Yunus )
Ayat di atas ini pula memberitahukan tentang daerah takdir yang tidak akan berubah karena Allah s.w.t telah menetapkannya. Kasyaf seorang sufi mungkin hanya sampai kepada daerah takdir yang mungkin berubah, tidak sampai kepada daerah takdir yang tetap. Oleh yang demikian apa yang disaksikannya mungkin berlaku dan mungkin juga tidak berlaku.
Perlu juga diketahui bahwa seseorang sufi melalui peningkatan kerohanian secara sedikit demi sedikit, bukan sekaligus. Suasana kerohanian atau makam mempengaruhi pemahaman dan pegangan sufi. Seorang sufi bisa mengeluarkan beberapa pendapat yang berbeda mengenai perkara yang sama. Pendapatnya di awal perjalanan, pertengahan dan di akhir perjalanan mungkin bertentangan di antara satu sama lain. Pendapatnya yang paling benar adalah pendapat yang diberikannya setelah dia kembali kepada kesadaran sepenuhnya dan berkamil dengan syariat sepenuhnya.
Sufi yang masih di dalam perjalanan menemui beberapa pemahaman yang bercanggah dengan prinsip syariat. Di antara yang demikian adalah konsep tauhid af’al, tauhid sifat dan tauhid wujud. Konsep tauhid yang demikian membawa Tuhan ke dalam perbatasan alam dan mengadakan persamaan di antara Tuhan dengan makhluk. Sufi yang sedang dikuasai oleh suasana kerohanian yang demikian menafikan perbuatan dirinya, sifatnya dan wujudnya. Semuanya diisbatkan kepada Allah s.w.t. Muncullah ungkapan separti: “Tiada yang berbuat melainkan Allah. Tiada yang hidup melainkan Allah. Tiada yang maujud melainkan Allah” dan lain-lain ungkapan yang seumpamanya. Ungkapan yang paling popular dikaitkan dengan kesufian adalah: “Ana al-Haq!” Ada golongan yang beranggapan kononnya sufi yang belum mengucapkan “Ana al-Haq” belum lagi mencapai makam yang paling tinggi. Golongan sufi ikutan menggunakan ungkapan yang demikian bagi memukau kesadaran diri sendiri dengan cara mengulangi ucapannya sebanyak mungkin dan menghayati maknanya sehingga terpahat kepercayaan yang demikian dalam jiwa mereka. Golongan yang mengikut secara membuta tuli inilah yang menyebarkan kesesatan, berselindung di sebalik perkataan sufi yang sedang mabuk.
Manusia yang masih ada keupayaan untuk membuat pilihan, berfikir dan merasa, mestilah faham keadaan sufi yang fitrah mereka menerima kejutan alam ghaib sehingga keupayaannya untuk membuat pilihan, berfikir dan merasa hilang. Sufi yang demikian dikatakan berada di dalam jazbah. Orang yang berada dalam jazbah adalah umpama orang yang keluar ke laut menaiki perahu kecil. Bila dipukul gelombang dia menjadi mabuk dan meracau. Setelah dia sampai ke tengah laut, ombak sudah tenang, mabuknya berkurangan dan akhirnya dia kembali normal. Bila dia sudah sedar dia tidak meracau lagi. Pengalaman jazbah berguna kepada sufi berkenaan karena pengalaman yang demikian menanggalkan sifat-sifat yang keji dari hatinya dan sifat ikhlas menjadi sebati dengannya. Pengalaman jazbah itu juga berguna kepada guru yang menjadi pembimbing karena dengannya guru dapat mengetahui suasana dan stesen kerohanian muridnya. Ia juga menjadi tanda bahwa murid berkenaan mempunyai harapan untuk menjadi cemerlang kesudahannya. Guru yang arif akan membimbing muridnya supaya melepasi peringkat-peringkat zauk sehingga sampai kepada penghujung jalan yang tenang dan damai. Murid yang sudah melepasi peringkat jazbah dan kembali kepada kesadaran kemanusiaan biasa akan menyedari akan kekeliruan yang muncul dalam pemahamannya sepanjang perjalanannya. Dia bertaubat daripada pegangan yang lalu. Kini dia menyaksikan satu kebenaran saja yaitu kebenaran kehambaan kepada Allah s.w.t. Manusia dan jin diciptakan untuk mengabdikan diri kepada-Nya, bukan untuk bersatu dengan perbuatan, sifat atau wujud-Nya.
Pemahaman yang keluar dari ilham dan kasyaf sufi sekiranya menyalahi syariat wajiblah ditolak. Jika orang yang mengetahui tentangnya ada kebisaan, ucapan latah sufi haruslah diterjemahkan menurut stesen kerohanian sufi berkenaan dan penjelasan harus diberi kepada orang banyak agar latah sufi tidak disalahartikan. Sufi yang mengeluarkan ucapan latah ketika dalam jazbah haruslah dimaafkan, walaupun ucapannya menyalahi syariat. Harus diingat bahwa sufi tidak terlepas sepenuhnya daripada suasana mabuk sebelum dia sampai kepada makam siddiqiyat. Semua makam di bawah daripada makam siddiqiyat tidak terlepas daripada pengaruh mabuk sedikit atau banyak. Kesimpulannya pendapat sufi yang bertentangan dengan syariat wajib ditolak tetapi peribadi sufi itu sendiri tidak bisa dikutuk karena dia dikuasai oleh mabuk.
14: PEMAHAMAN DAN PEGANGAN YANG BENAR
________________________________________
Manusia yang berada di atas jalan yang benar ada dua golongan. Golongan pertama adalah ahli fikih yang berjiwa tasauf dan keduanya adalah ahli tasauf yang berjalan di atas landasan fikih. Berpegang kepada salah satu di antara fikih dan tasauf bermakna berpegang kepada separuh daripada kebenaran. Berpegang kepada fikih semata-mata dengan menolak tasauf bermakna mengambil bagia zahir syariat saja. Berpegang kepada tasauf dengan membuang fikih bermakna mengambil batin syariat saja. Berpegang kepada zahir syariat tanpa batinnya dibisakan dan sudah memadai untuk diiktiraf sebagai orang Islam tetapi pegangan yang demikian tidak sempurna. Berpegang kepada batin syariat saja tanpa zahirnya adalah tidak mungkin, kecuali mereka yang sedang dikuasai oleh jazbah. Mereka yang demikian dimaafkan. Kesempurnaan syariat adalah gabungan zahir dan batinnya.
Istilah syariat hendaklah diberi definasi yang lengkap dan benar. Syariat mengandungi tarekat, hakikat dan makrifat. tarekat, hakikat dan makrifat bukanlah sesuatu yang di luar syariat atau lain daripada syariat. Tindakan mengasingkan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat menjadi jalan menjalarnya kekeliruan dalam masyarakat. Kaum Muslimin haruslah sedar bahwa tarekat adalah satu bagian daripada syariat. Demikian juga hakikat dan makrifat. Syariat adalah umpama air yang mengalir dan menghidupkan tarekat, hakikat dan makrifat. Tarekat, hakikat dan makrifat yang tidak dibasahi oleh air syariat adalah umpama pokok yang ditanam di atas batu, tidak ada air menghidupkannya. Syariat adalah umpama nyawa yang memberi kehidupan kepada tarekat, hakikat dan makrifat.
Syariat mengajarkan akidah dan peraturan yang benar. Rasulullah s.a.w menolak ketuhanan Isa al-Masih, Uzair dan patung-patung karena ia bertentangan dengan akidah yang diajarkan oleh syariat. Rasulullah s.a.w menolak keislaman golongan Taqif yang meminta dikecualikan daripada mengerjakan sholat karena ia menyalahi peraturan syariat. Abu Bakar as-Siddik memerangi Musailamah bin Hatib yang mendakwa menjadi nabi karena dakwaan demikian menyalahi akidah yang diajarkan oleh syariat. Abu Bakar as-Siddik juga memerangi kaum Muslimin yang enggan mengeluarkan zakat selepas Rasulullah s.a.w wafat, karena perbuatan demikian menyalahi peraturan syariat. Tentera Islam berperang, membunuh dan dibunuh karena menyebarkan syariat. Sekali lagi diperingatkan maksud syariat adalah syariat zahir dan syariat batin, meliputi perkara-perkara separti Islam, iman, perbuatan tubuh badan dan amalan hati. Al-Quran mengajarkan supaya beriman dan beramal salih, jangan dipisahkan keduanya. Tidak ada amal salih tanpa iman. Tidak berdiri iman tanpa amal salih.
Rasulullah s.a.w memiliki dua jenis ilmu. Pertama adalah ilmu yang mengenai hukum hakam dan peraturan, dinamakan ilmu ahkam. Kedua adalah ilmu mengenai perkara ghaib, rahsia dan misteri, dinamakan ilmu asrar. Ilmu ahkam biasanya dipanggil ilmu fikih dan ilmu asrar dipanggil ilmu tasauf. Istilah ilmu fikih dan ilmu tasauf digunakan selepas zaman Rasulullah s.a.w. Pada zaman baginda s.a.w yang dikenali hanya satu ilmu saja yaitu ilmu al-Quran. Dalam ilmu al-Quran ada bagian fikih yaitu peraturan dan hukum dan ada bagian tasauf yaitu perkara ghaib dan kerohanian. Rasulullah s.a.w menyampaikan kedua-dua jenis ilmu tersebut kepada sahabat baginda s.a.w secara bersama, bukan terpisah. Para sahabat pula memperturunkannya kepada generasi yang datang kemudian. Ulama yang menerima kedua-dua jenis ilmu tersebut dinamakan pewaris nabi. Memiliki satu aspek saja tidak dinamakan pewaris. Ulama yang mengambil bagian hukum dan peraturan saja dinamakan ulama zahir, masih jauh lagi untuk bergelar ulama syariat. Ulama yang mengambil bagian zahir dan batin itulah yang benar-benar menjadi ulama syariat, pewaris nabi.
Sebagian orang menyangka ilmu tentang Kebenaran Hakiki yaitu ilmu asrar bermaksud ilmu mengenai wahdatul wujud, kesempurnaan Yang Satu dalam yang banyak dan yang banyak dalam Yang Satu, fana, bersatu dengan Tuhan dan baqa bersama Tuhan. Pemahaman yang demikian adalah tidak benar. Doktrin wahdatul wujud dan yang seumpama dengannya masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. wahdatul wujud adalah hasil daripada kefanaan dan mabuk. Rasulullah s.a.w tidak memasuki suasana fana dan mabuk. Ilmu yang baginda s.a.w bawa adalah ilmu yang muncul dalam kesadaran bukan kelupaan. Ilmu kenabian adalah umpama lautan yang luas. Ilmu kewalian sufi yang kefanaan adalah umpama satu titik air, tetapi bagi orang yang tercampak di padang pasir satu titik air sangat memberi arti kepadanya.
Ada orang menyangka kefanaan lebih tinggi daripada kesadaran. Mungkin mereka memandang kepada kesadaran orang awam. Jika mereka melihat kepada kewalian yang telah sempurna di atas jalan kenabian tentu mereka dapat melihat bahwa Kebenaran Hakiki muncul dalam kesadaran, bukan dalam kefanaan. Kewalian yang sempurna bukanlah yang fana terus menerus tetapi adalah yang kembali kepada kesadaran biasa dan meneruskan perjuangan Rasulullah s.a.w. Ketika di dunia ini berbakti kepada Tuhan lebih utama daripada fana dalam-Nya. Ahli makrifat yang sempurna adalah yang makrifatnya dihidupkan oleh air syariat dan mereka melibatkan diri di dalam kegiatan masyarakat sehingga ke akhir hayat mereka. Golongan ini tidak mendakwa melihat Tuhan dalam dunia. Mereka mengakui bahwa melihat Tuhan hanya mungkin di akhirat. Mereka melihat maut sebagai jambatan buat mereka sampai kepada Kekasih mereka.
Rasulullah s.a.w dan para sahabat beriman kepada perkara ghaib separti beriman kepada Allah s.w.t dan sifat-sifat-Nya berdasarkan kenyataan yang dibawa oleh al-Quran. Wali-wali Allah yang sempurna juga beriman menurut iman Rasulullah s.a.w dan para sahabat. Bilangan wali-wali yang sampai kepada peringkat ini setelah melepasi kewalian sufi adalah sedikit. Selain mereka, ulama dan orang-orang Islam yang awam juga beriman cara demikian. Iman pada kewalian sufi pula bersumberkan kepada penyaksian, dinamakan iman syuhudi. Sufi yang beriman secara syuhudi mungkin bercampur dengan orang banyak dan mungkin juga tinggal sendirian. Walaupun sufi jenis ini bercampur dengan orang banyak tetapi tidak secara keseluruhan dirinya. batinnya atau hatinya masih memandang ke atas, mencari-cari atau menanti-nanti. Lahirnya sibuk dengan manusia tetapi batinnya karam dengan Tuhan. Keadaan sufi yang demikian berbeda dengan keadaan Rasulullah s.a.w. Baginda s.a.w berhadap kepada makhluk secara keseluruhan, terlibat jiwa dan raga dalam berdakwah mengajak manusia kepada jalan Allah s.w.t. Sufi yang masih memandang atau mencari-cari ke atas menunjukkan dia belum bebas sepenuhnya daripada pengaruh kefanaan dan mabuk dan dia belum mencapai matlamat, sekalipun dia sudah bisa bergaul dengan orang banyak. Sufi yang sudah sampai ke penghujung perjalanannya menetap dalam kehidupan harian secara menyeluruh, berhadap kepada kehidupan dunia secara keseluruhan jiwa raga, tanpa mencari-cari ‘yang di atas’ atau mencungkil semula pengalaman yang telah dilalui dalam kewalian sufi dahulu.
Ketika sufi dalam proses menaik yang banyak hilang lenyap, hinggakan asma’ dan sifat juga hilang daripada alam kesadarannya, tidak ada yang disaksikan melainkan Wujud Mutlak. Tuhan kurniakan kepada sufi itu apa yang Dia kehendaki, sesuai dengan amanah dan tugas yang akan ditanggungnya kelak. Dalam proses menurun pula sufi kembali sepenuhnya kepada kesadaran biasa yang padanya ada perhatian kepada yang banyak. Dalam keadaan kesadaran semula itu tidak ada yang menarik minatnya kecuali hidup sebagai Muslim biasa. Mereka hanya menjalankan perintah Tuhan dan mengajak manusia kepada jalan Tuhan. Setelah mereka menyelesaikan tugas dakwah dan hampir kembali ke Hadrat Ilahi, mereka beralih daripada iman tanpa penyaksian kepada iman secara penyaksian (iman syuhudi).
Jangan menganggap kembali kepada kehidupan dunia sebagai kecacatan atau ditolak daripada majlis Tuhan. Jangan menyangka fana dalam Tuhan lebih baik daripada berkhidmat kepada makhluk Tuhan. Sufi yang kembali kepada dunia bukan dengan kehendaknya sendiri. Mereka turun dari kesadaran ‘alam tinggi’, keluar daripada suasana penyatuan kepada suasana perpisahan adalah dengan perintah Allah s.w.t. Sufi yang kembali kepada dunia tunduk kepada kehendak Allah s.w.t dengan melepaskan kehendak diri sendiri. Golongan sufi yang kembali kepada kehidupan dunia itu bergabung dengan golongan ulama, sama-sama bekerja menyebarkan agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w yaitu yang menggabungkan zahir dan batin syariat. Dakwah adalah pekerjaan yang paling mulia. Dakwat ulama ditimbang dengan darah syuhada dan lebih berat.
Dalam apa juga keadaan para sahabat Rasulullah s.a.w adalah contoh teladan terbaik untuk semua zaman. Kelebihan para sahabat sabagai generasi Muslim yang pertama tidak bisa ditandingi oleh generasi yang datang kemudian. Generasi pertama melebihi yang lain karena mereka memiliki iman yang dilahirkan oleh hubungan secara langsung dengan Rasulullah s.a.w. Iman yang lahir daripada penyampaian secara langsung oleh baginda s.a.w lebih berkesan dan utama daripada iman yang lahir daripada cara-cara lain. Para sahabat tidak melalui fana dan jazbah, tidak ada bersatu dengan Tuhan dan baqa bersama-Nya. Mereka tidak menerima tajalli atau penzahiran Tuhan. Kelebihan mereka terletak pada takwa bukan pada kasyaf, tajalli, zauk dan mabuk. Kelebihan mereka adalah karena mereka mempraktikkan Sunah Rasulullah s.a.w, berperang bersama-sama baginda s.a.w dan menanggung berbagai-bagai kesusahan demi agama Allah s.w.t. Mereka mendapat Kebenaran Hakiki dalam kesadaran, melalui bimbingan wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w.
Tarekat sufi hendaklah dijadikan jalan untuk mencapai tahap yang diperolehi oleh para sahabat Rasulullah s.a.w, bukan untuk menyingkap misteri alam dan kehidupan atau untuk memperolehi tajalli. Matlamat sufi mestilah mencari kepemahaman yang jelas dan keyakinan yang teguh kepada risalat yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. Kebenaran yang dibawa oleh Rasul Allah adalah jelas dan muktamad, tidak bisa dijabar oleh ahli falsafah atau pun ahli sufi. Fikiran, ilham dan kasyaf bukanlah alat untuk mengadakan kebenaran yang kain daripada kebenaran yang telah dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunah.
Risalat yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w memperakui kewujudan benda-benda alam yang memiliki sifat-sifat dan keupayaan, bisa bergerak dan bartindak. Tuhan menciptakan makhluk dan dalam penciptaan makhluk itu Tuhan telah meletakkan keupayaan melakukan perbuatan. Perbuatan makhluk adalah ciptaan Tuhan bukan perbuatan Tuhan. Makhluk menggunakan bakat dan keupayaan yang Tuhan bekalkan kepada mereka bukan makhluk menggunakan perbuatan Tuhan untuk melakukan perbuatan. Perbuatan Tuhan tidak bersamaan dengan perbuatan makhluk. Tuhan menciptakan makhluk dan sifat-sifat mereka tetapi Tuhan bukanlah alat kepada sifat-sifat tersebut. Tuhan yang menciptakan perbuatan tetapi bukanlah Tuhan yang bergerak dalam pancaindera makhluk untuk melahirkan perbuatan.
Tauhid af’al, tauhid asma’, tauhid sifat dan tauhid zat bukanlah ajaran yang terdapat dalam risalat yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w tetapi ia adalah pengalaman kerohanian yang berlaku dalam kewalian sufi. Pengalaman yang demikian hanya untuk sufi yang mengalaminya sementara orang banyak wajib berpegang kepada risalat Rasulullah s.a.w. Orang banyak yang sengaja berpegang kepada pemahaman sufi yang dalam mabuk, yang menyalahi syariat, hukumnya adalah kufur. Orang sengaja menyengutukan perbuatannya dan dirinya dengan perbuatan Tuhan dan Zat Tuhan sama keadaannya dengan orang Nasrani yang menyengutukan al-Masih dengan Tuhan. Al-Quran mengecam perbuatan kaum Nasrani itu dan perbuatan demikian dikira sebagai perbuatan kaum musyrikin.
Risalat Rasulullah s.a.w memperakui kewujudan fitrah manusia. Dalam fitrah itu ada nilai-nilai baik dan buruk, cantik dan hodoh, sempurna dan cacat dan lain-lain. Tuhan kurniakan kepada seseorang manusia itu kediriannya sendiri untuk wujud sebagai satu individu, tidak perlu berebut pada satu kewujudan separti Adam atau Muhammad. Tuhan ciptakan untuk manusia keupayaan memilih, fikiran, tindakan dan perasaan. Tuhan adalah Pencipta bukan yang dikuasai oleh ciptaan-Nya. Kepercayaan manusia bukan kepercayaan Tuhan. Perasaan manusia bukan perasaan Tuhan. Tindakan manusia bukan tindakan Tuhan. Tuhan tidak dikongkong oleh kepercayaan, perasaan dan tindakan manusia. Manusia yang merasai bagia dan manusia juga yang merasai kecelakaan. Tidak ada jalan buat manusia untuk mempersekutukan apa yang ada dengannya dengan Tuhan.
Risalat Rasulullah s.a.w memperakui ada kepercayaan yang benar dan ada kepercayaan yang salah. Risalat membedakan yang baik dengan yang jahat, yang benar dengan yang batal. Risalat dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab ke atas perbuatannya, kepercayaanya dan sikapnya. Tuhan akan mengadili manusia dan akan memberi balasan kepada yang baik dan menghukum yang jahat. Risalat menolak pemahaman sebagian manusia yang meletakkan kesalahan kepada Tuhan.
Rasulullah s.a.w mengajarkan bahwa manusia adalah hamba Tuhan. Tuhan ciptakan manusia supaya mereka berbakti kepada-Nya. Kehambaan atau ubudiah merupakan puncakk perjalanan suluk orang sufi. Kehambaan yang sempurna adalah yang berbakti kepada Allah s.w.t dengan sepenuh jiwa raga, beriman kepada firman-Nya dengan disertai oleh kepatuhan dan ketaatan, menerima peraturan syarak, berdakwah ke jalan-Nya dan menegakkan kerajaan-Nya di bumi. Setiap Muslim, termasuklah wali Allah, mesti menjadikan Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w sebagai contoh tauladan. Semakin hampir dengan Sunah baginda s.a.w semakin benar dan baiklah seseorang Muslim itu. Tidak ada wali yang bebas daripada Sunah Rasulullah s.a.w atau yang bisa menyamai baginda s.a.w. Apa juga kelebihan dan kemuliaan yang diperolehi oleh seseorang wali adalah karena syafaat baginda s.a.w dan karena mengikuti Sunah baginda s.a.w.
Jalan sufi pada satu seginya menyamai jalan kenabian. Sufi melakukan amalan sholat, puasa, membaca al-Quran, berdoa dan berzikir. Amalan yang demikian diambil dari al-Quran dan as-Sunah. Ia kemudian disusun bagi memudahkan pengikut satu-satu tarekat itu mengamalkannya bagi mendapatkan kesan yang maksima daripada amalan tersebut. Selain daripada amalan yang bersesuaian dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah, terdapat juga bagian yang benar-benar baru, tidak kedapatan pada jalan kenabian. Bagian tersebut adalah yang mengandungi fana, baqa, bersatu dengan Tuhan dan latihan kerohanian yang melahirkan pengalaman tersebut. Bagian utama jalan kesufian adalah zikir dan tafakur. Bagian yang paling menonjol adalah pengalaman fana dan baqa. Bagian yang ada urusan dakwah, jihad dan berbakti kepada orang banyak diberi perhatian yang sedikit saja.
Perbedaan yang paling ketara di antara jalan kesufian dengan jalan kenabian adalah pada jalan kesufian terdapat dua keadaan yang terpisah. Pada peringkat pertama sufi membenamkan diri mereka ke dalam Tuhan, mengalami fana dan bersatu. Kemudian sufi mengalami perpisahan dan baqa. Seterusnya sufi kembali kepada kesadaran normal dan kepada dunia untuk berkhidmat kepada orang banyak. Peringkat naik kepada Tuhan dan turun kepada dunia merupakan dua peringkat yang berbeda dalam perjalanan sufi. Pada jalan kenabian pula tidak ada fana dan baqa, tidak ada naik dan turun. Hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia bukanlah dua peringkat yang terpisah pada jalan kenabian. Kedua-dua peringkat tersebut tidak datang secara berasingan. Wali pada jalan kenabian tidak hilang perhatian kepada makhluk ketika sangat hampir dengan Tuhan dan tidak membelakangi Tuhan ketika melayani makhluk. Pada jalan kenabian berkhidmat kepada sesama makhluk merupakan ketaatan kepada Allah s.w.t, didorong oleh rasa kasih dan ingat kepada-Nya. Pada jalan kenabian makhluk tidak menghijab Tuhan dan kehadiran Tuhan dalam ingatan tidak melenyapkan makhluk.
Seseorang yang mau memasuki aliran tarekat perlulah mengetahui persamaan dan perbedaan di antara jalan kenabian dan jalan kesufian. Pengetahuan tersebut bisa membantunya untuk memilih amalan yang bersumberkan al-Quran dan as-Sunah dan menolak ajaran yang bercanggah dengan ajaran Rasulullah s.a.w. Memelihara Sunah Rasulullah s.a.w bisa mengelakkan ahli suluk daripada terperangkap di dalam pusaran wahdatul wujud. Wahdatul wujud bukanlah syarat bagi menyempurnakan perjalanan kesufian separti memperolehi fana dan baqa. wahdatul syuhud (menyaksikan satu wujud) sudah memadai untuk melalui peringkat tersebut. wahdatul syuhud yang dialami dengan disertai oleh keyakinan kepada ajaran Rasulullah s.a.w akan membawa seseorang melepasi penyaksian, suara, gambaran, cahaya, warna dan rupa-bentuk misal yang ditemui dalam perjalanan. Keyakinan kepada ajaran Rasulullah s.a.w bahwa Allah s.w.t tidak menyamai sesuatu menjadi tenaga yang kuat menarik ahli suluk keluar daripada medan wahdatul wujud.
Tidak semua sufi terlibat dengan mabuk dan hilang kesadaran. Ada sufi yang melalui jalan yang mengeluarkan pengalaman yang bersesuaian dengan al-Quran dan as-Sunah, tidak ada padanya mabuk, hilang kesadaran dan bercakap menyalahi syariat. Di antara sufi yang termasuk di dalam golongan ini adalah Ibrahim Adham, Abdul Kadir Jailani dan Junaid al-Baghdadi. Ada juga golongan sufi yang memasuki pengalaman mabuk, fana, hilang kesadaran dan mengeluarkan ucapan latah, tetapi apabila mereka kembali sedar mereka mengakui kesilapan pada kelakuan mereka. Bila tidak dikuasai oleh jazbah mereka berpegang teguh kepada Sunah Rasulullah s.a.w. Di antara sufi yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Abu Yazid, an-Nuri dan Syibli. Sufi golongan ke tiga pula berpegang kepada pemahaman yang terang-terang bercanggah dengan prinsip Islam. Di antara mereka adalah Abu Mukur al-Hallaj dan Ibnu Arabi. Sufi kumpulan pertama dipelihara sehingga air syariat yang mereka bawa tidak berubah warna, malah pada setiap peningkatan kerohanian air tersebut menjadi semakin jernih. Apabila mereka meninggalkan kewalian cara sufi dan masuk kepada kewalian cara kenabian, air syariat mereka sudah menjadi sangat jernih dan murni. Sufi kumpulan ke dua pula air syariat mereka berubah warna pada satu peringkat, seumpama tuak menjadi masam dan mereka mengalami mabuk, tetapi dengan rahmat Allah s.w.t mereka dibawa melepasi peringkat mabuk itu dan kembali kepada kesadaran semula. Sufi kumpulan ke tiga hidup terus menerus di dalam mabuk. Walaupun air syariat mereka sudah berubah warna namun, zat air yang asli masih ada dengan mereka. Oleh itu mereka tetap mengerjakan sholat dan beristighfar.
Orang jahil yang mencoba-mencoba menjadi sufi ikutan mudah keliru dengan suasana sufi kumpulan ke tiga. Al-Hallaj yang selalu mengucapkan: “Ana al-Haq” kuat mengerjakan sholat dan beristighfar. Apa perlunya sholat dan istighfar kepada orang yang mengaku menjadi Tuhan? Bermacam-macam tafsiran diberikan mengenainya. Orang jahat menjadikannya hujah untuk menyebarkan kekufuran. Ada yang mengatakan bahwa ahli makrifat mengerjakan syariat bukan untuk dirinya sendiri tetapi hanyalah untuk memberi pengajaran kepada orang lain yang belum bermakrifat.
Ulama syariat (zahir dan batin) mengarti apa yang menguasai hati al-Hallaj, Ibnu Arabi dan sufi lain yang separti mereka. Mereka adalah umpama pemuda yang sedang dilamun cinta. Darah muda yang diresapi oleh arak cinta membuat mereka mabuk dan hilang partimbangan. Yang kelihatan kepada mereka hanyalah yang dicintai, yang lain tidak kelihatan lagi. Tetapi setiap kali mendatangi Kekasih, mereka diperingatkan oleh Kekasih mereka : “Cintailah apa yang Aku cinta demi cintamu kepada-Ku!” Si pencinta memperhambakan diri kepada Kekasihnya dan berkhidmat kepada yang dikasihi oleh Kekasihnya. Si pencinta sering memohon kemaafan kepada Kekasihnya karena dia melihat kekurangan pada apa yang dipersembahkan untuk Kekasihnya. Sufi-asyikin bermunajat: “Wahai Kekasih. Aku larut dalam CintaMu. Air CintaMu memenuhi setiap zarah wujudku. Zarah-zarah yang hidup dengan air CintaMu hanya mendapat kepuasan dalam salat demi mengingatiMu namun, apabila hendak dipersembahkan kepadaMu tidak ada satu pun layak dipersembahkan, sekalipun mengalir darah dari mataku dalam mengerjakannya. Maaf, wahai Kekasih. Maaf sebanyak keampunanMu mendinding kemurkaanMu”. Sufi golongan ini perlu disimpati. Seberat-berat ujian bala bencana berat lagi kerinduan kepada Tuhan yang menguasai hati para pencinta-Nya. Sebagai rahmat dari-Nya sebagian beban tersebut terangkat melalui salat.
Sebagian sufi meletakkan segala perkara kepada takdir semata-mata. Tuhan yang memiliki kekuasaan Mutlak. Dia menguasai dan mengadakan peraturan untuk semua makhluk-Nya. Tuhan telah mengadakan ketentuan awal yang mengikat segala sesuatu. Oleh yang demikian sufi tersebut enggan memanggil sesuatu itu baik atau buruk separti yang dinyatakan oleh syariat. Mereka tenggelam di dalam Qadar Tuhan sehingga tidak ada ruang untuk amr-Nya (peraturan-Nya). Mereka asyik menyaksikan Rububiah sehingga tidak berusaha melakukan tanggungjawab terhadap Uluhiyah-Nya. Kebanyakan mereka tidak melihat ruang untuk berdoa, berdakwah dan berjihad. Mereka percaya segala perkara perlu diserahkan bulat-bulat kepada Tuhan dan mereka perlu menerima apa saja yang sampai kepada mereka. Mereka tidak perlu mencari kebaikan dan menghindarkan keburukan. Mereka enggan memperbaiki kerosakan dan menentang kejahatan dan kezaliman.
Syeikh Abdul Qadir Jailani merupakan salah seorang sufi yang tidak jatuh ke dalam pemahaman yang disebutkan di atas. Syeikh Abdul Qadir memperakui bahwa manusia bisa masuk ke dalam salah satu daripada dua golongan yaitu golongan yang berada di dalam kedamaian, keamanan dan kebagiaan dalam melakukan ketaatan kepada Tuhan dan golongan ke dua adalah yang berada dalam keadaan tidak selamat, keraguan, keresahan dan kekacauan dalam keengkaran mereka kepada Tuhan dan peraturan-Nya. Kedua-dua nilai yaitu ketaatan dan keengkaran ada dalam diri manusia, dalam takdir yang Tuhan pertaruhkan pada manusia. Tuhan meletakkan di dalam takdir manusia itu sesuatu yang unik, yaitu keupayaan atau bakat untuk membuat pilihan. Memilih untuk berbuat taat atau berbuat maksiat merupakan bakat asasi manusia yang dkurniakan oleh Tuhan. Ia merupakan takdir yang Tuhan tentukan sejak azali dan ia juga termasuk dalam perkara Qada dan Qadar. Bakat memilih itulah yang melahirkan usaha, perasaan, fikiran, partimbangan dan tindakan. Semua itu adalah sifat atau bakat fitrah manusia. Kebisaan manusia membuat pilihan tidak sedikit pun menjabar kehendak Tuhan karena memang kehendak Tuhan menjadikan manusia berkeupayaan membuat pilihan, tetapi Tuhan yang memegang kemutlakan. Dia berkuasa menggunakan Kuasa Mutlak-Nya menurut kehendak-Nya tanpa terikat dengan bakat manusia.
Jika manusia memilih jalan yang menjadikan kesucian, kebaikan dan keikhlasan lebih menguasai maka sifat-sifat mementingkan diri akan bertukar menjadi suasana kerohanian dan bagian diri yang engkar akan dikalahkan oleh bagian diri yang baik. Jika manusia memilih untuk mengikut hawa nafsunya yang rendah dan kesenangan ego dirinya, sifat-sifat engkar akan menguasai bagian diri yang satu lagi untuk menjadikannya engkar dan jahat. Orang yang berjaya mengubah sifat mementingkan diri dan hawa nafsu yang rendah kepada cita-cita kerohanian, baginya tidak ada hisab. Dia akan memasuki syurga tanpa melalui huru-hara hari kiamat. Orang yang menyedari kesalahannya dan bertaubat akan mengubah haluannya akan mendapati suasana engkar akan bertukar menjadi taat dan beribadat. Semoga mereka mendapat keampunan Allah s.w.t dan diselamatkan ketika menghadapi maut dan hisab.
Haruslah difahami bahwa Qada dan Qadar adalah urusan Tuhan yang berkedudukan sama separti urusan-urusan Tuhan yang lain, yang manusia tidak diberi ilmu mengenainya melainkan sangat sedikit. Qada dan Qadar Tuhan, Kalam Tuhan, rahmat Tuhan, sifat Tuhan, nama Tuhan, murka Tuhan dan apa saja yang mengenai Tuhan adalah ketuhanan yang sedikit sangat ilmu manusia mengenainya. Qada dan Qadar bukanlah perkara yang mampu diolah oleh akal manusia. Jika perkara tersebut diperbahaskan berlarutan ia akan membawa kepada kekufuran dan bidaah. Tidak ada siapapun yang bisa menjadikan takdir untuk berbuat jahat. Iblis telah meletakkan kesalahan kepada takdir lalu dia menjadi durhaka, kafir dan dilaknati oleh Tuhan, dibuang jauh daripada keampunan-Nya dan ditutup jalan untuk kembali kepada-Nya. Adam a.s mengakui kesalahan dirinya, tidak menyalahkan takdir, dan memohon keampunan dari Tuhan. Tuhan mengampunkan Adam as. Dan menyelamatkannya. Percaya kepada takdir secara yang ditunjukkan oleh Adam a.s adalah benar beriman kepada Qada dan Qadar. Percaya kepada takdir separti yang telah ditunjukkan oleh iblis bukanlah beriman kepada Qada dan Qadar yang disuruh oleh Tuhan. Kaum Muslimin berkewajiban menjaga batas akal agar tidak berpanjangan mencari kunci teka-teki Qada dan Qadar, separtimana mereka tidak bisa menghujah kenyataan : “ Allah tidak serupa dengan sesuatu”. Memang benar Tuhan telah mengadakan ketentuan sejak azali, tetapi ia bukan separti yang kita fikirkan, sangkakan, khayalkan dan angankan. Apa saja yang pada sisi Tuhan tetap tidak serupa dengan apa yang terlintas pada fikiran, khayalan, angan-angan dan perasaan manusia. Sebab itulah iman yang paling tinggi adalah iman siddiqin, iman tanpa hujah tanpa takwil.
15: KONSEP KETUHANAN
________________________________________
Allah s.w.t berfirman:
Dialah yang menciptakan langit dan bumi; Ia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan menjadikan dari jenis binatang-binatang ternak pasangan-pasangan (bagi binatang-binatang itu); dengan jalan yang demikian dikembangkan-Nya (zuriat keturunan) kamu semua. Tiada sesuatupun yang sebanding dengan (Zat-Nya, sifat-sifat-Nya dan pentadbiran)-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (Ayat 11 : Surah asy-Syura)
Akuilah kesucian Tuhanmu, - Tuhan yang mempunyai keagungan dan kekuasaan, - dari apa yang mereka katakan! ( Ayat 180 : Surah as-Saaffaat )
Sesungguhnya orang-orang yang menegaskan keyakinannya dengan berkata: “Tuhan kami adalah Allah!” kemudian mereka tetap teguh di atas jalan yang betul akan turunlah malaikat kepada mereka dari semasa ke semasa (dengan memberi ilham): “Janganlah kamu bimbang (dari berlakunya kejadian yang tidak baik terhadap kamu) dan janganlah kamu berdukacita, dan terimalah berita gembira bahwa kamu akan beroleh syurga yang telah dijanjikan kepada kamu. ( Ayat 30 : Surah Fussilat )
Allah s.w.t tidak menyerupai sesuatu, baik yang nyata maupun yang ghaib ataupun yang tersembunyi, sama ada yang muncul dalam fikiran atau khayalan atau perasaan. Dia melampaui apa juga sifat yang disifatkan kepada-Nya. Dia melampaui bahasa apa juga yang digunakan untuk menceritakan mengenai-Nya. Manusia dituntut agar beriman kepada-Nya. Cukuplah dengan beriman bahwa Allah s.w.t adalah Tuhan dan teguhkan iman tersebut tanpa membongkar Rahsia Diri-Nya, karena tidak ada jalan untuk meruntuhkan benteng keperkasaan-Nya yang menghalang apa saja daripada berdampingan dan bersekutu dengan-Nya. Dia adalah Esa. Ilmu, khayalan, perasaan, cita-cita dan apa saja tidak mungkin masuk ke dalam majlis-Nya untuk mengubah keesaan-Nya. Paling tinggi pengenalan tentang Diri-Nya adalah:
Katakanlah: “Dia adalah Allah, Maha Esa. Allah adalah pergantungan. Tidak Dia beranak dan tidak Dia diperanakkan. Dan tidak ada bagi-Nya setara sesuatu jua pun”. ( Ayat 1 – 4 : Surah al-Ikhlas )
Allah s.w.t tidak termasuk di dalam proses beranak dan diperanakkan. Proses beranak dan diperanakkan bukan sekadar kelahiran bayi dari ibunya, malah ia juga termasuk pertumbuhan pokok dari benihnya, perubahan sifat separti daripada air kepada wap, pemecahan daripada satu kepada lebih daripada satu, pengeluaran cahaya dan bunyi daripada diri, pengeluaran bau, warna, peluh atau sebagainya dan apa saja proses yang ada sumber dan ada hasilnya. Allah s.w.t tidak dikurung oleh semua proses tersebut.
Dia adalah Allah, Maha Esa. Dia adalah Maha Suci, Maha Tinggi dan Maha Besar daripada apa yang difikirkan, digambarkan, dikhayalkan, diibaratkan, ditekakan, dirasakan dan disifatkan. Bila Dia mengatakan yang Dia Melihat dan Mendengar maka Melihat dan Mendengar-Nya tidak serupa dengan melihat dan mendengar yang tergambar dalam fikiran dan perasaan manusia. Walaupun dibentangkan 20 Sifat-sifat yang dikatakan sebagai Sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, tetapi sifat-sifat tersebut bukanlah sifat-Nya Yang Hakiki. Dia tidak tertakluk kepada sempadan wajib, mungkin dan mustahil. Wajib, mungkin dan mustahil adalah sempadan dalam ilmu. Sifat-sifat yang 20 itu muncul apabila ilmu mencoba untuk memperkenalkan-Nya. Perkenalan melalui ilmu itu hanyalah sekadar untuk menafikan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya bukan untuk menyatakan sifat-Nya Yang Hakiki. Dia lebih suci, lebih mulia dan lebih agung daripada apa yang dikatakan oleh ilmu dan daripada apa yang diperkenalkan oleh makrifat. Tidak ada ilmu dan tidak ada makrifat yang berkongsi kedudukan dengan keesaan-Nya. Maha Esa bermaksud tidak ada ilmu dan tidak ada makrifat yang mengetahui dan mengenali-Nya. Akal bukanlah alat untuk mengetahuinya dan hati juga bukanlah alat untuk mengenali-Nya Yang Hakiki. Akal dan hati adalah alat untuk beriman kepada-Nya dan mentaati-Nya. Bila akal dan hati sudah tunduk dengan segala kelemahan dan kerendahan, lalu menyerah kepada-Nya barulah akal dan hati itu dikatakan Islam.
Allah s.w.t Berdiri Dengan Sendiri. Dia tidak memerlukan sifat Wujud untuk kewujudan-Nya. Dia tidak memerlukan sifat Hidup untuk membuat-Nya Hidup. Dia tidak memerlukan sifat Mendengar untuk menjadikan-Nya mempunyai Pendengaran. Dia tidak memerlukan sifat Melihat untuk Penglihatan-Nya. Dia tidak memerlukan sifat Berkata-kata untuk mengadakan Kalam-Nya. Dia tidak memerlukan sifat Iradat untuk Dia berkehendak. Dia tidak memerlukan sifat Ilmu untuk pengetahuan-Nya. Dia serba cukup. Dia Wujud sendiri-Nya, Melihat sendiri-Nya, Mendengar sendiri-Nya, Hidup sendiri-Nya, Berkehendak sendiri-Nya, Mengetahui sendiri-Nya, Berkata-kata sendiri-Nya dan apa jua pun adalah sendiri-Nya tanpa bersandar kepada sebarang sifat. Dia tidak memerlukan sifat atau nilai-nilai tambahan untuk Kesempurnaan-Nya. Dia Berkuasa tanpa bersandar kepada sifat Berkuasa. Dia Mencipta tanpa memerlukan sifat Berkuasa Mencipta. Allah s.w.t serba cukup dengan Diri-Nya sendiri, dengan keesaan-Nya tanpa memerlukan sokongan sifat dan alat.
Perlu diingatkan bahwa fikiran, perasaan, bahasa, perkataan, istilah, ungkapan, ibarat dan misal semuanya adalah makhluk, yaitu sesuatu yang termasuk di dalam ciptaan Tuhan, baik secara nyata atau abstrak. Apa yang Tuhan ciptakan tidak ada kekuatan untuk memperihalkan tentang Tuhan. Apa saja yang terlintas dalam fikiran dan perasaan, yang terucap oleh perkataan dan bahasa, yang digambarkan sebagai ibarat, misal dan sifat, semuanya bukanlah Allah s.w.t. Apa juga istilah yang digunakan semuanya juga bukan Allah s.w.t. Ahadiyyah, Wahdat dan Wahadiyyah bukanlah Allah s.w.t. Tiada kenyataan, kenyataan pertama, kenyataan ke dua dan kenyataan ke tiga semuanya bukanlah Allah s.w.t. Zat, sifat, asma’ dan af’al semuanya bukanlah Allah s.w.t. Roh Kudus, Roh Idhafi dan Roh Rabbani bukanlah Allah s.w.t. Alam Lahut, Balhut dan Jamhut bukanlah Allah s.w.t. Alam Ghaibul Ghuyub, Alam Ghaib, Alam Kabir dan Alam Saghir bukanlah Allah s.w.t. Alam Arwah dan Alam Misal bukanlah Allah s.w.t. Alam Malakut dan Alam Jabarut bukanlah Allah s.w.t. Semuanya, sekaliannya, yang beribu-ribu lagi istilah dan perkataan yang digunakan adalah sesungguhnya dan sebenarnya bukanlah Allah s.w.t. Semua itu hanyalah perihal tentang keadaan Allah s.w.t, kesucian Allah s.w.t, kebesaran Allah s.w.t, kebijaksanaan Allah s.w.t, keindahan Allah s.w.t, kekayaan Allah s.w.t, cahaya Allah s.w.t, kenyataan Allah s.w.t dan sesuatu tentang Allah s.w.t tetapi bukanlah Dia.
Dan bagi Allah jualah misal (sifat) yang tartinggi, dan Dialah jua Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. ( Ayat 60 : Surah an-Nahl )
Dan supaya orang-orang (munafik) yang ada penyakit (ragu-ragu) dalam hatinya dan orang-orang kafir berkata: “Apakah yang dimaksudkan oleh Allah dengan perumpamaan ini?” Demikianlah disesatkan Allah barangsiapa yang Dia kehendaki dan diberi-Nya petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan tidaklah ada yang mengetahui tentera Tuhan engkau itu melainkan Dia jua. Dan tidaklah ada yang demikian itu melainkan peringatan bagi manusia. (Ayat 31 : Surah al-Muddaththir )
Apa juga yang dikatakan tentang Allah s.w.t adalah misal dan sifat yang layak disebut oleh manusia. Allah s.w.t yang mengajarkan manusia apa yang layak diperkatakan tentang Diri-Nya. Al-Quran mengatakan: “Katakanlah…” Tuhan yang mengizinkan manusia berkata sesuatu tentang-Nya. Dia yang ajarkan dan izinkan manusia berkata:
Katakanlah: “Dia adalah Allah, Maha Esa. Allah adalah as-Samad”.
Dia yang mengajarkan dan mengizinkan manusia memanggil-Nya Allah dan berbagai-bagai nama yang baik-baik. Dia juga mengizinkan manusia mengatakan bahwa Dia Mendengar, Melihat, Berkuasa, Hidup, Berkehendak, Berkata-kata dan Mengetahui. Manusia hanya perlu beriman kepada-Nya dan katakan apa yang Dia izinkan untuk dikata. Keizinan memperkatakan tentang Diri-Nya yang diberikan-Nya melalui al-Quran adalah kebenaran yang sejati. Kebenaran yang datang daripada Allah s.w.t kepada Rasulullah s.a.w itulah yang paling benar. Kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w kepada umat manusia itulah kebenaran yang tetap benar. Sebab itu tidak ada kebenaran yang melebihi kebenaran syariat. Kebenaran Hakiki hanya perlu diimani, dipercayai. Sebelum sampai kepada Kebenaran Hakiki ditemui kebenaran melalui fikiran, ilham dan kasyaf. Kebenaran yang diperolehi secara logik, dalil dan penyaksian hati adalah bayangan kepada Kebenaran Hakiki yang “Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya”. Jadi, walaupun diberikan-Nya keizinan untuk menyebut-Nya dengan berbagai-bagai nama dan menyifatkan-Nya dengan berbagai-bagai sifat namun, manusia berkewajiban mengawasi iktikad akal dan hati agar benteng “Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya” tidak dirobohkan oleh akal dan hati. Logik, dalil dan penyaksian hanyalah kenderaan untuk sampai kepada beriman dengan Yang Hakiki.
Tuhan tidak memerlukan sifat-sifat dan nilai-nilai tambahan untuk kesempurnaan-Nya tetapi makhluk memerlukan, berhajat dan bergantung kepada medan wujud, medan ketuhanan dan sifat-sifat ketuhanan bagi menumpang kewujudan mereka. Medan di sini bukan bermaksud ruang. Tidak bisa dikatakan di samping ruang yang diisi oleh kewujudan makhluk ada ruang yang menempatkan kewujudan sifat-sifat ketuhanan. Sifat ketuhanan atau pun urusan Tuhan tidak memerlukan ruang. Misalnya, sifat Ilmu dan kewujudan dalam Ilmu tidak memerlukan ruang untuk wujud. Makhluk memerlukan pemangkin, penyokong, hijab atau medan wujud yang bersifat ketuhanan bagi memelihara kewujudan makhluk itu agar menjadi benar, nyata, ada kesinambungan dan stabil. Sifat ketuhanan juga diperlukan oleh makhluk bagi melindungi mereka daripada tajalli Allah s.w.t. Jika makhluk menerima tajalli Allah s.w.t makhluk akan hancur dan hilang lenyap. Sifat-sifat ketuhanan menjadi hijab yang kukuh melindungi kewujudan makhluk dan menyelamatkan mereka. Kewujudan yang tidak ada hijab melindunginya adalah kewujudan ciptaan ahli silap mata. Ciptaan ahli silap mata tidak stabil, tidak benar dan tidak bertahan kewujudannya. Ciptaan Tuhan yang dihijabkan oleh sifat-sifat ketuhanan bersifat stabil, benar dan kekal kewujudannya sampai kepada akhirat. Hijab ketuhanan yang memegang kewujudan makhluk, yang ada hubungan dengan makhluk, itulah sifat-sifat Tuhan yang Dia izinkan dinisbahkan kepada-Nya. Sifat-sifat-Nya yang tidak bisa diperkatakan adalah sifat-Nya Yang Hakiki. Aspek Tuhan yang bisa disifatkan dan diperkatakan dinamakan tasybih dan yang tidak bisa dikatakan dinamakan tanzih. “Tiada sesuatu menyamai-Nya” adalah aspek tanzih. “Dan Dia Mendengar dan Melihat” adalah aspek tasybih. Makrifat yang sempurna adalah yang mengenal Tuhan dalam aspek tasybih dan tanzih sekaligus.
Penciptaan makhluk berhubung dengan sifat Tuhan. Sekiranya tidak ada sifat-sifat Tuhan yang menghijab atau menjadi perantaraan nescaya tidak akan ada penciptaan makhluk. Sifat menghubungkan Pencipta dengan penciptaan. Hanya orang yang tidak mengarti menolak peranan sifat lalu menghubungkan ciptaan terus kepada Dia Yang Maha Tinggi. Jika Tuhan bukakan tajalli cahaya Zat-Nya Yang Hakiki tentu makhluk akan binasa, kewujudan akan hilang. Kenyataan yang pertama juga akan lenyap jika berhadapan dengan keagungan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa. Hubungan makhluk dengan Tuhan hanyalah sekadar layak dan mampu makhluk bertahan, yaitu hubungan yang dimisalkan atau hubungan melalui sifat-sifat-Nya yang tasybih, bukanlah hubungan dalam artikata yang sebenarnya.
Alam memiliki kewujudan yang benar. Alam benar-benar wujud, bukan khayalan. Tetapi wujud alam berbeda dengan Wujud Tuhan, berbeda dengan sifat-sifat Tuhan yang diistilahkan sebagai tasybih apalagi yang tanzih. Wujud alam diistilah sebagai wujud yang mungkin (mumkinul wujud) dan wujud sifat Tuhan diistilahkan sebagai Wujud yang wajib (Wajibul Wujud). Maksud Wajibul Wujud yang bisa dicapai oleh pemikiran dan kasyaf adalah Wajibul Wujud sifat. Zat Allah Yang Maha Tinggi tidak termasuk di dalam sempadan pemikiran dan penyaksian hati, tidak terlibat dengan wujud yang wajib, wujud yang mungkin dan wujud yang mustahil. Sifat-sifat yang diistilahkan sebagai Wajibul Wujud adalah sifat tasybih. Dalam pandangan kasyaf sufi menyaksikan sifat tasybih sebagai berada satu tingkat di bawah daripada Zat. Sifat tanzih pula tidak terpisah dengan Zat karena sifat tanzih adalah sifat-Nya Yang Hakiki yang tida ada beda dengan Zat-Nya. Zat dan Sifat Hakiki adalah yang sama. Zat Hidup, Wujud, Melihat, Mendengar, Berkata-kata, Berkehendak dan Berkuasa dengan Zat-Nya sendiri bukan dengan sifat-sifat Hidup, Wujud, Melihat, Mendengar, Berkata-kata, Berkehendak dan Berkuasa. Apa saja yang dengan Zat tidak berpisah dan tidak lain daripada Zat. Perpisahan dan perbedaan terjadi dalam ilmu dan penyaksian. Zat Yang Maha Suci menyatakan kesempurnaan-Nya melalui Sifat-sifat dan Nama-nama yang dinisbahkan kepada-Nya. Sebab itulah Zat, Sifat dan asma’ dipandang sebagai berkedudukan berbeda-beda. Apa yang dipandang sebagai berbeda dengan Zat itu adalah bayangan kepada Yang Hakiki, diistilahkan sebagai penzahiran, pembukaan atau tajalli. Kewujudan makhluk berhubung dengan bayangan dan diselimuti oleh hijab-hijab. Walaupun yang digunakan adalah istilah bayangan, tetapi bayangan itu adalah bayangan martabat ketuhanan, tidak sama dengan bayangan benda-benda alam. Bayangan atau hijab ketuhanan berperanan di dalam kewujudan dan kesinambungan kewujudan makhluk. Hijab ketuhanan berhubung dengan alam maya dan karena perhubungan tersebutlah manusia bisa mengenal Tuhan menurut kadar kehendak-Nya untuk dikenali. Orang yang kasyafnya sampai kepada hijab atau bayangan menyaksikan sifat sebagai berpisah dengan Zat. Selepas melepasi peringkat bayangan atau hijab dia akan menyaksikan sifat tidak berpisah dengan Zat, malah sifat bukan lain daripada Zat. Sedikit sangat orang yang sampai kepada tahap ini, yaitu kepada Yang Hakiki. Pada Yang Hakiki Pendengaran-Nya adalah Penglihatan-Nya dan juga Percakapan-Nya.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, dan Yang Zahir serta Yang Batin, dan Dialah Yang Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu. ( Ayat 3 : Surah al-Hadiid )
Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin adalah Yang Sama, Yang Esa. Tidak ada perbedaan dan perpisahan di antara Kudrat (kuasa)-Nya dengan Iradat (kehendak)-Nya. Yang Menghidupkan adalah Esa dengan Yang Mematikan. Apabila dua sifat yang pada logiknya dipandang bertentangan sudah berada dalam suasana harmoni, yaitu suasana as-Salam (Yang Mensejahterakan), sesungguhnya seseorang itu telah menyaksikan Yang Hakiki, yang tidak bertentangan Awal-Nya dengan Akhir-Nya dan Zahir-Nya dengan Batin-Nya. Pandangan yang demikian dikatakan melihat Allah s.w.t pada setiap waktu, ruang dan keadaan. Inilah sifat orang yang benar-benar mengenal Tuhan.
Sifat Tuhan separti juga Zat-Nya, adalah unik, tidak bisa diurai atau dipecahkan. Sifat Tuhan adalah sifat keesaan di mana kesemua sifat-Nya berkamil dalam keesaan, tidak berpisah dan tidak berbeda di antara satu dengan yang lain. Perbedaan pada sifat dibuat secara ilmiah bukan keadaan yang sebenar. Secara ilmiah disebutkan sifat Wujud, Hidup, Melihat dan sebagainya. Walaupun dipandang satu-satu namun keunikan sifat tersebut tetap ada. Keunikan tersebut dipanggil juga kemutlakan. Ilmu Tuhan dikatakan Ilmu yang Mutlak. Ilmu Mutlak tidak mampu diuraikan. Dalamnya berkumpul pengetahuan dari awal hingga ke akhirnya. Ini bermakna Tuhan mengetahui tentang alam ini daripada sebelum adanya hinggalah kepada tanpa kesudahan. Tuhan mengetahui daripada azali hinggalah kepada abadi dan pengetahuan tersebut adalah pengetahuan secara keesaan, yaitu tatkala mengetahui yang azali itu jugalah Dia mengetahui yang abadi. Tidak ada ruang atau jarak masa pada pengetahuan-Nya sekalipun pengetahuan itu mengenai perkara yang melalui ruang, masa dan zaman. Pada sisi Tuhan, kelmarin, hari ini dan esok adalah yang sama. Tidak ada masa, ruang dan jarak pada sisi-Nya.
Sifat Tuhan Berkata-kata juga Mutlak. Tuhan berkata-kata sejak keazalian sampai kepada keabadian tanpa satu patah perkataan dan tanpa suara. Manusia bercakap dalam satu tempuh menggunakan berpatah-patah perkataan dan ada mengeluarkan suara. Tetapi Tuhan Berkata-kata dalam keadaan Kalam-Nya yang pertama dengan Kalam-Nya yang terakhir adalah Kalam yang sama, tidak berpisah, tidak berbeda dan tidak bersuara. Begitu juga dengan sifat Tuhan yang lain. Sifat kemutlakan menyebabkan Tuhan berkuasa berhubung dengan makhluk-Nya tanpa berlaku pertembungan Wujud Tuhan dan sifat Tuhan dengan wujud makhluk dan sifat makhluk. Kemutlakan sifat Tuhan menyebabkan tidak mungkin makhluk termasuklah manusia bersekutu dengan perbuatan atau sifat Tuhan, apalagi Zat Tuhan. Manusia yang membalingkan tombaknya perlu mengadakan beberapa pergerakan, tetapi perbuatan Tuhan tidak memerlukan pergerakan. Tidak mungkin manusia menggunakan perbuatan Tuhan dalam melakukan perbuatannya. Kebenaran ini tidak terjangkau oleh logik. Hukum logik mengatakan tidak mungkin Tuhan Mengetahui benda-benda alam jika Ilmu-Nya tidak ada hubungan dengan benda-benda tersebut. Hukum logik juga mengatakan tidak mungkin Tuhan menciptakan alam jika Kuasa-Nya tidak ada hubungan dengan alam. Hukum logik tidak mengarti bahwa pada tahap “Tuhan melampaui segala sesuatu” keabadian yang lalu (azali) dan keabadian yang akan datang (abadi) adalah satu masa yang sama, malah masa tidak wujud pada tahap ini. Itulah kemutlakan. Pada tahap kemutlakan jika sifat Wujud dipakaikan kepada Tuhan maka ia adalah Wujud Mutlak yang tidak ada permulaian, tiada kesudahan, tidak menempati ruang dan tidak ada persaingan daripada yang tidak Mutlak.
Kebenaran Hakiki menyatakan bahwa Allah s.w.t Yang Maha Suci, Maha Tinggi, Maha Besar, melampaui apa juga sifat yang disifatkan bagi-Nya. Dia melampaui tahap Wujud. Wujud merupakan kenyataan pertama tentang Zat Allah s.w.t Yang Maha Tinggi. Kebanyakan sufi menyamakan Wujud dengan Zat Yang Maha Suci. Perbedaan tahap Wujud dengan Zat Allah s.w.t Yang Melampaui Segala Sesuatu sangat halus hinggakan kebanyakan manusia gagal menyedarinya atau enggan menerima perbedaan tersebut. Banyak manusia menyembah Wujud sebagai Tuhan dan gagal melampauinya untuk mencapai matlamat sebenar penyembahan, ketaatan dan penyayangan yang melepasi tahap tersebut. Mereka menganggap Wujud sebagai sumber kepada segala yang maujud dan penyebab kepada segala kejadian. Mereka juga lupa bahwa Wujud bergantung dan berhajat kepada Zat-Nya yang melampaui Wujud atau yang tidak wujud. Sebab itulah kefanaan yang menyeluruh atau ketidakwujudan yang sejati tidak menemukan seseorang dengan Kebenaran Hakiki. Kesatuan Wujud (wahdatul wujud) juga gagal menemui Kebenaran Hakiki. Kebaqaan (kekekalan bersama Tuhan) juga gagal berbuat demikian. Kebenaran Hakiki hanya ditemui dalam kesadaran yang sepenuhnya, menyedari bahwa: “Katakanlah: ‘Tuhan kami adalah Allah!’ Kemudian teguhkan pendirian”. Kebenaran Hakiki ditemui melalui iman yang teguh.
Fikiran, ilham dan kasyaf manusia bartingkat-tingkat. Oleh itu pemahaman, kepercayaan dan pegangan mereka juga berbeda-beda mengenai keunikan dan kemutlakan Tuhan dan sifat Tuhan yang tidak mampu diurai oleh akal fikiran. Orang yang mencari Tuhan dengan menggunakan akal fikiran akan jatuh ke dalam salah satu golongan. Golongan pertama menjadi gila. Golongan ke dua menjadi ateis (tidak percaya kepada kewujudan Tuhan). Golongan ke tiga mengaku kalah dan menyerah. Orang yang mencari Tuhan melalui ilham adalah golongan ahli falsafah dan sebagian daripada golongan sufi. Ahli falsafah tertarik dengan sifat kesempurnaan Tuhan dan ahli sufi asyik dengan sifat keelokan Tuhan. Sufi yang lebih maju mencari Tuhan dengan kasyaf mereka dan mereka temui bayangan Tuhan. Sufi yang menyaksikan bayangan Tuhan banyak mengeluarkan pendapat yang ganjil-ganjil tentang Tuhan. Sufi yang dapat melepasi peringkat bayangan akan menjadi separti ahli fikir golongan ke tiga yang tunduk, menyerah dan beriman. Pengakuan terhadap kedaifan dan kejahilan diri merupakan pintu kepada penyerahan (keislaman) yang sejati yang membawa kepada mengenal Yang Hakiki sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Oleh sebab itulah sufi yang arif bersepakat dengan orang alim yang benar. Titik pertemuan mereka adalah syariat yang menggabungkan yang zahir dengan yang batin.
16: KEJADIAN ALAM DAN MANUSIA
________________________________________
Apabila menyedari bahwa wujud alam dengan Wujud Tuhan tidak sedikit pun bersamaan, tidaklah mengelirukan jika dikatakan yang wujud alam adalah benar, nyata, stabil, ada kesinambungan kewujudannya dan dapat bertahan hingga ke akhirat. Wujud alam atau makhluk yang Tuhan ciptakan ini menjadi asas kepada kehidupan dunia yang sementara dan kehidupan akhirat yang abadi. Makhluk yang menerima nikmat wujud dan nikmat kesinambungan wujud dibekalkan dengan juga keupayaan untuk menerima bentuk zahir dan menjadi nyata serta memiliki bakat-bakat yang bisa memberi kesan. Jika ada orang mengatakan wujud makhluk hanyalah khayalan lantaran ia tidak berhakikat, maka perkataannya itu juga benar. Wujud makhluk menjadi khayalan jika dibandingkan dengan Wujud Tuhan, tetapi tidak wajar membandingkan wujud makhluk dengan Wujud Tuhan karena Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu. Tuhan melampaui tahap wujud. Istilah Wujud digunakan untuk menceritakan tentang Tuhan karena tidak ada istilah lain yang lebih sesuai. Kebenaran pada tahap penciptaan tidak sama dengan kebenaran pada tahap Pencipta. Bila dikatakan alam merupakan kewujudan yang benar ia tidak bermakna menyamakan derajat kebenaran wujud alam dengan derajat kebenaran Wujud Tuhan. Alam sangat berbeda dengan Tuhan. Walaupun alam lain daripada Tuhan namun kewujudan alam tidak membatasi Tuhan. Tidak mungkin terjadi pergeseran di antara Wujud Tuhan dengan wujud makhluk. Kewujudan makhluk tidak mungkin mengubah kedudukan Tuhan Yang Maha Esa.
Jika mau dibuat sedikit gambaran sekadar menggerakkan kepemahaman (keadaan yang sebenar tidak serupa dengan gambaran ini), bisalah diibaratkan perbandingan Wujud Tuhan dengan wujud makhluk seumpama wujud manusia dengan kewujudan ilmu manusia itu. Walaupun manusia mencipta berjuta-juta benda di dalam ilmunya namun, kewujudan jutaan benda di dalam ilmu itu tidak mengubah dan mengganggu kedudukan manusia itu sendiri. Tidak mungkin benda di dalam ilmu berlaga dengan manusia yang mempunyai ilmu itu. Kewujudan manusia dengan kewujudan di dalam ilmu merupakan kewujudan yang berbeda yang tidak mungkin bergandingan, bersaing atau bersekutu.
Sekiranya manusia mengeluarkan kewujudan di dalam ilmunya kepada kenyataan di luar maka benda-benda yang diciptakan oleh manusia akan berada di dalam ruang yang sama dengan manusia. Tuhan menciptakan makhluk tidak dalam keadaan yang demikian. Apa juga yang Tuhan berkehendak menciptakan sudah ada dalam Ilmu-Nya. Penciptaan makhluk dipagari oleh Ilmu Tuhan. Setelah Tuhan menciptakan makhluk menurut suasana Ilmu-Nya, makhluk akan mengambil ruang yang tidak bergandingan, bersaing atau bersekutu dengan Tuhan, tidak separti keadaan manusia mencipta benda-benda. Kewujudan dan kehadiran makhluk tidak mengganggu keesaan Tuhan. Hanya Tuhan yang berkuasa berbuat yang demikian. Itulah keunikan dan kemutlakan Kuasa Tuhan. Bila diceritakan tentang hubungan Tuhan dengan alam yang bisa dikatakan adalah Tuhan tidak ada di dalam alam, tidak ada diluar alam, tidak bersatu dengan alam dan tidak berpisah dengan alam. Begitulah konsep ketuhanan yang menggabungkan penafian dan pengisbatan.
Pandangan kaum sufi tentang alam berbeda-beda. Ada tiga pendapat yang popular mengenainya. Kumpulan pertama percaya bahwa alam ini wujud dan alam diciptakan oleh Tuhan. Apa juga keupayaan dan bakat yang ada pada alam dan sekalian makhluk adalah juga diciptakan oleh Tuhan. Mereka menganggap diri mereka seumpama kerangka kosong yang tidak memiliki apa-apa, tiada daya dan upaya, semuanya adalah milik Tuhan semata-mata. Kumpulan ini sangat dikuasai oleh suasana ‘ketiadaan’ sehingga mereka lupa kepada diri mereka dan alam sekaliannya. Keadaan mereka adalah seumpama orang halimunan yang menanggalkan pakaiannya lalu tidak ada apa-apa lagi yang kelihatan (pada alam perasaan mereka). Mereka serahkan semua pakaian kepada Pemilik pakaian dan tinggallah mereka dalam suasana ‘ketiadaan’ atau kefanaan. Kefanaan yang menguasai mereka menyebabkan hubungan mereka dengan ‘pakaian’ tidak ada lagi. Sekiranya mereka keluar daripada kefanaan, masuk kepada suasana kesadaran dan baqa dalam Tuhan, mereka akan menyedari bahwa pakaian ada dengan mereka. Mereka akan dapat menerima kehadiran pakaian beserta pengakuan bahwa Tuhan yang memiliki pakaian tersebut. Sufi kumpulan ini yang telah melepasi peringkat fana dan kembali kepada kesadaran semula, akan memiliki pengetahuan yang sebenar. Pada peringkat ini mereka akan bersetuju dengan pendapat Ahli Sunah wal Jamaah tentang alam. Ahli Sunah wal Jamaah memperolehi petunjuk dari al-Quran, as-Sunah dan ijmak ulama. Ahli sufi yang sampai kepada peringkat ini bersamaan dengan pemahaman dan pegangan ulama. Jika ulama mencapai kepemahaman dan pegangan melalui akal, sufi pula memperolehinya melalui kasyaf dan zauk yang benar. Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak menyamai sesuatu. Oleh yang demikian mereka tidak mengadakan perbandingan atau penyatuan dengan Tuhan.
Sufi kumpulan ke dua berpendapat alam adalah bayangan Tuhan, semata-mata bayangan bukan yang sebenar. Alam bergantung wujud kepada Tuhan sebagaimana bayang bergantung kepada diri yang empunya bayang. Sufi kumpulan ke tiga berpegang kepada pemahaman yang terkenal sebagai wahdatul wujud. Kumpulan ini percaya yang ada hanya satu wujud. Alam ini dikatakan hanyalah wujud yang tergambar dalam fikiran dan tanggapan, sedangkan sebenarnya alam tidak ada. Hakikat-hakikat tidak pernah menyata kepada kenyataan wujud. Hakikat adalah wujud yang satu pada martabat-martabat penurunan. Tuhan yang memiliki sifat-sifat yang wajib dan harus, serta ada pula peringkat-peringkat penurunan, maka walaupun dipandang sebagai banyak namun, sebenarnya hanyalah satu wujud saja. Wujud yang satu itulah yang merasai senang, susah, sakit dan sebagainya. Kewujudan yang lain dan nilai-nilai yang ada pada yang lain hanyalah wujud dan nilai khayali yang dibentuk oleh khayalan dan tanggapan semata-mata. Alam, syurga dan neraka hanyalah muncul dalam sangkaan. Pemahaman kumpulan inilah yang paling digemari oleh orang yang menjadi sufi tiruan. Ketika sufi yang sebenar dikuasai oleh jazbah, zauk dan pengalaman kerohanian, hingga mereka tidak dapat membedakan yang benar dengan yang salah, sufi tiruan pula terjerumus ke dalam kekufuran dan kesesatan.
Sufi kumpulan pertamalah yang hampir dengan kenyataan al-Quran dan as-Sunah. Semakin jauh mereka meninggalkan kefanaan dan fenomena bayangan, maka semakin hampirlah mereka dengan kebenaran yang sejati. Apabila mereka kembali kepada kesadaran sepenuhnya, kebenaran dan kesesuaian mereka dengan al-Quran dan as-Sunah adalah jelas. Mereka mencapai kesempurnaan kebatinan karena mereka mencapai kebenaran al-khafi (kesadaran batin) dan kebenaran al-akhfa (kesadaran batin yang paling dalam) yang bersamaan dengan Kebenaran Hakiki. Mereka mencapai Kebenaran Hakiki melalui pengalaman kerohanian. Sufi golongan ini sudah melepasi peringkat kesadaran yang tersembunyi (as-Sir). Sufi yang berpemahaman wahdatul wujud pula, apabila mereka mencapai kefanaan pada peringkat Sir, mereka tidak dapat keluar dari peringkat tersebut dan mereka tidak memisahkan as-Sir daripada Yang Haq, tidak menafikannya. Sebaliknya mereka percaya bahwa as-Sir satu dengan Yang Haq, lalu mereka menyamakan diri mereka dengan Tuhan, mempercayai hanya Tuhan yang wujud, selain Tuhan tidak ada.
Alam yang diistilahkan sebagai mumkinul wujud (wujud yang mungkin) merupakan medan yang menyatakan ayat-ayat, dalil-dalil atau kenyataan nama-nama dan sifat-sifat Wajibul Wujud (Wujud yang wajib). Tetapi Zat Tuhan Yang Maha Esa, Maha Tinggi dan Maha Mulia tidak ada ayat, dalil, kenyataan atau pembalikan. Tidak ada satu pun dalam alam ini yang membalikkan atau yang ada penglibatan dengan Zat Tuhan. Tuhan Yang Maha Perkasa melampau apa juga penyifatan dan dalil. Tuhan melampau alam secara Mutlak, tidak terjangkau oleh akal fikiran ahli fikir, ilham ahli falsafah dan kasyaf ahli sufi. Nama-nama dan sifat-sifat yang dinisbahkan kepada Tuhan adalah berbeda. Alam memang ada perkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat tersebut, walaupun sebagai ayat-ayat dan dalil-dalil atau hanya pada nama dan bentuk saja. Alam tidak mempunyai zat atau hakikat, tidak berkedudukan sebagai ‘berdiri dengan sendiri’ atau Mutlak. Alam diciptakan tanpa sesuatu kecuali sebagai bentuk atau bekas yang menerima kesan dan pengaruh sifat-sifat dan nama-nama Tuhan. Zat atau hakikat mumkinul wujud (alam atau makhluk) adalah pembalikan atau kenyataan bagi sifat-sifat dan nama-nama Tuhan tetapi tidak sekali-kali serupa atau bersatu dengan Zat Tuhan Yang Mutlak dan Hakiki. Walaupun alam membalikkan Sifat dan Nama Wajibul Wujud namun alam itu bukanlah Wajibul Wujud dan bukan pula nama atau sifat Wajibul Wujud dalam artikata yang sebenar. Pembalikan dan yang menyatakan tidak sama dengan yang sebenarnya. Perkaitan Wajibul Wujud dengan alam secara yang demikian dan kemutlakan Zat Wajibul Wujud menyebabkan timbul fenomena bayangan dalam pengalaman sufi dan bayangan tersebut berkekuatan memberi kesan kepada alam perasaan sufi menyebabkan timbul berbagai-bagai pemahaman.
Peringkat pengalaman kerohanian, sebelum sampai kepada peringkat ‘bukan Tuhan’, hilang daripada pandangan, sufi akan mengalami hal yang memperlihatkan kepadanya alam tidak wujud. Pada masa yang lain pula dia melihat alam wujud. Pada masa yang lain lagi dia melihat alam tidak wujud pula. Ada pula masa lain yang dia mengalami suasana alam wujud. Keadaan yang bergilir-gilir ini berterusan sehingga sufi itu memperolehi fana sepenuhnya. Pada tahap ini sufi akan mengalami sepenuhnya suasana yang selain Tuhan tidak wujud. Pada pandangan sufi alam adalah seumpama satu ruang yang tiada kesudahan atau kekosongan yang berterusan.
Setelah melepasi peringkat fana dan memasuki peringkat baqa (kekal bersama Tuhan) dan kembali kepada dunia, kadang-kadang alam kelihatan dalam pandangannya dan kadang-kadang hilang. Pengalaman yang demikian membuatnya menyangka alam mengalami pembaruan bentuk secara berterusan. Apabila dia mencapai kesempurnaan baqa dan kembali kepada dunia sepenuhnya, kewujudan alam menetap dalam pandangan dan kesadarannya. Dia dapat menyaksikan bahwa alam adalah wujud yang nyata dan stabil. Sufi yang sampai kepada tahap ini sudah layak membimbing orang lain. Mereka berkedudukan sebagai khalifah kerohanian yang berperanan membantu sufi lain yang masih di dalam perjalanan dan memberi petunjuk kepada orang banyak serta mengarahkan mereka kepada jalan Tuhan yang benar lagi lurus.
Khalifah kerohanian berbeda daripada pemerintah orang banyak. Adalah silap jika seorang yang menganggapnya dirinya sebagai khalifah kerohanian mencoba untuk merampas kuasa daripada pemerintah yang ada. khalifah kerohanian, walaupun arif dalam ilmu ketuhanan, itu tidak bermakna dia juga pakar dalam urusan pentadbiran negara, bidang politik, ekonomi dan lain-lain. Memang ada orang yang berkedudukan sebagai khalifah kerohanian dimasukkan oleh Tuhan kepada bidang pengkhususan yang melibatkan urusan orang banyak. Khalifah kerohanian yang berkenaan akan bergerak dalam bidang pengkhususan masing-masing sebagai wakil Tuhan menguruskan bidang tersebut. Ada yang mengambil bagian sebagai khalifah dakwah, khalifah politik, khalifah ekonomi, khalifah pendidikan, khalifah sains dan teknologi, khalifah perang dan lain-lain. Khalifah-khalifah tersebut akan membawa kemenangan dan kegemilangan kepada umat Islam dalam bidang yang mereka uruskan. Khalifah perang akan membawa kemenangan kepada umat Islam dalam menentang musuh-musuh Islam. Sebelum tentera Muslim dipimpin oleh khalifah perang yang dilantik sebagai wakil Tuhan, kemenangan lebih berpihak kepada musuh. Sebelum ekonomi umat Islam dipimpin oleh khalifah ekonomi yang dilantik oleh Tuhan, sistem perekonomian akan tetap berkisar di sekitar sistem perekonomian tajaan Yahudi dan lain-lain dan umat Islam tidak mampu mengatasi kaum lain dalam bidang ekonomi. Begitu juga dengan bidang- bidang yang lain. Biasanya, khalifah Muslim yang khusus dalam sesuatu bidang itu dihantar oleh Tuhan tatkala umat Islam hampir-hampir mengalami kehancuran dalam bidang berkenaan. Khalifah yang paling sempurna muncul pada akhir zaman tatkala umat Islam mengalami kehancuran dalam semua bidang. Khalifah yang paling sempurna itu bergelar Imam Mahadi (Ketua Agung kepada khalifah-khalifah Muslim yang bertugas menyelamatkan umat manusia). Beliau akan muncul ketika hari kiamat benar-benar sudah hampir tiba. Oleh karena khalifah-khalifah tersebut dilantik oleh Tuhan maka tidak ada kuasa makhluk yang mampu menjatuhkan atau mengalahkan mereka. Mereka akan memimpin umat Islam mencapai kemenangan, kejayaan dan kecemerlangan dalam bidang-bidang yang mereka pimpin.
Sifat-sifat yang dinisbahkan kepada Tuhan, yaitu sifat-sifat Wajibul Wujud atau dipanggil juga sifat-sifat ketuhanan memegang kewujudan alam. Wujud alam pula menjadi bekas bagi menanggung kewujudan manusia. Manusia ada di dalam alam dan menjadi sebagian daripada alam. Alam menjadi dalil, ayat, pembalikan dan kenyataan bagi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang memegang kewujudan alam itu.
Bangunan alam maya berlapis-lapis, bartingkat-tingkat dan berperingkat-peringkat. Setiap tahap alam itu dikenali dengan istilah yang berbeda-beda menurut kepemahaman yang muncul melalui fikiran, ilham dan kasyaf. Ada yang membagikan alam kepada Alam Kabir dan Alam Saghir. Alam Kabir adalah alam maya keseluruhannya dan Alam Saghir dimaksudkan kepada kewujudan manusia. Ada pula yang membagikan alam kepada Alam Malakut Atas, Alam Malakut Bawah, Alam Syahadah dan Alam Insan. Alam Malakut Atas adalah Alam Arwah (roh-roh) dan alam para malaikat. Alam Malakut Bawah adalah Alam Barzakh yang menjadi tempat persinggahan roh-roh yang telah berpisah daripada jasad. Alam Syahadah adalah alam bagi benda-benda, yaitu makhluk yang mempunyai badan, termasuklah makhluk ghaib berbangsa jin. Alam Insan pula adalah manusia. Ada juga orang yang menggunakan istilah Alam Arwah, Alam Misal, Alam Ajsam dan Alam Insan bagi menceritakan bangunan alam maya. Alam Arwah adalah perbendaharaan yang menyimpan segala bakat-bakat yang diperlukan bagi semua penciptaan makhluk dan kesinambungan kewujudan makhluk. Alam Misal adalah suasana kewujudan dalam bentuk rohani, tanpa tubuh atau benda. Alam Ajsam pula adalah suasana kewujudan rohani yang sudah memperolehi badan kebendaan atau tubuh. Alam Insan adalah manusia yang bergabung roh dengan jasad.
Satu peringkat alam menjadi ayat, dalil, pembalikan atau kenyataan bagi satu aspek nama dan sifat Tuhan. Satu-satu benda atau satu-satu perkara pada anasir alam mencerminkan sesuatu tentang nama dan sifat Tuhan. Alam secara keseluruhannya mencerminkan dengan lengkap tentang nama dan sifat Tuhan. Walaupun alam menjadi ayat atau dalil bagi nama dan sifat Tuhan namun itu bukan bermakna nama dan sifat Tuhan ada sempadan sebagaimana alam ada sempadan. Aspek Tuhan yang mengarah kepada alam yaitu nama dan sifat Wajibul Wujud menyata dengan lengkap pada kewujudan alam tetapi aspek Tuhan yang tidak ada hubungan dengan alam tidak ada kenyataan-Nya pada alam. Sebab itulah apabila sufi mencapai zauk Tuhan Yang Maha Tinggi, Maha Esa, sufi mengalami suasana alam tidak wujud, nama tidak wujud dan sifat juga tidak wujud. Dia memasuki suasana yang tidak ada atas atau bawah, tiada hadapan atau belakang, tiada kanan atau kiri, tiada ruang atau zaman, tidak ada nisbah kepada wujud atau tidak wujud. Pengalaman yang demikian membuat sufi memperolehi makrifat tentang Tuhan yang melampaui segala penyifatan, tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan tiada sesuatu yang menyertai-Nya. Dia Maha Tinggi lagi Maha Suci daripada apa yang disifatkan dan dinisbahkan kepada-Nya. Dalam keadaan demikian jika keluar ucapan dari mulut sufi berkenaan akan muncullah ungkapan: “Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tiada siapapun yang menyertai Aku. Tidak ada yang ada melainkan Aku!”
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena pada kejadian manusia terkumpul secara lengkap segala ayat-ayat, dalil-dalil, pembalikan dan kenyataan nama dan sifat Tuhan. Makhluk lain hanya menjadi ayat kepada satu nama atau sifat Tuhan saja. Malaikat Izrail membawa kenyataan yang sempurna tentang nama al-Mumit dan sifat Tuhan Yang Berkuasa Mematikan. Izrail tidak membawa kenyataan tentang nama dan sifat Tuhan yang lain. Begitu juga dengan malaikat dan makhluk yang lain. Manusia pula bisa mempamerkan bakat-bakat atau kenyataan kepada nama dan sifat Tuhan Yang Menghidupkan, Mematikan, Memberi, Menolak, Mencipta, Membimbing, Menyesatkan dan sebagainya.
Pada diri manusia ada nilai-nilai kebaikan dan kejahatan dan ada pula keupayaan berkehendak dan membuat pilihan. Sifat berkehendak dan berkuasa membuat pilihan yang ada pada manusia menceritakan bahwa Wajibul Wujud memiliki Sifat-sifat Iradat dan Kudrat. Sifat-sifat mendengar, melihat, berkata-kata dan mengetahui menceritakan bahwa Wajibul Wujud mempunyai sifat-sifat Mendengar, Melihat, Berkata-kata dan Mengetahui. Pada diri manusia sudah ada nilai-nilai yang berguna buat mereka mengenali sifat-sifat Wajibul Wujud secara misal atau penyifatan. Pengenalan manusia tentang Wajibul Wujud lebih sempurna daripada makhluk yang lain. Al-Quran mengajarkan kepada manusia mengenai sifat-sifat Tuhan melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia sendiri, cuma manusia diperingatkan bahwa Tuhan melampaui segala bentuk penyifatan. Pengajaran cara demikian membuat manusia mengetahui Tuhan tanpa sesuatu pengetahuan yang konkrit dan mengenali Tuhan tanpa sesuatu pengenalan yang jelas. Pemahaman, pengetahuan dan pengetahuan tentang Tuhan tertanam dalam hati yang paling dalam. Pada kesadaran tahap yang paling dalam itulah manusia memperolehi kepemahaman yang hakiki, pengetahuan yang hakiki dan pengenalan yang hakiki. Dalam kepemahaman yang hakiki pemahaman bersatu dengan tidak faham. Dalam pengetahuan yang hakiki tahu bersatu dengan tidak tahu. Dalam pengenalan yang hakiki kenal bersatu dengan tidak kenal. Apabila dua perkara yang bertentangan telah bersatu akan lahirlah kesejahteraan (keislaman). Pada tahap itu orang arif hanya ada satu pilihan saja yaitu tunduk menyerah kepada Tuhan, tanpa takwil, tanpa hujah dan tanpa terka.
Nabi Muhammad s.a.w mampu menyampaikan pengajaran kepada para sahabat baginda s.a.w hingga kepada tahap kesadaran yang paling dalam. Sebab itulah pengajaran baginda s.a.w diterima dengan kemas, bulat, jelas dan sempurna. Para sahabat tidak memerlukan cara tambahan separti bersuluk atau berkhalwat. Bagi umat yang datang kemudian pula, secara umumnya, guru mempunyai kekurangan dan kelemahan dalam menyampaikan dan murid pula lebih lagi lemah dan kurang dalam menerima pengajaran. Hijab yang menutupi kesadaran yang paling dalam itu sangat tebal. Guru tidak berupaya memecahkannya. Oleh yang demikian murid perlu menjalani latihan bagi memudahkan tugas guru menembusi hijab tersebut. Guru berkewajiban membimbing muridnya bagi membuka tutupan ke atas kesadaran dalamnya. Kemudian barulah pengetahuan tentang kebenaran sejati bisa disampaikan kepada murid tersebut. Tanpa kesadaran dalaman murid akan membentuk khayalan dan sangkaan mengenai apa yang diajarkan oleh guru.
Banyak perguruan tarekat telah dibuka bagi membimbing orang-orang yang berminat dalam bidang kerohanian melatihkan diri, membuka hijab kesadaran dalaman dan seterusnya sampai kepada matlamat dengan selamat. Guru tarekat yang benar tidak memisahkan muridnya dengan syariat dan tidak mengadakan bidaah. Guru yang arif tidak mengajarkan kepada muridnya apa yang tidak layak diterima oleh murid itu. Guru yang demikian tidak menjadikan aliran tarekat sebagai jalan untuk meyakini doktrin wahdatul wujud dan juga bukan ditujukan untuk mendapat fana dan baqa. Jika murid ditarik kepada zauk, jazbah dan fana, guru berkewajiban memandu muridnya agar dapat melepasi peringkat tersebut dan senantiasa mengawasi muridnya agar tidak membuang syariat. Seseorang tidak perlu meyakini pemahaman wahdatul wujud untuk mencapai tahap kesadaran dalaman. Kesadaran dalaman bisa muncul pada orang yang menetap pada jalan kehambaan, yang tidak ada fana dan bersatu dengan Tuhan. Kehambaan yang tidak terlepas daripada kesadaran seseorang membawanya kepada kebenaran yang lebih tinggi daripada yang diperolehi oleh orang yang terbalik pandangan. Tarekat juga tidak bisa dijadikan alat untuk mencari kekeramatan dan kelebihan keduniaan. Latihan kerohanian hendaklah dijuruskan kepada melahirkan ikhlas karena ikhlas adalah pintu keluar bagi kesadaran dalaman.
Manusia haruslah sedar tentang bakat-bakat dan nilai-nilai yang Tuhan ciptakan sebagai sebagian daripada kejadian manusia itu sendiri. Pada kejadian manusia sudah ada bakat berkehendak dan membuat pilihan. Usaha dan ikhtiar tidak menyalahi takdir karena Tuhan telah menentukan sejak azali bahwa manusia memiliki bakat untuk berusaha, berikhtiar dan berkehendak. Tuhan juga mentakdirkan tindakan manusia mempunyai kesan. Pada kejadian manusia itu sudah ada bakat untuk melahirkan perbuatan. Perbuatan manusia termasuk di dalam ciptaan Tuhan tetapi bukanlah Tuhan yang menjadi Pelaku pada perbuatan manusia. Manusia, kehendaknya dan kuasanya melahirkan perbuatan adalah satu pakej yang diciptakan Tuhan yang dinamakan manusia. Pemahaman yang mengatakan Tuhan sendiri yang menjadi Pelaku pada segala perbuatan manusia, dikenali sebagai tauhid af’al, hanyalah kenyataan bayangan yang muncul dalam pengalaman kerohanian sufi. Kebenaran bukanlah yang demikian. Ini tidak juga bermakna manusia berkuasa penuh terhadap takdirnya. Keadaan manusia adalah tidak diberi kuasa bulat-bulat dan tidak juga dipaksa sepenuhnya. Manusia bukan diikat dan bukan diberi kebebasan penuh. Kehendak dan kuasa manusia tidak bersifat Mutlak. Oleh itu terdapat halangan dan kekurangan pada kesan yang dihasilkan oleh kehendak dan kuasa manusia. Manusia hidup di dalam medan yang dipenuhi oleh kehendak dan kuasa yang muncul daripada berbagai-bagai makhluk dan kumpulan manusia sendiri. Berlaku pertembungan kesan kehendak dan kuasa seseorang manusia dengan yang muncul daripada manusia dan makhluk lain. Pertembungan tersebut menyebabkan berlaku perlawanan dan yang lebih kuat kesannya akan menang. Jadi, usaha manusia tidak bisa dilihat dalam sekop dirinya saja. Usahanya memberi kesan kepada usaha orang lain dan begitu juga sebaliknya. Begitulah yang muncul daripada makhluk yang bersifat tidak Mutlak. Agar tidak berlaku kacau-bilau kepada perjalanan alam akibat perlumbaan kehendak dan kuasa makhluk, pengurusan daripada Kuasa Mutlak adalah sesuatu yang wajib. Tuhan yang memiliki Kuasa Mutlak mentadbir perjalanan alam ini.
Dalam kehidupan manusia juga ada dasar pentadbiran. Manusia umum mengadakan usaha dan manusia tertentu membuat pentadbiran. Akibatnya ada usaha yang berhasil dan ada juga yang gagal. Walaupun konsep pentadbiran wujud dalam kehidupan manusia namun manusia tidak bisa menolak tindakan untuk berusaha. Begitu juga dengan konsep pentadbiran Tuhan. Walaupun Tuhan memiliki Kuasa Mutlak namun dasar usaha makhluk tidak bisa dinafikan. Tuhan mengajarkan manusia supaya beramal, berbuat yang baik, menjauhi yang jahat, tidak sengaja menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan lain-lain yang menunjukkan kepada perakuan dasar berusaha dan bartindak. Walaupun begitu manusia diperingatkan bahwa kemutlakan hanyalah hak Tuhan. Oleh yang demikian usaha tidak bisa dipisahkan daripada iman yaitu sabar, syukur, tawakal dan reda.
17: HADRAT ILAHI
________________________________________
Tuhan melampaui segala sesuatu. Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang memberi kesan kepada Tuhan. Tidak ada kebaktian manusia yang sampai kepada Tuhan. Tidak ada doa dan rayuan manusia yang bisa masuk ke dalam majlis keesaan Tuhan. Jadi, dalam menyembah Allah s.w.t adakah manusia hanyalah sebuah robot yang berdiri, rukuk dan sujud? Adakah dalam melakukan kebaktian kepada Allah s.w.t manusia hanyalah sebuah jentera yang bergerak? Apakah karena Allah s.w.t melampaui segala sesuatu maka tidak ada sebarang cara perhubungan hamba dengan-Nya?
Seorang lelaki bekerja mencari batu-batu permata di dalam gua. Satu hari, ketika dia sedang asyik mengumpulkan batu-batu permata, tiba-tiba muncul seekor ular besar di hadapannya. Dia ketakutan dan lari sekuat-kuat tenaganya. Sejak kejadian itu setiap kali dia melihat kepada gua dia akan ‘ternampak’ ular besar. Kehadiran ular besar menguasai hatinya.
Dua orang lelaki bersahabat baik dan saling berkasih sayang. Suatu hari, salah seorang daripada mereka meninggal dunia. Sahabat yang masih hidup itu sering mengunjungi anak sahabatnya yang telah meninggal itu. Lelaki itu ‘melihat’ kehadiran sahabatnya pada si anak itu.
Dalam sebuah negeri ada seorang perempuan pelacur yang sangat cantik, menawan, memberahikan dan mempesonakan sebarang lelaki yang memandang kepadanya. Tidak ada lelaki yang dapat menahan keinginannya apabila melihat perempuan tersebut. Setiap hari perempuan itu akan menunggu pelanggannya dengan mempamerkan wajahnya di jendela rumahnya. Lelaki yang melintasi rumahnya pasti akan berhenti apabila melihat kepadanya. Perempuan itu tidak pernah kecewa menarik lelaki kepadanya. Pada suatu hari lalu seorang lelaki salih dihadapan rumahnya. Lelaki salih itu adalah seorang ahli ibadat yang tidak pernah berbuat maksiat. Secara tidak sengaja lelaki salih itu terpandang kepada perempuan tadi. Separti besi di tarik oleh besi berani kaki lelaki salih itu berjalan ke arah rumah perempuan tersebut dan masuk ke dalamnya. Perempuan itu bersedia melayaninya. Lelaki salih itu pun sudah ada keinginan terhadap perempuan cantik itu. Tetapi sebaik saja lelaki salih itu menyentuh perempuan itu, tangan lelaki salih itu tiba-tiba menggeletar. Tubuhnya menggigil dan mukanya pucat. Perempuan itu berasa heran lalu menanyakan keadaan tersebut. Salih itu memberitahu perempuan itu bahwa Tuhan Melihat perbuatannya dan Mendengar perkataannya. Dia sangat takutkan Tuhan. Penyaksiannya terhadap Tuhan itulah yang menjadikan sekalian tubuhnya menggigil dan mukanya pucat. Kehadiran Tuhan menguasai hatinya.
Al-Quran menceritakan tentang peristiwa yang di alami oleh Nabi Yusuf a.s.
Dan sebenarnya perempuan itu telah berleinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu; kalaulah tidak ia menyedari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah (takdir Kami) untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan keji, karena sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang ikhlas (dibersihkan dari segala dosa). ( Ayat 24 : Surah Yusuf )
Pada saat yang genting itu Nabi Yusuf a.s menyaksikan kehadiran Tuhannya. Kehadiran Tuhan yang dialami oleh hati itu diistilahkan sebagai Hadrat Ilahi. Hamba-hamba yang ikhlas dengan Allah s.w.t, yang telah dipersucikan, dikurniakan makam ihsan, yaitu menyaksikan Hadrat Tuhan atau merasai kehadiran-Nya. Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Sembahlah Tuhanmu seolah-olah kamu melihat-Nya. Sekalipun kamu tidak melihat-Nya, ketahuilah Dia melihat kamu”. Hamba-hamba yang ikhlas dan dipersucikan menyembah Allah s.w.t dalam keadaan hati mereka merasai kehadiran Allah s.w.t. Suasana hati yang demikian dikatakan hati menyaksikan Hadrat Ilahi. Itulah ihsan.
Banyak ayat-ayat al-Quran yang menceritakan tentang Hadrat Tuhan. Tuhan berfirman:
Allah jualah nur bagi semua langit dan bumi ( Ayat 35 : Surah an-Nur )
Ke mana saja kamu menghadap muka kamu di sana ada Wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Luas, Maha Mengetahui. ( Ayat 115 : Surah al-Baqarah )
Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy. ( Ayat 4 : Surah al-Hadiid )
Dan Dia beserta kamu walau di mana kamu berada. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. ( Ayat 4 : Surah al-Hadiid )
Bukan kamu yang membunuh mereka tetapi Allah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melempar tatkala kamu melempar, tetapi Allah yang melempar. (Ayat 17 : Surah al-Anfaal)
Kalimah yang sering diucapkan: – tiada daya dan upaya melainkan beserta Allah” adalah peringatan kepada Hadrat Ilahi: Hadrat-Nya Mendengar; Hadrat-Nya Melihat; Hadrat-Nya beserta makhluk-Nya; Hadrat-Nya menerangi langit dan bumi; Hadrat-Nya menghadap kepada hamba yang menyembah-Nya; Hadrat-Nya bersemayam di atas Arasy dan lain-lain. Tidak ada satu keadaan, ruang atau zaman yang makhluk bisa terlepas daripada Hadrat-Nya yang menguasai sekalian makhluk: walau siapa sekalipun makhluk itu. Carilah satu tempat yang paling tersembunyi yang tidak dapat dilihat oleh-Nya, jika kamu bisa melepasi Hadrat-Nya. Lakukan satu perbuatan yang tidak memerlukan daya dan upaya yang dari-Nya, jika kamu bisa bebas daripada Hadrat-Nya. Tidak mungkin, sekali-kali tidak mungkin, karena Hadrat Allah s.w.t meliputi sekalian alam, meliputi segala sesuatu, membatasi segala kejadian.
Dia yang telah menciptakan semua langit dan bumi dalam enam masa; kemudian itu Dia bersemayam di Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya; dan apa yang diturunkan dari langit serta apa yang naik padanya. Dan Dia tetap bersama-sama kamu di mana saja kamu berada, dan Allah Maha Melihat apa saja yang kamu kerjakan. Kepunyaan-Nya segala kekuasaan di semua langit dan bumi; dan kepada Allah akan kembali segala urusan. ( Ayat 4 & 5 : Surah al-Hadiid )
Tidak ada satu suasana pun yang terlepas daripada kehadiran atau Hadrat Tuhan, tetapi jarang sekali penghayatan terhadap yang demikian menguasai hati nurani manusia, walaupun mereka mempunyai pengetahuan mengenainya. Manusia mengetahui bahwa Tuhan Melihat dan Mendengar tetapi mereka tidak malu melakukan maksiat di hadapan Hadrat Tuhan Yang Melihat dan Mendengar. Manusia tahu Hadrat Tuhan senantiasa bersama-nya, tetapi masih lagi takut apabila mereka berada di tempat sunyi sendirian. Akal fikiran yang melahirkan pengetahuan tidak mampu berhubung dengan suasana Hadrat Ilahi. Hatilah yang berhubung dengan Hadrat Allah s.w.t karena hati yang bisa diisi dengan iman. Semakin kuat iman semakin kuat suasana Hadrat Ilahi menguasai hati. Apabila sampai kepada satu peringkat, hati menjadi sebati dengan suasana Hadrat Ilahi. Lahirlah rasa malu dan gerun kepada Tuhan karena dia merasai kehadiran Tuhan Melihat perbuatannya dan Mendengar perkataannya dan bisikan hatinya.
Suasana Hadrat Ilahi yang dirasakan atau dialami berbeda dari seorang manusia dengan manusia yang lain dan juga pada satu tempat dengan tempat yang lain. Tuhan sendiri menentukan tempat-tempat yang kehadiran-Nya bisa dirasakan lebih kuat daripada tempat-tempat yang lain. Di atas muka bumi ini tempat yang ditentukan oleh Tuhan sebagai tempat yang paling kuat menerima Hadrat-Nya adalah di Baitullah, Tanah Haram Makkah. Orang yang sudah menziarahi semua tempat di atas muka bumi akan mendapati tidak ada tempat untuk merasai kehadiran Allah s.w.t melebihi apa yang dirasakan pada sisi Kaabatullah. Selain Makkah tempat-tempat yang bisa dirasakan kehadiran Tuhan yang kuat adalah Madinah, Baitul Maqdis, Madyan, Bukit Thursina dan Baitulehem. Rasa kehadiran Tuhan pada tempat-tempat yang lain berlebih kurang menurut kadar yang ditentukan oleh Allah s.w.t dan bergantung kepada hati seseorang insan.
Oleh karena pada sisi Kaabah insan dapat merasakan kehadiran Tuhan secara maksima, maka Kaabah menjadi Kiblat manusia menyembah Allah s.w.t. Walaupun kehadiran Tuhan di sana begitu kuat namun Tuhan bukan berada dalam Kaabah dan bukanlah Kaabah itu Tuhan. Apabila berdiri pada sholat menghadap kepada Kaabah bukan bermakna Kaabah yang disembah atau Kaabah dijadikan misal Tuhan. Dada menghadap Kaabah tetapi hati menghadap Allah s.w.t, Tuhan kepada manusia, hati manusia dan Kaabah. Walau di mana pun berdiri menghadap Kaabah hati menghayati suasana Hadrat Ilahi yang sekuat di Kaabah.
Mengapa Tuhan memilih Kaabah untuk menyatakan Hadrat-Nya yang paling kuat di atas muka bumi? Tuhan berbuat menurut kehendak-Nya, tidak tertakluk kepada hujah manusia. Muslim tunduk menyerah kepada kehendak Tuhan. Tuhan memerintahkan supaya menjadikan Kaabah sebagai Kiblat. Muslim menerima perintah Tuhan itu dengan patuh dan ikhlas melaksanakannya. Menolak sholat atau menolak Kaabah sebagai Kiblat membuatkan seseorang itu menjadi kufur.
Pada Alam Langit-langit pula tempat yang paling kuat menerima Hadrat Tuhan adalah Baitul Makmur. Kedudukan Baitullah kepada manusia sama dengan kedudukan Baitul Makmur kepada malaikat. Sebanyak tujuh puluh ribu malaikat memasuki Baitul Makmur setiap hari. Sekali memasuki mereka tidak keluar lagi sampai ke hari kiamat.
Pada sekalian alam atau semua kejadian Tuhan, tempat yang paling kuat menerima Hadrat Tuhan berada di Arasy, yaitu tempat Nabi Muhammad s.a.w menerima perintah sholat lima waktu sehari semalam. Hanya Nabi Muhammad s.a.w seorang saja yang pernah sampai di sana. Jibrail a.s tidak sampai ke tempat tersebut.
Terdapat perbedaan kekuatan suasana Hadrat pada tempat-tempat yang diberkati Allah s.w.t. Kaabah diistilahkan sebagai Rumah Allah, Baitul Makmur pula Rumah Yang Aman Sentosa dan Arasy adalah Takhta Kerajaan. Bisalah diibaratkan Kaabatullah sebagai Negeri Hadrat, Baitul Makmur sebagai Istana Hadrat dan Arasy sebagai Takhta Hadrat (ibarat ini hanyalah perbandingan sekadar untuk kepemahaman). Nabi Muhammad s.a.w memulaikan perjalanan baginda s.a.w daripada Baitullah. Baginda s.a.w Mikraj ke Baitul Makmur dan kemudian diangkat ke Arasy, tempat perjalanan yang paling tinggi. Pada Baitullah Rasulullah s.a.w menerima kedatangan Jibrail a.s. Dalam suasana Baitullah manusia menerima suasana Hadrat dalam keadaan manusia dihijab oleh cahaya malaikat. Keadaan ini perlu karena manusia umum tidak dapat bertahan menerima suasana Hadrat tanpa hijab malaikat. Pada Baitul Makmur pula makhluk dihijab dari suasana Hadrat oleh cahaya Arasy. Pada Arasy pula Hadrat tidak terhijab, sebaliknya Hadrat itu sendiri yang menjadi hijab, melindungi makhluk daripada kehebatan Keagungan Allah s.w.t. Di Arasy, dalam suasana tidak terhijab daripada Hadrat Tuhan, Nabi Muhammad s.a.w menerima firman Tuhan tanpa perantaraan. Walaupun tanpa perantaraan Nabi Muhammad s.a.w mendengar Kalam Tuhan di sebalik hijab, yaitu Hijab Hadrat atau hijab ketuhanan, bukan hijab cahaya malaikat atau yang lain.
Dan tidaklah terdapat seorang manusia pun yang Allah berkata-kata dengannya, kecuali dengan wahyu atau dari belakang hijab atau dikirim-Nya utusan, lalu dia mewahyukan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia adalah Maha Tinggi, Maha Bijaksana. (Ayat 51 : Surah asy- Syura )
Nabi Musa a.s telah mendengar perkataan Tuhan dari sebalik hijab tanpa Allah s.w.t memperlihatkan Diri-Nya. Oleh karena terlalu asyik mendengar Kalam Tuhan, Nabi Musa a.s teringin untuk melihat-Nya.
Dan tatkala Musa datang di waktu (yang) Kami (tentukan itu) dan Tuhannya Berkata-kata dengannya, berkatalah dia: “Hai Tuhanku! Tunjukkanlah Diri-Mu kepadaku supaya aku lihat Engkau. ( Ayat 143 : Surah al-A’raaf )
Permintaan Nabi Musa a.s itu dijawab oleh Tuhan:
Dia berfirman: “Sekali-kali engkau tidak akan dapat melihat Aku, tetapi lihatlah kepada gunung itu, jika ia tetap pada tempatnya maka engkau akan melihat Daku!” Tatkala Tuhannya mentajallikan kepada gunung maka hancurlah ia dan tersungkurlah Musa pingsan. Setelah dia sedar berkatalah dia: “Maha Suci Engkau, dan aku adalah yang pertama sekali beriman”. (Ayat 143 : Surah al-A’raaf )
Jika Kalam Tuhan didengar disebalik hijab, melihat Tuhan juga di sebalik hijab, yaitu melihat Hadrat-Nya, merasakan kehadiran-Nya dengan iman, dengan penuh keyakinan. Nabi Musa a.s mendengar perkataan Tuhan di Gunung Thursina dan meminta untuk melihat-Nya. Nabi Muhammad s.a.w mendengar perkataan Tuhan di Arasy, tetapi Nabi Muhammad s.a.w tidak meminta untuk melihat-Nya. Setelah kembali ke Makkah baginda s.a.w ditanya oleh Abu Zarr adakah baginda s.a.w telah melihat Allah s.w.t? Baginda s.a.w menjawab: “Semuanya cahaya, bagaimana aku dapat melihat-Nya”. Hijab ketuhanan yang meliputi makhluk menyebabkan tidak mungkin makhluk melihat-Nya secara terang-terangan sebelum berlaku kiamat.
Manusia dapat mengalami Hadrat Ilahi karena Dia memperkenalkan Diri-Nya melalui sifat-sifat-Nya, melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia sendiri.
Dan pada diri kamu apakah tidak kamu perhatikan? ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat)
Nilai-nilai yang ada dengan manusia mengajar kepada manusia mengenai aspek tasybih Tuhan. Bakat yang ada dengan manusia membisakan manusia berhubung dengan Tuhan. Manusia mempunyai bakat yang istimewa ini karena manusia ada perkaitan dengan roh.
(Ingatlah) tatkala Tuhan engkau berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia daripada tanah. Maka apabila Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya daripada Roh-Ku hendaklah kamu meniarap kepadanya dalam keadaan sujud”. ( Ayat 71 & 72 : Surah Saad )
Maha Luhur derajat-Nya, Yang Empunya Arasy. Dia turunkan roh dari urusan-Nya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )
Seterusnya Allah s.w.t berfirman:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu roh dari urusan Kami. Padahal tidaklah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman. Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di semua langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Dan mereka bertanya kepada engkau tentang Roh. Katakanlah: “Roh itu adalah urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu melainkan sedikit”. ( Ayat 85 : Surah Bani Israil )
Hati nurani atau rohani manusia ada perkaitan dengan roh yang termasuk dalam kategori urusan Allah s.w.t. Roh urusan Allah s.w.t menjadi nur yang memberi petunjuk kepada manusia. Hati nurani yang diterangi oleh nur ini akan terpimpin kepada jalan Allah s.w.t. Roh urusan Allah s.w.t itulah memungkinkan segala urusan sampai ke Hadrat-Nya. Amalan, doa, rayuan dan apa saja yang manusia lakukan sampai kepada Allah s.w.t karena roh urusan Allah s.w.t. Bagaimana semua itu terjadi tidak dapat diterangkan karena manusia diberi sedikit saja ilmu mengenai roh urusan Allah s.w.t itu. Dengan ilmu yang sedikit itulah manusia mencoba menggerakkan kepemahaman mengenainya.
Tuhan mengajar manusia melalui nilai-nilai yang ada pada diri manusia sendiri. Manusia wujud, hidup, mendengar, melihat, berkata-kata, berkehendak dan berpengetahuan. Melalui nilai-nilai tersebut Tuhan mengatakan Dia Wujud, Hidup, Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Berkehendak dan Berilmu. Oleh karena manusia memiliki unsur seni yang diistilahkan sebagai roh, maka Allah s.w.t menggunakan istilah roh juga agar mudah manusia memahami tentang roh urusan Tuhan. Tetapi manusia jangan lupa apa yang dinisbahkan kepada Tuhan melampaui segala sesuatu, melampaui bahasa dan pengetahuan, melampaui penyifatan dan ibarat dan tidak ada sesuatu yang serupa dengan apa yang dinisbahkan kepada-Nya. Tuhan bukakan ilmu mengenai ini sedikit saja, hanya sekadar mencukupi untuk membuat manusia beriman mengenainya.
Roh manusia yang ada perkaitan dengan tiupan Roh Allah s.w.t adalah sesuatu yang sangat unik dan istimewa. Adam a.s yang diciptakan daripada tanah berkeadaan separti mayat sehinggalah beliau a.s menerima tiupan Roh Allah s.w.t. Kesan daripada tiupan Roh Allah s.w.t dinamakan Roh Insan yang padanya terkumpul segala bakat-bakat yang diperlukan oleh manusia, separti bakat-bakat mendengar, melihat dan lain-lain. Tiupan Roh Allah s.w.t menjadikan manusia hidup dan mempunyai daya dan upaya. Tiupan Roh Allah s.w.t juga melahirkan nafsu dan akal yang berguna bagi mengarahkan perjalanan kehidupan dan penggunaan bakat-bakat yang ada dengan manusia. Apabila keupayaan untuk hidup, bakat-bakat, nafsu dan akal berkumpul dan bersatu dengan jasad jadilah ia seorang manusia yang cukup sifat dan sempurna kejadiannya. Ia menjadi makhluk yang berjasad dan berhati nurani atau dikatakan juga manusia yang memiliki aspek zahir dan aspek batin. Aspek zahir manusia umpama mayat dan aspek batinnya umpama malaikat. Ketika Adam a.s berada di dalam syurga aspek zahirnya tidak menyerlah, kurang pengaruhnya. Pada tahap itu kedudukan Adam a.s sama dengan malaikat. Setelah Adam a.s dihantar ke dunia aspek zahirnya berada di dalam suasana yang sesuai dengannya. Aspek zahir menjadi kuat dan mencoba mempengaruhi aspek batin agar tunduk kepada keinginannya. Manusia pada aspek mayat tidak lagi menumpang aspek malaikat, malah ia mencoba menggunakan aspek malaikat untuk memenuhi kepentingan dan keperluannya. Mungkin juga karena ia menyedari yang ia akan kembali menjadi mayat, sedangkan aspek malaikat akan terus hidup, maka apa saja yang dia ingini mesti diperolehi sekarang, jangan bertangguh-tangguh lagi.
Bakat-bakat manusia separti mendengar dan melihat dimiliki oleh kedua-dua aspek manusia yaitu zahir dan batin. Oleh karena pengaruh zahir lebih kuat maka bakat aspek batin tidak mampu digunakan oleh manusia. Hijab zahiriah terlalu kuat sehingga manusia tidak mampu menyaksikan perkara-perkara ghaib, apa lagi hal-hal ketuhanan. Manusia separti ini tidak dapat merasakan kehadiran Tuhan. Apabila terhijab daripada kehadiran Tuhan, amal ibadat yang dilakukan tidak memberi kesan dan tidak mampu melindungi manusia daripada terjerumus ke dalam kejahatan.
Manusia dapat mengalami suasana Hadrat Tuhan (kehadiran Tuhan) apabila bakat-bakat rohnya berfungsi. Roh manusia sangat istimewa. Roh yang Tuhan kurniakan kepada manusia menyebabkan manusia bisa mengenal Tuhan apabila Tuhan mengajar mereka mengenali-Nya melalui bakat-bakat dan nilai-nilai yang ada dengan mereka sendiri.
Keajaiban yang dimiliki oleh roh menyebabkan ada manusia yang salah mengarti tentang roh mereka. Mereka beranggapan roh itulah Tuhan, penjelmaan Tuhan atau Tuhan adalah batin (nyawa) kepada roh. Diri, roh dan Tuhan dikatakan yang sama. Pemahaman ini adalah sesat dan kufur. Tuhan mengajar manusia mengenali-Nya melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia bukan untuk menyesatkan manusia dengan akal dan khayalan mereka. Manusia mempunyai sifat melihat. Tuhan mengatakan Dia Melihat. Penglihatan manusia dan juga penglihatan roh bukanlah Penglihatan Tuhan. Ke dua-duanya tidak sama dan tidak serupa. Penglihatan manusia dan juga penglihatan roh adalah ciptaan Tuhan. Tuhan bisa menciptakan penglihatan untuk manusia dan roh karena Dia memiliki Penglihatan. Oleh karena Dia yang memiliki Penglihatan maka Dia tahu bagaimana mau menciptakan penglihatan. Tuhan berpengetahuan dalam menciptakan penglihatan untuk makhluk-Nya. Jika Tuhan tidak memiliki Penglihatan maka Tuhan menciptakan penglihatan makhluk dalam kejahilan. Keadaan ini adalah mustahil bagi Tuhan. Tuhan Maha Tahu tentang apa yang diciptakan-Nya karena setiap nilai dan bakat yang diciptakan-Nya dimiliki-Nya sendiri secara Mutlak. Nilai Mutlak yang dimiliki oleh Tuhan menyebabkan Dia bisa mengadakan nilai-nilai tersebut yang tidak Mutlak. Oleh karena itu tiada hujah bagi manusia mengatakan Tuhan tidak melihat perbuatan mereka karena Tuhan memiliki Penglihatan Mutlak. Penglihatan Mutlak menyaksikan apa saja yang dipandang oleh penglihatan yang tidak Mutlak. Tidak mungkin penglihatan yang tidak Mutlak memandang tanpa penyaksian Penglihatan Mutlak.
Tuhan juga memiliki Roh Mutlak, lantaran itu Dia bisa mengadakan roh yang tidak Mutlak untuk manusia. Pendengaran, Penglihatan dan lain-lain adalah bakat Roh Mutlak. Roh tidak Mutlak juga memiliki bakat-bakat mendengar, melihat dan lain-lain. Keadaan yang demikian menyebabkan orang sufi sering mengatakan insan diciptakan dengan bayangan ar-Rahman. Ungkapan yang demikian melahirkan kepemahaman yang insan adalah bayangan Tuhan. Sebenarnya bakat manusia tidak bisa dihubungkan dengan bakat Tuhan separti menghubungkan bayang dengan yang empunya bayang. Wujud manusia dan sifat manusia tidak bertembung dengan Wujud Tuhan dan sifat Tuhan. Roh manusia bukanlah Roh Tuhan. Roh menggambarkan bakat-bakat yang banyak berkumpul dalam kesatuan. Bakat-bakat mendengar, melihat, berkata-kata, berkehendak, berkuasa, berpengetahuan dan hidup adalah bakat yang satu yaitu roh. Apabila disebut roh ia meliputi semua bakat dan nilai. Apabila Bakat-bakat yang demikian dilihat pada suasana ketuhanan, maka suasana tersebut dinamakan Kudrat. Istilah Roh Tuhan adalah satu bentuk pengajaran Tuhan kepada manusia melalui nilai yang ada dengan manusia sendiri, supaya mudah manusia memperolehi kepemahaman. Orang yang menyamakan rohnya dengan Roh Tuhan dan menyamakan dirinya dengan Tuhan wajiblah bertaubat sebelum nyawa sampai di halkum. Yakinlah hamba tetap hamba dan Tuhan tetap Tuhan, tidak ada kamil berkamil, satu bersatu, sama menyama. Bertaubatlah daripada iktikad yang salah!
Suasana Hadrat yang di alami oleh hati nurani dikenali sebagai hakikat atau hal ketuhanan. Hakikat dialami dalam dua keadaan. Dalam keadaan yang pertama orang yang mengalaminya tidak sedarkan kewujudan dirinya dan dalam keadaan yang ke dua pula pengalaman hakikat tidak mencabut kesadaran dan kehambaannya. Misalnya, dalam satu pengalaman hakikat, orang yang hilang kesadaran mengucapkan: “Ana al-haq! (Akulah Tuhan)”, tetapi orang yang menetap dalam kesadaran dan kehambaan yang mengalami hakikat yang sama mengucapkan: “Hua al-Haq! (Dia jualah Tuhan)”. Jenis pertama merasakan dia menjadi Tuhan. Jenis ke dua mengenali apa yang dimaksudkan sebagai Tuhan. Yang pertama hilang kesadaran diri lalu mengaku menjadi Tuhan. Yang ke dua pula mengenali Tuhan sebagai Tuhan dan hamba sebagai hamba. Jenis pertama dikurung oleh bayang dan mendapati sukar untuk melepasi peringkat itu. Jenis ke dua menetap di atas kenyataan yang benar dan lebih mudah untuk sampai kepada Kebenaran Hakiki.
Allah s.w.t mempunyai satu Hadrat bernama ar-Rahman. Orang yang hilang kesadaran masuk kepada bayangan ar-Rahman lalu merasakan dirinya adalah ar-Rahman. Dia merasakan dirinya sangat pemurah, mau mengabulkan apa saja yang orang minta. Tetapi ‘ar-Rahman’-nya hanyalah bayangan. Oleh itu apa yang bisa diberinya juga adalah bayangan yaitu pengharapan dan angan-angan. Orang yang menemui Hadrat ar-Rahman dalam kesadaran mengalami hal yang berbeda. Dia tidak diganggu oleh bayangan. Dia mengalami suasana kesucian yang Maha Suci, kebesaran yang Maha Besar, keagungan yang Maha Agung. Pada ketika itu dia merasakan setiap zarah kewujudannya sama separti debu tepung. Apabila berhadapan dengan Tuhan ar-Rahman dia merasakan setiap zarah kewujudannya relai seumpama debu tepung ditiup angin kencang. Bila dia keluar daripada pengalaman tersebut dia mendapat pengartian tentang keagungan Tuhan ar-Rahman. Dia mengarti keadaan hancurnya Gunung Thursina tatkala Tuhan hadapkan keagungan-Nya ke sana. Dia mengarti maksud perkataan Jibrail a.s: “Jika aku melangkah satu langkah lagi cahaya keagungan Allah s.w.t akan membakar daku”. Dia mengarti maksud perkataan Rasulullah s.a.w: “Cahaya di mana-mana, bagaimana aku bisa melihat-Nya”.
Orang yang menetap dalam kehambaan mengalami hakikat dan memperolehi makrifat melalui pengalaman, bukan sekadar melalui ilmu. Ketika merasakan zarah kewujudannya tertanggal satu-satu dia mengenal Tuhan yang bisa dikenal. Setelah zarah-zarah kewujudannya ‘diterbangkan angin kencang’ dan ‘hilang’, dia mengenali Tuhan yang melampaui segala pengenalan. Lalu dia mendapat pengartian bahwa yang benar-benar kenal Tuhan adalah Tuhan sendiri. Hanya Dia yang mengenali Diri-Nya. Kami mengenali-Nya melalui-Nya, sekadar yang Dia izinkan kami mengenali-Nya. Pengalaman hakikat cara demikian menggabungkan tahu dengan tidak tahu, faham dengan tidak faham dan kenal dengan tidak kenal.
Perkara yang sering menimbulkan kekeliruan orang banyak adalah persoalan Qada dan Qadar. Qada dan Qadar berhubung dengan Ilmu Tuhan atau suasana Pentadbiran Tuhan. Ada orang yang Tuhan izinkan ‘masuk’ ke dalam suasana Ilmu-Nya. Apa yang ditemui pada Hadrat Ilmu Tuhan adalah hakikat-hakikat yang menguasai perjalanan alam. Hakikat atau urusan Tuhan yang berhubung dengan manusia dinamakan Hakikat Insan. Urusan Tuhan yang berhubung dengan alam dinamakan Hakikat Alam. Urusan yang mencakupi segala perkara dinamakan hakikat kepada hakikat-hakikat atau hakikat yang menyeluruh. Pengalaman hakikat-hakikat pada Hadrat Ilmu Tuhan membawa seseorang kepada jalan yang menggabungkan dua jalan yaitu jalan nabi dan jalan asma’. Jalan nabi adalah syariat yaitu mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan mengabdikan diri kepada-Nya.
Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdikan diri kepadaKu. ( Ayat 56 : Surah adz-Dzaariyaat )
Jalan asma’ adalah menyaksikan Rububiah (ketuhanan) pada setiap masa dan dalam semua suasana.
Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kamu. Tidak ada satu pun yang melata melainkan Dia jualah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku adalah di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud )
Bukan kamu yang membunuh mereka tetapi Allah jualah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar tetapi Allah jualah yang melempar. ( Ayat 17 : Surah al-Anfaal )
Jalan syariat memperbaiki amal dan jalan asma’ atau jalan hakikat adalah menyaksikan Hadrat Ilahi dalam segala perkara dan pada semua suasana. Bila dua jalan berpadu lahirlah amal zahir dan amal batin yang sesuai dengan peraturan dan kehendak Allah s.w.t, mengambil Qada dan Qadar melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia, berusaha dan beramal, dan pada masa yang sama beriman dan bertawakal kepada Tuhan yang memegang perjalanan segala urusan. Tidak ada sesuatu yang bebas daripada hakikat ketuhanan yang menguasainya.
18: KAMI DATANG DARI ALLAH, KEPADA ALLAH KAMI KEMBALI
________________________________________
Apabila Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya daripada Roh-Ku ……
( Ayat 72 : Surah Saad )
Roh diumpamakan sebagai tubuh. Keupayaan yang menghidupkan roh dipanggil nyawa. Apabila ia hidup ia mempunyai keupayaan untuk melahirkan berbagai-bagai bakat. Keupayaan yang melahirkan kehendak dinamakan nafsu. Keupayaan untuk melahirkan pengetahuan dinamakan akal. Roh yang satu bisa dilihat melalui empat aspek. Aspek roh yang melahirkan bakat-bakat separti mendengar, melihat dan lain-lain dinamakan roh juga. Aspek roh yang melahirkan kehendak dinamakan nafsu. Aspek roh yang melahirkan pengetahuan dinamakan akal. Aspek roh yang melahirkan kehidupan dinamakan nyawa.
Tuhan mengajar manusia mengenali-Nya melalui sifat atau nilai yang ada dengan manusia sendiri walaupun sifat manusia bukan sifat Tuhan. Dalam persoalan roh, aspek roh yang menghasilkan bakat-bakat dikaitkan dengan sifat Kudrat. Nafsu pula dikaitkan dengan sifat Iradat. Akal dikaitkan dengan sifat Ilmu. Nyawa dikaitkan dengan sifat Hayat.
Kudrat Allah s.w.t yang memberikan keupayaan kepada roh. Roh berperanan membekalkan bakat-bakat, keupayaan serta tenaga. Kebisaan mendengar, melihat, berkata-kata, bergerak dan lain-lain adalah merupakan pekerjaan roh. Roh mempastikan setiap bakat itu pergi kepada alat atau pancaindera yang sesuai dengannya. Roh menghantarkan bakat melihat kepada mata, mendengar kepada telinga, berkata-kata kepada lidah dan bakat-bakat lain dihantar kepada pancaindera yang sesuai untuk masing-masingnya. Roh dikaitkan dengan urusan Allah s.w.t. Sebab itu pekerjaan roh adalah tepat dan sempurna. Roh tidak membuat silap, separti meletakkan bakat melihat kepada kaki atau bakat mendengar kepada lutut. Dalam syariat roh diistilahkan sebagai malaikat. Malaikat yang menjaga matahari, bulan, bintang dan planet-planet lainnya akan mengseret masing-masing itu pada falak yang telah ditentukan oleh Tuhan dan maklumatnya telah dibekalkan kepada malaikat atau roh masing-masing. Malaikat menjalankan perintah Tuhan dengan tepat, tanpa kegoncangan yang datang daripada nafsu dan akal. Roh atau malaikat secara semulajadinya mempunyai sifat hanya mentaati perintah Allah s.w.t tanpa berfikir atau memilih. Malaikat angin yang diperintahkan Allah s.w.t supaya membinasakan sesebuah negeri akan berbuat demikian tanpa kasihan belas walaupun anak dipisahkan daripada ibu bapa, isteri dipisahkan daripada suami dan banyak nyawa terkorban serta harta benda yang rosak. Malaikat atau roh yang menghantar bakat melihat kepada mata akan terus berbuat demikian walaupun mata itu digunakan untuk melihat sesuatu yang dimurkai Allah s.w.t, melainkan jika Allah s.w.t memerintahkannya memberhentikan penghantaran bakat tersebut. Jadi, roh pada aspek bakat-bakat adalah serupa dengan malaikat yang menjalankan tugas tanpa rangsangan nafsu dan partimbangan akal.
Pada roh yang ditentukan untuk manusia ada aspek yang dipanggil nafsu. Nafsu menjadi faktor yang membedakan manusia dengan malaikat. Nafsu melahirkan kemauan, perasaan, timbang rasa dan seumpamanya. Nilai-nilai yang ada pada nafsu mempengaruhi haluan roh menggunakan bakat-bakatnya. Jika tidak ada pengaruh nafsu, roh akan hanya menggunakan bakat-bakatnya untuk perkara-perkara kebaikan yang diredai Allah s.w.t. Peranan nafsu menyebabkan bakat roh bisa digunakan untuk kebaikan atau kejahatan berdasarkan nilai-nilai yang menguasai nafsu. Tabiat nafsu yang berbagai-bagai menyebabkan ia dikenali dengan berbagai-bagai nama, berdasarkan kadar kebaikan atau kejahatan yang menjadi tabiat nafsu itu. Pada tahap nafsu bertabiat paling buruk ia dikenali sebagai nafsu ammarah. Pada tahap ia berkemampuan membedakan yang baik daripada yang buruk ia dinamakan nafsu lawwamah. Pada peringkat nafsu lawwamah, mengenali dan mengakui keburukan tidak menghilangkan sepenuhnya tabiat buruk itu daripada nafsu. Apabila tabiat buruk itu sudah hilang sepenuhnya daripada nafsu ia dinamakan nafsu mulhamah. Nafsu mulhamah, walaupun sudah tidak memiliki tabiat buruk tetapi ia masih belum menetap dan bisa kembali dipengaruhi oleh tabiat buruk. Jika ia sudah menetap, teguh dan tabiat buruk tidak sampai kepadanya lagi, ia dinamakan nafsu muthmainnah. Nafsu yang berada dalam suasana muthmainnah merupakan nafsu yang diredai Allah s.w.t dan dijamin syurga untuknya. Nafsu yang bertaraf ahli syurga ini akan mengarahkan bakat-bakat roh kepada perkara-perkara kebaikan saja.
Aspek roh yang berkait rapat dengan keupayaan membuat pilihan, selain nafsu, adalah akal. Jika nafsu menjadi pembeda di antara manusia dengan malaikat, akal pula menjadi pembeda di antara manusia dengan hewan. Akal memiliki keupayaan untuk berfikir, mengingat, menimbang, berangan-angan dan seumpamanya. Bakat akal yang demikian berpusat pada otak. Ia berguna bagi menguruskan perkara-perkara lahiriah separti bidang sains dan teknologi, sosial dan lain-lain bidang kehidupan. Akal jenis ini mampu bergerak dalam sekop fitrah kemanusiaan tetapi tidak berupaya melonjak kepada fitrah Muslim karena ia lemah dalam perkara yang berkaitan dengan ketuhanan. Akal yang berpusat pada otak disempadani oleh logik sedangkan Tuhan tidak ada sempadan.
Bakat-bakat roh, nafsu dan akal bisa dibagikan kepada dua kategori. Kategori pertama adalah kemanusiaan dan yang keduanya kehambaan kepada Tuhan. Bakat-bakat roh, nafsu dan akal yang berfungsi memenuhi keperluan hidup manusia secara lahiriah dinamakan kemanusiaan. Bakat yang digunakan untuk beribadat kepada Allah s.w.t dan berbuat bakti kepada makhluk Allah s.w.t karena-Nya dinamakan kehambaan (ubudiah). Akal yang berpusat pada otak adalah akal kemanusiaan. Ia tidak mampu menghayati kebesaran, keagungan dan kebijaksanaan Allah s.w.t. Akal yang berguna bagi pengajian tentang ketuhanan adalah akal yang berhubung dengan hati nurani, yang bersuluhkan cahaya petunjuk Tuhan.
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu roh dari urusan Kami. Padahal (jika tidak demikian) tidaklah engkau tahu apa itu kitab dan apa itu iman. Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk kepada barangsiapa yang Kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami.
( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Aspek bakat-bakat roh, nafsu dan akal yang ada perkaitan dengan roh urusan Tuhan itulah yang mampu menyatakan kehambaan kepada Tuhan. Nur atau cahaya roh urusan Tuhan menjadikan alam ghaib terang benderang sehingga bakat-bakat roh bisa melakukan ibadat kepada Allah s.w.t, nafsu bisa mengasihi Allah s.w.t dan akal pula dapat merenungi bidang ghaib sehingga mendapat pengetahuan tentang Tuhan.
Roh dengan bakat-bakatnya, nafsunya dan akalnya tidak bisa berfungsi jika tidak ada penghidupan atau nyawa. Allah Yang Maha Hidup mengurniakan penghidupan kepada roh urusan-Nya dan roh urusan Tuhan menggerakkan Roh Insan untuk hidup. Penghidupan atau nyawa roh itu, yang juga diistilah sebagai roh, bukanlah Hayat Allah s.w.t. Allah s.w.t memiliki Hayat yang Mutlak sebab itu Dia berkuasa menciptakan penghidupan atau nyawa yang tidak Mutlak untuk makhluk-Nya. Nyawa Insan (roh) hanyalah makhluk ciptaan Allah s.w.t bukan sifat Hayat Allah s.w.t. Walaupun begitu kejadian roh (nyawa) ini mengatasi segala kejadian yang lain karena apa juga bentuk kewujudan hanya bisa berfungsi setelah digerakkan oleh nyawa. Nyawa (roh) yang istimewa ini adalah nyawa bagi roh, bukan nyawa bagi jasad. Ciptaan roh bernyawa (hidup) dikaitkan dengan tiupan Roh Allah s.w.t. Sebelum ada roh, tidak ada bakat-bakat, tidak ada malaikat. Sebelum ada nyawa tidak ada penghidupan. Dalam suasana tidak ada malaikat sebagai pemangkin atau penghijab dan tidak ada penghidupan sebagai penggerak, Tuhan menciptakan roh yang bernyawa. Roh itu menjadi bernyawa karena tiupan Roh Allah s.w.t. Ciptaan roh bernyawa ini merupakan ciptaan secara langsung tanpa perantaraan malaikat. Pada ciptaan yang paling istimewa ini perantaraan hanyalah hijab ketuhanan atau sifat Tuhan. Roh bernyawa yang berhijabkan sifat Tuhan inilah yang diistilahkan sebagai tiupan Roh Allah s.w.t.
Roh yang berhijabkan hijab ketuhanan itu merupakan ciptaan Tuhan yang paling murni, paling istimewa dan paling mulia. Setelah roh yang paling murni itu diciptakan ia berfungsi pula sebagai pemangkin atau penghijab kepada ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain. Jadi, roh yang paling murni itu adalah ciptaan kelas pertama dan kejadian yang lain adalah ciptaan kelas kedua. Roh yang paling murni atau latif itu lebih murni daripada cahaya malaikat. Malaikat tidak berupaya menyaksikannya. Kedudukan roh yang paling latif itu satu tingkat lebih tinggi daripada tingkat terakhir yang dipijak oleh Jibrail pada malam Israk dan Mikraj. Walaupun Jibrail merupakan salah satu makhluk bangsa nur yang latif tetapi kelatifan nur Jibrail lebih rendah daripada kelatifan roh yang paling latif itu. Sebab itu Jibrail tidak dapat memasuki medan nur roh yang paling latif itu. Roh yang paling latif itu adalah roh Nabi Muhammad s.a.w atau biasanya di kalangan ahli tasauf dipanggil Roh Muhammad. Kelatifan roh baginda s.a.w itulah yang menjadi hijab melindungi baginda s.a.w melalui pergeseran alam ghaib, sehingga baginda s.a.w sampai kepada Arasy yaitu medan nur roh yang paling latif itu. Nabi Muhammad s.a.w kembali ke tempat asal roh baginda s.a.w, tempat yang tidak ada makhluk lain kecuali nur yang latif itu.
Tuhan berkehendak mengadakan kenyataan kepada roh yang paling latif itu dan untuk itu Dia ciptakan jasad Adam a.s. Setelah jasad Adam a.s sempurna diciptakan, Tuhan ‘hubungkan’ roh yang paling latif itu dengan jasad tersebut. Hubungan itu menyebabkan Adam a.s menjadi hidup dengan mempunyai rohnya sendiri, yang ‘menumpang’ bakat kehidupan kepada roh yang latif. Walaupun jasad Adam a.s dijadikan daripada tanah tetapi rohnya berkait dengan roh yang paling latif, malah roh Adam a.s atau Roh Insan adalah bakat roh yang paling latif itu. Tidak putus hubungan roh individu dengan roh yang menjadi sumber kepada kewujudan roh-roh.
Roh yang paling latif, roh Nabi Muhammad s.a.w, sumber kepada Roh-roh Insan, berkedudukan sebagai khalifah Allah s.w.t, utusan-Nya atau urusan-Nya yang melaksanakan perintah Allah s.w.t. Ia menyimpan segala maklumat mengenai segala yang Tuhan mau ciptakan. Roh urusan Tuhan itulah yang bertugas dengan tepat memastikan apa yang Tuhan kehendaki itu terlaksana dengan tepat.
Dan tidak Kami utuskan engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi sekalian alam.
( Ayat 107 : Surah al-Anbiyaa’ )
Bakat kekhalifahan roh yang paling latif itu hanya menjadi kenyataan setelah Adam a.s diciptakan. Adam a.s dan keturunan beliau a.s menjadi bekas menterjemahkan bakat-bakat khalifah Allah s.w.t yang menjadi urusan Allah s.w.t. Roh Insan yang diterangi oleh roh yang paling latif, yang hanya dihijabkan oleh hijab ketuhanan, dibekalkan dengan kebisaan untuk mengalami suasana Hadrat Ilahi, merasai kehadiran Tuhan serta mengenali Tuhan dalam aspek yang ada hubungan dengan makhluk dan Tuhan dalam aspek yang melampaui segala bentuk perhubungan dengan makhluk. Roh Insan yang diterangi oleh roh yang paling latif mengenali Allah s.w.t secara tasybih dan tanzih. Hadrat Ilahi atau hakikat yang dialami oleh Roh Insan diistilahkan sebagai Rahsia-rahsia Allah s.w.t. Rahsia-rahsia Allah s.w.t yang dikurniakan kepada Roh Insan tidak diketahui oleh makhluk yang lain. Oleh yang demikian makhluk yang lain mesti akur dengan kedudukan insan sebagai khalifah Allah s.w.t. Oleh karena Adam a.s yang menyatakan kekhalifahan itu maka sekalian makhluk mesti akur dengan kedudukan Adam a.s sebagai ciptaan Tuhan yang menanggung Rahsia Allah s.w.t yang paling mulia. Sekalian makhluk mesti tunjukkan bukti penerimaan tersebut dengan cara sujud menghormati Adam a.s.
Intipati kepada roh adalah aspeknya yang melahirkan penghidupan, yang diistilahkan sebagai nyawa, seumpama air yang mengalir kepada seluruh tubuh, menggerakkan semua bakat-bakat. Atas dasar perkaitan roh dengan jasad, aspek nyawa itu dinamakan Nyawa Insan. Ada juga yang menamakannya Insan Batin. Ada juga yang memanggilnya Insan Rahsia Allah s.w.t, bagi menggambarkan hubungannya dengan Hadrat Ilahi (Rahsia Allah s.w.t). Selain itu ada pula yang memanggilnya diri yang sebenarnya. Oleh karena kedudukan hubungannya dengan Hadrat Tuhan maka dialah yang benar-benar bertaraf hamba Tuhan, yang tahu melakukan kehambaan kepada Tuhan sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Jika dia berhenti bekerja maka semua bakat-bakat akan berhenti berfungsi. Jika dia menyembah Allah s.w.t maka semua bakat-bakat menyembah Allah s.w.t.
Roh mempunyai keupayaan untuk menghidupkan jasad dan menggerakkan bakat-bakat yang ada pada jasad. Kesan daripada tindakan roh, jasad menjadi hidup dan keupayaan yang menghidupkan jasad itu dinamakan nyawa bagi jasad. Nyawa yang menghidupkan jasad ini biasanya dipanggil Roh Hewani. Roh yang menggerakkan Roh Hewani itu dinamakan Roh Insani. Roh Hewani menghidupkan jasad. Roh Insani pula memperolehi kehidupan daripada Insan Sirullah (Insan Rahsia Allah s.w.t). Apabila Roh Insani berhenti ‘membekalkan’ Roh Hewani, jasad akan mengalami kematian, tetapi Roh Insan tidak mati walaupun jasad sudah mati. Oleh sebab itu kematian jasad tidak menyelamatkan manusia daripada soal-jawab di dalam alam kubur. Alam kubur merupakan salah satu daripada pintu syurga atau pun pintu neraka. Insan yang hidup di dalam kubur akan memandang kepada salah satu tempat kesudahannya, sama ada syurga atau neraka. Wap bagia atau celaka sudah dapat dirasakan oleh ahli syurga sekalipun kiamat belum berlaku.
Roh Hewani atau nyawa kepada jasad bekerja melalui pernafasan, yaitu udara yang keluar masuk melalui hidung dan mulut dan juga aktiviti turun naik di dalam jantung yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Roh Hewani dan aktiviti jasad berkait rapat. Jika pengaliran udara ke dalam jasad ditahan atau aktiviti jantung diberhentikan, Roh Hewani tidak berupaya lagi menghidupkan jasad. Jadi, nyawa jasad dan jasad saling bergantungan, saling perlu memerlukan. Tubuh yang sehat dengan jangka hayat nyawa jasad ada kaitan.
Kesatuan bakat-bakat roh, nafsu, akal dan nyawa dinamakan rohani atau hati nurani yang bertaraf hamba Tuhan yang sebenarnya. Dalam keadaan yang asli, tanpa pengaruh alam jasad dan alam benda, rohani berkedudukan sebagai insan yang sempurna. Rohani dikuasai oleh sifat Wahdaniah, yaitu rohani menyaksikan keesaan Allah s.w.t, tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Kecenderungan rohani hanya satu yaitu melakukan ubudiah atau kehambaan kepada Allah s.w.t.
Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau mengambil dari anak-cucu Adam dari tulang-tulang punggung mereka, dan Dia jadikan mereka saksi atas diri mereka sendiri: “Bukankah Aku Tuhan engkau?” Semua menjawab: “Memang, kami menyaksikan”. Supaya jangan kamu berkata di hari kiamat: “Sesungguhnya kami lalai dari ini”. Atau supaya tidak kamu katakan: “Yang musyrik itu hanyalah bapa-bapa kami yang dahulu sedangkan kami ini hanyalah keturunan sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami lantaran apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang berbuat salah?” Dan demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu supaya mereka kembali. ( Ayat 172 – 174 : Surah al-A’raaf )
Sebelum bercantum dengan jasad semua keturunan Adam yang masih dalam keadaan rohani yang suci murni, yang menyaksikan keesaan Tuhan, telah dihadapkan oleh Tuhan dengan ikrar ubudiah (kehambaan). Sekalian mereka menyaksikan dan memperakui ketuhanan Allah s.w.t. Rohani menyaksikan yang demikian karena mereka bermakrifat tentang keesaan Allah s.w.t dan ketuhanan-Nya. Rohani yang telah bermakrifat tentang Allah s.w.t itulah diri manusia yang sebenarnya, sementara jasad adalah alat baginya membuktikan kehambaannya kepada Tuhan. Oleh yang demikian mereka tidak ada alasan kelak untuk mengatakan bahwa mereka tidak diberi pengetahuan tentang Tuhan. Mereka juga tidak bisa memberi alasan menurut hukum lahiriah yang berhubung dengan pertalian jasad dengan mengatakan mereka menjadi musyrik karena ibu bapa mereka musyrik. Sebelum ada kaitan dengan jasad menurut nasab keturunan, manusia yang sebenar (rohani) sudah mendapat keterangan yang jelas tentang Tuhan. Tuhan kurniakan jasad kepada manusia rohani supaya mereka membuktikan kebenaran ikrar kehambaan yang mereka telah buat dengan Tuhan.
Manusia rohani berkewajiban mencari jalan kembali ketika mereka masih mengenderai jasad karena jasad itu nanti yang akan menjadi saksi ke atas mereka. Manusia rohani ‘masuk’ ke alam jasad untuk melakukan pekerjaan yang diamanahkan oleh Tuhan. Pekerjaan itu adalah menjadi khalifah, mentadbir kehidupan berjasad menurut perintah dan peraturan Tuhan. Apabila dikeluarkan daripada alam jasad habislah tempuh yang dibenarkan untuk bekerja. Datanglah tempuh perkiraan dan pemberian ganjaran atau hukuman.
Percantuman rohani dengan jasad menyebabkan manusia mempunyai dua jenis diri. Jasad dinamakan diri zahir dan rohani dinamakan Diri Batin. Diri zahir menjadi sarang atau bekas kepada Diri Batin. Jasad yang pada mulainya berkedudukan sebagai mayat bertukar menjadi hidup dan mempunyai nilai-nilai kehidupan setelah ia bercantum dengan diri rohani. Diri rohani pula yang pada mulainya tidak dapat mempamerkan bakat-bakat dan nilai-nilai yang ada padanya, telah bisa menjadi nyata dan mempamerkan apa yang ada dengannya. Percantuman dengan Diri Batin melahirkan pada diri zahir nyawanya, bakat-bakatnya, nafsunya dan akalnya. Alam diri zahir adalah jasadnya dan alam kebendaan yang nyata. Diri zahir berkehendakkan apa yang menggembirakan jasadnya daripada benda-benda dan perkara-perkara yang nyata. Diri zahir juga menggunakan akalnya pada perkara yang nyata. Nafsu dan akal diri zahir akan mengarahkan segala bakat dan kekuatannya kepada benda dan perkara yang zahir. Tidak ada keinginannya untuk melakukan ibadat kepada Allah s.w.t dan melakukan kebaktian kepada-Nya. Tidak lahir pengetahuannya tentang Tuhan. Tidak ada kasih sayangnya kepada Tuhan. Tidak ada renungannya kepada kebesaran dan kebijaksanaan Tuhan. Segala-gala yang pada diri zahir adalah yang zahir juga. Tidak ada urusan kehambaan kepada Tuhan pada diri zahir. Keadaan diri zahir adalah matanya tertutup daripada melihat kepada sesuatu tentang Tuhan, telinganya tuli daripada mendengar peringatan kepada Tuhan, mulutnya terkunci daripada bercakap tentang Tuhan dan bakat-bakat anggotanya terikat daripada melakukan kehambaan kepada Allah s.w.t.
Diri Batin atau manusia rohani berkewajiban membuka tutupan daripada mata diri zahir agar ia bisa melihat sesuatu tentang Tuhan, membuka penyumbat telinganya agar ia bisa mendengar sesuatu tentang Tuhan, membuka kunci mulutnya agar ia bisa bercakap sesuatu tentang Tuhan dan membuka ikatan anggotanya agar ia bisa melakukan sesuatu karena Tuhan. Pekerjaan manusia rohani sangat berat. Manusia zahir menjadi ujian bagi manusia rohani. Kebanyakan manusia rohani tertarik kepada keelokan manusia zahir dan ghairah dengan kepuasan yang dinikmati oleh manusia zahir. Manusia rohani yang sepatutnya menjadi khalifah kepada manusia zahir telah berubah menjadi alatnya.
Adam a.s merupakan manusia zahir yang pertama ‘bersanding’ dengan manusia rohani. Tugas Adam a.s adalah mebanyakkan manusia-manusia zahir karena banyak manusia-manusia rohani mau menyatakan diri mereka. Adam a.s diciptakan daripada anasir tanah yang asli.
Sesungguhnya Aku hendak jadikan manusia daripada tanah. ( Ayat 71 : Surah Saad )
Ciptaan pertama yang daripada tanah itu diberikan keupayaan untuk melahirkan keturunan. Keturunan Adam a.s membiak melalui percantuman unsur bapa dengan unsur ibu. Kedua-dua unsur tersebut bercantum di dalam perut ibu dalam suasana yang diuruskan oleh Tuhan yang dinamakan ‘rahim’. Rahim ini dinisbahkan kepada nama Tuhan ar-Rahim, Yang Pengasih dan Penyayang. Cantuman unsur ibu dengan unsur bapa, setelah melalui beberapa proses, akhirnya membentuk satu bentuk kewujudan yang bernama manusia zahir. Apabila manusia zahir sudah berumur di antara 120 hingga 145 hari, manusia zahir yang di dalam perut ibu itu ‘dikahwinkan’ dengan manusia rohani oleh urusan Tuhan yang bernama ar-Rahim itu. Apabila menjangkau usia sembilan bulan sepuluh hari, manusia yang sudah bercantum unsur zahir dengan unsur rohani dan telah dicelup di dalam kilang pencelupan ar-Rahim, melunsur keluar dari alam kandungan ibu kepada alam dunia. Manusia masuk ke dunia, setelah menerima pencelupan daripada ar-Rahim, membawa bekal sesuatu yang sangat murni, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah s.a.w yang bermaksud: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah”.
Percantuman dengan manusia zahir, terikat dengan darah, daging dan tubuh seluruhnya, diselimuti pula oleh hijab yang tebal, yaitu dunia, menyebabkan manusia rohani lupa kepada asal usulnya dan lupa kepada ikrar yang telah dibuatnya dengan Tuhan. Pengetahuannya tentang Tuhan juga tertutup. Mereka lupa kepada jalan kembali ke tempat asal mereka. Walaupun lupa tetapi benih fitrah masih tersembunyi di dalam ‘bumi’nya. Tuhan Yang Maha Penyayang, Maha Pengampun menghantarkan Kitab-kitab Suci dan Rasul-rasul untuk ‘menyiramkan’ fitrah suci itu agar ia tumbuh dan keluar dari bumi yang gelap gelita untuk menyaksikan kebenaran yang sudah ada dengannya.
Dan sesungguhnya telah Kami utuskan Musa dengan ayat-ayat Kami: “Bahwa engkau keluarkan kaum engkau dari gelap gelita kepada terang benderang, dan peringatkanlah mereka dengan hari-hari Allah”. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah tanda-tanda bagi tiap-tiap orang yang sabar dan bersyukur. ( Ayat 5 : Surah Ibrahim )
Rasul-rasul memberi peringatan kepada manusia rohani tentang hari-hari Allah s.w.t, yaitu suasana asal mereka yang mengenal Tuhan dan mengabdikan diri kepada Tuhan, disaksikan oleh ikrar mereka sendiri.
Katakanlah: “Inilah jalanku, yang aku dan orang-orang yang mengikuti daku seru (manusia) kepada Allah dengan basirah (pandangan yang jelas). Dan Maha Suci Allah! Dan bukanlah aku ini dari golongan orang musyrikin”. ( Ayat 108 : Surah Yusuf )
Rasul-rasul, Nabi-nabi dan orang yang mewarisi mereka melihat kebenaran dengan basirah, yaitu mata rohani mereka. Basirah menyaksikan yang benar sebagaimana yang telah disaksikan oleh rohani sebelum berkahwin dengan jasad. Basirah dapat menembusi benteng jasad dan dunia untuk melihat kepada jalan yang terbentang luas menuju Tuhan. Semua ilmu dalam dunia ini tidak berupaya mendatangkan basirah. Ilmu membuat kapal angkasa, ilmu membuat komputer, ilmu membina bangunan yang tinggi-tinggi, ilmu kedoktoran dan lain-lain ilmu dalam dunia tidak berupaya menghasilkan basirah, tidak mampu melihat kepada hakikat ketuhanan. Seseorang memerlukan ilmu yang datangnya dari alam ghaib yang tersembunyi, ilmu yang lahir daripada kesadaran terhadap Tuhan.
Dia turunkan Roh dari urusan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu Roh dari urusan Kami. Padahal (jika tidak demikian) tidaklah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu Iman. Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk kepada barangsiapa yang Kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami.
( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Maka mereka dapati seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya yang langsung dari Kami.
( Ayat 65 : Surah al-Kahfi )
Orang yang mau mencari jalan pulang perlu kepada bimbingan orang yang sudah ada basirah, yaitu orang yang hampir dengan Allah s.w.t dan berupaya menyaksikan kemutlakan atau mengalami suasana Hadrat Ilahi. Orang yang demikian berkedudukan sebagai khalifah kerohanian. Bergabung dan mendapat bimbingan khalifah kerohanian perlu bagi mencari jalan pulang. Pengembara pada jalan ini semakin berkurangan dan pembimbing pada jalan tersebut lebih berkurangan lagi. Pada satu masa nanti pemandu yang mahir sangat sukar didapati. Ketika itu orang yang terperangkap dalam dunia dan alam jasad mereka sendiri tidak dapat menemui jalan lagi.
Manusia yang terperangkap dengan dunia putus hubungan kemanusiaanya dengan kemurnian rohaninya. Pengetahuannya tidak menghala kepada Ilmu Tuhan. Dia hanya bisa berfikir tentang kehidupan duniawi saja. Dia bisa menjadi saintis yang bijak atau pemimpin yang handal, tetapi akalnya tidak berupaya menyingkap Rahsia ketuhanan yang tersembunyi di sebalik yang nyata. Nafsunya tidak menghala kepada Iradat Tuhan. Dia tidak ada selera untuk mengingati Tuhan, tidak ada rasa kasih sayang kepada Tuhan dan tidak takut atau malu kepada Tuhan. Keinginannya semata-mata tertumpu kepada kesenangan dan keseronokan duniawi. Nafsu yang bertaraf begini menjadi istana iblis. Nyawanya pula hanyalah sedutan dan hembusan nafas serta peredaran darah yang hampa. Tidak ada kelazatan bermunajat kepada Allah s.w.t. Anggota tubuhnya tidak digunakan untuk berbakti kepada Allah s.w.t. Segala daya dan upayanya ditujukan untuk memperolehi kemewahan dan menikmati kesenangan hidup di dunia semata-mata. Setiap anasir alam mengenakan tarikan kepada orang yang separti ini. Unsur zahirnya menjadi bertambah kuat sehingga keupayaan unsur rohaninya terkunci dan terpenjara. Orang yang separti ini berkedudukan separti hewan yang pandai berfikir dan pandai berkata-kata. Tidak ada bedanya taraf hewan cerdik ini dengan hewan lain yang tidak berakal.
Manusia rohani yang dapat membebaskan dirinya daripada fitnah yang datang daripada manusia zahir akan dapat menghadap kepada Tuhan, berbakti kepada-Nya dan menjalankan perintah-Nya dengan menggunakan manusia zahir dan lain-lain anasir zahir. Nafsunya menghadap kepada Iradat Tuhan. Lahirlah rasa kasih sayang kepada Tuhan. Keinginan untuk menghampiri Tuhan sangat kuat dalam jiwanya. Semangat untuk berbakti kepada Tuhan senantiasa berada pada tahap yang tinggi. Akalnya menghadap kepada Ilmu Tuhan. Kelihatanlah kepadanya kebesaran, keagungan dan kebijaksanaan Tuhan. Digunakannya akalnya untuk menguruskan kehidupan harian agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Apabila nafsu dan akal sudah menjurus ke jalan Tuhan, maka semua bakat-bakat yang ada pada dirinya tidak lagi digunakan untuk berbuat sesuatu yang dimurkai Tuhan. Kebaktiannya kepada makhluk Tuhan merupakan kebaktiannya kepada Tuhan karena dia berbuat demikian demi menjunjung perintah Tuhan.
Manusia rohani yang nafsu, akal dan anggotanya berjalan pada jalan Tuhan, nyawanya atau Diri Batinnya yang paling seni akan merasakan kelazatan bermunajat kepada Tuhan dan dapat mengalami suasana Hadrat Tuhan. Mengalami suasana Hadrat Tuhan dikatakan mengenali Tuhan melalui jalan rahsia karena pengalaman yang demikian tidak bisa disamakan dengan apa juga bentuk pengalaman yang lain. Diri Batin yang sampai kepada suasana tersebut digelarkan Insan Sirullah (Insan Rahsia Allah s.w.t).
Rahsia Allah s.w.t bukanlah Allah s.w.t. Tidak benar jika dikatakan Allah s.w.t yang menjadi batin kepada Insan Batin atau Allah s.w.t adalah nyawa kepada manusia rohani. Perkaitan Allah s.w.t dengan manusia bukanlah hubungan secara langsung dalam nyata atau ghaib. Ia bukan hubungan separti kulit dengan daging atau roh dengan jasad. Ia juga tidak separti hubungan roh dengan roh. Tuhan mengatakan roh adalah amr (urusan) Tuhan. Kedudukan Insan Batin, roh atau rohani hanyalah separti kedudukan amr Tuhan, bukan tubuh kepada Tuhan, bukan bekas yang mengalir di dalamnya sifat atau bakat Tuhan. Apa saja yang selain Tuhan adalah ciptaan Tuhan bukan Tuhan.
Kelatifan Diri Batin, roh atau rohani menyebabkan mudah timbul sangkaan yang menyamakannya dengan Tuhan atau memperhubungkannya secara langsung dengan Tuhan. Bunyi seruling bukanlah bunyi suara orang yang meniup seruling. Seruling menjadi hijab yang menceritakan bahwa ada orang yang meniup seruling. Suara seruling membawa perutusan daripada peniupnya. Suara seruling membawa ‘kehadiran’ peniupnya. Kehadiran tersebut adalah rahsia peniup seruling dan rahsia seruling itu sendiri. Orang arif mengenali peniup seruling dengan mendengar suara seruling. Orang arif juga mengenali jenis seruling melalui bunyinya. Perkenalan itu menjadi mungkin karena di antara peniup seruling dan seruling ada rahsia atau ‘kehadiran’ yang bercerita. Rahsia atau ‘kehadiran’ itulah hubungan di antara peniup seruling dengan seruling dan bunyi seruling. Hubungan Tuhan dengan Insan Batin, roh atau rohani lebih unik daripada hubungan peniup seruling, seruling dan bunyi seruling. Hadrat (kehadiran) Tuhan atau Rahsia Tuhan lebih unik daripada kehadiran peniup seruling. Hadrat Tuhan dirasai oleh batin manusia dalam suasana tiada berhuruf, tiada bersuara, tiada berupa dan tiada upaya untuk menceritakannya. Sebab itulah suasana tersebut menjadi rahsia di antara Tuhan dan Insan Batin. Insan batin itu dinamakan Insan Sirullah (Insan Rahsia Allah s.w.t). Ia bermaksud insan diberi keupayaan oleh Allah s.w.t untuk menanggung Hadrat-Nya, Rahsia-Nya, amanah-Nya dan nur-Nya. Apa juga istilah yang digunakan ia membawa maksud yang sama yaitu keadaan Tuhan dan yang berkaitan dengannya dinamakan urusan Tuhan. Roh sebagai ciptaan Tuhan yang paling unik, istimewa dan luar biasa, dalam keadaan keasliannya yang murni berfungsi sebagai perutusan yang membawa urusan Tuhan. Matlamat perjalanan manusia rohani adalah kembali kepada kedudukannya yang asal, yang bertaraf amr Tuhan. Manusia rohani yang kembali kepada taraf amr Tuhan itulah yang benar-benar mengenali Tuhan.
Dalam mencari jalan pulang manusia rohani mesti membawa bersama-samanya ‘rakan-kongsinya’ yaitu manusia zahir. Setelah manusia rohani dan manusia zahir bercantum bersama, maka segala urusan adalah bersama. Ketika manusia rohani belum bercantum dengan manusia zahir, ia adalah suci, murni dan tulin, tidak memikul sebarang beban. Setelah memikul beban ia berkewajiban membawa beban itu kepada jalan yang benar bersama-samanya. Jika manusia rohani berjaya memimpin manusia zahir kepada jalan yang lurus itu tandanya ia berada pada jalan yang benar, benar menanggung amanah Tuhan. Apabila sampai kepada satu peringkat manusia rohani dan manusia zahir akan menjadi bersesuaian di antara satu sama lain. Apa yang lahir kepada zahir itulah yang ada pada rohani. Lidah tidak mengeluarkan perkataan melainkan apa yang ada dalam hati yang suci bersih. Segala perbuatan dan kelakuan zahir adalah baik-baik belaka karena aspek zahir telah tunduk kepada aspek rohani. Keadaan demikian dikatakan diri zahir dengan Diri Batin berkamil, zahirnya adalah batinnya dan batinnya adalah zahirnya. Tidak ada perbedaan lagi di antara zahir dengan batin.
Aspek zahir manusia mestilah tunduk kepada syariat zahir dan aspek batin tunduk kepada syariat batin. Rangsangan dan tarikan tubuh badan serta anasir alam mestilah diharmonikan di bawah payung syariat. Syariat memperakukan keperluan zahir separti makan, minum, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesejahteraan hidup dan lain-lain. Berjalan pada jalan kerohanian tidak mewajibkan meninggalkan pekerjaan, isteri-isteri, anak-anak, masyarakat, makanan, minuman, pakaian dan lain-lain yang diharuskan oleh syarak. Syariat meletakkan peraturan dalam segala aspek kehidupan. Peraturannya adalah jelas dan mudah diikuti.
Jika aspek zahir manusia tunduk kepada peraturan syariat zahir sehingga menjadi bersesuaian dengannya, aspek rohani akan memperolehi kecemerlangan dalam syariat batin. Barulah benar seorang itu masuk ke jalan kerohanian. Orang yang bisa terbang ke dalam daerah kerohanian adalah orang yang memiliki dua sayap. Sayap pertama adalah syariat zahir dan sayap kedua adalah syariat batin. Kedua-dua sayap tersebut dinamakan syariat, tidak lagi digunakan istilah syariat zahir dan syariat batin. Bila zahir dan batin sudah berkamil, tidak ada lagi perbedaan di antara zahir dengan batin. Tiada lagi perpisahan di antara syariat zahir dengan syariat batin. Setiap amalan senantiasa ditemani oleh ‘karena Allah Ta’ala’.
Bagi membawa syariat zahir berkamil dengan syariat batin, seseorang bukan sekadar melakukan kebaikan, malah kebaikan itu perlu dilakukan dengan cara yang betul. Perbuatan sholat mestilah menurut syarat dan rukunnya, bukan sekadar bersholat saja. Melakukan pekerjaan yang halal mestilah dengan cara yang betul agar kemanfaatannya maksima dan kemudaratan bisa dielakkan daripada pekerjaan tersebut. Begitu juga dalam urusan mendidik anak-anak dan lain-lain. Setiap ahli syariat (Muslim) berkewajiban mempelajari cara yang betul dalam melakukan apa juga pekerjaan dan amalan yang baik yang perlu dilakukannya.
Orang yang mau kembali kepada jalan Tuhan perlulah faham bahwa dia tidak ada hak untuk mengubah apa yang telah dihukumkan oleh Tuhan. Apa yang Tuhan katakan benar mesti diterima sebagai benar. Apa yang Tuhan katakan salah mesti diterima sebagai salah. Tidak ada siapapun yang berhak meminda apa yang Tuhan telah tentukan. Tidak ada siapapun yang bisa mengubah waktu sholat lima waktu atau bulan yang difardukan berpuasa. Tidak ada siapapun yang bisa menghalalkan zina, arak, judi dan riba, atas apa alasan sekalipun. Perbuatan yang Tuhan haramkan tetap haram walaupun dibuat sebagai permainan atau main-main. Segala perbuatan manusia akan digantung di lehernya sendiri.
Dan tiap-tiap manusia Kami gantungkan (catatan) amalannya pada tengkuknya, dan Kami akan keluarkan baginya pada hari kiamat satu kitab yang dia akan menemuinya dengan terbuka. ( Ayat 13 : Surah Bani Israil )
Bila kehidupan dalam dunia ini diharmonikan menurut peraturan syariat, dunia ini tidak lagi menjadi dunia yang dibenci, malah ia menjadi taman untuk menanam tanaman akhirat. Ia menjadi medan untuk mempertajamkan kerohanian. Orang yang benar-benar mencari jalan kerohanian dalam dunia ini akan menemuinya. Tuhan sediakan dalam setiap kaum dan golongan orang-orang pilihan yang berkemampuan membimbing orang banyak kepada-Nya. Manusia pilihan itu adalah para arifbillah, insan sejati yang menjadi khalifah-Nya.
Orang arif, walaupun rohani mereka sangat elok, tetapi ia ditutupi oleh keadaan luar yang sangat sederhana dalam segala segi dan mereka terdiri daripada orang-orang yang tidak terkenal. Namun, orang yang demikian adalah umpama air wangi Tuhan di dalam dunia, bisa dicium keharumannya oleh orang-orang yang beriman, benar dan jujur saja. Orang yang mencium keharuman itu akan mengikuti baunya. Keharuman yang muncul dari orang arif melahirkan rasa rindu kepada Tuhan dalam hati orang yang beriman. Rasa rindu menarik kaki orang yang beriman untuk berjalan pada jalan Tuhan, kembali kepada kedudukannya yang asli. Orang yang bisa berjalan dengan mudah kepada Tuhan adalah orang yang lebih sempurna kedudukan syariatnya. Hakikat atau kebenaran sejati tidak muncul dengan baik sebelum syariat betul kedudukannya. Hakikat yang tidak sesuai dengan syariat adalah kebenaran bayangan semata-mata, bukan kebenaran sejati.
19:KEHIDUPAN DUNIA
________________________________________
Roh Insan yang sangat suci hanya menyata apabila ia dibaluti oleh jasad dan bakatnya hanya menonjol apabila ia ditempatkan di dalam dunia. Ketika Adam a.s mendiami syurga bakat kekhalifahannya tidak menyata. Setelah dimasukkan ke dalam dunia barulah nyata Adam a.s sebagai khalifah Tuhan. Keturunan Adam a.s juga menanggung kewajiban kekhalifahan itu di dalam dunia ini juga. Di dalam dunia yang sangat luas ini Adam a.s dan keturunannya ditempatkan pada satu tempat yang bernama bumi. Kehidupan di dunia dengan kehidupan di bumi adalah perkara yang sama bagi Adam a.s dan keturunannya. Kehidupan dunia ini adalah satu-satunya peluang untuk manusia. Manusia tidak diberi peluang yang kedua kali.
Dan barangsiapa yang buta di sini, maka di akhirat pun dia buta dan lebih sesatlah jalannya.
( Ayat 72 : Surah al-Isra’ )
Bukan buta mata di kepala tetapi buta mata pada hati. Jika ketika hidup di dalam dunia tidak menemui jalan kembali kepada Tuhan, sesudah matinya pun tidak menemui jalan. Kesesatan jalan di akhirat lebih menggerunkan daripada buta mata di dunia. Apa juga yang manusia mau usahakan maka dunia inilah kebunnya. Kehidupan dalam dunia inilah yang menentukan nasib manusia ketika sakratul maut, dalam alam kubur, di Padang Mahsyar, di Hisab, di atas jambatan menyeberangi neraka dan pada kehidupan yang abadi. Perbedaan di antara dunia dan akhirat hanya satu saja, yaitu di akhirat ada peluang untuk melihat Tuhan secara terang-terangan, sementara di dunia melihat Tuhan melalui hijab-hijab. Urusan Islam, iman, tauhid dan makrifat selesai di dalam dunia ini juga. Apa yang diperolehi di dunia ini itulah yang akan dibawa ke akhirat.
Tugas menjadikan dunia sebagai kebun akhirat bukanlah mudah. Suasana semulajadi dunia menjadi jabaran kepada petani-petani akhirat.
Dan tatkala Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Aku hendak menciptakan khalifah pada bumi”, mereka berkata: “Adakah Engkau mau jadikan padanya makhluk yang akan berbuat bencana padanya dan akan menumpahkan darah? Padahal kami berbakti dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau”. Dia berfirman: “Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”. ( Ayat 30 : Surah al-Baqarah )
Para malaikat sudah dapat membayangkan kehidupan dunia yang akan dijalani oleh makhluk berbangsa manusia sebelum lagi manusia pertama diciptakan. Sifat kehidupan dunia yang ada dalam pengetahuan malaikat adalah huruhara dan pertumpahan darah. Dunia adalah ibu, sementara huruhara dan pertumpahan darah adalah anak-anaknya. Kelahiran huruhara dan pertumpahan darah adalah sesuatu yang sesuai dengan suasana dunia itu sendiri secara semulajadi. Manusia sebagai khalifah bertugas membersihkan dunia daripada huruhara dan pertumpahan darah itu. Khalifah tidak seharusnya membiarkan dunia terus melahirkan anak-anak jahat dan nakal.
Tuhan memperjelaskan lagi keadaan huruhara penghidupan dunia:
Tuhan berfirman: “Pergilah kamu (Adam dan Hawa). Sebagian daripada kamu (manusia) jadi musuh kepada sebagiannya. Dan adalah bagi kamu di bumi itu tempat ketetapan dan bekalan hingga satu masa (mati dan kiamat)”. ( Ayat 24 : Surah al-A’raaf )
Kehidupan dalam dunia membawa manusia bermusuhan sesama sendiri. Dalam dunia yang huruhara, penuh dengan permusuhan dan pertumpahan darah itulah manusia menetap sehingga sampai ajal mereka dan sehingga berlaku kiamat. Tuhan mengajar manusia supaya mengambil bekalan semasa hidup di dunia. Tuhan mengajar manusia supaya menghargai tempuh singkat yang Tuhan berikan kepada mereka di dunia ini.
Dia berfirman: “Padanya (bumi) kamu hidup dan di situlah kamu akan mati dan daripadanya kamu akan dikeluarkan. ( Ayat 25 : Surah al-A’raaf )
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasai mati. Dan tidak akan disempurnakan balasan kamu melainkan pada hari kiamat. Lantaran itu barangsiapa yang dijauhkan daripada neraka dan dimasukkan ke dalam syurga maka selamatlah dia, karena penghidupan dunia ini tidak lain melainkan menipu-daya. ( Ayat 185 : Surah a-Li ‘Imran )
Alam dihukumkan dengan kiamat dan setiap yang hidup dihukumkan dengan mati. Manusia hidup dalam dunia, mati dalam dunia dan dibangkitkan daripada dunia. Dunia yang dikenali sebagai medan asbab akan melahirkan berbagai-bagai usaha dan tindakan. Sifat dunia tidak mengizinkan usaha dan tindakan melahirkan hasil yang sempurna. Banyak daripada pokok yang ditanam tidak sempat berbuah atau buahnya tidak semanis yang dijangkakan. Tuhan memperingatkan bahwa apa juga yang manusia tanam di dunia buah yang sempurna muncul di akhirat. Buah yang manis, masam atau beracun akan dirasai dengan sempurna setelah berlaku kiamat. Apa yang diperolehi di dalam dunia lebih banyak bersifat bayangan yang menipu-daya.
Manusia terdiri daripada dua jenis anasir yaitu tubuh zahir dan hati seni. Gabungan anasir zahir yang kasar dengan anasir rohani yang seni membuat manusia bisa berfungsi sebagai cermin yang membalikkan wajah yang memandang kepadanya. Tubuh kasar umpama muka cermin yang gelap di sebelah belakang dan rohani pula umpama muka cermin yang terang di hadapan. Susunan manusia yang demikian menyebabkan manusia bisa menerima suluhan cahaya Ilahi. Kebisaan ini dinamakan mengenal Tuhan melalui mata hati. Makhluk yang mempunyai satu jenis badan saja tidak memiliki kebisaan yang demikian. Malaikat yang hanya memiliki badan yang terang dan hewan yang hanya memiliki badan yang kasar tidak bisa berfungsi sebagaimana manusia. Malaikat hanya mengenal Tuhan dalam satu aspek saja yaitu aspek tanzih. Hewan pula tidak mengenal Tuhan. Hanya manusia yang bisa mengenal Tuhan dalam aspek tanzih dan tasybih, yaitu Tuhan yang tidak serupa dengan sesuatu dan Dia yang memperkenalkan Diri-Nya melalui sifat-sifat-Nya.
Sifat semulajadi manusia yang mampu menerima suluhan cahaya Ilahi itu tertutup karena manusia hidup di dalam dunia. Dunia menjadi anasir yang merusakkan gabungan badan yang gelap dengan rohani yang cerah. Dalam dunia ini wujud satu jenis makhluk yang diciptakan daripada cahaya api, dinamakan syaitan berbangsa jin. Cahaya api syaitan ini bisa menyelinap masuk ke dalam badan manusia yang gelap dan menjadikannya lutsinar, menyebabkan suluhan yang datang dari alam ghaib tidak melekat pada cermin hati. Peringatan yang di sampaikan oleh nabi-nabi tidak berbekas pada hati. Sekalipun nabi-nabi memperlihatkan mukjizat namun hati tetap tidak dapat melihat kebenarannya. Beginilah yang terjadi kepada manusia yang hidup di dalam dunia dan diganggu oleh cahaya api syaitan. Badan cahaya api syaitan menjadi tembok menghalang cahaya kebenaran daripada masuk ke dalam hati. Apabila cahaya kebenaran tidak melekat pada hati maka hati tidak mengenal apakah yang benar. Hati yang sudah jahil itu menjadi kain putih yang menerima apa saja yang ditayangkan oleh syaitan. Syaitan mengadakan berbagai-bagai gambaran dan dihantarkannya kepada hati. Hati menyangkakan bentuk yang dihantar oleh syaitan itulah kebenaran. Hasilnya muncullah penjelmaan mengambil alih tempat kebenaran. Penjelmaan gubahan syaitan itulah yang diterima oleh manusia sebagai yang benar. Manusia yang di dalam keadaan sedemikian beramal menurut gubahan syaitan tetapi menyangkakan mereka berada di atas jalan yang lurus. Lahirlah keyakinan yang dibina di atas asas yang sesat. Ada manusia menyembah batu dengan menyangkakan itulah jalan yang benar. Ada manusia membunuh diri dengan keyakinan mereka mati syahid. Amalan sesat telah menjadi kepercayaan yang suci lantaran mereka diperdayakan oleh syaitan.
Dunia yang dihuni oleh syaitan melahirkan berbagai-bagai tipu daya. Semua bidang kehidupan manusia diresapi oleh tipu daya syaitan. Syaitan membina jalan yang selari dan hampir dengan jalan yang lurus dan diperhiaskan jalan itu sehingga apa saja yang ada padanya kelihatan bersesuaian dengan jalan yang lurus. Akibat perhiasan yang dipamerkan oleh syaitan, fitrah manusia hilang kekuatan untuk melonjak kepada fitrah Muslim. Mereka berpuas hati dengan berpegang kepada fitrah kemanusiaan saja dan dalam keadaan yang demikian fitrah kemanusiaan tidak berkekuatan menyekat tarikan syaitan. Akibatnya nilai-nilai murni kemanusiaan dicampur adukkan dengan nilai-nilai palsu yang datang dari syaitan. Banyak daripada penganut agama Islam sendiri mencampur adukkan nilai Islam dengan nilai syaitan. Di sana sini banyak terjadi orang yang bersholat tetapi masih melakukan perbuatan zina dan meminum arak. Orang yang menunaikan fardu haji masih melakukan rasuah. Orang yang berpuasa tetapi masih mencuri dan menipu. Orang yang mengucapkan dua Kalimah Syahadah masih juga pergi ke kubur-kubur karena meminta nombor toto. Perilaku orang yang mengaku beragama Islam tidak berbeda dengan orang yang ternyata kafir. Semua itu terjadi karena warna syaitan melindungi warna kebenaran. Orang yang telah menerima dan mengguna-pakai warna syaitan itu dinamakan ahli dunia.
Dalang yang mengarahkan perjalanan ahli dunia adalah raja syaitan yaitu iblis. Iblis adalah sumber kejahatan dan syaitan adalah penyebar kejahatan iblis itu. Iblis senantiasa mengseret manusia supaya menyalahi ubudiah kepada Tuhan. Iblis memasukkan sifat-sifatnya kepada manusia bagi menyekat atau melengah-lengahkan mereka menunaikan perintah Tuhan. Sifat iblis adalah kufur atau engkar kepada kebenaran. Apabila sifat iblis membaluti hati manusia ia akan bartindak sebagai tenaga yang menghalang apa juga kebenaran yang mau masuk ke dalam hati. Walaupun akal bisa menerima sesuatu kebenaran itu namun tenaga yang muncul daripada sifat iblis menghalang hujah akal daripada diterima oleh hati. Sebab itu orang yang mengenal dan mengakui kebenaran masih juga menolak kebenaran itu dan berbuat yang tidak benar. Orang yang mengakui berzina adalah berdosa tetapi masih juga melakukannya. Orang yang mengakui rasuah itu berdosa masih juga berbuat rasuah. Bahkan orang-orang yang menggubal undang-undang berdasarkan kebenaran yang diperolehi melalui akalnya masih juga melanggar undang-undang tersebut. Akal mengakui kewajiban bersholat dan anggota melakukan perbuatan sholat tetapi hati yang dikuasai oleh sifat iblis tidak mampu lari daripada kemaksiatan.
Syaitan menjadi ejen yang menghantar sifat-sifat iblis kepada manusia. Syaitan masuk ke dalam tubuh manusia melalui perjalanan darah. Darah yang dimasuki oleh syaitan akan menerbitkan rangsangan atau dorongan yang mengajak manusia melakukan kejahatan. Syaitan hanya mampu memberi rangsangan tetapi tidak mampu menggerakkan anggota manusia untuk melakukan sesuatu. Nafsu manusia sendiri yang bartindak menggerakkan anggotanya supaya melakukan kejahatan sebagaimana yang dirangsang oleh syaitan. Nafsu adalah umpama tuan rumah dan syaitan umpama pendatang haram. Tuan rumah sendiri yang mengizinkan pendatang haram memasuki rumahnya dan membiarkannya memerintah di dalam rumah itu. Syaitan bartindak sebagai pengajar dan nafsu yang menerima pengajaran syaitan bartindak sebagai pelaku.
Nafsu yang jahat, separti tuan rumah yang jahat, melakukan kejahatan di dalam rumahnya walaupun kejahatan daripada luar tidak masuk. Nafsu yang rendah memang cenderung kepada kejahatan walaupun tidak menerima rangsangan syaitan. Rangsangan syaitan ditujukan kepada perkara yang menyalahi ubudiah, kederhakaan kepada Tuhan, berbuat syirik dan kufur terhadap kebenaran. Apabila manusia menolak satu rangsangan jahat, syaitan dengan cepat merencanakan kejahatan yang lain. Asal saja kejahatan dilakukan syaitan sudah berasa senang dan puas. Jika syaitan gagal merangsang manusia supaya meninggalkan sholat, syaitan akan berpindah kepada merangsang agar manusia bersholat dengan lalai. Jika manusia berjaya meneruskan sholatnya sehingga selesai, syaitan beralih kepada merangsang agar manusia berasa ria dengan sholatnya. Sikap nafsu berbeda dengan sikap syaitan. Nafsu gemar kepada perkara-perkara yang menyeronokkan, suka kepada kebesaran dan kemuliaan dan cenderung kepada yang melalaikan. Tabiat nafsu, jika ia inginkan sesuatu, ia akan mengejar atau menanti sesuatu itu. Ia tidak mau menyerah kalah sebelum ia mendapatkannya. Ia bisa mendiamkan diri walaupun bagi tempuh yang lama. Bila ada kesempatan ia akan muncul semula, selagi keinginannya belum tercapai. Cita-cita merupakan bakat nafsu. Mencitai kesejahteraan hidup adalah bakat nafsu yang baik. Banyak pula bakat nafsu yang tidak baik. Nafsu yang menginginkan seorang perempuan cantik tidak berhenti mengingininya walaupun perempuan itu sudah menjadi isteri orang lain. Sebab itulah nafsu yang tidak dikawal oleh iman sanggup merusakkan rumah tangga orang lain demi mencapai keinginannya. Begitu juga keinginan nafsu kepada kereta mewah. Ketika tidak mampu ia mendiamkan diri. Sebaik saja ada kemampuan, kereta mewah yang diingininya itulah yang pertama sekali dibelinya. Keinginan dan cita-cita nafsu tidak mudah berubah, tetapi rangsangan syaitan mudah berubah daripada satu kejahatan kepada kejahatan yang lain. Nafsu yang rendah merusakkan nilai-nilai murni kemanusiaan dan syaitan pula merusakkan kehambaan kepada Tuhan. Gabungan keduanya menjadikan manusia golongan yang engkar dan berbuat maksiat.
Banyak sekali kerosakan yang berlaku karena nafsu. Al-Quran menceritakan sebagian daripadanya.
Sesungguhnya nafsu ammarah sangat mengseret kepada kejahatan. (Ayat 53 : Surah Yusuf )
Nafsu pada peringkat yang paling rendah dan paling buruk dinamakan nafsu ammarah. Ammarah adalah sifat nafsu yang berkongsi dengan sifat syaitan, yaitu nafsu yang warnanya diresapi oleh warna syaitan. Nafsu pada peringkat ammarah berkedudukan sama dengan syaitan. Inilah nafsu yang sesat.
Tidakkah engkau perhatikan orang yang mengambil nafsunya sebagai tuhan dan dia disesatkan oleh Allah karena Allah mengetahui (kejahatan hatinya), lalu ditutup Allah akan pendengarannya dan penglihatannya tertutup. ( Ayat 23 : Surah al-Jaathiyah )
Bahkan mereka mempertuhankan jin. ( Ayat 41 : Surah Saba’ )
Kesesatan nafsu bisa sampai kepada peringkat mempertuhankan jin. Syaitan adalah bangsa jin. Jin yang berbangsa syaitan inilah yang dipertuhankan oleh nafsu manusia. Bila nafsu lari dari sumbernya, yaitu roh yang suci murni dan ia bersyarikat pula dengan syaitan dari bangsa jin, berlakulah kerosakan pada akidah dan akhlak manusia. Dari segi akidah manusia bisa mempertuhankan nafsunya atau mempertuhankan jin atau mempertuhankan kedua-duanya sekali. Nafsu manusia dengan diri manusia (ego) adalah perkara yang sama. Mempertuhankan nafsu dan mempertuhankan ego diri adalah yang sama. Firaun dan Namrud mengaku menjadi tuhan. Mereka mempertuhankan nafsu. Qarun mengaku menjadi tuhan harta. Qarun juga mempertuhankan nafsu. Sebagian manusia mempertuhankan roh. Mereka juga mempertuhankan nafsu. Banyak manusia menolak peraturan Allah s.w.t karena mau memuaskan nafsu mereka. Mereka juga termasuk di dalam golongan yang mempertuhankan nafsu. Pertuhanan nafsu yang paling halus adalah sifat ria, melakukan kebaikan untuk mendapat pujian orang banyak demi menaikkan ego nafsunya. Nafsu yang mempersekutukan dirinya dengan Tuhan itulah yang mengundangkan pertuhanan jin. Nafsu yang bisa masuk ke dalam alam khayal ciptaan syaitan mengambil bentuk-bentuk tuhan yang digubah oleh syaitan. Jin suka menjelma dalam bentuk hewan separti ular, gajah putih, kera dan lain-lain. Penjelmaan jin dalam bentuk hewan itu dalam keadaan luar biasa, separti ular berkepala tujuh, gajah bergading emas, kera sakti dan lain-lain yang menguatkan sangkaan manusia jahil bahwa itulah tuhan. Mereka yang menerima tuhan-tuhan yang demikian memanggilnya sebagai dewa-dewi, ratu, puteri dan lain-lain. Itu semua adalah jin yang mengenakan tipu daya kepada manusia yang jahil tentang Tuhan.
Kerosakan akidah yang berlaku kepada umat manusia berpuncak daripada iblis yang memusuhi bangsa manusia sejak manusia yang pertama diciptakan oleh Allah s.w.t. Iblis telah bersumpah untuk menyesatkan keturunan Adam a.s. Al-Quran menceritakan:
(Iblis) berkata: “Beri tempuh akan daku wahai Tuhanku, karena aku akan menyesatkan mereka hingga hari kiamat.” Tuhan berfirman: “Kamu diberi tempuh.” Iblis berkata: “Oleh karena aku telah sesat, maka aku akan halang mereka daripada jalanMu yang lurus. Aku datang kepada mereka dari hadapan, belakang, kanan dan kiri dan Engkau dapati kebanyakan mereka tidak mensyukuri Engkau. ( Ayat 14 – 17 : Surah al-A’raaf )
Hasil daripada gerakan iblis dan kuncu-kuncunya, yaitu syaitan, dan tewasnya nafsu manusia kepada mereka, maka terjadilah apa yang diceritakan oleh al-Quran:
Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakit mereka dan bagi mereka azab yang pedih akibat dusta mereka. ( Ayat 10 : Surah al-Baqarah )
Dan sesungguhnya Kami telah sediakan untuk neraka jahanam beberapa banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak mengarti, mempunyai mata tetapi tidak melihat, mempunyai telinga tetapi tidak mendengar. Mereka adalah separti hewan bahkan lebih hina daripada itu dan mereka adalah orang-orang yang lalai. ( Ayat 179 : Surah al-A’raaf )
Kami jadikan manusia dalam bentuk yang paling baik kemudian kembalikan dia ke tempat yang paling rendah. ( Ayat 4 & 5 : Surah at-Tiin )
Dikunci Allah akan hati mereka dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka tertutup.
( Ayat 7 : Surah al-Baqarah )
Manusia yang sudah parah dijangkiti oleh penyakit iblis akan mengikuti iblis kepada kedudukan yang paling buruk.
Itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah, maka ditulikan pendengaran mereka, dibutakan penglihatan mereka. Tidakkah mereka merenung al-Quran? Bahkan dalam hati mereka terdapat kunci-kunci. ( Ayat 23 & 24 : Surah Muhammad )
Azazil yang telah berbuat ibadat kepada Tuhan selama beribu tahun, apabila mendapat laknat dari Tuhan, bertukarlah keadaannya, terhapus semua ibadatnya yang telah lalu dan dia berubah menjadi iblis. Jika Tuhan melaknati seseorang manusia dia akan bertukar menjadi syaitan berbangsa manusia. Iblis, syaitan berbangsa jin dan syaitan berbangsa manusia akan menjadi penghuni neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya.
Fitnah dan tipu daya yang menanti manusia di dalam dunia sangat besar dan bahaya. Setiap kelahiran keturunan Adam a.s akan disambut oleh syaitan yang menjadi bakat iblis. Cahaya syaitan akan mewarnai cermin hati manusia. Apa yang singgah pada hati akan berubah keasliannya. Hati manusia akan terlindung daripada menyaksikan yang benar. Hanya satu saja yang sangat berkesan memelihara dan membersihkan cermin hati daripada warna syaitan. Itulah syariat!
20: SYARIAT MENYELAMATKAN MANUSIA
________________________________________
Sesudah itu Adam terima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia ampunkannya karena sesungguhnya Allah itu Pengampun dan Penyayang. Kami berkata: “Pergilah kamu sekalian dari (syurga) itu, kemudian jika datang petunjuk (agama) daripada-Ku dan siapapun yang ikut petunjuk itu tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka berdukacita”. ( Ayat 37 & 38 : Surah al-Baqarah )
Hai Bani Adam! Sesungguhnya Kami telah turunkan atas kamu pakaian untuk menutup kemaluan kamu dan pakaian perhiasan dan juga pakaian takwa, ini lebih baik. Yang demikian itu adalah tanda-tanda (kurnia) Allah supaya kamu ingat. ( Ayat 26 : Surah al-A’raaf )
Nabi Adam a.s hanya dipakaikan dengan syariat apabila beliau a.s masuk ke dalam dunia. Beliau a.s tidak dibebankan dengan syariat sewaktu beliau a.s berada di dalam syurga. Syariat menjadi pakaian kebal yang dengannya keturunan Adam a.s bisa selamat daripada fitnah dan tipu daya dunia. Dunia adalah umpama racun dan syariat adalah penawarnya. Siapapun yang masuk ke dalam dunia tanpa memakai syariat akan ditelan oleh dunia dan diseret kepada alam syaitan.
Syariat adalah peraturan atau sistem yang dibuat oleh Allah s.w.t untuk dipatuhi oleh manusia dalam mengadakan perhubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan makhluk lain dalam alam maya ini. Syariat sampai kepada umat manusia melalui manusia pilihan Tuhan yang berkedudukan sebagai nabi-nabi. Nabi-nabi bertanggungjawab menerima, memahami, mengamalkan dan menyebarkan syariat yang diturunkan oleh Allah s.w.t. Dasar syariat adalah taat kepada Allah s.w.t dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Peraturan yang terdapat dalam syariat yang dibawa oleh seorang Nabi harus ada perbedaan dengan peraturan yang terdapat dalam syariat yang dibawa oleh Nabi yang lain. Walaupun ada perubahan pada peraturan syariat tetapi tuntutan mentaati syariat tidak berubah.
Syariat Nabi Daud a.s mengizinkan lelaki berkahwin seberapa banyak yang mereka mampu tetapi syariat Nabi Muhammad s.a.w menghadkan setakat 4 orang isteri saja dalam satu masa. Haram bagi umat Nabi Muhammad s.a.w berkahwin lebih daripada empat orang dalam satu masa, walaupun umat Nabi Daud a.s bisa berbuat demikian. Umat Nabi Muhammad s.a.w tidak bisa bersandar kepada syariat Nabi Daud a.s bagi berkahwin lebih daripada empat orang.
Jika diperhatikan kepada tuntutan mentaati syariat yang dibawa oleh Nabi bagi satu-satu umat, dapatlah difahamkan bahwa dosa dan pahala yang dikatakan oleh syariat bukanlah karena tidak melakukan atau melakukan peraturan semata-mata. Hukum dosa dan pahala bergantung kepada tidak mentaati atau mentaati Allah s.w.t berhubung dengan peraturan yang Dia tetapkan. Orang munafik bisa melakukan perbuatan sholat dengan sempurna, tetapi ia tidak disertakan dengan ketaatan kepada Allah s.w.t, maka perbuatannya itu tidak mendatangkan pahala. Derajat pahala bergantung kepada kekuatan taat dan dalam melakukan peraturan syariat itu dituntut supaya melakukannya dengan cara yang betul, tidak bisa membuat cara sendiri yang menyalahi peraturan syariat.
Bagi setiap umat telah Kami tetapkan upacara ibadat (syariat) yang mereka akan lalui. Maka janganlah sekali-kali mereka membantah engkau dalam perkara ini; dan serulah kepada Tuhan engkau. Sesungguhnya engkau adalah di atas petunjuk yang lurus. ( Ayat 67 : Surah al-Hajj )
Umat satu nabi wajib berpegang kepada syariat yang dibawa oleh nabi tersebut, tidak bisa lari kepada syariat nabi yang lain, melainkan telah datang nabi lain yang membawa syariat yang lebih lengkap dan sempurna. Apabila datang Nabi Muhammad s.a.w sekalian umat manusia wajib berpegang kepada syariat yang dibawa oleh baginda s.a.w. Umat Nabi Muhammad tidak bisa meninggalkan syariat baginda s.a.w karena mau mengikuti Nabi-nabi yang terdahulu. Umat Nabi Muhammad s.a.w wajib berpegang kepada firman Allah s.w.t:
Hari ini Aku sempurnakan agama kamu bagi kamu dan Aku cukupkan atas kamu nikmat-Ku. Dan Aku reda Islam menjadi agama (syariat) kamu. ( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah )
Umat Nabi Muhammad s.a.w sangat bertuah karena Allah s.w.t telah kurniakan kepada mereka nikmat yang lengkap yaitu agama Islam, sehingga mereka tidak perlu lagi merujuk kepada apa yang telah diturunkan terdahulu. Allah s.w.t menjamin bahwa Dia reda menerima Islam sebagai agama bagi umat Nabi Muhammad s.a.w. Jaminan Allah s.w.t itu sudah cukup bagi orang yang benar-benar mencari keredaan Allah s.w.t untuk tetap berjalan di atas landasan yang telah dibina oleh Islam. Islam adalah perlembagaan yang cukup lengkap, mencakupi perkara zahir dan juga perkara batin. Islam telah menjelaskan apa yang mesti dibuat dan apa yang mesti tidak dibuat dan bagaimana mau bartindak menghadapi sesuatu perkara. Umat Islam tidak perlu bertengkar tentang penyelesaian sesuatu masalah. Segala penyelesaian sudah dibentangkan, hanya tegakkan iman dan rujukkan kepada Islam itu sendiri, nescaya segala kemusykilan akan terjawab.
Setiap umat Islam dituntut supaya beriman kepada peraturan yang Tuhan telah tetapkan, mempelajarinya, mengamalkannya dan menyebarkannya sekadar kemampuan masing-masing. Hubungan kaum Muslimin dengan syariat Islam adalah percaya, mempelajari dan melaksanakan. Oleh karena derajat zahir dan rohani manusia tidak serupa maka terdapatlah perbedaan tahap kepercayaan, pengetahuan dan kekuatan melaksanakannya. Perbedaan tersebut menyebabkan umat Islam mudah bersepakat dalam perkara pokok, bertolak ukur pada perkara cabang dan tidak bersepemahaman pada perkara ranting. Kegoncangan pada ranting tidak seharusnya menggoncangkan pokok perpaduan umat Islam. Perbedaan pada tumpuan pelaksanaan tidak seharusnya menyekat kerjasama sesama Muslim. Masalah khilafiah tidak seharusnya menjarakkan kumpulan yang berlainan mazhab.
Al-Quran yang sampai kepada kita sekarang ini mengandungi 6,666 ayat. Tidak mungkin ada orang Islam masa ini yang mampu menyesuaikan dirinya dengan 6,666 ayat tersebut sekaligus, dengan serta merta atau dalam jangka masa yang singkat. Rasulullah s.a.w membawa pengikut-pengikut baginda s.a.w ‘ke dalam’ al-Quran secara berperingkat-peringkat dan baginda s.a.w mengambil masa lebih daripada dua puluh tahun untuk membawa mereka ‘berjalan di dalam’ 6,666 ayat tersebut. Allah s.w.t dan Rasul-Nya sangat berhikmah di dalam mendidik umat manusia. Pada masa berlaku peperangan Badar arak masih belum diharamkan. Sebagian daripada syuhada Badar terdiri daripada mereka yang kuat meminum arak tetapi Allah s.w.t, dengan kasihan belas dan rahmat-Nya, menerima sekalian ahli Badar sebagai ahli syurga.
Rasulullah s.a.w memberi tumpuan kepada akidah, diikuti oleh akhlak. Al-Quran mengajarkan beriman, kemudian beramal salih. Allah s.w.t memperingatkan bahwa Dia mengampunkan segala dosa, termasuk dosa zina, meminum arak dan sebagainya tetapi Dia tidak mengampunkan dosa syirik. Umat manusia harus diselamatkan daripada dosa yang tidak diampunkan Tuhan terlebih dahulu sebelum dosa yang Tuhan ampunkan. Golongan Muslim yang berilmu berkewajiban menyelamatkan golongan Muslim yang jahil daripada lembah syirik. Dalam berbuat demikian perbedaan pemahaman tidak bisa dijadikan penghalang. Golongan yang berkuasa dan golongan yang berilmu sama-sama akan disoal oleh Tuhan nanti apakah yang mereka buat bagi membersihkan akidah umat manusia. Golongan berilmu tidak bisa memberi alasan yang golongan berkuasa tidak menerima nasehat. Tanggungjawab ahli ilmu tidak terlepas dengan alasan yang demikian. Dengan sedikit ‘suntikan’ daripada golongan yang berilmu akan menjadikan golongan yang berkuasa bisa melakukan berbagai-bagai perkara demi kebaikan syariat Tuhan. Dengan sedikit tolak-ukur daripada golongan yang berkuasa akan membisakan golongan yang berilmu menyampaikan banyak perkara demi syariat Tuhan.
Muslim yang mempunyai kesadaran dan kemampuan haruslah mengkaji dengan mendalam apakah yang terlebih terdesak diperlukan oleh umat Islam masa kini. Setelah mengetahui penyakit semasa yang melanda umat Islam itu golongan berilmu dan golongan berkuasa sama-sama berkewajiban mencari penawar di antara 6,666 ayat al-Quran. Penawar yang diperlukan dengan segera itulah yang mesti dihulurkan kepada orang banyak terlebih dahulu. Mengobati penyakit secara bersistematik lebih berkesan daripada mengobati semua jenis penyakit sekaligus. Syariat telah menyediakan segala jenis obat untuk semua jenis penyakit. Ahli ilmu dan pemerintah haruslah faham menyusun jadual pengobatan umat.
Kita perlu menjiwai Islam untuk merasai nikmat Islam yang Tuhan kurniakan. Orang Islam bukan saja mendukung Islam untuk dirinya saja malah dia juga mendukung Islam untuk ahlinya, saudara-saudara Muslim yang lain dan juga umat manusia seluruhnya. Kewajiban manusia adalah melakukan apa yang Tuhan aturkan dengan penuh ketaatan kepada-Nya, sementara hak mengatur diserahkan kepada Allah s.w.t. Sekiranya Allah s.w.t mengaturkan seseorang itu menjadi alim dan mendapat kuasa ketika masyarakat Islam sedang menghadapi ancaman perang, orang alim dan berkuasa itu berkewajiban membuka syariat bagian jihad, keperluan memperkuatkan ketenteraan, strategi peperangan dan lain-lain yang bersangkutan dengan perang, terlebih dahulu daripada bagian syariat yang lain. Mengajar cara pembagian harta pusaka kepada orang yang sedang bersiap ke medan perang adalah kurang sesuai. Dalam tabligh (menyampaikan), bukan saja perlu ada siddik dan amanah, malah perlu juga ada fatanah (kebijaksanaan).
Rasulullah s.a.w bertabligh secara siddik, amanah dan fatanah. Setelah berjaya menawan Makkah baginda s.a.w memaafkan secara bebanyak-banyak orang Makkah yang pernah berperang menentang baginda s.a.w. Baginda s.a.w tidak ghairah melakukan hukum qisas. Beberapa orang yang baginda s.a.w telah umumkan untuk dibunuh pun kemudiannya baginda s.a.w maafkan. Kemaafan daripada baginda s.a.w telah menarik orang-orang yang bersalah itu kepada Islam. Sekiranya baginda s.a.w telah melakukan hukuman bunuh tentu banyak daripada orang Makkah yang mati sebagai orang kafir musyrik. Kebijaksanaan baginda s.a.w telah menyelamatkan banyak manusia daripada azab neraka.
Allah s.w.t menghargai orang alim yang menggunakan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Pelaksanaan peraturan Tuhan kepada umat manusia yang tidak mengarti haruslah dengan kasih sayang, belas kasihan dan simpati. Bukankah Rasulullah s.a.w telah mendoakan bagi penduduk Taif yang mengkasari baginda s.a.w dengan doa yang baik: “Wahai Tuhan. Maafkan mereka karena mereka tidak mengarti”.
Rasulullah s.a.w mengarti setakat mana pengikut baginda s.a.w mampu memikul beban. Baginda s.a.w tidak meletakkan beban melebihi keupayaan mereka. Sebab itulah dakwah baginda s.a.w berjaya. Baginda s.a.w telah memberi contoh, ketika berdakwah di Makkah, bilangan kaum Muslimin masih sangat sedikit. Baginda s.a.w tidak menggerakkan kaum Muslimin supaya berperang dengan kaum musyrikin. Jika baginda s.a.w berbuat demikian tentu saja kaum Muslimin akan terhapus sebelum agama Islam sempat berkembang di atas muka bumi. Umat Islam dituntut melaksanakan syariat Tuhan secara bijaksana. Serahkan urusan mentadbir kepada Tuhan. Kaum Muslimin perlu bartindak sesuai dengan pentadbiran Tuhan. Umat Islam yang tinggal di negeri yang sering dilanda banjir dituntut menyediakan kelengkapan banjir, tidak dituntut menyediakan kelengkapan gempa bumi. Dalam menguruskan hal-ihwal kaum Muslimin secara bijaksana, Muslim yang ditakdirkan berkuasa dengan Muslim yang ditakdirkan berilmu wajib bekerjasama demi mencari keredaan Allah s.w.t.
Syariat mengajarkan prinsip satu untuk banyak karena Allah s.w.t. Lelaki bertanggungjawab menyelamatkan dirinya dan ahlinya daripada api neraka. Orang yang berharta berkewajiban mengeluarkan zakat bagi membantu orang miskin. Orang yang memiliki makanan yang cukup perlu mempastikan tetangganya tidak tidur dalam kelaparan. Orang yang berilmu berkewajiban mengajar orang yang jahil. Orang yang berkuasa berkewajiban melindungi orang yang lemah. Setiap anggota masyarakat perlu menyumbangkan sesuatu untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Syariat Islam mengajarkan supaya menyebarkan yang makruf dan mencegah yang munkar. Muslim diajar supaya mengasihani orang yang dizalimi dan juga orang yang berbuat kezaliman. Mengasihani orang yang dizalimi adalah dengan cara menyelamatkannya daripada kezaliman dan mengasihani orang yang berbuat zalim adalah dengan cara menyekatnya daripada berbuat kezaliman atau setidak-tidaknya menasehatinya. Dalam menyebarkan yang makruf dan mencegah yang munkar tidak ada istilah ‘menjaga tepi kain orang lain’.
Satu perkara yang sangat diberati oleh syariat adalah perbuatan menzalimi diri sendiri. Tuhan memberi ancaman yang keras terhadap mereka yang melakukan kezaliman terhadap diri mereka. Syariat Islam melarang kaum Muslimin sengaja mencampakkan diri mereka kepada kebinasaan walaupun atas alasan berserah kepada takdir. Rasulullah s.a.w menyuruh kaum Muslimin mengikat unta mereka terlebih dahulu barulah bertawakal. Umar al-Khattab melarang orang banyak memasuki kampung yang sedang dilanda wabah penyakit dan pergi ke kampung yang tidak ada penyakit. Lari daripada takdir yang memudaratkan dan pergi kepada takdir yang mensejahterakan masih lagi dalam medan takdir.
Maksud menzalimi diri sendiri sangat luas. Zalim adalah lawan kepada adil. Maksud adil adalah meletakkan sesuatu pada kedudukan yang benar dan layak baginya. Jika meletakkan sesuatu pada kedudukan yang tidak benar dan tidak layak, ia dinamakan zalim. Menggunakan pancaindera yang dikurniakan Tuhan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Tuhan adalah melakukan kezaliman kepada pancaindera atau diri sendiri.
Kezaliman yang paling besar dilakukan oleh hamba Tuhan adalah meletakkan Tuhan pada taraf yang tidak benar dan tidak layak bagi-Nya. Ketuhanan Allah s.w.t meliputi bidang penyembahan, pematuhan, pemujaan, penyayangan dan kebaktian. Ada batas yang mesti dipelihara agar tidak terjadi perbuatan yang menurunkan taraf ketuhanan Allah s.w.t daripada yang sepatutnya. Batas tersebut juga dipelihara agar apa saja yang selain Tuhan tidak sampai kepada taraf tersebut. Jangan sekali-kali terjadi penyembahan, perhambaan, ketaatan, pemujian dan penyayangan hak ketuhanan Allah s.w.t turun daripada taraf ketuhanan-Nya dan jangan pula yang selain Tuhan naik kepada taraf ketuhanan. Jika percerobohan dilakukan maka perbuatan yang demikian dikatakan menzalimi hak ketuhanan Allah s.w.t dan ia diistilahkan sebagai syirik. Syirik adalah menyengutukan hak ketuhanan Allah s.w.t dengan sesuatu yang lain. Meletakkan taraf Isa al-Masih sebagai anak Tuhan adalah syirik. Menganggap Uzair sebagai anak Tuhan adalah syirik. Mengiktikadkan Nur Muhammad sebagai penjelmaan Tuhan atau Tuhan sendiri adalah syirik. Nur Muhammad bukanlah Allah s.w.t sebagaimana Isa al-Masih (zahirnya atau rohaninya yaitu nurnya) bukan anak Allah s.w.t. Mematuhi guru dengan sepenuh jiwa raga sehingga perkara haram dihalalkan dan perkara halal diharamkan masih juga dipatuhi, pun termasuk di dalam perbuatan syirik. Mencari rezeki yang baik tetapi dengan meninggalkan hak ketuhanan Allah s.w.t yang wajib dilaksanakan juga berunsur syirik. Kasih sayang sesama makhluk yang menyebabkan tenggelam hukum dan peraturan Tuhan juga berunsur syirik. Besar atau kecilnya syirik itu bergantung kepada sejauh mana hak ketuhanan Allah s.w.t dicerobohi. Al-Quran menceritakan beberapa keadaan syirik.
Dan berkata orang-orang Yahudi: “Uzair anak Allah”. Dan berkata orang-orang Nasrani: “Al-Masih anak Allah”. Demikian itulah kata-kata mereka dengan mulut mereka; menyerupai perkataan orang-orang kafir yang dahulu. Diperangi Allah akan mereka. Bagaimana mereka dapat dipalingkan? Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi Tuhan selain Allah dan (juga) al-Masih anak Maryam; padahal tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka sekutukan. ( Ayat 30 & 31 : Surah at-Taubah )
Bahkan mereka mempertuhankan jin. ( Ayat 41 : Surah Saba’ )
Tidakkah engkau perhatikan mereka yang mempertuhankan nafsu mereka? Maka apakah engkau bisa jadi pemelihara atas mereka? ( Ayat 43 : Surah al-Furqaan )
Selain yang dinyatakan di atas al-Quran juga menceritakan beberapa perkara yang bisa menggelincirkan manusia kepada syirik.
Katakanlah: “Jika bapa-bapa kamu, anak-anak kamu, isteri-isteri kamu, kaum keluarga kamu, harta yang kamu dapati, perniagaan yang kamu takut akan mundur dan tempat kediaman yang kamu sukai, lebih tercinta kepada kamu daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad pada jalan-Nya, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan ketentuan-Nya. Dan Allah itu tidak akan memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”. ( Ayat 24 : Surah at-Taubah )
Syirik adalah kezaliman yang paling besar bisa dilakukan oleh seseorang kepada dirinya sendiri, bukan kepada Tuhan. Tuhan tidak cedera lantaran manusia berbuat syirik dan tidak beruntung Tuhan jika manusia berbakti kepada-Nya. Apa yang manusia lakukan memberi keuntungan atau kerugian kepada dirinya sendiri, bukan kepada Tuhan. Syirik adalah kerugian manusia yang paling besar karena Allah s.w.t sangat tegas menghadapi orang yang berbuat syirik. Oleh itu tugas seseorang Muslim adalah menghapuskan syirik pada dirinya dan juga pada saudara-saudara Muslimnya yang lain. Tugas utama penguasa Muslim dan ulama Muslim juga demikian. Syirik adalah musuh utama umat manusia. Di dalam berjihad menentang kemusyrikan kaum Muslimin mestilah bersatu sekalipun mereka tidak bisa bersatu dalam bidang yang lain.
Selain syirik, syariat juga menekankan soal perbuatan munkar. Kerosakan akidah dinamakan syirik dan kerosakan akhlak dinamakan perbuatan munkar. Dalam soal kemunkaran, rujukannya secara umum adalah fitrah kemanusiaan, nilai-nilai murni kemanusiaan yang dipersetujui oleh syarak. Fitrah kemanusiaan yang sejati sangat hampir dengan fitrah Muslim, tetapi jarang yang sampai kepada tahap kesadaran fitrah yang sejati karena bakat fitrah mereka dihijab oleh kemampuan berfikir yang terhad, pengaruh pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Sekalipun manusia bisa sampai kepada tahap kesadaran fitrah yang sejati namun, ia belum bisa dikatakan fitrah Muslim karena ia tidak berkeupayaan menyingkap tentang Tuhan. Ia mesti tunduk kepada perkhabaran yang datang daripada Tuhan barulah fitrah kemanusiaan yang sejati itu beroleh kedudukan sebagai fitrah Muslim. Fitrah kemanusiaan yang sejati hanya memerlukan iman untuk menjadikannya fitrah Muslim.
Nilai-nilai murni kemanusiaan yang disertai iman menjadi rujukan dalam menentukan sesuatu perkara itu munkar atau tidak. Perbuatan munkar adalah perbuatan yang menyalahi akhlak Muslim. Perbuatan yang sesuai dengan akhlak Muslim dan dilakukan dengan disertai iman, dinamakan perbuatan makruf. Perbuatan makruf termasuk dalam kategori amal salih. Amal yang tidak salih itulah yang munkar.
Amal yang tidak salih secara automatiknya adalah amal yang munkar, tetapi amal yang pada zahirnya kelihatan salih belum tentu ianya salih. Ia hanya menjadi salih jika ia disertai oleh iman. Tidak ada amal salih tanpa iman. Sebab itulah sistem yang dibuat oleh cerdik pandai bukan Islam, walaupun sesuai dengan nilai-nilai murni kemanusiaan, jika diambil bulat-bulat ia tidak mampu melahirkan amal salih karena tidak ada dasar iman padanya. Itulah puncak kegagalan badan dunia menyebarkan perkara makruf dan mencegah yang munkar. Umat Islam sendiri jika menggubal sistem yang tidak berlandaskan iman akan menemui kegagalan yang serupa. Kemunkaran hanya bisa dihancurkan oleh kekuatan iman.
Fitrah kemanusiaan yang tidak disertakan iman tidak dapat melihat rasional di sebalik kebanyakan peraturan syariat, terutamanya dalam bidang penghakiman dan penghukuman terhadap orang yang melakukan jenayah. Penghukuman menurut syarak biasanya dipandang sebagai keterlaluan, di luar peri kemanusiaan. Fitrah kemanusiaan hanya memandang kepada sekop kehidupan dunia saja, sedangkan syarak mengenakan hukuman yang berat di dalam dunia bagi menyelamatkan pesalah daripada hukuman berat di akhirat. Syarak melihat dunia sebagai kehidupan yang sangat singkat sementara akhirat adalah kehidupan yang abadi. Menderita dalam tempuh yang singkat lebih baik daripada menderita berkekalan. Tuhan tidak suka menghukum hamba-Nya dua kali. Hamba-Nya yang telah menjalani hukuman menurut syarak tidak perlu lagi dihukum di akhirat. Atas dasar inilah hukuman menurut syarak dipandang berat menurut nilai kemanusiaan sejagat.
Syariat memberi penumpuan kepada penyucian akidah dan akhlak. Akidah yang bersih daripada syirik menjadi dasar syariat. Akhlak yang mulia menjadi pengapit kepada akidah yang benar. Apabila dua perkara ini sudah teguh barulah perkara-perkara lain bisa berdiri dengan tegap. Selama tiga belas tahun berdakwah di Makkah Nabi Muhammad s.a.w menumpukan soal akidah dan akhlak. Bidang syariat yang lain banyak dipraktikkan setelah baginda s.a.w berhijrah ke Madinah.
Bidang syariat yang paling penting adalah pengajaran tentang Tuhan dan pengabdian kepada-Nya. Syariat mengajarkan bahwa Allah s.w.t adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia adalah pergantungan sekalian makhluk, tidak ada makhluk yang merdeka daripada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada siapapun bisa mendakwakan bahwa dirinya adalah sebagian daripada Tuhan. Dia tidak serupa dengan sesuatu dan Dia Mendengar serta Melihat. Dia menguasai seluruh alam maya. Syariat memperkenalkan Tuhan dalam dua aspek penting. Dalam aspek pertama syariat menceritakan bahwa Tuhan adalah Maha Kaya dari seluruh alam. Tuhan tidak memerlukan apa-apa daripada siapapun pun. Tuhan tidak bergantung kepada sesuatu. Tuhan tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan tetapi makhluk ditanya tentang apa yang mereka perbuat. Syariat juga mengajarkan bahwa jika manusia bersyukur maka kebaikan syukur itu pergi kepadanya, bukan kepada Tuhan. Jika manusia kufur ia memudaratkan diri manusia sendiri, tidak menjejaskan ketuhanan Allah s.w.t. Dalam aspek kedua syariat memperkenalkan Tuhan sebagai pergantungan sekalian makhluk, Dia melakukan apa yang Dia kehendaki kepada makhluk-Nya. Dia meletakkan ketentuan kepada setiap yang Dia ciptakan. Semua makhluk tidak berupaya mengubah ketentuan yang telah Tuhan tetapkan pada azali. Semua makhluk tunduk patuh kepada ketentuan-Nya. Gabungan dua aspek tersebut menceritakan bahwa Allah s.w.t adalah Tuhan Yang Maha Kaya dari segala sesuatu, tidak berkehendakkan apa-apa pun daripada siapapun pun, tetapi sekalian makhluk bergantung, berhajat dan berkehendak kepada-Nya. Begitulah dasar akidah seorang Muslim yang disimpulkan dengan kalimah:
Bagi menguraikan dasar akidah tersebut diadakan pengajian sifat dua puluh. Sifat dua puluh dan apa jua sifat yang dinisbahkan kepada Allah s.w.t, termasuklah nama-nama-Nya, tertakluk kepada dasar:
Makrifat melalui syariat diperolehi dengan iman bukan dengan hujah dan dalil. Hujah dan dalil berguna bagi orang cenderung menggunakan akal fikiran. Akal fikiran mempunyai had kemampuannya. Apabila sampai kepada had kemampuannya akal terpaksa tunduk, menyerah sepenuhnya kepada perkhabaran yang dibawa oleh syariat. Barulah akal itu menjadi Muslim. Makrifat secara syariat juga menjadi permulaian setelah berakhirnya makrifat secara kasyaf dan pengalaman kerohanian. Kasyaf membawa seseorang kepada suasana keheranan menemui kenyataan bahwa Tuhan melampaui segala perkenalan. Ahli kasyaf pun tunduk, menyerah kepada perkhabaran yang terdapat dalam syariat. Barulah hati yang mengalami kasyaf benar-benar menjadi Muslim.
Apa juga jalan yang diikuti, permulaian jalan adalah syariat dan penghujung jalan juga syariat, barulah perjalanan itu menjadi bulatan yang lengkap. Syariat yang ditemui pada permulaian jalan adalah syariat secara umum, dipegang oleh orang awam. Syariat pada akhir perjalanan adalah syariat khusus dan lengkap, dipegang oleh orang arif. Apa juga tarekat yang dijalani sekiranya tidak ditemui syariat pada akhir perjalanannya, maka tarekat tersebut tidak mencapai Kebenaran Hakiki. Sekiranya sesuatu tarekat itu membawa seseorang kepada penafian terhadap syariat, sekiranya ahli tarekat itu mempunyai kesadaran, wajiblah dia berundur daripada jalan yang dilaluinya itu.
Selain menyampaikan pengetahuan tentang Tuhan, syariat juga mengajarkan cara-cara melakukan ibadat dan pengabdian kepada Tuhan. Hanya ibadat yang dilakukan menurut peraturan syariat saja diterima oleh Tuhan sebagai ibadat. Misalnya, syariat menentukan syarat dan rukun sholat. Tidak menepati syarat dan tidak menyempurnakan rukun tidak dinamakan sholat. Akal dan kasyaf tidak akan menemui cara yang betul bagi menyembah Tuhan. Hanya syariat, semata-mata syariat mengajarkan cara pengabdian yang sebenarnya terhadap Allah s.w.t.
Syariat juga menyampaikan perkhabaran tentang malaikat dan Nabi-nabi. Malaikat dikenali dengan mengetahui asal kejadiannya daripada nur yang murni yang berbeda daripada cahaya matahari atau sebarang cahaya yang diketahui oleh manusia. Perlu juga diketahui beberapa malaikat yang menjadi pemimpin kepada malaikat-malaikat sekaliannya. Mengenali Nabi pula adalah dengan mempelajari sejarah perjalanan mereka, tahu keturunan mereka dan tahu pula siapakah di antara mereka yang menerima kitab dan suhuf serta tahu kitab-kitab tersebut. Pengetahuan tentang perjalanan Nabi-nabi bagi meningkatkan kedudukan kerohanian dalam melaksanakan tuntutan syariat. Seterusnya syariat mengajarkan manusia tentang akhirat. Matlamat utama manusia adalah akhirat dan dunia menjadi jalan kepada akhirat. Di samping mencari kesejahteraan hidup di dunia manusia lebih dituntut mencari keselamatan di akhirat. Kehidupan dunia hanyalah sementara dan kehidupan akhirat berkekalan, tanpa kesudahan. syariat juga mengajar manusia supaya mengakui kelemahan mereka. Oleh yang demikian mereka dikehendaki beriman kepada Qada dan Qadar. Keyakinan kepada akhirat menggerakkan manusia supaya rajin beramal. Keyakinan kepada Qada dan Qadar memimpin manusia menjadi hamba yang tunduk kepada ketuhanan Allah s.w.t. Apa yang diajar oleh syariat membentuk sifat aslim yaitu berserah diri kepada Tuhan. Orang Islam yang bersifat aslim itulah yang benar-benar tunduk, patuh dan melaksanakan hukum Tuhan sebagaimana layaknya dibuat oleh seorang hamba yang merdeka.
Orang yang melalui jalan syariat akan berjaya apabila sampai kepada makam mukmin. Allah s.w.t berfirman:
Sesungguhnya Allah akan membeli orang-orang mukmin, dirinya dan hartanya dengan syurga, yaitu mereka yang berjihad pada jalan Allah, lalu mereka membunuh dan terbunuh, sebagai satu perjanjian yang benar tentang itu (yang tersebut) dalam Taurat dan Injil dan Quran; karena bukankah tidak ada yang sempurnakan janjinya lebih daripada Allah? Lantaran itu bergembiralah dengan perjanjian kamu yang kamu janjikan kepada-Nya, karena yang demikian adalah kebagiaan yang besar. ( Ayat 111 : Surah at-Taubah )
Orang yang mencapai derajat mukmin ada harga pada sisi Allah s.w.t hinggakan Dia sanggup membeli mereka dengan harga syurga, harta yang paling tinggi nilainya dalam seluruh alam makhluk. Tidak ada keraguan lagi kedudukan mereka sebagai ahli syurga. Makam yang di bawah daripada makam mukmin ada dua. Pertama adalah mereka yang dijamin sebagai ahli neraka. Kedua adalah mereka yang mungkin ke syurga atau mungkin ke neraka, hanya belas kasihan Tuhan yang bisa menyelamatkan mereka. Ketika hayat masih ada ujian diri sendiri apakah sudah mencapai taraf mukmin atau belum. Alat pengujinya adalah firman Allah s.w.t:
Orang-orang mukmin apabila diperingatkan dengan Allah nescaya gementarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya menambahkan bagi mereka keimanan; dan kepada Tuhan mereka berserah diri. (Yaitu) orang yang mendirikan sholat dan membelanjakan sebagian daripada apa yang Kami kurniakan kepada mereka. ( Ayat 2 & 3 : Surah al-Anfaal )
Jika tanda yang tersebut di atas tidak ada waspadalah! Mungkin neraka menunggu di akhir perjalanan hidup di dunia ini. Mulailah bekerja untuk menyelamatkan diri dengan berniaga dengan Allah s.w.t, menjualkan diri kepadanya dengan cara berjihad pada jalan-Nya. Mudah-mudahan Tuhan sudi membeli.
Kejayaan bagi mereka yang berjihad pada jalan Allah s.w.t adalah mereka dikurniakan petunjuk dengan nur tawajjuh yang berperanan memalingkan hati kepada Allah s.w.t dan membentenginya daripada apa yang mencoba memesungkannya. Orang yang dikurniakan nur tawajjuh dinamakan orang salih yang berpegang teguh dengan syariat Allah s.w.t. nur tawajjuh membuat mereka berasa damai dan tenang serta bertambah kehampiran dengan Allah s.w.t. Mereka tidak berasa berat untuk melakukan ibadat walau berapa banyak sekalipun karena semakin banyak mereka beribadat semakin mereka memperolehi taqarrub (mendekat dan menghadap Allah s.w.t) dan semakin mereka berasa lazat beribadat. Orang salih adalah ahli syariat yang memakai pakaian warak dan berjalan dengan nur tawajjuh.
21: TAUBAT: PINTU KESELAMATAN
________________________________________
Sesudah itu Adam terima beberapa kalimat dari Tuhannya lalu Dia ampunkannya karena Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang. ( Ayat 37 : Surah al-Baqarah )
Dia jualah Penerima taubat hamba-hamba-Nya dan mengampunkan dosa dan Dia Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Ayat 25 : Surah asy-Syura )
Kecuali orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan amal salih, maka mereka itu Allah tukarkan kejahatan mereka dengan kebaikan karena Allah Maha Pengampun Maha Penyayang. ( Ayat 70 : Surah al-Furqaan )
Adam a.s, manusia pertama, telah melakukan kesalahan. Ketika itu beliau a.s mendiami syurga. Manusia secara tabiatnya tidak dapat mengelakkan diri daripada melakukan kesalahan, sekalipun mereka tinggal di dalam syurga yang serba menyenangkan, apa lagi mereka tinggal di dalam dunia yang serba memayahkan. Adam a.s mengakui kesalahannya dan merujuk kembali kepada Tuhan, memohon agar Tuhan mengajarkannya apa yang perlu dibuatnya bagi menutup kesalahannya dan menggantikannya dengan kebaikan. Tuhan Yang Maha Pengampun Maha Penyayang mengajarkan kepada Adam a.s beberapa kalimat, yaitu cara bertaubat. Adam a.s bertaubat dengan penuh keinsafan dan keikhlasan. Tuhan yang mengajarkan Adam a.s bertaubat itu menerima taubatnya dan mengampunkan kesalahannya. Taubat mengembalikan Adam a.s kepada Tuhan as-Salam, Yang Mensejahterakan. Taubat yang dilakukan oleh Adam a.s adalah taubat yang disertai oleh iman dan diikuti oleh amal salih. Taubat yang demikian menghapuskan kejahatan dan menggantikannya dengan kebaikan.
Iblis, jin yang pertama diciptakan Tuhan, telah melakukan kesalahan. Kesalahan Adam a.s adalah lupa kepada pesanan Tuhan. Kesalahan iblis pula adalah engkar kepada perintah Tuhan. Adam a.s mengakui kesalahan dan bertaubat. Iblis tidak mau mengakui kesalahannya dan enggan bertaubat. Adam a.s yang bertaubat menerima nikmat ampunan dari Tuhan. Iblis yang enggan bertaubat menerima kemurkaan dan laknat dari Tuhan. Adam a.s kembali kepada Tuhan dan keselamatan-Nya. Iblis tercampak jauh dari Tuhan dan hilang peluang untuk kembali. Di akhirat kelak taubat membawa Adam a.s kembali kepada syurga dan iblis pula akan dicampakkan ke dalam neraka jahanam, tempat yang paling buruk dan paling azab.
Taubat adalah jalan kembali kepada Tuhan. Apabila manusia melakukan dosa dia tercampak jauh dari Tuhan. Jika dia tidak bertaubat dia tetap tinggal jauh dari Tuhan. Jika kemudiannya dia berbuat kebaikan maka dia berbuat baik dalam keadaan jauh dari Tuhan. Dia bisa melakukan suruhan syariat tetapi tanpa taubat dia menjadi ahli syariat yang jauh dari Tuhan.
Hamba yang melakukan kesalahan sangat perlu bertaubat. Taubat merupakan cetusan iman. Iman yang menguatkan amal salih. Tanpa iman tidak ada amal salih. Amal tanpa taubat sebenarnya tidak berpangkal kepada iman. Amal yang demikian sangat sedikit nilai salihnya. Salih itulah yang menentukan derajat kemuliaan sesuatu amal itu di sisi Tuhan. Amal yang tidak disertai oleh taubat tidak banyak memberi pahala. Pahala bukan saja berguna di akhirat. Keberkatan pada rezeki dan kesejahteraan hidup di dunia merupakan terjemahan kepada pahala yang diperolehi daripada amal yang salih. Di akhirat kelak terjemahan pahala itu akan lebih menyata lagi. Banyak daripada masalah kehidupan harian tidak mampu diselesaikan lantaran tidak bertaubat daripada dosa-dosa yang lalu.
Bani Adam memiliki tabeat keadaman. Mereka tidak sunyi daripada melakukan kesalahan. Tidak wajar jika ada orang yang mengatakan dia tidak pernah berbuat kesalahan dan tidak perlu bertaubat. Nabi Muhammad s.a.w yang suci bersih pun sering bertaubat. Paling tidak memohon keampunan di atas kelemahan sebagai manusia yang tidak berupaya melakukan perintah Tuhan dengan sempurna.
Banyak manusia terhalang daripada memperolehi apa yang layak diperolehinya sebelum mereka memasuki pintu taubat. Adam a.s yang diciptakan khusus untuk menjadi khalifah di bumi hanya memperolehi mahkota khalifah itu setelah beliau a.s melalui pintu taubat dan menerima keampunan dari Tuhan. Roh syariat, roh agama, nur iman, nur Ilahi dan yang seumpamanya hanya masuk ke dalam hati yang telah dibasuh dengan air taubat. Orang yang bertaubat dan Tuhan mengampunkan dosanya, kesuciannya kembali kepada kesucian roh yang latif, yang suci dan hampir dengan Tuhan. Manusia yang rohnya kembali kepada taraf amr Tuhan akan memperolehi keselamatan di dunia dan di akhirat. Manusia yang memiliki roh yang demikian mampu mengkamilkan batin syariat dengan zahir syariat atau antara iman dengan amal. Bani Adam sewajarnya mengikuti langkah bapa mereka dengan bertaubat agar mereka juga bisa kembali kepada Tuhan dan layak dipakaikan mahkota khalifah di bumi.
Taubat yang hanya merupakan kata-kata, tanpa mengetahui sejauh mana dosa yang dilakukan, tidak berikrar untuk tidak mengulangi dosa tersebut, tidak mengambil langkah mencegah daripada berulangnya perbuatan dosa dan tidak melakukan kebaikan yang bisa menghapuskan dosa, adalah taubat pada luaran saja, tidak terhunjam ke dalam lubuk hati yang dalam. Taubat yang demikian adalah umpama memotong rumput bagian di atas tanah saja sedangkan akar yang di dalam tanah dibiarkan. Rumput akan kembali tumbuh selagi akarnya tidak dicabut. Orang yang benar-benar bertaubat mengetahui kesalahannya dan puncak kesalahan tersebut, bertekad tidak akan mengulanginya dan membebaskan dirinya daripada puncak kesalahan. Taubat yang begini umpama mencabut rumput beserta akarnya yang di dalam tanah dan membuangnya jauh-jauh.
Taubat luaran adalah penyesalan secara umum dan samar-samar. Tauabat dalaman adalah penyesalan yang jelas tentang apa yang dikesalkan dan menjauhkan diri daripadanya. Orang yang bertaubat daripada zina tidak lagi menghampiri zina, bukan sekadar tidak melakukan zina. Jika masih lagi menghampiri zina, sekalipun tidak melakukannya, itu bukanlah taubat yang sebenarnya. Adam a.s yang telah melakukan kesalahan dengan memakan buah larangan di dalam syurga, setelah bertaubat beliau a.s tinggal di bumi yang sangat jauh daripada pokok larangan yang menjadi isu kesalahannya. Tanda taubat diterima adalah orang yang berdosa tidak jatuh lagi ke dalam jurang dosa tersebut.
Orang yang benar dengan taubatnya mempelajari keadaan dirinya, mencari puncak dan faktor yang menyebabkan dia jatuh kepada perbuatan dosa. Dia mengawasi perjalanan nafsunya, membebaskannya daripada ego yang mengseret kepada kejahatan dan kedurhakaan kepada Tuhan. Jihad membuang nilai-nilai buruk daripada daerah nafsu akan memberi kekuatan kepada rohani. Rohani yang sedar dan celik akan dapat melihat kepada kejahatan dan dapat mengeluarkan teguran daripada dalam. Teguran dari dalam itu dinamakan suara hati. Pada peringkat awalnya suara hati hanya sekadar memberi teguran tetapi tidak mampu menghalang berlakunya kesalahan tetapi apabila semakin banyak nilai-nilai buruk dikeluarkan daripada daerah nafsu suara hati akan menjadi lebih kuat. Hati akan sempat memberi peringatan sebelum terjadinya perbuatan dosa. Kemunculan penasehat dari dalam diri sendiri menambahkan kesadaran seseorang tentang yang benar dan yang salah. Kemudian dibukakan kepadanya hakikat yang benar dan yang salah. Apabila hakikat tersebut telah terbuka kepadanya dia akan lebih mudah melakukan yang benar dan meninggalkan yang salah.
Dalam perjalanan menuju tahap yang suci bersih seseorang perlu menentang nafsu kehewanan yang menumpang pada nafsunya yang asli, yang suci bersih. Nafsu kehewanan hanya inginkan makanan, minuman, pakaian, tidur, melakukan yang sia-sia dan berseronok. Dalam daerah nafsu yang rendah itu juga ada sifat ego yang jahat separti takabur, sombong, dengki, dendam, tamak dan lain-lain penyakit hati. Semua itu mesti dibuang daripada daerah nafsu supaya kemurnian nafsu yang asli kembali menyerlah. Orang yang benar-benar bertaubat mampu berbuat demikian dan dia kembali menjadi suci, bersih dan murni. Hijab yang muncul dari alam zahiriah menjadi hancur dan rohaninya akan bercahaya, memperlihatkan keserian wajah yang menggambarkan kedamaian jiwa.
Syariat mengajarkan jihad menyelamatkan diri daripada dosa. Dosa masuk ke dalam manusia melalui setiap bagian tubuhnya dan juga melalui dirinya yang tidak kelihatan. Mata, telinga, mulut, hidung, tangan, kaki, syahwat dan segenap tubuh bisa menjadi pintu buat dosa memasuki manusia. Fikiran dan perasaan juga menjadi pintu dosa.
Dosa adalah umpama besi dan neraka umpama besi berani yang besar lagi kuat, menarik besi dosa kepadanya. Makanan, minuman dan bauan yang harum memasukkan dosa ke dalam tubuh manusia. Dosa bercampur dengan darah, daging, tulang, sumsum dan seluruh tubuh. Tangan yang melakukan kejahatan akan dibaluti oleh dosa separti balutan lumpur. Tangan yang berbalut dosa menyentuh isteri, anak-anak, makanan, pekerjaan dan lain-lain. Ia mencemarkan apa saja yang disentuhnya.
Syahwat yang berzina akan dibaluti dosa dan dengan syahwat yang berbalut kekotoran dosa itu juga lelaki meniduri isterinya. Tangannya yang menyuap makanan dibaluti dosa. Makanannya haram. Darahnya bercampur air dosa. Air mani yang terbentuk dalam tubuhnya juga terpalit dosa. Melalui syahwat yang berdosa dia menghantar air mani yang terpalit dosa ke dalam kandungan isterinya. Dalam kandungan ibu lagi bayi sudah dihadapkan dengan kesan dosa. Anak keluar ke dunia membawa kekuatan dosa, bersedia untuk menghadapi dosa-dosa. Banyak bayi yang dibungkus oleh dosa sejak dalam kandungan ibu mereka keluar membawa penyakit yang ganjil-ganjil. Sudah ada bayi yang keluar saja ke dunia sudah pun menghidapi penyakit aids.
Kecelakaan menimpa manusia yang berdosa karena syaitan bisa bersekutu dalam apa saja yang mereka lakukan. Apa saja yang dipegangnya dan apa yang keluar daripadanya beserta dengan syaitan yang senantiasa mencari jalan untuk menjahanamkan Bani Adam. Dosa yang menemani seseorang itu membawa bahang api neraka kepadanya ketika dia masih hidup dalam dunia ini, apa lagi setelah dia memasuki lubang kubur. Bahang api neraka membuatnya menjadi resah gelisah dan kepanasan. Isteri yang cantik tidak menyejukkan pandangannya. Harta yang banyak tidak menemukannya dengan kepuasan. Kemuliaan yang diberikan oleh manusia tidak mendamaikan jiwanya. Beban dosa menghimpit jiwanya, takut orang banyak mengetahui kejahatan yang disembunyikannya.
Fikiran dan perasaan yang dibaluti dosa, walaupun memikirkan sebaik mungkin, merancang dengan penuh kerapian, membuat kajian dengan teliti namun, hasilnya adalah kemusanahan. Morfin yang ditemui oleh pakar-pakar perobatan untuk membantu orang sakit itulah yang menjadi dadah membunuh jutaan manusia. Satelit yang diciptakan untuk kesejahteraan umat manusia itulah yang memandu peluru berpandu dan bom nukliar untuk membunuh umat manusia sendiri. Sentuhan fikiran, perasaan dan anggota yang berdosa lebih mengwujudkan neraka dalam dunia daripada memberi kesejahteraan kepada umat manusia. Dosa-dosa yang bertaburan dalam dunia inilah yang mengseret dunia kepada kiamat.
Ulama zaman dahulu suka memperingatkan umat manusia supaya menghindarkan diri daripada melakukan dosa demi kesejahteraan manusia sendiri. Banyak daripada ulama hari ini segan mau bercakap tentang dosa, takut dianggap kolot. Orang banyak hari ini tidak tahu tentang dosa tetapi sangat mengarti tentang kemudaratan pada tubuh badan. Perkara dosa mesti diurai secara saintifik terlebih dahulu untuk mengetahui kemudaratannya. Apakah kemudaratan meminum arak? Apakah kemudaratan memakan daging babi? Apakah kemudaratan tidak bersholat? Apakah kemudaratan tidak berpuasa? Semuanya mesti dimasukkan ke dalam ‘tabung uji’ terlebih dahulu sebelum disahkan sebagai dosa. Manusia mengambil alih tugas menentukan sesuatu perkara itu berdosa atau tidak.
Kaum Muslimin memainkan peranan yang penting di dalam dunia. Mereka berfungsi sebagai pengimbang kepada ketidak-stabilan yang terjadi kepada dunia. Kaum Muslimin berperanan menyekat mala petaka yang mengancam dunia akibat dosa-dosa manusia. Kaum Muslimin mempunyai keupayaan yang tinggi karena mereka berpegang kepada syariat yang benar yang mengajar mereka ibadat taubat dan memperkenalkan mereka kepada Tuhan Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. Air taubat yang mengalir daripada kaum Muslimin menyejukkan api neraka dunia yang keluar daripada dosa-dosa manusia. Taubat merupakan kurniaan Tuhan yang besar kepada orang-orang yang beriman demi faedah mereka sendiri dan umat manusia seluruhnya. Ibadat taubat mesti disebarkan seluas-luasnya demi kesejahteraan hidup di dunia dan juga di akhirat. Kaum Muslimin seharusnya memandang serius kepada ibadat taubat sebagaimana kesungguhan mereka dalam ibadat sholat dan lain-lain. Mereka mestilah benar di dalam taubat sebagaimana benarnya hati mereka menghadap Tuhan di dalam sholat.
Taubat, sebagaimana juga ibadat yang lain, ada aspek zahir dan ada aspek batin. Aspek zahir melibatkan cara dan peraturan yang bersangkutan dengan perbuatan zahir. Aspek batin melibatkan urusan hati. Setiap amalan zahir digantungkan kepada niat yang berada dalam batin.
Amalan zahir dinamakan syariat zahir dan amalan batin dinamakan syariat batin. Ilmu yang membicarakan tentang syariat zahir dinamakan ilmu fikih. Ilmu yang membicarakan tentang syariat batin dinamakan ilmu tasauf. Istilah fikih dan tasauf digunakan pada zaman yang di belakang ini. Pada zaman Rasulullah s.a.w semua ilmu dikenali sebagai ilmu agama atau ilmu al-Quran atau ilmu Islam. Kesempurnaan ilmu syariat adalah gabungan ilmu fikih dan tasauf. Ilmu fikih mengajar manusia cara beramal yang betul. Ilmu tasauf mengajar manusia menghadap Tuhan dengan benar dalam melakukan suruhan-Nya. Bagi mereka yang cenderung dengan aliran tarekat tasauf janganlah menganggap tasauf sebagai persaingan kepada fikih atau kepada syariat itu sendiri. Pemahaman yang membedakan tasauf daripada syariat, yang mengatakan fikih itulah syariat dan tasauf adalah bidang yang tersendiri, mestilah dihapuskan. Tasauf berperanan memudahkan seseorang melakukan peraturan syariat sebagaimana yang dikehendaki oleh fikih. Fikih pula membentuk jalan yang lurus agar seseorang bisa menghadap kepada Tuhan dan menghampiri-Nya sebagaimana yang diajarkan oleh tasauf. Gabungan fikih dan tasauf membentuk syariat yang sempurna. Berfikih tanpa tasauf dibisakan bagi mendapatkan kedudukan sebagai seorang Islam tetapi bertasauf tanpa fikih tidak mungkin. Tidak mungkin mengerjakan sholat dengan niat yang betul tetapi tidak ada perbuatan sholat.
Taubat yang benar menggabungkan cara fikih dengan cara tasauf. Orang yang bertaubat melakukan sholat sunat taubat dan memperbanyakkan ucapan istighfar. Kesalahan yang berhubung dengan orang lain diselesaikan secara meminta maaf atau membayar hutang jika ada. Dia tidak mengulangi kesalahan selepas dia bertaubat. Dia tidak mendekati ruang yang bisa membawanya kepada kesalahan semula. Bagi kesalahan kepada orang lain dia perlu mendoakan kesejahteraan untuk orang itu.
Taubat yang lebih mendalam perlu kepada bimbingan orang arif yang telah melakukan taubat secara khusus. Orang arif melakukan taubat dengan penuh rasa takut kepada Tuhan. Dilihatnya dosa seumpama gunung yang akan jatuh ke atas kepalanya. Dia berasa takut dan lari kepada Tuhan memohonkan keampunan-Nya. Dia takut dicampakkan jauh daripada Tuhan. Dia takut ‘kehilangan’ Tuhan yang sangat dikasihinya. Dia takut kehilangan perhatian-Nya, cinta-Nya dan keampunan-Nya. Dia takut dan malu karena Tuhan Melihat dan Mendengar segala perbuatan dan tutur kata lidah serta hatinya. Dia takutkan azab Tuhan yang sangat keras. Ucapan yang keluar dari mulut orang yang takutkan Tuhan memberi kesan yang mendalam kepada jiwa orang yang mau bertaubat. Keadaan takutkan Tuhan itu turut menguasai jiwa orang berkenaan yang mau bertaubat itu. Perkataan yang keluar daripada hati yang bersih dan dibaluti oleh cahaya suci menyinar pada cermin hati orang yang mendengar. Hati yang menerima pancaran cahaya suci daripada orang suci akan menjadi jaga dan hidup. Hati yang hidup itu melakukan taubat dengan sebenar-benarnya.
Orang arif yang mampu membimbing orang lain memasuki pintu taubat adalah orang yang telah sampai kepada makam kehampiran dengan Tuhan. Kemudian mereka dihantar balik kepada alam rendah bagi membimbing orang lain yang berpotensi tetapi masih ada kecacatan dan kelemahan. Dalam melaksanakan tugas tersebut orang arif berjalan menurut Sunah Rasulullah s.a.w. Tugas pembimbing kerohanian berbeda daripada tugas seorang Rasul. Rasul ditugaskan menyampaikan kepada semua orang. Pembimbing kerohanian tidak mengajarkan semua orang. Mereka hanya mengambil orang-orang tertentu saja, yang dipilih untuk mengikuti latihan intensif bagi menambahkan bilangan orang arif yang akan berkhidmat kepada orang banyak. Rasul diberi kebebasan dalam melakukan tugas berdakwah tetapi pembimbing jalan kerohanian mesti mengikuti jalan rasul, tidak bisa membuat jalan sendiri. Guru kerohanian yang mengaku dirinya bebas daripada Sunah Rasulullah s.a.w, mendakwa dirinya sama dengan nabi, sebenarnya telah jatuh ke dalam kesesatan dan kekufuran. Guru kerohanian yang benar berpegang teguh kepada prinsip agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w, tidak membawa peraturan baru. Cara penyampaian mereka bisa jadi berbeda dengan cara Rasulullah s.a.w karena kebijaksanaan manusia tidak sama, tetapi perbedaan cara tidak sampai mengubah hukum dan peraturan. Orang arif yang benar mempunyai ‘kehampiran’ dengan Rasulullah s.a.w melebihi kehampirannya dengan isteri, anak dan kaum keluarga mereka. Kehampirannya adalah kehampiran kerohanian yang lebih erat daripada hubungan darah daging.
Dalam masyarakat Islam sudah banyak orang alim yang memperkatakan tentang zahir syariat yaitu ilmu fikih. Sebab itu orang arif lebih menumpukan soal batin yaitu ilmu tasauf yang menumpukan soal hati. Bidang fikih lebih bersifat umum. Satu fatwa yang dikeluarkan oleh seorang alim fikih sesuai untuk orang banyak dan kebanyakan keadaan. Bidang kerohanian bersifat persendirian. Bagi satu orang hanya ada satu saja jalan kerohanian yang sesuai untuknya. Oleh sebab itu guru kerohanian perlu ada kasyaf yang membisakannya mengarti kedudukan muridnya. Kearifan guru lebih diperlukan bagi memandu murid yang didatangi oleh jazbah atau mendapat gangguan khadam. Hanya guru yang arif mengarti jalan khusus yang sedang dilalui oleh muridnya dan dia mampu membimbing muridnya menuju matlamat dengan selamat.
22: Tarekat Tasauf
________________________________________
Motif tarekat tasauf adalah: “ Ilahi! Engkau jualah tujuanku. Keredaan Engkau jua yang daku cari ”. Tarekat tasauf menjurus sepenuhnya kepada usaha mendekatkan diri kepada Allah s.w.t, mengabdikan diri kepada-Nya sebaik mungkin dan mengenali-Nya sebagaimana layaknya. Pokok dari ajaran tarekat tasauf adalah penyucian hati. Syarat penyucian hati yang pertama adalah taubat secara zahir dan batin. Taubat zahir berkaitan dengan perkataan, perbuatan, perasaan, menghindarkan diri daripada melakukan dosa dan memperbanyakkan kebaikan. Taubat batin berkaitan dengan rohani, mengembalikan rohani kepada tahap kesuciannya yang asli.
Perkaitan rohani dengan jasad dan dunia melahirkan tenaga yang mengseret rohani lari daripada kedudukannya yang asli. Tenaga negatif itu muncul daripada nafsu. Nafsu yang asalnya bersifat baik sudah dikuasai oleh sifat-sifat buruk. Nafsu yang pada asalnya menghadap Tuhan telah berpaling menghadap kepada yang selain Tuhan. Penumpuan taubat batin adalah membawa nafsu kepada haluannya yang asal, yang menghala kepada Tuhan. Rantai yang mengseret nafsu ke arah yang salah mesti diputuskan.
Daerah-daerah nafsu perlu difahami bagi memudahkan tugas membawanya kepada arah dan matlamat yang benar. Sebelum nafsu sampai kepada arah yang benar ada tiga daerah nafsu perlu ditempuhi. Tiga daerah tersebut adalah ammarah, lawwamah dan mulhamah.
Rantai yang mengikat nafsu dalam daerah nafsu ammarah adalah yang paling kasar dan paling kuat. Pengikat nafsu dalam daerah ini adalah sifat-sifat keji separti sombong, ujub, ria dan sama'ah. Sifat-sifat tersebut membuat manusia merasakan dirinya lebih baik, lebih mulia dan lebih cerdik daripada orang lain. Dia suka menunjuk-nunjuk, suka dipuji dan suka namanya menjadi terkenal. Dalam daerah ini tidak ada nilai-nilai murni kemanusiaan dan tidak ada peraturan. Orang yang berada dalam daerah ini sangat tamakkan harta dan tidak peduli dari sumber mana harta itu diperolehinya. Apabila memperolehi harta dia menjadi bakhil. Nafsu yang berada dalam daerah ammarah ini juga kuat berdengki, berdendam dan sanggup berbuat khianat. Selain itu nafsu ammarah bertabiat suka berangan-angan. Dia merasakan apa yang dia angankan akan diperolehinya walaupun dia tidak ada kemampuan untuk berbuat demikian. Orang yang dibungkus oleh nafsu ammarah suka menggunakan dua cara penilaian. Bagi dirinya digunakan cara positif dan untuk orang lain digunakan cara negatif. Dia mengatakan orang lain mengumpat tetapi bagi dirinya, berbuat perkara yang serupa dikatakan mengatakan yang benar. Orang lain dikatakan berdengki tetapi buat dirinya dikatakan mempertahankan yang hak. Orang lain dikatakan bakhil tetapi buat dirinya dikatakan berjimat cermat. Sikap yang demikianlah membuatkan tertutup pandangannya daripada melihat kepada keburukan, kejahatan dan kecacatan yang ada dengan dirinya. Dia dikuasai oleh perasaan bahwa dialah manusia yang paling tahu dan paling sempurna. Dia merasakan syurga adalah haknya sekali pun dia tidak melakukan kebaikan. Perasaan yang demikian muncul karena sifat ammarah tidak menghalang seseorang menggunakan ilmu yang bersangkutan dengan kehidupan dunia. Ia hanya menutup ilmu tentang Tuhan dan akhirat. Kemampuan menggunakan ilmu dunia membuatkan ahli nafsu ammarah bisa berjaya dalam kehidupan, bisa menjadi cendikiawan dan pemimpin masyarakat. Dia juga bisa mempelajari ilmu agama dan menjadi alim dalam bidang tersebut. Tetapi ilmu tidak berdaya menyelamatkannya karena dia taksub dengan ilmunya. Dia menjadi marah jika mengetahui orang banyak berguru dengan orang alim yang lain. Dia suka mengeluarkan kenyataan yang merendah-rendahkan ilmu orang lain. Dia merasakan dirinya adalah ahli agama yang sempurna, ahli syurga yang tidak akan dihisab, sudah mencapai makam makrifat sementara orang lain tidak sempurna, ahli neraka dan tidak bermakrifat.
Tarekat tasauf mengajarkan manusia supaya membina kekuatan dalam berjihad menentang sifat nafsu ammarah dan membebaskan diri daripada ikatan rantainya. Kekuatan dalaman diperolehi dengan cara mengingati Allah s.w.t sebanyak mungkin. Pada peringkat permulaian ingatan kepada Allah s.w.t dilakukan dengan paksaan dan hanya berlaku secara luar saja tetapi dengan mengulangi nama-nama Tuhan, menyebutkannya kuat-kuat akan menambahkan kesadaran terhadap-Nya. Ingatan kepada Tuhan yang dilakukan secara berterusan akhirnya akan masuk ke dalam hati. Ketika itu ingatan kepada Tuhan dilakukan dalam hati, tidak perlu lagi menyebutnya kuat-kuat.
Ucapan dan ingatan kepada nama-nama Tuhan membuat hati menjadi jaga dari tidur dan sedar dari kelalaian. Hati mendapat kekuatan untuk berperang dengan tentera ammarah. Berlakulah peperangan di antara yang baik dengan yang jahat. Perjuangan ini berlaku di dalam daerah nafsu lawwamah. Senjata tentera lawwamah adalah taat kepada peraturan syariat, rajin beribadat dan menyibukkan lidah dan hati berzikir kepada Allah s.w.t. Hati yang sudah jaga daripada tidur mampu berfungsi sebagai juru nasehat kepada diri sendiri. Bila terjadi kesalahan dosa akan berdetiklah peringatan di dalam hati dan orang yang berkenaan menjadi menyesal dan bertaubat. Bila hati bertambah kuat juru nasehat dalam diri juga menjadi kuat. Ia akan menarik dirinya lari daripada dosa sebelum dosa dilakukan. Walaupun begitu, ketika berada dalam daerah lawwamah, seseorang itu masih lagi terlanjur melakukan dosa sekalipun dia berusaha mencegahnya. Ini karena sebagian daripada rantai-rantai ammarah belum lagi putus daripada daerah lawwamah. Rantai tersebut adalah ujub, ria dan samaah. Sifat kebaikan yang muncul dalam daerah lawwamah adalah mengakui kesalahan diri sendiri, menyesal dan bertaubat. Orang yang berada dalam daerah lawwamah gemar bertafakur, merenung sesuatu dan mengaitkannya dengan Kudrat dan Iradat Tuhan. Ingatannya kepada Allah s.w.t sekali sekala masuk ke dalam hati dan menerbitkan rasa kemanisan berzikir. Zikir yang telah masuk ke dalam hati menguatkan dan melembutkan hati itu. Kuat dalam melawan yang salah dan lembut dalam penyesalan terhadap kesalahan diri. Ahli nafsu lawwamah banyak menangis apabila teringatkan dosa-dosanya yang lalu. Dia juga mudah menangis ketika beribadat. Suasana hati yang menguasai ahli lawwamah ini adalah ‘takutkan Allah.’ Perhatiannya lebih tertuju kepada akhirat dan syurga daripada nikmat keduniaan. Satu sikap yang agak ketara muncul pada ahli lawwamah adalah dia bukan saja mengkeritik kesalahan dirinya malah dia juga mengkeritik kesalahan orang lain. Ini berlaku karena dia selalu memerhatikan kesalahan dirinya dan kesalahan orang lain. Dalam memerhatikan kesalahan diri dia melihat kesungguhannya bekerja menghapuskan kesalahan. Dia melihat dirinya yang bertaubat dan memohon keampunan dari Allah s.w.t. Dalam memerhatikan kesalahan orang lain dia tidak melihat mereka berbuat demikian. Perhatian yang demikian membuatnya merasakan dirinya lebih baik daripada orang lain.
Semakin jauh seseorang itu memasuki daerah lawwamah semakin kurang pengaruh ammarah pada dirinya. Apabila sampai kepada satu peringkat rantai ammarah putus daripadanya dan dia masuk ke dalam daerah nafsu mulhamah. Nafsu mulhamah adalah nafsu yang sudah bersih daripada kekotoran. Bila kekotoran tidak ada pada hati, fikiran kotor tidak datang lagi dan mengambil alih tempatnya adalah ilham bersih yang datang dari alam tinggi. Cermin hatinya yang kerap menghadap kepada alam tinggi membuatnya sering lupa kepada alam rendah. Dia menjadi tidak berminat dengan harta, berasa cukup dengan apa yang ada dan tidak berasa sayang untuk menolong orang lain dengan harta yang ada padanya. Dia juga melakukan taubat yang sungguh-sungguh dan tidak kembali lagi kepada kejahatan yang pernah dilakukannya. Dia memiliki kesabaran yang kuat dalam menghadapi bala bencana. Dia kuat berserah diri kepada Tuhan. Dia menghadap kepada Tuhan dengan rasa merendah diri dan berhajat kepada-Nya. Sifat merendah diri yang sudah lahir dalam hatinya membuatnya tidak lagi mengkeritik orang banyak sembarangan, separti yang dilakukannya ketika dalam daerah lawwamah dahulu. Dia lebih memandang orang banyak dengan pandangan simpati, bukan mengutuk. Zikirnya sudah bisa masuk ke dalam hati yang lebih dalam dan lebih seni, menguatkan rasa pergantungan kepada Allah s.w.t. Keikhlasan ahli mulhamah ini sudah bertambah kuat. Dia melakukan kebaikan bukan lagi karena ‘takutkan Allah’ tetapi semata-mata ‘karena Allah’ atau karena mau mendapatkan keredaan-Nya. Orang yang sudah berada pada tahap ini akan terus mentaati Allah s.w.t sekali pun Tuhan tidak menjadikan syurga dan neraka. Matlamatnya adalah Allah s.w.t semata-mata. Keyakinannya kepada Allah s.w.t sangat mendalam, sebab itu dia kuat melakukan tajrid, yaitu menyerahkan urusannya kepada Allah s.w.t saja, tidak kepada makhluk. Daerah mulhamah merupakan peringkat terakhir pekerjaan membawa haluan nafsu ke arah yang betul. Ia adalah sempadan terakhir bagi nafsu yang mendatang, yang menumpang nafsu asli yang suci. Oleh karena dia masih berada dalam daerah nafsu yang mendatang dia masih berkemungkinan diseret semula kepada daerah nafsu yang lebih rendah. Oleh itu kesungguhan beribadat dan kekuatan iman diperlukan agar rantai dari daerah nafsu yang lebih rendah tidak kembali menyambar dan mengikatnya.
Apabila seseorang itu keluar sepenuhnya daripada daerah nafsu yang mendatang dan masuk sepenuhnya ke dalam daerah nafsu yang asli dan haluan nafsunya sudah berada pada arah yang benar, dia masuk ke dalam daerah nafsu muthmainnah. Dia telah kembali kepada tahap yang diredai Allah s.w.t.
Wahai nafsu muthmainnah. Kembalilah kepada Tuhan engkau dalam keadaan reda meredai oleh-Nya dan masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah engkau ke dalam syurgaKu. ( Ayat 27 – 30 : Surah al-Fajr )
Jiwa muthmainnah hanya tenang dan tenteram di dalam melakukan ketaatan kepada Allah s.w.t. Perbuatan zahirnya dan kelakuan hatinya semata-mata dalam melakukan ketaatan kepada Allah s.w.t. Dia menyayangi makhluk Tuhan, suka bersedekah, tidak menyimpan harta, reda dengan ketentuan Allah s.w.t dan bertawakal kepada-Nya dalam segala perkara. Dia hidup di atas landasan takwa, kuat beribadat dan mensyukuri segala pemberian Tuhan. Dia sudah melepasi makam sabar dan masuk kepada makam reda, maka tidak ada apa lagi yang menekan jiwanya. Cahaya ketenangan muncul pada wajahnya. Dia sudah dapat mengalami Hadrat nama-nama Tuhan. Kesadaran dan ingatan terhadap nama-nama Tuhan mendatangkan kenikmatan dan kelazatan pada hatinya. Kehampirannya dengan Tuhan membuatnya merasakan dirinya senantiasa bersama-sama-Nya, maka tidak ada apa lagi yang menakutkan dan mendukacitakannya. Daerah muthmainnah ini dinamakan daerah kewalian peringkat permulaian atau wali kecil.
Manusia rohani memiliki sifat-sifat yang asli. Manusia zahir memperolehi sifat melalui percantuman dengan manusia rohani. Sifat yang muncul pada manusia zahir dinamakan sifat kemanusiaan. Apabila seseorang meninggalkan daerah-daerah ammarah, lawwamah dan mulhamah masuk ke dalam daerah muthmainnah, bermakna dia meninggalkan daerah sifat kemanusiaan dan masuk kepada sifat rohani. Kelenyapan sifat kemanusiaan dinamakan kefanaan. Bertambah kuat sifat rohani menguasainya bertambah kuat kefanaan yang dialaminya. Tertanggalnya sifat kemanusiaan dan pada masa yang sama mengalami suasana Hadrat Ilahi menyebabkan orang yang berkenaan menafikan perbuatan manusia dan menyandarkannya kepada perbuatan Tuhan. Orang yang dalam keadaan demikian menyaksikan Hadrat Tuhan menerajui sekalian alam maya ini. Oleh sebab itu dia menyerah bulat-bulat kepada pentadbiran Tuhan. Dalam daerah muthmainnah Hadrat Tuhan yang dialami oleh hati menyata sebagai Nama-nama-Nya yang banyak. Setelah dia masuk kepada daerah yang lebih mendalam hatinya mengalami keadaan di mana Hadrat nama-nama yang kelihatan banyak itu sebenarnya adalah Hadrat yang satu, yang berkuasa menentukan segala perkara, tidak ada yang lain memiliki kuasa. Daerah ini dinamakan nafsu radhiah. Suasana hati ahli nafsu radhiah adalah sangat teguh meredai apa saja takdir Tuhan. Baginya bala dan nikmat adalah sama saja, sama-sama takdir Tuhan. Orang radhiah sangat kuat merasai kehadiran kuasa ghaib mengawal segala kelakuan dan tindak-tanduknya. Perbuatan yang keluar dari dirinya berlaku secara spontan tanpa dia campurtangan sedikit pun. Keadaannya samalah separti keadaan orang yang melihat dirinya di dalam mimpi. Dia tidak ikut campurtangan dalam kelakuan dirinya yang di dalam mimpi itu. Dirinya yang di dalam mimpi melakukan sesuatu tanpa berfikir dan merancang, tidak terikat dengan dirinya yang diluar mimpi. Apabila diri yang di dalam mimpi itu menjadi sangat kuat diri yang di luar merasakan dialah yang khayalan dan diri yang di dalam mimpi itulah diri yang sebenar. Pengalaman separti inilah menyebabkan orang radhiah menafikan kewujudan dirinya dan diisbatkan kepada kewujudan Allah s.w.t. Kelakuan orang radhiah tidak lagi terpengaruh kepada fikiran, perasaan dan hukum logik. Tuturkatanya berbunga-bunga, sukar dimengarti oleh orang lain. Dia kadang-kadang mengeluarkan perkataan yang menyinggung perasaan orang lain. Biasa juga terjadi dia mengeluarkan ucapan yang pada zahirnya menyalahi syariat. Dia tidak lagi mengendahkan peraturan masyarakat. Tingkah lakunya bisa menyebabkan orang banyak menyangkakannya sudah gila. Apa yang nyata pada hatinya adalah segala perkara datangnya dari Tuhan. Dia mengembalikan segala perkara kepada Tuhan. Apa juga kebisaan dan kekeramatan yang diperolehinya disandarkan kepada Tuhan. Orang radhiah mengalami rasa ‘kegilaan kepada Allah’ pada tahap paling tinggi. Suasana hatinya diistilahkan sebagai ‘dalam Allah.’ Dia fana dalam lautan takdir.
Setelah sampai pada puncakk, derajat kefanaan mulai menurun. Peringkat kefanaan menurun ini dinamakan nafsu mardhiah. Dalam proses menaik sehingga ke radhiah seseorang itu terpisah daripada sifat kemanusiaan dan kewujudan alam maya. Apabila sampai kepada daerah mardhiah dia kembali melihat kepada apa yang terpisah daripadanya sewaktu menaik dahulu. Dia sudah bisa melihat sifat kemanusiaan yang menumpang wujud rohani dan sudah merasakan memiliki keupayaan untuk menggunakan sifat dan bakat tersebut. Bila sifat kemanusiaan sudah kembali dia kembali menyaksikan kewujudan alam maya dan makhluk di sekelilingnya. Ketika masih hampir dengan daerah radhiah, walaupun dia sudah berada dalam daerah mardhiah, kesan kefanaan belum terhapus sepenuhnya dari hatinya. Penyaksiannya terhadap makhluk tidak menetap. Kadang-kadang penyaksiannya melampaui makhluk. Kemudian makhluk datang kembali kepada pandangannya. Begitulah keadaannya sehingga dia sampai kepada penetapan nafsu mardhiah, di mana pandangannya tidak terbalik lagi. Dirinya, sifat dan bakatnya dan makhluk sekaliannya menjadi tetap dalam kesadarannya. Dia masuk ke dalam suasana yang diistilahkan sebagai baqa atau kekal dengan Allah s.w.t. Dalam suasana tersebut hatinya kekal dengan Allah s.w.t walaupun zahirnya bercampur dengan orang banyak. Walaupun dia sudah bisa bergaul dengan orang banyak tetapi dia lebih suka bersendirian dan tidak mau bercakap atau melakukan sesuatu yang sia-sia. Dia sudah bisa mengatur kehidupan hariannya. Ucapan yang menyalahi syariat tidak keluar lagi dari mulutnya.
Dalam daerah mardhiah seseorang itu mendapat kesadaran sepenuhnya tentang keaslian rohaninya. Perjalanan kerohanian bukanlah perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia merupakan perubahan kesadaran mengenai hakikat dirinya sehinggalah dia memperolehi kesadaran sepenuhnya tentang keaslian dirinya. Dalam melalui proses perubahan kesadaran itu dia mendapat pengetahuan tentang Tuhan. Dia juga memperolehi kesadaran mengenai roh yang paling latif yang dipakaikan dengan tubuh badan yang nyata. Orang mardhiah yakin bahwa dia diciptakan untuk sesuatu tujuan yang khusus tetapi dia belum menerima amanah untuk memikul tugas berkenaan. Oleh itu keadaannya adalah umpama orang yang sedang menunggu kenderaan di stesen. Sementara kenderaan yang akan membawanya pergi ke tempat yang khusus sampai dia melakukan sesuatu pekerjaan secara ala kadar saja. Dia melakukan sesuatu dengan persediaan untuk meninggalkannya apabila datang ‘perintah’ untuk pergi ke satu tempat yang muktamad kelak. Suasana hati yang beginilah membuatkan orang mardhiah kembali kepada kehidupan dunianya tanpa sesuatu matlamat yang jelas. Sebenarnya kesan kefanaan yang sangat kuat pada peringkat radhiah masih menguasai hatinya. Kesan tersebut membuatnya masih ‘menanti-nantikan’ sesuatu yang dia sendiri tidak pasti. Masih ada tarik menarik di dalam hatinya di antara kesadaran kerohanian yang diperolehinya dengan kesadaran kemanusiaan yang dikembalikan kepadanya. Dia adalah umpama seorang yang keberatan untuk memasuki rumahnya yang telah lama ditinggalkannya dan rumah itu gelap gelita. Dia akan terus berkeadaan demikian sehinggalah dia menyedari bahwa dirinya sudah ada cahaya yang mampu menerangi rumah gelap tersebut. Apabila dia telah menerima rumahnya dengan sepenuh jiwa raga dan dia memasuki rumah itu, akan memancarlah di dalamnya cahaya yang terang benderang. Dia mulai bekerja di dalam rumah tersebut. Keadaannya seumpama Adam a.s yang reda dengan bumi ini menjadi tempat kediamannya, tempat kematiannya dan tempat dibangkitkan.
Rohani yang terang benderang telah menerima jasad yang gelap gelita, maka sempurnalah kejadian insan. Adam a.s telah menerima bumi sebagai tempat kediamannya, maka sempurnalah tujuan penciptaan Adam a.s. Orang kerohanian melalui berbagai-bagai peringkat kerohanian. Apabila rohaninya menerima jasadnya sempurnalah kejadiannya. Apabila dirinya yaitu rohani yang berkamil dengan jasad, menerima penghidupan di dalam dunia sempurnalah perjalanannya. Tidak ada lagi yang dinanti-nantikannya dan tidak ada perintah lagi yang ditunggunya. Dunia inilah daerah kekhalifahannya dan al-Quran itulah perintah yang sudah siap termetri. Orang kerohanian masuk ke dalam daerah nafsu kamaliah atau kesempurnaan nafsu dengan doa:
Dan katakanlah: “Wahai Tuhanku! Masukkan daku dengan kemasukan yang baik dan keluarkan daku dengan keluaran yang baik dan jadikanlah untukku langsung dari Engkau satu kekuasaan yang menolong”. Dan katakanlah: “Telah datang kebenaran dan telah lenyap kebatalan; sesungguhnya yang batal itu pastilah dilenyapkan”. ( Ayat 80 & 81 : Surah al-Israa’ @ Bani Israil )
Orang kerohanian yang telah kembali kepada keaslian rohaninya, kemudian dihantar semula ke tempat dia bermulai, yaitu kehidupan dunia, dipelihara oleh Allah s.w.t daripada dirosakkan oleh kehidupan dunia. Dia kembali kepada kesadaran kemanusiaan dan kehidupan dunia sebagai nafsu muthmainnah, nafsu yang paling sempurna dan sesuai untuk kehidupan di bumi. Bumi yang menjadi tempat kembalinya itu adalah seumpama bumi yang diciptakan semula oleh Tuhan setelah berlaku kiamat.
Pada hari yang akan diganti bumi ini dengan bumi lain dan semua langit juga, dan akan tampil mereka ke hadapan Tuhan, Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan akan engkau lihat orang-orang yang berdosa itu terikat dengan belenggu-belenggu. ( Ayat 48 & 49 : Surah Ibrahim )
Manusia pilihan yang diturunkan kepada penghidupan dunia setelah dinaikkan kepada tempat asalnya, merupakan khalifah Tuhan yang bertugas memakmurkan bumi dan melaksanakan perintah Allah s.w.t. Golongan yang tidak mengarti akan mencoba untuk mengganggu pekerjaan mereka tetapi pertolongan dari Tuhan membelenggu musuh mereka hinggakan dunia ini tidak lagi berupaya mencederakan mereka. Setelah tugas mereka di bumi sempurna mereka akan kembali kepada Tuhan dalam keadaan reda meredai.
Para khalifah Tuhan diperkuatkan dengan pertolongan yang langsung daripada-Nya.
Dia campakkan Roh dari urusan-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki dari kalangan hamba-hamba-Nya. ( Ayat 15 : Surah Mu’min )
Dan Kami telah perkuatkan dia (Isa) dengan Roh Kudus. ( Ayat 87 : Surah al-Baqarah )
Khalifah Tuhan berkecimpung dalam kehidupan masyarakat sebagaimana anggota masyarakat yang lain. Kerja utama mereka adalah membimbing manusia ke jalan Allah s.w.t. Di damping itu mereka menjalankan kewajiban terhadap diri dan keluarga.. Mereka melakukan pekerjaan karena mentaati Allah s.w.t. Khidmat mereka kepada masyarakat adalah khidmat mereka kepada Tuhan. Kasih mereka kepada Tuhan disebarkan kepada makhluk Tuhan. Ketaatan mereka kepada Tuhan ditunjukkan dengan memberi bantuan kepada makhluk Tuhan. Mereka adalah wakil Tuhan yang bertugas hal ihwal makhluk Tuhan. Itulah pekerjaan Adam a.s dan keturunannya yang dipilih dari masa ke masa untuk meneruskan pekerjaan tersebut.
Daerah-daerah nafsu merupakan stesen kerohanian di sepanjang perjalanan. Stesen kerohanian tidak seharusnya dipandang sebagai makam ketinggian dan kemuliaan. Tuhan tidak melihat kepada stesen kerohanian tetapi Dia melihat kepada takwa. Takwa yang sebenar hanya bisa disempurnakan dalam kehidupan dunia, di tengah-tengah masyarakat, bukan dalam kerohanian yang memisahkan seseorang dengan orang banyak. Manusia yang paling mulia, yaitu Nabi Muhammad s.a.w sangat aktif dalam kegiatan masyarakat dan kehidupan harian.
Selain daripada mengajarkan perjalanan kerohanian melalui daerah-daerah nafsu, tarekat tasauf juga mengajarkan perkembangan kesadaran kerohanian melalui berbagai-bagai peringkat kebatinan. Suasana kebatinan itu dinamakan Latifah Rabbaniah, yaitu unsur seni yang ghaib yang termasuk dalam urusan Tuhan yang tidak mampu difikirkan. Latifah Rabbaniah yang tergolong sebagai Diri Batin adalah Latifah -latifah Kalbu, Roh, Sir, Khafi, Akhfa, Nafsu Natiqah dan Kullu Jasad.
Latifah Kalbu adalah hati nurani. Ia menjadi raja yang memerintah sekalian anggota dan tubuh manusia. Ia menjadi induk bagi semua latifah yang lain. Kalbu atau hati itulah yang menjadi tilikan Allah s.w.t. Jika baik hati akan baiklah sekalian anggota. Hati yang seni dan ghaib dikaitkan dengan hati sanubari, yaitu jantung yang terletak dalam dada sebelah kiri, kira-kira dua jari di bawah tetek. Jika diletakkan jari pada tempat tersebut bisa dirasakan denyutannya. Denyutan jantung memberi peringatan kepada manusia bahwa dia masih hidup karena sokongan daripada Latifah Kalbu yang menjadi bekas menerima kurniaan Allah s.w.t. Kalbu atau hati seni dibungkus oleh alam perasaan yang berbolak-balik, tidak menetap. Kesungguhan beribadat dan berzikir membebaskan Latifah Kalbu daripada hijab alam perasaan yang menutupinya. Bila Latifah Kalbu telah bebas daripada tutupan alam perasaan ia akan menghadap kepada alam ghaib dan menerima ilham yang bebas daripada bisikan syaitan. Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Kalbu membuat hati merasakan jalinan yang erat dan unik dengan Kenabian Adam a.s atau dikatakan hati mengalami suasana Hakikat Adamiyah. Perjalanan Adam a.s menjadi iktibar untuk hati bertaubat dan membersihkannya daripada segala kekotoran. Kesadaran kerohanian yang berhubung erat dengan kenabian Adam a.s itu juga membuka kepemahaman tentang perjalanan hukum sebab dan akibat. Kepemahaman mengenainya membuat seseorang mengkagumi perjalanan kehidupan yang sangat rapi telah diaturkan untuknya oleh Tuhan Yang Maha Mentadbir. Kesadaran tersebut menambahkan keyakinannya kepada bimbingan yang datang dari Tuhan. Hatinya menjadi bertambah kuat untuk kembali kepada Tuhan dan dia bermujahadah untuk mendapatkan keredaan-Nya. Keasyikan dalam suasana latifah sering membuat mata hati menyaksikan cahaya dan warna dalam alam ghaib. Keasyikan dalam Latifah Kalbu membawa seseorang menyaksikan cahaya berwarna kuning yang bergemerlapan. Cahaya latifah yang disaksikan bukanlah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukanlah Tuhan. Ia mesti dinafikan dengan membanyakkan ucapan: “La ilaha illa Llah ”.
Latifah Kalbu adalah umpama ruang yang besar, terdapat dalamnya berbagai-bagai latifah lagi. Tahap kesadaran latifah yang lebih mendalam dinamakan Latifah Roh, dikenali sebagai Roh Hewani. Latifah Roh atau Roh Hewani itu dihijabkan oleh sifat-sifat keji yang dipanggil sifat binatang jinak. Sifat ini mengseret manusia kepada jalan memuaskan nafsu syahwat separti hewan, tanpa menghiraukan akibat dan dosa. Sifat binatang jinak inilah yang membuat manusia berani melakukan kesalahan walaupun orang lain yang telah membuat kesalahan yang sama telah pun menerima padahnya. Orang lain yang telah mati karena penyakit aids tidak menakutkan binatang jinak untuk terus berbuat maksiat. Orang lain yang sudah kena gantung karena menjual dadah tidak menakutkan binatang jinak untuk terus menjual dadah. Memang sifat binatang tidak mengenal dosa dan tidak takut kepada penyakit. Tenaga ibadat dan zikir yang masuk ke dalam daerah Latifah Roh akan menghancurkan sifat binatang jinak itu. Bila sifat tersebut telah hancur akan muncullah sifat Latifah Roh yang asli, yaitu gemar beribadat, kuat bertawakal dan reda dengan takdir Tuhan. Kesadaran pada tahap Latifah Roh ini membuatkan seseorang melakukan ibadat dan berzikir dengan banyaknya tanpa berasa penat dan jemu. Dalam daerah ini juga muncul hubungan kerohanian dengan Kenabian Ibrahim a.s dan Nuh a.s. ‘Pertemuan’ dengan Hakikat Ibrahimiyah dan Nuhiyah menguatkan kesanggupan seseorang untuk berjuang dan berkorban demi mendapatkan keredaan Allah s.w.t. Keasyikan dalam daerah Latifah Roh ini membawa mata hati menyaksikan cahaya yang berwarna merah yang gilang gemilang. Cahaya latifah ini juga bukanlah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan memperbanyakkan ucapan : “La ilaha illa Llah ”.
Setelah melepasi daerah Latifah Roh seseorang mengalami pula suasana kerohanian dalam daerah Latifah Sir atau dinamakan Roh Insani. Latifah Sir atau Roh Insani ini dihijab oleh sifat buruk yang dinamakan sifat binatang buas. Sifat tersebut mendorong manusia bermusuhan sesama sendiri, melakukan kezaliman, berdendam dan saling membenci. Apabila sifat binatang buas ini berkuasa akan berlakukah penganiayaan, penindasan dan kezaliman yang tidak berperi kemanusiaan terhadap sesama manusia. Sifat binatang buas ini mesti dihancurkan dengan tenaga ibadat dan zikir. Bila sifat binatang buas telah hancur akan muncullah sifat Latifah Sir yang asli yaitu mencintai Allah s.w.t dengan teramat sangat. Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Sir inilah yang sering membuat hati gilakan Allah s.w.t hingga ke tahap tidak rasional. Dalam daerah ini juga terjalin hubungan kerohanian dengan Kenabian Musa a.s. Hakikat Musawiyah membawanya merasai kehampiran dengan Allah s.w.t dan merasai nikmat Cinta Ilahi. Keasyikan dalam daerah ini membawa mata hati menyaksikan cahaya berwarna putih yang bergemerlapan. Cahaya latifah ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, mesti dinafikan dengan ucapan: “La ilaha illa Llah ” sebanyak mungkin.
Seterusnya hati mengalami suasana Latifah Khafi. Latifah ini dihijabkan oleh sifat syaitaniah yang menerbitkan perasaan dengki, khianat dan busuk hati. Apabila tenaga ibadat dan zikir yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh berjaya menghancurkan sifat syaitaniah, akan muncullah sifat latifah yang asli yaitu sabar, syukur, reda dan tawakal yang sebenarnya. Kesadaran pada tahap Latifah Khafi membuat seseorang mengalami hubungan kerohanian dengan Kenabian Isa a s atau Hakikat Isaiyah. Kesadaran dalam daerah ini menambahkan kekuatan rohani untuk menghampiri Allah s.w.t dan pada tahap latifah ini juga selalu muncul perkara yang luar biasa separti kebisaan mengobati penyakit dan mempunyai firasat yang tajam, walaupun bidang tersebut tidak pernah dipelajarinya. Keasyikan dalam Latifah Khafi membawa seseorang menyaksikan cahaya hitam yang tidak terhingga. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan. Ia mesti dinafikan dengan memperbanyakkan ucapan: “La ilaha illa Llah ”.
Kesadaran kebatinan seterusnya dinamakan Latifah Akhfa yang dihijab oleh sifat Rabbaniah (ketuhanan) yang tidak layak dipakai oleh makhluk. Sifat tersebut melahirkan rasa sombong, ujub dan ria. Apabila tenaga ibadat dan zikir berjaya membebaskan Latifah Akhfa daripada sifat Rabbaniah akan muncullah sifat kebaikan separti ikhlas dan tawaduk yang sebenarnya. Kesadaran dalam daerah ini membuat seseorang gemar bertafakur. Dalam kesadaran latifah ini juga lahir hubungan kerohanian yang erat dengan Kenabian Muhammad s.a.w atau Hakikat Muhammadiah. Orang berkenaan akan mengalami rasa kasih, keasyikan dan kerinduan yang bersangatan terhadap Rasulullah s.a.w. Ucapan selawat merupakan ucapan yang sangat merdu dan mengasyikkan. Keasyikan terhadap Rasulullah s.a.w dalam daerah Latifah Akhfa ini juga membuat seseorang mengalami suasana ‘pertemuan’ dengan rohani Rasulullah s.a.w sama ada dalam mimpi atau pun dalam jaga. Hakikat Muhammadiah membawa seseorang memasuki suasana Cinta Allah s.w.t yang lebih halus dan lebih seni serta memperolehi muraqabah atau berhadap kepada Allah s.w.t semata-mata, tidak kepada selain-Nya. Keasyikan pada latifah ini juga membawa seseorang menyaksikan cahaya berwarna hijau yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan ucapan : “La ilaha illa Llah ”.
Latifah seterusnya dinamakan Latifah Nafsu Natiqah. Latifah ini juga dikenali sebagai diri yang bisa berfikir. Nafsu Natiqah dihijab oleh sifat ammarah yang banyak membentuk khayalan dan melahirkan penyakit panjang angan-angan. Dalam daerah inilah gambar-gambar yang disukai oleh nafsu syahwat ditayangkan. Keinginan kepada kesenangan dan keseronokan dunia berpuncak daripada daerah ini. Apabila tenaga ibadat dan zikir berjaya menghapuskan sifat ammarah, akan muncullah suasana hati yang tenteram dan fikiran yang tenang. Gambaran, khayalan dan fikiran jahat yang selalu mengganggu orang yang sedang bersholat tidak ada lagi apabila sifat ammarah pada Nafsu Natiqah sudah terhapus. Keasyikan dalam kesadaran Nafsu Natiqah membawa seseorang menyaksikan cahaya yang berwarna ungu yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan sebanyak mungkin dengan ucapan: “La ilaha illa Llah ”.
Latifah yang terakhir dikenali sebagai Latifah Kullu Jasad yang meliputi seluruh tubuh. Latifah ini dihijab oleh sifat jahil dan lalai. Apabila hijab tersebut berjaya dihapuskan oleh tenaga ibadat dan zikir akan muncullah sifat berilmu dan beramal. Tenaga zikir yang berjalan lancar dalam daerah ini dapat dirasakan mengalir ke seluruh tubuh, dari hujung rambut sampai ke hujung kaki, menyerap ke segenap rongga dalam tubuh badan, bercampur dengan darah, daging, tulang, sumsum dan seluruh maujud. Suasana yang demikianlah dikatakan seluruh tubuh berzikir. Keasyikan dalam latifah ini membawa seseorang menyaksikan cahaya yang gilang gemilang tidak dapat dihinggakan dan ditentukan warnanya. Cahaya ini, separti juga cahaya-cahaya yang lain, bukanlah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan dan perlu dinafikan dengan ucapan: “La ilaha illa Llah ”.
Tujuan tarekat tasauf adalah membawa hati keluar daripada hijab kegelapan dan masuk ke dalam cahaya yang terang benderang. Dalam dunia ini benda-benda nyata bisa disaksikan karena ada cahaya nyata separti matahari, bulan dan lampu. Perkara dunia yang abstrak dapat disaksikan melalui cahaya akal. Alam ghaib pula disaksikan melalui cahaya latifah. Walaupun cahaya latifah muncul sebentar saja dalam pandangan mata hati namun ia memadai untuk menerangi perjalanan menuju stesen kerohanian yang berikutnya. Apabila seseorang mencapai baqa semua cahaya tidak mempunyai warna, maka tidak ada penyaksian terhadap cahaya, tetapi hati masih dapat merasakan suasana yang terang benderang menerangi perjalanannya sehingga dia tidak berasa keliru atau ragu-ragu. Cahaya-cahaya alam kerohanian memandu seseorang untuk sampai ke Hadrat Ilahi. Suasana Hadrat Ilahi adalah makam ihsan, yaitu merasai kehadiran Tuhan dalam segala keadaan dan pada setiap ketika. Orang yang sampai kepada pengalaman yang demikian mengarti maksud firman Allah s.w.t:
Allah jualah Cahaya bagi langit dan bumi. ( Ayat 35 : Surah an-Nur )
Nur Allah s.w.t adalah Hadrat-Nya atau kehadiran-Nya yang dapat dirasakan oleh hati yang berkait rapat dengan rohnya yang asli. Nur Allah s.w.t bukanlah cahaya yang bisa difikirkan, digambarkan atau dikhayalkan. Maksud melihat Nur Allah s.w.t adalah merasakan kehadiran-Nya. Apa juga cahaya yang disaksikan dalam alam ghaib adalah cahaya yang Dia gubah sebagai menarik hamba-hamba-Nya agar terus berjalan sehingga sampai kepada matlamat yang dituju. Matlamat yang terakhir hanya bisa ditemui dan dicapai melalui suluhan cahaya kebenaran yang sejati.
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu Roh dari urusan Kami. Padahal tidaklah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman. Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di semua langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Wahyu adalah cahaya kebenaran yang sejati, dijadikan nur yang memberi petunjuk yang dengannya segala urusan sampai kepada Allah s.w.t.
23: Contoh Pengalaman Kerohanian
________________________________________
Orang-orang yang meminati tarekat tasauf sangat ingin mengetahui pengalaman kerohanian dan penyaksian yang terjadi kepada orang sufi. Penerangan mengenai perkara tersebut sukar diperolehi. Buku-buku tasauf hanya menceritakan tentang perjalanan kerohanian secara umum. Kadang-kadang diolah dengan cara yang sukar dimengarti, dicampur pula dengan istilah-istilah yang belum pernah didengar. Banyak perkara dibungkus dengan istilah Rahsia; Rahsia Tuhan, Rahsia Insan dan berbagai-bagai Rahsia lagi. Ada pula yang menceritakan pengalaman secara berteka-teki, digunakan uraian yang samar-samar. Semua itu dilakukan dengan alasan orang awam tidak akan mengarti perkara kerohanian yang mendalam. Perkara khusus hanya bisa diperkatakan dalam majlis yang menjadi ahli saja. Ada guru-guru yang tarekat melarang murid-muridnya bercakap mengenai perkara kerohanian dengan orang yang berlainan aliran tarekat.
Apabila intisari pengalaman kerohanian tidak didedahkan, orang banyak yang berminat dalam bidang tersebut mudah terdorong untuk membuat andaian sendiri. Sebagian mereka menyangkakan ilmu yang diajar secara bersembunyi itulah ilmu yang benar dan ilmu yang diajar secara terbuka tidak sampai kepada kebenaran yang sejati. Dalam alam yang tersembunyi itulah muncul berbagai-bagai ajaran yang kedengaran daripada jauh sebagai ajaran sesat. Apabila dipanggil oleh pihak yang berkuasa pengamal ajaran berkenaan menafikan penglibatan mereka dengan ajaran tersebut. Mereka mengaku menjadi pengikut Ahli Sunah wal Jamaah. Bila dibebaskan mereka kembali semula kepada alam persembunyian mereka. Murid-murid mereka diberitahu bahwa ilmu mereka adalah ilmu wali-wali, hanya wali saja bisa mendengar pengajarannya, tidak bisa didedahkan kepada orang yang tidak berjalan pada jalan wali, walaupun mereka adalah pihak yang berkuasa. Alam persembunyian mereka tetap tinggal kukuh. Tidak dapat dipastikan berapa banyak tuhan-tuhan yang muncul dalam alam persembunyian tersebut. Akibatnya tarekat tasauf yang benar dengan tarekat yang sesat sukar dikenalpasti. Di kalangan orang banyak pula mulai timbul anggapan serong terhadap orang-orang yang bertarekat tasauf, terutamanya yang memakai jubah. Guru ajaran sesat digambarkan sebagai orang yang berjubah dan berserban. Orang alim pula digambarkan sebagai berpakaian ‘bush jacket’ dan ‘coat’. Ahli tarekat yang benar tidak diterima dengan baik karena mereka memakai jubah. Inilah yang berlaku apabila tarekat yang sesat berselindung di sebalik jubah dan serban, dan aktiviti mereka tidak didedahkan.
Dalam menangani masalah penyakit aids, orang banyak didedahkan secara meluas kepada pengetahuan mengenai puncak dan tanda-tanda penyakit tersebut. Dalam menangani penyakit sosial yang melibatkan seks, sudah ada usaha menyebarkan pendidikan seks secara terbuka. Penyakit aids dan pengamal seks yang tersalah langkah berpeluang menceritakan pengalaman mereka secara terbuka. Tindakan berani orang-orang yang bersalah dan menyesal itu sedikit sebanyak memberi kesan kepada orang banyak.
Di antara semua penyakit, termasuklah penyakit aids, dadah, seks dan semua penyakit, penyakit yang paling besar dan paling merbahaya adalah penyakit sesat akidah. Penyakit lain mungkin menerima pengampunan Tuhan, sekiranya Dia kehendaki, tetapi penyakit sesat akidah tidak diampunkan-Nya. Jika orang lain berpeluang memasuki syurga selepas dicuci di dalam neraka, tetapi orang yang sesat akidah tidak berpeluang meninggalkan neraka. Oleh karena penyakit ini merugikan manusia di dunia dan di akhirat, usaha membenterasnya mestilah dilakukan sehingga ke akar umbinya. Salah satu kubu persembunyian mereka adalah bagian kesamaran dalam ajaran tarekat tasauf. Kubu ini mesti diperuntuhkan dengan memperjelaskan apa yang samar supaya tidak ada lagi alasan yang batal bersembunyi di sebalik yang benar. Pendukung ajaran tarekat yang benar berkewajiban melindungi akidah orang banyak daripada fitnah yang ditaburkan oleh nabi-nabi palsu, wali-wali palsu dan guru-guru palsu yang berselindung di sebalik nama tarekat kewalian.
Pengalaman kerohanian, separti penyaksian terhadap cahaya-cahaya perlu diperjelaskan agar tidak timbul anggapan bahwa Tuhan adalah cahaya dengan warna yang tertentu. Pengalaman yang dilalui oleh Syeikh Ahmad Sirhindi dimuatkan di sini untuk dijadikan iktibar oleh orang yang terpengaruh dengan ajaran sesat yang mempertuhankan cahaya. Syeikh Ahmad Sirhindi, keturunan Umar al-Khattab, dilahirkan di India. Beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang tarekat tasauf. Beliau telah menceritakan pengalaman kerohanian beliau.
Apabila Syeikh Ahmad memutuskan untuk mengikuti jalan kesufian beliau telah pergi kepada mursyid tarekat Naqsabandiah yang bernama Syeikh Muhammad al-Baqi. Syeikh Muhammad menjadi pembimbing Syeikh Ahmad melalui semua peringkat kerohanian. Syeikh Muhammad mentalkinkan zikir Ilmul Zat, yaitu kalimah Allah kepada Syeikh Ahmad. Mursyid Naqsabandiah itu menjuruskan perhatian kerohanian beliau kepada Syeikh Ahmad sehinggalah Syeikh Ahmad mengalami kegairah dan kelazatan yang amat sangat. Beliau juga mengalami rasa kepiluan yang bersangatan sehingga beliau menangis dengan bersungguh-sungguh. Setelah satu hari mengamalkan zikir Ismul Zat, Syeikh Ahmad dikuasai oleh rasa penafian dan kelenyapan diri. Dalam suasana kerohanian yang demikian beliau menyaksikan laut yang sangat luas. Beliau menyaksikan segala sesuatu sebagai bayang-bayang dalam laut tersebut. Pengalaman demikian menjadi bertambah kuat, mendalam dan cemerlang sehingga memukau jiwa beliau. Beliau mengalami suasana tersebut beberapa lama, kadang-kadang berlarutan sampai satu suku hari, kadang-kadang sehingga separuh hari dan kadang-kadang sampai satu hari penuh. Syeikh Ahmad melapurkan pengalaman beliau itu kepada Syeikh Muhammad. Syeikh Muhammad menjelaskan bahwa apa yang telah dialami oleh Syeikh Ahmad itu merupakan sejenis pengalaman fana dan Syeikh Ahmad dinasehatkan supaya menjaga penyingkapan itu.
Syeikh Ahmad meneruskan latihannya. Dua hari kemudian beliau mengalami fana yang lebih teratur. Beliau meneruskan latihan sebagaimana yang diajarkan oleh mursyidnya. Seterusnya beliau mencapai fana dalam fana. Syeikh Ahmad melapurkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad. Mursyidnya itu bertanyakan sama ada Syeikh Ahmad menyaksikan seluruh alam ini sebagai satu kewujudan dan adakah beliau mendapati kewujudan tersebut bersatu dengan Yang Satu. Syeikh Ahmad memperakui bahwa demikianlah yang beliau telah alami. Mursyidnya menjelaskan bahwa fana dalam fana yang sebenar adalah walaupun disaksikan penyatuan tetapi seseorang itu masuk ke dalam suasana ketidak-sedaran sehingga fana itu sendiri tidak ada dalam kesadarannya. Syeikh Ahmad meneruskan latihannya dan pada malam itu beliau mengalami suasana fana separti yang digambarkan oleh mursyidnya. Beliau melapurkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad, termasuklah pengalaman beliau sebelum memasuki fana. Beliau melapurkan bahwa beliau mendapat ilmu secara langsung dari Tuhan. Beliau juga mendapati sifat-sifat yang menjadi miliknya adalah juga milik Tuhan. Selepas peringkat tersebut beliau maju lagi. Beliau menyaksikan satu cahaya yang membungkus segala sesuatu. Cahaya tersebut berwarna hitam. Beliau menyangkakan apa yang beliau saksikan itu adalah Tuhan. Mursyid beliau menjelaskan apa yang telah beliau alami itu adalah menghadap kepada Tuhan di sebalik hijab cahaya. Ia kelihatan karena perkaitan Zat Yang Maha Suci dengan alam kebendaan, tetapi ia mesti dinafikan. Selepas penafian itu Syeikh Ahmad mendapati cahaya hitam yang membungkus segala sesuatu itu mulai mengecil sehingga menjadi satu titik yang sangat halus. Mursyidnya menyuruhnya menafikan juga titik hitam yang halus itu supaya beliau bisa sampai kepada suasana keheranan. Syeikh Ahmad mematuhi arahan mursyidnya itu dan titik hitam yang halus itu pun lenyap. Beliau dikuasai oleh suasana keheranan. Dalam suasana keheranan itulah Syeikh Ahmad mendapati Tuhan hanya kelihatan kepada Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri. Mursyidnya mengsahkan bahwa apa yang dialami oleh Syeikh Ahmad itu adalah suasana kehadiran yang dicari dalam tarekat Naqsabandiah. Ia dinamakan nisbat bagi tarekat Naqsabandiah. Ia juga dipanggil kehadiran Tuhan secara tiada rupa, bentuk, sifat dan lain-lain. Tahap inilah menjadi tujuan pencarian.
Maksud nisbat adalah hubungan dengan Tuhan yang tidak putus walau sedetik pun. Nisbat yang jarang terjadi ini dikurniakan kepada Syeikh Ahmad dalam masa dua bulan beberapa hari selepas beliau ditalkinkan oleh Syeikh Muhammad. Selepas tahap nisbat satu lagi bidang fana dikurniakan kepada beliau. Beliau meyakini bahwa fana pada tahap ini adalah fana hakiki. Dalam kefanaan yang demikian beliau menyaksikan hati beliau menjadi besar, menjadi tersangat besar hinggakan seluruh alam termasuklah al-Kursi dan al-Arasy hanyalah seumpama sebiji sawi jika dibandingkan dengan hatinya. Selepas peringkat ini beliau menyaksikan dirinya dan segala sesuatu sebagai Tuhan. Kemudian beliau melihat segala sesuatu dari alam ini menjadi satu dengan dirinya dan dirinya menjadi satu dengan segala sesuatu. Beliau menyaksikan seluruh alam tersembunyi dalam sebiji zarah yang halus. Kemudian pengalaman beliau berubah pula. Beliau menyaksikan zarah dirinya membesar hinggakan beberapa alam bisa diisi di dalamnya. Beliau menyaksikan dirinya atau satu zarah sebagai cahaya yang membesar, memasuki setiap zarah kewujudan sehingga semua rupa dan bentuk alam hilang lenyap di dalamnya. Selepas itu beliau mendapati dirinya atau satu zarah, menanggung alam atau menjadi pasak alam. Mursyidnya menyatakan suasana demikian adalah peringkat haqqul yaqin dalam tauhid, peringkat bersatu dalam kesatuan.
Selepas peringkat di atas, berlaku pula pengalaman yang berbeda daripada pengalaman penyatuan. Dahulunya Syeikh Ahmad menyaksikan segala sesuatu sebagai Tuhan tanpa ada sebarang perbedaan. Bila memasuki peringkat yang baru ini beliau mendapati segala sesuatu pada alam bukanlah bersatu dengan Tuhan, tetapi hanyalah bentuk khayalan. Penyatuan hanya berlaku dalam penyaksian mata hati semata-mata. Beliau masuk kepada suasana keheranan yang menyeluruh. Pada ketika itu beliau teringatkan kata-kata Ibnu Arabi dalam kitab Fusus: “Jika kamu suka kamu bisa panggilnya yang diciptakan atau jika kamu suka kamu bisa panggilnya Tuhan dalam satu aspek dan makhluk dalam aspek yang lain. Kamu bisa juga mengatakan yang kamu tidak mampu membedakan keduanya”. Keterangan dari kitab Fusus itu mententeramkan jiwa Syeikh Ahmad. Bila berkesempatan beliau melapurkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad. Mursyid itu memberitahu bahwa Syeikh Ahmad mengalami suasana kehadiran Tuhan tetapi secara tidak jelas. Beliau dinasehatkan supaya meneruskan latihan agar wujud bisa dibedakan daripada khayali. Syeikh Ahmad bertanya kepada mursyidnya mengenai keterangan Ibnu Arabi berhubung pengalaman yang telah dialaminya. Syeikh Muhammad menjelaskan bahwa Ibnu Arabi tidak menceritakan suasana yang sempurna yang berbeda dengan pemahaman satu wujud, karena kebanyakan sufi tidak melepasi peringkat menyaksikan tidak ada perbedaan di antara Tuhan dengan alam. Jika mereka melepasi peringkat tersebut mereka akan menyaksikan perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk.
Syeikh Ahmad meneruskan latihannya. Dalam masa dua hari beliau dikurniakan pengalaman yang memperlihatkan perbedaan di antara Wujud yang sebenar dengan wujud khayali. Beliau mendapati sifat, tindakan dan kesan yang muncul pada wujud bayangan (khayali) sebenarnya datang dari Tuhan. Beliau menyedari sepenuhnya bahwa sifat dan perbuatan tersebut sebenarnya bayangan atau khayalan sepenuhnya dan tiada yang maujud melainkan Tuhan. Mursyidnya menerangkan bahwa beliau sudah sampai kepada peringkat mengalami suasana perbedaan selepas penyatuan, yaitu selepas menyaksikan Wujud Tuhan dan wujud hamba bersatu sebagai satu wujud, beliau melepasi peringkat tersebut dan menyaksikan Wujud Tuhan sebenarnya berbeda daripada wujud hamba. Peringkat ini merupakan tahap terakhir pencapaian manusia. Selepas peringkat ini seseorang itu akan memahami dan menyedari tujuan dia diberi bakat-bakat yang perlu. Inilah peringkat kesempurnaan.
Syeikh Ahmad Sirhindi meringkaskan perjalanan kerohanian beliau. Bila beliau dibawa kepada peringkat kesadaran sesudah mabuk, baqa sesudah fana dan melihat kepada setiap zarah kewujudan dirinya, beliau tidak melihat sesuatu melainkan Allah s.w.t dan beliau temui ‘cermin’ untuk ‘menanggung’ Tuhan. Kemudian beliau dibawa meninggalkan peringkat tersebut. Beliau masuk ke dalam suasana keheranan. Bila beliau kembali kepada dirinya beliau dapati Tuhan dan segala yang maujud berada dalam dirinya. Kemudian beliau dibawa lagi ke dalam suasana keheranan. Selepas itu kesadaran beliau dikembalikan semula dan beliau mendapati Tuhan bukan satu dengan alam, tetapi tidak juga berpisah. Pada peringkat permulaiannya beliau menyaksikan Tuhan sebagai meliputi dan menyertai sesuatu, kemudian penyaksian yang demikian hilang sama sekali. Walaupun begitu Tuhan kelihatan kepadanya dengan keadaan tersebut yang membuatnya merasakan seakan-akan Dia. Seterusnya beliau melihat alam tidak ada di samping Tuhan, padahal dahulunya beliau melihat alam berada di samping Tuhan. Beliau kembali semula kepada suasana keheranan. Kemudian kesadaran beliau kembali lagi. Beliau kini memperolehi pengetahuan yang sangat berbeda daripada pengetahuan beliau sebelumnya. Dalam pengetahuan beliau yang terbaru ini beliau mendapati hubungan Tuhan dengan alam adalah berlainan daripada apa yang beliau fahamkan dahulu. Hubungan Tuhan dengan alam tidak mampu diuraikan dan tidak dapat diketahui. Beliau masuk pula ke dalam suasana keheranan. Beliau merasakan kekerdilan diri. Bila beliau sedar semula beliau mendapat pengetahuan bahwa Tuhan tidak ada hubungan dengan alam secara diketahui atau tidak diketahui. Beliau diberi pengetahuan khusus tentang tidak wujud hubungan di antara Tuhan dengan makhluk walaupun beliau menyaksikan kedua-duanya. Pada tahap ini beliau mendapat pengetahuan bahwa apa juga yang disaksikan, walaupun berunsur ghaib, adalah bukan Tuhan. Ia adalah bentuk simbolik atau misal tentang hubungan Tuhan dan ciptaan-Nya yang melampaui apa juga pengetahuan dan penyaksian. Beliau menemui di akhir perjalanan beliau bahwa masih ada peringkat yang lebih tinggi daripada peringkat menyaksikan satu wujud. Penyaksian terhadap satu wujud merupakan satu pengalaman yang ditemui dalam perjalanan kerohanian. Setelah melepasi peringkat tersebut seseorang itu akan menjadi sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis secara sedikit demi sedikit. Di penghujung perjalanannya kesan penyaksian satu wujud hilang sama sekali dan dia menjadi sesuai sepenuhnya dengan al-Quran dan as-Sunah.
Dari pengalaman Syeikh Ahmad Sirhindi dapatlah diyakini bahwa bimbingan guru yang arif sangat diperlukan bagi orang yang mau memasuki perjalanan kerohanian. Tanpa bimbingan guru yang arif sukar bagi seseorang melepasi hijab-hijab yang ditemui di sepanjang perjalanan. Orang yang berhenti di tengah jalan menemui buah yang belum masak. Mereka merasakan buah yang belum masak itu sudah cukup enak. Mereka tidak mengetahui bahwa buah yang sudah masak berlainan rasanya.
Beberapa orang sufi mungkin mengalami hal yang sama tetapi pemahaman yang timbul daripada pengalaman tersebut mungkin berbeda. Ibnu Arabi mengalami suasana satu wujud berpegang kepada pemahaman wahdatul wujud. Syeikh Ahmad Sirhindi juga mengalami suasana yang demikian tetapi beliau berpegang kepada pemahaman wahdatul syuhud. Syeikh Ahmad telah melepasi peringkat menyaksikan satu wujud dan beliau kembali kepada jalan kenabian. Banyak juga sufi yang tidak terlepas daripada kesan menyaksikan satu wujud, lalu mereka bermukim pada makam yang berfahamkan wahdatul wujud. Sufi tersebut ditarik kepada pemahaman demikian karena kefanaan dan mabuk. Orang yang dalam kesadaran tidak patut mengikuti pemahaman yang demikian. Perlulah diketahui bahwa apa yang dialami dalam alam kerohanian tidak semestinya kebenaran yang sejati. Alam demikian lebih merupakan Alam Misal yang menceritakan sesuatu tentang Kebenaran Hakiki yang melampaui misal. Misal dalam alam kerohanian bisa dialami secara penyaksian atau zauk (rasa). Ketika melalui daerah-daerah Latifah Rabbaniah seseorang bisa menyaksikan cahaya-cahaya dan mengalami zauk Hakikat-hakikat Kenabian. Cahaya yang disaksikan dalam daerah latifah bisa mempesonakan seseorang dan hakikat kenabian bisa membalikkan pandangan seseorang. Ada orang yang keliru dengan cahaya, menyangkakan Tuhan sebagai cahaya cuaca subuh. Ada orang yang keliru dengan hakikat kenabian, menyangkakan dirinya menyatu dengan nabi-nabi atau terus mendakwakan dirinya sebagai nabi Ada sebagian daripada mereka yang mencoba untuk mencungkil ‘Rahsia’. Mereka menyatukan diri mereka dengan Nabi Adam a.s dan Nabi Muhammad s.a.w. Bagi mereka tidak ada bedanya diri mereka dengan Adam dan Muhammad. Pemahaman mereka sudah jauh menyimpang dari kebenaran. Perjalanan jasad dengan perjalanan roh lebih kurang saja. Manusia dari aspek jasad datang dari jasad yang satu yaitu jasad Adam. Walaupun bersumberkan jasad yang satu tetapi sekalian jasad-jasad merdeka daripada jasad yang satu itu dan juga setiap jasad tidak terikat dengan jasad yang lain. Setelah jasad Adam mengalami mati, jasad-jasad lain tidak ikut mati bersamanya. Jika jasad Saleh dipotong, jasad Yusuf tidak ikut terpotong. Setiap jasad bebas dengan perjalanannya, menanggung bagia atau celakanya sendiri. Begitu juga dengan perjalanan rohani atau roh. Jika roh Nabi Muhammad s.a.w bagia, roh Abu Jahal tidak ikut bagia. Jika roh dan jasad Nabi Ibrahim a.s dimasukkan ke dalam syurga, roh dan jasad Namrud tidak ikut memasuki syurga. Sekalipun sekalian roh-roh bersumberkan roh yang satu tetapi roh individu bebas dengan perjalanannya sebagaimana jasad bebas berbuat demikian. Pemahaman menyatukan jasad atau roh seseorang dengan jasad atau roh orang lain adalah pemahaman yang keliru. Orang yang mengalami jazbah mungkin terbalik pandangannya dan mengalami suasana penyatuan, tetapi penyatuan tersebut hanya berlaku dalam alam perasaannya, bukan itulah yang sebenarnya berlaku. Tanpa bimbingan guru yang arif orang tersebut akan berterusan berada di dalam gambaran khayalannya atau di dalam alam bayangan.
24: Zikir Meliputi Perkataan, Perbuatan Dan Perasaan
________________________________________
Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Dan dirikanlah sholat bagi mengingati Aku! ( Ayat 14 : Surah Taha )
Sholat mengandungi perbuatan anggota zahir, perkataan yang dilafazkan dan penyertaan hati yang benar menghadap kepada Allah s.w.t dengan sepenuh jiwa raga. Mengingati Allah s.w.t melalui sholat merupakan zikir yang paling sempurna. Perbuatan menjadi zikir, perkataan menjadi zikir dan perasaan menjadi zikir. Sekalian maujud berada dalam suasana zikir. Zikir dalam sholat menggabungkan pengakuan bahwa yang diingatkan itu adalah Allah s.w.t; bahwa Allah s.w.t yang diingati itu adalah Tuhan; bahwa tiada Tuhan melainkan Dia; bahwa Allah adalah Tuhan yang disembah; bahwa menyembah Allah s.w.t adalah dengan perkataan, perbuatan dan perasaan; bahwa apa saja yang dilakukan adalah karena mentaati-Nya dan karena ingat kepada-Nya.
Zikir yang di dalam sholat menjadi induk kepada zikir-zikir di luar sholat. Menyebut nama-nama Allah s.w.t adalah zikir. Perkataan yang baik-baik diucapkan karena Allah s.w.t adalah zikir. Nasehat menasehati karena Allah s.w.t adalah zikir. Menyeru manusia ke jalan Allah s.w.t adalah zikir. Semua itu merupakan zikir perkataan. Zikir perbuatan pula meliputi segala bentuk amalan dan kelakukan yang sesuai dengan syarak demi mencari keredaan Allah s.w.t. Berdiri, rukuk dan sujud dalam sholat adalah zikir. Melakukan pekerjaan yang halal karena Allah s.w.t, karena mematuhi peraturan yang Allah s.w.t turunkan, adalah zikir. Mengalihkan duri dari jalan karena Allah s.w.t adalah zikir. Apa juga perbuatan yang tidak menyalahi peraturan syariat jika dibuat karena Allah s.w.t maka ia menjadi zikir. Tidak melakukan apa-apa pun bisa menjadi zikir. Orang yang menahan anggotanya, lidahnya dan hatinya daripada menyertai perbuatan maksiat sebenarnya melakukan zikir jika dia berbuat demikian karena Allah s.w.t. Semua itu menjadi zikir jika dibuat karena Allah s.w.t, karena mematuhi perintah-Nya, karena mencari keredaan-Nya dan karena ingat kepada-Nya. Jadi, perbuatan dan perkataan terikat dengan amalan hati untuk menjadikannya zikir. Ia hanya dikira sebagai zikir jika ada zikir hati yaitu hati ingat kepada Allah s.w.t, ikhlas dalam melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya Tanpa zikir hati tidak ada zikir-zikir yang lain, karena setiap amalan digantungkan kepada niat yang lahir dalam hati.
Zikir adalah mengingati Allah s.w.t sebaik dan seikhlas mungkin. Mengingati nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah zikir. Melihat matahari, bulan dan bintang di langit sambil mengenang kebijaksanaan Allah s.w.t merupakan zikir. Melihat kilat memancar dan mendengar guruh berdentum sambil mengenangkan keperkasaan Allah s.w.t adalah zikir. Melihat fajar subuh, melihat dan mencium bunga yang indah lagi harum sambil mengenang keelokan Allah s.w.t adalah zikir juga namanya. Jadi, zikir adalah pekerjaan sepanjang masa, setiap ketika, semua suasana, pada setiap sedutan dan hembusan nafas dan pada setiap denyutan nadi. Kehidupan ini merupakan zikir daim (zikir berkekalan) jika mata hati senantiasa memerhatikan sesuatu tentang Allah s.w.t.
Misalkan seorang sedang melakukan zikir hati dan perkataan; menyebut dan mengingati nama-nama dan sifat-sifat Allah s.w.t. Tiba-tiba datang seorang kanak-kanak di hadapannya. Anak kecil itu memegang sebotol racun. Anak kecil mau meminum racun tersebut. Pada ketika itu ahli zikir tadi berkewajiban meninggalkan pekerjaan zikir yang sedang dilakukannya dan berpindah kepada zikir menyelamatkan anak kecil yang mau meminum racun itu. Perpindahan perbuatan tidak memutuskan zikir atau ingatannya kepada Allah s.w.t. Dia menyebut nama Tuhan karena ingat kepada Tuhan. Dia menyelamatkan anak kecil itu karena mentaati perintah Tuhan. Tuhan yang mentakdirkan anak kecil itu mau meminum racun di hadapannya. Tuhan juga mengadakan syariat yang mewajibkan membuang kemudaratan. Taat kepada perintah Tuhan dan reda dengan takdir Tuhan yang datang serta bartindak menurut peraturan syariat Tuhan merupakan zikir yang sangat mulia pada sisi Tuhan. Zikir yang begini termasuk di dalam golongan zikir yang berkekalan atau zikir daim.
Zikir daim sukar diperolehi. Kebanyakan manusia melakukan pekerjaan yang baik-baik yang seharusnya menjadi zikir tetapi dilakukan tanpa ingatan kepada Allah s.w.t dan bukan dengan penghayatan mematuhi syariat-Nya. Kekuatan dalaman perlu ditambah bagi memperolehi zikir daim. Bagi tujuan tersebut perlulah dilakukan zikir sebutan yaitu zikir nafi-isbat (ucapan kalimah “La ilaha illa Llah ”) dan zikir nama-nama serta sifat-sifat-Nya. Zikir yang separti ini memberi kesan kepada menguatkan rasa kecintaan dan ingatan kepada Allah s.w.t. Ia membuka kesadaran-kesadaran dalaman separti yang telah dinyatakan pada tajuk yang membicarakan perjalanan Latifah Rabbaniah. Kekuatan kesadaran dalaman mendorong seseorang melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah s.w.t yang dicintainya, yang hampir dengannya. Zikir nafi-isbat dan sebutan nama-nama serta sifat-sifat-Nya menjadi jalan kepada zikir dalam bentuk mentaati peraturan-Nya tanpa lupa kepada-Nya. Jadi, perlu dilakukan zikir secara sebutan untuk memudahkan zikir secara amalan atau perbuatan dan kelakuan. Mudah-mudahan terhasillah zikir yang berkekalan.
Zikir atau mengingati Allah s.w.t haruslah dilakukan menurut kadar kemampuan masing-masing. Zikir yang paling baik diucapkan adalah separti yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w dengan sabda baginda s.a.w yang bermaksud: “Ucapan zikir yang paling baik adalah yang aku dan sekalian nabi-nabi bawa. Itulah ucapan kalimah ‘La ilaha illa Llah ’ .”
Orang yang tidak pernah berzikir adalah orang yang sangat keras hatinya dan kuat dikuasai oleh syaitan, hawa nafsu dan dunia. Cahaya api syaitan, fatamorgana dunia dan karat hawa nafsu membaluti hatinya sehingga tidak ada ingatannya kepada Allah s.w.t. Seruan, peringatan dan ayat-ayat Tuhan tidak diterima oleh hatinya. Beginilah keadaan orang Islam yang dijajah oleh sifat munafik. Orang yang masih mempunyai kesadaran perlu memaksakan dirinya untuk berzikir, sekalipun hanya berzikir dengan lidah sedangkan hatinya masih lalai dengan berbagai-bagai ingatan yang selain Allah s.w.t. Pada tahap pemaksaan diri ini, lidah menyebut Nama Allah s.w.t tetapi hati dan ingatan mungkin tertuju kepada pekerjaan, harta, perempuan, hiburan dan lain-lain. Beginilah tahap orang Islam biasa. Orang yang berada pada tahap ini perlu meneruskan zikirnya karena jika dia tidak berzikir dia kan lebih mudah dihanyutkan di dalam kelalaian. Tanpa ucapan zikir syaitan akan lebih mudah memancarkan gambar-gambar tipuan kepada cermin hatinya dan dunia akan lebih kuat menutupinya. Zikir pada peringkat ini berperanan sebagai juru ingat. Sebutan lidah menjadi sahabat yang memperingatkan hati yang lalai. Berlakulah pertembungan di antara tenaga zikir dengan tenaga syaitan yang menutupi hati. Tenaga syaitan akan mencoba untuk menghalang tenaga zikir daripada memasuki hati. Tindakan syaitan itu membuatkan orang yang ingin berzikir itu menjadi malas dan mengantuk. Oleh yang demikian perlulah dilakukan mujahadah, memerangi syaitan yang menghalang lidah daripada berzikir itu. Zikir yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh akan berjaya melepasi benteng yang didirikan oleh syaitan. Tenaga zikir yang berjaya memasuki hati akan bartindak sebagai pencuci, menyucikan karat-karat yang ada pada dinding hati. Pada peringkat permulaiannya zikir masuk ke dalam hati sebagai Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan yang diucapkan. Apabila karat pada dinding hati sudah berkurangan ucapan zikir akan disertai oleh rasa kelazatan. Hati yang sudah merasai nikmat zikir itu tidak perlu kepada paksaan lagi. Lidah tidak perlu lagi berzikir. Zikir sudah hidup dalam hati secara diam, jelira dan melazatkan. Perhatian bukan sekadar kepada nama-nama dan sifat-sifat yang diingatkan malah ia lebih tertuju kepada Yang Empunya nama dan sifat. Inilah kedudukan orang yang beriman.
Zikir yang lebih mendalam membawa hati berhadap kepada Hadrat Tuhan, menyaksikan Tuhan pada setiap masa dan suasana. Apa saja yang dilihat dan dibuat memperingatkannya kepada Tuhan. Inilah peringkat zikir daim yang dikurniakan kepada mereka yang beriman dan bersungguh-sungguh mengabdikan diri kepada Allah s.w.t. Kehidupan mereka dipenuhi oleh zikir sepanjang masa. Tidur mereka juga menjadi zikir.
Zikir yang diucapkan dengan perkataan membantu hati mengingati Tuhan. Bagi sebagian manusia berzikir secara kuat lebih memberi kesan daripada berzikir secara perlahan, terutamanya bagi mereka yang baru memulaikan amalan zikir. Zikir secara senyap di dalam hati adalah pergerakan perasaan. Hati menghayati apa yang dizikirkan dan terbentuklah alunan perasaan sesuai dengan apa yang dihayati. Pada tahap yang lebih mendalam zikir bukan lagi sebutan atau ingatan kepada Nama, tetapi hati menyaksikan Keperkasaan dan Keelokan Tuhan. Bila hati sudah bisa menyaksikan Keelokan dan Keperkasaan Tuhan, itu tandanya seseorang itu sudah ada hubungan semula dengan roh suci yang mengenal Tuhan. Pancaran cahaya makrifat daripada roh suci membuat hati dapat melihat kenyataan sifat-sifat Tuhan.
Pada tahap kesadaran yang lebih mendalam, ucapan serta ingatan dan perhatian yang berhubung dengan Tuhan menimbulkan kegairah atau zauk. Zauk itu terjadi karena kuatnya tarikan Hadrat Tuhan kepada hati. Ingatan dan penyaksian terhadap Hadrat Tuhan akan memberi kesan yang sangat kuat kepada hati. Hati yang menyaksikan Hadrat Tuhan Yang Maha Perkasa bisa menyebabkan seseorang itu menjadi pingsan karena takutnya hati kepada keperkasaan Allah s.w.t. Hati yang menyaksikan Hadrat Tuhan Yang Maha Lemah-lembut akan mengalami rasa kenikmatan dan kebagiaan yang amat sangat.
Pada tahap kesadaran yang lebih mendalam, hati diperkuatkan lagi supaya mampu menerima ‘sentuhan’ Hadrat Tuhan itu. Penyaksian terhadap Hadrat Tuhan tidak lagi melahirkan kegairah atau zauk atau kegoncangan kepada hati. Hati mengalami suasana Hadrat Tuhan dalam keadaan damai dan sejahtera. Pada tahap ini hati akan mengenali Tuhan sebagai Raja Yang Maha Berkuasa. Berada pada sisi Raja tersebut membuat hati merasakan kesejahteraan dan keselamatan yang tidak terhingga, hilang rasa takut dan dukacita.
Pada tahap kesadaran yang paling dalam hati berhadap kepada Hadrat Tuhan yang bernama Allah s.w.t, yang menguasai semua Hadrat, yang melampaui segala nama dan sifat, segala kenyataan dan ibarat. Hati sampai kepada tahap jahil setelah berpengetahuan. Ilmu gagal menguraikan tentang Allah s.w.t. makrifat gagal memperkenalkan Allah s.w.t. Apa saja yang terbentuk, tergambar, terfikir, yang disaksikan dengan mata luar dan juga mata dalam dan segala-galanya tersungkur di hadapan Hadrat Allah s.w.t, yang tiada Tuhan melainkan Dia, Maha Perkasa. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menyamai Allah s.w.t, Dia Maha Esa. Hati yang berhadapan dengan Hadrat Allah s.w.t benar-benar mengalami dan mengenali maksud keesaan Allah s.w.t. Hati pun tunduk, menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t, Tuhan Maha Mencipta. Barulah sempurna penyerahannya, barulah lengkap perjalanan Islamnya.
Setelah itu rohnya menjadi seakan-akan roh yang baru, seumpama baru lahir. Roh yang baru itu adalah Roh Islam yang telah mengenal Allah s.w.t yang melampaui segala sesuatu tetapi memiliki Hadrat-Nya, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya, menyata kepada Roh Islam, yaitu Roh yang lebih tulen dan seni daripada semua roh-roh yang lain. Itulah roh yang telah menemui Kebenaran Hakiki. Pada roh tersebut bercantum tahu dengan tidak tahu, kenal dengan tidak kenal, nafi dengan isbat. Roh Islam itulah yang benar-benar mengarti maksud nafi dan isbat pada Kalimah Tauhid: “La ilaha illa Llah”.
Dia turunkan Roh dari urusan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min
Roh Islam yang mengenderai hati Islam dan memiliki nafsu Islam, akal Islam dan pancaindera Islam kembali kepada kehidupan dunia untuk mengajak dan membimbing orang lain kepada Yang Haq, Kebenaran Hakiki. Roh Islam mengeluarkan yang Islam saja. Jiwanya Islam, perkataannya Islam, perbuatannya Islam, diamnya Islam, tidurnya Islam dan segala-gala yang mengenainya adalah Islam. Roh Islam yang paling sempurna adalah roh Nabi Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w merupakan contoh tauladan Islam yang paling sempurna, paling baik.
Zikir memainkan peranan yang penting dalam melahirkan Roh Islam. Bagi orang yang inginkan kebenaran dan melihat kebenaran, menjadi kewajiban baginya mengingati Allah s.w.t sebanyak mungkin.
Lantas apabila kamu telah selesaikan sholat (sholat di waktu perang ) itu, maka hendaklah kamu ingat kepada Allah s.w.t sambil berdiri, dan sambil duduk, dan sambil (berbaring) atas rusuk-rusuk kamu. Tetapi apabila kamu telah tenteram, maka hendaklah kamu dirikan sholat (separti biasa), karena sesungguhnya itu adalah bagi Mukminin satu kewajiban yang ditentukan mwaktunya. ( Ayat 103 : Surah an-Nisaa’ )
Yang mengingati Allah sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil berbaring, dan memikirkan tentang kejadian langit-langit dan bumi (sambil berkata): “Wahai Tuhan kami! Engkau tidak jadikan (semua) ini dengan sia-sia! Maha Suci Engkau. Lantaran itu peliharakanlah kami daripada seksa neraka”. ( Ayat 191 : Surah a-Li ‘Imran )
Setiap Muslim seharusnya mencari kehidupan berzikir; berzikir sambil duduk dan sambil berbaring; bekerja di dalam berzikir; berehat di dalam berzikir dan tidur di dalam berzikir. Lidah berzikir, anggota tubuh berzikir dan hati berzikir. Tentera Islam yang sedang berperang dengan musuh pun dituntut berzikir, apa lagi kaum Muslimin yang berada dalam suasana aman. Muslim sejati senantiasa berzikir, mengingati dan mentaati Allah s.w.t.
25: Salik Dan Suluk
________________________________________
Salik adalah orang yang menjalani latihan kerohanian secara bersuluk. Suluk pula adalah sistem latihan kerohanian yang digunakan bagi tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan. Semasa bersuluk seseorang itu mengasingkan diri daripada orang banyak. Bila dia tidak ada bersama orang banyak, maka mereka terselamat daripada gangguan yang mungkin datang daripadanya dan juga dia terselamat daripada gangguan yang mungkin datang daripada mereka. Pengasingan tersebut bisa menyelamatkan ahli suluk itu daripada anasir yang bisa merusakkannya melalui ego dan nafsunya. Dalam pengasingan itu juga dia melatihkan diri bagi memperolehi perkembangan kerohanian. Dia melatihkan diri agar terpisah daripada sifat-sifat yang tercela dan digantikan dengan sifat-sifat yang terpuji. Semasa bersuluk itu amal ibadat separti bersholat, berpuasa, berzikir dan lain-lain dilakukan dengan banyaknya. Dorongan hawa nafsu dikurangkan dengan cara menyedikitkan makanan, tidur dan berkata-kata. Bila kurang berkata-kata hati menjadi tidak lalai dalam mengingati Tuhan.
Orang yang mau memasuki suluk mestilah mempunyai azam yang kuat. Perkara-perkara yang sering menghalang seseorang daripada memasuki suluk adalah dunia, makhluk, syaitan dan hawa nafsu. Kebanyakan manusia tidak sanggup memisahkan diri buat seketika dengan dunia dan makhluk. Tipu daya syaitan dan kesenangan hawa nafsu berada dengan makhluk. Oleh sebab itu agak sukar bagi kebanyakan orang memisahkan dirinya daripada orang banyak. Jika dia berjaya melepaskan halangan tersebut dia mungkin berhadapan dengan halangan lain semasa bersuluk. Halangan semasa bersuluk adalah tuntutan mencari rezeki, kebimbangan tidak akan menemui apa yang dicari, kemungkinan ditimpa penyakit dan juga masalah keluarga yang berbagai-bagai. Seseorang salik perlu memperkuatkan sifat sabar dan bertawakal jika dia mau jika dia mau melepasi rintangan yang menghalangnya meneruskan amalan suluk. Dia juga perlu mengawasi perkara-perkara yang bisa merusakkan pencapaian rohaninya. Perkara-perkara tersebut adalah sifat-sifat takabur, ujub, ria dan samaah. Suasana hati yang ingin diperolehi melalui bersuluk adalah: “Ilahi! Engkau jua maksud dan tujuanku dan keredaan Engkau yang aku cari”.
Salik yang berhasrat memperolehi hasil yang baik perlu menjaga sopan santun semasa bersuluk. Perlu yang perlu dijaga adalah:
a) mengikhlaskan kasih kepada Allah s.w.t dan melakukan ibadat semata-mata karena Allah s.w.t bukan karena maukan kasyaf dan keramat.
b) Amal ibadat yang dilakukan hendaklah sesuai dengan peraturan yang ditentukan oleh syariat, tidak bisa mengubahnya sehingga bercanggah dengan syariat.
c) Salik perlu melepaskan ilmu-ilmu yang bisa melalaikannya dan bisa menarik cita-citanya kepada yang selain Allah s.w.t. Ilmu-ilmu separti ilmu kebal, ilmu pengasih, ilmu menarik harta dari bumi, ilmu yang berkait dengan khadam dan yang seumpamanya hendaklah dilepaskan karena ilmu yang demikian menutup mata hati.
d) Ketika menjalani amalan suluk fikiran hendaklah dibebaskan daripada memikirkan dan mengangankan sesuatu yang di dalam dunia.
e) Hati hendaklah dipisahkan daripada sifat-sifat yang keji, separti sifat hewan, syaitan dan dorongan hawa nafsu.
f) Memenuhkan masa bersuluk dengan kegiatan yang mengingatkan hati kepada Allah s.w.t.
Sebagian manusia lebih dituntut bergiat dalam kehidupan harian daripada mengasingkan diri. Pertama adalah orang alim yang ilmunya diperlukan bagi menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh orang banyak. Termasuk di dalam ilmu yang diperlukan oleh orang banyak adalah pengajarannya, fatwanya dan karangannya. Orang yang separti ini penyebaran ilmu merupakan ibadat khusus bagi mereka selepas ibadat fardu. Selepas urusan sholat lima waktu, lebih afdal baginya menyebarkan ilmu dan membasmikan kejahilan dalam masyarakat daripada mengasingkan diri dan membenamkan diri ke dalam perkara yang sunat. Golongan kedua adalah pengusaha yang mempunyai kepakaran yang diperlukan oleh orang banyak, separti doktor, pembuat roti, tukang kayu dan sebagainya. Mereka perlu berkhidmat kepada orang banyak dan memakmurkan bumi ini. Masa lapang mereka perlu diisi dengan ibadat dan membaca al-Quran. Golongan ke tiga adalah pemerintah yang bertugas membawa kebajikan kepada orang banyak. Mereka lebih dituntut menegakkan keadilan di dalam masyarakat dan menyebarkan kesejahteraan hidup daripada mengasingkan diri. Masa lapang mereka perlu diisi dengan ibadat dan pada malamnya diperbanyakkan wirid.
Ada dua jenis manusia, secara sifat semulajadi mereka, sangat cenderung memasuki jalan suluk. Jenis pertama adalah orang yang cenderung untuk menjadi abid atau ahli ibadat. abid tidak mempunyai sebarang pekerjaan kecuali beribadat kepada Allah s.w.t. Golongan ini seolah-olah tidak ada kemahiran untuk melakukan sesuatu yang lain daripada beribadat. Mereka hanya memperolehi manfaat dengan menggunakan masa untuk beribadat. Golongan ini dikuasai oleh suasana hati yang sangat takut meninggalkan ibadat untuk melakukan sesuatu pekerjaan, karena dia takut tidak akan dapat menyempurnakan kebaktiannya kepada Allah s.w.t. Mereka sangat takutkan dunia karena mereka melihat kekacauan di dalam dunia menjadi fitnah yang merusakkan hubungan mereka dengan Tuhan. Meninggalkan ibadat membuat mereka merasakan berjauhan dengan Tuhan. Rasa berjauhan dengan Tuhan menjadikan mereka tidak bermaya dan tidak berupaya berbuat apa-apa. Hanya ibadat bisa memberi kekuatan kepada mereka. Mereka seolah-olah tidak ada pilihan kecuali hidup beribadat dalam pengasingan. Jenis kedua dinamakan muwahhid yaitu orang yang terikat sepenuhnya dengan Allah s.w.t. Kecintaan mereka kepada Allah s.w.t sangat kuat menyebabkan hati mereka ‘pecah’ dan tidak berupaya lagi mengasihi sesuatu yang selain Allah s.w.t. Kebagiaan mereka hanyalah bersama-sama Allah s.w.t, tidak ada tempat lagi untuk makhluk. Hati mereka tidak melihat kepada makhluk, oleh itu kehadiran makhluk tidak diperlukan. Orang yang ditakdirkan menjadi salah satu daripada dua golongan tersebut sangat cenderung memasuki jalan suluk sebagai persediaan untuk mereka mencapai kesempurnaan pada jalan abid atau muwahhid.
Selain golongan yang menuju kepada suasana abid dan muwahhid, orang yang cenderung memasuki jalan suluk adalah muta’allim, yaitu orang yang belajar semata-mata karena Allah s.w.t. Mereka merupakan golongan yang mencari kebenaran. Mereka tidak merasa puas dengan apa yang ditemui pada jalan pembelajaran biasa. Mereka memasuki suluk dengan harapan akan menemui apa yang tidak mereka temui sebelum bersuluk. Mereka percaya kebenaran yang sejati hanya bisa ditemui oleh hati yang suci murni dan cara yang paling baik menyucikan hati adalah dengan bersuluk. Golongan ini memerlukan bimbingan guru tarekat yang arif. Guru hendaklah tahu kedudukan murid dan tahu kadar ilmu yang bisa dibukakan kepada murid berkenaan. Bagi muta’allim (orang yang belajar) yang tidak memasuki jalan suluk, haruslah memberi tumpuan kepada mempelajari ilmu. Menghadiri majlis ilmu lebih utama daripada ibadat sunat dan berzikir yang bisa dilakukan pada masa lapangnya.
Muta’allim yang memasuki suluk lebih terdorong untuk mengalami suasana kerohanian yang diistilahkan sebagai muttakhaliq, yaitu orang yang mengalami perubahan sifat. Ada dua jenis muttakhaliq. Jenis pertama mengalami suasana mereka menjadi alat dan Allah s.w.t Pengguna alat. Mereka melihat perbuatan dan kelakuan mereka berlaku tanpa mereka rancang dan mereka tidak berdaya menahannya. Mereka melihat apa yang terjadi pada mereka terjadi tanpa kehendak mereka sendiri, tanpa usaha, tanpa tadbir dan tanpa ikhtiar memilih. Muttakhaliq jenis kedua pula adalah orang yang melihat Allah s.w.t meletakkan sifat dan bakat pada diri mereka dan mereka menjadi pelaku kepada sifat dan bakat tersebut. Jenis pertama melakukan sesuatu dalam suasana ‘dengan kehendak Allah s.w.t’ dan jenis kedua dalam suasana ‘dengan izin Allah s.w.t.’
Ahli suluk, sesudah melalui berbagai-bagai pengalaman kerohanian, kembali semula kepada kesadaran biasa dinamakan mutahaqqiq. Golongan ini kembali kepada jalan kenabian, memegang tugas sebagai khalifah Allah s.w.t yang meneruskan perjuangan Nabi-nabi. Golongan ini kembali kepada kesadaran kemanusiaan bagi membisakan mereka menguruskan hal-ihwal manusia.
Latihan kerohanian yang dilakukan semasa bersuluk berkemungkinan membawa salik memperolehi kasyaf, yaitu terbuka perkara ghaib kepada pandangan mata hatinya. Kasyaf ada dua jenis, yaitu kasyaf kecil dan kasyaf besar. Kasyaf kecil termasuklah terbukanya pandangan untuk melihat kepada Alam Barzakh, melihat roh orang yang sudah meninggal dunia, melihat syurga dan neraka, melihat makhluk halus dan lain-lain. Kasyaf besar pula adalah terbukanya pandangan hati kepada hakikat sesuatu dan membuka ingatan dan penghayatan kepada Allah s.w.t. Dalam perjalanan kerohanian, kasyaf kecil tidak penting bahkan kasyaf kecil sering menjadi benteng yang menghalang salik meneruskan perjalanannya. Keasyikan menyaksikan perkara ghaib membuat salik berhenti dan menyangkakan dia sudah sampai kepada Yang Haq, sedangkan perjalanannya masih jauh lagi. Apa yang penting adalah kasyaf besar atau terbukanya hakikat sesuatu. Pembukaan tentang hakikat bisa menyelamatkan salik daripada tipu daya syaitan yang bersembunyi di sebalik berbagai-bagai rupa, bentuk dan keadaan. Salik yang dikurniakan kasyaf besar tidak tartipu dengan syaitan walaupun syaitan datang dalam rupa guru yang alim dan warak. Salik juga bisa mengenali malaikat sekalipun malaikat datang tanpa berupa. Rasulullah s.a.w melihat rupa malaikat Jibrail a.s dalam rupanya yang asli hanya dua kali saja, tetapi setiap kali Jibrail a.s datang Rasulullah s.a.w mengenalinya, sekalipun Jibrail a.s memakai rupa manusia atau tidak berupa. Kasyaf yang mengenali hakikat inilah sangat penting bagi salik yang berjalan kepada Tuhan. Kasyaf separti ini diperolehi apabila rohani kembali kepada kesuciannya yang asal. Rohani yang demikian mengenali syaitan walaupun syaitan mengenderai manusia atau suasana dan rohani itu juga mengenali malaikat walaupun malaikat tidak menjelma di hadapannya. Contoh kasyaf besar adalah, apabila seorang salih didatangi oleh seseorang yang menyuruhnya berbuat kejahatan, maka dengan segera orang salih itu berkata: “Pergi kamu syaitan!” Orang salih itu menyedari atau melihat dengan kasyafnya yang orang yang mendatanginya itu sedang digunakan oleh syaitan untuk mengenakan tipu dayanya. Kasyaf yang demikian, walaupun tidak memperlihatkan rupa syaitan yang sebenarnya, tetapi syaitan itu tidak dapat bersembunyi.
Kasyaf membawa salik kepada zauk yaitu mengalami suasana yang berhubung dengan Tuhan. Zauk membawa salik mengalami suasana Hadrat Tuhan. Suasana Hadrat Tuhan yang menguasai salik itu membentuk keperibadiannya.
Bidang zauk sangat luas. Zauk biasanya diperolehi oleh salik yang terus menerus membenamkan dirinya di dalam zikir. Tenaga zikir memberi kekuatan kepada rohaninya untuk menghadap kepada hakikat ketuhanan. Kesan daripada pengalaman menghadap kepada hakikat ketuhanan yang dirasakan oleh hati itulah dinamakan zauk. Misalnya, hati salik berhadap kepada hakikat Tuhan Yang Maha Keras. Dia akan dikuasai oleh perasaan takut kepada Tuhan, takut karena dosa-dosa yang telah dilakukannya, takut karena ibadat yang dilakukannya tidak sempurna dan bermacam-macam ketakutan lagi. Pengalaman yang demikian dinamakan pengalaman hakikat dan ia membuatnya mengenali Tuhan Yang Maha Keras atau dia dikatakan memperolehi makrifat tentang Tuhan Yang Maha Keras.
Salik juga mungkin mengalami hakikat kenabian. Mungkin salik mengalami suasana Nabi Adam a. s diciptakan dan diturunkan ke bumi. Salik tersebut dikatakan mengalami Hakikat Adamiyah dan ia membuatnya lebih mengarti tentang kenabian Adam a.s. Pengalaman yang demikian tidak mengubahnya menjadi Nabi Adam a.s atau bersatu dengan beliau a.s. Jika ada penyatuan pun hanyalah dalam zauk atau alam perasaan, bukan penyatuan yang sebenarnya. Hakikat Adamiyah adalah suasana pentadbiran Tuhan yang berhubung dengan kejadian Adam a.s. Ia bukan anasir alam dan bukan berada dalam hati salik yang mengalaminya. Ia adalah suasana yang Tuhan gubah bagi memperkenalkan apa yang Dia mau kenalkan kepada hati hamba-Nya. Begitu juga dengan pengalaman salik berhubung dengan hakikat Nabi Muhammad s.a.w atau dikenali sebagai Hakikat Muhammadiah. Salik tidak bertukar menjadi Nabi Muhammad s.a.w atau bersatu dengan baginda s.a.w. Salik diberi kesempatan mengenali Nabi Muhammad s.a.w dalam suasana pentadbiran Tuhan atau urusan Tuhan. Apa saja yang Tuhan mau ciptakan telah ada pada sisi-Nya, dalam Ilmu-Nya, termasuklah Nabi Adam a.s dan Nabi Muhammad s.a.w. Tuhan bentukkan misal bagi suasana yang pada sisi-Nya yang melampaui segala misalan, dan misal gubahan Tuhan itu dihantarkan kepada hati salik. Salik yang menetap dalam kehambaan menyaksikan Hakikat Adam, Hakikat Muhammad dan Hakikat Tuhan. Salik yang terbalik pandangannya menjadi orang yang merasakan menjadi Nabi Adam a.s, menjadi Nabi Muhammad s.a.w dan menjadi Tuhan atau pun mereka merasakan suasana penyatuan dengan hakikat-hakikat tersebut. Penyatuan tersebut hanya berlaku dalam bayangan ilmu, bukan penyatuan yang sebenarnya. Apabila salik melepasi peringkat bayangan, dia masuk kepada hal yang sebenar, yang tidak serupa dengan bayangan ilmu itu.
Manusia yang ciptaannya digabungkan unsur rohani dengan unsur jasmani berkemampuan menerima bayangan Tuhan atau menerima sinaran Nur-Nya. Bayangan tetap bayangan. Zat Tuhan Yang Maha Tinggi tetap tinggal diselubungi oleh selimut ghaib yang Mutlak lagi amat perkasa, tidak mungkin diruntuhkan oleh kasyaf yang bagaimana pun. Nur bukanlah Zat, tetapi hanyalah satu ayat, tanda atau bukti tentang Tuhan dan juga satu Hijab daripada sekalian banyak Hijab-hijab ketuhanan, juga satu nama daripada sekian banyaknya nama-nama Tuhan. Kebodohan, ketidak-upayaan mengenal-Nya adalah tabir penutup yang asli dan tidak mungkin tersingkap hakikat Zat Tuhan melainkan pada hari kebangkitan, suasana yang Tuhan berkehendak memperlihatkan Diri-Nya secara nyata. Sebelum itu penyaksian merupakan penglihatan akal dan mata hati atau melihat Nur-Nya.
Dalam fana salik mencapai Wajibul Wujud sifat bukan Wajibul Wujud Zat. Zat Ilahiat melampaui perbatasan Wajibul Wujud, mumkinul wujud atau apa saja yang dikaitkan dengan wujud atau tidak wujud. Salik yang mencapai Wajibul Wujud sifat mencapai kedudukan kewalian yaitu dia menjadi alat Allah s.w.t, bukan menjadi Allah s.w.t. Allah s.w.t memperkenalkan Hadrat-Nya melalui sifat dan nilai yang ada dengan manusia. Sifat dan nilai yang ada pada wali-Nya memperkenalkan-Nya dengan lebih berkesan daripada orang lain. Semakin sempurna kewalian seseorang itu semakin menyerlah keupayaan yang dikurniakan Allah s.w.t kepadanya dalam memperkenalkan-Nya sebaik mungkin.
Bakat atau keupayaan memperkenalkan Tuhan yang dikurniakan kepada wali itu dinamakan tajalli Rahmani (kenyataan Tuhan). Wali yang di dalam fana mengucapkan “ Ana al-Haq! (Aku adalah Tuhan!)” memperkenalkan sifat Kalam Tuhan. Tuhan yang mengatakan demikian melalui lidah wali-Nya. Wali yang tidak di dalam fana pula mengatakan “Hua al-Haq! (Dia jualah Tuhan!)”. Ucapan wali yang di dalam fana dan ucapan wali yang di dalam kesadaran itu membawa maksud yang serupa. Wali yang di dalam fana tidak menjadi Tuhan dan demikian juga wali yang di dalam kesadaran.
Satu jenis tajalli lagi dinamakan tajalli rohani (tajalli roh). Roh yang asli yang mengenal Tuhan dibungkus atau dihijab oleh bakat roh yang mendatang yang padanya terdapat berbagai-bagai sifat buruk yang menghijab Latifah Rabbaniah. Dalam tajalli roh kumpulan atau penyatuan hijab-hijab itulah yang menyata sebagai roh yang memiliki sifat Rabbaniah (ketuhanan). Orang yang mengalami tajalli roh mengatakan juga “Ana al-Haq!” dan pada ucapan tersebut ada pengakuan tentang ketuhanan rohnya. Dia benar-benar merasakan rohnya itulah Tuhan dan dia melihat sekalian makhluk tunduk kepada keagungan, kebesaran dan kemuliaan rohnya. Orang yang mudah terjatuh ke dalam medan tajalli roh ini adalah mereka yang sejak awal perjalanan lagi memang mempercayai dan berpegang kepada pemahaman wahdatul wujud dan mereka sengaja mencari penyatuan dengan Tuhan. Segala usaha ditujukan bagi menghapuskan kemanusiaan mereka dan melahirkan ketuhanan diri mereka. Mereka berpegang kepada pemahaman bahwa diri mereka, Adam, Muhammad dan Allah s.w.t adalah yang satu (kami berlindung kepada Allah s.w.t daripada iktikad yang sesat itu). Ibadat dan zikir bukan ditujukan karena mencari keredaan Allah s.w.t sebaliknya digunakan bagi melahirkan kesadaran menurut apa yang telah mereka iktikadkan. Penyatuan Adam, Muhammad, Allah s.w.t dan diri mereka dialami pada makam roh. Sejak mulai lagi, walaupun menyebut nama Allah s.w.t tetapi tumpuan dan penghayatan mereka adalah roh. Mereka memulaikan sholat dengan memukau diri sendiri agar meyakini bahwa perbuatan mereka adalah Perbuatan Tuhan, sifat mereka adalah Sifat Tuhan, wujud mereka adalah Wujud Tuhan dan zat mereka adalah Zat Tuhan. Kalimah “La ilaha illa Llah” yang bermaksud “Tiada Tuhan melainkan Allah” mereka menghayatinya sebagai “La maujud illa Llah ” yang bermaksud “ Tidak ada yang ada melainkan Allah”. Mereka gunakan ucapan orang yang di dalam zauk untuk membentuk kepemahaman mereka di dalam sedar. Setelah ditekankan beberapa lama bahwa perbuatan, sifat, wujud dan zat mereka sama dengan Tuhan maka keyakinan yang demikian terpahat dalam jiwa mereka. Bila sampai kepada satu tahap keyakinan hati mereka merasakan sekalian makhluk tunduk kepada ketuhanan mereka. Ketika itu keluarlah dari mulut mereka ucapan “ Ana al-Haq!”.
Walaupun mengucapkan yang demikian separti yang diucapkan oleh salik yang di dalam fana namun hati salik yang menerima tajalli Rahmani berbeda daripada hati mulhid yang menerima tajalli roh. Dalam tajalli roh tidak ada fana. Apa yang disangkakan fana di situ adalah pelepasan secara menyeluruh pengakuan kehambaan dan penerimaan secara menyeluruh bahwa rohnya adalah Tuhan atau Tuhan yang menjadi nyawa kepada rohnya. Bila orang ini kembali semula kepada kesadaran, ego diri dan sifat-sifat kebinatangan bertambah kuat menguasai mereka. Mereka menjadi orang yang takabur, berani mempersendakan Tuhan, nabi-nabi dan amalan agama (Ya Allah! Lindungi kami daripada perbuatan sesat itu.) Dari kalangan mereka timbul ungkapan bahwa ilmu Tuhan belum sempurna. Keegoan diri bertambah dan syariat dibuang begitu saja. Mereka menyahut seruan azan dengan ucapan meremehkannya. Mereka melihat ibadat yang orang lain lakukan sebagai sia-sia saja karena kononnya orang banyak tidak mengenal Tuhan separti mereka. Bagi mereka sholat yang sebenar adalah menyembah diri sendiri. Mereka inilah kumpulkan yang sesat, menyebarkan kesesatan dengan berselindung di sebalik ajaran tarekat tasauf dan ahli sunnah wal jamaah. Setiap Mukmin yang menjalani tarekat yang benar berkewajiban menghancurkan gerakan kumpulan tarekat yang sesat itu. Jangan terpedaya orang sesat yang bisa mengeluarkan kebisaan yang luar biasa. Mahaguru ajaran sesat, iblis laknatullah, lebih lagi luar biasanya.
Dalam tajalli Rahmani keegoan salik binasa dan dia mencapai fana. Dalam kefanaan sifat kemanusiaannya lenyap bersama-sama kekotoran hatinya. Bila dia sedar semula dia sudah menjadi bersih dan hatinya penuh dengan keikhlasan. Ego tidak kembali kepadanya. Dia senantiasa merendahkan diri kepada Tuhan dan sesama manusia. Dia mematuhi perintah-Nya dan peraturan-Nya dan berjalan di atas muka bumi dengan tawaduk dan takwa.
Seseorang yang ingin menjadi salik sangat perlu melepaskan pemahaman wahdatul wujud dan keinginan kepada sesuatu yang selain Allah s.w.t separti kasyaf, kekeramatan, kewalian, sesuatu ilmu dunia dan lain-lain yang bisa menjadi hijab. Masuklah ke dalam suluk bersama-sama syariat, sebagai hamba Tuhan, yang inginkan makam sebagai hamba Tuhan semata-mata tidak hamba kepada yang selain-Nya, mau menyembah Tuhan semata-mata, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu baik yang nyata maupun yang ghaib, berharap, bergantung dan berhajat kepada-Nya semata-mata, tidak kepada yang lain.
Orang yang baru memasuki bidang tarekat tasauf gemar memerhatikan martabat nafsu. Mereka sering mengintai-intai diri mereka apakah sudah berada pada martabat nafsu yang tinggi. Jika mereka merasakan terdapat tanda ketinggian nafsu mereka maka mereka akan merasakan kejayaan. Orang salik dan juga orang yang berminat kepada tasauf perlulah sedar bahwa martabat nafsu bukanlah matlamat. Uraian di dalam buku-buku, daerah nafsu-nafsu dinyatakan dengan jelas. Dalam perjalanan yang sebenarnya tidak ada sempadan yang jelas di antara satu daerah nafsu dengan daerah nafsu yang berikutnya. Perubahan sifat nafsu berlaku tanpa disedari, tidak ada isyarat yang mengsahkan yang mereka sudah berpindah kepada daerah nafsu yang lain. Keinginan kepada pertukaran makam nafsu merupakan tipu daya yang halus. Orang yang memasuki suluk perlu membuang kehendak diri sendiri dan tunduk kepada kehendak Tuhan. Jika masih lagi mengintai makam nafsu bermakna kehendak diri masih lagi kuat. Walaupun dia melihat tanda nafsunya sudah ada pada makam yang tinggi, tetapi keinginannya kepada makam nafsu yang tinggi itu menunjukkan kehendaknya masih belum menyerah kepada kehendak Tuhan. Itu bermakna dia belum mencapai makam nafsu yang tinggi itu walaupun dia merasakan sudah mencapainya. Makam-makam nafsu hanyalah panduan di dalam perjalanan, berguna bagi guru yang membimbing muridnya dalam menyusun latihan berperingkat-peringkat.
Permulaian tarekat adalah syariat dan penghabisan tarekat adalah juga syariat. Kebenaran dalam syariat dipermulaian jalan tidak jelas. Setelah sampai di penghujung jalan kebenaran yang dinyatakan oleh syariat menjadi jelas. Pengalaman fana yang paling tinggi dalam nafsu radhiah tidak dapat menandingi satu sholat fardu yang dilakukan karena Allah s.w.t menurut peraturan syariat. Baqa bersama-sama Allah s.w.t di dalam makam nafsu mardhiah tidak dapat menandingi baqa (kekal) di dalam Sunah Rasulullah s.a.w. Kesempurnaan nafsu pada makam kamaliah tidak dapat menandingi kesempurnaan menjalankan perintah Allah s.w.t, terutamanya dalam bidang berdakwah membimbing umat manusia kepada jalan Allah s.w.t. Makam-makam nafsu hanyalah alat atau jalan, bukan matlamat. Zikir yang dilakukan sendirian selama 24 jam tanpa berhenti tidak dapat menandingi zikir yang melibatkan perkataan, perbuatan dan perasaan yang dilakukan dalam masyarakat dan memanfaatkan makhluk Tuhan. Tarekat haruslah dijadikan alat untuk menyempurnakan syariat bukan untuk sesuatu tujuan yang lain.
Salik perlu tahu bahwa latihan kerohanian yang sebenar hanya bermulai apabila dia diseret oleh kuasa ghaib dan dia dapat merasakan yang dia diberi bimbingan, tunjuk-ajar serta panduan. Pada masa yang sama dia merasakan jalan menuju Tuhan semakin terang dan rasa kehampiran dengan Tuhan semakin bertambah. Salik perlu sedar bahwa tidak ada satu jalan pun daripada hamba kepada Tuhan. Semua jalan kepada Tuhan adalah dihulurkan daripada Tuhan kepada hamba. Selagi Tuhan tidak menghulurkan jalan selagi itulah hamba tidak menemui jalan kepada-Nya. Latihan kerohanian yang dilakukan oleh salik bertujuan mempersiapkan salik agar bersedia memasuki jalan Tuhan apabila Tuhan membuka jalan tersebut. Sekiranya dia tidak bersedia jalan tersebut akan ditutup kembali. Rasulullah s.a.w berkhalwat di Gua Hiraa sebagai persiapan menerima kedatangan wahyu. Khalwat yang baginda s.a.w lakukan itu tidak berupaya memanggil wahyu turun. Wahyu datang daripada Allah s.w.t, menurut kehendak-Nya namun, Allah s.w.t menghantarkan wahyu setelah baginda s.a.w bersedia dan mampu menerima kedatangan wahyu itu. Begitu juga dengan kedatangan warid. Ia dihantarkan kepada salik yang bersedia menerimanya.
Setelah mengakui tidak ada jalan atau tangga yang bisa dibina oleh hamba untuk mencapai Tuhan maka hamba tidak ada pilihan kecuali bersandar kepada Tuhan dan berserah diri kepada-Nya. Ilmu dan amal hanya mampu membawa salik kepada makam berserah diri kepada Tuhan dengan sepenuh jiwa raga. Makam berserah diri adalah medan di mana dihulurkan jalan atau tangga yang membawa seseorang hamba kepada Tuhan. Penyerahan yang sebenar itu adalah Islam. Hanya Islam saja yang menjadi agama yang diredai Allah s.w.t dan kepada orang yang benar-benar Islam saja dikurniakan nikmat kehampiran dengan Allah s.w.t Yang Maha Tinggi. Tidak dinamakan Islam tanpa syariat Islam. Oleh sebab itu tarekat yang putus dengan syariat Islam tidak akan menemukan seseorang dengan Allah s.w.t. Islam merupakan satu-satunya jalan bagi seseorang hamba menghampiri Tuhan. Tidak ada jalan lain lagi. Allah s.w.t telah menyatakan perkara ini dengan tegasnya di dalam al-Quran:
Hari ini Aku sempurnakan agama kamu bagi kamu dan Aku cukupkan atas kamu nikmat-Ku. Dan Aku reda Islam menjadi agama (syariat) kamu. ( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah )
27: Ciri-ciri Dan Doktrin Nabi Palsu
________________________________________
Nabi Muhammad s.a.w terkenal di seluruh Tanah Arab, sampai ke Yamamah. Baginda s.a.w dikenali sebagai Utusan Allah dan seorang pemimpin yang agung menguasai sebuah kerajaan yang besar dan kuat. Kemuliaan dan kebesaran baginda s.a.w bertapak dalam hati orang banyak. Salah seorang yang mengagungkan kebesaran Nabi Muhammad s.a.w itu adalah Musailima bin Habib dari Banu Hanifah yang tinggal di Yamamah. Musailima bukanlah seorang yang berkedudukan mulia dalam golongannya. Dia lebih merupakan orang suruhan yang melakukan kerja-kerja menurut arahan golongan atasan dalam golongannya. Ketika rombongan Banu Hanifah berangkat ke Madinah untuk berjumpa dengan Nabi Muhammad s.a.w, Musailima dibawa bersama. Dia ditugaskan mengangkat barang-barang dan menjaga serta memberi makan hewan tunggangan. Rombongan Banu Hanifah berhenti di luar kota Madinah. Musailima tinggal menjaga barang-barang sementara ahli rombongan yang lain memasuki kota Madinah untuk menemui Rasulullah s.a.w. Rombongan Banu Hanifah itu telah memeluk Islam di hadapan Rasulullah s.a.w. Sebagai tanda persahabatan Islam, Rasulullah s.a.w memberikan mereka beberapa hadiah. Mereka juga telah menceritakan tentang salah seorang daripada mereka yang berada di luar kota Madinah menjaga barang-barang mereka. Rasulullah s.a.w berkenan juga memberikan hadiah kepada orang Banu Hanifah yang menjaga barang-barang itu sambil baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Dia bukan lebih hina daripada kamu”. Rasulullah s.a.w secara lembut menegur orang-orang Banu Hanifah bahwa tidak baik jika salah seorang daripada mereka yang merdeka diberi layanan sebagai budak suruhan. Mereka tidak seharusnya merendahkan sesama sendiri.
Setelah kembali ke tempat barang-barang ditinggalkan, mereka yang telah berjumpa dengan Rasulullah s.a.w telah memberikan hadiah kiriman baginda s.a.w kepada Musailima. Mereka menceritakan apa yang telah dikatakan oleh baginda s.a.w. Pemberian hadiah, diiringi oleh kata-kata yang baik daripada seorang pemimpin yang sangat agung telah menimbulkan kejutan dalam jiwa Musailima yang selama ini tidak pernah dipandang mulia oleh kaumnya. Hatinya mengulangi kata-kata baik yang diucapkan mengenainya itu. Dia merenung dirinya sendiri yang mendapat perhatian daripada seorang Rasul dan pemerintah yang begitu mulia. Tentu sekali perhatian diberikan kepadanya karena dia juga seorang yang mulia. Semakin dia merenung dirinya semakin dia menjadi asyik dengan dirinya. Rasa kemuliaan diri timbul dalam dirinya, semakin lama semakin kuat. Musailima menjadi asyik mahsyuk dengan dirinya sendiri.
Keasyikan kepada diri sendiri merupakan pintu masuk kepada alam gelap yang membentuk misal diri yang mulia. Musailima telah dibawa kepada penggoda-penggoda alam gelap dan akhirnya dia menemui apa yang telah ditemui oleh Petrus, penganut agama Nasrani. Petrus telah ditabalkan oleh iblis menjadi nabi. Musailima juga menerima pertabalan tersebut. Petrus bersekutu dengan Isa al-Masih. Musailima bersekutu dengan Nabi Muhammad s.a.w. Petrus menerima ‘wahyu’ dari iblis. Musailima juga menerima yang demikian. Petrus mengaku menjadi nabi. Musailima juga mengaku menjadi nabi. Bertambahlah bilangan nabi-nabi palsu yang ditabalkan oleh iblis.
Pada zaman Nabi Muhammad s.a.w selain Musailima ada dua orang lagi yang mengaku menjadi nabi. Mereka adalah Thulaihah al-Asadi dan seorang wanita Banu Tamim bernama Sajjah. Tiga orang nabi-nabi palsu itu diperangi oleh Khalifah Abu Bakar as-Siddik kemudian hari nanti. Kaum Muslimin mengetahui bahwa mereka adalah nabi-nabi palsu, tetapi ke tiga-tiga mereka tidak tahu yang diri mereka adalah nabi-nabi palsu. Mereka benar-benar percaya bahwa mereka adalah nabi. Musailima yakin bahwa dirinya bersekutu dan bersatu dengan Nabi Muhammad s.a.w dan dia lebih mulia daripada Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Bermulai dengan keasyikan dengan diri sendiri Petrus, Musailima, Thulaihah dan Sajjah membangkitkan keegoan roh hewani mereka. Satu medan alam ghaib di bawah bumbung langit dunia terbuka kepada roh hewani mereka yang dikenderai oleh ego diri. Mereka masuk ke dalam Alam Misal gubahan iblis. Dalam Alam Misal tersebut mereka menyaksikan keagungan, kemuliaan dan kesempurnaan diri mereka sendiri melebihi segala kewujudan. Apabila mereka sudah merasakan diri mereka melebihi daripada segala sesuatu mereka pun ditabalkan oleh iblis menjadi nabi-nabi, yaitu utusan iblis bagi menyebarkan ajaran sesat kepada umat manusia. Tuhan mereka adalah diri mereka sendiri dan syariat mereka adalah hawa nafsu. Nabi-nabi iblis itu akan menanggalkan kehambaan, menghalalkan arak, judi dan zina. Mereka menggugurkan kewajiban sholat lima waktu, puasa dan zakat. Apa saja yang dinamakan syariat Islam bagi mereka adalah kosong, tidak ada faedahnya. Amalan agama yang mereka bawa sangat bersesuaian dengan kehendak hawa nafsu.
Nabi-nabi iblis akan muncul dari masa ke masa. Mereka akan merombak peraturan syariat dan Sunah. Mereka membawa cerita-cerita ganjil yang mengelirukan. Mereka meletakkan al-Quran di bawah tapak kaki mereka dan meletakkan ceritera daripada iblis di atas kepala mereka. Sifat yang nyata lahir daripada mereka adalah ujub dan ria. Mereka mendakwa bahwa merekalah yang paling benar, paling bermakrifat.
Nabi palsu berbeda daripada orang munafik. Orang munafik memutar-belitkan agama tanpa membawa satu bentuk kepercayaan khusus sebagai alternatif. Orang munafik tidak mempunyai pendirian yang tetap. Asal saja mereka dapat memesungkan yang benar mereka sudah berpuas hati. Nabi palsu pula membawa agama alternatif dengan menggunakan istilah agama yang sudah ada. Mereka mempunyai kepercayaan dan pegangan yang khusus. Ada amalan tertentu yang mereka titik beratkan.
Munafik hanya bersandar kepada hukum akal dan logik lahiriah. Nabi palsu pula menutup pintu akal dan membuka prinsip mengimani sumber ghaib yang berhubungan dengan mereka. Munafik memperbanyakkan hujah. Nabi palsu membentuk kepercayaan tanpa hujah. Setiap munafik bebas meminda agama menurut kehendak individu. Pengikut nabi palsu pula berpegang bulat kepada apa yang dikatakan oleh ketua mereka yang dipercayai sebagai nabi itu. Kedua-dua golongan tersebut akan membina jalan-jalan yang selari dengan jalan yang lurus dan mereka akan mencoba menarik umat Islam supaya masuk kepada jalan mereka. Orang yang tergelincir kepada jalan munafik dan jalan nabi palsu masih merasakan yang dia berada pada jalan yang lurus.
Gerakan Musailima tidak mendapat pengaruh ketika Nabi Muhammad s.a.w masih hidup. Setelah Rasulullah s.a.w wafat golongan yang ingin lari daripada pemerintahan Madinah telah memberi sokongan kepada Musailima tetapi mereka dapat dikalahkan oleh kaum Muslimin yang dipimpin oleh Saidina Abu Bakar as-Siddik.
28: Ciri-ciri Dan Doktrin Munafik
________________________________________
Gerakan munafik bermulai di Madinah di bawah pimpinan Abdullah bin Ubai. Abdullah bin Ubai, sebelum kedatangan Rasulullah s.a.w ke Madinah, merupakan seorang yang sangat berpengaruh di sana sebagaimana kedudukan Abu Sufyan di Makkah. Selepas Perang Bu’as tamat penduduk Madinah (nama asalnya Yasrib) sudah sepakat untuk melantik Abdullah bin Ubai sebagai raja di Madinah, malah mahkotanya pun sudah siap dibuat. Masyarakat Madinah bersetuju melantik Abdullah bin Ubai menjadi raja menunjukkan dia memiliki sifat-sifat yang menyebabkan dia dihormati dan dimuliakan.
Sebelum Nabi Muhammad s.a.w berhijrah ke Madinah, kaum Yahudi sudah lama bertapak di sana. Kaum Yahudi dikenali sebagai ahli Kitab, orang beragama yang memiliki peradaban yang mulia. Kaum Yahudi juga menguasai bidang ekonomi dan mempunyai kekuatan dalam bidang ketenteraan. Kaum Yahudi yang dikenali sebagai ahli agama, ahli ilmu, ahli ekonomi dan ahli ketenteraan menyebabkan mereka dipandang tinggi oleh orang Arab Madinah.
Orang Arab Madinah memandang kaum Yahudi sebagai manusia yang berjaya dan disegani. Kedudukan kaum Yahudi yang demikian menyebabkan orang Arab Madinah suka meniru peradaban Yahudi tetapi mereka tidak memeluk agama Yahudi. Bagi orang Arab agama Yahudi dilihat sebagai khusus untuk orang Yahudi saja. Walaupun tidak menerima agama Yahudi tetapi banyak daripada nilai-nilai moral Yahudi diterima pakai oleh orang Arab Madinah.
Golongan Arab Madinah yang berilmu merupakan orang yang paling banyak menceduk peradaban Yahudi dan meng-Arabkan peradaban tersebut. Di antara mereka adalah Abdullah bin Ubai. Kumpulan Abdullah bin Ubai mempraktikkan nilai-nilai moral yang lebih tinggi daripada orang Arab Madinah yang lain. Oleh karena itu mereka dipandang tinggi dan dihormati. Ketika Perang Bu’as hampir berlaku di antara dua golongan terbesar di Madinah, kumpulan Abdullah bin Ubai menentang suku-suku mereka yang mau berperang itu. Bila peperangan berlaku juga Abdullah bin Ubai tidak ikut serta dalam peperangan tersebut. Sikap berkecualinya itulah yang menyebabkan dia dicadangkan untuk menjadi raja setelah kedua-dua pihak yang berperang itu berdamai.
Walaupun menimba dari telaga Yahudi namun ahli fikir Arab Madinah mempertahankan ke-Araban mereka. Sikap yang demikian menyebabkan terbentuk aliran pemikiran yang kabur. Ia bukan Yahudi dan bukan juga Arab. Mereka menganggap diri mereka setaraf dengan orang Yahudi yang berilmu dan mereka lebih mulia daripada umat Arab yang jahil. Oleh karena apa yang terbentuk dalam aliran pemikiran mereka tidak jelas, maka tidak ada satu bentuk kepercayaan atau akidah yang mereka pertahankan. Mereka mempertahankan satu perkara saja, yaitu merekalah golongan Arab yang paling pintar dan apa saja yang datang daripada orang Arab yang lain tidak sama dengan apa yang ada dengan mereka. Apabila agama Islam datang ke Madinah dibawa oleh orang Arab Makkah, kumpulan Abdullah bin Ubai itu sudah ada keputusan sejak awal-awal lagi untuk menolaknya. Mereka menganggap apa yang baru datang itu lebih rendah daripada apa yang ada dengan mereka. Mereka menjadi golongan yang tidak mempertahankan sebarang kepercayaan dan juga tidak ada satu kepercayaan yang mereka terima. Sebagaimana golongan Yahudi yang menganggap semua bangsa di dunia lebih rendah daripada mereka, begitu juga kumpulan Abdullah bin Ubai yang meminum air daripada telaga Yahudi menganggap semua orang Arab lebih rendah daripada mereka. Mereka memandang rendah apa saja yang datang daripada orang Arab yang lain. Mereka adalah golongan yang sudah ada keputusan untuk mengunci mata, telinga dan hati mereka daripada segala agama yang datang kepada mereka.
Arus perkembangan Islam melanda Madinah dengan deras dan menyeluruh. Dalam masa kurang daripada satu tahun hampir keseluruhan penduduk Madinah sudah memeluk agama Islam. Segala aktiviti berpusat kepada Nabi Muhammad s.a.w dan agama Islam. Kumpulan Abdullah bin Ubai yang memandang diri mereka sebagai lebih mulia itu tidak ada pilihan melainkan ikut serta di dalam rentak perkembangan Madinah, jika tidak mereka akan tersisih. Penyertaan mereka di dalam arus tersebut juga bertujuan mencari jalan merampas semula kekuasaan di Madinah sebagaimana sebelum kedatangan agama Islam dan Nabi Muhammad s.a.w ke sana. Mereka mau orang-orang Makkah meninggalkan Madinah.
Oleh karena mereka tidak mempunyai satu bentuk kepercayaan yang jelas dan tidak ada satu agama yang mereka pertahankan, maka mereka bisa bergerak cergas dalam apa juga medan kepercayaan atau agama. Istilah dosa, pahala, syurga, neraka, hari kiamat, halal dan haram tidak ada pada mereka. Akhirat tidak ada dalam pandangan mereka. Apabila tidak ada agama yang diperjuangkan dan tidak ada kepercayaan kepada perkara ghaib, kumpulan tersebut menyertai kegiatan agama orang lain dalam keadaan yang dipanggil munafik. Mereka memakai baju agama padahal mereka tidak ikhlas berbuat demikian dan tidak merelakannya.
Munafik berbeda daripada kafir. Orang kafir tidak percaya kepada agama Islam karena mereka mempunyai kepercayaan sendiri dan mereka pertahankan kepercayaan tersebut. Penentangan mereka terhadap Islam adalah jelas. Orang munafik pula di samping tidak beriman kepada agama Islam, mereka tidak mendatangkan kepercayaan yang menjadi alternatif dan mereka tidak menyebarkan sebarang bentuk kepercayaan. Oleh yang demikian mereka bisa menyertai kegiatan Islam seolah-olah mereka adalah orang Islam sejati dan mereka bisa menentang Islam seolah-olah mereka adalah orang kafir tulin. Mereka menganggapkan Islam sebagai baju yang bisa dipakai dan ditanggalkan menurut keadaan yang membawa keuntungan kepada mereka.
Al-Quran menceritakan keadaan golongan munafik:
Dan sebagian daripada manusia ada yang berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”. Padahal mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak memperdayakan Allah dan orang yang beriman, padahal mereka tidak perdayakan melainkan diri mereka sendiri sedangkan mereka tidak sedar. Di hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambahkan penyakit kepada mereka dan adalah bagi mereka seksaan yang pedih sebab mereka telah berdusta. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerosakan di bumi”, mereka menjawab: “Kami tidak lain melainkan orang yang membuat kebaikan”. Ketahuilah bahwa mereka itu adalah orang yang membuat kerosakan tetapi mereka tidak sedar. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah sebagaimana orang yang telah beriman”. Mereka berkata, “Apakah harus kami beriman separti orang-orang bodoh itu beriman?” Ketahuilah mereka itulah orang-orang yang bodoh tetapi mereka tidak ketahui. Dan apabila mereka bertemu dengan orang yang beriman mereka berkata, “Kami telah beriman”. Apabila bersendirian dengan syaitan-syaitan mereka, mereka berkata, “Kami beserta kamu. Kami tidak lain melainkan memperolok-olokkan (orang yang beriman)”. ( Ayat 8-14 : Surah al-Baqarah )
Yang tuli, yang bisu, yang buta. Lantaran itu mereka tidak akan kembali. ( Ayat 18 : Surah al-Baqarah )
Orang munafik sangat berbeda daripada orang kafir. Orang kafir dengan tegas menyatakan tidak beriman baik secara terang atau pun secara bersembunyi. Ancaman azab neraka dan pujukan nikmat syurga tidak menarik orang kafir kepada iman. Orang munafik pula mengucap dua Kalimah Syahadah dengan lidah mereka dan tidak keberatan menyertai amalan ibadat bersama-sama orang Islam yang lain, tetapi ucapan dan ibadat yang dilakukan itu tidak berbekas pada hati mereka. Mulut mereka mengatakan beriman kepada Allah s.w.t dan hari akhirat tetapi hati mereka kufur. Mereka adalah orang yang Islam pada zahir tetapi kafir pada hati. Perbuatan zahir mereka sesuai dengan perbuatan orang yang beriman karena mereka mau menyembunyikan apa yang ada dalam hati mereka. Ada kepentingan diri yang mereka mau jaga.
Golongan munafik tidak mengakui kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Bagi mereka Nabi Muhammad s.a.w hanyalah seorang lelaki Arab yang sama dengan lelaki Arab yang lain, yang tergolong dalam kalangan bangsa Arab yang mereka pandang lebih rendah daripada mereka. Mereka menolak kepimpinan Nabi Muhammad s.a.w. Mereka mau agar baginda s.a.w mengikuti kepimpinan mereka. Mereka juga tidak mempunyai perasaan hormat kepada Nabi Muhammad s.a.w. Oleh karena mereka menganggapkan Nabi Muhammad s.a.w, maka mereka tidak menerima kedudukan wahyu sebagai Kalam Allah s.w.t. Mereka menganggap wahyu hanyalah perkataan Nabi Muhammad s.a.w yang sama dengan perkataan orang lain yang bisa dihujah dan ditolak. Golongan munafik, dengan kerjasama kaum Yahudi, sangat aktif di dalam mempartikaikan wahyu dan hadis Nabi Muhammad s.a.w.
Tuhan memperingatkan Rasulullah s.a.w supaya berwaspada terhadap golongan munafik yang akan mencoba untuk membawa baginda s.a.w tunduk kepada pemimpin mereka. Baginda s.a.w diperingatkan bahwa golongan munafik itu tidak suka kepada baginda s.a.w.
Wahai Nabi! Berbaktilah kepada Allah dan jangan engkau taat kepada kafir-kafir dan munafik-munafik, sesungguhnya Allah adalah Mengetahui, Bijaksana. ( Ayat 1 : Surah al-Ahzaab )
Dan jangan engkau tunduk kepada orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan biarkanlah gangguan mereka. Dan berserah dirilah kepada Allah karena cukuplah Allah sebagai Pengawal. ( Ayat 48 : Surah al-Ahzaab )
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kepada apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya”, kamu melihat orang munafik berpaling daripadamu sungguh-sungguh. (ayat 61 : Surah an-Nisaa’ )
Dan dari kalangan mereka ada yang menyakiti Nabi dan mereka berkata, “Dia itu pendengar!” (Maksudnya mengiyakan saja apa yang orang lain kata). Katakanlah: “Dia memang pendengar kebaikan kamu, dia beriman kepada Allah dan dia percaya kepada mereka yang beriman, dan jadi rahmat bagi orang yang beriman di antara kamu”. Dan mereka yang menyakiti Rasul Allah bagi mereka azab yang pedih. ( Ayat 61 : Surah at-Taubah )
Sangat sukar menangani golongan munafik karena secara terangnya mereka mengaku beriman walaupun hati mereka menolak. Mereka juga sanggup bersumpah bagi menegakkan benang basah.
Mereka akan bersumpah dengan Nama Allah kepada kamu untuk menyenangkan kamu, padahal Allah dan Rasul-Nya yang lebih patut mereka sukakan jika adalah mereka orang yang beriman. ( Ayat 62 : Surah at-Taubah )
Oleh karena golongan munafik hidup dalam kepura-puraan mereka sangat takut jika rahsia mereka diketahui oleh orang lain.
Amat takut orang munafik itu bahwa akan diturunkan atas mereka suatu surah yang mengkhabarkan kepada mereka apa yang ada dalam hati mereka. Katakanlah: “Perolok-olokkanlah! Sesungguhnya Allah akan mengeluarkan apa yang kamu takutkan itu”. (Ayat 64 : Surah at-Taubah )
Apabila tembelang mereka pecah golongan munafik itu akan berdalih secara selamba dan mudah. Bila bertembung dengan kebenaran yang tidak dapat dielakkan golongan munafik tidak akan mempertahankan kesesatan dan kebohongan yang mereka telah lakukan.
Dan jika engkau tanyakan kepada mereka tentu mereka akan berkata, “Kami ini hanya bergurau senda dan bermain-main”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah dan ayat-ayat-Nya dan (dengan) Rasul-Nya kamu hendak berolok-olok?” ( Ayat 65 : Surah at-Taubah )
Golongan munafik menyebarkan ajaran yang menyalahi syariat Islam. Apabila syariat meletakkan peraturan amal makruf dan mencegah yang munkar, golongan munafik akan menilai yang makruf sebagai keuntungan duniawi dan yang munkar pula sebagai kerugiannya. Mereka menganggap zakat dan sedekah sebagai bukan amal makruf karena ia merugikan dari segi keduniaan.
Laki-laki munafik dan perempuan munafik yang sebagian mereka adalah dari yang sebagian, mereka menyuruh yang munkar dan melarang dari yang makruf dan mereka genggamkan tangan mereka (bakhil). Mereka telah melupakan Allah dan Allah pun melupakan mereka. Sesungguhnya orang munafik itu adalah orang yang fasik (melewati batas). ( Ayat 67 : Surah at-Taubah )
Golongan munafik pandai berdolak-dalih. Mereka berani menggunakan nama Allah bagi menutup kesesatan dan kekufuran mereka. Tuhan memerintahkan Nabi s.a.w agar berjihad memerangi orang munafik karena mereka adalah orang yang kufur.
Wahai Nabi! Berjihadlah terhadap kaum kafir dan munafik dan berlaku keraslah terhadap mereka. Tempat kembali mereka adalah jahanam dan itulah yang seburuk-buruk kesudahan. Mereka akan bersumpah dengan Nama Allah bahwa mereka tidak pernah berkata, padahal mereka pernah mengatakan kalimat kufur dan mereka telah kafir sesudah Islam dan mereka sangat mengingini apa yang tidak dapat mereka capai. Dan tidaklah kebencian mereka itu melainkan karena Allah dan Rasul-Nya telah memperkayakan orang yang beriman dengan kurnia-Nya. Tetapi jika mereka bertaubat adalah baik bagi mereka dan jika mereka berpaling, Allah akan azabkan mereka dengan satu azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan tidak ada bagi mereka pembantu di bumi dan tidak ada penolong. ( Ayat 73 – 74 : Surah at-Taubah )
Al-Quran memberi peringatan tentang ancaman golongan munafik terhadap keselamatan dan kepercayaan orang yang beriman. Tuhan menamakan satu surah al-Quran dengan nama surah al-Munafiqun, bagi menyedarkan kaum Muslimin betapa bahayanya kehadiran golongan munafik di dalam masyarakat kaum Muslimin. Tuhan menggesa Nabi Muhammad s.a.w dan kaum Muslimin semua zaman agar berwaspada terhadap tipu daya dan fitnah yang datang daripada golongan munafik.
Apabila orang munafik datang kepada kamu mereka akan berkata, “Kami mengakui bahwasanya kamu Rasul Allah,” padahal Allah mengetahui bahwasanya engkau pesuruh-Nya dan Allah menyaksikan bahwasanya kaum munafik itu adalah orang yang berdusta. Mereka jadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perlindungan, lalu mereka halangi manusia dari jalan Allah. Sesungguhnya jelek apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian (adalah) lantaran beriman kemudian mereka kufur, lalu dimetrai atas hati mereka; oleh itu mereka tidak dapat memahami. ( Ayat 1 – 3 : Surah al-Munafiquun )
Dan apabila engkau lihat mereka, mengherankan kamu tubuh-tubuh mereka; dan jika mereka berkata-kata, engkau dengarkan perkataan mereka. Mereka seolah-olah kayu yang disandarkan. Tiap-tiap teriaan mereka sangka buat membahayakan mereka. Mereka adalah musuh; maka hendaklah engkau awasi mereka. Allah laknati mereka! Ke manakah mereka dipalingkan? ( Ayat 4 : Surah al-Munafiquun )
Tuhan memperingatkan sungguh-sungguh kepada Nabi s.a.w dan kaum Muslimin sekaliannya pada semua zaman, supaya jangan membiarkan racun yang ditabur oleh golongan munafik memusnahkan umat. Sekali lagi Tuhan memberi peringatan!
Wahai Nabi! Berjihadlah menentang kaum kafir dan munafik dan berlaku keraslah terhadap mereka dan tempat kembali mereka itu adalah jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. ( Ayat 9 : Surah at-Tahrim )
Tuhan memberi peringatan kepada kaum Muslimin, sekiranya kegiatan golongan munafik yang mencampur adukkan kesesatan dan kekufuran ke dalam akidah Islam tidak dibendung, nescaya umat Islam akan menemui kehancuran. Setiap umat Islam mestilah berwaspada terhadap orang munafik yang berada di tengah-tengah mereka. Tanda munafik mudah dikenal melalui keengganan mereka berjuang pada jalan Allah s.w.t.
Dan supaya dibuktikan-Nya pula keadaan orang-orang munafik. Dikatakan kepada mereka: “Marilah berperang pada jalan Allah atau pertahankanlah.” Mereka menjawab, “Kalau kami tahu berperang nescaya kami ikut kamu (berperang).” Mereka itu pada hari tersebut lebih hampir kepada kufur daripada kepada iman. Mereka berkata dengan mulut mereka apa yang tidak ada dalam hati mereka. Dan Allah lebih Mengetahui apa-apa yang mereka sembunyikan. (Adalah) mereka yang berkata kepada saudara-saudara mereka sambil mundur, “Kalau mereka ikut kami tentu mereka tidak terbunuh.” Katakanlah: “Kalau begitu tolakkanlah kematian daripada kamu jika memang kamu orang yang benar.” ( Ayat 167 – 168 : Surah a-Li ‘Imraan )
Kemunafikan lebih ketara melalui amalan yang mereka lakukan sambil lewa saja, semata-mata sebagai pameran.
Orang munafik menipu Allah dan Allah pun (balas) menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri kepada sholat mereka berdiri dalam keadaan malas. Mereka menunjuk-nunjuk kepada manusia dan tidaklah mereka mengingati Allah kecuali sedikit. Keadaan mereka terumbang ambing di antara yang demikian itu, tidak kepada mereka itu, tidak kepada mereka ini; karena barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tidak akan engkau dapat satu jalan (keselamatan) baginya. ( Ayat 142 – 143 : Surah an-Nisaa’ )
Tuhan memberi amaran yang keras kepada orang munafik:
Sesungguhnya jika tidak berhenti juga orang munafik itu dan orang yang dalam hatinya ada penyakit dan pengacau-pengacau di Madinah, nescaya Kami akan kerahkan engkau terhadap mereka. Kemudian itu tidaklah mereka akan bertetangga lagi dengan engkau di situ kecuali bagi masa yang singkat. Mereka di dalam keadaan terkutuk di mana saja mereka dijumpai dan mereka akan dibunuh sampai semusnah-musnahnya. Sunah Allah yang telah berlaku pada orang-orang yang terdahulu. Dan sekali-kali tidak akan didapati bagi Sunnatullah itu satu pengganti. ( Ayat 60 –62 : Surah al-Ahzaab )
Al-Quran telah memberi gambaran yang jelas tentang orang munafik. Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin mengenali golongan munafik yang ada di dalam masyarakat mereka. Mereka dapat menunjukkan dengan jelas bahwa Abdullah bin Ubai adalah pemimpin golongan munafik. Keterangan yang telah diberikan oleh al-Quran memberi manfaat bagi kaum Muslimin dalam mengawasi pergerakan golongan munafik agar perpaduan, keselamatan dan kesejahteraan kaum Muslimin dapat dipelihara. Umat Islam yang datang kemudian mestilah memerhatikan petunjuk daripada al-Quran bagi mengenali musuh-musuh mereka.
Abdullah bin Ubai telah pun mati. Markas golongan munafik, sebuah masjid yang dibina di Zu Awan, sudah pun dibakar oleh kaum Muslimin pada zaman Rasulullah s.a.w. Tetapi kaum Muslimin perlu berwaspada karena racun munafik masih berjalan hingga ke hari ini.
Golongan munafik terdiri daripada orang-orang yang sangat licik. Mereka hidup bersama-sama orang Islam, mengaku sebagai orang Islam dan melibatkan diri dalam kegiatan kaum Muslimin, malah mereka merasakan yang mereka lebih Islam daripada orang-orang Islam yang lain. Memang sukar untuk mengenali hati yang munafik, sedangkan mulutnya mengucapkan dua Kalimah Syahadah dan anggotanya melakukan ibadat bersama-sama kaum Muslimin yang lain. Orang munafik bergerak di dalam masyarakat orang Islam, sebagai orang Islam dan menggunakan ajaran Islam. Orang munafik melakukan apa yang sudah dibuat oleh kaum Yahudi dan Nasrani, yaitu mengubah maksud kitab Allah dan meminda syariat Islam. Mereka mengadakan tafsiran al-Quran menurut cara mereka sendiri. Golongan munafik adalah ilmuan yang mengeluarkan al-Quran tiruan dan Hadis palsu, terutamanya dalam soal yang bersangkutan dengan akidah dan kebatinan. Daripada golongan yang demikianlah muncul istilah kebudayaan Islam yang ditampalkan kepada kegiatan maksiat yang berlawanan dengan syariat Tuhan. Lahir pula persatuan Islam pada nama tetapi bergiat memecah-belahkan perpaduan umat Islam. Ada pula istilah seni bina Islam diletakkan pada bangunan yang digunakan sebagai sarang perjudian dan pelacuran. Lebih buruk lagi timbul akidah syirik yang dikatakan sebagai akidah Islam yang sebenarnya. Racun yang dikeluarkan oleh Abdullah bin Ubai dan kawan-kawannya sudah meresap ke dalam darah daging umat Islam di seluruh dunia pada masa kini. Hanya bimbingan daripada Allah s.w.t dapat menyelamatkan umat Islam daripada fitnah golongan munafik itu.
Orang munafik tidak mempunyai kepercayaan dan pegangan yang jelas. Mereka sendiri tidak pasti apakah yang mereka pegang dan imankan. Mereka bergerak berlandaskan kepercayaan dan pegangan orang lain dengan mengadakan perubahan kepada yang asli, tetapi mereka tetap menggunakan label yang asli, separti lembu yang mati di tepi jalan diletakkan label halal. Orang munafik bergerak di dalam masyarakat orang Islam, bercakap pasal Islam, tetapi apa yang mereka bawa adalah perkara yang sudah diselewengkan. Orang yang berilmu dapat melihat penyelewengan tersebut tetapi orang jahil akan keliru karena si munafik bercakap tentang Allah s.w.t dan agama Islam. Lebih-lebih lagi si munafik itu pandai menggunakan hujah keagamaan, terutamanya secara usul yang tidak ada kesudahan. Mereka suka menggunakan cara berteka teki yang sukar dimengarti. Lebih mengelirukan lagi apabila si munafik berhujah dengan menyandarkan kepada Hadis Nabi s.a.w, perkataan sahabat dan wali-wali yang mereka gubah sendiri, yang tidak diketahui oleh orang jahil. Si munafik bisa bersumpah bohong dengan menggunakan nama Allah bagi memerangkap orang yang jahil. Orang Islam yang jahil mudah terperangkap dengan ajaran sesat orang munafik. Kegiatan orang munafik menjadi lebih mudah setelah berlaku proses asimilasi agama-agama lain separti Buddha, Hindu dan Keristian ke dalam agama Islam.
Setiap kaum Muslimin yang insaf berkewajiban menyelak setiap hamparan dan membongkar setiap tutupan bagi mencari racun munafik yang bersembunyi di dalam kalangan umat Islam. Racun tersebut mestilah dikeluarkan. Inilah jihad kaum Muslimin zaman ini!
29: Kaum Sufi Di Zaman Rasulullah s.a.w
________________________________________
Ahli suffah merupakan satu kumpulan sahabat Rasulullah s.a.w yang daripada mereka dikatakan bermulainya aliran sufi atau tasauf. Mereka dikenali sebagai golongan miskin yang menumpang tinggal di beranda masjid Rasulullah s.a.w di kota Madinah. Perbelanjaan mereka ditanggung oleh orang banyak. Mereka terdiri daripada golongan yang tidak memiliki apa-apa, lemah dan tiada kemahiran dalam urusan kehidupan harian. Walaupun keadaan ahli suffah yang demikian kaum Muslimin tidak menganggapkan mereka sebagai beban. Kaum Muslimin yang berkemampuan dengan ikhlas hati memberi bantuan kepada golongan yang lemah itu.
Apabila perkembangan Islam telah pesat ternyata peranan ahli suffah sangat penting. Tindakan Rasulullah s.a.w menyediakan tempat di beranda masjid baginda s.a.w untuk satu golongan yang menjadi ahli masjid merupakan satu tindakan yang sangat berhikmah. Ahli suffah yang juga ahli masjid Rasulullah s.a.w merupakan kumpulan yang paling hampir dengan baginda s.a.w. Mereka yang mulai-mulai mendengar pengajaran Rasulullah s.a.w. Mereka senantiasa hadir di dalam majlis baginda s.a.w. Mereka mempelajari al-Quran secara langsung daripada Rasulullah s.a.w. Peranan mereka adalah umpama kutubkhanah yang menyimpan segala macam pengajaran Nabi Muhammad s.a.w. Mereka hanya menceburi satu bidang saja dalam kehidupan ini, yaitulah bidang ilmu Rasulullah s.a.w. Dari kalangan mereka terdapat orang-orang yang sangat mendalam pengetahuan mereka tentang agama Islam. ‘Khazanah ilmu agama’ itulah yang memainkan peranan penting sebagai mubaligh yang menyampaikan ajaran Islam kepada kaum Muslimin yang tidak sempat hadir di dalam majlis Rasulullah s.a.w dan juga kepada mereka yang baru memeluk agama Islam. Ahli suffah, ahli masjid Nabi s.a.w atau ahli sufi pada zaman Rasulullah s.a.w merupakan golongan yang bekerja di dalam bidang ilmu sepanjang masa. Mereka merupakan gedung ilmu dan juga penyebar ilmu. Al-Quran memberikan perhatian istimewa kepada ahli suffah, ahli masjid Nabi s.a.w, ahli sufi atau ahli ilmu itu. Allah s.w.t memperakui kepentingan sumbangan mereka kepada perkembangan agama-Nya.
Untuk orang-orang faqir yang telah terikat pada jalan Allah, yang tidak sanggup lagi berusaha pada bumi, disangka oleh orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah golongan yang berada, dari sangat mereka menahan diri. Engkau dapat mengenal mereka daripada tanda mereka. Mereka tidak meminta-minta kepada manusia dengan memaksa-maksa. Maka apa pun harta yang kamu belanjakan sesungguhnya Allah amat Tahu. ( Ayat 273 : Surah al-Baqarah )
Dan tidaklah (patut) orang-orang yang beriman itu turut (ke medan perang) semuanya. Tetapi alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka satu kelompok; supaya mereka memberi ancaman kepada kaum mereka apabila mereka kembali kepada kaum mereka, supaya mereka berhati-hati. ( Ayat 122 : Surah at-Taubah )
Ahli suffah atau ahli sufi pada zaman Rasulullah s.a.w merupakan orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak berkehendakkan apa-apa kecuali Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Mereka dikenali sebagai faqir yang terikat pada jalan Allah s.w.t. Jalan Allah s.w.t bukan semata-mata berperang mengangkat senjata. Memelihara al-Quran dan al-Hadis juga merupakan jihad yang besar. Perkembangan Islam yang pesat memerlukan tenaga yang khusus dalam bidang tersebut. Urusan memelihara ilmu agama sangat penting. Jika tenaga khusus itu disalurkan kepada bidang pekerjaan harian maka urusan pemeliharaan ilmu agama akan terjejas, sedangkan ianya sangatlah penting bagi perkembangan agama. Al-Quran menganjurkan agar sebagian daripada umat Islam tidak keluar berperang. Jihad bagi golongan yang dibenarkan tidak keluar ke medan perang itu adalah memperdalamkan dan mengembangkan ilmu agama. Tuhan telah memberikan garisan pembagian tugas dalam pembangunan masyarakat dan perkembangan agama. Berperang mengangkat senjata dan berjuang mengembangkan ilmu agama sama-sama mendapat penghargaan dari Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Manusia yang paling hampir dengan derajat Kenabian adalah ahli ilmu. Ahli ilmu menunjukkan kepada manusia apa yang dibawa oleh Rasul. Ahli jihad pula berjuang dengan pedang mereka membawa apa yang dibawa oleh Rasul”. Baginda s.a.w juga bersabda yang bermaksud: “Pada hari kiamat tinta ulama ditimbang dengan darah syuhada”.
Ahli sufi pada zaman Rasulullah s.a.w merupakan orang-orang yang menyediakan diri mereka semata-mata untuk Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Mereka berfungsi sebagai penyimpan ilmu al-Quran dan Hadis dan juga segala jenis ilmu agama. Mereka memancarkan ilmu-ilmu tersebut ke seluruh pelosok muka bumi. Inilah dasar yang perlu diperhatikan dalam memperkaitkan ahli suffah dengan ahli sufi yang datang kemudian.
Jihad yang paling besar adalah jihad mengangkat senjata dan orang yang mati karenanya memperolehi syahid. Pekerjaan yang begitu besar dan mulia dikecualikan daripada ahli ilmu sepenuh masa, apa lagi pekerjaan yang berhubung dengan urusan mengisi perut. Pada zaman Rasulullah s.a.w, golongan yang bekerja khusus dalam bidang ilmu agama itu ditanggung oleh pemerintah, yaitu Rasulullah s.a.w sendiri.
Oleh karena ahli ilmu itu tidak melibatkan diri dalam urusan mencari rezeki, maka mereka tidak dapat mengecapi kemewahan dan kesenangan. Mereka hidup di dalam kefaqiran. Mereka faqir pada pandangan dunia tetapi kaya dengan ilmu Tuhan dan Rasul-Nya. Lidah dan pena mereka adalah pedang jihad mereka. Ilmu yang mereka pelajari dan sebarkan itulah darah syahid mereka. Rasulullah s.a.w memperakui bahwa golongan demikian sebagai kumpulan yang paling hampir dengan derajat kenabian. Ilmu mereka adalah percikan ilmu nabi-nabi. Rohani mereka adalah cermin jernih yang menerima pancaran cahaya kenabian. Golongan separti ini akan dihantarkan Tuhan dari masa ke masa pada setiap zaman. Tugas mereka adalah memperbaiki kerosakan yang berlaku pada ilmu agama, terutamanya dalam perkara akidah.
Kerajaan Islam yang diasaskan oleh Rasulullah s.a.w bermulai di Madinah. Semakin besar kerajaan Islam semakin besar dan berat tugas yang dipikul oleh Rasulullah s.a.w. Baginda s.a.w dibantu oleh empat orang ‘Menteri Kanan’. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Siapa pula ‘kakitangan kerajaan’ yang membantu Rasulullah s.a.w dan ‘Menteri-menteri’ baginda s.a.w? Mereka adalah ahli suffah yang bekerja sepenuh masa untuk Rasulullah s.a.w. Kebanyakan daripada masa baginda s.a.w dihabiskan di dalam masjid. Pengajaran, perancangan, strategi, polisi, wawasan dan lain-lain keluar daripada Rasulullah s.a.w dan disebarkan oleh ahli suffah. Mereka menyampaikan berita yang Rasulullah s.a.w mau sampaikan kepada kaum Muslimin. Ahli suffah yang bergerak mempastikan latihan ketenteraan berjalan dengan teratur sebagai persiapan mempertahankan agama dan negara Islam. Ahli suffah yang mengatur pembuatan senjata-senjata perang separti baju besi dan pedang. Ahli suffah juga menggerakkan kaum Muslimin mempersiapkan unta dan kuda mereka supaya apabila diperlukan semuanya berada dalam keadaan siap sedia. kehadiran ahli suffah, ahli masjid Nabi s.a.w atau ahli sufi itulah yang memudahkan Rasulullah s.a.w mentadbir negara Islam dari dalam masjid baginda s.a.w. Ketika bilangan tentera Islam masih sedikit, ahli suffah ikut serta berperang. Jadi, ahli suffah adalah satu kumpulan yang sangat aktif bekerja untuk Allah s.w.t dan Rasul-Nya tanpa gaji. Apa yang Rasulullah s.a.w berikan itulah bagian mereka bagi menyara kehidupan mereka. Mereka reda dengan yang demikian. Mereka lebih suka nama mereka tidak dikenali karena mereka tidak mencari nama dan kebesaran. Apa yang mereka cari hanyalah keredaan Allah s.w.t dan Rasul-Nya.
30: Tarekat Kehidupan Harian
________________________________________
Setiap orang yang hidup dalam dunia ini membina kehidupan masing-masing berdasarkan dorongan naluri semulajadi separti keinginan berkeluarga, mencari rezeki, memiliki tempat tinggal dan sebagainya yang mensejahterakan kehidupan di dalam alam ini. Hasilnya seseorang itu berjaya memiliki sesuatu separti pekerjaan yang baik, tempat tinggal yang selesa dan kemudahan asas yang lain yang diperlukan. Masing-masing juga sudah berkeluarga, hidup bagia bersama isteri dan anak-anak. Bukan mudah mau membina kehidupan yang selesa dan bagia itu. Seseorang itu perlu melalui kesusahan dan pengorbanan bagi memperolehinya. Adakah jika seseorang itu mau memasuki bidang kerohanian dia mesti meninggalkan atau membuang apa saja yang telah dimilikinya itu? Patutkah dia meninggalkan pekerjaan, rumah tangga, isteri, anak-anak dan masyarakat lalu lari ke hutan dan gua?
Orang yang cenderung kepada aliran tarekat tasauf gemar menjadikan kehidupan wali-wali yang dibaca daripada buku-buku sebagai contoh tauladan. Aspek kewalian yang paling menarik perhatian adalah kekeramatan. Kekeramatan dianggap sebagai bukti ketinggian makam seseorang wali itu. Kebisaan wali mengeluarkan kekeramatan dikaitkan dengan sifat zuhud dan bertawakal penuh yang dimiliki oleh wali tersebut. Orang yang berminat kepada tarekat tasauf itu mengandaikan jika mau memperolehi pangkat kewalian dan bisa mengeluarkan kekeramatan, perlulah dia memilih hidup bertajrid sepenuhnya dengan meninggalkan ikhtiar dan dia perlu bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sikap melulu bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Dia lari ke hutan, ke puncakk gunung dan ke gua-gua. Dia mengasingkan dirinya daripada segala-galanya yang dia anggap bisa menghalang perkembangan kerohaniannya. Ketika di dalam pengasingan itu dia meniru cara hidup wali-wali. Dia memaksa dirinya supaya menjadi kuat beribadat dan berzikir. Tidak memperdulikan keselamatan dirinya dan tidak mengambil tahu apa yang berlaku di sekelilingnya.
Biasanya orang yang bertajrid secara melulu ini tidak dapat bertahan lama. Kesabarannya tidak cukup kuat untuk menanggung kesusahan yang mendatanginya semasa dalam pengasingan. Kerinduan kepada anak-anak selalu mengganggu jiwanya. Kecemburuan terhadap isteri yang jauh di mata merisaukan fikirannya. Harta yang banyak ditinggalkan mungkin sudah direbut oleh orang lain. Dia pula tidak dapat makan dengan mencukupi, tidurnya juga tidak selesa. Tubuhnya menjadi lemah dan semangatnya juga lemah. Akhirnya dia tidak tahan lagi menanggung penderitaan dan kegelisahan. Dia lari daripada alam pengasingan dan kembali kepada kehidupannya yang lama. Setelah kembali dia melihat kerugian yang sudah dialaminya selama dia lari ke hutan. Kerugian perlu dituntut ganti. Kali ini dia menggunakan apa juga cara untuk menebus semula masa dan peluang yang telah terlepas daripadanya. Kelakuannya menjadi lebih buruk daripada sebelum dia lari ke dalam alam pengasingan dahulu.
Bertajrid secara melulu memberi kesan yang tidak baik kepada orang yang mencintai jalan kerohanian. Tidak mungkin seseorang yang baru mau memulaikan latihan tarekat kerohanian beramal separti wali-wali yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri. Tindakan mencampakkan segala-galanya yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatkan dia berhadapan dengan jabaran dan dugaan yang menggoncangkan imannya dan bisa menyebabkan dia berputus asa. Dia tidak seharusnya meniru secara melulu kehidupan wali-wali yang sudah mencapai makam keteguhan. Seseorang perlu melihat kepada dirinya sendiri; mengenalpasti kedudukannya, kemampuannya dan daya tahannya.
Ketika masih di dalam makam asbab dia perlu bartindak sesuai dengan hukum sebab akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya. Dia juga perlu mengadakan sebab bagi mensejahterakan kehidupannya. Sebagai persediaan memasuki bidang kerohanian dia terlebih dahulu perlu bergerak di atas landasan sebab musabab yang bisa memperkuatkan daya tahan dan kesabarannya. Dia masih lagi terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih melihat tindakan makhluk mempunyai kesan dan pengaruh. Oleh yang demikian adalah wajar jika dia juga mengadakan tindakan menurut hukum sebab musabab dengan menggunakan bakat kemanusiaannya demi mengatur perancangan dengan rapi agar apa yang dia hajati bisa tercapai. Jika niatnya benar dan baik, perjalanan sebab musabab akan membantunya menuju ke arah yang dihajatinya. Tanda seseorang itu diletakkan di dalam sempadan asbab sebagai kenderaannya menuju matlamat, adalah urusan dan tindakannya menurut peraturan sebab musabab tidak menyebabkannya mengabaikan kewajibannya terhadap tuntutan agama. Dia tetap berasa mudah untuk berbakti kepada Allah s.w.t, tidak menggunakan cara yang diharamkan oleh Allah s.w.t, tidak gelojoh dengan nikmat dunia dan tidak dengkikan nikmat yang Allah s.w.t kurniakan kepada orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum sebab musabab yang tidak menyalahi syarak, jiwanya akan berkembang dengan baik dan teratur, tanpa menghadapi kegoncangan yang dia tidak berdaya menanggungnya. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan menolaknya ke dalam suasana tajrid secara teratur dan selamat. Akhirnya dia mampu bertajrid sepenuhnya.
Dalam kehidupan harian ada juga orang yang dipaksa oleh takdir supaya terjun ke dalam lautan tajrid. Orang ini asalnya tergolong di dalam kumpulan ahli asbab yang hidup menurut hukum sebab musabab separti orang banyak. Kehidupan dalam daerahasbab itu tidak menambahkan kemantapan rohaninya. Dia memerlukan perubahan bidang kehidupan barulah rohaninya bisa berkembang maju. Bagi tujuan menambahkan kekuatan kerohaniannya takdir memisahkannya daripada apa saja yang menghalangnya daripada berjalan kepada Tuhan. Pada peringkat permulaian menerima kedatangan takdir yang demikian, sebagai seorang yang masih terikat dengan hukum sebab akibat, dia akan berusaha sedaya upayanya untuk menahan takdir yang tidak diingininya itu. Bila dia tidak berdaya menolong dirinya sendiri dia akan meminta pertolongan dengan orang lain yang mempunyai kuasa. Kuasa yang ada dengan manusia tidak mampu juga menolongnya menyekat kemaraan takdir yang mendatanginya itu. Dia bisa mengadakan sebab tetapi akibat yang diharapkan tidak berlaku. Dia menghadapi keadaan di mana hukum sebab akibat tidak berdaya menembusi benteng takdir. Setelah puas berusaha dan meminta pertolongan orang lain, dia tidak ada pilihan lagi kecuali lari kepada Tuhan. Dia merayu sambil menangis, memohon Tuhan menolongnya, melepaskannya daripada takdir yang menimpanya itu. Walau bagaimana sekalipun dia merayu namun tangan takdir yang mencengkamnya tidak juga terlepas. Akhirnya dia tidak berkuasa melawan lagi. Dia mengaku kalah dan tunduk kepada perjalanan takdir yang menguasainya. Redalah dia dengan apa juga takdir yang menimpanya. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan, sebaliknya dia menyerah bulat-bulat kepada-Nya. Tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah s.w.t yang bertajrid sepenuhnya. Bila seseorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah s.w.t akan menguruskan kehidupannya.
Beberapa banyak binatang yang melata yang tidak sanggup membawa rezekinya. Allah yang menjamin rezekinya, juga terhadap kamu. Dia Maha Mendengar Maha Mengetahui. ( Ayat 60 : Surah al-‘Ankabut )
Makhluk Tuhan separti burung, ikan, ulat, semut, kuman dan berbagai-bagai lagi tidak memiliki kebun dan kilang makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezeki mereka oleh Tuhan. Manusia tajrid juga dijamin rezekinya oleh Tuhan. Bukan sekadar rezeki yang dijamin oleh Tuhan, malah segala aspek kehidupannya diuruskan oleh Tuhan. Tuhan mencabut kehendak dirinya yang lama dan digantikan-Nya dengan kehendak yang lain yang sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan memeliharanya daripada melakukan apa yang Dia murkai. Apa saja yang Dia mau hantarkan kepada hamba-Nya yang bertajrid, ditapis-Nya agar ia tidak merusakkan iman dan iktikadnya. Dia memelihara hamba-Nya yang demikian daripada gangguan manusia lain yang tidak mengarti. Dia yang membela hamba-Nya yang demikian yang teraniaya. Penjagaan Tuhan terhadap hamba-Nya yang bertajrid melebihi penjagaan seorang ibu terhadap anaknya yang masih bayi. Allah s.w.t menghalang tangan manusia yang kotor dan aniaya daripada sampai kepada hamba-Nya yang menyerahkan urusan kepada-Nya.
Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang hamba-Nya itu dalam daerah tajrid adalah Dia memudahkan baginya rezeki dan penyelesaian masalahnya dengan cara yang tidak disangkanya. Jiwanya dijaga agar senantiasa tenteram walaupun berlaku kekurangan rezeki atau dia ditimpa oleh kesusahan. Allah s.w.t membela hamba-Nya yang bertajrid secara langsung atau dihantarkan-Nya makhluk-Nya untuk membantu hamba-Nya itu. Orang yang berperang dengan hamba Allah s.w.t yang bertajrid sebenarnya berperang dengan Allah s.w.t karena hamba tersebut telah menyerahkan segala urusannya kepada Tuhannya dan Tuhan menghantarkan tentera-Nya yang tidak kelihatan bagi melindungi hamba-Nya yang bertajrid itu.
Seseorang hamba perlulah menerima dengan rela kedudukan yang Tuhan kurniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah s.w.t Yang Maha Mengarti dan Maha Mentadbir. Apa yang penting dilakukan bukanlah mengubah dengan serta merta bentuk kehidupan yang sedang dimiliki. Tumpuan awal hendaklah ditujukan kepada mengubah suasana hati walaupun suasana kehidupan belum berubah. Ketika masih dalam daerahasbab tidaklah wajar jika seseorang mencampakkan segala-galanya. Mulaiilah dengan kehidupan yang sedia ada tetapi dengan suasana hati yang berbeda. Hati hendaklah dipaksakan supaya senantiasa mengingati Allah s.w.t, ada hubungan dengan-Nya. Segala sesuatu dan segala perkara hendaklah dilihat sebagai ada pertalian dengan urusan dan pentadbiran Tuhan. Tidak ada sesuatu yang bebas bergerak sendiri tanpa tadbir Ilahi.
Beriman kepada Qada dan Qadar memainkan peranan yang penting dalam tarekat kehidupan harian. Qada dan Qadar adalah urusan Tuhan. Apa saja yang dinisbahkan sebagai urusan Tuhan walaupun bisa dijelaskan melalui bakat dan nilai yang ada dengan manusia tetapi maksud yang sebenar melampaui penjelasan tersebut. Beriman kepada Qada dan Qadar mengandungi penyerahan tanpa takwil terhadap apa yang tidak mampu diuraikan secara terperinci melalui kekuatan akal, logik dan dalil. Walau bagaimana pun bisalah dikatakan Qada dan Qadar adalah suasana Ilmu Tuhan mengenai segala perkara yang Dia berkehendak menciptakan. Suasana dalam Ilmu Tuhan adalah awalnya itulah akhirnya dan zahirnya itulah batinnya, tidak ada perpisahan. Penciptaan manusia pertama dengan penciptaan manusia terakhir tidak ada jarak masa, ruang dan zaman dalam Ilmu Tuhan, tetapi perkara tersebut ada pada penciptaan yang nyata atau makhluk. Oleh sebab itu Tuhan mengetahui hal-ihwal manusia pertama dan terakhir sekaligus. Tuhan mengetahui yang azali dan yang abadi sekaligus. Tidak ada sesuatu yang melindungi sesuatu yang lain pada pengetahuan Tuhan. Tuhan mengetahui roh seseorang dan pada masa yang sama juga Dia mengetahui jasadnya. Tidak akan berlaku keadaan Tuhan tersalah meletakkan roh kepada jasad yang bukan untuknya. Roh adalah urusan Tuhan. Segala maklumat yang berhubung dengan penciptaan sesuatu makhluk itu telah disimpankan pada roh urusan-Nya itu. Roh urusan-Nya akan bergerak menurut ketentuan yang Tuhan letakkan padanya dan ia mengseret yang di bawah jagaannya menurut ketentuan yang sama. Dengan cara yang demikian apa yang Tuhan telah tentukan pada Ilmu-Nya berlaku dalam alam makhluk.
Qada dan Qadar memperkenalkan Kudrat, Iradat dan Ilmu Tuhan yang menguruskan segala perkara mengenai makhluk separti penciptaan, keutuhan sebagai ciptaan yang mampu mengeluarkan kesan dan ciptaan itu menjadi asas kepada kewujudan di dunia dan di akhirat. Medan takdir menjadi cermin yang padanya manusia dapat melihat sesuatu mengenai Tuhan dan melaluinya manusia mengenal Tuhan. Beriman kepada Qada dan Qadar mempereratkan hubungan hamba dengan Hadrat Tuhan yang “Dia beserta kamu walau di mana kamu berada”; “ Ke mana kamu hadapkan muka kamu di sana ada Wajah Tuhan (perihal tentang Tuhan”; “Tidak ada daya dan upaya melainkan beserta Allah”. Tanpa iman kepada Qada dan Qadar tidak bisa wujud hubungan yang erat di antara hati hamba dengan Tuhan.
Beriman kepada Qada dan Qadar juga membuatkan manusia mengakui keberkesanan bakat-bakat yang Tuhan kurniakan kepadanya menyertai penciptaannya. Pengakuan tersebut membuat manusia menghargai bakat-bakat kurniaan Tuhan itu dan menggunakannya menurut peraturan Tuhan demi mencari keredaan-Nya. Beriman kepada Qada dan Qadar cara begini membuat manusia melihat bakat-bakat dirinya sebagai alat yang Tuhan amanahkan kepadanya untuk dijaga dan digunakan sebaik mungkin. Alat-alat tersebut akan diserahkan kembali kepada Tuhan, Pemilik sebenar yang akan memerikasanya.
Dalam perjalanan takdir seseorang manusia, muncul kehendak diri kepada sesuatu. Bakat-bakat diri digerakkan bagi mendapatkan apa yang dikehendaki itu. Biasa terjadi kekuatan bakat diri tidak mampu mendapatkan apa yang diingini. Kejadian separti ini menambahkan kesadaran manusia kepada Pemilik sebenar yang berkuasa mengatasi hak yang ada pada pengguna. Dengan demikian pengguna akan rasa bersyukur dalam menggunakan alat yang dipinjamkan kepadanya dan dia juga senantiasa ingat kepada Pemilik sebenar, berhajat kepada-Nya dan tunduk kepada keputusan-Nya yang Mutlak. Manusia itu juga sedar bahwa Pemilik sebenar bisa mengambil balik apa yang dipinjamkan-Nya kepada hamba-Nya, pada bila-bila masa yang Dia kehendaki dan tiada siapa dapat menghalang-Nya.
Terjemahan kepada suasana beriman kepada Qada dan Qadar bergantung kepada kedudukan seseorang. Orang yang didudukkan di dalam medan asbab perlu melihat kepada perjuangan, usaha, ikhtiar, doa dan sebagainya dalam melaksanakan tuntutan imannya itu. Orang yang berada dalam medan tajrid tidak melihat kepada perkara-perkara yang demikian. Mata hatinya tertutup daripada melihat kepada kekuatan dirinya dan bakatnya. Walaupun seseorang itu bermakam pada asbab atau tajrid, pasti ada sesuatu yang berlaku pada dirinya, ada perbuatan, perkataan dan lain-lain. Perkara yang berlaku pada ahli asbab adalah serupa dengan yang berlaku pada ahli tajrid. Misalkan, pada ahli asbab ada perbuatan memanjat pokok karena mau memetik buah kelapa. Pada ahli tajrid juga ada perbuatan yang serupa. Ahli asbab melihat perbuatan tersebut sebagai perbuatan dirinya. Dia menggunakan bakat-bakat yang lahir bersama kelahirannya. Ahli tajrid melihat perbuatan tersebut sebagai takdirnya. Takdir yang menggunakan bakat-bakat yang tersimpan pada dirinya. Oleh yang demikian, orang yang berada dalam medan asbab secara fikiran dan perasaannya, tidak seharusnya menggunakan hujah ahli tajrid untuk merombak kepercayaan kepada Qada dan Qadar. Ahli tajrid pula tidak seharusnya menyalahkan uraian mengenai Qada dan Qadar yang dibuat oleh ahli asbab dengan menggunakan fikiran dan perasaan asbab. Mengetahui kedudukan masing-masing bisa mengelakkan perbalahan yang tidak berkesudahan tentang Qada dan Qadar.
Fitnah kehidupan harian lebih banyak mengenai ahli asbab daripada ahli tajrid. Orang tajrid dipertahankan oleh perasaan reda dengan apa juga takdir yang menimpanya. Ahli asbab pula perlu bertahan dengan kepercayaan kepada hari akhirat. Beriman kepada Akhirat menjadi benteng yang mempertahankan ahli asbab daripada jatuh ke dalam jurang kemusnahan, sama ada kemusnahan pada jiwa atau pada akidah apabila berhadapan dengan kegoncangan yang berlaku pada kehidupannya. Akhirat adalah pemisah di antara orang yang beriman dengan orang yang kafir. Di dalam dunia ini orang yang beriman bisa mengadakan ikhtiar sebagaimana yang dilakukan oleh orang kafir, tetapi sering terjadi usaha orang kafir lebih mendatangkan keuntungan. Orang yang beriman mesti meyakini bahwa pengadilan di dunia tidak muktamad. Banyak daripada balasan baik untuk orang yang beriman disimpan di akhirat, bukan karena Tuhan berkira dengan orang yang beriman tetapi karena balasan yang Tuhan sediakan itu tidak layak dimuatkan di dalam dunia. Dunia ini terlalu sempit untuk dimuatkan dengan balasan baik yang Tuhan sediakan untuk orang mukmin. Orang mukmin melakukan kebaikan dengan kekuatan rohani yang berunsur nur atau cahaya. Cahaya bisa meliputi ruang yang luas dan melintasi zaman. Cahaya daripada sebagian bintang mengambil masa beratus tahun untuk sampai ke bumi dan ada pula bintang yang cahayanya tidak akan sampai ke bumi. Cahaya rohani manusia lebih latif daripada cahaya bintang. Nabi Ibrahim a.s yang mempunyai kekuatan rohani yang tinggi, berdoa kepada Tuhan agar Kaabatullah dikunjungi orang bagi mengerjakan haji. Kekuatan doa Nabi Ibrahim a.s yang timbul daripada rohani yang suci bersih itu menarik manusia berduyun-duyun ke Makkah, sehingga ke hari kiamat. Ruang yang ada dalam dunia ini tidak cukup memuatkan balasan kepada kebaikan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s yang hanyalah sepotong doa, belum dicampurkan dengan kebaikan-kebaikan yang lain. Ruang yang cukup luas bagi memuatkan balasan orang mukmin berada di akhirat. Oleh karena orang mukmin perlu menunggu untuk mendapatkan balasannya maka Tuhan menggandakan balasan tersebut.
Keadaan orang kafir berbeda daripada orang mukmin. Orang kafir berbuat kebaikan bukan atas dasar beriman kepada Allah s.w.t. Oleh itu tidak ada balasan kebaikan bagi mereka di akhirat. Balasan kebaikan orang kafir diselesaikan di dunia ini juga. Sebab itulah usaha mereka yang sedikit mendapat pulangan yang banyak. Tuhan senantiasa memberi lebih banyak daripada apa yang mereka usahakan supaya mereka tidak ada hak lagi untuk membuat tuntutan di akhirat.
Allah s.w.t ciptakan manusia sebagai hamba-Nya dan untuk-Nya. Sebab itu hati hamba cenderung untuk kembali kepada-Nya. Dia telah sediakan jalan kembali kepada-Nya. Itulah jalan yang lurus. Orang yang mengikuti jalan yang lurus bartindak sesuai dengan tujuan dia diciptakan dan citarasanya yang asli. Apabila tujuan, tindakan dan citarasa bersepakat akan lahirlah kedamaian dalam hati. Kesejahteraan hati diperolehi di atas jalan yang lurus. Jika seseorang hamba lari dari jalan yang lurus hatinya akan memberontak. Akibatnya dia tidak akan merasakan kedamaian. Dia akan merasakan kekosongan di dalam jiwa. Rasa kekosongan itu menggerakkannya mencari tetapi dia sendiri tidak tahu apa yang dicarinya. Ketidak-pastian yang menguasainya membuatnya mencari menurut sangkaan. Sangkaan tidak menemukannya dengan yang sebenarnya dicari. Bila pencarian berlaku di luar daripada sempadan yang lurus yang ditemui hanyalah bayangan. Bayangan tidak membawa kebagiaan yang sejati. Harta kekayaan, pangkat kebesaran dan lain-lain yang digunakan bagi mencari di luar daripada sempadan jalan yang lurus hanya memberi pulangan yang sia-sia. Hanya jalan yang lurus bisa membawa hamba kepada kebenaran yang dicari. Pada jalan yang lurus, harta dan pangkat akan mendatangkan keberkatan kepada dirinya dan memberi manfaat kepada makhluk Tuhan. Segala pemilikan menjadi alat bagi mendapatkan keredaan Allah s.w.t, berbakti kepada-Nya dan membantu makhluk-Nya. Bila tindakan dibuat sesuai dengan peraturan jalan yang lurus hati akan menjadi damai dan sejahtera. Tiada lagi pemberontakan dan tiada lagi kekosongan.
Suka, duka, senang, susah, bagia, celaka dan semuanya ditanggung oleh hati karena hati yang memerintah sekalian anggota dan hati yang membuat keputusan dan pilihan. Hati perlu diperkuatkan agar ia dapat membuat pilihan yang baik dan benar dan mengawal anggotanya daripada lari ke jalan yang tidak lurus. Kekuatan hati bisa dipartingkatkan dengan amalan zikir. Hati perlu dibenamkan ke dalam suasana zikir sebanyak mungkin. Kekuatan zikir hati menyata sebagai zikir anggota. Bila anggota sudah dikuasai oleh zikir ia tidak lagi keluar daripada jalan yang lurus.
Tarekat kehidupan harian perlu dilakukan dalam suasana hati yang mengingati Allah s.w.t yaitu zikir. Seseorang itu perlu berzikir ketika berjalan, memandu, memasak, berbaring dan pada semua keadaan. Kepenatan bekerja perlu direhatkan dengan zikir. Biar roh zikir menguasai semua aktiviti kehidupan. Berjalan ke bilik mesyuarat dengan zikir, bagi memperolehi keberkatan pada semua keputusan yang akan dibuat nanti. Menunggu kapal terbang sampai dengan berzikir, menaiki kapal terbang dengan zikir dan turun dari kapal terbang juga dengan zikir. Jika seseorang itu dicabut nyawanya maka dia ‘keluar’ bersama ingatan kepada Allah s.w.t.
Selain daripada melakukan zikir beserta kegiatan harian, zikir perlu juga dibuat secara khusus, terutamanya pada waktu malam, setelah segala kegiatan harian berakhir. Zikir secara khusus memudahkan zikir secara perbuatan dan perkataan dalam kehidupan harian.
Zikir mengubah suasana hati. Tarekat kehidupan harian mengubah kerohanian tanpa mengubah penghidupan harian. Orang masih bisa bekerja, menjaga isteri dan anak-anak serta berkhidmat kepada masyarakat. Bila tidak ada perubahan yang mendadak tidak ada pula kegoncangan yang menjabar iman. Dunia dan kehidupannya menjadi tarekat. Takwa (memelihara batasan yang ditentukan Tuhan) menjadi suluk. Perkataannya menjadi zikir, perbuatannya menjadi zikir dan perasaannya juga zikir. Roh amal bagi tarekat kehidupan harian adalah ikhlas. Apabila seseorang sudah berjaya mencapai makam ikhlas dalam menjalani kehidupannya dengan mematuhi perintah Tuhan, sesungguhnya dia sudah memperolehi nikmat yang sangat besar. Dia sudah berjaya mengikuti kehidupan Rasulullah s.a.w dan sahabat-sahabat baginda s.a.w.
31: Tarekat Ujian Bala Bencana
________________________________________
Allah s.w.t memilih dari kalangan orang-orang yang beriman orang-orang yang tertentu bagi menjalankan sesuatu tugas menurut kehendak-Nya. Mereka yang akan diberi tugas khusus akan dibawa melalui latihan kerohanian yang disusun secara langsung oleh Tuhan. Melalui latihan tersebut mereka mengalami perubahan kerohanian sehingga rohani mereka menjadi cukup kuat untuk menanggung beban tugas yang diamanahkan oleh Tuhan.
Latihan kerohanian secara khusus biasanya melibatkan ujian bala bencana. Ujian ditujukan kepada jiwa dan jiwa yang menghadapi tekanan ujian biasanya akan mengadakan tindak balas bagi menghadapi tekanan tersebut. Tindak balas itu membuat jiwa menjadi kuat dan berkemampuan menghadapi keadaan yang kan ditemui semasa menjalankan tugas khusus nanti.
Al-Quran telah menceritakan dengan indah kisah hamba Allah s.w.t yang telah berjalan dalam tarekat ujian bala. Surah Yusuf, surah yang ke dua belas, menceritakan kisah suka duka Nabi Yusuf a.s. Ketika kecilnya beliau a.s didengki dan dikhianati oleh saudara-saudara sendiri. Yusuf a.s dicampakkan ke dalam perigi yang dalam. Beliau a.s terpaksa tinggal di dalam perigi tersebut beberapa lama sehinggalah satu kumpulan pengembara datang ke tempat itu. Yusuf a.s diselamatkan daripada perigi tetapi dijual pula sebagai hamba. Beliau a.s dibeli oleh seorang bangsawan Mesir.
Zaman remaja Yusuf a.s menemukan beliau a.s dengan fitnah kaum wanita. Keelokan paras rupa Yusuf a.s menyebabkan beliau a.s menjadi idaman setiap wanita yang memandang kepada beliau a.s, termasuklah isteri tuannya sendiri. Keremajaan tidak membuat Yusuf a.s hilang pedoman. Beliau a.s berjaya melepaskan diri daripada perangkap wanita bangsawan, isteri tuannya itu, tetapi sebagai natijah kepada keengganannya melayani keinginan wanita tersebut beliau a.s telah dianiaya dan dimasukkan ke dalam penjara. Yusuf a.s menerima semua ujian itu dengan hati yang reda.
Ujian bala bencana yang dihadapinya satu persatu itu telah mematangkan jiwa Yusuf a.s. Bila jiwa beliau a.s sudah cukup kuat, tarekat ujian bala pun berakhir. Datang pula tarekat kehidupan harian. Yusuf a.s dikeluarkan daripada penjara dan dilantik sebagai Perdana Menteri Mesir secara terhormat.
Kisah suka duka Yusuf a.s memberi pengajaran kepada orang yang beriman bahwa hidup ini bukan selalunya senang, selesa dan mudah. Tidak semua yang diidamkan bisa diperolehi dan tidak semua yang dirancangkan bisa terlaksana. Kadang-kadang seseorang itu perlu melalui penderitaan yang lama sebelum menemui kebagiaan. Yusuf a.s telah menempuh semua peringkat penderitaan dengan hati yang sabar dan tabah, senantiasa bertenang tanpa berkeluh-kisah. Setelah tamat tempuh ujian datanglah peringkat mempraktikkan apa yang sudah dipelajari selama berada dalam kursus intensif dahulu.
Nabi Musa a.s juga melalui tarekat ujian bala sebelum diangkat menjadi Rasul. Musa a.s berasal daripada keturunan Bani Israil. Kaumnya ditindas oleh kaum Kibti yang berkuasa. Pemerintah Kibti adalah Firaun. Ketika kaumnya ditindas oleh kaum Kibti, Musa a.s hidup dengan aman di dalam istana Firaun, karena beliau a.s adalah anak angkat Firaun. Kehidupan yang tidak berhadapan dengan jabaran, penderitaan dan kesusahan tidak mampu membuat Musa a.s layak menerima jawatan sebagai Rasul Allah. Oleh itu Musa a.s dibawa kepada tarekat ujian bala bagi memantapkan kerohanian beliau a.s. Musa a.s dengan tidak sengaja telah membunuh seorang Kibti. Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan kaum Kibti. Mereka berpakat untuk membunuh Musa a.s. Musa a.s terpaksa melarikan diri, meninggalkan negerinya dan kesenangan yang dinikmatinya. Beliau a. s terpaksa merantau dari satu tempat ke satu tempat sehingga beliau a.s sampai ke negeri Nabi Syuaib a.s. Beliau a.s tinggal bersama-sama Nabi Syuaib a.s dan bekerja sebagai pengembala kambing. Setelah beberapa tahun kemudian Musa a.s berkahwin dengan anak Nabi Syuaib a.s yang bernama Siti Safar.
Setelah berkahwin Musa a.s membawa isteri beliau a.s merantau. Semasa dalam perantauan itu Siti Safar yang sarat mengandung mengalami kesakitan. Ketika itu hari hujan. Musa a.s tidak dapat menghidupkan api untuk memanaskan isteri beliau a.s. Beliau a.s keluar mencari api. Beliau a.s melihat cahaya api dari kejauhan. Beliau a.s pergi ke sana. Sampai di sana bukan api yang beliau a.s temui. Musa a.s menemui destininya. Beliau a.s menyaksikan kenyataan Tuhan dan beliau a.s diangkat menjadi Rasul.
Sebagai pesuruh Allah s.w.t, Musa a.s menerima perintah yang sangat berat. Beliau a.s mesti kembali kepada kaum Bani Israil dan kaum Kibti, menyeru mereka supaya kembali kepada ajaran tauhid. Musa a.s mesti berhadapan semula dengan kaum yang masih lagi menyimpan dendam mau membunuh beliau a.s. Perintah Allah s.w.t mesti dilaksanakan tanpa ragu-ragu dan dengan membuang segala kepentingan diri sendiri.
Tarekat ujian bala bermulai daripada manusia yang pertama lagi. Adam a.s dan Hawa hidup senang lenang di dalam syurga. Kehidupan syurga adalah abadi. Di dalamnya tidak ada kematian, tidak ada penyakit, tidak ada susah, tidak ada panas, tidak ada lapar dan tidak ada apa saja yang tidak menyenangkan. Rupanya kehidupan syurgawi tidak cukup untuk memantapkan kerohanian seseorang manusia bagi mencapai makam pilihan Tuhan dan mampu menanggung tugas khusus yang Tuhan tentukan. Selama Adam a.s tinggal di dalam syurga beban sebagai khalifah di bumi tidak dipikulnya. Beliau a.s perlu menjalani perubahan bentuk kehidupan, untuk itu beliau a.s dihantar ke bumi, ke dalam dunia. Di bumi Adam a.s menjalani tarekat ujian bala. Beliau a.s mesti menjalani tarekat yang ada kematian, ada penyakit, ada kesusahan, ada panas, ada lapar ada berbagai-bagai perkara yang tidak menyenangkan. Tarekat ujian bala mengajar dan memperkenalkan apa yang tidak dialami dan dikenal di dalam syurga, dengan demikian pengalaman dan pengenalan Adam a.s menjadi sempurna. Barulah Adam a.s layak memikul tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Mahkota khalifah itu hanya bisa dipakai oleh Adam a.s setelah beliau a.s menjalani tarekat ujian bala dan memasuki pintu taubat. Ujian bala bencana dan taubat adalah dua perkara yang sangat penting dan berkesan dalam menaikkan taraf kerohanian seseorang insan.
Umat manusia yang dari keturunan Adam a.s akan mengulangi kesilapan yang pernah dilakukan oleh bapa mereka itu. Bahang syurgawi dirasakan juga oleh keturunan beliau a.s. Syurga adalah kekal abadi dan manusia merasakan tempat mereka tinggal ini juga abadi. Semasa di dalam syurga Adam a.s sangat menginginkan kehidupan yang abadi dan itulah yang membuatnya bisa diperdayakan oleh iblis supaya memakan buah daripada pokok larangan yang kononnya bisa membuatkan Adam a.s menjadi abadi di dalam syurga. Keturunan Adam a.s juga akan mendekati pokok larangan di dalam dunia karena menyangkakan ia akan membuat mereka hidup kekal di dalam dunia. Pokok larangan di dalam dunia itu adalah hawa nafsu. Orang yang merasai buah daripada pokok hawa nafsu akan merasakan dunia ini sebagai syurga yang kekal abadi. Timbullah keasyikan kepada dunia dan lalailah mereka di dalam arus keseronokan. Dalam kelekaan itulah mereka dijajah oleh iblis.
Ketika manusia sedang asyik di dalam kelekaan dan dikuasai oleh iblis itu, jatuhlah kemurkaan Allah s.w.t ke atas mereka. Hancurlah syurga dunia mereka. Lenyaplah khayalan mereka tentang keabadian dunia dan kelazatan hawa nafsu. Tahulah mereka bahwa hawa nafsu adalah pokok larangan yang membuat manusia lupakan amanat Allah s.w.t. Manusia yang telah menerima padah daripada pokok larangan itu akan menjadi menyesal. Mereka bertaubat bersungguh-sungguh kepada Tuhan. Bercucuranlah air mata mereka membasahi pipi, misai dan janggut. Sujudlah mereka ke Hadrat Ilahi Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Taubat telah menjadikan Adam a.s sebagai manusia pilihan dan diberi kedudukan istimewa sebagai khalifah Allah di bumi. Taubat juga menjadikan keturunan Adam a.s sebagai manusia pilihan yang akan meneruskan tugas kekhalifahan di bumi. Manusia yang diseret kepada taubat adalah manusia istimewa yang dipilih oleh Allah s.w.t untuk mendapatkan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Seseorang hamba yang akan memikul tugas kekhalifahan di bumi akan dipersiapkan melalui cara yang sesuai bagi memantapkan kerohaniannya. Ujian bala bencana merupakan satu bentuk latihan yang perlu bagi membentuk kewibawaan seseorang. Orang yang dibawa kepada tarekat ujian bala dipisahkan daripada kesenangan dan puncak yang menyenangkannya. Dia dikeluarkan daripada alam keasyikan dan kelalaian. Beban dunia yang sedang dipikulnya, separti kebesaran, kemuliaan dan kekayaan dicabut daripadanya. Dia dijadikan miskin sesudah kaya, hina sesudah mulia dan kerdil sesudah berkedudukan tinggi. Hamba yang melalui tarekat kemiskinan ini akan menjadi sangat miskin sehingga dia hampir-hampir mengemis untuk mendapatkan keperluannya. Tuhan selamatkannya daripada menjadi pengemis. Dibukakan sedikit pintu rezeki untuknya. Bekerjalah dia sesuai dengan bidang rezeki yang dibukakan kepadanya. Bidang kerja peringkat ini berbeda daripada bidang kerja yang lalu. Kali ini medan rezeki yang bisa diterokainya sangat sempit, tidak memadai untuk dia menyelesaikan masalah kehidupan yang dihadapinya, hinggakan dia hampir-hampir meminjam. Bila dia sampai hampir kepada keadaan akan meminjam, Tuhan bukakan sedikit lagi bidang rezekinya. Selamatlah dia daripada keperluan meminjam.
Latihan melalui tarekat ujian bala sehingga ke peringkat ini sudah berjaya menghancurkan sebagian besar daripada keegoan dirinya. Dia sudah sampai ke pintu mengemis dan meminjam. Tuhan selamatkannya daripada mengemis dan meminjam karena masih ada lagi sisa-sisa ego diri yang menghalangnya untuk mengemis dan meminjam dengan rela. Ujian bala bencana kan terus menekan keegoan dirinya sehingga sisa-sisa itu juga terhapus. Dia memasuki peringkat latihan kerohanian yang lebih berat. Pada peringkat ini pintu rezekinya ditutup sama sekali sehingga tidak ada jalan langsung untuknya mencari rezeki. Pintu meminjam juga tertutup baginya. Tuhan menghalang tangan manusia daripada memberinya pinjaman. Hiduplah dia dalam keadaan yang sangat susah. Beban berat yang menekan jiwanya itu menyebabkan hatinya ‘pecah’. Peringkat ini merupakan peringkat peralihan kepada perkembangan kerohaniannya. Dirinya yang lama ‘digantikan’ dengan diri yang baru. Hati yang telah ‘pecah’ itu ‘digantikan’ dengan hati yang baru. Dalam suasana hati yang baru inilah dia dapat merasakan sesuatu hubungan yang unik dengan alam ghaib. Dia merasakan seakan-akan petunjuk dan bimbingan ghaib mendatangi hatinya. Dia merasai kemunculan gerak hati yang datang dari daerah kesadaran yang dalam. Gerak hati yang demikian menguasai jiwanya. Dia bergerak dan melakukan sesuatu dengan ‘arahan’ atau cetusan rasa yang seni, yang kuat menguasai hatinya dan dia yakin dengan cetusan rasa tersebut. Cetusan rasa atau gerak hati itulah yang menjadi pembimbingnya. Pada tahap ini barulah dikatakan dia benar-benar memasuki bidang kerohanian.
Dia memasuki latihan kerohanian peringkat selanjutnya. Dia menerima cetusan rasa, gerak hati atau ‘perintah dari dalam’ agar dia mendapatkan apa yang diperlukan dengan cara meminta kepada orang lain. Tuhan bukakan tangan orang banyak supaya memberi kepadanya. Jika dia meminta dia akan memperolehi apa yang diperlukannya dan jika dia enggan meminta dia tidak akan memperolehi apa-apa. Peringkat meminta-minta ini merupakan latihan menghancurkan keegoan tahap paling halus. Sisa-sisa ego diri terhapus daripada hatinya. Tidak ada apa-apa lagi baginya kecuali mematuhi cetusan rasa atau gerak hati yang dinisbahkan kepada ilham yang dihantar oleh Tuhan. Perbuatan meminta-minta kepada orang lain tidak sedikit pun membuatnya berasa aib. Apabila orang banyak memberi apa yang dia minta, bertambahlah keyakinannya bahwa gerak hatinya adalah benar. Akhirnya dia sampai kepada tahap kematangan jiwa tanpa ego diri. Jadi, latihan di atas tidak diperlukannya lagi.
Bentuk latihan kerohaniannya diubah daripada meminta kepada meminjam. Tuhan bukakan hati orang banyak yang berkemampuan untuk memberinya pinjaman, walaupun pada zahirnya kelihatan dia tidak akan mampu membayar pinjaman tersebut. Dalam peringkat meminta-minta dahulu dia melihat makhluk sebagai sumber rezekinya. Pada peringkat meminjam ini pula dia melihat rezekinya datang daripada Tuhan melalui makhluk. Walaupun tangan manusia menghulurkan bantuan kepadanya tetapi dia melihat ‘Tangan’ Tuhan yang sebenarnya memberi. Dia melalui proses latihan yang demikian beberapa lama. Kemudian bentuk latihan diubah lagi.
Dalam peringkat latihan kerohanian yang berikutnya dia tidak bisa lagi melihat makhluk sebagai sumber rezeki dan juga tidak bisa bergantung kepada Tuhan melalui makhluk. Dia dibawa kepada suasana mesti bergantung kepada Tuhan semata-mata, tiada perantaraan. Pada peringkat ini Tuhan putuskan hubungannya dengan makhluk. Orang-orang yang dahulunya tidak keberatan memberi apa saja yang dia meminta dan meminjam, kini terhalang berbuat demikian. Tangan makhluk tertahan daripada memberinya sesuatu jika dia meminta kepada mereka. Dia hanya bisa meminta kepada Tuhan secara langsung. Jika dia memerlukan sesuatu, dia hanya perlu menadah tangannya, memohon kepada Tuhan, pasti Tuhan akan hantarkan apa yang diperlukannya itu melalui cara yang Dia pilih. Latihan yang begini membuat hatinya bergantung kepada Tuhan saja, tidak lagi melihat keberkesanan makhluk.
Kemudian latihan yang dikenakan kepadanya diubah dalam bentuk lain pula. Dia hanya bisa meminta kepada Tuhan dengan hatinya, dengan berharap penuh kepada Tuhan, tanpa ucapan lisan, tanpa menadah tangan. Jika dia meminta dengan lisan atau menadah tangan dia tidak akan memperolehi apa yang diperlukannya. Jika dia meletakkan harapan kepada Tuhan di dalam hatinya Tuhan akan memberi. Latihan begini menambahkan kesadaran dan penghayatannya bahwa Tuhan mengetahui yang zahir dan yang batin, yang diucapkan dengan lidah dan yang dibisikkan oleh hati, yang meminta dan yang mengharap. Bertambahlah pengenalannya tentang Tuhan.
Apabila dia sudah mengenali Tuhan secara demikian, dia dibawa kepada suasana latihan yang lain pula. Pada peringkat ini dia tidak bisa meminta apa-apa, baik secara lisan atau pengharapan dalam hati. Dia tidak bisa lagi berdoa atau menyampaikan hajatnya kepada Tuhan. Jika dia meminta atau berharap, apa yang diminta dan diharapkan itu tidak akan diperolehinya. Dia hanya bisa menyerah sepenuhnya kepada Tuhan. Terserah kepada-Nya mau memberi atau tidak dan apa yang mau diberi-Nya. Dalam suasana yang demikian dia dapati Tuhan tetap memberikan keperluannya walaupun dia tidak meminta dan mengharap. Tuhan tetap memeliharanya dan memberikannya apa yang patut. Pada peringkat ini dia mengenali Tuhan al-Karim yang memberi apabila diminta, memberi tanpa diminta, memberi hanya dengan hamba berhajat saja, memberi menurut keperluan hamba tanpa hamba meminta atau berharap, memberi yang lebih baik daripada apa yang hamba minta atau harapkan, memberi pada waktu yang sesuai hamba menerimanya dan memberi tanpa had, tanpa terpengaruh kepada permintaan, harapan atau kehendak siapapun pun. Allah s.w.t adalah Tuhan yang berbuat apa yang Dia kehendaki. Pada tahap ini tidak ada lagi kehendak dan hawa nafsu yang mengingkari Tuhan pada si hamba itu. Inilah peringkat kewalian umum. Peringkat seterusnya bergantung kepada tugas khusus yang akan dipikul oleh hamba yang mencapai kewalian umum itu. Dari kalangan wali-wali yang umum itulah dipilih dan diberi latihan yang lebih khusus untuk menjalankan sesuatu tugas yang Tuhan kehendaki bagi manfaat makhluk-Nya.
Latihan kerohanian yang disusun oleh Tuhan secara langsung atau yang diistilahkan sebagai tarekat ujian bala memberi kesan yang lebih mendalam dan lebih cepat dalam mempartingkatkan kekuatan rohani, berbanding dengan latihan secara suluk dan lain-lain. Para sahabat Rasulullah s.a.w yang melalui tarekat ujian bala tidak perlu memasuki tarekat yang ada suluk atau khalwat, tetapi mereka merupakan golongan yang paling teratas dalam senarai wali-wali Allah s.w.t. Latihan secara bersuluk dan berzikir adalah jalan biasa, sementara pembentukan kerohanian secara ujian bala bencana adalah jalan pintas yang cepat menyampaikan kepada matlamat. Ahli ibadat dan ahli zikir mungkin mengambil masa dua tahun untuk mencapai tahap kerohanian yang dicapai oleh ahli bala dalam masa dua bulan.
Istilah ujian membawa maksud yang sangat luas. Ujian bisa ditakrifkan sebagai rangsangan atau pengaruh alam benda kepada rohani manusia. Alam benda pada hakikatnya tidak mempunyai sebarang kekuasaan dan kekuatan, tetapi percantumannya dengan alam rohani menyebabkan alam benda mampu mengeluarkan kesan dan pengaruh. Kesan dan pengaruh alam benda itu tertuju kepada rohani, yaitu menarik rohani agar melupakan kedudukannya yang asli yang hanya tahu bertauhid. Maksud ujian yang sebenarnya adalah ujian kepada pegangan tauhid. Rohani yang berpegang kepada tauhid diuji apakah alam benda akan membuatnya melakukan syirik. Dalam segi ini bisalah dikatakan kewujudan alam benda hanyalah daya yang merangsang untuk menguji rohani. Ujian tersebut menjadi dalil sama ada rohani mampu bertahan dalam tauhid dan sampai kepada kedudukannya sebagai amr Tuhan atau pun jatuh ke dalam lembah syirik. Rohani yang dapat bertahan menerima ujian alam benda akan mengasihi Tuhan dan merindui-Nya. Rohani yang tewas di dalam ujian itu akan memanjai syahwatnya dan meletakkan sepenuh perhatian kepada alam benda.
Tujuan latihan kerohanian sama ada dengan cara berzikir atau ujian bala bencana adalah untuk mengeluarkan apa saja yang selain Allah s.w.t daripada hati. Hati hanya layak diisi dengan Allah s.w.t, kecintaan kepada-Nya dan ketaatan kepada-Nya, sementara yang selain-Nya hanya layak duduk di pinggiran saja. Bagi mencapai tahap ini diperlukan kesabaran. Kesabaran merupakan sumber kepada segala kebaikan dan melaluinya orang yang beriman dapat meningkat kepada taraf menyerah diri dengan sepenuh kerelaan kepada Tuhan. Daripada makam sabar orang mukmin melompat ke makam reda. Ketika di dalam makam kesabaran ada perjuangan menentang yang batal. Bila sudah sampai kepada makam reda perjuangan tidak ada lagi karena yang batal sudah hancur. Tipu daya syaitan, rangsangan hawa nafsu dan tarikan dunia tidak ada kuasa terhadap orang yang reda sepenuhnya dengan peraturan dan kehendak Allah s.w.t. Hati yang demikian dinamakan hati yang bertauhid.
Pada peringkat permulaian menerima ujian daripada Tuhan si hamba banyak berdoa memohon Tuhan mengangkatkan kesusahannya dan memberikannya kesenangan. Tuhan tidak menerima rayuannya dan dia dibiarkan berterusan di dalam kesusahan. Dia menghadapi perjuangan batin yang hebat. Senjatanya adalah sabar. Dia bersabar dan terus bersabar sambil meletakkan harapan kepada Tuhan. Setelah beberapa lama, kesusahan dan masalah yang dihadapinya tidak juga terangkat daripada bahunya, mulailah berubah pandangannya. Dia mulai menilai kembali apa yang menyusahkan dan menjadi masalahnya itu. Penilaian semula membuatnya melihat bahwa perkara yang dianggap sebagai kesusahan dan masalah itu sebenarnya bukanlah perkara besar yang perlu ditakuti untuk bertembung dengannya. Kesusahan dan masalah itu timbul daripada keinginannya terhadap sesuatu dan yang diingininya itu bukanlah sesuatu yang berharga, terutamanya pada sisi Tuhan dan pada kehidupan akhirat. Dia menyedari bahwa dia hanya mengejar sesuatu yang tidak berharga, yang diingini oleh hawa nafsunya, dan dia lari daripada sesuatu yang sangat berfaedah. Berubahlah keadaan hatinya dan hilanglah keinginannya kepada apa yang dia maukan selama ini. Bila dia dapat mengalahkan keinginannya maka menanglah rohaninya. Rohani mulai celik dan melihat kepada perjalanan takdir Tuhan, tidak lagi melihat kepada kekuatan makhluk yang bergerak di dalam arus takdir. Dia melihat bahwa segala perkara berada di dalam genggaman Tuhan. Tidak ada siapapun yang berkuasa mendatangkan kebaikan dan kemudaratan kecuali dengan izin Allah s.w.t. Fanalah dia dalam lautan takdir.
Kefanaan di dalam lautan takdir memperlihatkan aspek ketuhanan pada segala kejadian. Dia melihat Tuhan yang mentadbir dan mengurus. Jika dia memperolehi sesuatu pengetahuan dia merasakan Tuhan yang mendatangkan pengetahuan itu kepadanya. Keadaan ini membuatnya merasakan seolah-olah Tuhan bertutur-kata dengannya. Bertambahlah keseronokannya mengenang Tuhan dan bertambahlah keinginannya mau menghampiri Tuhan. Orang yang berada pada peringkat ini tidak berminat lagi untuk mendampingi makhluk Tuhan. Dia lebih suka bersendirian sambil mendengar ‘tutur-kata’ Tuhan. Fikirannya telah bebas daripada urusan orang banyak dan dunia seluruhnya. Dia juga telah membuang usaha dan ikhtiar untuk mendapatkan sesuatu. Dia tidak lagi menggunakan cara keduniaan untuk mendapatkan sesuatu faedah atau menghindarkan sesuatu bahaya. Dia bergantung dan menyerah bulat kepada Tuhan. Ini menandakan dia sudah berjaya menundukkan hawa nafsunya. Apabila dia maju ke hadapan lagi dia sampai kepada suasana tidak mempunyai sebarang matlamat dan tujuan, baik berupa keduniaan atau pun keakhiratan. Maksud dan tujuannya hanya satu, yaitu Allah s.w.t. Ini menandakan dia tidak lagi dikuasai oleh sebarang kehendak dan keinginan. Pada tahap ini apa yang muncul daripadanya terjadi secara spontan, tanpa berfikir atau merancang dan pada masa yang sama dia merasakan kedamaian dan kelazatan berhubungan dengan Allah s.w.t.
Apabila hawa nafsu, kehendak diri dan segala sesuatu telah hancur dari hatinya, maka hati itu menjadi sesuai untuk diisi dengan kehendak Allah s.w.t. Allah s.w.t menjadikannya insan baru yang dilengkapi dengan kehendak dan tenaga yang baru. Kehendaknya sesuai dengan kehendak Allah s.w.t dan tenaganya bergantung kepada kekuasaan Allah s.w.t. Allah s.w.t akan memeliharanya agar sisa-sisa nafsu dan kehendak diri tidak kembali menguasainya. Apabila sisa-sisa nafsu dan kehendak diri mencoba muncul, Allah s.w.t akan menghancurkannya sehingga selamatlah hamba itu berada di dalam suasana yang baru. Bila hamba telah sesuai dengan Allah s.w.t, perintah-Nya, peraturan-Nya dan kehendak-Nya, maka seluruh alam akan tunduk kepada hamba Allah itu. Bila hamba menetap di dalam menjaga agar tidak terjerumus ke dalam yang haram, maka apa saja yang haram akan lari daripadanya walau di mana dia berada. Begitulah keadaan wali Allah (hamba yang dipelihara dan dilindungi oleh Allah s.w.t).
Di dalam tarekat ujian bala si hamba bukan saja menjadi sasaran anak panah bala, malah kadang-kadang dia juga menjadi busur panah yang menghantar bala kepada orang lain, separti peranan tanah, air, api dan angin yang menyampaikan bala kepada makhluk Tuhan. Bila Tuhan perintahkan air menghanyutkan apa saja, api membakar apa saja, angin menerbangkan apa saja dan tanah menimbuskan apa saja tanpa kasihan belas atau timbang rasa dan tidak ada ragu-ragu. Suami dipisahkan daripada isteri. Anak-anak dipisahkan daripada ibu bapa. Pemilik dipisahkan daripada harta miliknya. Tanaman dipisahkan daripada peladang. Ternakan dipisahkan daripada penternak. Hamba Tuhan yaitu manusia, juga sering berfungsi sebagai alat yang menyampaikan bala kepada orang lain. Khaidir a.s diperintahkan menebuk kapal dan membunuh kanak-kanak yang masih kecil. Ibrahim a.s diperintahkan menyembelihkan anaknya sendiri. Manusia lain juga biasa mendatangkan kesusahan kepada orang lain. Ada orang yang terlanggar orang lain dan menyebabkan kematiannya, meninggalkan isteri dan anak-anak tanpa tempat bergantung. Ada pula orang yang tertembak rakan sendiri semasa berburu. Ada juga kejadian seorang yang membawa anak tetangganya bermain di pantai dan si anak tersebut mati lemas. Menjadi alat yang menyampaikan bala kepada orang lain lebih berat daripada menjadi sasaran bala, tetapi bila Tuhan kehendaki, perkara yang demikian tetap juga berlaku. Bila hamba reda menerima ujian bala dari Tuhan dan reda juga menjadi alat menyampaikan bala maka Allah s.w.t pun reda kepadanya:
Wahai nafsu muthmainnah! Kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan reda (dan) diredai. Yaitu masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam syurga-Ku. (Ayat 27 – 30 : Surah al-Fajr )
Hamba pilihan Tuhan dibawa kepada sesuatu matlamat yang khusus untuknya. Jika muncul di dalam hatinya sesuatu yang bisa mengubah haluannya menuju matlamat yang ditetapkan oleh Allah s.w.t, akan didatangkan ujian kepadanya agar kecenderungan yang mencoba memesungkannya itu segera hilang dan dia kembali kepada haluan yang betul. Demikianlah hamba pilihan itu dijaga agar hatinya tidak terpengaruh dengan apa saja yang selain Allah s.w.t. Melalui proses yang demikian hatinya menjadi bersih dan langkahnya akan senantiasa berada di atas jalan yang lurus. Kesabarannya menghadapi ujian menjadi bertambah kuat. Bila Allah s.w.t reda dengannya, Dia akan menjaganya dan menyelamatkannya daripada kejahatan makhluk-Nya. Hati hamba itu menjadi kuat dalam mengawal anggotanya. Derajat takwanya bertambah dan tenteramlah dia di sisi Tuhan Yang Maha Perkasa.
Orang mukmin pilihan melalui dua peringkat kehidupan. Dalam peringkat pertama dia hidup dalam kesejahteraan, keberkatan dan menerima nikmat yang tidak terhingga. Perjalanannya sesuai dengan peraturan Tuhan. Rumah tangganya aman damai. Pekerjaan yang dibuatnya mendatangkan keberkatan. Doanya sangat makbul. Dia memperolehi ilmu yang halus-halus dan diberi pula kesempatan untuk menyaksikan perkara ghaib. Hiduplah dia dalam kedamaian, kesejahteraan, tidak diganggu oleh apa-apa pun. Kehidupan yang demikian menetap padanya beberapa lama sehingga dia menyangkakan itulah penetapan dan makamnya.
Kemudian datanglah peringkat kehidupannya yang kedua. Secara tiba-tiba saja Tuhan melontarkan batu-batu ujian kepadanya. Dia ditimpa oleh bala yang datang berturut-turut dan dari berbagai-bagai jurusan. Dia tidak berupaya menahan apa yang datang itu. Seluruh kehidupannya dibolak-balikkan oleh gelombang ujian. Dia menghadapi kesusahan dan penderitaan yang amat sangat. Perubahan yang berlaku secara mendadak itu membuatkan orang mukmin tadi tercengang-cengang, tidak mengarti. Dia kehilangan segala yang berharga. Orang-orang yang segolongan dengannya terpisah daripadanya tanpa sesuatu sebab yang kukuh. Dia tidak dapat mencari penjelasan. Jika datang sesuatu alamat atau mimpi dia tidak mampu menguraikannya. Dia kehilangan pedoman untuk memahami sesuatu perkara yang sampai kepadanya. Bila dia membuat sesuatu janji dia tidak pasti apakah dia dapat melaksanakan janji tersebut. Bila dia berdoa tidak ada tanda-tanda yang doanya akan dimakbulkan. Bila dia mencoba merenung ke dalam lubuk hatinya untuk mencari sesuatu keterangan, dilihatnya hatinya dibungkus oleh kejahilan. Apa juga cara yang digunakannya hanya kekecewaan yang ditemuinya. Hanya nasib malang yang menyata pada penglihatannya. Dia ditinggalkan dalam keadaan demikian beberapa lama. Dalam keadaan yang sudah sangat berat itu kadang-kadang kesusahan dan penderitaan ditambah lagi ke atas bahunya. Hatinya digoncangkan dengan sesungguhnya. Masuklah dia ke dalam ruang di mana semua pintu tertutup dan semua langkah terikat. Pada masa itu hatinya akan menjadi kosong. Tidak ada apa-apa lagi yang tinggal dalam hatinya. Tabiat dan sifat kemanusiaannya hilang terus. Kesadarannya terhadap dirinya tidak ada lagi. Dia tidak memperdulikan lagi kesusahan dan penderitaan yang menimpanya. Tatkala itu dia hanya mempunyai kesadaran rohani semata-mata.
Ujian yang datang dengan hebatnya secara bartimpa-timpa telah menghancurkan dirinya yang mempunyai kehendak dan nafsu, yang sebelum itu datang dan pergi bersilih ganti Setiap kali diri yang hilang itu kembali ia menggerakkan sisa-sisa nafsu dan kehendaknya yang masih tinggal. Ujian yang datang dengan hebat itu telah benar-benar menghapuskan sisa-sisa nafsu, keinginan dan syahwatnya. Barulah dia benar-benar mencapai tahap yang suci murni yaitu kesucian roh sebelum berkait dengan jasad. Barulah dia benar-benar masuk ke dalam makam penetapan yang tidak akan berubah lagi. Bebaslah hatinya daripada lintasan dan rangsangan. Pancainderanya tidak ada kekuatan lagi untuk melakukan maksiat. Dia adalah umpama malaikat suci yang dipelihara daripada dosa dan noda. Allah s.w.t pun membuka pintu rahmat dan keredaan-Nya. Hatinya dipenuhi oleh cahaya iman dan ilmu. Dia dikembalikan kepada kedudukannya yang mulia. Keberkatan dan kesejahteraan hidup dikurniakan semula kepadanya. Dia menjadi tumpuan orang banyak. Mereka bersedia untuk berkhidmat kepadanya. Manusia dari berbagai-bagai lapisan mengunjungi dan memuliakannya. Dia dipelihara secara zahir melalui makhluk tetapi pada hakikatnya melalui kasih sayang dan rahmat Allah s.w.t. Bila dia sudah sampai kepada makam penetapan keadaan yang ada dengannya berkekalan sehingga dia meninggal dunia dan kembali kepada Tuhannya.
Orang yang sedang dilatih pada jalan kerohanian akan mengalami ujian yang mengubah suasana hatinya. Perkara biasa jika doa mereka menjadi tidak makbul sesudah makbul, perkataannya tidak terlaksana sesudah ia mudah menjadi kenyataan. Ada orang yang diberi kebisaan untuk mengobati penyakit. Apa saja penyakit yang diobatinya akan sembuh. Kemudian keadaan berubah. Apa saja penyakit yang diobatinya tidak akan sembuh. Sesudah itu dia masuk kepada suasana di mana kadang-kadang sembuh dan kadang-kadang tidak sembuh, ada doanya yang makbul dan ada yang tidak makbul, ada firasatnya yang menyata dan ada yang tidak. Latihan yang demikian perlu bagi meyakinkannya bahwa dia tidak akan terlepas daripada pergantungan dengan Allah s.w.t walau dia berada pada makam mana sekali pun. Timbullah keyakinannya bahwa pada setiap makam kerohanian mesti ada pengharapan dan ketakutan kepada Allah s.w.t. Hamba Allah yang dijaga akan ditetapkan untuk menyaksikan kehambaannya pada setiap masa, pada semua makam. Siapapun yang inginkan kejayaan pada jalan kerohanian dan mencapai ketetapan, hendaklah melazimi kehambaan sepanjang masa dengan sebenar-benar kehambaan pada segala keadaan dan makam.
Orang yang belum mencapai makam penetapan perlu berwaspada dengan dirinya sendiri. Dirinya yang menjadi sumber kepada nafsu dan berbagai-bagai keinginan akan kembali kepadanya dan meninggalkannya beberapa kali. Setiap kali ia datang ia akan mencoba mengseretnya kepada apa yang telah ditinggalkannya sebelum tenggelam ke dalam lautan kerohanian dahulu. Ketika ia muncul seketika itu, timbullah keinginannya kepada harta, perempuan dan kedudukan yang pernah dimiliki dan dikasihinya dahulu. Nafsunya meminta dipuaskan dan keinginannya meminta dipenuhi. Nafsu dan keinginannya meminta dia kembali kepada alam yang telah ditinggalkannya. Oleh yang demikian, berhati-hatilah dengan diri sendiri. Jihad terhadap diri perlu dilakukan secara berterusan. Jangan terpedaya dengan helah hawa nafsu dan keinginan yang banyak muslihatnya. Berjihadlah sehingga ia tidak kembali lagi buat selama-lamanya. Barulah diri itu bangkit semula sebagai insan baru, bertenaga baru, berpandangan baru, mempunyai selera dan citarasa baru, berwawasan baru dan segala-galanya pada dirinya adalah baru yang melayakkannya bergelar hamba Tuhan.
Orang yang sedang melakukan mujahadah perlu mendirikan benteng di sekeliling hatinya. Hati itu perlu dipelihara agar apa saja yang selain Allah s.w.t tidak dapat masuk ke dalamnya. Hati mesti dipertahankan dengan pedang tauhid. Apa saja yang mau masuk ke dalam hati dan menjabar kedudukan Allah s.w.t mestilah dipancung dengan pedang tauhid sehingga bebaslah hati daripada yang selain Allah s.w.t. Hati hanya dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah s.w.t, ketaatan kepada Allah s.w.t, penyembahan hanya untuk Allah s.w.t, pemujian hanya untuk Allah s.w.t dan tidak ada apa lagi yang menjabar kedudukan Allah s.w.t pada hatinya. Bila keadaan ini sudah sebati dalam hatinya Allah s.w.t memasukkannya ke dalam pemeliharaan-Nya (kewalian). Tugas mengawal hatinya diambil alih oleh tentera-tentera Allah s.w.t yang bertugas melindunginya secara berterusan dengan menggunakan pedang tauhid. Syaitan, hawa nafsu kebinatangan, pengaruh dunia dan makhluk yang merusakkan, angan-angan kosong dan apa saja yang tidak baik tidak berupaya lagi menawan hati hamba yang dipelihara oleh Allah s.w.t. Keberkatan, kekeramatan dan kemuliaan yang dikurniakan kepadanya tidak menggoncangkan hatinya. Isteri-isteri, anak-anak dan kaum keluarganya dijaga agar tidak menjadi fitnah kepadanya. Apa saja yang daripada dunia ditapis terlebih dahulu sebelum sampai kepadanya agar yang datang itu tetap bersih dan tidak membahayakannya. Beban yang ditanggungnya akan diangkatkan supaya tidak ada lagi penguasaan makhluk ke atasnya. Jadilah dia hamba yang merdeka daripada sekalian makhluk. Dia hanya memperhambakan dirinya kepada Tuhan. Dia masuk ke dalam penjagaan ar-Rahim yang mendakapnya dengan rahmat, kasih sayang dan keredaan-Nya. Penghidupannya adalah berenang dalam lautan takdir, bartindak secara spontan menurut firasat hatinya yang dipenuhi oleh nur suci.
Tanda seseorang itu telah sampai kepada makam takdir dan berada dalam ketetapan adalah Tuhan mengembalikan keinginannya (dalam keadaan terpelihara) dan dia diperintahkan supaya mengambil bagiannya yang selama ini disimpan bagi keselamatannya. Bagiannya itu ditahan buat sementara karena dia masih di dalam perjalanan dan belum mencapai ketetapan. Tanpa ketetapan hati apa yang diingini bisa merusakkan hati itu sendiri. Bila dia sudah memperolehi ketetapan dia bisa menerima bagiannya tanpa dicederakan oleh apa yang diterimanya itu. Apa yang diperuntukkan kepadanya hanya dia yang berhak mengambilnya. Tidak ada siapapun yang dapat merebut haknya.
Allah s.w.t menetapkan keadaan hamba-Nya itu sebagai manusia biasa yang bertubuh badan dan hidup di dalam dunia supaya Dia dapat menyerahkan haknya yang Dia sebagai Pemegang amanah telah menyimpannya demi kebaikan si hamba itu sendiri. Bila hatinya sudah teguh dan kuat, tidak bisa digugat oleh apa yang diperuntukkan kepadanya, maka ia diserahkan kepadanya untuk dinikmatinya sebagai balasan terhadap perjuangannya menahan diri dan melawan hawa nafsu. Allah s.w.t bukakan pintu-pintu kebaikan supaya nyatalah kedudukannya pada sisi-Nya dan terbuktilah kebenaran janji-janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mentaati-Nya. Allah s.w.t bukakan keinginannya terhadap apa yang disediakan untuknya dan dia digerakkan supaya meminta yang demikian. Permintaannya pasti dimakbulkan karena Allah s.w.t tidak mau menyekat bagian yang Dia telah tentukan untuk hamba-Nya, juga supaya terbukti kedudukan hamba itu, keredaan Allah s.w.t kepadanya dan keberkatan doanya. Itulah nikmat yang Allah s.w.t sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang benar-benar ikhlas kepada-Nya, bersabar terhadap ujian-Nya dan reda dengan takdir-Nya, sekalipun panjang masa perjuangannya dia senantiasa mengawal diri agar tidak keluar daripada sempadan yang Dia tentukan dan melalui berbagai-bagai peringkat kerohanian sehinggalah mencapai makam penetapan dan pemeliharaan Allah s.w.t. Setelah melengkapi bulatan perjalanannya dia kembali kepada kedudukannya sebagai seorang individu untuk mengambil bagiannya dalam kehidupan dunia ini sehingga berakhir hayatnya.
Tarekat ujian bala adalah sistem latihan kerohanian yang Allah s.w.t susun kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih untuk melaksanakan kewajiban sebagai khalifah atau wakil-Nya di bumi, menyeru umat manusia supaya kembali kepada jalan-Nya. Mereka mengajar manusia supaya mengenal Tuhan, mentaati peraturan-Nya, memakmurkan bumi ini dengan kebaikan dan membasmi kemunkaran. Tuhan Yang Maha Mengasihi tidak berhenti menghantarkan wakil-wakil-Nya kepada umat manusia supaya orang yang benar-benar ikhlas mau mencari-Nya akan menemui-Nya melalui bimbingan wakil-Nya.
32: Tarekat Orang majzub
________________________________________
Manusia pilihan kelas tartinggi adalah Nabi-nabi. Tuhan kurniakan kepada mereka kekuatan rohani yang luar biasa. Mereka mampu menempuh alam ghaib dan berhadap kepada Hadrat Ilahi tanpa berlaku kegoncangan kepada akal fikiran, kesadaran dan sifat-sifat kemanusiaan mereka. Mereka diperkenalkan dengan berbagai-bagai suasana ketuhanan (hakikat ketuhanan) dan mengalami berbagai-bagai perkara yang ganjil dalam keadaan jaga, tidak terbalik pandangan, tidak terlepas kehambaan dan tidak hilang kesadaran terhadap diri sendiri dan makhluk lainnya. Mereka tidak terdorong kepada suasana fana dan jazbah, tidak ada bersatu dengan Tuhan, baqa dengan Tuhan dan berpisah dengan Tuhan. Nabi-nabi menghadap kepada Tuhan tanpa melupai makhluk. Mereka juga melayani makhluk tanpa lalai daripada Tuhan. Makhluk tidak melindungi Tuhan dan Tuhan tidak menghapuskan makhluk. Kedua-duanya berada dalam kesadaran nabi-nabi.
Manusia yang selain nabi-nabi akan menerima kesan yang kuat daripada pengalaman kerohanian yang dinisbahkan kepada suasana ketuhanan. Keadaan ini lebih kuat lagi berlaku kepada orang yang dibawa kepada tarekat ujian bala. Kegoncangan yang hebat oleh ujian bala menyebabkan hati mereka ‘pecah’. Akibatnya kesadaran kepada alam maujud dan diri sendiri hilang. Tabiat dan sifat kemanusiaan juga tertanggal. Kesan yang muncul daripada ‘pertembungan’ dengan suasana ketuhanan itu dinamakan jazbah dan orang yang mengalami jazbah dinamakan majzub.
Jazbah adalah hal yang dialami oleh hati berhubung dengan aspek ketuhanan yang tidak dapat dicapai oleh akal. Hijab diangkatkan dan mata hati mereka menyaksikan perkara ghaib dan kenyataan tentang Tuhan. Suasana jazbah itu berbeda bagi seorang dengan seorang yang lain. Secara umumnya orang yang mengalami jazbah atau ahli majzub bisa dibagikan kepada empat jenis.
Majzub jenis pertama adalah orang yang dibawa oleh Tuhan kepada beberapa pengalaman kerohanian yang berkait dengan ketuhanan dan mencapai beberapa makam yang tinggi dalam tempuh yang singkat serta mereka mendapat keasyikan terhadap Allah s.w.t tanpa berguru dengan siapapun dalam hidup mereka. Jazbah merombak keperibadian mereka secara menyeluruh. Mereka menjadi orang yang sangat berlainan daripada keadaan mereka sebelum kedatangan jazbah. Mereka tidak suka bergaul dengan orang banyak. Mereka lebih merasakan kedamaian dan kebagiaan jika mereka bersendirian dalam keasyikan dengan Allah s.w.t. Apa yang berlaku di sekeliling mereka, baik atau buruk, tidak menarik minat mereka. Kegoncangan yang berlaku dalam masyarakat dan keluarga tidak mampu menarik mereka keluar daripada keasyikan mereka. Mereka hanya gilakan Allah s.w.t. Setiap detik mereka teringatkan Allah s.w.t saja. Mereka tidak suka mendengar cerita yang selain Allah s.w.t. Hanya Allah s.w.t dan yang mengenai Allah s.w.t saja yang dapat menembusi hati mereka. Bila mereka dikuasai oleh jazbah hilanglah kesadaran, fikiran, penglihatan, pendengaran dan pergerakan mereka. Orang majzub tidak sedarkan diri mereka dan alam maujud sekaliannya. Dalam keadaan demikian mereka mengalami berbagai-bagai hal atau pengalaman kerohanian. Mereka berpindah dari satu makam ke satu makam yang lain dengan cepat. Orang majzub separti ini dikasihi oleh Allah s.w.t dan Dia melindungi mereka daripada orang jahil yang jahat perangai. Oleh karena mereka sudah hilang kesadaran dan sifat kemanusiaan, maka hilang juga keupayaan mereka untuk membedakan yang baik daripada yang buruk. Majzub yang separti ini tidak bisa dijadikan pembimbing orang banyak karena adab sopan dan peraturan masyarakat tidak ada dalam kesadaran mereka.
Majzub jenis kedua, setelah dilenyapkan akal dan kesadaran separti jenis pertama, mereka dikembalikan semula kepada kesadaran kemanusiaan sedikit demi sedikit. Mereka diturunkan dari satu makam kepada makam yang lain. Penurunan tersebut mengurangkan kesan jazbah sehingga akhirnya mereka sampai kepada penetapan dan kesadaran sepenuhnya. Ketika menaik kesadaran mereka terhadap yang selain Allah s.w.t hilang dengan cepat dan dalam keadaan demikian mereka ‘menemui’-Nya. Ketika penurunan kesadaran terhadap diri sendiri dan makhluk lainnya tidak kembali dengan cepat. Mereka mengambil masa yang agak lama sebelum kesan jazbah hilang sepenuhnya daripada kesadaran mereka. Ada sebagian daripada mereka yang kesan jazbah tidak hilang sampai ke akhir hayat mereka. Bagi majzub kumpulan kedua ini jazbah berperanan sebagai ‘kuasa pemaksa’ yang mengseret mereka keluar daripada alam kelalaian dan memasukkan mereka ke jalan yang memperadabkan mereka dengan Tuhan. Rahmat Tuhan yang menarik mereka kembali kepada jalan yang lurus. Perubahan yang berlaku kepada mereka terjadi dengan pantas. Mungkin dalam masa kurang daripada dua bulan mereka sudah melalui semua stesen kerohanian dan mengalami hal ketuhanan yang mencukupi untuk mereka mengenal Tuhan secara hakiki. Setelah kembali kepada sifat kemanusiaan semula mereka meneruskan kehidupan menurut jalan kenabian, menurut Sunah Rasulullah s.a.w dan menjadikan kehidupan nabi-nabi dan wali-wali sebagai iktibar. Proses penurunan majzub jenis kedua ini merupakan pembalikan kepada proses menaik orang salik.
Majzub jenis ke tiga tidak hilang akal fikiran dan kesadaran mereka. Perubahan kerohanian berlaku dalam sedar dan jaga. Tidak ada perpisahan dengan sifat kemanusiaan, tidak ada fana dan bersatu dengan Tuhan. Mereka menetap dalam kehambaan, tidak terbalik pandangan, tidak mengalami mabuk dan tidak mengeluarkan ucapan latah yang menyalahi syariat. Orang yang di dalam kesadaran ini didatangkan jazbah kepada mereka sebagai kurniaan Tuhan untuk memperkenalkan mereka kepada Yang Hakiki karena ilmu dan amal mereka tidak berupaya menyampaikan mereka kepada yang demikian. Kaum sufi umumnya berpendapat majzub yang menetap dalam kesadaran dan kehambaan lebih baik daripada majzub yang mengalami kefanaan dan mabuk. Majzub yang di dalam kesadaran bisa menjauhkan diri mereka daripada perkara-perkara yang mendatangkan fitnah.
Majzub jenis ke empat adalah orang yang memasuki jalan suluk terlebih dahulu. Ketika bersuluk itulah akal fikiran dan kesadaran mereka dihapuskan. Majzub jenis ini mengenali alam terlebih dahulu sebelum mengenal Tuhan (mengalami hakikat ketuhanan). Bimbingan guru yang mursyid membuat perjalanan jazbah mereka teratur. Mereka meningkat dari satu makam kepada makam yang lain dengan bersistematik. Mereka melalui stesen-stesen kerohanian dengan bimbingan yang benar. Guru yang telah melalui semua stesen kerohanian, memperolehi makam-makam, mengetahui suasana kefanaan, kebaqaan dan Kebenaran Hakiki sesudah fana dan baqa, diperlukan bagi membimbing salik yang didatangi jazbah. Guru yang demikian dapat menyapu kekeliruan daripada mengelabui pandangan hati muridnya. Murid itu dapat maju ke matlamat terakhir dengan selamat dan teratur. Bimbingan guru membuat salik mengalami dan mengetahui pengalaman mereka. Pengenalan melalui pengalaman yang diterangi oleh pengetahuan mempercepatkan salik menjadi orang arif. Majzub jenis inilah dipersetujui oleh kaum sufi.
Majzub jenis pertama hidup terus menerus sebagai orang majzub, tidak kembali lagi kepada kehidupan manusia biasa. makrifat mereka berdasarkan pengalaman kerohanian mereka. Pengalaman mereka hanya untuk diri mereka saja, bukan untuk orang lain. Tanpa tajalli ilmu (terbuka pengetahuan tentang pengalaman yang dilalui) mereka tidak bisa dipanggil orang arif dan mereka tidak dibisakan menjadi pembimbing orang banyak yang di dalam kesadaran biasa.
Majzub jenis ke dua melalui stesen-stesen kerohanian dan mencapai berbagai-bagai makam dalam tempuh yang singkat. Kumpulan ini biasanya memasuki jazbah tanpa persediaan dari segi ilmu dan juga mereka tidak mempunyai guru. Setelah mengalami jazbah mereka kembali kepada kesadaran biasa. Akal fikiran dan sifat kemanusiaan mereka dikembalikan. Mereka mendapati sukar untuk menguraikan pengalaman kerohanian yang telah mereka lalui. Ketika di dalam zauk pengetahuan tidak penting, tetapi bila kembali sedar akal fikiran memerlukan kepemahaman. Dari sini orang majzub yang kembali sedar itu digerakkan untuk menyelidik, mengambil iktibar dan bertanya kepada orang-orang yang arif. Keadaan mereka adalah umpama orang yang bermimpi pada malam hari dan termenung pada siangnya untuk mengingati apa yang dimimpikan dan apa pula maksud mimpi tersebut. Proses memahami dan menyusun perjalanan kerohanian jauh lebih lambat daripada proses pengalaman kerohanian itu sendiri. Pengalaman kerohanian yang dilalui dalam tempuh dua bulan mungkin mengambil masa lebih daripada lima tahun untuk memahaminya dengan jelas dan menyusunnya secara terperinci. Kelambatan proses ini juga disebabkan oleh kesan jazbah yang sukar hilang dari kesadaran seseorang. Kebenaran yang ditemui melalui akal fikiran akan berubah-ubah mengikut kadar kesan jazbah yang sudah hilang daripada mereka. Apabila mereka bebas sepenuhnya daripada kesan jazbah, mereka akan temui Kebenaran Hakiki yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunah. Walaupun mereka mengalami hakikat tetapi tanpa kematangan ilmu mengenai pengalaman tersebut, mereka tidak layak dipanggil orang arif. Ilmu mereka benar-benar matang setelah mereka kembali kepada al-Quran dan as-Sunah.
Majzub jenis ke tiga biasanya terdiri daripada mereka yang mempunyai bekalan ilmu yang mencukupi. Kumpulan ini memasuki jalan kerohanian secara berhati-hati dan diselubungi oleh keraguan. Mereka memerlukan masa untuk mengharmonikan pengalaman yang dilalui dengan pengetahuan yang sedia ada. Apa yang diketahui sebelum mendapat jazbah berbeda daripada apa yang diketahui sesudah mendapat jazbah. Kedua-dua pengetahuan yang kelihatan berbeda itu kemudiannya dapat dipastikan bahwa perbedaan berlaku pada sudut pandangan sedangkan kebenarannya tidak berbeda. Pengalaman mengsahkan apa yang sudah diketahui. Bila kedua-dua jenis pengetahuan itu bersepakat keraguan mereka pun hilang. Pengetahuan yang lahir daripada cantuman dua sudut itu meneguhkan keyakinan.
Majzub jenis ke empat memasuki bidang suluk terlebih dahulu. Ketika menjalani suluk itulah mereka memperolehi jazbah. Tempuh mendapatkan jazbah berbeda-beda di antara seorang salik dengan salik yang lain. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Tidak kurang juga yang langsung tidak mendapat jazbah. Salik yang tidak mendapat jazbah atau lambat memperolehinya tidak seharusnya berasa kecewa. Jazbah bukanlah matlamat suluk. Kebaikan bagi orang yang menjalani jalan kerohanian adalah menjaga makam mereka. Jangan meminta makam yang lebih tinggi atau lebih rendah. Intisari bagi perjalanan kerohanian adalah kesabaran dalam menjalankan perintah Allah s.w.t dan kesabaran menanggung takdir-Nya. Salik hanya perlu menjaga takdir yang mereka berada di dalamnya. Sabar mengawal diri dan tidak bertelingkah dengan takdir merupakan kejayaan yang besar bagi salik, sekalipun mereka tidak mendapat jazbah. Teruskan tegak berdiri karena Allah s.w.t, demi Wajah-Nya semata-mata bukan karena sebarang keperluan. Salik jenis ini dibawa kepada ikhlas tanpa melalui jazbah. Ikhlas dan benar dengan Allah s.w.t merupakan matlamat perjalanan kerohanian, baik melalui jazbah atau secara sedar. Salik yang menetap dalam kesadaran beriman kepada Allah s.w.t dan Rasul-Nya dengan ikhlas. Mereka beriman kepada perkataan al-Quran dan Hadis dengan ikhlas tanpa memasuki bidang hakikat. Bagi salik yang mengalami jazbah pula berdampingan dengan guru menjadi syarat penting. Mereka perlu merujukkan kepada guru mereka semua pengalaman kerohanian yang mereka lalui semasa jaga maupun secara mimpi. Salik jangan mudah membuat tafsiran sendiri mengenai sesuatu perkara.
Setiap orang majzub mempunyai jalannya sendiri yang berbeda dengan majzub yang lain. Masing-masing ditarik kepada jalannya oleh ‘kuasa ghaib’ yang diistilahkan sebagai Tarikan Rahmani (ketuhanan), Pembimbing Hakiki ataupun Perintah Batin. Orang majzub menerima Tarikan Rahmani tanpa mereka bisa menahannya. Tarikan tersebut membawa mereka kepada jalan khusus yang Tuhan sediakan untuk mereka. Tarikan tersebut juga mengarahkan mereka melakukan sesuatu perkara tanpa terikat dengan hukum logik. Tarikan yang langsung dari Tuhan itu juga memandu orang majzub sehingga selamat sampai kepada matlamat. Orang yang di dalam keadaan demikian sering mendapat peringatan dari dalam diri mereka sendiri. Peringatan yang demikian dinamakan Suara Hakiki. Jika timbul cita-cita mereka untuk berhenti tatkala terjadi kasyaf suara dari dalam diri mereka akan memberi peringatan: “Apa yang kamu cari masih jauh di hadapan. Oleh itu jangan berhenti!” Jika terbuka kepada mereka rahsia alam maya, mereka diperingatkan oleh hakikat alam maya: “Sesungguhnya kami adalah ujian, karena itu janganlah kamu kufur!” Hamba yang dipimpin itu menafikan apa juga yang ditemui di sepanjang jalan. Apa yang mereka saksikan adalah gubahan Tuhan, hikmat kebijaksanaan-Nya dan tanda-tanda yang memberi pemahaman tentang Dia. Zat Ilahiat tetap tinggal terhijab, tidak dapat ditembusi oleh siapapun pun. Akhirnya hamba menemui kenyataan bahwa Dia yang sebenarnya mengenali Diri-Nya. Dia yang mencari, Dia yang dicari dan Dia yang menemui. Tidak ada siapapun yang ikut campur dalam urusan-Nya.
Orang yang sedang dikuasai oleh Tarikan Rahmani akan kehilangan kekuatan akal fikiran dan kesadaran diri mereka. Pengaruh pancaindera dan alam sekeliling menjadi lemah kepada hati mereka. Rangsangan yang datang dari kehendak diri sendiri menjadi tumpul. Pada peringkat permulaian mengalami hal yang demikian, ketika akal fikiran, kesadaran dan kehendak diri masih mempunyai kekuatan, mereka tidak mengarti apakah yang sedang berlaku kepada diri mereka. Mereka merasakan kelainan tetapi tidak mengarti mengenainya. Walaupun begitu mereka terus juga berjalan menurut cetusan yang muncul dari dalam diri mereka. Setelah beberapa lama mereka mulai menyedari kehadiran ‘kuasa ghaib’ yang menguasai mereka, memberi petunjuk dan bimbingan. Kelainan yang mereka alami mereka hubungkan dengan kehadiran kuasa ghaib tersebut. Mereka tidak tahu apakah hakikat kuasa ghaib itu tetapi mereka yakin bahwa ia adalah sesuatu yang suci dan berhubung rapat dengan pekerjaan Tuhan. Mereka yakin hanya dengan mengikuti petunjuk ghaib itu mereka dapat menghampiri Tuhan. Kehadiran kuasa ghaib tersebut dirasakan bertambah kuat dari masa ke masa. Ia membuat mereka berasa tenang dan mereka merasakan jalan menuju Tuhan semakin terang.
Penguasaan petunjuk ghaib ke atas diri mereka membawa mereka kepada peringkat di mana mereka menyaksikan kelakukan dan perbuatan muncul daripada diri mereka tanpa mereka berkehendak melakukannya, tanpa berfikir dan merancang dan juga tanpa menggunakan kekuatan diri sendiri. Segalanya berlaku secara spontan. Mereka tidak ikut campur dalam menghasilkan perbuatan diri mereka sendiri. Mereka hanya menyaksikan ‘kuasa ghaib’ menghasilkan kelakuan dan perbuatan diri mereka. Mereka tidak ada kehendak untuk membantah hal yang demikian, malah hal tersebut membuat mereka memerhatikan sesuatu tentang Tuhan. Apa yang berlaku secara spontan itu membukakan kepemahaman mereka tentang Tuhan. Dalam keadaan yang demikian akal mereka menjadi umpama bekas yang dituangkan dengan kepemahaman. Banyak perkara mengenai ketuhanan yang mereka tidak fahami sebelumnya ‘difahamkan’ pada peringkat ini. Hal yang demikian membuat hati mereka merasakan kewujudan hubungan di antara Tuhan dengan mereka. Jika kehendak kepada sesuatu yang lain menjadi lemah tetapi kehendak berjumpa dengan Tuhan menjadi kuat. Hati mereka sudah ada rasa kasihkan Tuhan. Mereka juga dapat merasakan kasihan belas Tuhan kepada mereka. Mereka mendapat penghayatan bahwa Tuhan tidak melupakan mereka, Tuhan senantiasa mengambil tahu tentang hal-ihwal mereka. Bertambahlah keseronokan mereka mengintai Tuhan.
Orang yang sedang diseret oleh petunjuk ghaib hilang minat kepada makhluk dan kehidupan dunia seluruhnya. Hati mereka hanya mencintai Allah s.w.t. Mereka menjadi hamba yang gilakan Allah s.w.t. Apa saja yang dipandang membalikkan sesuatu tentang Allah s.w.t. Dalam keasyikan mereka mengalami berbagai-bagai hakikat ketuhanan yang menambahkan pengenalan mereka tentang Tuhan. Puncakk kecintaan hamba kepada Allah s.w.t adalah pengalaman Allah Maha Esa, tiada sesuatu beserta-Nya. Selepas pengalaman tersebut mereka memasuki suasana baqa dengan Allah s.w.t. Suasana kebaqaan membuat mereka merasakan yang mereka tidak berpisah dengan Allah s.w.t yang mereka cintai, walau di mana mereka berada dan apa juga yang mereka lakukan. Bila suasana demikian sudah menguasai hati mereka barulah mereka bisa terima kehadiran makhluk karena pada tahap ini kehadiran makhluk tidak lagi memisahkan mereka dengan Tuhan.
Perjalanan seterusnya membawa mereka kepada kesadaran mengenai tujuan mereka diciptakan. Kesadaran, akal fikiran dan sifat kemanusiaan mereka sudah dikembalikan. Mereka mulai bergerak jauh daripada Tuhan tetapi dalam keadaan tidak berpisah. Bila kesadaran, fikiran dan sifat kemanusiaan mereka kembali sepenuhnya, mereka dapat melihat perbedaan di antara Tuhan dengan hamba. Mereka berpindah daripada suasana baqa kepada suasana kehambaan sepenuhnya. Mereka kembali kepada kewujudan diri sendiri dan menghabiskan sisa-sisa hidup mereka sebagai ahli syariat yang taat. Lengkaplah perjalanan kerohanian mereka. Pengalaman jazbah menjadi ingatan yang paling berharga bagi mereka karena melalui pengalaman tersebut mereka berubah menjadi manusia baru, mempunyai kehendak dan citarasa yang baru. Jazbah telah menghancurkan ‘patung-patung’ dalam diri mereka yang mereka tidak berupaya menghancurkannya dengan kekuatan diri sendiri.
33: Persediaan Menerima Kedatangan Jazbah
________________________________________
Apabila Allah s.w.t berkehendak menyampaikan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w, Dia menggerakkan hamba-Nya itu supaya berkhalwat di Gua Hiraa. Pemergian baginda s.a.w ke Gua Hiraa adalah karena Tarikan Rahmani atau Petunjuk Ghaib yang datang secara langsung daripada Allah Yang Maha Tinggi. Petunjuk Ghaib mempersiapkan Nabi Muhammad s.a.w. Apabila baginda s.a.w sudah bersedia barulah wahyu diturunkan.
Seseorang yang akan menerima urusan Tuhan akan dipersiapkan oleh Tuhan menurut kebijaksanaan-Nya. Seseorang yang akan menerima jazbah dipersiapkan terlebih dahulu. Ada orang yang diseret kepada jalan bersuluk. Walaupun mereka memasuki suluk di dalam kesadaran namun pada hakikatnya mereka ditarik oleh Petunjuk Ghaib. Petunjuk Ghaib bartindak ke atas mereka, yang pada zahirnya kelihatan sebagai bimbingan guru mereka. Kehadiran guru yang arif memudahkan murid memahami petunjuk-petunjuk sampai kepada mereka daripada alam ghaib.
Sebagian ahli jazbah memasuki jalan yang tidak ada guru. Mereka bisa dibagikan kepada dua golongan. Golongan pertama memasuki jalan memencilkan diri di tempat yang jauh daripada orang banyak. Ketika bersendirian itulah timbul kecenderungan dalam hati mereka untuk melakukan sesuatu ibadat dengan bersungguh-sungguh. Kemudian jazbah didatangkan kepada mereka. Golongan ini biasanya sukar untuk kembali kepada kehidupan biasa separti orang banyak. Orang yang menjadi majzub secara terus menerus kebanyakannya terdiri daripada golongan ini. Golongan kedua pula adalah mereka yang menetap dalam masyarakat, tidak mengasingkan diri di tempat yang jauh. Ketika masih berada bersama-sama orang banyak itulah didatangkan minat kepada mereka untuk melakukan sesuatu amalan atau ibadat. Apabila mereka didatangi oleh jazbah mereka tetap juga berada di dalam lengkungan orang banyak. Ahli jazbah separti ini mengalami berbagai-bagai perkara ganjil sambil diperhatikan oleh orang banyak. Mereka terpaksa berhadapan dengan reaksi orang banyak dan keadaan memudahkan buat mereka kembali semula kepada kehidupan biasa nanti.
Majzub berbeda daripada majnun (gila). Kepada kedua-duanya dibukakan keghaiban. Orang majnun tersangkut pada alam makhluk halus atau alam khadam. Mereka suka bercakap sendirian seolah-olah mereka bercakap dengan seseorang. Sebenarnya mereka memang bercakap dengan sesuatu yang orang lain tidak nampak dan tidak dengar. Isu percakapan mereka adalah perkara ganjil yang terdapat pada alam lain. Sekiranya orang majnun kembali kepada kesadaran biasa semula, mereka akan lupa kepada apa yang mereka telah alami pada alam makhluk halus itu. Pengalaman majnun tidak meninggalkan kesan yang mempengaruhi pemahaman dan pegangannya.
Orang Majzub pula tertarik kepada ‘alam ketuhanan.’ Walaupun bercakap sendirian, isu percakapan mereka adalah Tuhan. Mereka banyak bercakap mengenai aspek misal ketuhanan. Kelakuan mereka yang kelihatan separti orang yang tidak siuman, bercakap sendirian mengenai misal ketuhanan, bisa menyebabkan orang banyak menyangkakan mereka sudah gila. Apabila orang majzub kembali kepada kesadaran biasa semula, pengalaman jazbah tidak hilang daripada ingatan mereka. Pengalaman yang demikian meninggalkan kesan yang kuat pada jiwa mereka. Mereka yang keluar daripada alam jazbah membawa bersama-sama mereka kekuatan kerohanian yang kuat sehingga mereka mampu melakukan untuk masyarakat apa yang orang lain tidak mampu.
Allah s.w.t menyediakan berbagai-bagai cara bagi mempersiapkan hamba-hamba-Nya. Pengalaman seorang hamba Allah dimuatkan di sini untuk dijadikan iktibar bagi orang yang berminat pada jalan kerohanian.
Petunjuk Ghaib mendatangi hati si hamba itu sebagai kecenderungan atau dorongan yang kuat. Si hamba itu merasakan seolah-olah menerima perintah yang tidak bisa diengkari namun dia tunduk kepada ‘perintah’ itu dengan kerelaan. ‘Perintah’ yang datang itu menyuruh si hamba itu menziarahi 100 buah masjid.
Allah s.w.t memperakui masjid-masjid sebagai rumah-Nya. Tuan rumah senantiasa meraikan tetamu yang berkunjung ke rumahnya. Allah s.w.t adalah Tuan rumah yang paling baik, menyambut para tetamu-Nya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Para kekasih Allah gemar mengunjungi rumah-Nya. Mereka jadikan masjid sebagai tempat bermunajat. Tempat yang selalu disebut nama-nama Allah s.w.t, diucapkan kata-kata pujian dan kesyukuran kepada-Nya, dipenuhi oleh keberkatan. Keberkatan itu umpama cahaya yang menerangi kegelapan. Siapapun yang mendatangi cahaya akan dapat melihat dan berada jauh daripada cahaya akan tinggal di dalam kegelapan. Bermunajat di dalam cahaya keberkatan di dalam rumah-Nya melahirkan rasa kehadiran-Nya.
Si hamba mandi mensucikan diri dan berwuduk. Kemudian dia bersholat sunat dua rakaat bagi memulaikan perjalanannya. Sesudah bersholat dia bermunajat kepada Tuhannya: “Ilahi! Engkau jualah maksud dan tujuanku. Keredaan Engkau jua yang daku cari. Berikan daku petunjuk di dalam perjalananku, berkatilah langkahku dan bimbinglah daku untuk sampai kepadaMu”. Selesai bermunajat kepada Tuhan si hamba memulaikan perjalanan ke masjid-masjid dengan kalimah:
Kunjungan ke masjid-masjid cara ini bukanlah kunjungan sosial, bukan bertujuan untuk menuntut ilmu atau berkenalan dengan ahli-ahli masjid. Setiap masjid yang dikunjunginya adalah umpama negeri asing yang tidak seorang penduduk pun yang dikenalinya atau mengenalinya. Bertegur sapa dan bersalaman sekadar yang patut saja tanpa membanyakkan kata-kata merupakan adat berkunjung ke masjid. Setiap memasuki masjid kerjakanlah sholat sunnat tahiyyatul masjid, kemudian duduk beriktikaf sambil bermunajat kepada Allah s.w.t, memohon petunjuk dan bimbingan-Nya demi mencari keredaan-Nya. Jika waktu sholat fardu sudah sampai kerjakanlah sholat berkenaan secara berjemaah. Sesudah berwirid dan berdoa berpindahlah ke masjid yang lain pula.
Berkunjung ke masjid-masjid menurut Petunjuk Ghaib memberi kesan kepada jiwa hamba Allah itu. Suasana kehidupannya berubah. Dia mendapat kekuatan untuk menyelamatkan diri daripada pengaruh dan rangsangan yang datang daripada orang banyak. Kegiatan yang menyeronokkan dan melalaikan terpisah daripadanya. Jika dahulu dia sanggup menghabiskan wang yang banyak karena tujuan berseronok dan membazir, kini setiap sen yang dia ada digunakan semata-mata untuk jalan Allah s.w.t. Jika dahulu dia sanggup mengembara dari jambatan ke jambatan karena mencari nikmat memancing, kini dia mengembara dari masjid ke masjid karena mencari nikmat bermunajat kepada Allah s.w.t. Kekuatan dan keupayaan yang sama kini digunakan untuk mencari keredaan Allah s.w.t. Setiap waktu dan ruang digunakan untuk mengingati Allah s.w.t, Tuhan sekalian alam.
Si hamba kehilangan minat kepada makhluk dan aktiviti kehidupan harian. Seberapa banyak hilang minatnya terhadap makhluk, lebih banyak pula minatnya untuk menghampiri Allah s.w.t. Bila perhatiannya banyak tertuju kepada Allah s.w.t, fikiran dan hatinya kurang memerhatikan kepada hukum sebab akibat. Dia lebih memerhatikan perjalanan takdir daripada perjalanan sebab musabab. Bila perhatiannya tertuju kepada perjalanan takdir hatinya tidak lagi terganggu dengan kerenah makhluk yang bergerak di dalam arus sebab musabab. Dia sudah bisa merasakan kedamaian di tengah-tengah kekacauan yang berlaku di sekelilingnya.
Hati manusia mempunyai satu muka. Jika ia menghadap kepada makhluk ia akan membelakangi Tuhan. Jika ia menghadap kepada Tuhan ia akan membelakangi makhluk. Sekiranya Allah s.w.t berkehendak mengurniakan taufik dan hidayat kepada hamba-Nya, Dia akan palingkan muka hati si hamba itu kepada-Nya. Hati yang menghadap kepada Tuhan akan dapat merasai kehadiran-Nya, dengan demikian menambahkan keyakinan kepada Allah s.w.t. Si hamba akan menjadi seorang yang gemar beribadat. Dia sanggup melakukan ibadat dengan banyaknya semata-mata karena Allah s.w.t, demi mencari keredaan-Nya. Kekuatan yang diperolehi oleh hati sewaktu menziarahi 100 buah masjid sudah mampu mengadakan sekatan kepada pancaindera daripada melakukan sesuatu yang Allah s.w.t tidak suka.
Apabila minat mau berbakti kepada Tuhan sudah kuat, si hamba akan menilik kepada kecacatan dan keaiban dirinya. Dia berasa malu menghadap Tuhan dengan dirinya yang diselaputi oleh kekotoran. Dia juga melihat dirinya sebagai seorang yang ‘berpenyakit’, tidak berupaya membuat kebaktian kepada Tuhan dengan sempurna. Dia sangat ingin menyucikan dirinya dan menyembuhkan penyakitnya agar dia bisa berkhidmat kepada Tuhan dengan sekuat tenaganya dan dalam keadaan suci.
Setelah tamat peringkat menziarahi 100 buah masjid, didatangkan pula minat untuk ‘menziarahi’ dirinya sendiri.
Dan pada diri kamu apakah tidak kamu perhatikan? ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat )
Si hamba merenung perjalanan kehidupannya di dalam dunia. Sudah sangat banyak kekotoran yang mengenai dirinya zahir dan batin, dan racun yang memasuki dirinya zahir dan batin. Dia perlu menyucikan rohani dan jasmaninya. Dia perlu mengobati penyakit rohani dan jasmaninya. Dalam dia mencari-cari alat penyucian dan penawar itu hatinya mengingati firman Tuhan:
Dan jika ada satu kitab bacaan yang (mampu) dijalankan gunung-gunung dengannya atau dibelah bumi dengannya atau dibuat bercakap orang-orang yang sudah mati dengannya (maka al-Quranlah Kitabnya). Bahkan kepunyaan Allah jua segala urusan. Apakah tidak tahu orang yang beriman bahwa jika Allah mau nescaya Dia pimpin semua manusia? ( Ayat 31 : Surah ar-Ra’d )
Al-Quran mampu menyucikan kekotoran yang menjadi hijab di antara hamba dengan Tuhan. Al-Quran juga menjadi penawar yang menguatkan hamba berjalan kepada Tuhannya. Si hamba yakin dengan al-Quran sebagai Kitabullah yang diturunkan untuk kebaikan manusia. Oleh karena kekotoran dan penyakitnya banyak berhubung dengan hati dia harus memulaikan dengan hati al-Quran. Hati al-Quran dapat menyucikan hatinya dan menguatkannya.
Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Tiap sesuatu mempunyai hati, begitu juga al-Quran. Hati al-Quran adalah Surah Yaa Siin. Siapapun membacanya akan ditulis pahala sebanyak sepuluh kali membaca al-Quran”. Baginda s.a.w juga bersabda yang bermaksud: “Dalam al-Quran ada satu surah namanya Surah Yaa Siin. Surah ini mensyafaatkan bagi siapapun yang membacanya dan menuntutkan keampunan bagi orang yang mendengarnya”. Fadhilat Surah Ya Sin sangat besar. Ia menjadi penawar bagi berbagai-bagai penyakit. Kekotoran dan penyakit tidak dapat bertahan apabila penawar dari Surah Yaa Siin memasuki setiap rongga dan sekalian maujud.
Si hamba meletakkan pergantungannya kepada Allah s.w.t. Selepas peringkat menziarahi 100 buah masjid dia menjadikan pembacaan Surah Yaa Siin sebagai wiridnya. Dibacanya berulang-ulang, sekadar kemampuannya setiap hari. Dia berada dalam keadaan demikian beberapa hari. Setelah dia selesai membaca Surah Yaa Siin sebanyak 203 kali dia membaca doa yang pernah dibaca oleh Rasulullah s.a.w:
Ya Allah! Ya Tuhanku! Adakanlah di dalam hatiku nur, dalam pendengaranku nur, dalam penglihatanku nur, adakanlah di sebelah kananku nur, sebelah kiriku nur, dihadapanku nur dan berikan daku nur.
Berkat rumah Allah dan nur hati al-Quran memberi kekuatan kepada hati si hamba untuk menerima isyarat-isyarat dari alam ghaib. Hatinya sudah bersedia untuk menghadapi perjalanan kerohanian, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah s.w.t.
34: Perjalanan Menuju Allah
________________________________________
Keadaan hamba yang dipersiapkan untuk memasuki jalan kerohanian itu sudah sangat berbeda daripada keadaannya yang asal. Minatnya kepada orang banyak sudah tidak ada lagi. Dia tidak memperdulikan lagi televisyen, radio, surat khabar, talipon, kunjungan sahabat handai dan lain-lain. Dia lebih suka bersendirian. Dalam suasana bersendirian itulah dia dibawa kepada stesen kerohanian yang pertama.
STESEN PERTAMA
Si hamba membetulkan niatnya: “Ilahi! Engkaulah maksud dan tujuan. Keredaan Engkau yang daku cari”. Tiada niat lain lagi baginya. Dia tidak mengharapkan untuk menjadi wali atau mendapat kekeramatan. Dia tidak meminta ilmu keduniaan atau ilmu akhirat. Dia adalah umpama seorang pesalah yang sedang menanti dengan rela hukuman pancung yang akan dijatuhkan kepadanya. Dia menyerahkan ‘batang lehernya’ bulat-bulat kepada ‘pancungan’ takdir.
Dalam penyerahan itu si hamba merasakan hatinya separti disinari cahaya yang terang, lebih terang daripada segala cahaya yang ada di bumi. Dalam suasana hati yang demikian dia merasakan kewujudan jalinan hubungan yang erat dengan Kenabian Ibrahim a.s. Rasa kehadiran Ibrahimiyah membuat si hamba mengenangkan keluhuran Nabi Ibrahim a.s yang hanif, dengan kekuatan sabar, reda dan tawakalnya. Ibrahim a.s meninggalkan isteri yang sarat mengandung di tempat yang tidak ada penghuni, demi menjunjung perintah Tuhan. Ibrahim a.s sanggup mengorbankan anak kesayangan demi menjunjung perintah Tuhan. Ibrahim a.s mempunyai kekuatan hati karena hati beliau a.s berserah sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sewaktu akan dicampakkan ke dalam api Ibrahim a.s berkata: “Tuhanku melihat keadaanku. Dia tahu apa yang baik untukku. Dia tidak akan membiarkan daku”. Api kehilangan keupayaan membakar apabila berhadapan dengan kekuatan penyerahan Ibrahim a.s.
Si hamba berdoa kepada Tuhan: “Wahai Tuhanku! Kurniakanlah kepadaku sebagian daripada apa yang telah Engkau kurniakan kepada Khalil-Mu, Ibrahim a.s. Kurniakanlah kepadaku rasa penyerahan yang sebenarnya kepada-Mu. Perkuatkanlah kesabaranku menghadapi ujian-Mu. Teguhkan tawakalku menanti keputusan-Mu. Kurniakanlah kepadaku keredaan yang sebenarnya dalam menerima takdir yang datang daripada-Mu, baik atau buruk”.
Hati si hamba senantiasa memanggil Tuhannya: “Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah!” Inilah hamba-Mu yang berdiri karena menjunjung perintah-Mu. Inilah hamba-Mu yang rukuk karena memuji dan memuja-Mu. Inilah hamba-Mu yang sujud karena mengharapkan Wajah-Mu. Wahai Tuhanku. Janganlah Engkau jadikan kejahilan dan kedaifanku sebagai hujah untuk Engkau tidak menerima kedatanganku”.
Kemudian didatangkan kecenderungan membaca al-Quran kepada hati si hamba. Si hamba memulaikannya dengan membaca Surah al-Hadiid, Surah yang ke lima puluh tujuh. Dia membacanya dengan penuh penghayatan dan memahami maksudnya. Surah ini mengajar manusia supaya sanggup berkorban karena Allah s.w.t demi menegakkan kebenaran. Diterangkan bahwa kehidupan di dalam dunia ini adalah perjuangan di antara yang benar dengan yang salah. Orang yang beriman kepada Allah s.w.t, Rasul-Nya dan hari akhirat mestilah mempertahankan keyakinan yang benar dan apa saja yang benar. Surah ini juga memperingatkan bahwa mengenakan tipu daya kepada manusia. Manusia mestilah sedar bahwa dunia dengan segala kemewahannya tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan perjuangan pada jalan Allah s.w.t. Manusia digesa supaya mengejar nikmat yang ada pada sisi Allah s.w.t, disediakan untuk orang yang bertaubat dan bertakwa. Manusia juga diperingatkan supaya bersabar menerima ujian daripada Allah s.w.t. Ia mengajar manusia supaya beriman kepada Qada dan Qadar.
Tidaklah mengena satu bencana atas bumi dan tidak pula pada diri kamu melainkan semua itu sudah tercatit dalam Kitab sebelum Kami melakukannya. Yang demikian bagi Allah sangatlah mudah. Allah khabarkan demikian supaya kamu tidak berputus asa terhadap apa yang telah hilang daripada kamu dan tidak menyombong dengan apa yang datang kepada kamu. Dan Allah tidak suka kepada orang yang menyombong. (Ayat 22 & 23 : Surah al-Hadiid )
Allah s.w.t menerangkan bahwa segala yang berlaku adalah menurut takdir yang Dia telah tentukan. Membuat yang demikian sangatlah mudah bagi Tuhan karena Ilmu-Nya meliputi yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin. Orang yang beriman tidak seharusnya berputus asa apabila berpisah daripada sesuatu yang dia sayangi karena mungkin menurut Ilmu Allah s.w.t yang demikian baik baginya. Kesusahan dan bala bencana membuat manusia menjadi sabar, reda, bertawakal dan bersyukur, lalu dia dibawa hampir dengan-Nya. Ini jauh lebih baik daripada apa yang terpisah daripadanya.
Surah al-Hadiid juga memperkenalkan Allah s.w.t melalui nama-nama-Nya. Nama-nama Tuhan menjadi jambatan menghubungkan hamba dengan Tuhan. Jika nama Tuhan ditilik dengan hati nescaya terlihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata.
Seterusnya si hamba membaca pula Surah as-Sajdah, Surah yang ke tiga puluh dua. Surah ini mengajak manusia memerhatikan hubungan mereka dengan Pencipta. Tuhan menciptakan manusia pertama daripada tanah dan keturunan manusia dikembangkan melalui air mani. Tuhan sempurnakan ciptaan manusia dengan pengurniaan kepada mereka roh dan diperlengkapkan dengan berbagai-bagai bakat serta keupayaan. Surah ini menceritakan keadaan orang yang beriman sujud kepada-Nya apabila mereka diperingatkan dengan-Nya Orang beriman memisahkan diri mereka daripada tempat tidur pada malam hari karena melakukan ibadat kepada-Nya, memuji dan memuja-Nya dengan rasa takut dan harap. Manusia diberitahu bahwa Allah s.w.t adalah Pencipta, Pengatur dan Pengurus segala-galanya. Hanya Dia yang berkuasa memberi pertolongan dan pembelaan. Dia Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Oleh itu layaklah jika hamba mengadu dan merayu kepada-Nya saja, tidak kepada yang lain. Manusia diperingatkan supaya menggunakan bakat dan keupayaan yang Tuhan kurniakan kepada mereka untuk berbakti kepada-Nya bukan berbuat maksiat.
Si hamba semakin merasakan keakraban dengan al-Quran. Dibacanya pula Surah Luqman dengan penuh penghayatan. Surah ini menceritakan sifat orang yang beriman separti yang telah digambarkan oleh Surah as-Sajdah. Luqman adalah seorang hamba Allah yang salih. Beliau banyak bertafakur merenung alam keliling dan kehidupan di dalamnya. Tuhan bukakan kepadanya rahsia kehidupan. Beliau dapat melihat kehidupan ini dengan pandangan hikmah, karena itu beliau digelar ahli hikmah. Ahli hikmah melihat yang tersirat sedangkan orang lain melihat yang tersurat.
Keseronokan membaca al-Quran berterusan. Dibacanya pula Surah Yusuf. Surah ini menceritakan bahwa orang yang memperolehi hikmah adalah orang yang tahan menanggung ujian. Ujian merupakan proses penyucian dan pembentukan jiwa manusia.
Si hamba beralih pula kepada Surah Saba'. Surah Yusuf menceritakan hamba-Nya yang diuji dengan kesusahan. Surah Sabaa pula menceritakan tentang hamba-hamba-Nya yang diuji dengan kesenangan dan kekuasaan. Nabi Daud a. s menjadi raja yang sangat luas daerah kekuasaannya, hinggakan angin dan gunung ditundukkan kepadanya. Anakandanya, Sulaiman a.s, mewarisi kekuasaan tersebut. Kekuasaan Sulaiman a.s ditambah lagi hinggakan hewan dan jin tunduk kepadanya. Kerajaan dan kekuasaan yang begitu luar biasa tidak sedikit pun menggugat iman Daud a.s dan Sulaiman a.s.
Si hamba kemudiannya membaca Surah Faatir. Surah ini menggambarkan dengan indah bangunan alam maya ciptaan Tuhan. Diceritakan keharmonian perjalanan anggota-anggota alam. Manusia yang menggunakan akal fikiran akan dapat menghayati kerapian ciptaan Tuhan untuk mereka merasakan kebesaran dan keagungan Tuhan. Surah Faatir menekankan bahwa segala-galanya berpusat kepada Kudrat dan Iradat Tuhan yang tidak terbatas. Semuanya diciptakan dan diaturkan oleh satu kuasa saja, yaitu Allah Yang Maha Esa. Manusia diciptakan dan dihantarkan ke bumi. Kemudian dikirimkan petunjuk supaya manusia dapat menjalankan urusan dan bertugas sebagai khalifah di bumi. Mereka diberi peringatan bahwa mereka akan berhadapan dengan gangguan-gangguan. Gangguan tersebut memperingatkan mereka kepada tujuan mereka dihantarkan ke bumi.
Setelah membaca Surah-surah al-Hadiid, as-Sajdah, Luqman, Yusuf, Saba’ dan Faatir, si hamba mendapat keinsafan yang mendalam. Dibacanya pula Surah at-Taubah sebagai pengakuan bahwa dia bertaubat daripada segala kesalahan dan kekeliruannya.
Si hamba menghayati tujuh buah Surah daripada al-Quran. Pembacaan al-Quran kali ini sangat menyentuh jiwanya. Hatinya berasa terang dan jelas memandang kepada jalan yang mau ditujunya. Tujuan dan matlamatnya untuk menghampiri Tuhan semakin teguh. Sesungguhnya membaca al-Quran dalam suasana kehadiran Hakikat Ibrahimiyah memperkuatkan tapak kakinya untuk terus berjalan kepada Tuhan. Tidak ada apa lagi yang bisa mengalihkan pandangannya daripada matlamatnya.
Kemudian hatinya dibawa kepada suasana kehadiran Hakikat Musawiyah. Musa a.s adalah Kalim Allah, yaitu orang yang Allah s.w.t bercakap-cakap dengannya. Musa a.s mengarti tentang Kalam Allah s.w.t yang tidak bersuara dan berhuruf. Dalam suasana kehadiran Musawiyah itu si hamba memulaikan pembacaan al-Quran dari permulaiannya. Dimulaikannya dengan membaca Surah al-Faatihah, Ibu Kitab, kunci pembuka keghaiban, cahaya yang terang benderang menerangi hati nurani. Hati yang diterangi oleh cahaya al-Faatihah merenung al-Quran, huruf demi huruf, ayat demi ayat. Al-Quran dibaca bukan sekadar mengeluarkan bunyi dan arti-makna malah lebih mendalam daripada itu al-Quran melahirkan daya rasa yang seni, yang melampaui apa yang mampu disampaikan oleh bunyi dan makna. “Jika ada satu Kitab yang mampu dijalankan gunung-gunung dengannya atau dibelah bumi dengannya atau dibuat bercakap orang yang telah mati dengannya, maka al-Quran adalah Kitab tersebut”. Apabila hati menghayati maksud ayat ini, maka al-Quran jualah yang membawa hati kepada jalan yang lurus, membelahnya untuk diisi dengan kebaikan dan menghidupkannya untuk memandang kepada Tuhan. Bacaan al-Quran bartindak seumpama air sejuk yang enak menyerap ke seluruh rongga dan ruang. Bacaannya memberi kesan kepada seluruh diri zahir dan Diri Batin, menyerap ke seluruh maujud, menjadi darah dan daging, menjadi cita-cita dan keinginan. nur al-Quran menghancurkan hijab yang didirikan oleh syaitan, dunia dan hawa nafsu. Tenaga nur al-Quran akan menghapuskan apa saja yang mencoba menawan hati. nur al-Quran membebaskan hati daripada segala bentuk perhambaan kepada makhluk dan menetapkan satu perhambaan saja yaitu perhambaan kepada Allah s.w.t yang tidak bersekutu dengan-Nya sesuatu apa jua pun. Bila ruang hati sudah penuh dengan nur al-Quran barulah manusia itu benar-benar menjadi hamba Allah yang sesuai dengan Kalam Allah s.w.t. Penghayatan bacaan al-Quran tanpa penyerapan nur al-Quran tidak memadai untuk membentuk insan al-Quran, separti generasi Muslim yang diasuh secara langsung oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Si hamba sampai kepada ayat 54, Surah al-Baqarah:
Dan (ingatlah) tatkala Musa berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu telah menzalimi diri-diri kamu dengan sebab kamu menyembah anak sapi. Oleh itu minta ampun kepada Tuhan dan bunuhlah diri-diri kamu. Yang demikian itu baik bagi kamu pada sisi Tuhan kamu. Lantas Dia ampunkan kamu karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Penyayang.” ( Ayat 54 : Surah al-Baqarah )
Hati si hamba disentuh oleh ayat di atas. Bukan kaum Nabi Musa a.s saja yang menzalimi diri mereka. Manusia lain juga tidak kurang menzalimi diri sendiri. Mereka juga ‘menyembah berbagai-bagai anak sapi’ yang dibentuk oleh hawa nafsu mereka. Musa a.s menyarankan agar bertaubat dan diri yang zalim itu dibunuh. Si hamba yang berada dalam suasana kehadiran Hakikat Musawiyah menyahut seruan ayat 54, Surah al-Baqarah itu. Si hamba berdiri menghadap kiblat sambil mengangkat tangannya. Dia melafazkan dengan penuh kekhusyukan:
Aku bertaubat daripada menzalimi diri sendiri.
Si hamba mengarti bahwa kezaliman yang paling besar adalah meletakkan taraf ketuhanan Allah s.w.t tidak pada kedudukan yang adil dan meletakkan taraf makhluk melebihi apa yang sepatutnya. Dia benar-benar ikhlas ‘membunuh’ dirinya yang zalim agar diri yang adil saja tegak berdiri. Si hamba bersyukur kepada Allah s.w.t karena memberinya taufik, hidayat dan kekuatan untuk melakukan taubat yang demikian. Peristiharan hamba yang ikhlas itu menjadi kenyataan kepada firman Tuhan:
Dan tidak! Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menegur dirinya (nafsu lawwamah). ( Ayat 2 : Surah al-Qiyamah )
Nafsu lawwamah adalah diri hamba yang menginsafi segala kesalahan yang telah dilakukannya dan benar-benar ingin memperbaiki diri sendiri.
________________________________________
STESEN KE DUA
Sambil membaca al-Quran si hamba memperbanyakkan zikir. Dipalukannya zikir itu kuat-kuat ke dalam lubuk hatinya, seumpama jentera yang memukul tiang konkrit ke dalam tanah hingga bergegar tanah di sekelilingnya. Ucapan zikir bergema di dalam diri. Gemanya menyelinap ke seluruh ruang diri.
Di dalam suasana kehadiran Hakikat Musawiyah hati si hamba diperkuatkan bagi melawan anasir syirik yang mencoba menguasai jiwanya. Kemudian dia berpindah pula kepada suasana kehadiran Hakikat Isaiyah. Si hamba meneruskan pembacaan al-Quran dalam suasana yang baru ini. Dalam suasana ini hati banyak memerhatikan urusan taubat. Hati mencari-cari cara taubat yang lebih baik. Dia mau memutuskan dirinya daripada rantai-rantai yang mungkin bisa mengseretnya semula kepada kesalahan. Dia mau menjadi orang yang benar dengan taubatnya.
Dia terus membaca al-Quran dari satu Surah ke Surah yang lain dalam suasana hati memohon keampunan kepada Allah s.w.t, mengharapkan taubatnya diterima oleh-Nya. Dalam suasana bertaubat memohon keampunan Allah s.w.t, dalam kehadiran Hakikat Isaiyah atau dalam sinaran cahaya kenabian Isa a.s, si hamba mendapat pengartian bahwa bertaubat bukan sekadar menyesal dan meninggalkan kesalahan. Lebih penting daripada itu adalah menyesuaikan baki hayat yang masih ada dengan al-Quran secara zahir dan batin. Taubat adalah pintu kepada al-Quran, bukan sekadar pintu meninggalkan kesalahan dan dosa. Taubat yang sebenarnya berlaku di dalam sinaran nur al-Quran, dalam suasana hati yang sama dengan hati orang yang sedang mengerjakan sholat dengan khusyuk. Setelah selesai membaca Surah Maryam sebelum memasuki daerah Surah Taha, si hamba ‘digerakkan’ supaya meletakkan tangannya ke atas dada al-Quran, pada muka pertama Surah Taha dan dia mengucapkan:
Aku bertaubat daripada perbuatan syirik dan munkar.
Kemudian si hamba menadah tangannya ke langit dan bermunajat kepada Tuhan: “Wahai Tuhanku! Engkau Mengetahui kezaliman dan kejahatan diriku. Jika tidak kepada Engkau kepada siapa lagi hendakku pohonkan keampunan. Sesungguhnya Engkau jualah Tuhan Yang Maha Mengampuni dan Maha Mengasihani. Ya Allah, ya Tuhanku! Ampuni segala dosa-dosaku, dosa-dosa kedua ibu-bapaku ,dosa-dosa isteri dan anak-anakku, dosa-dosa saudara-saudaraku dan dosa-dosa sekalian kaum Muslimin dan Muslimat. Sesungguhnya Engkau jualah yang mengampunkan dosa-dosa hamba-Mu. Amin!” Si hamba menyapu mukanya dengan kedua-dua tapak tangannya yang telah menyentuh al-Quran dan menadah ke langit itu. Dia merasakan aliran wap sejuk berjalan ke seluruh tubuhnya. Dia berada dalam keadaan demikian beberapa ketika.
________________________________________
STESEN KE TIGA
Si hamba meneruskan perjalanannya di dalam daerah-daerah Surah al-Quran. Hatinya memasuki suasana kehadiran kenabian Daud a.s. Nabi Daud a.s telah menerima tanah kepunyaan Nasuha untuk didirikan masjid. Nasuha yang pada mulainya enggan menyerahkan tanah tersebut tetapi kemudian mendapat taufik dan hidayat daripada Tuhan, lalu dia bertaubat. Taubat itu dinamakan taubat nasuha, yaitu taubat orang yang meyakini akan berjumpa dengan Tuhan dan kembali kepada-Nya. Setelah menerima tanah Nasuha, bekerjalah Nabi Daud a.s membina rumah Allah. Si hamba yang telah benar dengan taubatnya bekerja membina hatinya untuk menjadi rumah Allah.
Setelah melepasi daerah Surah Muhammad, si hamba masuk ke dalam daerah Surah al-Fat-h, sampai kepada ayat ke 29.
Muhammad Pesuruh Allah! Dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang kafir (dan) berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka rukuk, sujud, mencari kurniaan dan keredaan Allah. Tanda-tanda mereka (ada) di muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka di Taurat dan sifat mereka di Injil, sebagai tanaman yang keluarkan tunasnya, lalu Dia teguhkan ia. Maka jadilah ia gemuk dan tegap berdiri di atas pangkalnya. (Adalah) karena Dia hendak jengkilkan kafir-kafir itu dengan (kesuburan) mereka (yang mukmin). Allah janjikan mereka yang beriman dan beramal salih dari mereka keampunan-Nya dan ganjaran yang besar. ( Ayat 29 : Surah al-Fat-h )
Si hamba membaca ayat di atas dengan khusyuk. Diulanginya beberapa kali. Kemudian dia digerakkan supaya menghadap kiblat dan mengangkat tangannya. Dia mengadakan baiah (janji setia) dengan sepenuh jiwa raganya:
Daku mengadakan baiah dengan Rasulullah s.a.w
Tangan kanan yang menyaksikan baiah di atas diletakkannya ke dada sebelah kiri, berbetulan dengan kedudukan hati. Sebaik saja tapak tangannya yang menyaksikan baiah itu menyentuh dadanya dirasakannya seolah-olah “Muhammad ur-Rasulullah ” menjadi pedang yang tajam memancung tangkal hatinya. Pancungan tersebut seumpama petir memanah ke hatinya. Terlalu kuat pancungan dan panahan tersebut hinggakan dia terbaring. Dia merasakan tusukan bisa di dalam hatinya. Dia bermohon kepada Allah s.w.t agar diberikan kepadanya kekuatan untuk menahan bisa yang sedang merobekkan hatinya itu. Pada saat itu Kaabatullah muncul dalam pandangan mata hatinya. Dalam penyaksian tersebut hatinya ‘mengucup’ Hajaral Aswad dengan penuh rasa tawadhuk kepada Allah s.w.t. Barulah berkurangan kepedihan yang menikan hatinya.
Pengalaman yang singkat itu membuat si hamba mengarti kebesaran ucapan kalimah “Muhammad-ur-Rasulullah.” Ia adalah pedang kebenaran yang memancung apa saja yang selain Allah s.w.t yang berada di dalam hati. Ia merobekkan istana iblis yang telah sekian lama terbina di sana. Ia meruntuhkan dinding dan tembok yang didirikan oleh syaitan, hawa nafsu dan dunia. Pedang kebenaran menghalau segala yang keji. Bila segala yang keji sudah menyingkir terbinalah sebuah istana yang indah di dalam hati.
Kalbu (hati) orang mukmin adalah istana Allah.
________________________________________
STESEN KE EMPAT
Hati si hamba masuk pula kepada suasana kehadiran Cahaya Kenabian Sulaiman a.s. Sulaiman a.s menyudahkan pembinaan masjid yang pembinaannya dimulaikan oleh ayahandannya, Daud a.s. Mereka membina masjid di atas tanah Nasuha yang bertaubat.
Daud a.s dan Sulaiman a.s merupakan dua orang hamba Allah yang diberikan kerajaan dan kekuasaan yang tidak diberikan kepada manusia lain. Kurniaan Allah s.w.t yang begitu besar menambahkan kesyukuran mereka. Si hamba yang telah memasuki pintu taubat menemui pula pintu kesyukuran.
Si hamba yang hatinya dikuasai oleh rasa bersyukur kepada Allah s.w.t meneruskan pembacaan al-Quran. Alunan kesyukuran pada jiwa ketika membaca al-Quran berbeda daripada alunan taubat. Kedua-duanya tidak mampu diuraikan. Hati yang telah merasainya akan mengarti. Di dalam alunan kesyukuran itu si hamba sampai kepada daerah Surah ar-Rahman. Dia sampai kepada ayat ke 13:
Dan kurniaan Tuhan kamu yang mana lagi hendak kamu dustakan? ( yat 13 : Surah ar-Rahman )
Si hamba terpegun sejenak. Bacaannya terhenti. Dimencobanya membaca sekali lagi ayat tersebut tetapi lidahnya kelu. Dia merasakan kekerdilan diri yang amat sangat. Apabila dia mencoba lagi untuk meneruskan bacaannya dirasakannya sebuah gunung yang besar terhempap ke atas kepalanya. Tiba-tiba mata hatinya menyaksikan keagungan ar-Rahman. Keagungan ar-Rahman menguasai hatinya. Dia merasakan seolah-olah nafasnya dan perjalanan darahnya terhenti. Ingatan kepada ar-Rahman itu menggoncangkan sekalian maujudnya. Apabila dia berhadapan dengan ar-Rahman dirasakannya dirinya umpama lilin yang cair dimakan api, umpama tepung yang diterbangkan angin kencang. Tidak ada daya dan upayanya untuk menghampiri daerah ar-Rahman. Dia sujud ke Hadrat Tuhan ar-Rahman dan bermunajat: “Wahai ar-Rahman! Engkau perlihatkan Keagungan-Mu kepada hamba-Mu yang kerdil dan daif ini. Dalam serba kelemahan dan kekurangan ini hamba-Mu memohonkan keampunan dan kemaafan-Mu. Maafkan daku wahai Yang Maha Agung! Tidak terdaya hamba-Mu ini melalui Surah ar-Rahman Yang Agung ini. Izinkan daku meneruskan perjalananku kepada Surah-surah yang lain dengan meninggalkan apa yang tidak terdaya daku melaluinya”.
Pengalaman berhadapan dengan Surah ar-Rahman membuatkan si hamba mengarti bagaimana Gunung Thursina hancur lebur bila dihadapkan kepada tajalli Tuhan. Berhadapan dengan Surah ar-Rahmaan sudah menghancur-leburkan kewujudan insan, Apa lagi jika benar-benar berhadapan dengan keagungan-Nya. Kesucian dan kemuliaan malaikat Jabrail a.s masih tidak cukup kuat untuk berhadapan dengan keagungan Allah ar-Rahman!
Si hamba sampai kepada daerah Surah al-Ikhlas. Diulangi bacaannya beberapa kali. Kemudian diletakkan tangannya di atas dada Surah al-Ikhlas dan diucapkannya dengan penuh kekhusyukan.:
Diucapkannya kalimah di atas beberapa kali dengan sepenuh jiwa raganya. Dia merasakan sesuatu keanehan. Dirasakannya kalimah suci itu menyelinap ke seluruh tubuhnya dan ke seluruh jiwa raganya. Tiada ruang lagi pada dirinya yang tidak diresapi oleh kalimah suci itu. Sekalian maujudnya menyaksikan:
Tapak tangan kanannya yang menyentuh dada al-Quran semasa dia mengucapkan Kalimah Syahadah tadi diletakkannya di dadanya, berbetulan dengan hati. Seluruh maujudnya, zahir dan batin, dikuasai oleh kalimah La ilaha illa Llah. Ia menjalar ke dalam darah, daging, urat saraf, tulang belulang dan seluruh tubuhnya dari hujung rambut sampai hujung kaki. Sekaliannya menyaksikan dengan penuh tawadhuk kepada Tuhan bahwa La ilaha illa Llah. Apa yang dirasainya daripada ucapan Kalimah Tauhid kali ini sangat berbeda daripada yang sudah-sudah. Tidak pernah dia merasakannya begini, walaupun dia selalu mengucapkan kalimah tersebut. Pengalaman La ilaha illa Llah yang diperolehinya kali ini tidak akan ditukarkan dengan sesuatu, walaupun dengan sebuah gunung emas. Dunia dan isinya bukanlah harga untuk ditukar dengan kalimah suci ini. Si hamba bermunajat kepada Tuhan dengan segala kerendahan hatinya: “Ya Allah! Ya Ahad! Bawalah daku kepada-Mu. Jangan Engkau tinggalkan daku walau satu detik pun. Jangan Engkau biarkan yang selain-Mu mengurus daku walau satu saat pun. Janganlah Engkau kembalikan daku kepada pekerjaan zalim, munkar dan melampaui batas. Daku berlindung kepada-Mu pada setiap waktu. Engkau jualah sebaik-baik Pelindung!”
Kemudian si hamba mengucapkan:
“Aku reda Allah s.w.t jualah Tuhan, Islam jualah agama, Muhammad s.a.w adalah Nabi dan Rasul, al-Quran adalah imam (ikutan), Kaabah adalah Kiblat dan Mukminin serta Mukminat adalah saudara!”
Kemudian si hamba menghabiskan bacaan al-Quran hingga ke Surah yang terakhir. Dia telah diberi kesempatan mengalami sesuatu yang unik semasa melalui daerah-daerah Surah al-Quran. Pengalaman hati sukar dijelaskan. Hati yang merasai suka, duka, senang dan susah. Hati mengalami suasana yang dipanggil sabar, reda, tawakal dan syukur. Hati juga merasai suasana kehadiran cahaya kenabian, sebagaimana hati mengalami kehadiran (Hadrat) Ilahi. Merasai kehadiran cahaya kenabian bukan berhadapan secara nyata, bertutur-kata dengan mereka. Rasa kehadiran berlaku di dalam hati. Tutur-katanya bukanlah percakapan tetapi pengartian yang tiba-tiba tertanam pada lubuk hati.
________________________________________
STESEN KE LIMA
Setelah selesai membaca al-Quran si hamba meneruskan perjalanannya dengan memperbanyakkan zikir dan bersholat sunnat, sesuai dengan firman Tuhan:
Sesungguhnya aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku. Sebab itu abdikan dirimu kepada-Ku dan dirikanlah sholat buat mengingati Aku. ( Ayat 14 : Surah Taha )
Pengembaraan di dalam sholat membentuk hati yang kuat berserah diri kepada Allah s.w.t. Keinginan untuk bertemu dengan-Nya semakin kuat. Si hamba yakin bahwa hanya dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya saja bisa membawa seseorang hamba hampir kepada-Nya. Dalam keadaan demikian pergantungan si hamba itu kepada Allah s.w.t semakin teguh. Pengharapannya kepada makhluk tinggal hanya sedikit saja lagi. Ingatannya kepada Allah s.w.t sangat kuat dan ingatannya kepada makhluk sangat berkurangan. Lama kelamaan kuatlah penghayatan dalam hatinya suasana: “Maksud dan tujuan hanyalah Allah s.w.t. Keredaan-Nya yang dicari”.
Dalam keasyikan mengerjakan berbagai-bagai sholat sunnat itu hati si hamba disentuh oleh sepotong ayat yang sering dibaca dalam sholat. Si hamba dengan ikhlas membuat penyaksian:
Dengan Nama Allah, Pemurah, Penyayang.
Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.
Si hamba memperakui bahwa tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah s.w.t. Oleh karena segala daya dan upaya adalah hak Allah s.w.t, maka segala sholat, ibadat-ibadat, seluruh penghidupan dan juga kematian adalah diperuntukkan kepada Allah s.w.t, tidak kepada yang lain. Tidak ada motif keduniaan dan keakhiratan.
________________________________________
STESEN KE ENAM
Si hamba tenggelam dalam penghayatan bahwa tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah s.w.t. Bertambah kuat dia melakukan sholat dan zikir sebagai menyatakan bahwa segala daya dan upaya yang dikurniakan Allah s.w.t kepadanya digunakannya untuk mencari keredaan Allah s.w.t jua. Hatinya menyaksikan bahwa segala perkara, semua kejadian, apa saja yang bergerak dan yang diam, semuanya terjadi karena daya dan upaya yang dari Allah s.w.t. Pergantian malam dengan siang, pasang dan surut air laut, senang dan susah, sehat dan sakit dan semuanya adalah kenyataan kepada daya dan upaya yang dari Allah s.w.t jua. Daya dan upaya yang dari Allah s.w.t itu muncul dalam berbagai-bagai keadaan, rupa bentuk, sifat, ruang dan waktu. Si hamba melihat perbuatan dan kelakuan muncul daripada dirinya sebenarnya adalah daya dan upaya yang datang dari Allah s.w.t.
________________________________________
STESEN KE TUJUH
Dalam suasana yang dipenuhi dengan sholat dan zikir si hamba digerakkan untuk bertafakur. Dia gemar merenung segala perkara dan menghubungkannya dengan Tuhan. Sesuatu perkara yang pada mulainya kelihatan sulit, setelah direnungnya dengan mendalam dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Melalui proses tafakur itulah dia banyak mendapat kepemahaman tentang berbagai-bagai perkara yang pernah dimusykilkannya dahulu. Dahulu akalnya tidak mampu mencari jawaban. Kini dia mendapat jawaban dengan mudah. Sedikit demi sedikit, melalui penemuan secara bertafakur, hatinya merasakan bahwa jawaban yang datang kepadanya bukan terjadi dengan tiba-tiba, tetapi ia berlaku secara terancang dan diuruskan dengan bijaksana. Hatinya merasakan bahwa dirinya diberi pengajaran dengan cara yang sangat misteri. Dari situ dia menyedari bahwa ada Pembimbing Rohani yang bartindak memberinya petunjuk, panduan dan nasehat dengan cara yang sangat sukar untuk difahami. Dia tidak mengetahui hakikat pembimbing tersebut tetapi dia merasakan kehampiran dengannya. Rasa kehadiran pembimbing tersebut membuatnya lebih berani bertafakur mengenai perkara-perkara ketuhanan yang pada zahirnya sukar dimengarti. Apa juga perkara yang mencetus minatnya untuk bertafakur, didapatinya jawaban yang memuaskan hatinya. Melalui proses tersebut dia mulai mengenal Tuhan melalui pandangan yang berbeda daripada pengenalannya yang lalu.
Kehadiran Pembimbing Rohani menjadikan si hamba bersikap pasif, jiwanya tenang dan yakin, membiarkan Petunjuk Ghaib ‘membawanya’ ke mana saja. Pada peringkat ini si hamba seolah-olah memiliki dua jenis diri. Diri pertama adalah diri yang memiliki sifat kemanusiaan biasa. Diri kedua adalah diri yang bergerak di bawah kekuasaan Petunjuk Ghaib atau Pembimbing Rohani. Bila dikuasai oleh Petunjuk Ghaib akan lahirlah perbuatan yang ganjil, tidak logik yang kadang-kadang menyalahi adab sopan dan nilai kemanusiaan biasa. Walaupun lahir perbuatan yang kelihatan bodoh dan remeh temeh tetapi baginya perbuatan yang dicetuskan oleh Petunjuk Ghaib itu mengandungi pengajaran yang halus tentang Tuhan. Oleh itu si hamba berasa tenang dan tenteram walaupun keganjilan yang muncul pada dirinya telah membuat orang-orang yang hampir dengannya menjadi gelisah.
Si hamba bukan sekadar melihat Haula dan Kuwwata sebagai bakat dan tenaga yang menggerakkan makhluk, malah dilihatnya Haula dan Kuwwata adalah jambatan yang menghubungkan hamba dengan Tuhan. Tanpa Haula dan Kuwwata tidak mungkin hamba bisa menghadap kepada-Nya dan menghampiri-Nya. Haula dan Kuwwata adalah urusan-Nya yang pada satu aspek memungkinkan makhluk bergerak dan melahirkan kesan, sementara pada aspek yang lain pula merupakan ‘Rahsia’ yang memungkinkan hamba berhubung dengan Tuhan.
________________________________________
STESEN KE LAPAN
Si hamba masih lagi di dalam suasana bersholat, berzikir dan bertafakur. Rasa kehambaannya semakin mendalam. Dia hanya mementingkan soal hubungannya dengan Tuhan. Soal-soal kehidupan harian tidak mendapat perhatiannya. Dia tidak mengambil berat tentang soal-soal zahiriah separti makan, minum, pakaian dan lain-lain. Kelakuannya sudah agak berlainan dengan kelakuan orang biasa. Cara dia makan kadang-kadang menimbulkan fitnah kepada orang yang memandangnya. Dia dapat melihat keganjilan yang berlaku kepada dirinya tetapi dia tidak berdaya menghalangnya dan juga dia tidak keberatan hal yang demikian terjadi kepada dirinya. Dia merasakan dirinya benar-benar tidak berdaya dan upaya. Dia merasakan dirinya digerakkan untuk melakukan sesuatu tanpa dia bisa membantah atau mengubahnya. Dia melihat anggotanya sebagai alat yang digunakan oleh kuasa dalaman yang menguasainya. Dia lebih banyak berada dalam keadaan dia tidak tahu mengapa dia berbuat sesuatu yang ganjil. Perbuatan yang tidak dapat dikawalnya itu disandarkannya kepada Pembimbingnya. Dia yakin bahwa dengan mematuhi Petunjuk Ghaib itu dia akan sampai kepada Tuhan.
Dia benar-benar mau mengabdikan diri kepada Tuhan. Bukankah dia telah menyaksikan bahwa:
Dengan nama Allah, Pemurah, Penyayang.
Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.
Tiap kali dia membaca ayat tersebut di dalam sholat jiwanya menggeletar, darah daging dan urat sarafnya ikut menggeletar.
Tiba-tiba muncul dalam lubuk hatinya firman Tuhan:
Adakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan berkata: “Kami telah beriman”, padahal mereka tidak diuji? ( Ayat 2 : Surah al-'Ankabut )
Dia mendengar dari dalam lubuk hatinya ‘Juru-bicara’ mengatakan: “Apakah kamu menyangka akan dibiarkan berkata, ‘Sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya karena Allah’, padahal engkau tidak diuji?” Ucapan Juru-bicara tersebut sangat menyentuh jiwanya. Adakah dia benar dengan apa yang selalu dibacakannya di dalam sholat itu?
Allah s.w.t adalah Maharaja yang sangat cemburu. Dia tidak mengizinkan hamba-Nya mempersekutukan kasih sayang dan taat setia kepada-Nya. Dia tidak mau ada yang selain-Nya lebih dicintai dan ditaati daripada kecintaan dan ketaatan kepada-Nya. Tanda Dia cemburu adalah Dia mengharamkan siapapun saja menyamakan Diri-Nya dengan sesuatu. Dia tidak mengampunkan dosa syirik. Si hamba itu telah mengatakan bahwa dia mencintai Allah s.w.t lebih daripada segala yang lain. Pengakuan itu adalah bohong belaka karena dia melebihkan kasihnya kepada dirinya daripada kasihnya kepada Tuhannya. Dia tidak mau dirinya mengalami kesusahan dan penderitaan dalam membuktikan kecintaan-Nya kepada Allah s.w.t. Jika seseorang hamba itu benar-benar mencintai Tuhannya dia akan sanggup menyerahkan dirinya kepada Tuhannya.
Juru-bicara dari dalam hatinya membacakan firman Tuhan:
Katakanlah: “Kami datang dari Allah dan kepada-Nya kami kembali”. ( Ayat 156 : Surah al-Baqarah )
Si hamba terpegun sejenak. Dia merasakan ayat tersebut ditujukan khusus untuknya. “Kembalikan sholat kamu kepada Allah! Kembalikan ibadat kamu kepada Allah! Kembalikan hidup kamu kepada Allah! Kembalikan mati kamu kepada Allah!” Itulah gema yang memenuhi ruang hatinya. Sujudlah si hamba itu kepada Tuhannya dengan penuh tawadhuk dan bermunajatlah dia kepada Tuhannya: “Ya Allah! Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan kecuali Engkau. Aku hanyalah hamba-Mu. Tidak ada satu hak pun pada diriku. Semuanya adalah hak Engkau. Nyawaku juga adalah hak Engkau. Engkau berhak mengambil apa yang menjadi hak Engkau. Aku tidak akan membantah atau mengeluh menerima ketentuan-Mu. Terimalah daku sebagai hamba yang berserah diri kepada-Mu. Izinkan daku mengerjakan sholat buat kali penghabisan sebelum Engkau mengambil nyawaku”.
Si hamba berdiri untuk mengerjakan sholat. Baginya itulah sholatnya yang penghabisan dalam hidupnya. Dia berdiri, rukuk dan sujud dengan penuh penyerahan. Tidak ada keresahan atau terkilan. Tidak ada takut atau berdukacita. Tidak ada kegembiraan atau kegairah. Hatinya menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t, tanpa sebarang perasaan, harapan dan cita-cita. “Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang berdiri dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang rukuk dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang sujud dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Lakukanlah apa yang Engkau kehendaki”. Begitulah lebih kurang suasana hati si hamba ketika melakukan sholat yang penghabisan. Selepas mengucapkan salam si hamba sujud dengan penuh akur kepada ketentuan Tuhannya. Dia sujud lama sekali tanpa menyedari apa yang berlaku kepada dirinya dan di mana dia sedang berada. Kemudian hatinya mendengar ucapan Juru-bicara dari dalam dirinya: “Bangkitlah dari sujudmu sebagai insan baru yang mati makhluk dari hatinya sehingga tidak melihat lagi ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat dan mudarat, yang tidak berkehendak lagi kepada dunia dan akhirat dan yang hidup dengan lakuan Allah s.w.t semata-mata”.
Si hamba bangkit dari sujudnya dan mengucapkan syukur kepada Allah s.w.t.
________________________________________
STESEN KE SEMBILAN
Rasa kekerdilan diri semakin kuat menguasai hati si hamba. Bila diri berasa kerdil dapatlah hati merasakan kebesaran, ketinggian dan keagungan Allah s.w.t. Apa saja yang berkait dengan Allah s.w.t akan menggetarkan hati nurani. Nama-nama Allah s.w.t, sifat-sifat-Nya dan ayat-ayat-Nya memberi kesan yang kuat kepada hati. Setiap disebut atau didengarnya nama dan ayat-ayat Allah s.w.t hatinya merasakan separti ditikam dengan lembing tajam. Setiap patah suara azan yang berkemundang di udara ‘menerpa’ ke dadanya seumpama anak panah yang bisa. Dalam keadaan yang demikian si hamba sujud mengakui kebesaran, ketinggian dan keagungan Allah s.w.t, Tuhan sekalian alam. Pengalaman yang demikian membuatnya mengarti maksud mukmin yang diceritakan oleh al-Quran.
Orang-orang mukmin apabila diperingatkan dengan Allah nescaya gementarlan hati mereka. (Ayat 2 : Surah al-Anfaal )
Si hamba bersyukur kepada Allah s.w.t karena mengajarkan maksud ayat al-Quran melalui pengalaman yang membuatnya lebih mengarti dengan apa yang al-Quran katakan. Dia telah dikurniakan nikmat yang besar karena diberi kesempatan untuk memahami maksud ayat al-Quran melalui pengalaman rasa. Bertambahlah kesyukurannya dan rasa kekerdilan diri di hadapan keagungan Allah s.w.t.
Di dalam suasana kekerdilan diri berhadapan dengan keagungan Allah s.w.t itu Juru-bicara dari dalam dirinya membacakan ayat:
Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-Ku dan masuklah engkau ke dalam syurga-Ku. ( Ayat 30 : Surah al-Fajr )
Si hamba tersentak mendengar ‘ucapan’ tersebut. Dia tergamam seketika. Sebelum sesuatu berputik di dalam hatinya dia ‘mendengar’ peringatan daripada Petunjuk Ghaib: “Apa yang kamu cari masih jauh di hadapan. Jangan kamu berhenti dan terpesona dengan keindahan syurga”. Si hamba dengan merendahkan diri bermunajat kepada Tuhannya: “Wahai Tuhanku! Tutupkanlah pandanganku daripada melihat syurga-Mu agar keindahannya tidak memukau daku, yang nanti menyebabkan langkahku menuju-Mu terhenti. Wahai Tuhan Yang Maha Mengasihani. Janganlah Engkau jadikan syurga sebagai penghalang di antara Engkau dengan aku. Ambillah kembali syurga-Mu dan serahkannya kepada siapapun saja yang ada tuntutan terhadap diriku agar aku bebas daripada mereka dan hanya menjadi hamba-Mu saja. Janganlah Engkau adakan selain-Mu sebagai hijab di antara Engkau dengan aku. Inilah hamba-Mu yang tidak ada maksud dan tujuan selain Engkau, wahai Tuhanku!”
________________________________________
STESEN KE SEPULUH
Si hamba membebaskan dirinya daripada sebarang pergantungan kepada daya usaha dan ikhtiar memilih, kosong daripada kehendak dan tujuan yang bersangkutan dengan dunia dan juga akhirat. Hatinya menjadi kosong daripada hawa nafsu, keinginan, harapan, cita-cita dan angan-angan. Jadilah hatinya benar-benar kosong. Dia adalah umpama mayat di tangan pemandi mayat.
Si hamba telah membuktikan kehambaan dan pengabdiannya kepada Tuhan dengan rela menyerahkan apa saja kepada-Nya dan bersedia menjalankan perintah-Nya separti malaikat yang bersifat teguh. Apakah itu sudah memadai bagi menghilangkan kecemburuan Tuhan Yang Maha Cemburu? Pengorbanan yang demikian bisa dilakukan oleh seorang manusia untuk kekasihnya yang juga seorang manusia. Bukan sedikit manusia yang sanggup membunuh diri demi kekasihnya. Bukan sedikit manusia yang sanggup membinasakan orang lain demi kekasihnya. Pengorbanan untuk Allah s.w.t mestilah lebih agung daripada segala bentuk pengorbanan yang bisa dilakukan oleh manusia untuk sesama manusia. Pengorbanan yang paling tinggi bisa dilakukan oleh seorang hamba untuk Tuhannya adalah menetapkan keesaan-Nya, tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu, baik daripada anasir bumi atau langit, anasir nyata atau ghaib atau apa saja termasuklah dirinya sendiri. Allah Maha Esa, bagaimana yang lain bisa berhadapan dengan-Nya? Selagi ada istilah hamba selagi itu ada hamba yang berhadapan dengan-Nya. Selagi ada kesanggupan melakukan sesuatu selagi itu ada diri yang berkesanggupan berhadapan dengan-Nya. Selagi mengharapkan pangkat kewalian selagi itulah ada diri yang berharap menjadi wali berhadapan dengan-Nya. Selagi bercita-cita untuk dunia dan akhirat selagi itulah ada diri yang bercita-cita berhadapan dengan-Nya. Selagi ada itu dan ini selagi itulah ada diri yang itu dan ini berhadapan dengan-Nya. Tidak ada yang layak berhadapan dengan-Nya karena Dia Maha Esa. Siapakah yang bisa duduk dalam majlis keesaan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri?
Apa juga yang tersisa pada si hamba dilenyapkan. Jadilah si hamba itu seumpama tong kosong yang berlubang. Setiap kali hujan turun ia menyucikan sisa-sisa kekotoran yang melekat pada dindingnya. Apabila dinding itu sudah tidak ada sebarang kekotoran, maka air yang bersih dan jernih keluar daripadanya tanpa sedikit pun berubah rupa dan warnanya sebagaimana air yang masuk ke dalamnya. Apa yang turun dari langit itulah juga keluar daripada tong kosong yang berlubang dan suci bersih. Tidak ada pertukaran dan perubahan.
________________________________________
STESEN KE SEBELAS
Si hamba telah menyerahkan apa saja yang bernama hak kepada Yang Empunya hak. Hati si hamba kosong daripada segala-galanya. Perhatian terhadap dirinya sendiri sudah tidak ada lagi, begitu juga dengan perhatiannya kepada segala sesuatu di sekelilingnya. Bila hati si hamba benar-benar kosong, maka Allah s.w.t penuhkannya dengan Kehendak dan Tujuan-Nya semata-mata. Allah s.w.t yang nengurus kehidupan si hamba yang telah terpisah daripada segala hak itu. Allah s.w.t yang menguasai Loh Kun. Si hamba menjadi alat yang melaluinya Urusan Allah s.w.t menjadi nyata. Bila Allah s.w.t katakan: “Jadi!” maka jadilah ia. Bila Allah s.w.t katakan: “Bergerak!” maka bergeraklah ia. Bila Allah s.w.t katakan: “Diam!” maka diamlah ia. Bila Allah s.w.t katakan:
Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku!
Si hamba pun mengatakan:
Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku!
Bila Allah s.w.t mengatakan:
Aku adalah Yang Haq !
Si hamba pun mengatakan:
Aku adalah Yang Haq !
________________________________________
STESEN KE DUA BELAS
Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingati daku. ( Ayat 14 : Surah Taha )
Allah s.w.t memerintahkan supaya mendirikan sholat. Si hamba berdiri mengerjakan sholat. Dalam suasana tong kosong yang berlubang, apa juga suasana sholat yang Tuhan kurniakan itulah yang zahir padanya. Bagaimana kedudukan sholat pada sisi Tuhan begitulah yang nyata pada si hamba. Allah s.w.t mengatakan sholat itu adalah ingatan kepada-Nya, maka yang ada dalam sholat itu adalah ingatan kepada-Nya. Bila kesadaran terhadap diri sendiri sudah tidak ada, si hamba hanya menjadi ‘yang menyaksikan’. Si hamba sudah ‘tidak ada’ untuk ingat kepada Allah s.w.t. Oleh itu ‘yang ada’ adalah Allah s.w.t yang ingat kepada Diri-Nya sendiri. Si hamba sudah ‘tidak ada’ untuk mengerjakan sholat, ‘yang ada’ adalah Allah s.w.t dan sholat itu adalah “Puji-pujian Allah s.w.t kepada Diri-Nya.” Pada ketika si hamba berada dalam suasana ‘dirinya tidak ada’. Dia mengalami suasana “Keesaan Allah s.w.t.” Dalam majlis keesaan tidak ada dua. Tidak ada yang ada dalam majlis keesaan-Nya melainkan Dia. Dia yang memuji Diri-Nya. Pujian Allah s.w.t kepada Diri-Nya adalah kelazatan yang paling lazat dan kebagiaan yang paling bagia, melebihi apa yang ada di bumi, di langit dan di syurga. Buat seketika hati si hamba diizinkan menikmati kelazatan dan kebagiaan yang maha agung itu dalam suasana dirinya ‘tidak ada’, yang ada hanyalah Yang Maha Esa. Siapakah yang layak mendampingi-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak berhadapan dengan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak berkata-kata dengan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak mendengar ucapan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Dalam Majlis Keesaan yang ada hanyalah Yang Maha Esa. Allah s.w.t mengizinkan sebagian daripada hamba-hamba-Nya mendapat pengartian tentang “Allah Maha Esa” melalui pengalaman kerohanian ketika hamba-hamba tersebut hilang perhatian dan kesadaran kepada sesuatu kecuali Allah s.w.t Yang Maha Esa. Apa yang berlaku kepada si hamba pada ketika itu seolah-olah Tuhan berkata: “Aku cabutkan dirimu buat seketika untuk Aku masukkan suasana keesaan-Ku agar engkau mengenali keesaan-Ku.”
________________________________________
STESEN KE TIGA BELAS
Yang nyata sudah ghaib. Yang ghaib sudah hilang. Tiada lagi kenyataan dan yang menyatakan. Tiada lagi ilmu untuk membahaskan. Tiada lagi penyaksian untuk menyaksikan. Tiada lagi cahaya untuk menerangkan. Tiada lagi kewujudan untuk membuktikan. Alam perasaan dan rujukan sudah tiada. Tiada atas tiada bawah. Tiada hadapan tiada belakang. Tiada kanan tiada kiri. Tiada ruang tiada zaman. Tiada siang tiada malam. Tiada panjang tiada pendek. Tiada jauh tiada dekat. Tiada perpisahan tiada penyatuan. Tiada persamaan tiada perbedaan. Tiada perkaitan dengan wujud tiada perkaitan dengan tidak wujud.
Tahu berkamil dengan tidak tahu. Kenal berkamil dengan tidak kenal. Itulah Allah, Rabbil ‘Izzati! Benteng keteguhan-Nya tidak mungkin diruntuhkan!
“Sesungguhnya Engkau adalah Allah yang aku saksikan dengan mata keyakinan, bukan dengan mata zahir, bukan dengan mata ilmu dan bukan juga dengan mata makrifat; tiada huruf, tiada suara, tiada rupa, tiada warna, tiada cahaya karena sesungguhnya Engkau adalah:
Tiada sesuatu serupa dengan-Nya
35: Perbendaharaan Yang Tersembunyi
________________________________________
Juru-bicara dalam diri si hamba menyampaikan: “ Allah s.w.t bartitah, ‘Jangan siapapun mengganggu Keesaan-Ku. Tidak ada siapapun dapat merobohkan Keperkasaan-Ku. Siapapun yang mencerobohi Benteng Keperkasaan-Ku akan Aku bakar dengan api Keagungan-Ku dan dia akan binasa! Selamatkanlah diri kamu. Pergilah kamu dan masuklah kamu ke dalam Perbendaharaan-Ku Yang Tersembunyi untuk mengenal Daku sekadar Daku izinkan engkau mengenali Daku’”.
Perbendaharaan Yang Tersembunyi itu bernama:
Pintu gerbangnya bernama:
Kuncinya bernama:
Cahaya yang menerangi di dalamnya bernama:
Kenderaan di dalamnya bernama:
Dengan izin Allah s.w.t si hamba masuk ke dalam Perbendaharaan-Nya Yang Tersembunyi.
________________________________________
HAKIKAT ASMA’ (NAMA-NAMA ALLAH S.W.T)
Ke mana saja kamu hadapkan muka kamu di situ Wajah Allah. ( Ayat 115 : Surah al-Baqarah )
Di dalam Perbendaharaan-Nya Yang Tersembunyi, ke mana saja di halakan pandangan hanya Wajah-Nya yang kelihatan. Wajah-Nya disaksikan sebagai:
Wajah-Nya menyata melalui sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Wajah-Nya disaksikan melalui Jamal-Nya dan Jalal-Nya. Wajah Jamal-Nya menyata melalui nama-nama: ar-Rauf, al-Wadud, al-Halim, al-Karim, al’Afuwwu, al-Ghaffar, al-Mannan, al-Hannan, as-Sobbur, asy-Syakur dan ar-Razak. Wajah Jalal-Nya menyata melalui Nama-nama: al-Jabbar, al-Muntaqim, al-‘Aziz, al-Muta’al, al-Mutakabbir, al-Muhaimin, al-Jalil, al-‘Adzim, al-Kabir, al-Mu’iz, al-Qabidh dan al-Khafidh. Nama-nama Tuhan ada yang menunjukkan kepada sifat dan ada yang menunjukkan kepada Zat. Aspek Zat yang bisa disifatkan dipanggil tasybih dan yang tidak bisa disifatkan dipanggil tanzih. Kesempurnaan jiwa hamba adalah berada di antara kedua-dua aspek tersebut:
Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya dan Dia Mendengar dan Melihat (Ayat 11 : Surah asy-Syura )
Walaupun Dia tidak serupa dengan sesuatu tetapi Dia adalah Mendengar dan Melihat. Allah s.w.t menyatukan kedua-dua aspek tersebut pada satu ayat. Bila kedua-dua aspek tersebut menyatu pada jiwa si hamba dia akan merasakan ketenteraman dan kedamaian.
Ada nama-nama-Nya yang kelihatan sebagai berlawanan di antara satu dengan yang lain. Al-Hayyun menghidupkan dan al-Mumit mematikan. Al-Hadi memberi petunjuk dan al-Muzil menyesatkan. Kelihatan seolah-olah ada perlumbaan di antara nama-nama yang berlawanan sifat. Muncullah as-Salam yang mensejahterakan sehingga tidak berlaku perlumbaan atau perlawanan. Sekaliannya berada dalam kesejahteraan, mengambil bidang masing-masing tanpa mengganggu bidang yang lain. Percantuman dua perkara yang berbeda melahirkan pengenalan yang sebenarnya.
Dia Yang Awal dan Dia juga Yang Akhir, Dia Yang Zahir dan Dia juga Yang Batin. ( Ayat 3 : Surah al-Hadiid )
As-Salam yang mensejahterakan membawa setiap nama kepada ketetapan bidang tugas masing-masing. Bila sekaliannya berada dalam ketetapan as-Samad melengkungi sekaliannya. As-Samad menjadi sempadan bagi satu nama dan juga sempadan bagi sekalian nama-nama. Kesemua nama-nama dikemudikan oleh al-Wahid, memperkenalkan Wahdaniatik, keesaan Tuhan. Al-Wahid memimpin sekalian nama-nama bagi memperkenalkan al-Ahad. Penyaksian terhadap Wahdaniatik Tuhan membawa pengakuan terhadap kedudukan-Nya sebagai al-Malik, Raja yang memerintah dan juga al-Malik-ul-Mulk, Raja kepada segala kerajaan, dan juga Rabbul Arbab, Tuhan yang menguasai sekalian bakat-bakat ketuhanan. Kesemuanya menceritakan yang satu yaitu ALLAH! ALLAH adalah nama yang paling agung yang mengandungi dan menyimpulkan sekalian nama-nama yang lain. ALLAHmenunjukkan terkumpulnya sekalian nama-nama dan ALLAH adalah juga nama bagi Zat.
Sesungguhnya ALLAH menguasai segala sesuatu ( Ayat 20 : Surah al-Baqarah )
ALLAH yang memegang semua kekuasaan menetapkan:
Tidak ada satu pun yang melata melainkan Dia yang menguasai ubun-ubunnya. Dan Tuhanku adalah di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud )
Allah s.w.t menetapkan nama-nama-Nya menjadi hakikat-hakikat yang menguasai sekalian kejadian-Nya. Setiap yang maujud ubun-ubunnya dipegang oleh nama Tuhan dan nama Tuhan yang menjadi hakikat itu mengseret makhluk yang di bawah bidang kekuasaan-Nya pada jalan yang Allah s.w.t telah tentukan. Tidak ada satu makhluk pun bisa bebas daripada nama Tuhan yang menjadi hakikat yang menguasainya. Nama al-Hadi membimbing seseorang kepada jalan yang benar. Semua guru-guru merupakan ‘cermin’ tempat zahirnya kesan kekuasaan al-Hadi. Siapapun saja yang mendapat bimbingan kepada jalan yang lurus dan siapapun saja yang membimbingnya, pada hakikatnya al-Hadi yang memberi bimbingan. Al-Muzil mempunyai kekuatan untuk menyesatkan dan kekuatan ini terzahir pada makhluk-Nya yang bernama iblis. Sekalipun kelihatan iblis yang menyesatkan manusia tetapi iblis bukan berdiri dengan sendiri. Iblis tidak mempunyai sebarang kekuasaan. Allah s.w.t mengizinkan iblis menumpang kekuasaan al-Muzil. Oleh karena iblis menumpang kekuasaan nama Tuhan maka tidak ada kekuasaan makhluk dapat mengalahkannya. Hanya satu saja kekuasaan yang mampu mengatasinya, yaitulah kekuasaan ALLAH yang menguasai segala kekuasaan. Lantaran itu Dia mengajarkan:
Daku berlindung kepada ALLAH dari syaitan yang direjam
Segala kekuasaan tunduk kepada kekuasaan ALLAH. Allah yang memiliki segala kekuasaan itu menetapkan:
Barangsiapa dibimbing oleh Allah pada jalan yang benar, engkau tidak dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, engkau tidak dapat membimbingnya kepada jalan yang benar. ( Maksud Hadis )
Manusia hanya ada satu pilihan saja yaitu tunduk menyerah kepada Allah s.w.t. Penyerahan kepada Allah s.w.t merupakan kekuatan maksima yang tidak terkalahkan oleh kekuatan yang lain.
Oleh karena nama-nama Tuhan menjadi hakikat yang menguasai segala sesuatu, maka tidak ada makhluk yang dapat mengubah perjalanan hakikat yang menguasainya. Unta tidak bisa meminta menjadi matahari. Bulan tidak bisa meminta menjadi bumi. Gunung tidak bisa meminta menjadi langit. Malaikat tidak bisa meminta menjadi manusia. Manusia tidak bisa meminta menjadi Tuhan. Setiap sesuatu dikawal oleh hakikat masing-masing. Dalam aspek ini setiap kejadian Tuhan tidak mempunyai pilihan. Mereka adalah hamba yang terikat. Sebagai satu kejadian yang dikawal oleh satu hakikat ia bebas bergerak di dalam sempadan hakikatnya. Oleh karena nama Tuhan menjadi hakikat maka makhluk memperolehi bakat-bakat yang berkuasa melahirkan kesan. Hakikat yang menguasai manusia adalah hakikat yang paling lengkap dan sempurna. Tidak ada yang dapat mengatasi apa yang ada dengan manusia. Keistimewaan hakikat yang menguasai manusia menyebabkan di dalam sempadan kemanusiaan, manusia bebas melahirkan fikiran, perbuatan, kehendak dan pilihan. Dalam aspek ini manusia adalah hamba yang merdeka.
Hakikat yang menguasai makhluk itulah yang menyebabkan makhluk mendapat nikmat penciptaan dan nikmat kesinambungan kewujudan. Hakikat menjadi pemangkin atau hijab yang mempertahankan apa yang Tuhan ciptakan. Hubungan wujud makhluk dengan Wujud hakikat adalah perkaitan mumkinul wujud dengan Wajibul Wujud. Wujud hakikat adalah wujud ketuhanan, wujud pemerintah atau pentadbiran ketuhanan. Wujud makhluk adalah wujud yang diperintah, wujud yang menumpang, yang bergantung, berhajat dan berharap kepada wujud yang memerintah.
Hakikat bukanlah makhluk. Ia adalah suasana pentadbiran Tuhan. Qada dan Qadar yang ditentukan Tuhan adalah di dalam sempadan hakikat yang daripada suasana tersebut berlakulah takdir. Takdir tidak menyimpang daripada hakikat yang menguasainya. Setiap makhluk di seret oleh hakikat yang menguasainya. Siapapun yang berhakikatkan hakikat kenabian akan menjadi nabi. Siapapun yang berhakikatkan hakikat kewalian akan menjadi wali. Siapapun yang berhakikatkan Hakikat Manusia akan menjadi manusia.
Tiada perubahan dalam kalimat Allah itu. ( Ayat 64 : Surah Yunus )
Orang yang mengenal dirinya sebenarnya mengenali hakikat yang menguasai dirinya, yaitu suasana ketuhanan yang menguasai kewujudan dan penghidupannya. Mengetahui hakikat ketuhanan yang menguasai diri tidak menjadikan diri itu Tuhan. Tuhan tetap Tuhan tidak berubah menjadi hamba. Hakikat ketuhanan adalah pemerintah dan hamba pula adalah makhluk yang diperintah. Diri tetap berada pada taraf kehambaan walaupun mengenali hakikat ketuhanan.
Diri yang menetap pada kedudukan kehambaan dengan menyerah sepenuhnya kepada pemerintah itulah sebenarnya wali Tuhan. Wali Tuhan pada peringkat ini menetap pada makam kehambaan dengan menyaksikan Rububiah pada setiap ketika dan dalam semua suasana.
________________________________________
HAKIKAT ALAM DAN HAKIKAT INSAN
Satu makhluk dikuasai oleh satu hakikat. Apabila sekalian makhluk dikumpulkan dan dilihat sebagai satu kewujudan saja ia dipanggil alam. Hakikat yang menguasai sekalian alam ini dipanggil Hakikat Alam. Manusia merupakan salinan kecil kepada sekalian alam. Apa saja yang ingin dilihat pada alam makhluk bisa dilihat pada manusia. Manusia bisa dilihat sebagai malaikat, syaitan, hewan, bumi yang kaku atau langit yang tinggi, atau apa saja anasir alam. Pada manusia ada sifat kebaikan dan ada sifat kejahatan, ada unsur alam bawah yang gelap dan ada unsur alam atas yang terang. Keunikan ciptaan manusia itu menyebabkan manusia mengenal Tuhan dari berbagai-bagai aspek, melebihi pengenalan yang ada dengan makhluk yang lain. Makhluk lain bergerak dalam sempadan yang ditentukan untuknya saja. Malaikat yang menjaga langit pertama tidak bisa turun ke dunia dan tidak bisa naik ke langit ke dua melainkan dengan perintah Tuhan karena sesuatu sebab. Malaikat yang menjaga matahari tidak menggangu urusan bulan. Malaikat yang bertugas memberi rezeki tidak terlibat dengan urusan mencabut nyawa. Setiap malaikat bergerak di dalam sempadannya masing-masing atau di kuasai oleh satu hakikat saja. Manusia dikuasai oleh hakikat-hakikat yang berkumpul sebagai satu hakikat. Manusia menguruskan penglihatan, pendengaran, pergerakan dan lain-lain. Manusia mampu melepasi alam bumi, Alam Langit dan sampai ke Arasy, separti yang dibuktikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Manusia dalam aspek kerohaniannya bisa menerima isyarat-isyarat dari alam ghaib dan menerima perkhabaran daripada Loh Mahfuz. Manusia mempunyai ilmu mengenai semua perkara. Keistimewaan manusia adalah karena hakikat yang menguasai sekalian alam itu juga adalah hakikat yang menguasai manusia. Bila dipandang hakikat tersebut sebagai hakikat yang menguasai manusia istilah Hakikat Insan digunakan. Setiap makhluk akan hanya mempunyai ilmu menurut hakikat yang menguasainya. Perkara tersebut diketahui karena maklumat mengenainya ada pada hakikat yang menguasainya. Apa yang tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui adalah apa yang tidak termasuk di dalam sempadan hakikat yang menguasainya itu. Pada hakikat yang menguasai lembu tidak ada maklumat tentang 2 + 2 = 4. Mengajar lembu untuk mempercayai bahwa 2 + 2 = 4 adalah perbuatan yang sia-sia dan tidak akan berhasil walaupun dimencoba sehingga ke hari kiamat.
Pada hakikat yang menguasai manusia ada maklumat tentang matematik, sains dan teknologi, termasuklah teknologi maklumat yang tercanggih, astronomi, perobatan, sastera, pertukangan, penternakan, pertanian dan lain-lain. Oleh sebab itu manusia bisa diajar mengenai perkara-perkara tersebut. Fungsi belajar sebenarnya adalah ‘memperingatkan’ manusia tentang apa yang sudah ada dengannya. Manusia tidak mempelajari perkara baru karena semua maklumat sudah pun dibekalkan kepada kejadian manusia sejak manusia yang pertama diciptakan.
Dan telah diajarkan kepada Adam sekalian nama-nama…. ( Ayat 31 : Surah al-Baqarah )
Oleh yang demikian permencobaan mengajar ilmu walau bagaimana rumit sekalipun ia bisa berjaya karena dia hanya perlu ‘celik’ memandang kepada apa yang sudah tertanam pada kejadiannya yang asli.
Hakikat yang menguasai manusia yaitu Hakikat Insan dikenali juga sebagai Hakikat Adam karena hakikat ini menguasai kejadian Adam a.s dan sekalian keturunannya. Hakikat Insan tidak bisa diketahui dan tidak ada kenyataannya tanpa penciptaan Adam a.s, yang dipanggil juga Bapa Jasad. Adam a.s adalah penggerak kepada alam badan kebendaan. Pada zaman dan ruang yang tidak ada Adam a.s, tidak ada anasir yang bergerak pada tubuh badan. Iblis juga tidak ada. Pada ketika itu semua kejadian berada dalam suasana rohani yang tidak tahu berbuat durhaka kepada Tuhan. Apabila Allah s.w.t menciptakan Adam a.s dan meneranginya dengan hakikat yang menguasai perjalanan sekalian makhluk, yang terkandung padanya semua bakat dan nilai, maka segala kejadian bisa bergerak pada jalan menyatakan bakat masing-masing. Secara automatik muncullah iblis. Sebelum Adam a.s diciptakan, Azazil yang padanya tersimpan maklumat mengenai kejahatan tidak berupaya menggunakan bakat tersebut. Sebaik saja Adam a.s diciptakan maklumat mengenai kejahatan yang terpendam itu sudah bisa menyata dan dengan serta merta Azazil bertukar menjadi iblis. Penciptaan Adam a.s membisakan anasir jahat memakai tubuh badan.
Malaikat yang tidak memerlukan badan kebendaan bisa wujud sebelum Adam a.s diciptakan. Pada zaman sebelum ada Adam a.s semuanya bertaraf malaikat, termasuklah Azazil, Bapa Jin. Semua mereka tidak ada pilihan melainkan beribadat kepada Tuhan. Dalam keadaan yang demikian neraka seolah-olah tidak akan mendapat rezeki. Sebaik saja Adam a.s diciptakan keupayaan dan bakat jahat telah mempunyai bekas untuk menyalurkan kejahatannya. Di sinilah letaknya rahsia syariat. Tanpa Adam a.s tidak ada kejahatan, maka syariat tidak diperlukan. Bila syariat tidak zahir hakikat tidak menyata. Semuanya tersembunyi dan tidak ada yang mengenal Tuhan. Bila syariat zahir barulah ada makrifat tentang Tuhan.
Syariat mengandungi kesempurnaan makrifat karena syariat memperkenalkan Yang Esa melalui dua aspek yang bertentangan. Syariat memperkenalkan yang kanan melalui kewujudan yang kiri, begitu juga sebaliknya. Jika tidak ada kiri tidak akan dikenali kanan. Syariat memperkenalkan cahaya dengan adanya gelap. Jika tidak ada gelap tidak akan diketahui apa itu cahaya. Syariat memperkenalkan taat dengan adanya ingkar. Jika tidak ada ingkar tidak akan diketahui apa itu taat. Syariat memperkenalkan ibadat dengan adanya maksiat. Jika tidak ada maksiat tidak akan diketahui apa itu ibadat. Syariat memperkenalkan pahala dengan adanya dosa. Jika tidak ada dosa tidak akan diketahui apa itu pahala. Satu perkara memperkenalkan lawannya yang satu lagi dan kedua-duanya memperkenalkan penghubung keduanya. Penghubung tersebut memperkenalkan wujud yang menguasai.
Penciptaan Adam a.s yang dikuasai oleh hakikat yang sempurna menyebabkan alam menjadi sempurna. Adam a.s adalah pasak alam yang menstabilkan alam. Tanpa Adam a.s neraka akan bergegar karena tidak ada siapapun yang akan masuk ke dalamnya. Bila Adam a.s diciptakan neraka menjadi tenteram karena ia tahu haknya akan ditunaikan. Tanpa Adam a.s, hakikat kenabian dan hakikat kewalian tidak akan ada kenyataan, tidak akan muncul nabi-nabi dan wali-wali ke dunia, maka tidak ada siapapun mengenal Tuhan.
Mengalami suasana Hakikat Insan di dalam Perbendaharaan-Nya yang tersembunyi memakrifatkan hamba dengan Pentadbiran Tuhan ke atas makhluk-Nya, termasuklah manusia.
________________________________________
HAKIKAT MUHAMMADIAH
(HAKIKAT KEPADA SEMUA HAKIKAT-HAKIKAT)
Hakikat Insan yang menguasai keturunan Adam a.s membekalkan segala bentuk maklumat yang diperlukan oleh bangsa manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Walaupun begitu Allah s.w.t memperingatkan:
Kami firmankan: “Turunlah kamu sekalian dari (syurga) ini, kemudian jika datang pada kamu satu petunjuk daripada-Ku, maka barangsiapa yang menuruti petunjuk-Ku itu, tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita”. ( Ayat 38 : Surah al-Baqarah )
Walaupun Adam a.s dikuasai oleh hakikat yang membekalkan maklumat yang lengkap namun beliau a.s tetap tertakluk kepada petunjuk yang Allah s.w.t turunkan dari masa ke masa. Ini bermakna ada hakikat yang lebih sempurna dan lebih lengkap serta menguasai Hakikat Insan itu. Pada Hakikat Insan terkumpul segala maklumat mengenai kejadian manusia dan sekalian makhluk, tetapi tidak dibekalkan maklumat mengenai yang bukan manusia dan bukan makhluk. Hakikat yang menyimpan segala maklumat mengenai apa yang ada dengan Hakikat Insan ditambah lagi dengan maklumat mengenai syariat Tuhan, makrifat tentang Tuhan, suasana Ilmu Tuhan dan apa saja selain Allah Yang Hakiki, dinamakan hakikat kepada hakikat-hakikat atau hakikat yang menyeluruh. Ia lebih dikenali sebagai Hakikat Muhammadiah, kadang-kadang dipanggil sebagai Hakikat Muhammad saja. Hakikat Muhammadiah ini merupakan Hakikat yang menguasai Nabi Muhammad s.a.w, sebab itu dinamakan Hakikat Muhammad. Inilah yang membuatkan Nabi Muhammad s.a.w lebih istimewa daripada semua manusia dan sekalian makhluk. Hakikat Muhammadiah atau urusan Tuhan yang menguasai kejadian Nabi Muhammad s.a.w itu adalah juga urusan Tuhan yang menguasai sekalian urusan-urusan Tuhan.
Manusia dari segi fitrahnya dihubungkan dengan Hakikat Insan tetapi dari segi Islam, iman, tauhid dan makrifat dihubungkan dengan Hakikat Muhammadiah. Hakikat Muhammadiah menyata melalui Rasul-rasul dan Nabi-nabi. Jika semua keturunan manusia dikuasai oleh Hakikat Insan atau Hakikat Adam, maka semua Nabi-nabi dan Rasul-rasul dikuasai oleh hakikat yang menyeluruh atau Hakikat Muhammadiah.
Adam a.s diperakui sebagai wakil kepada sekalian manusia. Muhammad s.a.w pula menjadi wakil kepada sekalian Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Bila disebut Nabi Muhammad s.a.w ia membawa maksud kesatuan sekalian Nabi-nabi dan Rasul-rasul karena pada Nabi Muhammad s.a.w terkumpul semua kebaikan para nabi dan para rasul, ilmu sekalian nabi dan rasul, syariat yang dibawa oleh sekalian nabi dan rasul dan semua mengenai Islam, iman, tauhid dan makrifat para Nabi dan Rasul. Nabi Muhammad s.a.w merupakan Rasul Allah yang paling agung, paling sempurna dan paling mulia. Oleh yang demikian sekalian makhluk menyaksikan:
Maklumat yang tersimpan pada hakikat yang menyeluruh menyata dengan sempurna pada Nabi Muhammad s.a.w.
Apabila disebut Nabi Muhammad s.a.w ia meliputi risalat sekalian Rasul-rasul. Jika disebut Nabi Ibrahim a.s atau Nabi Musa a.s ia membawa maksud satu bentuk risalat daripada risalat yang menyeluruh yang berkumpul pada kerasulan Muhammad s.a.w. Semua nabi-nabi menyaksikan “La ilaha illah Llah Muhammad ur-Rasullullah ”. Semua nabi-nabi memberi peringatan tentang kedatangan Muhammad Rasul Allah, Rasul yang paling mulia dan paling sempurna, yang membawa intisari yang lengkap dan menyeluruh bagi maklumat yang terkumpul pada sumber kerasulan yaitu Hakikat Muhammadiah.
Walaupun Hakikat Muhammadiah merupakan hakikat yang menyeluruh, tetapi ia bukanlah Allah s.w.t. Nabi Muhammad s.a.w bukanlah Allah s.w.t dan bukan juga penjelmaan Allah s.w.t. Hakikat Muhammadiah adalah urusan Allah s.w.t ‘yang menyampaikan’ melalui rasul-rasul-Nya apa yang Dia berkehendak menyampaikan. Bila urusan Allah s.w.t ini berhubung dengan Jibrail a.s dan rasul-rasul ia dipanggil wahyu. Wahyu yang terpendam pada sisi Allah s.w.t dipanggil Hakikat Muhammadiah. Bila ia dipandang sebagai penyimpan segala maklumat tentang urusan Tuhan ia dipanggil Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Hakikat Muhammadiah atau urusan Tuhan yang menyeluruh atau Perbendaharaan Yang Tersembunyi itu dikurniakan secara lengkap dan sempurna kepada Nabi Muhammad s.a.w. Oleh yang demikian wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah wahyu yang paling lengkap. Risalat yang dikurniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah risalat yang paling lengkap. Kerasulan yang dikurniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah kerasulan yang paling lengkap dan paling tinggi.
Istilah Hakikat Muhammadiah kadang-kadang menimbulkan kekeliruan kepada sesetengah orang. Perlu difahamkan bahwa Hakikat Muhammadiah pada suasana urusan Tuhan itu tidak turun atau menjelma menjadi Nabi Muhammad s.a.w, apa lagi menjadi orang lain. Urusan Tuhan tetap berada pada tahap urusan Tuhan. Hakikat tetap berada pada tahap hakikat. Apa yang diperkatakan adalah suasana makrifat, penyaksian dalam ilmu dan pengalaman rasa (zauk). Hal atau keadaan hakikat yang sebenarnya hanya Allah s.w.t saja yang tahu. Manusia hanya bercerita menurut kadar makrifat, ilmu dan pengalaman yang ada dengan mereka, sekadar yang Allah s.w.t kurniakan kepada mereka. Pengalaman kerohanian pada peringkat Hakikat Muhammadiah lebih membuat si hamba mengenali kemuliaan dan ketinggian derajat Nabi Muhammad s.a.w, walaupun baginda s.a.w hanyalah seorang manusia keturunan Adam a.s, separti manusia yang lain.
Mengalami suasana Hakikat Muhammadiah melahirkan keasyikan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. Sehingga kepada peringkat ini si hamba masih lagi tidak ada perhatian dan kesadaran terhadap dirinya sendiri. Perhatiannya dan kesadarannya hanyalah tertuju kepada apa yang dialaminya dalam suasana Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Bila dikuasai oleh keasyikan terhadap Rasulullah s.a.w, apa saja yang berkenaan dengan baginda s.a.w sangat memberi kesan pada jiwanya. Dia merasakan kehampiran yang amat sangat dengan Rasulullah s.a.w, seolah-olah tidak terpisah. Ucapan selawat dan salam memberi kelazatan kepada jiwanya. Dia menikmati puji-pujian terhadap Rasulullah s.a.w seakan-akan ia adalah untuknya juga. Dalam suasana yang demikian hatinya dikuasai oleh dua hal saja yaitu Allah s.w.t dan Rasulullah s.a.w. Dia tidak menyaksikan yang lain. Apa yang hatinya menyaksikan adalah kecintaan Allah s.w.t kepada rasul-Nya dan kecintaan serta ketaatan Rasulullah s.a.w kepada Tuhannya.
36: Kembali Menyaksikan Kewujudan Diri Sendiri
________________________________________
Hakikat Insan dan Hakikat Muhammadiah adalah pengalaman kerohanian di dalam kefanaan, yaitu ketika hilang perhatian dan kesadaran terhadap diri sendiri. Dalam suasana tersebut si hamba tidak tahu siapakah dirinya. Dia hanyalah yang menyaksikan.
Setelah mengalami suasana Hakikat Muhammadiah si hamba berpindah kepada suasana di mana kesadaran dan perhatian terhadap kewujudan dirinya mulai datang semula secara sedikit demi sedikit. Hakikat yang membuka jalan kepada kesadaran ini dinamakan Hakikat Insan Kamil.
________________________________________
HAKIKAT INSAN KAMIL
Si hamba menyaksikan bahwa Insan Kamil adalah pertemuan di antara ketuhanan dan kehambaan. Pada Insan Kamil berkumpul pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan tentang makhluk Tuhan. Insan Kamil mengenal Tuhan dalam aspek tanzih dan tasybih. Insan Kamil memperolehi maklumat Hakikat Muhammadiah secara lengkap dan sempurna. Insan Kamil yang memiliki ilmu dan makrifat yang sempurna. Insan Kamil yang mempunyai pengenalan yang sempurna tentang Tuhan. Insan Kamil juga mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang apa yang Tuhan sampaikan kepada hamba-hamba-Nya.
Insan Kamil juga mempunyai maklumat Hakikat Insan secara sempurna. Oleh karena Hakikat Insan mengumpulkan maklumat yang lengkap tentang manusia dan alam makhluk sekaliannya, maka Insan Kamil mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang manusia dan alam makhluk sekaliannya. Seluruh alam semesta ‘terkandung’ dalam Insan Kamil. Hati si hamba yang terbuka kepada suasana Hakikat Insan Kamil menyaksikan seluruh alam semesta berada dalam hatinya. Si hamba menyaksikan pengetahuan ketuhanan datang secara langsung kepada hatinya.
Pembukaan kepada Hakikat Insan Kamil membuat hati si hamba menyaksikan alam semesta disempadani oleh dirinya dan pada masa yang sama dia menyaksikan ‘Allah’ bersemayam dalam hatinya. Inilah peringkat yang paling tinggi bahayanya dalam semua peringkat pengalaman kerohanian. Ketuhanan dan kehambaan muncul pada hati yang sama, pada perasaan yang sama dan pada masa yang sama. Hanya kehambaan yang senantiasa membayanginya meneguhkan tapak kakinya berpijak pada jalan yang benar. Kehambaan pada peringkat ini sangat rapuh, mudah saja menjadi hancur lebur. Jika hal yang demikian terjadi hati si hamba tidak lagi melihat perbedaan di antara hamba dengan Tuhan, dirinya dengan Tuhan. Keadaan separti ini tidak muncul sewaktu menyaksikan Hakikat-hakikat yang lain termasuklah Hakikat Muhammadiah karena pada ketika itu makhluk dan dirinya tidak ada dalam perhatian dan kesadarannya. Pada tahap mengalami suasana Hakikat Insan Kamil ini kesadaran dan perhatian kepada diri dan makhluk baru saja muncul kembali, belum begitu kuat dan berpengaruh. Kesadaran dan perhatian tersebut baru pada tahap seumpama bayang-bayang yang belum melekat benar pada hati. Hakikat Insan Kamil adalah umpama stesen bebas bagi hati. Ia bisa menjadi Tuhan dan hamba pada masa yang sama. Ia juga bisa menjadi nabi dan wali. Ia juga bisa menjadi malaikat.
Jika seseorang yang baru saja kembali sedikit kesadarannya terhadap kewujudan dirinya larut dalam Hakikat Insan Kamil, hatinya akan mengalami apa yang biasa disebut oleh orang sufi sebagai bersatu dengan Tuhan. Rasa bersatu dengan Tuhan berbeda daripada mengalami suasana keesaan yang berlaku pada stesen kedua belas dahulu. Pada ketika itu keesaan dialami dalam suasana tiada kesadaran terhadap diri sendiri. Si hamba hanya menyaksikan Allah s.w.t semata-mata, tidak pada dirinya dan makhluk lainnya. Dia hanya menyaksikan satu wujud yaitu wujud Allah s.w.t, wujud yang lain tidak ada dalam perhatiannya. Oleh yang demikian tidak timbul isu bersatu dengan Tuhan pada peringkat itu. Pada peringkat Hakikat Insan Kamil pula wujud Allah s.w.t dan wujud dirinya menyata dalam kesadarannya dan mungkin dia tidak dapat membedakan yang satu dengan yang lain. Dalam keadaan demikian dia mungkin menyaksikan Allah s.w.t sebagai Haq (Yang Hakiki) dan juga khalq (makhluk sebagai bayangan Yang Hakiki). Dia mungkin merasakan dirinya sebagai Tuhan dan hamba Tuhan, yang sama dalam aspek yang berbeda. Dia mungkin melihat sifat-sifat yang ada pada dirinya sebagai sifat Tuhan dan dia menjadi penzahir sifat Tuhan secara sempurna. Dia mungkin merasakan pada wujudnya yang satu bertemu Wujud Tuhan dengan wujud alam semesta. Dia mungkin menyaksikan seluruh alam semesta seumpama bola kecil terkandung di dalam hatinya. Dia mungkin melihat badannya sebagai Arasy, rohnya sebagai Roh Muhammad dan zatnya sebagai Zat Tuhan. Dia mungkin juga melihat ilmunya sebagai Ilmu Tuhan dan bakat dirinya sebagai malaikat.
Bila dikuasai oleh rasa kelarutan dalam Hakikat Insan Kamil dia mungkin melihat dirinya berada pada satu falak di atas daripada falak yang ada makhluk yang lain. Malaikat, jin dan yang lain-lain mungkin dilihatnya berada di bawah daripada falak dirinya. Dia mungkin melihat bakat dirinya bergerak melalui makhluk yang lain. Jika dia berada dalam satu kumpulan pekerja dia mungkin melihat bakat dan daya upayanya berada pada setiap pekerja tersebut.
Suasana hati yang bertembung dengan Hakikat Insan Kamil mungkin membuat seseorang melaungkan “Ana al-Haq!”. Ucapan “Ana al-Haq” pada peringkat ini berbeda daripada ucapan Ana al-Haq pada peringkat stesen ke sebelas. Pada stesen ke sebelas dahulu si hamba semata-mata menjadi alat dan Tuhan Pengguna alat. Si hamba tidak melihat ucapan tersebut sebagai ucapannya. Dia menyaksikan Kalam Tuhan yang keluar daripadanya. Pada peringkat Hakikat Insan Kamil pula ucapan “Ana al-Haq” dilafazkan dalam keadaan ada kesadaran diri. Kesadaran tersebut membuatnya melihat ucapan itu sebagai ucapan Tuhan dan juga ucapan dirinya yang bersatu dengan Tuhan. Apa yang dia ucapkan itulah yang Tuhan ucapkan, dan apa yang Tuhan ucapkan itulah yang dia ucapkan. Beginilah keadaan yang berlaku kepada orang yang larut dalam Insan Kamil.
Banyak orang menyangkakan Insan Kamil adalah penghabisan jalan. Mereka jadikan Insan Kamil sebagai makam mereka.
Semua keturunan Adam a.s dinamakan manusia. Dalam bangsa manusia itu ada golongan yang sempurna dinamakan manusia yang sempurna. Dalam golongan manusia yang sempurna itu ada kumpulan yang menjadi Nabi dan Rasul. Bangsa manusia secara keseluruhannya dikuasai oleh Hakikat Insan. Golongan manusia yang sempurna itu pula dikuasai oleh Hakikat Insan Kamil. Dalam golongan manusia yang sempurna itu, yang menjadi nabi dan rasul dikuasai pula oleh Hakikat Muhammadiah.
Hakikat-hakikat, termasuklah Insan Kamil, bukanlah makhluk yang ada dalam alam. Hakikat adalah urusan Tuhan. Insan Kamil adalah urusan Tuhan yang menguasai satu kumpulan manusia yang sempurna kehambaannya kepada Allah s.w.t. Insan Kamil yang asli, yang ada pada sisi Tuhan tidak berupa, tidak berbentuk, tidak berwarna, tidak menempati ruang dan zaman dan juga tidak bernama. Manusia-manusia sempurna yang muncul di atas muka bumi bisalah dikatakan salinan lengkap kepada Insan Kamil yang asli. Manusia yang paling sempurna, menjadi salinan Insan Kamil yang paling sempurna menerima penguasaan sepenuhnya daripada Hakikat Muhammadiah dan beliau adalah Nabi Muhammad s.a.w. Manusia-manusia sempurna yang lain, walaupun sempurna tetapi kesempurnaan mereka tidak mencapai tahap kesempurnaan Nabi Muhammad s.a.w. Mereka tidak menerima penguasaan Hakikat Muhammadiah secara lengkap, selengkap Nabi Muhammad s.a.w. Oleh itu hanya Nabi Muhammad s.a.w saja yang bernama Muhammad, yang lain bernama Ibrahim, Musa, Isa, Nuh dan lain-lain. Manusia sempurna yang lain tidak mengaku diri mereka sebagai Muhammad walaupun mereka juga menerima maklumat daripada Hakikat Muhammadiah. Sejak Nabi Adam a.s sampailah kepada Nabi Isa a.s tidak ada seorang Nabi pun yang mengaku menjadi Muhammad. Kumpulan manusia yang sah kesempurnaan mereka tidak mengaku menjadi Muhammad atau bersekutu dengan Muhammad. Jika ada orang yang mengaku menjadi Muhammad atau bersekutu dengan Muhammad, baik secara zahir atau secara batin, maka nyatalah mereka telah keliru dalam memahami hakikat.
Salinan Insan Kamil yang paling sempurna dalam kumpulan Nabi-nabi adalah Nabi Muhammad s.a.w, penutup Kenabian. Salinan Insan Kamil yang sempurna dalam kumpulan wali-wali adalah Muhammad Imam Mahadi, penutup kewalian. Muhammad Imam Mahadi tinggal di dalam dunia dan menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya oleh Allah s.w.t. Bila tugas tersebut selesai beliau kembali ke rahmatullah. Pada ketika itu salinan Insan Kamil tidak akan muncul lagi ke dunia. Bila salinan Insan Kamil tidak ada lagi di dalam dunia maka tertutuplah ilmu ketuhanan. Tidak ada lagi manusia yang mengenal Allah s.w.t. Pada ketika itu berlakulah kiamat besar.
Ada beberapa perkara lagi perlu diketahui berhubung dengan daerah Insan Kamil yang selalu diperkatakan apabila bercakap mengenainya. Insan Kamil dikatakan bersemayam di dalam Kaabatullah. Kaabatullah selalu disebut dalam memperkatakan tentang hakikat. Ada orang mengatakan dia bersholat menghadap Kaabatullah. Ada pula yang mengatakan dia bersholat di dalam Kaabatullah. Yang lain pula mengatakan dia sholat dengan ketiadaan Kaabatullah. Ada juga orang mengatakan dia menemui Rasulullah s.a.w di dalam Kaabatullah. Berbagai-bagai lagi keadaan Kaabatullah yang diceritakan orang dalam menggambarkan suasana hakikat.
Kaabatullah yang dikatakan separti cerita di atas merupakan suasana simbolik bagi menggambarkan keadaan hubungan hati dengan Allah s.w.t. Umat Islam bersholat menghadap Kaabatullah bukan bermakna mereka menyembah Kaabatullah dan bukan juga Allah s.w.t berada dalam Kaabatullah. Allah s.w.t memilih Kaabatullah sebagai tempat yang bisa dirasakan kehadiran-Nya dengan kuat. Jadi, Kaabatullah dihubungkan dengan Hadrat Ilahi. Berhadap ke Kaabatullah bermakna menghadap kepada Hadrat-Nya.
Di dalam suasana hakikat, Kaabatullah menjadi misal bagi suasana ketuhanan. Bila dikatakan Insan Kami bersemayam di dalam Kaabatullah ia bermaksud Insan Kamil adalah suasana ketuhanan, berada dalam Ilmu Tuhan. Orang yang bersholat di dalam kesadaran melihat Kaabatullah berada di hadapannya. Orang yang di dalam zauk merasakan berada di dalam Kaabatullah. Orang yang baqa dengan Allah s.w.t tidak melihat kepada Kaabatullah. Orang yang ‘memasuki’ Ilmu Allah, mengenali suasana Hakikat Muhammadiah dan mengambil ilmu daripada sumber tersebut, menggambarkannya sebagai berjumpa dengan Rasulullah s.a.w di dalam Kaabatullah dan menerima pengajaran daripada baginda s.a.w. Pengalaman-pengalaman yang disebut di atas merupakan pengalaman dalam 'misal kepada hakikat’.
Penyaksian terhadap rupa, bentuk, cahaya dan warna adalah penyaksian kepada misal bagi hakikat-hakikat. Apa yang disaksikan itu menjadi cermin yang membalikkan kepemahaman tentang hakikat yang tidak bisa disaksikan. Rasulullah s.a.w melihat pada malam Israk dan Mikraj, bentuk misal kesenangan dan kemewahan dunia sebagai perempuan cantik dan umur dunia yang sudah lanjut sebagai perempuan tua. Kedua-duanya menceritakan tentang hakikat dunia tetapi berlainan rupa bagi menceritakan maksud yang berbeda.
Hakikat bisa diibaratkan sebagai cahaya dan cermin sebagai Alam Misal. Jika benda nyata diletakkan di hadapan cermin dan cahaya dipancarkan kepadanya, akan kelihatanlah gambaran benda nyata itu di dalam cermin. Gambaran yang kelihatan di dalam cermin itu menyatakan bahwa pada benda nyata itu ada pancaran cahaya. Cahaya disaksikan dalam bentuk benda-benda nyata. Bentuk benda-benda nyata itu menjadi misal kepada cahaya, menceritakan bahwa di sana ada kehadiran cahaya. Tetapi benda nyata dan gambaran benda nyata yang kelihatan atau bentuk misal itu bukanlah cahaya. Cahaya tetap dalam keadaan aslinya yang tidak ada rupa dan warna. Ada orang yang tidak membedakan bentuk misal dengan cahaya yang asli. Orang yang tidak membedakan bentuk misal dengan hakikat kepada yang dimisalkan itu memahamkan hakikat ketuhanan mempunyai wajah-wajah tertentu.
Hakikat Insan Kamil adalah umpama cahaya yang hening. Hati insan umpama cermin yang jernih. Orang yang memandang ke dalam cermin hatinya bersuluhkan cahaya Hakikat Insan Kamil akan menyaksikan wajahnya sendiri di dalam cermin itu, lalu dia menyangkakan bahwa itulah wajah Insan Kamil yang asli, dan itu jugalah wajah Tuhan yang tidak dibedakan dengan Insan Kamil. Jika orang Hindu menyembah tuhan dalam rupa monyet orang tadi menyembah Tuhan dalam rupa dirinya sendiri. Lama-lama orang Hindu menyembah monyet, tidak lagi menyembah Tuhan. Lama-lama orang tadi menyembah dirinya, tidak lagi menyembah Tuhan. Inilah yang selalu terjadi kepada orang yang berjalan kepada hakikat tanpa membawa syariat.
Orang yang berjalan pada jalan kerohanian perlu melepasi bentuk-bentuk misal. Lepaskan apa juga yang sampai kepada penyaksian. Nafikan dengan kalimah “La ilaha illa Llah”. Orang yang berjaya melepasi bentuk-bentuk misal tersebut akan sampai kepada Penyaksian Hakiki, yaitu menyaksikan tanpa rupa, bentuk, cahaya, warna dan wajah. Pada Penyaksian Hakiki juga tidak ada suara, tidak ada huruf. Penyaksian berlaku kepada mata keyakinan. Si hamba yang menyaksikan dengan mata keyakinan mengucapkan: “Sesungguhnya hatiku tidak berasa syak lagi bahwa Engkau yang daku pandang tanpa rupa, tanpa bentuk, tanpa cahaya, tanpa warna, tanpa suara dan tanpa huruf”. Itulah keadaan memandang dengan tiada sesuatu yang dipandang, tahu tanpa sesuatu pengetahuan dan kenal tanpa sesuatu pengenalan. Penyaksian akal dinamakan ilmul yaqin. Penyaksian mata hati dinamakan ainul yaqin. Penyaksian mata keyakinan dinamakan haqqul yaqin. Haqqul yaqin meruntuhkan segala pengetahuan dan penyaksian karena sesungguhnya Tuhan adalah:
Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya
Keyakinan terhadap Allah s.w.t adalah:
Dan Dia Mendengar dan Melihat
Jika seseorang mau cepat sampai ke matlamat hendaklah bersegera melepaskan bentuk-bentuk misal yang sampai kepada penyaksiannya. Berpindahlah kepada Penyaksian Hakiki. Tanda seseorang sudah memiliki Penyaksian Hakiki adalah dia dapat melihat hakikat ketuhanan pada dua perkara yang bertentangan dengan sekali pandang. Nama, rupa, bentuk, cahaya dan warna tidak menghijab pandangannya untuk menyaksikan hakikat atau Rububiah. Makrifat tentang nama-nama Tuhan penting bagi memperolehi Penyaksian Hakiki. Jika Yang Menghidupkan tidak menghijab Yang Mematikan, Yang Menaikkan tidak menghijab Yang Menjatuhkan, Yang Memberi tidak menghijab Yang Menahan, Yang Awal tidak menghijab Yang Akhir, Yang Zahir tidak menghijab Yang Batin, maka yang disaksikan pada setiap masa dan dalam semua suasana adalah Yang Maha Esa. Apabila mata ilmu dan mata hati tidak menutup mata keyakinan maka yang disaksikan adalah Yang Haq!
Tidak semua orang yang memasuki daerah Hakikat Insan Kamil akan terdorong kepada suasana bersatu dengan Tuhan. Si hamba yang telah mengalami suasana kehadiran kenabian dan mengalami pula suasana keesaan Tuhan akan senantiasa dibayangi oleh rasa kehambaan kepada Tuhan. Pertembungan dengan Hakikat Insan Kamil tidak menyebabkan berlakunya perlarutan. Suasana Hakikat Insan Kamil dialaminya sebagaimana mengalami suasana Hadrat kenabian dan Hadrat ketuhanan. Si hamba tidak mengalami suasana menjadi Insan Kamil atau menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Insan Kamil merupakan salah satu Hadrat yang dialaminya dan melalui pengalaman tersebut dia mengarti maksud Insan Kamil.
Orang yang berjalan pada jalan kehambaan akan menetap sebagai hamba, tidak berubah menjadi Adam atau Muhammad atau Insan Kamil atau Tuhan. Sepanjang perjalanan dia berada dalam suasana dia yang menyaksikan dan melalui penyaksian tersebut dia memperolehi pengetahuan dan pengenalan (ilmu dan makrifat) tanpa melepaskan pandangan kepada “Allah Yang Maha Esa” dan “Tiada sesuatu serupa dengan-Nya”. Melalui jalan kehambaan kehadiran kenabian, kehadiran Hakikat-hakikat Insan, Muhammadiah dan Insan Kamil dan juga kehadiran Tuhan berperanan sebagai Pembimbing. ‘Pertemuan’ dengan Hadrat-Hadrat tersebut memperkuatkan Petunjuk Ghaib dalam dirinya. Juru-bicara dalam dirinya senantiasa memberi peringatan. Dia diperingatkan agar berjalan terus, jangan berhenti walaupun dilambai oleh syurga atau dihalang oleh neraka, walaupun dibukakan suasana Hakikat-hakikat. Semua itu untuk diketahui dan untuk dikenal, bukan tempat untuk bermakam.
Dalam suasana Hakikat Insan Kamil, seseorang biasa berjumpa dengan hakikat maut yaitu mengalami suasana Izrail. Bisa juga dikatakan jika seseorang itu tidak mengalami suasana Izrail dia tidak memasuki daerah Insan Kamil dengan sepenuhnya. Dia mungkin berjalan di bawah bayangan daerah itu saja.
Manusia biasa naik ke langit melalui jalan biasa yang dilalui oleh semua orang, yaitu jalan mati. Orang yang memasuki daerah Hakikat Insan Kamil juga mengalami kematian, tetapi bukan kematian tubuh badan. Kematian yang berlaku di sana adalah kematian secara kebatinan, yaitu merasai kehadiran Maut. Dia mungkin merasai suasana kematian beberapa kali pada alam kebatinannya. Pengalaman yang demikian membuka tutupan pada hati. Pada stesen kerohanian yang ke lapan si hamba telah menghadapkan dirinya kepada maut. Pada ketika itu dia menuju kepada pengecilan kesadaran terhadap diri sendiri. Ia menjadi lonjakan untuk mencapai stesen yang berikutnya. Tetapi pengalaman tersebut tidak banyak memberi pengartian kepada dirinya. Dalam daerah Hakikat Insan Kamil pula si hamba sedang menuju ke arah pembesaran kesadaran terhadap diri sendiri. Oleh itu setiap pengalaman menarik perhatiannya. kehadiran Maut pada daerah Insan Kamil memperjelaskan pengalaman pada stesen ke lapan dahulu. Dalam daerah Insan Kamil ini si hamba merasakan sangat hampir dengan Maut. Biasa terjadi pada peringkat ini dia mendapat firasat mengenai kematian orang-orang tertentu dan kemudiannya ternyata firasat tersebut adalah benar. Keadaan ini bersifat sementara saja. Apabila dia meninggalkan daerah Insan Kamil dia keluar juga daripada Hadrat Maut itu dan firasat tentang kematian tidak ada lagi.
Apabila Hadrat Maut dan Hadrat Insan Kamil bertemu pada satu daerah, pada satu hati, suasana kehambaan akan menetap dan terhindarlah suasana ketuhanan. Hadrat Maut memperlihatkan kedaifan, kehinaan dan kejahilan si hamba. Hadrat Insan Kamil memperlihatkan kekuasaan, kemuliaan dan kebijaksanaan Tuhan. Orang yang benar-benar menyaksikan keagungan Tuhan adalah orang yang sedang menghadapi sakratul maut. Keadaan ini samalah separti keadaan orang yang menerima wang satu juta dan pada masa yang sama dia mengetahui bahwa dia menghidapi penyakit kanser yang akan membawanya kepada maut. Begitulah umpamanya keadaan hati yang merasai Hadrat Maut dan Hadrat Insan Kamil pada satu masa. Dia diperlihatkan kekerdilan dirinya sebagai hamba Tuhan dan keagungan Allah s.w.t sebagai Tuhan. Bertambah kuatlah rasa kehambaan pada dirinya. Jadi, Hadrat Insan Kamil yang menyebabkan sebagian orang mengalami suasana bersatu dengan Tuhan bisa juga menambahkan rasa kehambaan. Si hamba yang bertambah rasa kekerdilan diri dan kehambaannya kepada Tuhan bermunajat kepada Tuhan dengan penuh tawaduk:
“Sesungguhnya Engkau jualah Tuhan Yang Maha Esa. Tiada sesuatu bersekutu dengan-Mu. Daku hanyalah hamba-Mu yang lemah, hina dan jahil. Di hadapan Wajah-Mu Yang Maha Mulia dan Maha Suci daku menyaksikan betapa lemah, hina dan jahilnya diriku.
Engkau perlihatkan pakaian keindahan-Mu. Bukan Engkau memerlukan pakaian dan bukan juga Engkau menghijab Diri-Mu, tetapi jika tidak karena pakaian keindahan-Mu nescaya hancur leburlah segala kewujudan yang menghadap kepada keagungan-Mu. Pakaian keindahan itu bukan menutupi Diri-Mu, karena Engkau Maha Esa, mana mungkin ditutupi oleh sesuatu. Wujud kami jua yang Engkau selimuti dengan kelembutan pakaian keindahan-Mu, agar kami dapat bertetangga dengan kebesaran, kemuliaan, keperkasaan dan keagungan-Mu. Engkau berbuat demikian demi rahmat dan kasihan belas-Mu kepada kami.
Engkau memiliki satu pakaian yang Engkau pakai bila menyamar. Di dalam penyamaran-Mu berdatanganlah penyanggahan, karena Engkau tidak dikenal dalam penyamaran-Mu. Kekasih akan menunjukkan kebencian. Sahabat akan menunjukkan permusuhan. Seteru akan mempergiatkan fitnah. Besarlah huru-hara terjadi apabila Engkau menyamar. Ilahi! Daku bermohon kepada-Mu. Selamatkanlah daku daripada pengingkaran tatkala menerima kedatangan-Mu dalam penyamaran. Jadikan daku senantiasa mengenali-Mu ketika menyamar dan ketika menyata.
Engkau Maha Cinta. Engkau mencintai agar Diri-Mu dikenali. Lalu Engkau perkenalkan Diri-Mu melalui nama-nama-Mu. Nama dan zat nama sendiri tidak berupaya mendatangkan kesan. Hanya Engkau, Zat yang memiliki segala kekuasaan dan kekuatan. Semuanya menumpang kekuasaan dan kekuatan Zat Diri-Mu Yang Maha Esa, Maha Tinggi. Sekaliannya menyaksikan bahwa: ‘Sesungguhnya Allah jualah yang menguasai segala sesuatu’ ”.
Kesadaran si hamba kepada kewujudan dirinya dan makhluk lainnya semakin bertambah. Banyak perkara telah disaksikannya, diketahui dan dikenalinya namun kesadaran yang kembali kepadanya belum cukup kuat buat dia mengenali dirinya. Si hamba berhadap kepada Hadrat Tuhannya dan bermunajat:
“Ilahi Rabbi! Engkau perlihatkan kepadaku jalan kenabian, jalan asma’ dan jalan Insan Kamil. Daku melihat sekaliannya namun daku tidak melihat diriku di atas mana-mana jalan. Ilahi Rabbi! Siapakah pula aku ini?”
Juru-bicara dari dalam dirinya menyampaikan perutusan:
“Tuhan berkehendak engkau berdiri di hadapan-Nya bukan untuk bertutur-kata, bukan untuk mendengar pertuturan-Nya, bukan untuk mengajukan pertanyaan, bukan juga untuk meminta pengetahuan, tetapi hanyalah berdiri tegak semata-mata demi untuk-Nya. Barulah engkau benar-benar mengenali Keagungan-Nya. Jangan engkau mendahului-Nya. Bila Dia berkehendak mengucapkan tutur kata Dia akan mengucapkan tutur kata-Nya. Bila Dia berkehendak memberikan kepemahaman akan ditanamkan kepemahaman ke dalam hatimu. Sebelum itu berdiri tegak di dalam makammu yang rendah itu!”
Si hamba berdiri tegak. Maksud berdiri tegak adalah hati menghadap kepada Allah s.w.t secara keseluruhannya, tidak condong ke kanan atau ke kiri. Ingatan dan penghayatan hanya kepada Allah s.w.t. Suasana demikian biasa dipanggil makam alif tanpa baris. Alif yang tidak berbaris tidak bergerak dan tidak bersuara.
Makam alif berdiri tegak biasa diperkatakan oleh mereka yang mengaku diri mereka sebagai ahli hakikat. Mereka meletakkan baris-baris pada alif, maka jadilah alif baris di atas, alif baris di bawah dan alif baris di hadapan. Bila sudah diletakkan baris alif sudah bisa bersuara. Suara alif adalah ‘a’, ‘i’ dan ‘u’. Bagi mereka a, i dan u merupakan tahap makrifat yang sangat tinggi. Berbagai-bagai ilmu dibentuk berdasarkan a, i dan u itu. Oleh karena mereka berpegang kepada alif yang berbaris, maka mereka hanya bisa mengeluarkan bunyi, tidak bisa mengeluarkan perbuatan. Golongan ini hanya bercakap tentang iman dan tauhid tetapi tidak melakukan amalan Islam. Bagi mereka puncakk makrifat yang mereka temui itu tidak memerlukan mereka beramal. Inilah golongan yang sesat dalam istilah.
Apa yang berlaku dalam perjalanan kerohanian berbeda daripada jalan yang meletakkan baris kepada alif. Makam alif berdiri tegak adalah penjelasan kepada stesen kerohanian yang ke sebelas. Pada makam ini si hamba berdiri dengan penyerahan secara menyeluruh kepada Allah s.w.t, tidak ada kehendak, tidak ada permintaan dan tidak ada apa-apa melainkan menyerah kepada Allah s.w.t semata-mata. Penyerahan pada peringkat ini lebih sukar daripada penyerahan pada stesen ke sebelas dahulu. Ketika itu kesadaran dan perhatian terhadap diri sendiri tidak ada, lalu penyerahan berlaku secara spontan. Pada peringkat alif berdiri tegak, kesadaran dan perhatian kepada diri sendiri sudah mulai tumbuh. Sebelum kesadaran dan perhatian terhadap diri sendiri itu menawan hati, si hamba diperintahkan supaya berdiri tegak seumpama alif, menundukkan kesadaran dan perhatiannya secara menyeluruh di bawah kekuasaan dan pengawasan penyerahan kepada Allah s.w.t. Berbuat demikian di dalam kesadaran sangatlah sukar. Pada ketika itulah si hamba teringatkan Insan Kamil dan berharap Insan Kamil membantunya. Bila timbul saja ingatan dan perhatian kepada Insan Kamil terhijablah ingatan, perhatian dan pandangannya daripada Tuhannya. Juru-bicara dari dalam dirinya dengan segera menegurnya:
“Tuhan berkata: ‘Bagaimana engkau mau masuk ke dalam majlis-Ku sedangkan engkau masih menggantungkan harapan kepada selain-Ku dan engkau masih inginkan yang selain-Ku!”
Teguran tersebut sangat memeranjatkan si hamba. Tuhan tidak mau ada di antara-Nya dengan hamba-Nya sesuatu yang lain, walaupun sesuatu yang lain itu adalah Insan Kamil atau Qutubul Aqtab atau Wali Qutub atau apa saja. Si hamba dengan penuh tawadhuk menyeru Tuhannya:
“Wahai Pelindung diriku. Tunjukkan daku jalan yang lurus. Arahkan diriku dengan Diri-Mu untuk menatap Wajah-Mu”.
Si hamba kembali berdiri tegak dengan Allah s.w.t dan untuk Allah s.w.t. Alif berdiri tegak di hadapan Hadrat Allah s.w.t. Allah s.w.t hadapkan Nur-Nya kepada alif. Alif hancur lebur separti hancurnya Gunung Thursina. Alif yang hancur tidak akan wujud lagi, tidak akan ada alif yang berbaris. Alif hilang, yang ada hanyalah Nur. Nur di mana-mana, tidak ada alif, tidak ada baris dan tidak ada siapapun pun. Pada tahap ini ‘aku’ si hamba itu juga tidak ada. Hanya Dia yang ada dan hanya Dia yang mengenali Diri-Nya, tidak ada siapapun yang ikut campur dalam urusan-Nya. Suasana pada tahap ini menjadi penjelasan kepada suasana kerohanian pada stesen ke dua belas.
Nur menghadap kepada Zat Yang Maha Agung. Lemah longlai nur di hadapan kemaha-agungan Zat. Nur berhadapan dengan Wahdaniatik Zat yang Qiamuhu Binafsih. Zat Berdiri Dengan Sendiri, cukup lengkap sendiri-Nya, tidak memerlukan nur untuk menerangi Diri-Nya. Fanalah nur, maka nyatalah Ghaibul Ghuyub Zat. Zat menerangi Zat oleh Zat dengan Zat. Zat dalam keesaan-Nya serba cukup. Zat Melihat sendiri-Nya, Mendengar sendiri-Nya, Berpengetahuan sendiri-Nya, Berkata-kata sendiri-Nya, Hidup sendiri-Nya, Berkehendak sendiri-Nya dan Berkuasa sendiri-Nya. Zat tidak memerlukan sifat tambahan untuk muslihat Diri-Nya. Sifat yang bisa diletakkan pada Zat adalah “Melampaui segala penyifatan” dan “Tiada sesuatu serupa dengan-Nya”. Bagi-Nya Wajah tanpa rupa, Mata tanpa kelopak, Ucap tanpa suara, Ilmu tanpa halaman, Dekat tanpa mana dan Jauh tanpa hingga. Semua ini memperjelaskan stesen kerohanian yang ke tiga belas.
Zat Maha Mencintai Diri-Nya. Dia Menyaksikan Diri-Nya bersama kesempurnaan sifat Diri-Nya. Dia memperakukan bahwa:
Sesungguhnya Aku adalah Allah!
Dia sendiri menamakan Diri-Nya ALLAH. Demi Cinta-Nya kepada Diri-Nya Dia menetapkan:
Tiada Tuhan melainkan Aku!
Dia telah menentukan bahwa Dia adalah Tuhan dan tidak akan ada Tuhan yang selain-Nya. Selanjutnya Dia mengadakan ketentuan Siratalmustaqim (Jalan yang lurus), yang pada jalan hakikat dinamakan Khutbah Makrifat. Khutbah Makrifat yang pertama adalah:
Muhammad Rasul Allah!
Bagi mengwujudkan Muhammad Rasul Allah, Dia mengadakan urusan-Nya yang dikenali sebagai Hakikat Muhammadiah yaitu pemangkin atau hijab ketuhanan yang membisakan Muhammad diciptakan. Berasaskan kepada penciptaan Muhammad itulah sekalian makhluk diciptakan. Dia tidak akan menciptakan makhluk jika Dia tidak berkehendak menciptakan kekasih-Nya, Muhammad. Pada urusan-Nya yang dipanggil Hakikat Muhammadiah itu diletakkan-Nya maklumat atau penyaksian yang melengkapkan Khutbah Makrifat:
Tiada Tuhan melainkan Allah!
Sejak Allah s.w.t mengadakan urusan-Nya yang bernama Hakikat Muhammadiah, Dia telah menetapkan bahwa “Muhammad Rasul Allah” sebelum lagi makhluk diciptakan, sebelum alam diciptakan. Oleh itu setelah Dia menciptakan makhluk, maka sekalian makhluk wajib memperakui bahwa “Muhammad Rasul Allah” walaupun Muhammad yang bertubuh badan belum diciptakan. Nabi-nabi dan rasul-rasul sejak Nabi Adam a.s bersaksikan bahwa “Muhammad Rasul Allah” walaupun mereka datang ke dunia lebih dahulu daripada Nabi Muhammad s.a.w, karena mereka menerima maklumat daripada Hakikat Muhammadiah yang padanya ada kenyataan “Muhammad Rasul Allah”. Tujuan Allah s.w.t mengadakan Urusan-Nya (Hakikat Muhammadiah) itu adalah untuk menyatakan bahwa “Tiada Tuhan melainkan Allah.” Apabila Allah s.w.t ‘menanamkan benih’ “Tiada Tuhan melainkan Allah” pada Hakikat Muhammadiah, maka kemunculan makhluk yang ‘bersumberkan’ Hakikat Muhammadiah itu tidak mempunyai kekuatan untuk melahirkan Tuhan yang lain daripada-Nya. Sekali-kali tidak mungkin akan ada Tuhan yang selain Allah s.w.t. Termetrailah kedudukan-Nya sebagai Zat al-Haq, Yang Mutlak dan Ghaibul Ghuyub, terpelihara keagungan-Nya daripada dijangkau oleh sesuatu yang lain daripada Diri-Nya.
Semua kewujudan dibina di atas tapak tauhid. Hakikat Muhammadiah menerima amanah tauhid dan berkewajiban menanggung dan menyebarkannya sebagai Rasul Allah yang menjadi rahmat ke seluruh alam.
Hakikat Muhammadiah sebagai Urusan Allah s.w.t dipanggil Nur Allah. Pada Hakikat Muhammadiah dibekalkan maklumat yang lengkap tentang makhluk yang akan Allah s.w.t ciptakan. Dalam aspek ini Hakikat Muhammadiah dipanggil Hakikat Insan atau Hakikat Alam. Ia dipanggil juga Nur Muhammad. Sebab itu biasa dikatakan sekalian makhluk diciptakan daripada Nur Muhammad. Ia membawa maksud segala kejadian diciptakan menurut apa yang ada pada ketentuan Allah s.w.t, pada suasana hakikat yang dipanggil Nur Muhammad atau Hakikat Insan. Wajah atau aspek Hakikat Muhammadiah yang menghala kepada Allah s.w.t, yang menjadi hijab ketuhanan, dinamakan Nur Allah. Wajah atau aspek Hakikat Muhammadiah yang menghala kepada penciptaan makhluk, termasuklah penciptaan Nabi Muhammad s.a.w, dinamakan Nur Muhammad.
Pada Hakikat Muhammadiah dibekalkan pengetahuan dan pengenalan yang lengkap tentang Tuhan. Pada Hakikat Muhammadiah juga dibekalkan maklumat yang lengkap tentang pengabdian kepada Tuhan. Dalam wajah atau aspek ini Hakikat Muhammadiah dikenali sebagai Insan Kamil. Insan Kamil yang mengenali Tuhan dengan sempurna dan mengetahui cara mengabdikan diri kepada Tuhan dengan sempurna. Apabila Insan Kamil menghala kepada manusia-manusia yang sempurna yang ada di bumi, yang mengetahui dan mengenal Tuhan dengan sempurna dan juga mengabdikan diri kepada Tuhan dengan sempurna, Insan Kamil dikenali sebagai Hakikat Abdul Rab (hakikat hamba Tuhan). Kesempurnaan ilmu, makrifat dan pengabdian kepada Tuhan yang paling tinggi dikurniakan kepada Nabi Muhammad s.a.w, kekasih-Nya dan hamba-Nya. Setingkat di bawah kedudukan Rasulullah s.a.w adalah golongan nabi-nabi. Di bawah daripada golongan Nabi-nabi adalah golongan wali-wali, siddiqin dan orang-orang salih. Mereka adalah kumpulan manusia yang berhakikatkan Hakikat Abdul Rab. Ketua agung bagi sekalian Abdul Rab adalah Nabi Muhammad s.a.w dan baginda s.a.w dikenali sebagai Abdul Allah (Hamba Allah). Manusia sempurna yang lain berhakikatkan Nama-nama Tuhan yang selain Nama Allah. Mereka berkedudukan sebagai Abdul Malik, Abdul Rahman, Abdul Latif, Abdul Karim dan sebagainya. Setiap Abdul Rab akan mempamerkan hakikat ketuhanan yang menguasainya. Pada Hakikat Abdul Rab (hakikat hamba Tuhan) diletakkan penyaksian Khutbah Makrifat:
Tiada Tuhan melainkan Allah. Muhammad Rasul Allah.
Hakikat kehambaan ditemui dalam Hakikat Muhammadiah. Apabila si hamba menemui hakikat kehambaan yang menguasainya, maka terbentuklah perakuan, perhatian dan kesadaran yang teguh tentang kewujudan yang Tuhan kurniakan kepadanya. Kesadaran pada peringkat ini adalah kesadaran dalam Ilmu. Si hamba menyaksikan hakikat dirinya dalam Ilmu Allah s.w.t. Dalam Ilmu Allah, si hamba melihat hakikat dirinya sebagai Abdul Rab yang dipersiapkan untuk menjadi hamba-Nya. Dalam suasana Ilmu Allah s.w.t itulah si hamba menyaksikan Kudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam Tuhan. Perhatian kepada sifat-sifat Tuhan menyedarkan si hamba tentang pergantungannya kepada sifat-sifat tersebut. Dia menumpang sifat-sifat Tuhan dan karena itu dia kembali menyedari sifat-sifat atau bakat-bakat yang ada dengan dirinya, yaitu berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat dan berkata-kata. Si hamba menyaksikan semua bakat-bakat tersebut sebagai medan kehambaannya kepada Tuhan. Orang yang telah meletakkan baris pada alif hanya melihat bakat berkata-kata, lantaran itu mereka hanya bercakap tentang iman, tauhid dan makrifat tanpa beramal. Si hamba yang menemui kembali bakat dirinya setelah memperolehi kesadaran Abdul Rab, bukan hanya bercakap tetapi juga melaksanakan amal yang menunjukkan kehambaan kepada Tuhan. Inilah perbedaan besar di antara jalan yang menetap dalam kehambaan dengan jalan yang membuang kehambaan.
________________________________________
HAKIKAT ABDUL RAB
Jalan Hakikat Abdul Rab (hamba Tuhan) jarang ditemui karena kebanyakan manusia mencari Insan Kamil. Mereka menyangkakan menjadi Insan Kamil merupakan puncak pencapaian. Mereka tidak tahu bahwa menjadi Hamba Tuhan itulah kesempurnaan jalan. Orang yang benar dengan Allah s.w.t ‘menemui’ Insan Kamil untuk dibawa kepada jalan Hamba Tuhan. Insan Kamil berperanan membuka jalan kehambaan karena Insan Kamil mempunyai ilmu yang sempurna tentang Allah s.w.t dan pengabdian kepada-Nya. Salinan Insan Kamil yang paling sempurna, Nabi Muhammad s.a.w, membawa sahabat-sahabat baginda s.a.w ke jalan menghambakan diri kepada Tuhan dengan sebenar-benar kehambaan. Mereka tidak mengejar makam-makam dan martabat dan tidak juga mengejar kekeramatan. Makam yang mereka tuntut ialah makam hamba Tuhan. Martabat yang mereka cari adalah ketakwaan kepada Tuhan. Kekeramatan yang mereka kejar adalah berjihad pada jalan Tuhan.
Si hamba bergerak jauh daripada daerah Insan Kamil. Pengetahuan dan pengenalan yang diperolehinya daripada ‘pertemuan’ dengan Insan Kamil itu sangat berguna bagi memperkuatkan kehambaannya. Berbekalkan pengetahuan dan pengenalan tersebut dia meneruskan perjalanannya bagi mencari kedudukannya sebagai seorang hamba Tuhan. Pada tahap ini kesadaran kemanusiaannya belum kembali sepenuhnya. Dia masih lagi dikuasai oleh kesadaran dalam Ilmu.
Kemudian si hamba mendengar Juru-bicara dari dalam dirinya membacakan:
Masuklah engkau (Abdul Rab) ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah engkau ke dalam syurga-Ku. ( Ayat 30 : Surah al-Fajr )
Ketika menaik, pada stesen ke sembilan, si hamba mendengar bacaan di atas sebagai ujian. Pada peringkat kesadaran di dalam Ilmu ini pula ayat tersebut merupakan perintah. Dia diperintahkan keluar daripada kesadaran Ilmu dan masuk sepenuhnya ke dalam kesadaran kemanusiaan. Syurga adalah barzakh atau sempadan atau pun suasana peralihan di antara kesadaran Ilmu dengan kesadaran kemanusiaan, kesadaran hakikat dengan kesadaran insan, suasana Pemerintah dengan suasana yang diperintah. Jasad Adam a.s diciptakan di dalam syurga dan di dalam syurga juga ia menerima tiupan dari Roh Allah s.w.t. Di dalam syurga wujud yang diperintah menerima bakat dan keupayaan daripada wujud yang memerintah. Anasir jasad dicantumkan dengan anasir rohani di dalam syurga karena satu tujuan:
Sesungguhnya Aku hendak ciptakan khalifah di bumi. ( Ayat 30 : Surah al-Baqarah )
Roh yang membawa bakat kekhalifahan berjumpa dengan jasad yang menyatakan bakat kekhalifahan itu. Pertemuan itu berlaku di dalam syurga. Pada peringkat ini si hamba yang di dalam kesadaran Ilmu itu menyaksikan jalan penurunan ke Alam Arwah, daripada kesadaran Ilmu kepada kesadaran rohani.
Sebelum keluar daripada kesadaran Ilmu si hamba diberi kekuatan untuk menghadapi dunia yang akan menjadi tempat menetapnya nanti sehingga ke akhir hayatnya. Si hamba tidak perlu takut kepada kehuru-haraan dunia karena dengan izin Allah s.w.t kekuasaan dunia telah dicabut daripadanya sewaktu dia melalui proses menaik dahulu melalui suasana:
Matilah kamu sebelum kamu mati. ( Maksud Hadis )
Kesadaran terhadap hakikat ketuhanan yaitu Hakikat Abdul Rab, yang menguasainya memberinya kekuatan untuk menghadapi apa yang selain Tuhan. Hamba yang kembali ‘bersama’ Hakikat Abdul Rab merasakan dirinya yang lama sudah ‘kiamat’ dan diri yang baru bergerak menurut kehendak dan peraturan Allah s.w.t. Tuhan menceritakan suasana sesudah kiamat:
Pada hari yang akan digantikan bumi ini dengan bumi lain dan semua langit juga. Dan akan tampil mereka ke hadapan Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa. ( Ayat 48 : Surah Ibrahim )
Hamba yang menyaksikan penguasaan ketuhanan terhadap dirinya kembali kepada kesadaran rohani dalam keadaan seolah-olah telah berlaku kiamat dan segala sesuatu diseret ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Tidak akan ada sesuatu yang keluar daripada kekuasaan dan keperkasaan Tuhan.
Ketika di dalam kesadaran rohani itu si hamba mendapat pengetahuan yang jelas bahwa kesempurnaan jalan bagi kehidupan di bumi adalah gabungan jalan kenabian dan jalan asma’. Jalan kenabian adalah syariat, yaitu mengabdikan diri kepada Allah s.w.t.
Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdikan diri kepada-Ku. ( Ayat 56 : Surah adz-Dzaariyaat )
Jalan Asma’ adalah menyaksikan Rububiah atau hakikat ketuhanan atau pun urusan Tuhan, pada setiap masa dan dalam semua suasana.
Apa saja yang melata ubun-ubunnya adalah dalam genggaman Tuhannya. Dan Tuhanku berada di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud )
Bukan kamu yang membunuh mereka tetapi Allah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melimpar ketika kamu melimpar tetapi Allah yang melimpar, karena Dia mau memberi kemenangan kepada orang-orang yang beriman dari (jihad) itu satu nikmat yang baik. Sesungguhnya Allah Mendengar, Melihat. ( Ayat 17 : Surah al-Anfal )
Kesempurnaan jalan yang menggabungkan kedua-dua jalan tersebut, yaitu bersungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah s.w.t dan tidak lalai daripada mengingati serta memperhatikan sesuatu tentang-Nya pada setiap waktu dan semua suasana.
Dalam kesadaran rohani si hamba menyaksikan:
Ya Allah! Engkau adalah Tuhan dan daku adalah hamba-Mu.
Ketika di dalam kesadaran rohani itu juga si hamba memperakui kewujudannya yang berjasad. Gabungan rohani dan jasad si hamba menyaksikan:
Aku naik saksi tiada Tuhan melainkan Allah dan aku naik saksi Muhammad adalah Rasul Allah.
Itulah penyaksian seorang insan yang menanggung amanah:
1: Rukun Islam.
2: Rukun Iman.
3: Rukun Ihsan
Kepada para insan yang berpegang teguh dengan amanah tersebut dibacakan ayat penetapan:
Ingatlah! Bahwa sesungguhnya aulia Allah itu tidak mereka takut dan tidak mereka berdukacita. Mereka adalah beriman dan mereka sebenarnya bertakwa. Mereka mendapat berita gembira di kehidupan dunia dan di hari akhirat; tiada lagi perubahan pada ketentuan Allah, itulah keuntungan yang besar.
( Ayat 62 – 64 : Surah Yunus )
Si hamba memasuki daerah kesadaran rohani dengan munajat:
“Ilahi! Daku bukan seorang abid, maka daku tidak kuat beribadat. Daku bukan seorang alim, maka daku tidak tahu menyeru. Daku hanyalah seorang penyerah, maka terimalah daku. Lakukan apa yang Engkau mau dengan diriku. Daku jualkan diriku kepada-Mu. Harganya adalah sabar, reda, tawakal dan ikhlas. Engkau ambillah diriku dan kurniakan kepadaku sabar, reda, tawakal dan ikhlas. Izinkan daku memakai pakaian sebagai hamba-Mu”.
Kemudian si hamba membacakan:
Katakanlah: “Wahai Tuhanku! Masukkan daku dengan kemasukan yang baik dan keluarkan daku dengan keluaran yang baik. Dan jadikanlah untukku pertolongan yang langsung dari-Mu sebagai kekuatan yang menolong”. ( Ayat 80 : Surah Bani Israil )
“Engkau jualah Pelindung diriku, yang memfitrahkan daku untuk berdiri di antara kedua Tangan-Mu, Jalal dan Jamal-Mu, dan menetapkan daku dalam makam Hadrat-Mu. Nur-Mu yang menjadi perisai melindungi daku dalam melaksanakan perintah dan peraturan-Mu”.
Maha Suci Engkau, Tuhanku, Tuhan Yang Maha Perkasa dari apa yang mereka sifatkan. Dan salam sejahtera atas sekalian yang diutus. Dan segala puji-pujian bagi Allah, Tuhan sekalian alam.
Kemudian si hamba mengalami suasana kebatinan yang digambarkan sebagai “dinding Kaabatullah terbuka dan terbentanglah bumi baru yang rata dan sangat luas, dilengkungi oleh Rahmaniat Tuhan”. Si hamba diterangi oleh cahaya Hakikat Ahmadiah.
37: Menuju Kesadaran Insani
________________________________________
HAKIKAT AHMADIAH
Suasana Ilmu Allah diumpamakan berada dalam Kaabatullah. Orang yang berada di dalam kota tidak dapat menyaksikan apa yang ada di luar kota. Kota menghalang perhubungan orang yang berada di dalam dengan orang yang berada di luar. Dalam perjalanan kerohanian kota yang menghijab adalah kesadaran yang menguasai hati. Hati yang terbungkus dan terikat oleh suasana kebatinan yang menguasainya. Hati yang ‘terkurung’ di dalam suasana Ilmu tidak dapat bercampur gaul dengan orang banyak.
Suasana hakikat yang dialami oleh hati memberi kesan yang sangat mendalam. Ia tidak hilang dengan serta merta walaupun berlaku perubahan stesen dan makam. Apabila “dinding Kaabatullah terbuka” si hamba keluar daripada kesadaran Ilmu dan masuk kepada kesadaran rohani yang belum terikat dengan jasad. Pada permulaian peringkat ini kesan daripada ‘pertemuan’ dengan hakikat-hakikat masih lagi mempengaruhi kesadarannya. Pengaruh atau kesan daripada hakikat-hakikat tersebut membawa ke dalam kesadarannya penyaksian terhadap Hakikat Ahmadiah. Hatinya menyaksikan bahwa Ahmad adalah suasana roh yang paling latif, paling suci dan paling murni. Ahmad adalah nama bagi roh yang mempunyai kesempurnaan makrifat, kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan kehambaan. Ahmad atau roh yang paling latif itulah menjadi roh kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Dan ingatlah tatkala berkata Isa anak Maryam: “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku ini adalah Utusan Allah kepada kamu, membenarkan apa yang ada di antara kedua tanganku daripada Taurat dan memberikan berita gembira dengan kedatangan seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya AHMAD!” Maka tatkala dia telah datang kepada mereka dengan bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata”. ( Ayat 6 : Surah as-Saff )
Sebelum Nabi Muhammad s.a.w lahir ke dunia baginda s.a.w disaksikan pada Alam Arwah sebagai Ahmad. Sesudah baginda s.a.w dilahirkan baginda s.a.w dinamakan Muhammad dan juga bergelar Ahmad. Dalam kesadaran peringkat Ilmu, si hamba merasai kehadiran Hakikat Muhammadiah, Hakikat Insan Kamil dan hakikat hamba Tuhan. Dia melihat Hakikat-hakikat tersebut sebagai urusan Tuhan yang menguasai perjalanan sekalian makhluk. Dalam kesadaran rohani pula si hamba merasai kehadiran Hakikat Ahmadiah dan dia menyaksikan bahwa roh yang paling latif itulah penjana segala urusan Tuhan kepada makhluk.
Dan mereka bertanya kepada engkau tentang Roh. Katakanlah: “Roh itu adalah urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu melainkan sedikit”. ( Ayat 85 : Surah Bani Israil )
(Ingatlah) tatkala Tuhan engkau berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia daripada tanah. Maka apabila Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya daripada Roh-Ku hendaklah kamu meniarap kepadanya dalam keadaan sujud”. ( Ayat 71 & 72 : Surah Saad )
Seterusnya Allah s.w.t berfirman:
Maha Luhur derajat-Nya, Yang Empunya Arasy. Dia turunkan Roh dari urusan-Nya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )
Seterusnya Allah s.w.t berfirman:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu Roh dari urusan Kami. Padahal tidaklah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman. Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di semua langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Kewujudan roh yang paling latif itulah menyebabkan manusia memiliki bakat dan nilai kemanusiaan; manusia menjadi hidup, berkuasa, berkehendak, mengetahui, mendengar, melihat dan berkata-kata. Tanpa kewujudan roh yang paling latif atau Ahmad sebagai pemangkin atau hijab, apa yang daripada Tuhan tidak dapat diterima oleh makhluk. Makhluk yang selain roh yang paling latif itu tidak ada kekuatan untuk menyambut apa yang Tuhan ‘hantarkan’ daripada Hadrat-Nya.
________________________________________
HAKIKAT KHALIFAH
Dari kalangan hamba-hamba-Nya dipilihnya siapapun saja yang Dia kehendaki dan dibukakan hijab di antara hamba-Nya itu dengan cahaya roh yang paling latif itu. Hamba yang ada perkaitan dengan roh yang paling latif secara demikian berkedudukan sebagai khalifah Allah. Khalifah Allah peringkat paling tinggi adalah golongan nabi-nabi, diikuti oleh golongan wali-wali dan orang salih. Khalifah Allah bertugas memberi peringatan tentang hari pertemuan dengan Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Perkasa. Mereka membimbing umat manusia kepada jalan yang lurus yaitu jalan Tuhan sekalian alam.
Hamba yang berkedudukan sebagai khalifah Allah telah dibawa kepada makam penyaksian yang meneguhkan keyakinan mereka, sebagaimana Allah s.w.t meneguhkan keyakinan Nabi Ibrahim a.s.
Dan demikianlah Kami bukakan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi supaya jadilah dia daripada orang-orang yang benar-benar yakin. ( Ayat 75 : Surah al-An’aam )
Keyakinan yang sebenarnya membawa hamba kepada suasana:
Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada yang menjadikan semua langit dan bumi, dengan ikhlas, dan tidaklah aku daripada orang-orang yang mempersekutukan-Nya. ( Ayat 79 : Surah al-An’aam )
Hamba yang sejati adalah hamba yang dapat melakukan “menghadap wajahnya kepada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, dengan ikhlas dan tidak mempersekutukan-Nya”. Inilah makam yang paling tinggi bisa dicapai oleh seorang hamba Tuhan. Wajah hamba Tuhan menghadap kepada Yang Hakiki. Dia juga menyaksikan kerajaan-Nya. Perbuatan zahirnya dan amalan hatinya ikhlas karena Allah s.w.t, bersih daripada syirik. Itulah para hamba yang layak bergelar khalifah Allah. Kepada mereka Allah s.w.t tujukan firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Tuhan kami adalah Allah!” kemudian mereka tetap lurus, nescaya akan turun kepada mereka malaikat (yang berkata), “Jangan kamu takut dan jangan kamu berdukacita dan bergiranglah dengan syurga yang pernah dijanjikan kepada kamu. Kami adalah pelindung-pelindung kamu pada penghidupan di dunia dan pada akhirat, dan untuk kamu di dalamnya apa saja keinginan dirimu dan untuk kamu di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai jamuan dari Pengampun, Penyayang”. ( Ayat 30 – 32 : Surah Fussilat )
Mereka adalah golongan yang menerima pembentukan yang paling baik daripada Allah s.w.t.
Pencelupan Allah! Dan siapakah yang lebih baik pencelupannya daripada Allah? Dan akan Dia jualah kami menyembah. ( Ayat 138 : Surah al-Baqarah)
Mereka yang menerima pencelupan yang paling baik adalah yang kekal di dalam kehambaan, mengabdikan diri kepada Allah s.w.t, menyembah-Nya dan melaksanakan perintah dan peraturan-Nya. Mereka memulaikan perjalanan sebagai hamba dan kembali sebagai hamba juga. Segala pengalaman kerohanian yang dilalui adalah untuk memperteguhkan kehambaan itu, menyesuaikan diri dengan al-Quran dan as-Sunah, mencontohi kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat yang mendapat keredaan Allah s.w.t. Mereka kembali kepada kesadaran kemanusiaan biasa separti semula karena tanpa kesadaran kemanusiaan hukum dan peraturan Tuhan tidak dapat dilaksanakan. Manusialah yang diangkat menjadi Rasul dan manusia juga yang mengembangkan ajaran Tuhan. Malaikat tidak diangkat menjadi Rasul untuk memimpin manusia. Tuhan memilih dari kalangan manusia juga untuk memimpin umat manusia. Sekalipun ada orang yang diizinkan mengalami berbagai-bagai suasana hakikat tetapi itu bukanlah matlamat. Matlamatnya adalah membentuk insan yang layak dipanggil umat Nabi Muhammad s.a.w yang berkedudukan sebagai hamba Tuhan.
Si hamba telah memanjat gunung yang tinggi. Dengan izin dan melalui bimbingan-Nya si hamba itu terselamat daripada segala bahaya yang ada di sepanjang jalan. Bahaya yang besar ada dua jenis. Bahaya jenis pertama datangnya daripada luar, dibawa oleh syaitan, dunia yang menipu daya dan makhluk yang menjadi agen syaitan. Bahaya tersebut dijumpai dalam perjalanan menuju Tuhan. Penghapusan kesadaran diri menjadi penawar bagi menghancurkan bahaya tersebut. Setelah melepasi bahaya yang datang daripada luar itu si hamba berhadapan pula dengan bahaya yang datang daripada dirinya sendiri yang bergerak melalui hawa nafsunya, memakai pakaian kehendak, cita-cita, angan-angan dan harapan. Selagi si hamba mempunyai kemauan yang keras atau cita-cita yang kuat dia tidak akan selamat daripada bahaya dirinya. Nafsu mudah terangsang oleh sifat Rabbaniah (sifat ketuhanan). Nafsu mudah lupa diri dan memakai sifat yang tidak layak dipakai olehnya. Bahaya jenis ini hanya terhapus melalui penyerahan kepada Allah s.w.t secara menyeluruh dan mengikat dirinya dengan tali kehambaan walau bagaimana tinggi kedudukan yang dicapainya.
Dalam perjalanan menaik si hamba melepaskan segala hak kepada Yang Empunya Hak separti orang membuka pakaiannya dan diserahkannya kepada Tuan pakaian. Penelanjangan secara menyeluruh atau tajrid menjadi kenderaannya. Di dalam kenderaan tajrid tidak ada ilmu dan tidak ada makrifat. Si hamba semata-mata berdiri tegak demi Wajah Allah s.w.t, untuk-Nya semata-mata dan bersama-Nya dalam segala perkara dan semua ketika. Si hamba menitipkan namanya, sifatnya dan kewujudannya kepada Allah s.w.t sehingga dia masuk ke Hadrat-Nya tanpa nama, tanpa sifat, tanpa perhatian kepada diri sendiri dan makhluk lainnya juga tidak ada. Pengalaman hakikat-hakikat tidak melepaskan pandangannya kepada Allah s.w.t. Insan kamil juga tidak bisa menjadi hijab di antara hamba dengan Allah s.w.t. Si hamba masuk ke Hadrat Allah s.w.t tanpa sebarang bekal. Penyerahan itulah kekuatan sejati yang menggerakkannya untuk maju terus sehingga sampai kepada matlamat.
Kini Allah s.w.t kembalikan apa yang diserahkan kepada-Nya untuk dijaga. Tuan pakaian mengembalikan pakaiannya dan dia diizinkan memakai pakaian tersebut sebagai menyatakan bahwa dia adalah hamba Tuhan. Bila si hamba memakai pakaian hamba Tuhan maka Tuhan menguruskan kehidupannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Tuan terhadap hamba-Nya.
Peringkat permulaian kembali kepada kesadaran kemanusiaan si hamba hanya menyaksikan kekuasaan Tuhan semata-mata. Dia tidak melihat keberkesanan hukum yang Tuhan letakkan pada makhluk-Nya. Hatinya melihat bahwa makhluk dengan zat dirinya tidak memiliki apa-apa kuasa, tidak berupaya mendatangkan manfaat atau mudarat. Dalam kesadaran yang demikian jika dia berhadapan dengan ribut kencang dia tidak akan mencari perlindungan. Jika dia berhadapan dengan kilat dan petir juga dia tidak mencari perlindungan. Jika matanya berbetulan memandang kepada matahari dia tidak bersegera mengalihkan pandangannya. Dalam menghadapi semua yang kelihatan memberi kesan itu hatinya berkata, “Kamu adalah makhluk Tuhan. Kamu tidak ada kuasa membinasakan daku. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan”. Keyakinan yang kuat kepada Tuhan melindunginya. Bila dia menghadapi anasir alam dengan meletakkan pergantungan bulat kepada Tuhan perkara yang menggerunkan bertukar menjadi ‘jinak’ dan ‘mesra.’ Angin kencang mengeluarkan lagu yang merdu. Cahaya kilat menjadi permainan bunga api yang indah. Matahari yang sedang terik memancar kelihatan suram, menyentuh bola mata dengan lemah lembut.
Ketika berada pada tahap ini si hamba tidak tahu berterima kasih kepada sesama manusia. Dia hanya melihat Tuhan yang memberi. Bila dia bergerak lebih jauh ke dalam kesadaran keinsanan pandangannya akan berubah. Jika dia menerima sesuatu daripada makhluk, sekalipun dia melihat Pemberi sebenar adalah Tuhan, tetapi dia sudah dapat menghargai makhluk yang dipilih oleh Tuhan menjadi utusan yang menyampaikan kurniaan Tuhan itu dan dia berterima kasih kepadanya. Terima kasih kepada makhluk dan syukur kepada Tuhan bisa berlaku dalam satu masa. Dia juga sudah bisa menghormati anasir-anasir alam yang memberi kesan karena dia melihat Tuhan yang meletakkan kesan tersebut kepada mereka. Sebagai menghormati dan menerima peraturan Tuhan dia memperakui kesan yang ada dengan anasir-anasir tersebut. Dia sudah bisa melihat bahwa angin, kilat dan matahari bisa membinasakan dengan izin Allah s.w.t. Kesan yang Tuhan letakkan kepada anasir-anasir tersebut merupakan keizinan Tuhan kepada mereka untuk berfungsi menurut fitrah masing-masing.
Si hamba yang dibawa kembali kepada kesadaran keinsanannya dan ditentukan untuk menjalani sesuatu tugas khusus sebagai hamba Tuhan akan terlebih dahulu dibawa kepada pengalaman kehadiran Hakikat Habiballah, kekasih Allah yaitu Nabi Muhammad s.a.w.
38: Menuju Penetapan Insan Hamba Tuhan
________________________________________
HAKIKAT HABIBALLAH
Kehadiran Habiballah berbeda daripada kehadiran Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil. Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil membawa makrifat tentang urusan dan pentadbiran Tuhan. Habiballah pula memperingatkan si hamba tentang kedudukannya sebagai manusia yang hidup di atas muka bumi, di dalam dunia, mempunyai tugas untuk dilaksanakan. Kehadiran Habiballah membawa si hamba menyaksikan seorang insan yang paling sempurna bergelar kekasih Allah. Insan tersebut adalah Nabi Muhammad s.a.w, manusia maksum yang tidak pernah melakukan kesalahan. Inilah manusia yang paling baik untuk dijadikan contoh teladan. Selagi belum sesuai dengan Sunah baginda s.a.w selagi itulah pencarian belum berakhir. Jangan menyangka orang yang asyik dengan Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil itu telah mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan yang sebenar telah ditunjukkan oleh seorang manusia yang telah menerima dengan lengkap, penuh dan sempurna segala bakat dan keupayaan yang tersimpan pada Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil. Nabi Muhammad s.a.w, Muhammad bin Abdullah yang berbangsa Arab, itulah cermin yang sempurna bagi Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil. Jika ada orang mendakwa dirinya bermakrifat dengan Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil sedangkan dia berada pada jalan yang berbeda daripada jalan Nabi Muhammad s.a.w, sesungguhnya dakwaan orang itu adalah tidak benar. Orang berkenaan telah diserkup oleh kekeliruan di suatu peringkat dalam perjalanannya. Pencariannya belum berakhir. Kebenaran yang sejati belum ditemuinya. Mungkin kesan kefanaan dan mabuk belum terhapus sepenuhnya daripada hatinya.
Tanda seseorang itu belum pulih daripada kefanaan, mabuk dan kebaqaan adalah dia masih mencari-cari hakikat dirinya, makam dirinya dan mengintai-intai kalau-kalau namanya ada dalam senarai wali-wali agung. Dia masih lagi melihat hakikat dirinya pada makam ketuhanan, masih dikuasai oleh suasana Ilmu dan dia tidak berselera melakukan amalan syariat. Dia masih lagi dalam keadaan menanti-nanti sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa yang dinantikannya. Orang separti ini perlu mengucapkan salawat banyak-banyak, mudah-mudahan dia mengenali Muhammad Habiballah yang sebenarnya. Bila Muhammad Habiballah sudah dikenali, maka semua pengalaman kerohanian yang sudah dilalui akan menjadi kenangan manis. Ia menjadi modal bagi seseorang mencari keuntungan di dalam syariat. Syariat adalah medan perniagaan yang luas. Modal yang tidak dilaburkan di dalam syariat tidak akan berkembang. Lama kelamaan modal tersebut akan kehabisan.
Ada orang yang telah mengalami hakikat mendapati sukar untuk masuk semula kepada syariat. Sekalipun mereka tidak membuang syariat mereka lebih suka ‘membawa diri’ daripada menyertai kegiatan orang banyak separti yang dianjurkan oleh syariat. Ada di antara mereka yang tidak bersholat Jumaat bersama-sama dengan orang banyak. Mereka tidak mencegah kemunkaran yang berlaku di hadapan mata mereka. Mereka tidak mengajak orang lain kepada yang makruf. Sikap menyepi diri biasa ditemui pada orang yang melalui jalan hakikat.
Dalam perjalanan menaik seseorang itu mengalami keadaan fikirannya menjadi tidak aktif, kehendaknya menjadi lemah dan perhatian terhadap diri sendiri dan orang lain menjadi berkurangan. Dia kemudian sampai kepada satu tahap di mana semua itu tidak berfungsi separti biasa. Segala-galanya hilang daripada kesadarannya, yang ada hanyalah Allah s.w.t. Dia hanya inginkan Allah s.w.t, ingatkan Allah s.w.t dan kasihkan Allah s.w.t. Hal ini meninggalkan kesan yang lama pada hati walaupun dia telah kembali kepada kesadaran kemanusiaan. Hati yang sudah dipenuhi dengan Allah s.w.t sukar menerima kehadiran yang lain, yang dirasakannya menjabar kedudukan Allah s.w.t dalam hatinya. Dia bimbang dengan memberi perhatian kepada makhluk akan berkurangan perhatiannya kepada Allah s.w.t. Suasana begini sukar diperbetulkan. Ia memerlukan kehadiran suasana yang lain yang lebih kuat barulah hatinya tunduk dan menyerah kepada suasana baru yang lebih kuat itu.
Kehadiran Habiballah memainkan peranan penting dalam menolak seseorang ahli hakikat ke dalam syariat secara menyeluruh. Tidak ada manusia yang kasihkan Allah s.w.t melebihi Nabi Muhammad s.a.w. Tidak ada manusia yang memberi perhatian kepada Allah s.w.t melebihi Nabi Muhammad s.a.w. Kasih dan perhatian Nabi Muhammad s.a.w kepada Allah s.w.t tidak menutup kasih dan perhatian baginda s.a.w kepada makhluk Allah. Kesibukan baginda s.a.w melayani orang banyak tidak menyebabkan baginda s.a.w lalai daripada mengingati Allah s.w.t. Pada yang demikian tersembunyi rahsia besar. Bagaimana hati yang mempunyai satu muka bisa berhadap kepada dua perkara dalam satu masa. Inilah yang dinamakan rahsia syariat. Syariat mengajar manusia mengenali Yang Esa melalui dua perkara yang berlawanan. Manusia yang mempunyai akal, hati dan dua aspek yang berlawanan pada dirinya, separti kanan dengan kiri, menjadi bekas yang paling sesuai menerima syariat. Malaikat yang diciptakan dengan satu aspek saja, yaitu tidak ada lelaki dan perempuan juga tidak ada kanan dan kiri, tidak sesuai menanggung syariat. Manusia yang mempunyai dua nilai yang bertentangan pada dirinya bisa mengenal Tuhan melalui nilai-nilai tersebut. Semakin manusia menggunakan bakat dan nilai yang ada pada dirinya semakin dia mengenal Tuhan. Menggunakan bakat dan nilai yang ada pada diri merupakan sebaik-baik jalan untuk mengenal Tuhan. Tuhan dikenali karena ada makhluk Tuhan. Berbakti kepada makhluk Tuhan atas dasar mentaati peraturan Tuhan menambahkan ingatan dan pengenalan kepada Tuhan. Sebab itulah kesibukan melayani makhluk Tuhan tidak membuat hati lalai daripada mengingati Tuhan, malah ingatan kepada-Nya menjadi lebih kuat lagi. Kesadaran tentang perkara ini diperolehi melalui kehadiran Muhammad Habiballah yang telah mempraktikkan yang demikian sepanjang hidup baginda s.a.w. Jika perhatian seseorang hanya tertumpu kepada Muhammad dalam hakikat atau Muhammad Insan Kamil, kesadaran tersebut tidak muncul. Muhammad Habiballah yang membimbing manusia kembali kepada kesadaran kemanusiaan sepenuhnya dan menggunakan bakat serta nilai diri untuk berbakti kepada Allah s.w.t secara langsung atau secara tidak langsung melalui khidmat-bakti kepada makhluk-Nya. Orang yang tidak berjumpa dengan kebenaran Muhammad Habiballah mendapati sukar untuk menetapkan kesadaran kemanusiaannya dan berkecimpung di dalam kegiatan masyarakat.
Orang yang memasuki jalan pelarutan diri ke dalam hakikat sukar kembali kepada kesadaran kemanusiaan. Bila ‘bertembung’ dengan Hakikat Allah s.w.t dia merasakan dirinya adalah Allah s.w.t. Bila ‘bertembung’ dengan Hakikat Muhammadiah dia merasakan dirinya adalah Muhammad. Bila ‘bertembung’ dengan Hakikat Insan Kamil dia merasakan dirinya adalah Insan Kamil. Bila ‘bertembung’ dengan Habiballah dia merasakan dirinya adalah Habiballah. Sukar baginya untuk keluar daripada mabuk untuk menyaksikan kebenaran yang sebenar-benarnya benar. Mabuk menjadi hijab menutup pandangannya daripada melihat dan menerima kenyataan. Orang yang separti ini mungkin menerima penyerapan yang berkekalan oleh hakikat yang menguasai hatinya. Dia akan menjadi ujian kepada orang banyak, terutamanya mereka yang berminat kepada jalan hakikat.
Perkataan orang yang di dalam mabuk mengenai hakikat dan penyatuan dengan Tuhan memang seronok didengar. Manusia memang cenderung kepada perkara ganjil. Ujian akan berubah menjadi fitnah apabila orang yang di dalam mabuk mengeluarkan kekeramatan yang menyebabkan orang-orang jahil yang lemah iman memegang sepenuhnya perkataan orang yang di dalam mabuk itu. Orang yang di dalam mabuk berhak dimaafkan jika dia mengeluarkan ucapan yang menyalahi syariat tetapi orang yang di dalam kesadaran jika ikut yang demikian dia berhak dihukumkan kufur. Mereka wajib bertaubat dan kembali kepada jalan kenabian.
Orang yang berminat dalam soal-soal kerohanian mestilah yakin bahwa kebenaran yang paling tinggi bukanlah menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Kebenaran yang tartinggi adalah menjadi hamba Tuhan. Hakikat Muhammadiah dan Insan Kamil bisa dilihat sebagai Hamba Allah karena kedua-duanya bergantung kepada Allah s.w.t, bukan berdiri dengan sendiri. Hamba Allah dalam suasana ketuhanan dipanggil Urusan Allah bagi membedakannya dengan makhluk yang mendiami alam. Urusan Allah adalah kewujudan di dalam Ilmu Allah, bukan kewujudan di dalam alam. Ilmu Allah tidak menempati ruang dan zaman. Ia juga bukan bertempat di dalam hati manusia. Hati hanya diizinkan merasai suasana Hadrat atau kehadiran hakikat bukan berhadapan dengan hakikat yang sebenar. Merasai kehadiran Insan Kamil bukan bermakna Insan Kamil benar-benar ada di hadapan. Merasakan menjadi Insan Kamil bukan bermakna benar-benar menjadi Insan Kamil. Merasakan menjadi Insan Kamil adalah suasana mabuk. Merasai kehadiran Insan Kamil pula adalah suasana menerima kenyataan Insan Kamil itu. Merasai kehadiran Allah s.w.t pula bermakna menerima kenyataan Allah s.w.t. Ia disebut juga ayat-ayat Allah, sifat-sifat Allah, nama-nama Allah, tanda-tanda Allah dan sebagainya. Walaupun digunakan istilah-istilah yang tidak pernah didengar separti Lahut, Balhut, Ghaibul Ghuyub, Ghaibul Mutlak dan lain-lain, semuanya bukanlah Allah s.w.t tetapi hanyalah cerita tentang Allah s.w.t. Cerita yang paling baik dan paling benar mengenai Allah s.w.t adalah cerita daripada al-Quran. Tidak ada cerita lain yang kebenarannya mengatasi apa yang diceritakan oleh al-Quran. Oleh itu apabila mendengar cerita daripada mana-mana sumber rujuk semula kepada cerita al-Quran. Jangan diikuti orang yang di dalam mabuk karena orang yang demikian sudah hilang partimbangan.
Dalam perjalanan kerohanian, apabila ‘berjumpa’ dengan kehadiran Habiballah barulah fikiran terbuka luas, begitu juga dengan kesadaran diri. Sebelum itu jiwa seseorang seumpama berada di dalam laut, dilambung oleh gelombang. Sekalipun tidak mabuk namun ‘pening-pening lalat’ tetap juga ada.
Dalam perjalanan kerohanian seseorang itu memasuki empat tahap kesadaran diri. Tahap pertama adalah kesadaran nafsu, dibahasakan sebagai Alam Nasut atau alam jasad. Kesadaran nafsu mengarahkan kepada ingatan yang jahat, melakukan dosa dan maksiat. Tahap ke dua adalah kesadaran kalbu atau hati, dibahasakan sebagai Alam Malakut. Dalam kesadaran hati timbul sifat patuh dan taat kepada perintah dan peraturan Allah s.w.t. Tahap ke tiga adalah kesadaran rohani, dibahasakan sebagai Alam Jabarut. Dalam kesadaran ini si hamba bebas daripada kegembiraan dan kerisauan, fikiran dan keinginan. Dia menjadi patuh kepada perintah rohani dan dia menjadi tenteram, dengan kepatuhan tersebut. Tahap ke empat adalah kesadaran Sir, dibahasakan sebagai alam Lahut. Dalam kesadaran ini si hamba tenggelam dalam tafakur tentang Tuhan. Penyaksiannya hanya kepada Tuhan, tidak kepada yang lain. Dia mengalami suasana hakikat-hakikat ketuhanan atau dikatakan juga hatinya menerima sinaran nur Ilahi. Selepas peringkat ini barulah kesadaran diri kembali semula sedikit demi sedikit.
Permulaian jalan kembali kepada kesadaran itu dinamakan baqa. Kesadaran terhadap Insan Kamil muncul pada peringkat permulaian baqa. Baqa adalah suasana bergerak daripada Tuhan bersama Tuhan. Ada unsur perpisahan dan perbedaan dengan Tuhan tetapi masih lagi bersamaan. Kesadaran dalam peringkat inilah membuat seseorang bercakap secara berteka-teki dan samar-samar karena suasana teka-teki dan kesamaran yang menguasai hatinya. Semakin jauh dia masuk ke dalam baqa semakin terurai teka-teki tersebut dan semakin berkurangan kesamaran.
Baqa adalah salah satu daripada peringkat perjalanan kerohanian. Bila kesadaran pulih sepenuhnya kebaqaan tidak ada lagi.
Keseluruhan perjalanan bisa dibagikan kepada empat peringkat. Peringkat pertama dinamakan jalan orang Islam biasa. Pada jalan ini penekanan adalah pada syariat zahir. Penggerak utama pada jalan ini adalah syurga dan peringatannya adalah neraka. Matlamat pada jalan ini adalah mencapai kedudukan sebagai seorang mukmin yang layak menjadi penghuni syurga. Jalan ini menjadi asas kepada jalan-jalan yang lain. Tanpa jalan ini jalan-jalan yang lain tidak dapat dibina. Orang yang meninggalkan jalan ini dan terus pergi ke jalan hakikat itulah yang mudah jatuh ke dalam jurang yang menyesatkan.
Sambungan kepada jalan syariat zahir adalah jalan syariat batin atau jalan tarekat tasauf. Jalan ini merupakan jalan hamba mencari Tuhan. Keinginan mengenal Tuhan mendorong mereka melakukan ibadat bukan karena inginkan syurga atau takutkan neraka. Segala usaha dan ikhtiar digunakan bagi mendekatkan diri dengan Tuhan. Pada peringkat awal mereka kuat bersandar kepada amal karena menyangkakan kekuatan amal itulah yang mendekatkan mereka dengan Tuhan. Pada peringkat ini ada bahaya yang menanti. Bahaya tersebut adalah perasaan tidak sabar untuk cepat sampai kepada matlamat, sedangkan matlamat itu sendiri tidak jelas. Sikap tidak sabar dan kurang penyerahan kepada Tuhan membuat seseorang mudah terdorong kepada amalan yang ganjil-ganjil yang diharapkan mempercepatkan perjalanan mereka. Sebagian daripada mereka yang keliru pada peringkat ini mengambil amalan melihat jin dan bersahabat dengan khadam. Mereka menyangkakan amalan yang demikian adalah sebagian daripada jalan ketuhanan yang mendekatkan diri mereka dengan Tuhan. Kesan daripada yang demikian ada yang gila akalnya atau pun gila hakikatnya. Gila hakikat adalah mendakwa diri sudah memiliki hakikat sedangkan dia belum memasuki jalan hakikat. Apa yang mereka anggapkan alam hakikat itu sebenarnya adalah alam khadam. Orang yang gila hakikat, dalam kesadaran biasa, mengaku mereka menjadi wali yang agung dan memiliki berbagai-bagai kekeramatan. Mereka menyangkakan mereka adalah manusia pilihan Tuhan atau pun mereka adalah nabi. Beginilah keadaan nabi palsu yang selalu muncul dalam sejarah. Nabi palsu itu yakin yang diri mereka adalah nabi, terutamanya jika pada diri mereka muncul sesuatu yang luar biasa. Perkara luar biasa itu mereka sangkakan mukjizat tetapi yang sebenarnya hanyalah perbuatan khadam yang mendampingi mereka.
Dalam melalui jalan ini seseorang mestilah membulatkan maksudnya kepada Allah s.w.t semata-mata, tidak dicampur dengan keinginan kepada kekeramatan dan pangkat kewalian. Apabila maksud sudah bulat kepada Allah s.w.t barulah ada harapan untuk memasuki jalan kerohanian. Tanda seseorang itu telah memasuki jalan ketuhanan adalah dia dikurniakan Petunjuk Ghaib. Dia dapat merasakan kuasa ghaib mengseretnya dengan menangkis apa saja yang mencoba membuatnya berhenti. Perhatian dan kesadaran terhadap segala sesuatu akan menjadi lemah. Dia masuk ke dalam kesadaran kebatinan. Dalam kesadaran tersebut dia mengalami kehadiran kenabian. Dia mengenali kenabian secara zauk.
Apabila hati sampai kepada suasana nama-nama Tuhan pula dia mengenali Tuhan melalui nama-nama tersebut. Di sini dia melihat urusan Tuhan menguasai perjalanan segala sesuatu. Seterusnya dia sampai kepada suasana keesaan Tuhan. Kemudian dia memasuki pula suasana yang menggambarkan bahwa tiada sesuatu yang serupa dengan Tuhan. Dia menemui kenyataan bahwa Tuhan tidak dijumpai melalui ilmu dan makrifat. Hamba yang sampai ke sini mengakui kelemahan dirinya di hadapan keperkasaan Tuhan. Wujudlah sifat kehambaan yang sejati dalam jiwanya. Kuatlah dia bersabar menanggung ujian Tuhan dan berserah diri kepada-Nya. Orang yang berhenti pada peringkat ini akan menjadi ahli ibadat yang tidak ada pekerjaan melainkan beribadat kepada Allah s.w.t. Akhir peringkat kedua adalah menyaksikan Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa.
Peringkat ke tiga dinamakan jalan hakikat. Dalam peringkat kedua dahulu si hamba menemui kenyataan bahwa ilmu dan amal tidak berupaya memecahkan benteng keperkasaan Tuhan. Penemuan tersebut membuat si hamba tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya. Apa juga amalan yang dilakukannya adalah karena Allah s.w.t bukan karena sesuatu kepentingan dirinya. Amal tidak lagi menjadi alat untuk mendapatkan sesuatu daripada Tuhan. Dia sudah memperolehi keyakinan bahwa yang dapat membawanya kepada Tuhan adalah Tuhan sendiri, dengan kehendak-Nya bukan dengan kehendak hamba-Nya, atau ilmu dan amal hamba-Nya.
Perjalanan pada peringkat ke tiga bermulai daripada suasana keesaan. Si hamba dilambung oleh gelombang kefanaan yang kuat. Dia tidak lagi mengetahui siapakah dirinya. Dia terpisah daripada sifat kemanusiaan dan tidak lagi memperdulikan peraturan masyarakat. Orang yang berada pada peringkat ini patut dipisahkan daripada orang banyak supaya kehadirannya tidak mendatangkan fitnah terhadap dirinya dan juga orang lain. Ucapannya mengenai hakikat yang dialaminya mungkin akan menimbulkan salah faham orang lain. Pada peringkat ini si hamba berada ‘di luar’ sesuatu dan dia hanya menyaksikan. Dia melihat perbuatan muncul daripada dirinya tetapi dia melihatnya ‘dari luar’ dirinya, sebagaimana orang lain melihatnya. Dia merasakan yang dia tidak terlibat dengan perbuatan tersebut. Dia menyaksikan segala perkara sebagai tindak tanduk urusan Tuhan. Dalam suasana yang demikian dia mendapat pengartian bahwa sebenarnya bukan dirinya yang mencari Tuhan tetapi sebenarnya Dia yang mencari dan Dia yang dicari. Tidak ada siapapun yang masuk campur dalam urusan-Nya. Orang yang dalam kefanaan menggambarkan peringkat ini dengan ucapannya “Dia yang mencari dan Dia yang dicari. Dia yang bertemu dengan Diri-Nya sendiri!” Orang yang di dalam kesadaran pula menggambarkan suasana pada tahap ini dengan ucapannya, “Aku kenal Tuhanku melalui Tuhanku sekadar yang Tuhanku izinkan daku mengenali-Nya”. Perjalanan yang bermulai daripada suasana keesaan itu berakhir pada suasana Insan Kamil.
Insan Kamil adalah permulaian jalan peringkat ke empat, jalan menuju baqa, dinamakan jalan Diri mencari Diri. Pada peringkat suasana Insan Kamil ini kesadaran terhadap diri sendiri sudah mulai datang kembali dalam keadaan dia tidak mengenali dirinya sendiri. Kesadaran yang sudah kembali sedikit itu menggerakkannya untuk mencari dirinya yang ‘hilang.’ Pada suasana Insan Kamil itu si hamba menyaksikan hakikat dirinya dalam Hakikat Muhammadiah. Dia menyaksikan hakikat dirinya sebagai Hakikat Abdul Rab (hamba Tuhan). Si hamba ditarik kepada satu nama Tuhan yang menguasai dirinya. Dia ditarik kepada Yang Empunya nama. Tarikan ketuhanan Yang Empunya nama itu membawa si hamba keluar dari alam fana sedikit demi sedikit, masuk ke alam baqa. Dalam kebaqaan itu si hamba melihat hakikat dirinya yang tidak berpisah dengan Tuhan. Hakikat Abdul Rab (kewujudan kehambaan pada sisi Tuhan atau urusan Tuhan yang menguasai perjalanan kehambaan kepada Tuhan) tidak berpisah dengan Tuhan. Penyaksian terhadap hakikat diri yang tidak berpisah dengan Tuhan dan suasana hati yang merasakan tidak berpisah dengan Tuhan itulah dinamakan baqa.
Penghujung jalan baqa menemukan si hamba dengan Hakikat Ahmadiah. Pada tahap ini si hamba menemui dirinya sebagai rohani yang ‘menerima’ bakat daripada hakikat kehambaan. Rohani hanya mempamerkan apa yang ada dengan hakikat yang menguasainya. Penyaksian terhadap kewujudan rohani ini membuka perhatiannya kepada kewujudan jasadnya. Kesadaran kemanusiaan yang bertubuh badan kembali semula kepadanya secara sedikit demi sedikit. Dia (rohani) sudah memperakukan bahwa alam jasad itulah daerah kekhalifahannya atau tempat tinggalnya. Rohani dan jasad ‘bercantum’ semula dalam suasana kehadiran Habiballah. Diri yang mencari berpadu dengan Diri yang dicari. Si hamba kembali mengenali dirinya. Pusingan perjalanannya menjadi lengkap.Awal perjalanannya berpadu dengan akhir perjalanannya. Batinnya berpadu dengan zahirnya.
Perpindahan daripada suasana kebaqaan kepada suasana kehambaan sepenuhnya diistilahkan sebagai hijrah kerohanian. Si hamba berpindah daripada kesadaran hakikat kepada kesadaran kemanusiaan, masuk ke dalam syariat zahir dan batin. Nabi Muhammad s.a.w berhijrah daripada Makkah yang padanya ada Kaabah, pergi ke Madinah yang padanya syariat diperlengkapkan. Ahli hakikat juga perlu berhijrah meninggalkan ‘Kaabatullah’ (makam hakikat yang ada fana, bersatu dengan Tuhan, baqa dengan Tuhan dan lain-lain suasana hakikat) pergi ke ‘Madinah’ (makam kehambaan yang padanya ada agama yang sempurna, syariat yang sempurna, peraturan zahir yang sempurna, amalan batin yang sempurna, Islam yang sempurna, iman yang sempurna dan makrifat yang sempurna). ‘Hijrah’ adalah makam hakikat dan makrifat yang paling tinggi. Apabila seseorang Ahli hakikat ‘berhijrah’ barulah kesadaran kemanusiaannya kembali sepenuhnya. Syariat zahir dan batinnya sempurna. Agamanya pun sempurna.
Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu. Dan Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu. Dan Aku reda Islam menjadi agama (syariat)mu. ( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah )
Perjalanan yang tidak merialisasikan maksud ayat di atas adalah perjalanan yang tidak lengkap. Perjalanan kerohanian yang lengkap mengandungi:
1: Jalan orang Islam biasa
2: Jalan hamba mencari Tuhan
3: Jalan Dia yang mengenali Diri-Nya
4: Jalan Diri mencari Diri atau jalan mengenal diri.
Ada orang yang sengaja mengambil jalan Diri mencari Diri, yaitu jalan mengenal diri saja tanpa mengambil jalan-jalan yang lain. Jalan mengenal diri yang dilalui oleh orang yang mengalami kefanaan, kelenyapan terhadap kesadaran diri sendiri, berbeda daripada jalan mengenal diri yang digubah oleh orang yang tidak ada zauk, tidak hilang kesadaran diri, tidak hilang akal fikiran, tetap gelojoh dengan makan dan minum dan masih maukan kesenangan dunia. Golongan ini mengambil perkataan ahli zauk untuk dijadikan iktikad dalam kesadaran mereka. Mereka menyamakan hamba dengan Tuhan. Iktikad mereka telah sesat dan menyesatkan.
Di antara semua peringkat perjalanan kerohanian yang paling sukar dilakukan adalah berhijrah daripada hakikat kepada syariat. Banyak di antara ahli sufi tidak melakukan hijrah. Mereka tidak dapat melepaskan diri daripada kesan kefanaan dan mabuk. Pengalaman bersatu dengan Tuhan yang mengasyikkan membuat mereka enggan melepaskan kegairah tersebut.
Ahli sufi yang dipimpin kepada jalan mahabbah melakukan hijrah dan kembali kepada jalan kenabian dengan sempurna. Hijrah Nabi Muhammad s.a.w dari Makkah ke Madinah mengambil masa tujuh hari. Bukan perkara yang ganjil jika hijrah ahli hakikat ke syariat secara sepenuhnya mengambil masa tujuh tahun. Kehadiran Habiballah yang membuka pintu hijrah kepada ahli hakikat. Orang yang melihat dengan ‘mata’ Allah tidak dapat melihat kebenaran yang sejati. Orang yang melihat dengan ‘mata’ Rasul Allah yang dapat melihat kepada Yang Haq. Walaupun Allah s.w.t memperkenalkan sifat-Nya melalui sifat manusia tetapi itu hanyalah sekadar iktibar. Allah s.w.t tidak jadikan sifat-Nya sebagai sifat manusia. Siapapun yang mencoba menggunakan sifat Allah s.w.t akan terbaliklah akal dan hatinya. Orang yang sengaja berbuat demikian berkemungkinan menjadi tidak stabil mentalnya, biasanya dipanggil ‘isim’. Keadaan akal dan hatinya seumpama tayar kereta yang tidak seimbang, menggegarkan keseluruhan bagian kereta. Allah s.w.t telah meletakkan “mata kebenaran” pada Nabi Muhammad s.a.w. Hanya dengan memandang melalui ‘mata’ Nabi Muhammad s.a.w seseorang itu dapat menyaksikan kebenaran yang sejati lagi tulen.
Tidak Kami utuskan engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat ke seluruh alam. ( Ayat 107 : Surah al-Anbiyaa’ )
Sesungguhnya adalah bagi kamu pada (diri) Rasulullah itu satu teladan yang baik bagi orang yang percaya kepada Allah dan Hari Kemudian dan menyebut Allah (sebutan) yang banyak. (Ayat 21 : Surah al-Ahzaab )
Orang yang beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w dan mengikuti jalan baginda s.a.w akan sampai kepada kesudahan makam yaitu makam penetapan.
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada pada makam Amin (kedudukan yang aman). ( Ayat 51 : Surah ad-Dukhaan )
Makam Amin adalah makam penetapan, dikurniakan kepada mereka yang bertakwa. Tidak ada takwa jika tidak ada syariat karena takwa adalah memelihara syariat. Orang yang bertakwa mengakui kewujudan sempadan dan hukum-hukum. Mereka memelihara sempadan jalan yang lurus itu dan juga memerhatikan hukum-hukumnya. Perkara yang menyalahi syariat adalah umpama duri-duri di atas jalan dan orang yang bertakwa berjalan dengan menjaga tapak kakinya agar tidak terpijak duri.
39: Makam Penetapan
________________________________________
Orang kerohanian yang kembali kepada kesadaran kemanusiaan dan masuk kepada suasana penetapan, hidup sebagai seorang Muslim biasa. Orang arif dan orang awam dalam agama Islam tertakluk kepada hukum dan peraturan yang sama. Semuanya bertuhankan Tuhan Yang Satu. Semuanya berpenghulukan Nabi yang satu. Semuanya berkiblatkan Kiblat yang satu. Semuanya berimamkan Kitab yang satu. Sekalian kaum Muslimin bersaudara.
Aku reda Allah adalah Tuhan, Islam adalah agama, Muhammad s.a.w adalah Nabi dan Rasul, al-Quran adalah ikutan, Kaabah adalah Kiblat dan semua mukminin dan mukminat adalah saudara.
Aku naik saksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku naik saksi bahwa Nabi Muhammad s.a.w adalah Pesuruh Allah.
Pada makam penetapan orang arif bergerak dalam masyarakat separti air yang mengalir pada bumi, menghidupkan bumi yang mati. Bila bumi sudah hidup akan tumbuhlah pokok Islam yang akar tunjangnya teguh di dalam bumi dan pucuknya menggamit langit. Daunnya rendang menjadi tempat berteduh bagi musafir yang lalu sebentar di atas muka bumi. Buahnya enak dan lazat memberi kekuatan kepada musafir berjalan menuju destinasi.
Muhammad Pesuruh Allah! Dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang kafir (dan) berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka rukuk, sujud, mencari kurniaan dan keredaan Allah. Tanda-tanda mereka (ada) di muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka di Taurat dan sifat mereka di Injil, sebagai tanaman yang keluarkan tunasnya, lalu Dia teguhkan ia. Maka jadilah ia gemuk dan tegap berdiri di atas pangkalnya. (Adalah) karena Dia hendak jengkilkan kafir-kafir itu dengan (kesuburan) mereka (yang mukmin). Allah janjikan mereka yang beriman dan beramal salih dari mereka keampunan-Nya dan ganjaran yang besar. ( Ayat 29 : Surah al-Fat-h )
Setiap Muslim mestilah memilih benih yang baik untuk di tanam. Tuhan hanya menyediakan satu tempat saja sebagai kebun untuk bercucuk tanam. Tuhan memberikan kepada manusia satu peluang saja untuk mengusahakan ladangnya. Kebun tersebut adalah dunia dan peluang tersebut adalah hidup di dalam dunia ini. Tidak ada kebun lain dan tidak ada peluang lain. Pokok yang paling baik ditanam adalah pokok yang batangnya berdiri tegak, dahannya rukuk merendahkan diri dan julainya yang berat dengan buah sujud mencecah bumi dengan penuh kehambaan. Pokok yang baik mengeluarkan buah yang baik untuk kehidupan dunia dan ia terus berbuah di dalam kubur. Di akhirat kelak buahnya akan memberikan kegembiraan yang abadi.
Pengalaman zauk dan jazbah hanyalah kedudukan yang sementara, bukan penetapan dan bukan matlamat. Nabi Muhammad s.a.w memasuki pengalaman Israk dan Mikraj hanya satu bagian daripada malam saja. Dalam perjalanan yang mengambil masa yang singkat itu baginda s.a.w menerima perintah sholat lima waktu. Perintah sholat yang diterima dalam masa yang singkat itu membawa Nabi Muhammad s.a.w mengerjakan sholat sepanjang hayat baginda s.a.w. Pengalaman yang singkat membuka jalan kepada penetapan. Baginda s.a.w yang dikeluarkan daripada dunia sebagian daripada malam kembali semula ke dunia untuk meneruskan baki umur baginda s.a.w dan di dunia ini juga baginda s.a.w menghabiskan umur baginda s.a.w. Di sini juga jasad baginda s.a.w disemadikan. Begitulah jalan yang Tuhan tentukan untuk manusia yang paling mulia, paling sempurna.
Tuhan ciptakan Adam a.s tanpa ibu dan ayah. Tuhan ciptakan Isa a.s tanpa ayah. Tuhan ciptakan Kekasih-Nya, Muhammad s.a.w dengan beribu dan berbapa. Tuhan jadikan Kekasih-Nya itu merasai lapar, dahaga, sakit dan mati di dalam dunia. Sahabat-sahabat baginda s.a.w yang merupakan manusia pilihan kelas pertama melalui jalan yang demikian juga. Orang-orang yang benar yang datang kemudian melalui jalan itu juga. Itulah sebaik-baik jalan dan ia dinamakan Jalan Nabi atau Sunah Nabi Muhammad s.a.w.
Pada Jalan Nabi tentera Muslimin berperang dengan menggunakan pedang, kepintaran akal dan kekuatan jasmani. Mereka memukul dan dipukul. Mereka menerima luka-luka. Mereka membunuh dan dibunuh. Mereka selalu menang tetapi ada juga kekalahan. Namun mereka terus juga berjuang di dalam perbatasan manusia biasa. Mereka tidak bersandar kepada ilmu kebal atau ilmu menutup pandangan musuh. Mereka tidak bersandar kepada mukjizat. Jika Tuhan kirimkan mukjizat melalui Nabi-Nya mereka menerimanya dengan syukur. Jika Tuhan tetapkan mereka berperang dengan menggunakan bakat kemanusiaan biasa mereka terus juga berjuang dengan penuh semangat dan kesabaran.
Rasulullah s.a.w dan para sahabat telah menunjukkan cara menghadapi kehidupan sebagai manusia biasa. Baginda s.a.w bersama-sama sahabat yang paling mulia, Abu Bakar as-Siddik, telah menunjukkan contoh yang paling baik dalam menghadapi jabaran sewaktu melakukan hijrah. Konsep bertawakal yang sebenarnya diajarkan oleh Rasulullah s.a.w melalui peristiwa hijrah tersebut. Baginda s.a.w diutuskan untuk membimbing umat manusia yang tidak bisa terbang di udara atau berjalan di atas air dan juga tidak kebal. Jika orang yang membimbing menggunakan cara terbang di udara, berjalan di atas air, kenyang tanpa makan, tidak ditimpa penyakit, maka yang bisa mengikuti pembimbing yang demikian hanyalah para malaikat. Nabi Muhammad s.a.w dan pewaris perjuangan baginda s.a.w perlu bergerak dan bartindak di dalam sempadan kemanusiaan agar orang banyak bisa mengikuti mereka. Orang kerohanian yang kembali kepada kesadaran kemanusiaan akan bergerak sebagai manusia biasa juga. Mungkin ada perkara yang luar biasa keluar daripada mereka. Itu adalah sebagai anugerah Tuhan kepada mereka. Perkara tersebut tidak bisa dipandang sebagai identiti mereka.
Ahli hakikat yang kembali kepada kesadaran biasa akan hidup separti manusia lain juga. Pekerjaan utama mereka adalah menyeru umat manusia ke jalan Tuhan. Di samping itu mereka juga melakukan apa yang layak dilakukan sebagai manusia. Mereka membuat pekerjaan menurut bakat dan keupayaan yang Tuhan kurniakan kepada mereka. Sebagian daripada mereka menceburkan diri ke dalam bidang perdagangan untuk menjadi model kepada pedagang-pedagang yang lain. Ada yang menjadi pengusaha, nelayan, pemandu teksi, petani dan lain-lain. Golongan pilihan itu menyerap ke dalam masyarakat melalui semua bidang kehidupan agar umat manusia bisa menguruskan setiap bidang dengan mencontohi model yang Tuhan hantar kepada mereka. Manusia pilihan itu akan meneruskan kehidupan masing-masing menurut warna pencelupan pilihan Tuhan, sehinggalah mereka kembali kepada Tuhan dalam keadaan reda meredai.
Kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.
Di awal perjalanan kerohanian seseorang itu merasakan kehadiran Pembimbing Ghaib yang mengiringinya. Hadrat (kehadiran) tersebut senantiasa bersama-samanya sehingga dia sampai ke gerbang penetapan. Selama ‘dikuasai’ oleh Hadrat tersebut si hamba berada dalam suasana tidak bernama atau tidak ada identiti sendiri. Apa juga keberkatan yang diperolehinya diisbatkan kepada keberkatan Hadrat tersebut. Segala pengetahuannya diisbatkan kepada pengetahuan Hadrat berkenaan. Si hamba tidak mengakui sesuatu kebaikan itu sebagai kebaikan dirinya. Semuanya diisbatkan kepada Hadrat yang bersamanya.
Penguasaan Hadrat ghaib itu menjadi jazbah yang paling kuat menguasai seseorang yang berjalan pada jalan kerohanian. Hadrat inilah yang paling akhir berpisah dengan si hamba berbanding dengan semua pengalaman jazbah yang lain. Apabila si hamba masuk ke dalam kota penetapan, secara tiba-tiba saja si hamba menyedari Hadrat ghaib itu sudah kembali ke Hadrat Ilahi. Tugas Hadrat ghaib itu sebagai Pembimbing dan Protokol sudah selesai. Hadrat tersebut telah melaksanakan tugasnya membentuk si hamba itu menurut kehendak Allah s.w.t. Bila si hamba sudah bisa menguruskan dirinya sendiri Hadrat tersebut pun kembali kepada kedudukan urusan Allah s.w.t. Si hamba telah kembali kepada dirinya dengan lengkap dan sempurna. Dia sudah bisa memakai identitinya semula. Dia kembali kepada namanya yang sekian lama terpisah daripadanya. Peringkat perpisahan dengan Hadrat ghaib dan bersatu dengan nama dan identiti sendiri merupakan penetapan yang sebenarnya. Ia dinamakan makam penetapan yang teguh. Si hamba kembali kepada kedudukan sebagai satu individu yang memikul amanah dan ada tugas yang perlu dilaksanakannya. Pada tahap ini barulah bakat khalifah yang dikenalinya pada peringkat Hakikat Khalifah dahulu menjadi bakat dirinya. Khalifah Allah berurusan secara langsung dengan Allah s.w.t, tidak melalui perantaraan yang nyata atau yang ghaib, tidak ada tawasul. Orang yang masih menggunakan cara tawasul menandakan kesan mabuk belum lagi habis daripadanya.
Khalifah pada makam penetapan bukan separti khalifah pada makam hakikat. Khalifah Allah pada makam penetapan berpijak pada bumi nyata, tidak lagi ‘mencari-cari’ atau ‘memandang ke atas’ atau ‘menantikan sesuatu.’ Khalifah yang sudah menetap adalah golongan salihin dan siddiqin. Benar kedudukan syariat, benar kedudukan tarekat, benar kedudukan hakikat dan benar kedudukan makrifat pada satu kedudukan yaitu syariat yang lengkap. Inilah makam khalifah Allah yang menjadi pewaris nabi.
Khalifah Allah menguruskan daerah kekhalifahannya yaitu dirinya sendiri dan bidang pengkhususannya. Bidangnya yang paling penting adalah berdakwah ke jalan Allah. Bagi melakukan semua itu dia kembali ke dunia, menghadapi dunia yang diporak-perandakan oleh syaitan dan hawa nafsu. Dalam melaksanakan tugasnya dia dijaga oleh Allah s.w.t. Apabila Allah s.w.t menentukannya menguruskan hal-ihwal makhluk maka diberinya petunjuk dan kekuatan dalam melaksanakan tugasnya.
Allah s.w.t kurniakan kepada para khalifah-Nya kurniaan yang tidak rosak binasa. Mereka diberi kebagiaan yang tidak ada lagi kesusahan dan kesedihan. Nasib mereka menjadi baik dan tidak buruk lagi. Apa saja perkara keduniaan yang sampai kepada mereka sudah ditapis dan mereka menerima yang baik-baik saja. Kedudukan mereka akan ditinggikan dan tidak rendah lagi. Mereka menjadi pusat pertemuan orang banyak. Melalui sholat mereka kesulitan orang banyak dapat diselesaikan. Melalui doa mereka bala terangkat daripada orang banyak. Mereka menjadi pengawal kerohanian kepada orang-orang yang di dalam daerah kekhalifahan mereka. Apabila mereka sudah bersesuaian dengan Allah s.w.t dan perintah-Nya maka seluruh alam tunduk kepada mereka dalam keadaan merendah diri. Apabila mereka teguh menjaga diri daripada perkara yang haram, maka yang haram akan lari daripada mereka walau ke mana saja mereka pergi. Khalifah Allah adalah mereka yang kuat memerhatikan larangan Allah s.w.t, menjaga diri daripada terjerumus ke dalam perkara yang tidak disukai oleh Allah s.w.t dan mereka sangat bersegera di dalam melakukan ketaatan kepada-Nya.
Apa saja yang dari Allah s.w.t adalah nur. Malaikat yang bertugas menjalankan perintah Allah s.w.t adalah nur. Khalifah Allah diselimuti oleh nur suci. Nur pada matanya, nur pada telinganya, nur pada lidahnya, nur di kanannya, nur di kirinya, nur di hadapannya, nur di belakangnya dan seluruh maujudnya diselimuti oleh nur.
Takutlah kamu firasat orang mukmin karena mereka melihat dengan nur Ilahi. ( Maksud Hadis )
Si hamba yang dibaluti oleh nur tidak dibahayakan oleh kegelapan. Ilmunya adalah nur yang dari Allah s.w.t. Nur membuka tutupan sehingga yang benar nyata kebenarannya dan yang salah tidak dapat berselindung. Tidak ada lagi syak dan wasangka. Nur Ilmu menghapuskan kesamaran dan teka teki. Segala perkara adalah jelas dan nyata. Yang jelas dan nyata itu adalah kebenaran al-Quran dan as-Sunah.
Si hamba yang telah kembali kepada kesadaran kemanusiaan dan berupaya menguruskan hal-ihwal dirinya dan orang lain, diizinkan menikmati sepenuhnya bagian yang baik-baik yang diperuntukkan kepadanya. Bagian tersebut telah dipegang oleh Pemegang Amanah yaitu al-Waliyyu (Yang Memelihara) selama si hamba itu di dalam perjalanan demi kebaikan si hamba itu sendiri. Bila keupayaan khalifah dikurniakan kepadanya bagiannya juga dikembalikan. Apa yang menjadi bagiannya tidak dapat diambil oleh orang lain.
Ketika berjalan kepada Allah s.w.t dahulu diserahkannya semua hak dirinya kepada Allah s.w.t. Diserahkannya dirinya, namanya, sifatnya, bagiannya dan sekalian makhluk kepada Allah s.w.t. Kini Allah s.w.t mengembalikan semuanya itu kepadanya. Dirinya, namanya, sifatnya dan bagiannya kembali kepadanya. Makhluk juga kembali kepadanya. Dia menjadi pengurus terhadap apa yang Allah s.w.t kembalikan kepadanya. Pada zahirnya dia yang menguruskan tetapi pada hakikatnya Allah s.w.t, al-Waliyyu, yang menguruskan hal-ihwal si hamba itu. Hamba yang diuruskan oleh Allah s.w.t itulah yang dimaksudkan sebagai wali Allah dan khalifah Allah.
Si hamba yang sampai kepada makam penetapan menjadikan seluruh kehidupan ini sebagai ibadat. Lidahnya basah dengan zikir. Dia mengucapkan zikir yang biasa diucapkan oleh orang Islam biasa dan hatinya terikat dengan masjid. Dia juga berbakti kepada orang tuanya selaku anak yang salih. Allah s.w.t kurniakan kedudukan yang tinggi lagi mulia kepada hamba-Nya yang senantiasa ingat kepada-Nya, yang hatinya terikat dengan masjid dan yang berbakti kepada orang tuanya. Kedudukannya satu tingkat di bawah kedudukan nabi-nabi. Hamba yang demikian diliputi oleh Nur Arasy, sebagaimana yang telah disaksikan oleh Rasulullah s.a.w sewaktu baginda s.a.w Mikraj melepasi Sidratul Muntaha.
Maha Suci Allah s.w.t yang menciptakan satu golongan daripada umat manusia sebagai hamba-Nya yang pilihan untuk Dia taburkan rahmat-Nya kepada seluruh umat manusia, sekalian makhluk-Nya dan sekalian alam ciptaan-Nya.
40: Umat Yang Diasuh Oleh nabi Muhammad s.a.w
________________________________________
Para sahabat Rasulullah s.a.w bisa dibagikan kepada tiga golongan. Pertama adalah mereka yang memeluk Islam sebelum Rasulullah s.a.w berhijrah ke Madinah. Kedua adalah mereka yang memeluk Islam selepas Rasulullah s.a.w berhijrah ke Madinah. Ke tiga adalah mereka yang memeluk Islam sesudah pembebasan Makkah. Al-Quran telah meletakkan ketentuan bahwa golongan pertamalah yang paling mulia, diikuti oleh golongan ke dua dan seterusnya golongan ke tiga. Berdasarkan kenyataan al-Quran itulah Abu Bakar as-Siddik berhujah dengan kaum Ansar berhubung dengan isu perlantikan pengganti Rasulullah s.a.w. Kaum Ansar memperakui memang demikianlah kenyataan al-Quran. Oleh yang demikian golongan pertamalah yang berhak memegang jawatan amir dan golongan kedua jawatan wazir. Di antara yang paling mulia dalam golongan pertama, maka Abu Bakar as-Siddik adalah yang paling mulia. Neraca keadilan Umar al-Khattab telah menunjukkan keutamaan Abu Bakar as-Siddik. Sekalian kaum Muslimin membenarkan partimbangan Umar dan Abu Bakar as-Siddik dilantik menjadi khalifah umat Islam yang pertama.
Golongan pertama telah melalui jalan yang tidak dilalui oleh golongan-golongan yang lain. Mereka adalah yang pertama beriman kepada Rasulullah s.a.w. Mereka terpaksa membayar harga yang mahal demi agama mereka dan iman mereka. Hak asasi mereka dirampas oleh kaum Quraisy. Ketahanan iman mereka benar-benar diuji. Setelah mereka lulus ujian iman barulah Allah s.w.t mengeluarkan mereka daripada Makkah untuk melakukan satu laku pekerjaan yang sangat mulia, yang tidak dilakukan oleh golongan yang lain. Mereka memperolehi fadilat hijrah.
Setelah hijrah golongan pertama ini menjadi seumpama air meresap ke dalam golongan kedua untuk memberi kehidupan kepada mereka. Golongan kedua yang telah bersatu dengan golongan pertama telah menjadi kuat, dan kedua-duanya menjadi tentera Allah, para mujahidin. Hasil daripada perjuangan mereka itulah muncul golongan ke tiga dan seterusnya berkembang hingga ke hari ini dan sampai ke hari kiamat.
Di dalam golongan ke tiga terdapat orang-orang yang satu ketika dahulu sangat-sangat memusuhi Rasulullah s.a.w, kaum Muslimin dan agama Islam. Dari kalangan mereka ada orang yang pernah menyiksa kaum Muslimin, malah ada yang pernah membunuh orang Islam. Perjuangan golongan pertama dan ke dua bukanlah untuk membalas dendam atau untuk mencari keuntungan diri. Mereka adalah tentera Allah yang berkewajiban membawa agama Allah kepada umat manusia. Mereka adalah golongan manusia yang dipilih khusus untuk memimpin umat manusia agar selamat daripada neraka.
Ada sebagian cendikiawan yang datang kemudian tidak bersetuju dengan beberapa tindakan para Mujahidin itu. Mereka perlu memahami daya nilai kemanusiaan dan daya nilai Muslim. Manusia umum menggunakan bakat fitrah kemanusiaan dalam membuat penilaian. Fitrah kemanusiaan hanya berupaya menggunakan kekuatan akal fikiran sebagai sumber yang paling kuat. Fitrah Muslim pula tunduk menyerah kepada wahyu. Penyerahan kepada wahyu Tuhan dilakukan dengan iman, bukan dengan hujah dan takwil. Kaum Muslimin berkewajiban menundukkan fitrah asas kepada fitrah Muslim yang menyerah kepada berita yang datang dari Tuhan. Kaum Muslimin hendaklah tidak membuang perkataan Tuhan karena melihat kepada hukum logik fitrah asas.
Golongan pertama dan kedua menerima dengan baik orang-orang yang telah memusuhi mereka, menindas mereka, berperang dengan mereka dan membunuh saudara-saudara mereka. Keadaan demikian bisa terjadi karena sifat pemaaf yang kuat tertanam dalam jiwa kaum Muslimin yang diasuh oleh Rasulullah s.a.w.
Umat yang diasuh oleh Rasulullah s.a.w berpusat kepada dua perkara penting yaitu al-Quran dan masjid. Mereka menjadi umat yang belajar al-Quran, mengamalkan al-Quran dan menyebarkan al-Quran. Islam dan al-Quran bergandingan. Tidak dinamakan Islam tanpa al-Quran. Umat Nabi Muhammad s.a.w berkewajiban mempelajari al-Quran secara membaca, menghafal dan mengamalkan. Mereka juga berkewajiban menyebarkan apa yang mereka pelajari dan amalkan. Siapapun yang menerima agama Islam daripada Nabi Muhammad s.a.w melalui proses yang demikian. Setiap orang dibawa tunduk kepada perkataan Tuhan, bukan kepada fikiran, ilham atau kasyaf orang tertentu. Orang yang memiliki fikiran, ilham atau kasyaf berkewajiban mengharmonikan apa yang ada dengan mereka itu dengan perkataan Tuhan. Apa saja yang bercanggah dengan perkataan Tuhan mesti ditolak.
Masjid adalah tempat yang paling mulia bagi umat Nabi Muhammad s.a.w. Rasulullah s.a.w banyak menghabiskan waktu baginda s.a.w di dalam masjid. Baginda s.a.w bersholat di dalam masjid. Baginda s.a.w menerima tetamu di dalam masjid. Baginda s.a.w menyusun strategi peperangan di dalam masjid. Peraturan yang baginda s.a.w lakukan di salam masjid menjadi asas kepada perlantikan Abu Bakar sebagai pengganti baginda s.a.w, karena Abu Bakar dipilih oleh baginda s.a.w menjadi imam sholat semasa ketiadaan baginda s.a.w. Orang yang menjadi ketua kaum Muslimin adalah imam bagi saf yang berjemaah di dalam masjid. Begitulah pentingnya institusi masjid yang kepada umat yang dididik oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Al-Quran dan masjid menjadi dasar yang kukuh kepada umat Nabi Muhammad s.a.w menjadi golongan yang mencintai jihad. Mereka adalah golongan yang telah menjualkan harta dan nyawa mereka kepada Tuhan. Kecintaan mereka adalah kepada Allah s.w.t, Rasul-Nya dan berjihad pada jalan-Nya. Tidak ada yang mereka cintai melebihi yang tiga itu.
Semangat jihad pengikut-pengikut Nabi Muhammad s.a.w yang tidak ada tolok bandingnya dapat dilihat pada peristiwa Perang Uhud. Dalam peperangan tersebut 70 orang tentera Muslimin gugur syahid. Setelah para syuhada tersebut dikebumikan Nabi Muhammad s.a.w membawa mereka yang masih hidup pulang ke Madinah. Kebanyakan daripada mengalami kecederaan yang serius. Abdul Rahman bin Auf mendapat luka 20 liang. Hanya satu malam saja mereka berkesempatan berehat dan merawat luka mereka. Keesokan paginya para petugas telah menyeru semua tentera Muslimin yang menghadiri Perang Uhud kelmarin keluar untuk mengejar tentera musyrikin yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Hanya mereka yang menyertai peperangan kelmarin saja yang dibenarkan ikut serta. Betapa iman mereka diuji begitu hebat sekali oleh Tuhan. Mereka menyahut seruan tersebut tanpa ragu-ragu dan membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang benar-benar menjualkan diri dan harta mereka kepada Allah s.w.t. Mereka keluar semula daripada Madinah mengejar musuh yang telah mengalahkan mereka kelmarin. Mereka sanggup berbuat demikian karena iman. Mereka percaya kepada janji Allah s.w.t bahwa para syuhada sebenarnya tidak mati. Mereka terus memperolehi nikmat dan kurniaan Tuhan sekalipun mereka tinggal di dalam alam yang berbeda.
Selepas Perang Uhud, Jabir bin Abdullah duduk termenung mengenangkan ayahnya yang telah syahid, di antara 70 syuhada Uhud itu. Rasulullah s.a.w bertanyakan keadaannya dan dia menceritakan puncak kesugulannya. Rasulullah s.a.w bersabda: “Kalau Tuhan hendak berbicara dengan seseorang hanyalah dari sebalik hijab tetapi ayahmu dihidupkan dan Tuhan bercakap dengannya berhadapan. Lalu Tuhan berfirman, ‘Wahai hamba-Ku! Sebutlah apa yang engkau ingini nescaya Aku beri’. Dia menjawab, ‘Pintaku hanya satu wahai Tuhanku. Hidupkan aku sekali lagi supaya aku mati terbunuh kali ke dua pada jalan-Mu’. Tuhan menjawab, ‘Telah tertulis bahwa orang yang mati tidak akan kembali lagi’. Maka berkata pula hamba yang memohon tadi, ‘Wahai Tuhanku! Jika demikian sampaikanlah kepada makhluk-Mu yang telah aku tinggalkan bahwa betapa bagianya daku sekarang’”. Rasulullah s.a.w bersabda: “Kawan-kawanmu yang syahid di Uhud itu, arwah mereka disimpan oleh Tuhan di dalam rongga burung hijau, terbang dan hinggap di sekitar sungai-sungai syurga, makan buah-buahannya dan hinggap pada kidil-kindil emas yang tergantung di bawah naungan Arasy. Setelah mereka merasai kelazatan makanan dan minuman dan sambutan yang amat baik atas mereka, berkatalah mereka, ‘Alangkah baiknya kalau kawan-kawan kita yang masih hidup di dunia mengetahui apa yang diperbuat oleh Tuhan untuk menyambut kita ini. Siapakah agaknya yang kan menyampaikan kepada mereka di dunia bahwa kita ini hidup di dalam syurga dan tetap diberi rezeki, supaya mereka jangan enggan berjihad dan jangan takut berperang’. Tuhan menjawab, ‘Aku sendiri akan menyampaikannya’”.
Para mujahidin bergerak ke medan perang dengan ucapan: “Cukuplah Allah bagi kami dan Dia jualah sebaik-baik Penjaga”. Tekad mereka bulat. Keyakinan mereka penuh kepada kempimpinan Rasul Allah. Penyerahan mereka hanyalah kepada Allah s.w.t. Tugas mereka adalah menyebarkan apa yang Allah s.w.t sampaikan kepada Rasul-Nya. Mereka bekerja untuk menyelamatkan diri mereka, ahli mereka dan umat manusia umumnya daripada azab api neraka.
Pengikut Nabi Muhammad s.a.w hidup bersama-sama tiga perkara pokok yaitu al-Quran, masjid dan jihad. Jihad bukan saja mengangkat senjata. Dalam keadaan aman jihad mereka adalah memperkuatkan umat Islam secara rohani dan jasmani. Ahli ilmu memberi tumpuan kepada urusan mempelajari ilmu dan menyampaikannya kepada orang banyak. Dalam keadaan aman juga mereka berjihad merombak apa juga adat, kebudayaan dan peraturan yang tidak bersesuaian dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. Apabila datang hukum Tuhan mengharamkan arak, maka dengan senang hati mereka melepaskan keinginan dan tabiat meminum arak. Begitu juga dengan lain-lain peraturan yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. Mereka menerima perintah Tuhan dengan penuh kerelaan, tidak berdolak-dalih atau berhujah dengan kekuatan akal mereka bagi tujuan mengabaikan perintah Tuhan.
Nabi Muhammad s.a.w mengajar umat baginda s.a.w supaya memelihara ketulinan, keaslian dan kemurnian Islam. Baginda s.a.w mau umat baginda s.a.w membawa identiti sendiri yang mudah dikenal dan dibedakan daripada kaum lain. Umat Nabi Muhammad s.a.w berkewajiban memelihara ibadat mereka, upacara keagamaan mereka, adat dalam masyarakat, kebudayaan dan sebagainya agar semua itu benar-benar bersih daripada pengaruh agama lain.
Kaum Muslimin diberi kesadaran bahwa kemasukan pengaruh agama atau adat lain walaupun dipandang kecil, akan membuka jalan kepada kemasukan pengaruh yang lebih besar. Mempertahankan ketulenan Islam merupakan jihad juga. Umat Islam seharusnya bisa berkata dan menunjukkan dengan pasti bahwa yang ini Islam dan yang itu bukan Islam. Seharusnya ada sempadan yang jelas di antara Islam dengan bukan Islam. Misalnya, bagi upacara perkahwinan, seharusnya dikenalpasti sempadan Islam, yang dibisakan oleh Islam dan yang dilarang oleh Islam. Begitu juga bagi bidang-bidang perekonomian, politik pendidikan dan lain-lain. Apa juga yang datang dari luar yang bisa diterima oleh peraturan Islam hendaklah ‘diIslamkan’ terlebih dahulu, seumpama kulit binatang halal yang hendak digunakan disamakkan terlebih dahulu. Pekerjaan ‘menyamakkan’ segala ilmu, sistem, adat, kebudayaan, hukum dan lain-lain menjadi medan jihad yang sangat luas bagi cendikiawan Muslim. Setiap Muslim yang diberi kepakaran dalam sesuatu bidang sebenarnya diberi amanah oleh Tuhan supaya memelihara bidang yang menjadi kepakarannya itu agar berada dalam keadaan Islam. Kepentingan ekonomi, politik, kuasa atau sesuatu tidak seharusnya melunturkan warna Islam. Jihad cendikiawan Muslim dalam medan ini tidak akan habis sampai ke hari kiamat.
41: PENUTUP
________________________________________
Nabi Muhammad s.a.w adalah seorang ‘arkitek’ dan ‘jurutera’ yang paling arif dalam membuat rekabentuk dan mendirikan bangunan Islam. Siapapun saja yang mau mendirikan bangunan Islam mestilah merujuk kepada pelan dan bangunan yang sudah baginda asaskan pembinaannya. Dasar yang baginda s.a.w rekabentukkan sudah mengambil kira keperluan struktur tambahan yang akan diperlukan di kemudian hari nanti, sesuai dengan perubahan zaman dan suasana. Namun ada had struktur tambahan yang bisa diterimanya. Jika tambahan dilakukan secara tidak bersesuaian dengan pelan dasarnya maka yang dibina itu akan runtuh. Hanya arkitek dan jurutera yang mahir saja, yang ilmu mereka sesuai dengan ilmu Nabi Muhammad s.a.w yang bisa mendirikan struktur tambahan tanpa membahayakan bangunan yang dibina.
Benih Islam yang ditanam oleh Nabi Muhammad s.a.w sudah tumbuh menjadi sebatang pokok yang tegap dan rendang. Akar tunjangnya tertanam kejap di dalam bumi. Pokok tersebut sudah sempurna tumbuhnya sewaktu Nabi Muhammad s.a.w masih hidup. Ia telah mengeluarkan dahan-dahan, ranting-ranting, bunga-bunga dan buah-buah pada segenap arah. Tidak ada satu arah pun yang tidak dicapai olehnya. Walaupun begitu pokok yang begitu subur masih mampu mengeluarkan dahan baru, ranting baru, daun baru, bunga baru dan buah baru sebagai tambahan kepada pokok yang asal. Sekalipun bagian tersebut baru tumbuh tetapi ia tetap daripada pokok yang sama, yang tumbuh bersama peredaran masa. Selagi yang baru tumbuh itu daripada pokok yang sama maka ia tetap mempunyai zat yang sama dengan pokok yang ditanam oleh Rasulullah s.a.w. Sekiranya yang baru tumbuh itu datangnya daripada pokok yang baru ditanam, maka ia tidak sesuai lagi dengan pokok asal yang ditanam oleh Rasulullah s.a.w. Oleh yang demikian setiap Muslim haruslah berwaspada terhadap pembaruan yang dilakukan. Dahan dan ranting bisa bertambah tetapi mestilah daripada pokok yang sama.
Penambahan dan pembaruan bisa muncul dalam bidang yang bersangkutan dengan dunia dan juga akhirat. Perubahan zaman mengwujudkan sistem teknologi, perekonomian, sosial dan politik yang lebih kompleks. Jangan dikira sesuatu yang kompleks itu tidak dapat ditangani oleh Islam. Jangan mudah beralih kepada sesuatu yang bukan Islam. Selusur kembali dari ranting ke dahan, dari dahan ke batang dan seterusnya ke akar umbi. Jika proses penyelusuran itu dilakukan dengan bijaksana dan ia bisa kembali kepada dasarnya, maka yang sudah ada mampu menangani apa yang baru dijumpai itu. Jika tidak ditemui jalan kembali, maka mulaikan daripada akarnya, kepada batangnya, dan dahannya. Kemudian baru pergi kepada ranting yang baru tumbuh, yang terdapat buah kepada permasalahan yang baru mendatang itu.
Ketelitian yang lebih lagi diperlukan dalam menangani permasalahan yang menyentuh soal akhirat dan hubungan dengan Tuhan terutamanya dalam soal aliran tarekat. Walau apa juga nama diletakkan kepada sesuatu aliran tarekat itu, janganlah dialih pandangan daripada dasarnya, yaitu tarekat Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w dan para sahabat telah menunjukkan tarekat yang paling benar dan paling baik. Tarekat yang datang kemudian mestilah membentuk kehidupan yang bersesuaian dengan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat. Jangan membentuk ideologi dan tatacara yang tersendiri. Selagi tidak ditemui persesuaian dengan Sunah Rasulullah s.a.w janganlah dikira sudah berakhir perjalanan tarekat. Jika tidak ditemui juga, maka aliran tarekat yang sedang diikuti itu haruslah ditinggalkan karena ia mungkin dahan yang tumbuh daripada pokok yang tidak ditanam oleh Rasulullah s.a.w dan ia tidak mampu membawa kepada Yang Haq.
Tujuan kehidupan di bumi bukan mencari makam dan pengalaman kerohanian, tetapi membentuk kehidupan yang bersesuaian dengan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat. Peri kehidupan baginda s.a.w dan para sahabat hendaklah difahami benar-benar. Apa yang tersembunyi dalam Sir Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat nyata keluar sebagai buahnya yang dapat dilihat pada rupa tarekat, Islam, iman, tauhid, hakikat dan makrifat yang keluar daripada mereka. Sekaliannya itu menyata dalam perilaku kehidupan mereka. Setiap orang Islam mestilah mengeluarkan buah yang serupa, barulah benar-benar sah bahwa yang tersembunyi dalam dirinya serupa dengan yang ada pada Rasulullah s.a.w dan para sahabat. Jika perilaku masih menyerupai orang kafir, orang munafik, orang fasiq dan tidak melepaskan maksiat, janganlah dianggap diri sudah berada di atas jalan yang benar. Jika akhlak tidak mengikuti akhlak Rasulullah s.a.w dan para sahabat janganlah mengira diri sudah menjadi orang arif dan memiliki ilmu yang sesuai dengan ilmu Rasulullah s.a.w. Jika tidak dapat membedakan yang benar dengan yang batal janganlah menyangka diri sudah menjadi ahli hakikat dan ahli makrifat. Tidak dinamakan bermakrifat jika tidak mengenal hakikat yang benar dan yang salah, tidak tahu yang halal dan yang haram dan tidak bisa membedakan Tuhan dengan hamba Tuhan.
Tujuan bersyariat dan bertarekat adalah untuk menghidupkan alat yang di dalam diri yang mampu mengasingkan yang benar daripada yang batal, yang benar daripada yang salah. Apabila keupayaan mengasingkan yang benar daripada yang batal itu menjadi sifat yang sebati, barulah sah bahwa syariat dan tarekat yang diamalkannya itu mengeluarkan buah yang baik. Daya dan upaya yang memisahkan yang benar daripada yang salah secara spontan adalah buah kepada makrifat. Tanpa daya dan upaya tersebut orang yang mengaku dirinya bermakrifat sebenarnya menanam pokok yang tidak berbuah. Duri dan parasit yang muncul pada batangnya disangkakan buah yang enak. Akibatnya mereka memakan duri dan parasit tanpa mereka sedari.
Daya dan upaya yang mampu mengasingkan yang benar daripada yang salah secara spontan akan melahirkan ghirah (kecemburuan) dalam jiwa orang-orang yang beriman. Keghirahan itu yang membuat orang beriman mempertahankan kebenaran agamanya, tidak mengizinkan agama Islam dan Nabi Muhammad s.a.w dipersendakan atau diperhinakan dan tidak sekali-kali membiarkan perbuatan syirik dan mungkar bermaharajalela di dalam kalangan umat. Keghirahan itu yang membuat orang yang beriman mempertahankan peraturan Islam, tidak sekali-kali merombak apa yang sudah siap ditenun oleh Nabi Muhammad s.a.w. Hati mukmin yang ghirah mencintai Allah s.w.t, mencinta Rasul Allah, mencintai berjuang pada jalan Allah dan juga mencinta makhluk Allah. Sahabat-sahabat baginda s.a.w telah membuktikan kecintaan mereka kepada umat manusia dengan kesediaan diri mereka terkorban dan harta benda mereka melayang demi menyelamatkan umat manusia daripada api neraka. Mukmin yang ghirah bekerja menarik manusia kepada syurga dan menutup jalan-jalan ke neraka.
Segala puji-pujian bagi Allah, Pemelihara sekalian alam. Selawat disertai salam atas yang paling mulia di antara Rasul-rasul, Muhammad Rasul yang Amin, dan atas sekalian keluarga dan sahabat-sahabat baginda.
Maha Suci Tuhan dengan segala Kemuliaan-Nya dan berfirman dengannya. Maha Suci Tuhan yang bersifat dengan Kebesaran dan Kemurahan. Maha Suci Tuhan yang menghinggakan bilangan sesuatu dengan Ilmu-Nya. Maha Suci Tuhan yang tiada layaknya Tasbih melainkan untuk-Nya. Maha Suci Tuhan yang mempunyai nikmat dan kurnia. Maha Suci Tuhan yang memiliki Kebesaran dan Kemuliaan. Maha Suci Tuhan yang mempunyai kekuasaan. Daku bermohon kepada Tuhan dengan Kemuliaan Arasy-Mu dengan Rahmat-Mu yang setinggi-tingginya dari Kitab-Mu, dengan Nama-Mu Yang Agung. Kesungguhan-Mu yang tinggi dan Kalimat-Mu Yang Sempurna lagi Lengkap yang tidak dilampaui oleh orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat kejahatan. Anugerahilah Rahmat Kurnia-Mu kepada Nabi Muhammad s.a.w dan keluarga Nabi Muhammad s.a.w.
Wahai Tuhan yang mensejahterakan. Sejahterakanlah agama kami, sejahterakanlah iman kami, sejahterakanlah tauhid kami, sejahterakanlah makrifat kami, sejahterakanlah roh kami dan sejehterakanlah jasad kami. Wahai Yang Memberi Rahmat dan Yang Mengasihani.
Wahai Tuhan kami. Janganlah Engkau seksa kami sekiranya kami lupa atau kami keliru. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan atas kami seksa sebagaimana Engkau pikulkan atas orang-orang yang terdahulu daripada kami. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan atas kami (perintah-perintah) yang tidak kuat kami mengerjakannya; dan hapuskanlah (dosa-dosa) kami, dan lindungilah kami (daripada dosa-dosa), dan kasihanilah kami. Engkau jua Penolong kami; oleh sebab itu tolonglah kami atas (mengalahkan) kaum yang kafir.
Wahai Tuhan kami! Berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat pun kebaikan. Dan peliharalah kami daripada seksaan neraka.
Selawat serta salam ke atas Sayyidina Muhammad, ke atas keluarga dan sahabat-sahabat baginda s.a.w.
Maha Suci Tuhanmu, Tuhan Maha Perkasa dari apa yang mereka sifatkan. Dan sejahtera atas mereka yang diutus. Dan segala puji kepunyaan Allah, Tuhan bagi sekalian alam.
MOHAMAD NASIR BIN MAJID
(TOK FAQIR AN-NASIRIN)
Seberang Takir